Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai dan Potensi Pemanfaatannya Studi Kasus di Hutan Cagar Alam Leuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat

KEANEKARAGAMAN
CENDAWAN MlKORlZA ARBUSKULA (CMA)
Dl HUTAN PANTAI DAN POTENSI PEMANFAATANNYA
STUD1 KASUS Dl HUTAN CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG
KASUPATEN GARUT, JAWA BARAT

Oleh:
DELVIAN

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

~upersem6af&an untuk
3iyoliandu I6rahim Qatifdan I 6 u d a N u jani
Xpkanda Jnuudi-Cucu Hartin< Nwiar-Sn' Pitriani Wuhni-Wun' Sad,
DmiQsita-Sukadi, dan Qstitta-Asep Q u m n
J d d a Naiyunti-Medi
mom&an-[qonakan tersayaty A*, Sani, Tent ra, Deka, Yoga,
Q n i , Nando, w a r , f&hi, Bagas, dart Soni


ABSTRAK

DELVIAN. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula Di Hutan Pantai Dan
Potensi Pemanfaatannya. Dibirnbing oleh YADl SETIADI, SOEDARMADI H DAN
IRDIKA MANSUR
Keberadaan dan kelimpahan cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di alam
bersifat musiman dan dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah, salah satu di antaranya

adalah tingkat salinitas tanah. Hasil studi di Hutan Cagar Alam Leuweung Sancang,
Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat menunjukkan bahwa keberadaan
CMA berfiubungan negatif dengan salinitas tanah. Penurunan tingkat salinitas tanah
akan diikuti dengan peningkatan kepadatan spora dan penentase kolonisasi CMA

pada akar tanaman.
Pengamatan terhadap pola waktu pembentukan spora menunjukkan bahwa
pembentukan spora CMA dipengaruhi oleh musim dan setiap jenis CMA
memberikan respon yang berbeda terhadap perubahan musim.

Hal ini akan


mempengaruhi data tentang keanekaragaman jenis CMA yang ada pada suatu
ekosistem, tegakan atau individu pohon.
lsolat CMA asal hutan pantai dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
dan toleransinya terhadap cekaman salinitas yang ditunjukkan oleh peningkatan

berat kering dan serapan P tanaman serta penurunan akumulasi prolin dan natrium
dalam jaringan tanaman. Dengan demikian isolat CMA yang diperoleh mempunyai

potensi untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati untuk daerah dengan ma.salah
satinitas tanah.

ABSTRACT

DELVIAN.

Diversity of Arbuscular Mycorrtrizal Fungi in Coastal Forest and Its

Potential Use. Under the direction of YADl SETiADI, SOEDARMADI H., and IRDIKA
MANSUR.


Distribution and diversity of arbuscular mycorrhiil fungi (AMF) along a
longitudal salinity gradient was studied in Leuweung Sancang coastal forest, Garut,
West Java, by line transect. Soil salinity is one of limiting factors of growth and
development of plant and mycorrhizae at coastal forest. Salinity effects negatively to
spore density and mycorrhizal colonization percentage. Decreasing salinity rate
resulted increment of spore density and root colonization.
The spore density and the divers@ of AMF are seasonal. The result showed
AMF spowlation dynamic on Buchannia arborescens, PIanchella nifida, Alstonia sp.,

and Vitex quinata at each sampling periods.
Arbuscular rnycorrhizal fungi isolate from saline soil could improve plant growth
in the salinity stress condition. In this study, dry weight of plant was increased by
mycorrhizal treatment.

The plant growth increment relate to the plant nutrition

status, particulary P. Mycorrhizal plant could reduce stress condition by reducing
proline and sodium accumulation in plant tissue.

SURAT PERNYATAAN


Saya menyatakan dengan sebenar-benamya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul
Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula Di Hutan Pantai Dan Potensi
Pemanfaatannya

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan
pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya. Disertasi ini belum pemah diajukan untuk memperoleh gelar pada
program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.

Bogor, 15 September 2003

Nama : Delvian
Nrp
: 985090


KEANEKARAGAMAN
CENDAWAN MlKORlZA ARBUSKULA (CMA)
Dl HUTAN PANTAI DAN POTENSI PEMANFAATANNYA
STUD1 KASUS Dl HUTAN CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG
KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

Oleh:
DELVIAN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program-Studi Hmu Pengetahuan Kehutanan

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

Judul Disertasi
Nama


NRP
Program Studi

: Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula Di Hutan
Pantai Dan Potensi Pemanfaatannya
: Delvian
: 985090
: Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing

\
Dr. Ir. Yadi Setiadi, MSc.

Ketua

Dr. It. Irdika Mansur. M.For.Sc.
Anggota


Prof. Dr. Ir. H. Soedarmadi H., MSc.
Anggota

Mengetahui,

Dr. 1r. Muh. Yusram Massiiava. MS.

Tanggal Ldus : 15 September 2003

Penulis dilahirkan di Tes, Kabupaten Rejang Lebong pada tanggal 23 Juli
1969 sebagai anak keenam dari pasangan lbrahim Djaid dan Nujani. Pendidikan

sarjana ditempuh di Jurusan Agronomi, Fakuttas Pertanian Universitas Bengkulu,
Bengkulu, lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1995 penulis meneruskan pendidikan
Pascasarjana

Program

Agronomi


menamatkannya pada tahun 1997.

di

Universitas Andalas,

Padang

dan

Selanjutnya pada tahun 1998 penulis

mendapatkan kesempatan untuk meianjutkan pendidikan ke program doktor pada
Program llmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa

pendidikan pascasajana program Magister dan program DoMor diperoleh dari
University Research for Graduated Education (URGE) Project yang rnerupakan
proyek kejasama Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dengan
World Bank.


Pada tahun 2002 pnulis diten'ma sebagai Staf Pengajar pada Program llmu

Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Medan.

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dam karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih

dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2000 sampai Januari 2003
ini adalah mikoriza, dengan judul Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula
Di Hutan Pantai Dan Potensi Pemanfaatannya, Adapun lokasi penelitian ini adalah

di Hutan Cagar Alam Leuweung Sancang, Pameungpeuk, Kabupaten Garut,
Propinsi Jawa earat.

Selama pelaksanaan penelitian ini penulis telah banyak mendapat bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesernpatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Yadi Setiadi, MSc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir.

H.

Soedarmadi H., MSc. dan Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc. atas segala
bantuan, bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis.
2. Pirnpinan dan Staf Program llmu Pengetahuan Kehutanan Program

Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor.

3. Pimpinan dan Staf Program Pascasajana Instiut Pertanian Bogor
4. Pimpinan dan Staf pada University Research for Graduated Education
(URGE) Project atas beasiswa pendidikan pascasajana yang penulis terima.
5. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat II dan Kepala Sub

Seksi Wilayah Konservasi Sumedang (Koordinator Wilayah Garut) atas kin
masuk ke kawasan konservasi Hutan Cagar Alam Leuweung Sancang
sebagai lokasi eksplorasi penelitian.
6 . Kepala dan Staf Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat


Penelitian Bioteknologi lnstitut Pertanian Bogor, atas segala bantuan fasilitas

yang diberikan dan kejasama yang baik selama ini.
7. Ibu Linda, ibu Winny, ibu Heny atas segala curahan perhatian dan bantuan

selayaknya seorang ibu terhadap anaknya yang sedang bejuang.
8. Ibu Panca, Mbak Faiq, Mbak Nana, Mbak Jua, Desi, Susan, Ninin, Yudi dan
Anto untuk segala kebersamaan dan kerjasama yang baik yang telah terjalin.

