Faktor Emisi Debu Jatuh Dan Total Suspended Particulate Dari Tanah Andosol Untuk Memprakirakan Penurunan Kualitas Udara Ambien

FAKTOR EMISI DEBU JATUH DAN TOTAL SUSPENDED
PARTICULATE DARI TANAH ANDOSOL UNTUK
MEMPRAKIRAKAN PENURUNAN KUALITAS UDARA
AMBIEN

GAMAL HAMIRESA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Faktor Emisi Debu Jatuh
dan Total Suspended Particulate dari Tanah Andosol untuk Memprakirakan
Penurunan Kualitas Udara Ambien” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Gamal Hamiresa
NIM P052140691

RINGKASAN
GAMAL HAMIRESA. Faktor Emisi Debu Jatuh dan Total Suspended Particulate
dari Tanah Andosol untuk Memprakirakan Penurunan Kualitas Udara Ambien.
Dibimbing oleh ARIEF SABDO YUWONO dan SYAIFUL ANWAR.
Kualitas udara ambien adalah faktor yang penting pada kehidupan manusia
dan makhluk hidup lainnya, namun dengan meningkatnya pembangunan fisik kota,
pusat-pusat kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara ambien telah mengalami
perubahan yang semakin menurun. Debu jatuh (DF) dan partikel tersuspensi total
(TSP) sering digunakan untuk mengkarakterisasi kualitas udara di dekat sumber
debu. Kedua parameter penting ini berkontribusi terhadap penurunan kualitas
udara sehingga perlu diukur sesuai dengan peraturan pemerintah Republik
Indonesia (PP41 / 1999). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengukur
konsentrasi dari parameter DF dan TSP, (2) mengetahui faktor-faktor emisi yang
dipengaruhi oleh kecepatan angin, kadar air tanah, persentase tutupan lahan, dan

(3) menganalisis distribusi frekuensi ukuran DF.
Penelitian dilakukan dari bulan September 2015 sampai Februari 2016 pada
skala laboratorium terowongan uji, di mana permukaan tanah ditutupi oleh tanah
Andosol yang berasal dari .Kabupaten Tanggamus di Provinsi Lampung. Metode
gravimetri menggunakan Dustfall
Canister digunakan untuk mengukur
konsentrasi DF, sesuai dengan SNI 13-4703-1998. Pengukuran TSP dilakukan
sesuai dengan SNI 19-7119.3-2005 dengan menggunakan High Volume Air
Sampler. Analisis distribusi ukuran dustfall itu dilakukan dengan pengamatan
langsung menggunakan mikroskop digital.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa konsentrasi DF sekitar 5 ton/
km2.bulan. Rata-rata TSP adalah sekitar 116 mg / Nm3. Kedua konsentrasi DF dan
TSP yang dibangkitkan, masih lebih rendah dari ambang batas baku mutu PP
41/1999, dan berkorelasi positif dengan kecepatan angin, berkorelasi negatif
dengan kadar air tanah dan persentase tutupan lahan. emisi persamaan Faktor
emisi yang dipengaruhi oleh kecepatan angin, kadar air tanah dan persentase
tutupan lahan telah dikembangkan dan telah siap implementasi di lapangan untuk
memprakirakan penurunan kualitas udara ambien, akibat bangkitan DF dan TSP
pada tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus. Distribusi ukuran
DF didominasi oleh fraksi 10-100 µm.

Kata kunci: Andosol, bangkitan debu jatuh, distribusi ukuran debu jatuh, faktor
emisi, partikel tersuspensi total (TSP), Tanggamus.