9.

Dr. Endang Hilmi, S.Hut. MSI, Istie Sekartining Rahayu, S-Hut. MSI, Laela
Nur Anisah, S-Hut. MSi,

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Besar harapan penulis kiranya karya ilmiah yang sederhana ini dapat
bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi semua pihak yang

membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2003
Delvian

DAFTAR IS!

Halaman
DAFTAR
DAFTAR
DAFTAR
DAFTAR

IS1 ..............................................................................
TABEL .....................................................................................
GAMBAR ..............................................................................
LAMPlRAN ..............................................................................

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................
..
8. Kerangka Pem~k~ran
.....................................................................
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
D. Hipotesis ...................................................................................
11. TlNJAUAN PUSTAKA
A. Salinitas Tanah ..........................................................................
B. Cendawan Mikoriza Arbuskula ...................................................
C. Cendawan Mikoriza Arbuskula Dalam Tanah Salin ...................
D. Salinitas dan Pertumbuhan Tanaman ........................................
Ill. BAHAN DAN METODA
A. STATUS DAN KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MlKORlZA
ARBUSKUIA Dl HUTAN PANTA1 BERDASARKAN GRAD1EN
SALlNlTAS .................................................................................
8. DlNAMlKA SPORULASI CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA
Dl HUTAN PANTAI ...................................................................
C. KOLEKSl lSOLAT CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKUIA ASAL
HUTAN PANTAI ..........................................................................
D. PERANAN CENDAWAN MlKORlZA ARBUSKULA DALAM
MENGURANGI PENGARUH CEKAMAN SALINITAS'
TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN .................................
IV. HASlL DAN PEMBAHASAN
A. STATUS DAN KEANEKARAGAMAN CENDAWAN MIKORIZA
ARBUSKULA Dl HUTAN PANTAI BERDASARKAN GRAOIEN
SALlNlTAS .................................................................................
A. 1. Hasil .......................
.
.
.......... ...........................................
A.2. Pembahasan .....................................................................
B. DlNAMlKA SPORULASI CENDAWAN MIKORlZA ARBUSKULA
Dl HUTAN PANTAI .....................................................................
6.1. Hasil ...................................................................................
6.2. Pembahasan ...................................................................

iii
V

vi
ix

C . KOLEKSI lSOLAT CENDAWAN MlKORlZA ARBUSKULA ASAL
HUTAN PANTAI .........................................................................
C . 1. Hasil ....................................................................................
C.2. Pembahasan .....................................................................
D. PERANAN CENDAWAN MlKORlZA ARBUSKULA DALAM
MENGURANGI PENGARUH CEKAMAN SALtNlTAS
TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN ................................
D. 1. Hasil ..........................
.
.
.
...................................................
D.2. Pembahasan .....................................................................
V . PEMBAHASAN UMUM

....................................................................

VI . KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
A . Kesimpulan ..............................................................................
B. Saran .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR TABEL

Judul
Pengaruh NaC1 terhadap keberadaan struktur dan persentase
panjang akar terkolonisasi oleh Glomus intraradices.
Hasil standarisasi inokulan dari setiap isolat CMA

Perubahan tingkat salinitas (mmholcm) larutan perlakuan
Rata-rata nilai salinitas tanah pada lokasi peneiitian
Hasil analisa beberapa sifat kimia tanah contoh
Jumlah tipe spora yang ditemukan berdasarkan tingkat
salinitas tanah

Nilai frekuensi rnutlak (FM-%) dan frekuensi relatif (FR-%)
kehadiran suatu jenis CMA pada setiap jalur pengamatan
Keberadaan cendawan mikoriza arbuskula pada vegetasi
hutan pantai Cagar Alarn Leuweung Sancang

Jenis tanaman sampel dan tingkat salinitas setiap PUP

Dinamika jenis cendawan mikoriza arbuskula yang diperoleh
pada setiap petak ukur permanen dalam lima kali
pengamatan
Karakteristik tipe spora yang diisolasi dari hutan pantai
Waktu (minggu setelah inokulasi) spora mulai
berkecambah

Kultur-kultur spora tunggal yang berkecambah dan
membentuk spora-spora baru sampai pada umur 180 hari
setelah inokulasi
Kultur-kultur yang diperbanyak sampai tahap kedua
Persentase kolonisasi CMA pada tanaman L. lecocephala
pada saat mati di bawah kondisi cekaman salinitas
Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam terhadap parameter
terukur

Halaman

Gambar

Judul

1

Kerangka Pemikiran: Keanekaragarnan cendawan rnikoriza
arbuskula di hutan pantai
Kerangka Pemikiran: Potensi cendawan mikoriza arbuskula

asal tanah salin
Phylogeny perkembangan dan taksonomi ordo Glomales

Penampang longitudinal akar yang terinfeksi CMA
Skema aktivitas CMA yang mungkin dipengaruhi oleh
salinitas tanah

Peta lokasi penelitian dan letak jalur pengarnatan di hutan
cagar alam Leuweung Sancang, Pemeungpeuk Kabupaten
Garut
Cawan petri platik diameter 9 cm yang dilubangi 0,5x0,5 cm
sebagai tempat tumbuh tanaman inang
Teknik pembuatan kultur dalam uji efektivitas isolat
Rata-rata Jumlah spora dan persentase kolonisasi CMA
pada petak ukur dan hubungannya dengan salinitas tanah

Beberapa tipe spora Glomus yang diperoleh dari hutan
pantai Cagar Alam Leuweung Sancang
Tipe spora Sclerocystis yang diperoleh dari hutan pantai
Cagar Alam Leuweung Sancang

Beberapa tipe spora Acaulospora yang diperoleh dari hutan
pantai Cagar Alam Leuweung Sancang

Beberapa tipe spora Gigaspora yang diperoleh dari hutan
pantai Cagar Alam Leuweung Sancang
Hubungan antara persentase kolonisasi dengan tingkat
salinitas tanah (diwakili oleh petak ukur) pada satu individu
tanaman

Halaman

Rata-rata persentase kolonisasi CMA pada setiap
tanaman dalam lima kali pengamatan
Jumlah spora CMA (per 50 g tanah) yang diperoleh dari lima
kali pengamatan
Respon pertumbuhan P. javanicum terhadap pemberian
asam humik pada beberapa tingkat salinitas tanah

Total jumlah spora yang dihasilkan sebagai respon terhadap
pemberian asam humik pada beberapa tingkat salinitas
tanah yang berbeda
Jumlah spora setiap jenis CMA yang dihasilkan sebagai
respon terhadap pemberian asam humik pada beberapa
tingkat salinitas tanah
Jenis spora CMA yang digunakan untuk pembuatan kultur
spora tunggal