SUMMARY
GAMAL HAMIRESA. Emission Factor of Dustfall and Total Suspended
Particulate from Andisol Soil for Ambient Air Quality Change Assessment.
Supervised by ARIEF SABDO YUWONO and SYAIFUL ANWAR.
Ambient air quality is an important factor in the lives of human and other
livings, but with increasing physical development of cities, urban centres and
industrial centres , the concentration of pollutants in the air increased that
deteriorated the air quality. Dustfall (DF) and Total Suspended Particulate (TSP)
are often used to characterize air quality near the source of the dust. These two
important parameters that contribute to air quality deterioration are required to be
measured in accordance with government regulation of the Republic of Indonesia
(PP41/1999). The purposes of the study were to (1) measure the concentration of
both DF and TSP, (2) determine the emission factors that were affected by wind
speed, soil moisture content, land cover percentage, and (3) analyse the frequency
distribution of DF size.
The study was conducted in September 2015 until February 2016 in a
laboratory scale tunnel where the soil surface was covered by Andisol soil

originated from Tanggamus Municipality in Lampung Province. The gravimetric
method using dustfall canister was used to measure the concentration of DF
according to SNI 13-4703-1998. Measurement of TSP was carried out according
to SNI 19-7119.3-2005 by using High Volume Air Sampler. Analysis of the size
distribution of the dustfall was carried out by direct observation using a digital
microscope.
The research results showed that concentration of DF about 5 tons/
km2.month. Average TSP was about 116 µg/ Nm3. Both of concentration of DF
and TSP generation was lower than the quality standard limit of PP 41/1999, and
was positively correlated with wind speed, negatively correlated with soil
moisture content and the percentage of land cover. The developed emission factor
equations as affected by wind speed, soil moisture content and land cover
percentage are at this point ready for field implementation to predict the ambient
air quality change due to the DF and TSP generation by Andisol from Tanggamus.
Dustfall size was dominated by fraction of 10-100 µm.
Keywords: Andisol, dustfall generation, dustfall size distribution, emission
factor, Tanggamus, total suspended particulate (TSP)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

FAKTOR EMISI DEBU JATUH DAN TOTAL SUSPENDED
PARTICULATE DARI TANAH ANDOSOL UNTUK
MEMPRAKIRAKAN PENURUNAN KUALITAS UDARA

GAMAL HAMIRESA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Erizal, MAgr

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Faktor Emisi Debu Jatuh
dan Total Suspended Particulate dari Tanah Andosol untuk Memprakirakan
Penurunan Kualitas Udara Ambien” dapat diselesaikan. Penelitian dilaksanakan
sejak bulan September 2015 sampai bulan Februari 2016.
Terima kasih disampaikan kepada Bapak Dr Ir Arief Sabdo Yuwono, MSc
dan Bapak Dr Ir Syaiful Anwar, MSc selaku komisi pembimbing yang telah
banyak memberi arahan dan nasehat dalam penulisan tesis ini. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada Dr Ir Erizal, MAgr selaku penguji luar komisi dan
Dr Ir Yanuar Jarwadi Purwanto, MS selaku penguji wakil program studi saat
pelaksanaan ujian sidang atas segala arahan dan saran perbaikan yang diberikan
kepada penulis.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri (Ety Herwati), anakanak dan menantu (Hegia, Sugeng, Reswari, Syahwira), cucu-cucu (Abang dan
Au), serta seluruh keluarga besar, atas segala doa, kasih sayangnya, serta
kesabarannya.
Karya ilmiah ini jauh dari sempurna, tetapi diharapkan karya ilmiah ini tetap
memberikan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi akademisi
khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Bogor, Agustus 2016
Gamal Hamiresa

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian


xii
xii
xii
1
1
2
3
3
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pencemaran Udara
Debu Jatuh (Dustfall) dan TSP (Total Suspended Particulate)
Emisi dan faktor emisi
Karakteristik Tanah Andosol

4
4
6

8
10

3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Kerangka Penelitian
Penyiapan Bahan Uji, Pengendalian Kadar Air Tanah, Kecepatan
Angin dan Media Tutupan Lahan
Pengukuran Debu Jatuh dan TSP
Penyusunan Faktor Emisi
Pengukuran Distribusi Ukuran Partikel

12
12
12
13
13
14
15


4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Debu Jatuh dan Korelasinya dengan Kecepatan Angin, Kadar Air
Tanah serta Persentase Tutupan Lahan
TSP dan Korelasinya dengan Kecepatan Angin, Kadar Air Tanah
serta Persentase Tutupan Lahan
Pendugaan Bangkitan Debu Jatuh dan TSP
Analisis Distribusi Ukuran Partikel Debu Jatuh

15

17
18
20

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

20
20

21

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

32

15

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.