Spora-spora yang berkembang dalam kultur spora tunggal
dengan teknik PDOC

Tiga jenis spora hasil seleksi dan perbanyakan
Ketahanan tanaman dalam kondisi cekaman garam (NaCl)
Pengaruh CMA dalam pertumbuhan tinggi tanaman L.
Ieucocephala dibawah kondisi tanpa dan dengan cekaman
salinitas

Penganrh CMA dalam pertumbuhan diameter batang
tanaman L. ieucocephah dibawah kondisi tanpa dan
dengan cekaman salinitas
Pengaruh CMA terhadap berat kering tajuk tanaman L.
leucocephala dibawah kondisi tanpa dan dengan cekaman
salinitas

Pengaruh jenis CMA terhadap k r a t kering akar (g)
tanaman L. leucocephala
Pengaruh tingkat salinitas terhadap rasio tajuk akar
tanaman L. leucocephala
Pengaruh jenis CMA terhadap rasio tajuk akar tanaman
L. leucocephala

Pengaruh CMA terhadap berat kering tanaman
L. leucocephala dibawah kondisi tanpa dan dengan
cekaman salinitas

Pengaruh CMA terhadap serapan P (rnghan) tanaman
L. leucocephaia dibawah kondisi tanpa dan dengan
cekaman salinitas

Pengaruh CMA terhadap akumulasi prolin (pmoUmg)
dalam daun tanaman L. leucocephala dibawah kondisi
tanpa dan dengan cekaman salinitas
Pengaruh CMA terhadap akumulasi natrium (pmollmg)
dalam daun tanaman L. leucocephala dibawah kondisi
tanpa dan dengan cekaman salinitas
Persentase hifa internal yang terbentuk dalam akar
L. leucocephala di bawah kondisi cekaman salinitas

Persentase arbuskula yang terbentuk dalam akar
L. leucocephaia di bawah kondisi cekaman salinitas
Persentase vesikuia yang terbentuk dalam akar
L. Leucocephala di bawah kondisi cekaman salinitas
Struktur internal CMA dalam akar tanaman dengan bahan
pewarna trypan blue

Morfologi akar tanaman L. Leucocephala yang dikolonisasi
CMA pada cekaman salinitas
Diagram hubungan antara cendawan mikoriza arbuskula
dengan tanaman inang dan lingkungan

Lampiran

Judul

Halaman

1

Skernatis teknis pembuatan kultur trapping CMA

155

2

Skematis tekni pernbuatan kultur spora tunggal dengan
teknik Petri-dish Observation Chamber

156

Skematis teknis perbanyakan CMA dengan teknik kultur pot
terbuka

157

4

Skematis teknis pembuatan kultur pot bertingkat

158

5

Data curah hujan rata-rata bulanan dan Jumlah hari hujan

159

3

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah-tanah salin menduduki hampir 7% dari tanah permukaan bumi dimana
produksi tanaman pertanian dan kehutanan pada tanah ini adalah relatif rendah

(Yeo, 1983; Jain et al., 1989). Di lndonesia tanah salin umumnya terdapat pada
daerahdaerah pantai dimana limpasan air laut merupakan s u m k r salinitas tanah.

Sebagai negara kepulauan Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 80.790km
(Novan, 1996) dan jika diasumsikan tanah salin terbentang 200-300

rn dari garis

pantai (Purwanto, 1999), berarti lndonesia mempunyai tanah salin seluas 161.580
ha - 242.370 ha. Areal yang

luas ini sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam

kegiatan pertanian, pekebunan dan perikanan.
Sifat-sifat tanah yang menghambat atau mengurangi ketahanan dan
pertumbuhan tanarnan meliputi ketidakseimbangan ion esensial, pH tanah dan
perubahan struktur dan tekstur tanah yang mempengaruhi aerasi dan kemampuan
tanah untuk memegang air (Abrol dan Sandhu, 1985; Bettenay, 1986). Sedangkan
pengaruh merusak dari satinitas terhadap pertumbuhan tanarnan ditimbulkan oleh

cekaman osmotik, keracunan ion dan gangguan nutrisi (Greenway dan Munns,
1980; Maas dan Nieman, 1978; Munns dan Termaat, 1986).
Salah satu cara penanggulangan masalah salinitas tanah adalah dengan
irigasi yang bertujuan untuk rnelindih garam yang berlebihan sehingga sesuai
dengan kebutuhan tanaman (Tan, 1991). Percobaan pelindihan tanah salin relatif
dapat menghilangkan sebagian k s a r garam, tetapi metoda ini tidak efektif dan tidak
praktis. Efektivitas pelindihan benrariasi dari satu tanah dengan tanah lainnya dan
umumnya kegiatan ini membutuhkan biaya yang besar (Santoso, 1993). Selain itu

penciptaan tanaman yang toleran garam adalah salah satu cara yang cukup baik,

namun ha1 ini juga membutuhkan biaya besar dan waktu yang relatif lama.
Pemanfaatan cendawan mikoriza ahuskula (CMA) merupakan alternatif lain

dalam menanggulangi masalah rendahnya produktivitas tanaman pada tanah salin.
Cendawan ini membentuk simbiosis mutualistik dengan perakaran tanaman
sehingga dapat membantu tanaman tumbuh lebih baik pada daerahdaearh marjinal
(Smith dan Read, 1997).

Hal ini dimungkinkan karena CMA aktif membantu

tanaman dalam penyerapan hara, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
kekeringan dan serangan patogen akar, bahkan dapat meningkatkan pertumbuhan

tanaman pada daerah-daerah bekas pertambangan (ALlsopp dan Stock, 1993;
Karagiannidis et al. 1995; Davies et al. 1992; Kling dan Jakobsen, 1998; Munyanziza

et a/. 1997). Disamping penggunaan CMA ini tidak membutuhkan biaya yang besar
karena a) teknologi produksinya murah, b) sernua bahan tersedia di dalam negeri, c)
dapat diproduksi dengan mudah di lapangan, d) pemberian cukup sekali seumur
hidup tanaman dan memiliki kemungkinan memberikan manfaat pada rotasi tanam
berikutnya, e) tidak menimbulkan polusi, dan f) tidak merusak struktur tanah
(Mansur, 2003).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat simbiosis antara CMA dengan
vegetasi pada tanah salin pantai (Kim dan Weber, 1985; Louis, 1990; Puppi et al.
1986; Raman dan Elumalai, 1991; Ragupathy dan Mahadevan, 1991). Selain itu

dilaporkan bahwa adanya simbiosis antara CMA dengan tanaman pada kondisi

salin dapat memperbaiki pertumbuhan dan toleransi tanaman terhadap cekarnan
salinitas (Al-Karaki, 2000a; Al-Karaki, 2000b; Cantrell dan Linderman, 2001; Gupta
dan Krishnarnurthy, 1996; Ruiz-Lozano dan Azcon, 2000; Ruiz-Lozano et a/. 1996;
Tsang dan Maun, 1999).

Meskipun telah diketahui bahwa peranan CMA dalam pertumbuhan tanaman

pada kondisi salin sangat penting, namun potensi CMA asal tanah salin belum
dipelajari secara lengkap.

Hal ini ditunjukkan oleh hampir semua penelitian

pemanfaatan CMA pada kondisi salin menggunakan CMA yang berasal dari tanah
tidak salin. Menurut Hirrel dan Gerdemann (1980) bahwa perbedaan jenis dan asal

CMA akan mempengaruhi kemampuan CMA untuk rnemperbaiki perturnbuhan
tanaman pada kondisi salin. Dengan dernikian diduga pada kondisi salin CMA asal
tanah salin mungkin akan lebih efektif daripada CMA asal tanah tidak salin. Oleh
karena itu perlu dilakukan studi untuk mempelajari potensi CMA asal .tanah salin

dalam memperbaiki perturnbuhan dan meningkatakan toleransi tanaman terhadap

cekaman salinitas.

Untuk mempelajari potensi suatu organisme, ha1 pertama yang harus
diketahui adalah keanekaragaman dari organisme tersebut. Demikian juga halnya
dengan studi potensi pemanfaatan CMA pada tanah salin. Dengan adanya data
tentang keanekaragaman CMA akan dapat dilakukan seleksi guna mendapatkan
isolat CMA yang potensial dan efektif. Akan tetapi studi tentang keanekaragaman

CMA, khususnya di Indonesia masih kurang. Menurut Mansur et al. (2002) hampir
70% kegiatan penelitian CMA diarahkan pada manfaatnya dalam pertumbuhan

tanaman dan kurang dari 15% yang mempelajari keanekaragaman CMA pada suatu

ekosistem atau tegakan. Untuk keanekaragarnan CMA pada lingkungan bergaram
hanya ada satu penelitian yang dilakukan oleh Putwanto (1999) yang mempelajari
hubungan antara salinitas tanah dengan kelimpahan CMA di hutan pantai Cagar

Atam Leuweung Sancang, Parneungpeuk, Jawa Barat. Kurangnya inforrnasi tentang
keanekaragarnan CMA pada suatu ekosistem atau tegakan merupakan faktor
pembatas penggunaan CMA secara has, disamping kurangnya jenis dan jumlah
isolat yang tersedia.

B. Kerangka Pemikiran
Cekaman salinitas merupakan faktor pembatas utama kegiatan budidaya

pertanian, perkebunan dan kehutanan pada tanah salin. Upaya penanggulangan
masalah tanah salin secara teknis dirasakan kurang praktis dan membutuhkan biaya
besar. Dari hasil penelitian tampaknya CMA mempunyai potensi yang baik dalam
menanggulangi masalah tanah salin. Akan tetapi sampai saat ini belum tersedia
isolat yang potensial yantg berasal dari tanah salin.

Bahkan informasi tentang

keberadaan dan keanekaragaman CMA pada tanah salin sangat kurang, padahal
data tersebut penting artinya dalam mempelajari potensi CMA asal tanah salin.
Untuk menjawab permasalahan tersebut maka perlu dilakukan kegiatan penelitian
yang berhubungan dengan keanekaragaman CMA pada tanah salin dan potensi
pemanfaatanya. Diagram aiur dari kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada
Gambar 1 dan 2 yang uraiannya dijabarkan berikut ini.

6.1. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula Di Hutan Pantai
Cendawan mikoriza arbuskula dapat ditemukan hampir pada semua

ekosistem termasuk daerah bergaram atau tanah salin (Alien dan Cuningham, 1983;
Kim dan Weber, 1985; Louis, 1990; Ragupathy dan Mahadevan, 1991) dan bukitbukit pasir di daerah pantai (Johnson-Green et al. 1995; Puppi et a!. 1986; Siguenza
at al. 1996; Tsang dan Maun, 1999). Keberadaan miselia CMA dapat membantu

pembentukan agregat tanah yang akan mernfasjlitasi stabilitas bukit pasir (Koske,
1987; Siguenza et al. 1996).

Meskipun keberadaan CMA pada lingkungan salin sudah lama diketahui,
akan tetapi data tentang keanekaragaman CMA itu sendiri masih kurang. Kegiatan
eksplorasi CMA umumnya hanya mempelajari keberadaan dan status CMA pada

daerah pantai dan bukit pasir (Ragupathy dan Mahadevan, 1991; Semones dan

Young,

1995;

Tsang dan Maun, 1999) dan pengaruh musim terhadap

perkernbangan kolonisasi,CMA (Johnson-Green et al. 1995; Mohamrnad et al. 1998;
Puppi et a/. 1986). Kalaupun ada data tentang keanekaragaman jenis CMA hanya

diperoleh dari satu kali pengarnatan di lapangan (Ragupathy dan Mahadevan, 1991).

Studi tentang keanekaragaman CMA pada lingkungan bergaram di lndonesia
juga masih sangat kurang. Punvanto (1999) yang mempelajari hubungan antara

salinitas tanah dengan kelimpahan CMA di hutan pantai cagar alam Leuweung

Sancang, Pameungpeuk, Jawa Barat melaporkan bahwa tipe-tipe spora CMA yang
ditemukan adalah Glomus, Sclerocystis, Acaulospora, dan Gigaspora.. Dari data

yang diperoleh belum dapat disimpulkan tentang keanekaragaman CMA yang ada

pada lokasi tersebut. Hal ini disebabkan data yang ada diperoleh hanya dari satu
kali pengamatan sehingga belum menggambarkan keanekaragaman CMA total.

Hasil penetitian Rozema et al. (1986) rnenunjukkan bahwa distribusi dan

keanekaragaman CMA berhubungan dengan filogensi inangnya daripada posisi
spasial inang. Sedangkan Johnson-Green et al. (1995) melaporkan bahwa aktivitas
dan keanekaragaman CMA berhubungan dengan perubahan musim disamping
aktivitas pertumbuhan inangnya. Perubahan fase pertumbuhan atau pun variasi

musiman akan mempengaruhi pembentukan dan jurnlah spora CMA sebagaimana
halnya dengan kolonisasi akar tanaman.

Hasii penelitian

Puppi et a/. (1986)

melaporkan bahwa jumlah spora CMA tertinggi umumnya diperoleh pada akhir
musim pertumbuhan dan aktivitas CMA sangat rendah pada awat musim semi.
Variasi musiman daiam pembentukan spora CMA telah dipelajari oleh

Siguenza et al. (1996) pada beberapa jenis tanaman. Dilaporkan bahwa puncak
pernbentukan spora CMA pada setiap inang terjadi pada waktu yang berbeda. Hal
ini diduga berhubungan dengan aktivitas pelfurnbuhan setiap inang yang berbeda,
disamping juga perbedaan spesies CMA yang bersimbiosis dengan masing-masing

inang. Sebelumnya Gemma et at. (1989) telah menyatakan bahwa spesies CMA
yang berbeda akan mempunyai respon yang berbeda pula terhadap fenologi

inangnya. Selanjutnya disimpulkan bahws inforrnasi keberadaan CMA pada suatu
ekosistem hanya berlaku pada waktu dan kondisi yang sama.
Data keanekaragaman CMA yang ada selama ini didasarkan pada jumlah
dan jenis spora CMA yang diperoleh hanya dari satu periode pengamatan. Dari

beberapa penelitian yang dilakukan di daerah temperate diketahui bahwa aktivitas
pertumbuhan dan perkembangan CMA dipengamhi oleh variasi musim dan fenologi
inangnya (Gemma et a!. 1989; Johnson-Green ef a/. 1995; Puppi et al. 1986;
Siguenza et al. 1996). Dengan demikian data yang ada belum menggambarkan
keanekaragaman total CMA yang ada karena tidak rnemperhitungkan pengaruh
perubahan musim maupun fenologi tanaman inang.