4.

Hasil pengukuran debu jatuh (DF) pada 3 tingkat kecepatan angin
(W) dan kadar air tanah (S)
Hasil pengukuran TSP pada 3 tingkat kecepatan angin (W) dan kadar
air tanah (S).
Nilai koefisien determinasi (R2) dalam hubungan antara garis
kecenderungan dengan bangkitan DF dan TSP pada masing-masing
kecepatan angin (W), kadar air tanah (S) dan tutupan lahan (L)
Nilai P, Korelasi Pearson (R), koefisien determinasi (R2), dan
kontribusi relatif (C) dari bangkitan DF dan TSP terhadap kecepatan
angin (W), kadar air tanah (S) dan tutupan Lahan (L)

16
17
19
19

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.

Bagan alir kerangka penelitian
Skema percobaan pengukuran debu jatuh dan TSP dalam tunnel.
Hasil bangkitan DF pada tiga variasi (a) kecepatan angin; (b) kadar
air; (c) tutupan lahan
Hasil bangkitan TSP pada tiga variasi (a) kecepatan angin; (b)
kadar air; (c) tutupan lahan
Distribusi ukuran partikel debu jatuh tanah Andosol di 3 titik
canister

12
14
16
18
20

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.

8.

Peta jenis tanah di pulau Sumatra (Sumber : FAO Unesco Soil Map
of South Easth Asia, 1964)
Peta Jenis Tanah Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung
(Sumber : Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-IPB)
Gambar kondisi lokasi pengambilan contoh tanah Andosol di
Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung
Gambar alat pengoperasian Terowongan Uji (Tunnel)
Gambar alat, bahan dan perangkat lunak pengukuran DF, TSP dan
distribusi ukuran partikel
Data bangkitan DF pada variasi tutupan lahan berdasarkan
pengukuran sebenarnya dan dibandingkan dengan perhitungan
menggunakan Faktor Emisi.
Data bangkitan TSP pada variasi tutupan lahan berdasarkan
pengukuran sebenarnya dan dibandingkan dengan perhitungan
menggunakan Faktor Emisi.
Contoh gambar hasil pengamatan distribusi ukuran partikel DF
dibawah miroskop