Oleh karena itu untuk

mempelajari keanekaragaman CMA harm dilakukan pengamatan secara berutang
selama periode waktu tertentu.

B.2. Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskula Asal Tanah Salin

.

Salinitas tanah akan mempengaruhi penyerapan hara dan kandungannya

dalam jaringan tanaman, dimana dengan berkurangnya potensial osmotik larutan
tanah akibat cekaman salinitas dapat meningkatkan atau menurunkan penyerapan

hara tertentu (Maas et a!. 3972; Ojala et al. 1983; Al-Karaki, 2000). Tanaman yang
mengalami cekaman salinitas seringkali menunjukkan gejala yang rnenyerupai
kekurangan P dimana daun knrvarna hijau gelap dan lebih sukulen (Maas dan
Nieman, 1978).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa salinitas yang tinggi

menyebabkan penurunan kandungan P pada Allium cepa L. Var Burpee hybrid 5276
(Ojala et al. 1983), Arachis hypogaea cv. JL 24 (Gupta dan Krisnamurthy, 1996),
Lycopersicum esculentum Mill cv. Pello (Al-Karaki, 2000),dan Lactuca sativa (Ruiz-

Lozano et al. 1996).

Meskipun mekanisme yang bertanggung jawab terhadap

penurunan penyerapan P oleh tanaman pada kondisi cekaman satinitas belum
sepenuhnya dipahami (Rehman eta/., 19981, akan tetapi pemberian pupuk P secara
jelas meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman pada kondisi cekaman salinitas
(Al-Karaki et a/. 2001; Ruiz-Lozano et a/. 1996; Champagnol, 1979).

Pertumbuhan tanaman pada kondisi cekaman salinitas juga dapat berkurang
akibat ketidakseimbangan hara yang terjadi (Bernstein, 1981; Davies et a/. 1984).
Suatu alternatif untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan dan gangguan
penyerapan hara bagi tanaman yang turnbuh pada tanah salin adalah dengan

pemanfaatan CMA. Cendawan mikoriza arbuskula yang adaptif pada tanah salin
diketahui dapat meningkatkan penyerapan berbagai macam hara secara terus
menerus. Hirrel dan Gerdemann (1980) melaporkan bahwa pada kondisi cekaman

salinitas status nutrisi tanaman bell pepper yang diberi pupuk P sama dengan
tanaman yang bermikoriza tetapi tanpa pemberian pupuk P.
Cendawan mikoriza arbuskula dapat ditemukan hampir pada semua tanah
dan seringkali secara nyata memperbaiki pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah

yang tidak subur (Smith dan Read, 1997). Pemanfaatan CMA pada daerah salin
dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman (Tsang dan Maun, 1999) dan
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap cekaman salinitas (Al-Karaki, 2000b;

Ruiz-Lozano et a/. 1996).

Menurut Poss et al. (1985) tejadinya peningkatan

toleransi tanaman terhadap salinitas yang mengikuti kolonisasi mikoriza disebabkan

oleh penyerapan P yang lebih efisien oleh tanaman bermikoriza.
Keberadaan CMA pada tanah-tanah salin dan peranannya dalam
meningkatkan pertumbuhan dan penyerapan hara tanaman pada kondisi cekaman
salinitas tampaknya belum mendapat perhatian serius para peneliti. Sebagian besar
studi pemanfaatan CMA pada kondisi salin menggunakan CMA yang tidak berasal

dari tanah salin dan terbatas pada jenis Glomus (Al-Karaki
2000; Al-Karaki, 1998; Ruir-Lozano

et

et

a/. 2001; Al-Karaki,

a/. 1996; Gupta dan Krisnamurthy, 1996;

Cantrell dan Linderman, 2001). Jauh sebelumnya telah diketahui bahwa setiap jenis
CMA berbeda kemampuannya untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman pada
tanah-tanah salin (Azcon et a!. 1976; Hirrel dan Gerdemann, 1980).

Dari penelitian Ruiz-Lozano dan Azcon (2000) yang menggunakan Giomus
sp. yang berasal dari tanah salin dan Glomus deserlicola disimpulkan bahwa
perbedaan jenis CMA dan ekosistem asalnya akan menghasilkan respon

pertumbuhan yang berbeda. Kedua jenis CMA ini mampu melindungi tanaman
terhadap pengaruh salinitas, akan tetapi efisiensi simbiotiknya berbeda. Mekanisme

Glomus sp. untuk melindungi tanaman dari cekarnan salinitas didasarkan pada
perkembangan akar, sedangkan Giomus deserticola berdasarkan pada perbaikan
nutrisi tanaman.

Cendawan mikorira arbuskula diduga dapat beradaptasi terhadap kondisi
tanah (Brundrett, 1991), akan tetapi Copeman et al. (1996) menduga bahwa
terdapat perbedaan dalam sifat dan efisiensi dari setiap jenis CMA yang disebabkan

faktor genetik dari CMA itu sendiri. Mereka menemukan bahwa CMA yang berasal
dari tanah-tanah tidak salin akan meningkatkan pertumbuhan tajuk tetapi cenderung
meningkatkan kandungan CI- daun. Sebaliknya, CMA yang berasal dari tanah salin
menghasilkan peningkatan pertumbuhan yang relatif lebih kecil akan tetapi
menurunkan kandungan C1' daun. Mekanisme dari CMA yang berasal dari tanah
salin diharapkan dapat memberikan keuntungan untuk ketahanan tanaman dalam
jangka panjang pada kondisi cekaman salinitas.
Dari uraian tersebut tampak bahwa potensi CMA yang berasal dari tanah

salin sebagai alternatif dalam mengatasi masalah pertumbuhan tanaman pada
kondisi cekaman salinitas belum dipelajari secara maksimal.

Oleh karena itu

penelitian tentang potensi pemanfaatan CMA yang krasal dari tanah salin perlu
dilakukan. Eksplorasi jenis-jenis CMA pada ekosistem yang masih utuh maupun
yang telah mengalami gangguan merupakan studi awal yang perlu diiakukan. Dari

kegiatan tersebut akan dapat diidentifikasi dan dipetakan jenis-jenis CMA dominan
dan spesifik yang ada.

Kegiatan ini sangat penting karena di samping dapat

diketahui pola penyebaran jenis dengan ekosistemnya, juga dapat diperoleh jenisjenis CMA potensial sebagai sumber material pembuatan pupuk biologis yang dapat
beradaptasi pada kondisi daerah setempat. Di samping itu seleksi dalam rangka
mendapatkan isolat-isolat CMA yang efektif dan dapat meningkatkan perturnbuhan

dan produktivitas

tanaman

terutarna pada daerahdaerah kritis dan majinai

merupakan objek penelitian yang perlu terus dilakukan.

C. Tujuan Penelitian
1.

Mengetahui keberadaan dan keanekaragaman CMA di hutan pantai dan
hubungannya dengan tingkat salinitas tanah.

2.

Mengetahui dinamika pembentukan spora CMA berdasarkan waMu

3.

Mendapatkan jenis CMA yang efektif dan berpotensi untuk dikembangkan dan

.

dimanfaatkan pada daerahdaerah dengan salinitas tinggi.

D. Hipotesis
1. Keberadaan dan keanekaragaman jenis CMA di hutan pantai dipengaruhi oleh

tingkat salinitas tanah.

2. Terdapat dinamika pembentukan spora CMA berdasarkan waktu.
3. Terdapat isolat CMA yang efektif yang dapat dimanfaatkan pada daerahdaerah
bersalinitas tinggi.

Cendawan Mikoriza Arbuskula
"Cosmopolitan"

,

Peranan CMA penting pada
lingkungan bergaram dan berpasir

U
Keberadaan dan
Keanekaragaman

?

Tanaman

Perubahan
musim

Tunggal

Hasil kurang infomatif

berulang

I

Keanekaragaman total
Cendawan mikoriza atbuskula

I

Gambar 1. Kerangka Pemikiran: Keanekaragarnan cendawan mikoriza arbuskula
di hutan pantai

Tinggi

(

Gangguan pertumbuhan
dan
Status nutrisi buruk

tanaman meningkat
Toleransi garam

CMA tanah tidak

I

c
lsolat CMA
Potensial

J

Pengujian potensi
isolat CMA
tanah salin

lsolasi dan

u u
tanah salin .

Gambar 1. Kerangka Pemikiran: Potensi cendawan mikoriza arbuskula asal tanah salin

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Salinitas Tanah
Salinitas tanah akan menjadi rnasalah jika konsentrasi natrium klorida (NaCI),
natrium karbonat (NaCO,),

natrium sulfat (Na2S0,) atau garam-garam dari

magnesium (Mg) ada dalam jumlah yang bedebih (Poljakoff-Mayber dan Gale,
1975).

Banyak faktor yang dapaf menyebabkan tingginya tingkat salinitas pada

suatu areal. Terjadinya evaporasi dalam keadaan murni biasanya meninggalkan
garamgaram dan substansi lainnya.

Dengan hilangnya air dari tanah akibat

evapotranspirasi, kandungan garam-garam yang tertinggal dalam lawtan tanah
dapat mencapai 4-10 kali lebih tinggi pada tanah-tanah beririgasi (Poljakoff-Mayber
dan Gale, 1975).

Jenis bahan induk pemkntuk tanah juga akan menentukan tingkat salinitas

tanah.

Beberapa jenis tanah secara alami mempunyai kandungan garam yang

sangat tinggi.

Tanah-tanah ini umumnya berasal dari bahan induk salin, dan

beberapa juga mempunyai deposit garam alami seperti yang terdapat di desa
Labuie, Aceh Besar (Kompas, 26 September 2001).
Selain itu beberapa lokasi memperoleh garam dalam jumlah yang cukup
tinggi dari limpasan air laut sehingga menjadi salin atau
salinitas tanah akan menjadi tinggi.

secara alami tingkat

Kondisi ini dapat ditemukan pada daerah-

daerah pantai, seperti hutan pantai.

Keberadaan garamgaram dalam jumlah yang berlebih ini juga menirnbulkan

masalah dalam ha1 pengendaliannya. Menurut Poljakoff-Mayber dan Gale (1975)

ada tiga cara yang umumnya tejadi dalam tanaman untuk mengurangi kandungan
garam dalam jaringannya.

Pertama, mengeluarkan langsung garamgaram dari

akarnya seperti yang tejadi pada jenis-jenis mangrove.

Kedua, dengan

mengembangkan jaringan penyimpan air untuk mengurangi tekanan osmotik yang
tinggi.

Ketiga, dengan cara menggugurkan organ-organ tanaman yang banyak

mengandung garam.
Membandingkan hasl-hasil penelitian salinitas tanah cukup rumit disebabkan
adanya perbedaan dalam metode pengukuran salinitas tanah.

Secara umum,

pengukuran salinitas dilakukan dengan mengekstrak semua garam terlarut dalam
larutan tanah dan salinitas dinyatakan sebagai konsentrasi ion spesifik atau total
garam terlarut dalam tanah ken'ng (Bernstein 1981). Narnun, salinitas . tanah tidak
hanya tergantung pada konsentrasi garam dalam tanah kering tapi juga pada

volume air dalam tanah.

Tanah halus memiliki sampai lima kali kapasitas

memegang air dibandingkan tanah kasar; sehingga pada kondisi tertentu larutan
tanah kasar akan mengandung sampai lima kali konsentrasi garam yang terkandunq
dalarn tanah halus (Bernstein, 1981).

Tanah disebut bergaram jika nilai salinitas lebih dari 4 mrnholcm. Secara
altematif, jika tanah dinyatakan dalam konteks konsentrasi garam, tanah Wrgaram
adalah tanah yang mengandung gararn lebih dari 0,1% (1000 ppm) (Tan, 7991).
Garam terlarut mungkin secara langsung mernpengaruhi organisme tanah

rnelalui pengaruh toksisitas spesifik dari ion-ion dalam konsentrasi yang tinggi
seperti sodium atau klorida, atau oleh efek non spesifik a t tsrlarut terhadap potensil

osmotik atau potensial air. Semakin rendah (lebih negatif) potensial air tanah, maka
semakin sulit organisme untuk menyerap air dad dalam tanah (Poljakoff-Marber dan

Gale, 1975).

B. Cendawan Mikoriza Arbuskula
Cendawan mikoriza arbuskula adalah salah satu tipe cendawan mikoriza dan
termasuk ke dalam golongan endomikoriza.

Cendawan mikoriza arbuskula

termasuk ke dalam kelas Zygomycetes, dengan ordo Glomales yang mempunyai 2
sub-ordo, yaitu Gigasporineae dan Glornineae.

Gigasporineae dengan famili

Gigasporaceae mempunyai 2 genus, yaitu Gigaspora dan Scutellospora.
Glomaceae mempunyai 4 famili, yaitu famili Glomaceae dengan genus Glomus,

famili

Acaulosporaceae

dengan

genus

Acaulospora

dan

Entrophospora,

Paraglomaceae dengan genus Paraglomus, dan Archaeosporaceae dengan genus

Archaeospora seperti tampak pada Gambar 3 (INVAM, 2003).
Scannerini dan Bonfante-Fosolo (1983) menggambarkan karakteristik CMA
sebagai berikut, yaitu (a) sistem perakaran tanaman yang terinfeksi CMA tidak
membesar, (b) cendawannya membentuk struktur lapisan hifa tipis dan tidak merata
pada permukaan akar, (c) hifa masuk ke dalam individu sel jaringan korteks, dan (d)

pada umumnya ditemukan struktur percabangan hifa yang disebut arbuskula
(arbuscules) dan struktur khusus berbentuk oval yang disebut vesikula (vesicles).