28
29
29
30
30
31
31
31

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kualitas udara ambien adalah faktor yang penting pada kehidupan manusia
dan makhluk hidup lainnya, namun dengan meningkatnya pembangunan fisik
kota, pusat-pusat kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara ambien telah
mengalami perubahan yang semakin menurun (Almuhanna 2015; Lu et al. 2015;
Zhao & Shi 2012). Menurut PP 41 Tahun 1999, pencemaran udara adalah
masuknya atau dimasukkannya zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam
udara ambien oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambien turun sampai ke
tingkat yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Zhao
& Shi (2012) menyatakan bahwa semakin meningkatnya jumlah kendaraan
bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak) menyebabkan udara di
sekitar (udara ambien) menjadi makin tercemar oleh gas-gas buangan hasil
pembakaran.
Pada kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya pengelolaan
kualitas udara ambien adalah sangat penting untuk menentukan konsentrasi zat
pencemar di dalam udara ambien (Zhang et al. 2014; Wang et al. 2015). Apabila
semakin banyak kandungan zat pencemar dalam udara ambien maka akan
mengindikasikan bahwa kualitas udara ambien semakin menurun. Demikian
sebaliknya semakin sedikitnya zat pencemar tersebut di dalam udara ambien,
menandakan bahwa kualitas udara ambien semakin meningkat. Kesimpulan ini
tentunya didapat dengan melakukan pengukuran-pengukuran terhadap polutan
udara, serta menurut Chen & Chu (2015) melakukan suatu prakiraan dampak
dengan menggunakan model matematika.
Debu jatuh (dustfall, DF) dan partikel tersuspensi total (total suspended
particulate, TSP) merupakan dua parameter penting dalam kualitas udara ambien
(udara luar ruang/outdoor). Keberadaan dan efek kedua parameter yang
bersangkut paut dengan “debu” ini terhadap kualitas udara ambien pada suatu
lokasi identik dengan kondisi kualitas udara ambien di lokasi tersebut (Andrić et
al. 2013; Hahnenberger & Nicoll 2014). Efeknya bagi kesehatan manusia antara
lain adalah penyakit batuk, sakit tenggorokan, bronkhitis akut dan kronik, asma,
pneumonia, kanker paru dan bahkan kematian. Debu jatuh dan TSP merupakan
parameter- parameter penyebab infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) (Yuwono
et al. 2014; Zhang et al. 2010; Lu et al. 2015; Almuhanna 2015). Penelitian
Winckelmans et al. (2015) menunjukkan bahwa pada tingkat di luar batas standar
kualitas udara ambien, paparan partikulat dapat mengurangi berat lahir pralahir
dan polusi udara dapat juga meningkatkan risiko bayi yang kecil untuk usia
kehamilan, tidak hanya di kalangan bayi yang lahir cukup bulan, tetapi lebih luas
lagi di kalangan bayi yang lahir antara 32 dan 36 minggu kehamilan.
Dinamika atmosfer adalah faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam
masalah pencemaran udara (Soedomo 2001; Yunfei et al. 2010; Andrić et al.
2013; Hahnenberger & Nicoll 2014). Sedangkan menurut McTainsh & Strong
(2007), dengan adanya pola pergerakan angin, debu dapat berdampak secara lokal
maupun global terhadap ekosistem. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh kadar air
tanah (Kellogg & Griffin 2006; Laurent et al. 2006; Feng et al. 2008). Demikian

2
juga Pardyjak et al. (2008) pada penelitiannya juga mengungkapkan bahwa difusi
atmosfir kecepatan angin dan turbulensi sangat mempengaruhi transportasi dan
deposisi debu udara. Mahowald et al. (2014) menyatakan bahwa tingginya
bangkitan debu ke udara ambien dipengaruhi oleh empat hal yaitu (1) angin yang
kuat, (2) tanah yang kering, (3) vegetasi yang jarang atau berjarak jauh satu
dengan lainnya, dan (4) saltating particles atau partikel tanah yang terdistribusi
oleh angin.
Untuk memprakirakan kualitas udara ambien khususnya kandungan DF dan
TSP, apakah menurun ataupun meningkat, diperlukan data bangkitan (generation)
serta faktor emisi DF dan TSP dari permukaan tanah yang terkoreksi dengan
kondisi lingkungan dan iklim setempat. Ketiadaan mengenai data bangkitan dan
faktor emisi ini mengakibatkan prakiraan dan verifikasi penilaian terhadap
parameter kualitas udara ambien khususnya untuk bangkitan DF dan TSP tidak
mempunyai acuan yang sesuai dengan kondisi khas Indonesia.(Yuwono et al.
2014)
Rochimawati et al. (2014) menyatakan bahwa saat ini untuk sementara
waktu, ketika menaksir bangkitan DF dan TSP dalam udara ambien di Indonesia
digunakan sebuah persamaan empiris dari Niemeier yang berasal dari California
(USA) yang tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia. Ketidaksesuaian ini antara
lain dipandang dari aspek jenis tanah, kondisi iklim dan cuaca serta aktifitas
manusia di atas lahan yang menjadi penyebab timbulnya DF dan TSP tersebut.
Prakiraan bangkitan DF dan TSP dari sepuluh jenis tanah (Aluvial/ Entisol/
Inceptisol, Latosol/ Oxisol, Ultisol/ Podsolik Merah Kuning, Andosol/ Andisol
dan Grumusol/ Vertisol) di Pulau Jawa telah diteliti oleh Amaliah et al. (2014),
Rochimawati et al. (2014), dan Yuwono et al. (2014). Bangkitan dan faktor emisi
DF dan TSP untuk permukaan lahan dengan contoh tanah dari pulau Sumatra
sedang diteliti saat ini.
Atas dasar tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data
bangkitan dan faktor emisi untuk parameter DF dan TSP di atas permukaan lahan
dengan jenis tanah Andosol. Lokasi yang dipilih pada penelitian ini adalah di
pulau Sumatra yaitu di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung.