Anatomi sederhana dari CMA dapat dilihat pada Gambar 4.
Arbuskula adalah struktur yang paling berarti dalam kompleks CMA yang
berfungsi sebagai tempat pertukaran rnetabolit antara cendawan dan tanaman.
Adanya arbuskula sangat penting untuk rnengidentifikasi bahwa telah terjadi infeksi
pada akar tanaman (Scannerini dan Bonfante-Fosolo, 1983 ; Bonfante-Fosolo,
1984). Selanjutnya dikatakan bahwa selunrh endofit dan yang termasuk genus
Gigaspora, Scutellospora, Glomus, dan Acaulospora mampu membentuk arbuskula.

GLOMACEAE
AUULOSPORACEAE
Cbmns
E&phospom
Acrrvlospom

GIGASPOWCEAE
Gigworn

-

GIGASPOR1HE&

GL O M I N U

-

GLOMMES
Gambar 3.

Phylogeny perkembangan dan taksonomi ordo Glomales
(sumber: INVAM, 2003).

Vesikula menurut Abbott dan Robson (1982), berbentuk globose dan berasal
dari menggelembungnya hifa internal dari CMA. Vesikula ditemukan baik di dalam
maupun di luar lapisan kortek parenkhirn dan tidak semua CMA membentuk vesikula

dalam akar inangnya, seperti Gigaspora dan Scutellospora vesikulanya ekstraradikal dan tidak teratur. Banyak pendapat tentang fungsi dari vesikuta ini, yaitu
sebagai

organ

reproduktif atau

organ

yang berfungsi sebagai tempat

penyimpanan makanan yang kemudian diangkut ke dalam sel dimana pencernaan

oleh sel berlangsung. Pendapat lain menganggap vesikula sebagai organ istirahat,
karena jumlahnya akan meningkat pada saat tanaman tua atau saat tanaman akan
mati (Abbott dan Robson, 1982 ; Bonfante-Fosolo, 1984).

Gambar 4. Penampang longitudinal akar yang terinfeksi CMA
(Sumber: Brundrett et al. 1994)

Hetrick (1984) menyimpulkan bahwa kolonisasi akar dan produksi spora
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: spesies cendawan dan lingkungan. .Faktor
spesies cendawan dibedakan menjadi faktor kerapatan inokulum dan persaingan
antar spesies cendawan.

Peningkatan kadar inokulum dapat rneningkatkan

persentase kolonisasi akar sampai titik optimum tertentu (Daft dan Nicolson, 1979;
Hayman, 1970). Akan tetapi tidak ada hubungan yang erat antara kolonisasi dengan

produksi spora, sehingga tidak dapat dijadikan ukuran. Sedang kan pengaruh dari

persaingan antar spesies CMA sulit ditentukan karena hanya diukur dalam ha1
perbedaan pertumbuhan tanaman inangnya saja.
Ada kecenderungan bahwa kberapa genus atau bahkan spesies CMA

hanya membentuk sporokarp pada waktu tertentu. Faktor yang mempengaruhi ha1
ini menurut Kabir et al. (1998) adalah perubahan musiman, pengaruh pemupukan,
pengaruh pengotahan tanah dan sebagainya. Selanjutnya dikatakan bahwa jumlah
spora yang dihasilkan setiap tahunnya mungkin tidak sama dan ada kecendenrngan
satu atau beberapa genus CMA sangat terbatas penyebarannya. Oleh karena itu

sporokarp atau spora yang terkumpul dari wilayah tertentu mungkin tidak mewakili
seluruh spofa yang ada dari jenis CMA yang ada.
Keanekaragaman CMA tidak mengikuti-pola keanekaragaman tanaman, dan
tipe CMA mungkin mengatur keanekaragaman spesies tanaman (Allen et at. 1995;
Merryweather dan Fitter, 1988). Sebagai contoh, pada hutan konifer terdapat lebih

dari 100 spesies ektomikoriza dimana dominansi spesies tanaman ber-ektomikoriza
sedikit, akan tetapi terdapat kurang dari 25 spesies CMA pada hutan tropical

deciduous dengan 100 spesies tanaman.
Adanya simbiosis mutualistik antara CMA dengan perakaran tanaman dapat
membantu pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, terutama pada tanah-tanah
majinal.

Hal ini disebabkan CMA efektii dalam meningkatkan penyerapan unsur

hara makro dan mikro (Allsopp dan Stock, 1993; Katagiannidis et al. 1995),
meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan .patogen (Wani et a/. 1991),
meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan (Davies et a/. 1992; Munyanziza et a/.
1997; Kling dan Jakobsen, 1998), dan dapat membantu pertumbuhan tanaman pada

daerah yang tercemar logam berat (Munyanziza et a/. 1997).

Ada tiga alasan mengapa CMA dapat meningkatkan penyerapan hara datam
tanah (Abbott dan Robson, 19821, yaitu karena CMA dapat: (1) mengurangi jarak

bagi hara untuk memasuki akar tanarnan, (2) meningkatkan rata-rata penyerapan
hara dan konsentrasi hara pada permukaan penyerapan dan (3) merubah secara
kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar
tanaman.

Menurut Karagiannidis ef al. (1995), peningkatan penyerapan hara

terutama disebabkan oleh berkurangnya jarak penyerapan dari hara yang masuk
dengan cara difusi ke dalam akar tanaman, dan ini lebih banyak ferjadi pada
tanaman yang mempunyai akar yang kasar, tersebar tipis dan sedikit rambut

akarnya.
Menurut Abbott

dan Robson (19841, akar yang bermikoriza dapat

meningkatkan kapasitas pengambilan hara karena waktu hidup akar yang
dikolonisasi diperpanjang dan derajad percabangan serta diameter akar diperbesar,
sehingga luas permukaan absorpsi akar diperluas. Hal ini didukung oleh lmas et al.

(1989) yang menyatakan, bahwa CMA dapat meningkatkan produksi hormon
pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan gibberelin bagi tanaman inangnya. Auksin
berfungsi

memperlambat proses penuaan akar

sehingga fungsi akar sebagai

penyerap unsur hara dan air akan bertahan lebih lama.

Tanaman yang bermikoriza lebih tahan kekeringan daripada yang tidak
bermikoriza dan akan cepat kernbali pulih setelah periode kekeringan berakhir. Hal
ini dimungkinkan karena hifa CMA masih mampu menyerap air pada pori-pori tanah
pada saat akar tanaman sudah tidak mampu. Selain itu penyebaran hifa di dalam
tanah sangat luas sehingga hifa dapat mengambil air relatif lebih banyak
(Munyanziza et al. 1997).

Akan tetapi adakalanya inokulasi CMA dapat mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan tanaman yang dikolonisasi. Menurut Pang dan ,Paul (1980), kompetisi
terhadap fotosintat mungkin merupakan keterangan mengapa terjadi hambatan
terhadap pertumbuhan CMA dan pertumbuhan tanaman. Biomass CMA besarnya

lebih dari 17% dari berat kering akar, sehingga akar bermikoriza memerlukan energi

lebih banyak dibandingkan dengan akar yang tidak bermikoriza.

Akan tetapi

peningkatan kebutuhan energi dari tanaman bermikoriza sebenarnya telah
dicukupkan dari hasil fotosintesis yang meningkat dari tanaman bermikoriza.
Spesies dan strain CMA mempunyai perbedaan dalam kemampuannya

meningkatkan penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman (Daniels dan Menge,
1981). Menurut Abbott dan Robson (1984), setiap spesies CMA mempunyai innate

effectiveness atau kernempanan spesifik.