Perumusan Masalah
Yuwono et al. (2014) dan Amaliah et al. (2014) menyatakan bahwa
permasalahan yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan ketika
melaksanakan pengelolaan kualitas udara ambien di Indonesia dewasa ini adalah
saat menentukan konsentrasi DF dan TSP dalam udara ambien di suatu lokasi,
sebagai akibat adanya berbagai macam kegiatan manusia, seperti pertambangan,
transportasi, pembukaan lahan, pembangunan kawasan perumahan, konversi
lahan, pengolahan tanah, dan penggundulan hutan. Permasalahan ini timbul
karena ketiadaan data mengenai besarnya bangkitan DF dan TSP yang berasal
dari permukaan lahan yang ada di Indonesia serta sebagai akibat dari bermacammacam kegiatan manusia.
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data bangkitan dan faktor emisi
untuk parameter DF dan TSP di atas permukaan tanah dengan jenis Andosol
berasal dari pulau Sumatra yaitu dari Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung.

3
Pengendalian bangkitan DF dan TSP dapat dilakukan dengan efektif dan efisien
jika telah diketahui besarnya pengaruh faktor-faktor kecepatan angin, kadar air
tanah (Fecan et al. 1999; Wang et al. 2015) dan persentase tutupan lahan terhadap
bangkitannya. Carvalho & Freitas (2011) menyatakan bahwa strategi pengelolaan
kualitas udara harus mempertimbangkan kontribusi relatif dari berbagai sumber
polusi udara, yaitu sumber-sumber alam & antropogenik.
Pertanyaan penelitian yang muncul dari perumusan masalah di atas
diantaranya adalah :
1.
Bagaimana korelasi antara kecepatan angin, kadar air tanah, serta % tutupan
lahan terhadap bangkitan DF dan TSP pada tanah Andosol yang berasal dari
Kabupaten Tanggamus, sesuai dengan Mahowald et al. (2014) bahwa angin
yang kuat, tanah yang kering, vegetasi yang jarang, akan mempengaruhi
jumlah debu yang terdistribusi di udara ambien
2.
Bagaimana faktor emisi DF dan TSP dapat digunakan untuk pengelolaan
kualitas udara. Model faktor emisi yang dimaksud adalah berdasarkan
kecepatan angin, kadar air air tanah, dan persentase tutupan lahan, untuk
tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus
3.
Bagaimana karakteristik fisik DF yang dibangkitkan, dengan cakupannya
yaitu sejauh mana debu jatuh dapat teremisikan pada ukuran yang
membahayakan dan bagaimana distribusi ukuran partikel DF di udara
ambien, bersumber dari tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten
Tanggamus

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1.
Mengukur bangkitan DF dan TSP dalam udara ambien pada skala
laboratorium dengan berbagai tingkat kecepatan angin, kadar air tanah dan
persentase tutupan lahan, untuk jenis tanah Andosol yang berasal dari
Kabupaten Tanggamus.
2.
Menyusun faktor emisi bangkitan DF dan TSP berdasarkan kecepatan
angin, kadar air tanah dan persentase tutupan lahan, untuk jenis tanah
Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus.
3.
Menganalisis karakteristik fisik berupa distribusi ukuran partikel DF untuk
jenis tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus.

Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Sebagai acuan untuk pengendalian pencemaran udara dengan cara
mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi bangkitan TSP dan debu
jatuh.
2.
Sebagai dasar untuk menetapkan aturan terhadap suatu kegiatan yang
berpotensi menimbulkan bangkitan debu jatuh dan TSP yang tinggi.
3.
Bahan pendukung untuk penelitian selanjutnya

4

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian adalah :
1.
Penelitian ini menggunakan contoh uji tanah jenis Andosol, yang berasal
dari beberapa wilayah di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung.
2.
Penelitian ini dibatasi pada pengaruh kecepatan angin, kadar air tanah serta
persentase tutupan lahan terhadap bangkitan DF dan TSP.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pencemaran Udara
Pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia
ke dalam lingkungan udara normal, yang sampai di suatu titik konsentrasi dapat
dideteksi oleh manusia (yang dapat dihitung dan diukur) serta dapat memberikan
efek pada manusia, binatang, vegetasi dan material (Sharratt dan Auvermann
2014). Pencemaran udara juga adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang
pada suatu titik konsentrasi akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer
dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya (Lu et al. 2015). Jenis
parameter pencemar udara menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 41 tahun 1999, meliputi Sulfur dioksida (SO2), Karbon monoksida
(CO), Nitrogen dioksida (NO2), Oksidan (O3), Hidrokarbon (HC), PM10 , PM2.5,
TSP, Pb (Timah Hitam), dan debu jatuh.
Narayanachari et al. (2014) mengemukakan bahwa penyebaran pencemaran
di udara akibat suatu sumber emisi secara fisis akan berlangsung selama belum
tercapainya kesetimbangan mekanik. Proses ini dikenal dengan nama proses difusi.
Selanjutnya Hahnenberger & Nicoll (2014) menjelaskan bahwa penyebaran
polutan di udara juga dipengaruhi oleh faktor meteorologi yakni angin dan
kestabilan udara. Angin ini menyebabkan terjadinya proses adveksi yaitu gerakan
massa udara secara horizontal berupa badai debu. Besar badai debu-skala regional
dapat menurunkan visibilitas dan kualitas udara ambien. Sedangkan kestabilan
udara (gradien suhu secara vertikal) yang besar pada udara perkotaan,
mengakibatkan konsentrasi polutan terbawa ke ketinggian dan dengan demikian
konsentrasi berkurang di daerah permukaan kota urban.
Kaitan dengan beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang hubungan
pencemaran udara dengan faktor meteorologi antara lain: Sissakian et al. (2013)
menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya peningkatan debu dan badai debu
regional adalah adanya perubahan drastis pada curah hujan tahunan dan suhu,
selain itu penyebab lainnya seperti kesalahan rancangan awal, kesalahan pada
pengelolaan air, juga lahan pertanian yang ditinggalkan. Kemudian Sissakian et al.
(2013) juga menjelaskan bahwa pada dasarnya badai angin yang membawa pasir
di udara, membentuk awan relatif rendah dekat tanah. Badai pasir khas hanya
mencapai ketinggian hingga 15 m, mengandung partikel pasir dengan ukuran ratarata antara (0.15-0.30) mm, memiliki kecepatan angin melebihi 14 Km/jam dan
berlangsung selama kecepatan angin bertahan. Ketika angin mencapai kecepatan
kritis, pasir mulai menggulung maju sepanjang permukaan tanah. Untuk