Keefektivan (effectivsness) diartikan

sebagai kemampuan CMA dalam meningkatkan perturnbuhan tanaman pada kondisi
tanah yang kurang rnenguntungkan.

Setidaknya ada empat faMor yang

berhubungan dengan keefektivan dari suatu spesies CMA, yaitu: (a) kemampuan
CMA untuk membentuk hifa yang ekstensif dan penyebaran hifa yang baik di dalam

tanah, (b) kemampuan CMA untuk membentuk infeksi yang ekstensif pada seluruh
sistem perakaran yang bekernbang dari suatu tanaman, (c) kemampuan dari hifa

CMA untuk menyerap fosfor dad larutan tanah, dan (d) umur dari mekanisme
transpor sepanjang hifa ke dalam akar tanaman.
Setiap jenis

C f W mungkin

bekda-beda

dalam

kemampuannya

membentuk hifa di dalam tanah, baik distribusi maupun kuantitas hifa tersebut. Di
samping itu sudah dipastikan bahwa perkembangan infeksi CMA berhubungan
dengan kemampuan CMA untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Namun

belum diketahui secara pasti apakah pertumbuhan hifa eksternal adalah bersifat
khusus, artinya tidak tergantung pada perkembangan infeksi di dalam akar.

(Gupta dan Krishnamurthy, 1996) Lactuca sativa (Ruiz-Lozano et al. 19961, dan

Allium cepa L. (Cantrell dan Linderman, 2001) menunjukkan hubungan yang negatif
antara persentase kolonisasi dan konsentrasi sodium, konduktivitas elektrik dan

potensial osmotik tanah lapang. Hubungan ini mengindikasikan bahwa baik jumlah
propagul dan infektivitas isolat cendawan menurun seiring dengan peningkatan
kandungan garam.
Survei yang dilakukan di tanah gurun alkali yang memiliki salinitas antara

1.26 dan 13.0 mmholcm ditemukan bahwa terdapat kolonisasi CMA pada akar

rumput yang toteran pada kondisi bergaram seperti Festuca idahmnsis dan
Distichlis stricta. Jumlah spora CMA berbanding terbalik dengan konsentrasi sodium
dalam tanah tapi tidak dipengaruhi oleh parameter pengukuran yang lain seperti pH,
konduktifitas dan konsentrasi kation lain, seperti Ca, Mg dan K (Siguenza et al.
1996).

Seberapa peneliti melaporkan hasil identifikasi jenis CMA yang ditemukan di

lokasi yang mereka survei. Menurut Allen dan Cunningham (1983), Pond et al.

(1984) dan Siguenza et ai. (1996), jenis CMA yang kebanyakan terdapat di tanah
bergaram adalah Glomus spp.

C.1. Pengaruh Salinitas Tanah terhadap Cendawan Mikoriza Arbuskula

Juniper dan Abbott

(1993) menyatakan, bahwa salinitas tanah mungkin

mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas CMA melalui beberapa mekanisme, baik
secara terpisah maupun interaidif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Cendawan mikoriza arbuskula adalah simbion obligat, sehingga sernua faktor
lingkungan yang mempengaruhi fisiologi tanaman inang juga akan mernpengaruhi

simbiosis cendawan.

'tl
spoca dan ~ropagul

GARAM-

Prdulrsi spora dan
~rwracrulLamm

Sifat Lika h

Wrn tanah

h

I W awalbmadap

abr

I

Gambar 5. Skema aktivitas CMA yang mungkin dipengaruhi oleh salinitas tanah
(Sumber: Juniper dan Abbott, 1993)
Di samping itu, karena untuk mengembangkan CMA dalam kultur murni

masih merupakan suatu pennasalahan, maka sangat sulit untuk membedakan
antara pengaruh lingkungan'secara langsung dan pengaruh melalui tanam terhadap
biologi CMA. Satu-satunya fase dalam siklus hidup CMA yang dapat diamati dalam
isolasi

dari

interaksi

kompleks

dengan

pertumbuhan

tanaman

adalah

perkecarnbahan spora, karena terlepas dari keberadaan tanaman itu sendiri (Daniels
dan Trappe, 1980).

C.2. Pengaruh Safinitas Tanah terhadap Perkecambahan Spora

Perkecambahan spora CMA dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu hidrasi,
aktivasi, pertumbuhan saluran kecambah, dan pertumbuhan hifa (Tommerup, 1984).

Pada fase pertama, air rnasuk ke dalam spora sehingga komponen dalam spora

menjadi tehidrasi. Setelah hidrasi sebagian atau seluruh organel dan makromolekul
menjadi utuh, asam ribonukleat dan enzim menjadi aktif sehingga terjadi
peningkatan aktivitas rnetabolisme.

Dua sampai 10 hari setelah hidrasi spora

menjadi aMi dan saluran kecambah mulai tumbuh yang kemudian diikuti dengan
pertumbuhan hifa (Tommerup, 1984). Penundaan atau penghambatan semua atau
salah satu fase perkecambahan spora akibat tingginya konsentrasi garam terlarut
dalam larutan tanah akan menunda atau mencegah pertumbuhan hifa sehingga
pada akhirnya akan menunda atau mencegah pula kolonisasi akar ta~amandan
pernbentukan simbiosis (Juniper dan Abbott, 1993).

lnforrnasi tentang pengaruh salinitas terhadap perkecambahan spora CMA
masih sangat terbatas. Akan tetapi, dari data yang tersedia rnenunjukkan terjadi

penghambatan perkecambahan spora seiring dengan peningkatan konsentrasi NaCl
(Hirrel, 1981; Juniper dan Abbott, 1993).
Belum dapat ditentukan secara pasti apakah pengaruh NaCl terhadap
perkecambahan spora CMA disebabkan oleh pengaruh osmotik atau toksisitas ion
tertentu. Hirrel (1981) telah melakukan percobaan untuk mengidentifikasi pengaruh
ion spesifik

Na dan CI dari NaCt, KCi, CaCI,,

NaN03, dan Na2S04

terhadap

perkecambahan spora Gigaspora margada. Akan tetapi hasilnya masih kurang
jelas. Setelah 12 hari spora mulai berkecambah dan membentuk banyak hifa dan

sekelompok auxiliary cells. Perkecambahan dan pembentukan auxiliary cells tidak
dipengaruhi oleh konsentrasi sodium atau klorida di bawah 0.086 rnol/l(4988 ppm).
Jika konsentrasi larutan meningkat maka persentase perkecambahan dan laju
perkecambahan akan menurun, tenrtama pada larutan yang mengandung klorida

dan auxiliary cells tidak terbentuk.
Jika perkecambahan dihambat oleh penurunan kemampuan spora untuk
menyerap air dalam larutan dengan potensial osmotik rendah, maka spora mungkin

dapat dicegah untuk berkecambah dalam larutan dengan konsentrasi di atas level
kritis. Pada kisaran k o n ~ n t r a srnarjinat
i
di bawah level kritis, spora akan mengalami

hidrasi dengan lambat, dan perkecamb