5
kecepatan angin lebih tinggi, partikel pasir di pasir badai bergerak dengan
"saltation". Ketika antara satu butir saltating bertabrakan dengan yang lain,
dampaknya dapat mengangkat partikel ke udara. Setelah mencapai maksimal
ketinggian, partikel-partikel ini akan tertarik turun oleh kekuatan gravitasi dan
kecepatan angin horisontal dan seterusnya kemudian proses berulang kembali.
Akpinar et al. (2009) dan Istantinova et al. (2013) menyimpulkan bahwa
kecepatan angin dan kelembaban terbukti berbanding terbalik terhadap
konsentrasi SO2, yaitu semakin tinggi kecepatan angin dan kelembaban maka
semakin rendah konsentrasi SO2 di udara. Sedangkan untuk peubah (variabel)
suhu udara, didapatkan hasil bahwa suhu udara berbanding lurus terhadap
konsentrasi SO2, yaitu semakin tinggi suhu maka konsentrasi SO2 dalam udara
ambien juga semakin tinggi.
Dari penelitiannya Andrić et al. (2013) menyimpulkan bahwa polutan CO
dan NO2 signifikan berkorelasi dengan satu sama lain dan ada hubungan yang
penting antara perubahan parameter meteorologi di lapisan atmosfir. Juga
Arifiyanti et al. (2013) menyimpulkan bahwa dari hasil analisis regresi,
didapatkan bahwa besar konsentrasi CO memiliki hubungan yang signifikan
dengan kelembaban, suhu dan kecepatan angin. Konsentrasi CO memiliki
hubungan yang positif dan cukup kuat dengan kelembaban. Sebaliknya, suhu
memiliki hubungan negatif dan cukup kuat terhadap konsentrasi CO dan
kecepatan angin memiliki hubungan negatif dan kuat terhadap konsentrasi CO.
Al Katheeri et al. (2012) menerangkan bahwa pada variasi musiman,
konsentrasi tertinggi NO2 dan SO2 dicatat selama musim dingin untuk wilyah Uni
Emirat Arab sedangkan kecepatan angin tidak banyak mempengaruhi konsentrasi
polutan gas dan dianggap sebagai konsentrasi pada tingkat latar belakang daerah.
Untuk di Indonesia Limbong et al. (2013) menyimpulkan bahwa hubungan antara
peubah kelembaban udara dengan konsentrasi NO2 adalah sangat kuat dan
korelasi negatif (-) serta hubungan tidak signifikan. Untuk suhu udara dengan
konsentrasi NO2 hubungannya adalah sangat kuat dan korelasi positif (+) dan
signifikan. Arah dan kecepatan angin dengan konsentrasi NO2 hubungan kedua
peubah tersebut cukup, korelasi negatif (-) serta sifat hubungannya signifikan.
Penelitian Yunfei et al. (2010) menyimpulkan bahwa selama rentang waktu
yang panjang (1951-2006) East Asian Monsoon (EAM) saling berhubungan
dengan dust weather frequency (DWF). Pada suatu periode, EAM memiliki
beberapa dampak yang mempengaruhi DWF hal ini terkait dengan suhu udara
permukaan dan curah hujan selama periode tersebut, pada skala interannual
sesuai dengan kondisi daerah sumber pasir-debu. Sebuah East Asian winter
monsoon (EAWM) yang kuat ataupun lemah mungkin dapat maju (mendesak)
terjadinya DWF, dan begitu sebaliknya untuk East Asian summer monsoon
(EASM).
Demikian juga Puc & Bosiacka (2011) menjelaskan bahwa terdapat korelasi
yang kuat antara konsentrasi serbuk sari dan kehadiran polutan udara di atmosfer
seperti ozon, sulfur oksida, nitrogen oksida, dan partikel-partikel di udara dan
terkait secara signifikan dengan efek parameter cuaca.

6
Debu Jatuh (Dustfall) dan TSP (Total Suspended Particulate)
Menurut definisi Micovic et al. (2010), debu jatuh (dustfall) adalah
merupakan partikel kasar padat dan cair, dengan diameter aerodinamis > 10µm,
yang dikumpulkan melalui pengendapan gravitasi dalam wadah mulut terbuka
untuk jangka waktu yang ditetapkan dalam berat per satuan luas waktu. Debu
jatuh juga bisa merujuk pada bentuk aerosol dengan diameter sama atau lebih
besar dari PM10 dan memiliki kemampuan untuk menetap setelah penghentian
sementara di udara (Gorham 2002). Menurut Hai et al. (2007), debu jatuh secara
alamiah dihasilkan oleh tanah kering yang terbawa oleh angin maupun muntahan
letusan gunung berapi. Debu tersebut jatuh akibat pengaruh gravitasi maupun
karena terikat oleh air hujan. Debu jatuh ini dapat berasal dari badai debu (dust
storm) maupun debu biasa (non dust storm). Badai debu (dust storm) adalah angin
kuat yang menyebabkan debu terbang ke udara dan bergerak, sedangkan non dust
storm adalah keadaan dimana debu yang terdapat pada cuaca baik dengan kondisi
angin yang normal.
Amaliah (2014) menerangkan bahwa bangkitan debu jatuh mempunyai
perbedaan yang besar ketika kondisi meteorologi, permukaan tanah dan jenis
tanah berbeda. Berdasarkan penelitian Laurent et al. (2006) , konsentrasi debu
jatuh sangat tergantung pada kecepatan angin, kekasaran permukaan, dan
stabilitas atmosfer. Debu jatuh yang dihasilkan dari permukaan tanah karena
tererosi oleh angin setempat paling rentan terjadi pada daerah kering dan semi
kering dengan kondisi permukaan tanah yang halus dan kering, tanpa vegetasi dan
angin kencang (Fecan et al. 1999 ).
Koren dan Kaufman (2004) menerangkan bahwa pola pergerakan angin,
debu dapat berdampak secara lokal maupun global terhadap ekosistem. Hal ini
sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah setempat. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa tanah berpasir merupakan sumber debu yang dapat
mengganggu kesehatan. Kecepatan angin minimum diperlukan untuk dapat
mengangkat partikel-partikel dari permukaan tanah sehingga menghasilkan debu
jatuh yang bergantung pada ukuran partikelnya. Tanah dengan ukuran partikel
lebih kasar memerlukan kecepatan angin lebih tinggi untuk dapat membawa
partikel-partikel tersebut. Selanjutnya Washington et al. (2003) menjelaskan
karena adanya variasi temporal maka udara ambien pada daerah yang dekat
dengan sumber akan mengandung konsentrasi debu tertinggi daripada daerah
yang berada lebih jauh dari sumbernya.
Debu total suspended particulate (TSP) merupakan partikel dengan
diameter kurang dari 100 µm. Beberapa karakteristik yang dimiliki partikel atau
partikulat antara lain adalah ukuran, distribusi ukuran, bentuk kepadatan,
kelengketan, sifat korosif, reaktivitas dan toksisitas. Dari beberapa karakteristik
tersebut, ukuran partikel dianggap menjadi parameter penting yang perlu
diketahui.(Rochimawati 2014). Dijelaskan juga dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 41 tahun 1999 dan dalam SNI 19-7119.3-2005, bahwa TSP adalah fraksi
padatan dari udara yang dihisap melalui filter menggunakan pompa vakum
dengan laju alir 1.13-1.70 m3/menit sehingga partikel tersuspensi yang berukuran
0.1 µm sampai 100 µm menempel di filter (efisiensi 99.95% untuk partikel
berukuran 0.3 µm). Effisiensi menempelnya partikel berukuran lebih besar dari 20
µm akan berkurang sesuai dengan kenaikkan ukuran partikel, sudut arah angin

7
posisi atap sampler, dan kenaikkan kecepatan. Jumlah partikel yang terakumulasi
pada filter dianalisis secara gravimetri. TSP kemudian dinyatakan sebagai bobot
partikulat yang terkumpul per satuan volume contoh uji yang diambil (µg/Nm3).
Partikulat di atmosfer dapat menyebabkan berubahnya radiasi matahari
yang dapat diserap oleh permukaan bumi (Kaufman et al. 2002). Partikulat juga
dapat mengurangi intensitas radiasi matahari sehingga mempengaruhi proses
fotosintesis dan menghambat pertumbuhan tanaman. Pada beberapa orang yang
sensitif, partikel tersuspensi dapat mengakibatkan penyakit asma dan penyakit
pernapasan lainnya. Selain itu, aerosol partikel tersuspensi dapat bertindak
sebagai inti kondensasi awan dan mempengaruhi produktivitas hujan (Levin et
al. 1996).
Secara alamiah DF dan TSP dapat dihasilkan dari tanah kering yang
terbawa oleh angin. Kecepatan angin dapat mengakibatkan terangkatnya
partikel-partikel halus dari permukaan tanah sehingga menghasilkan debu.
Penelitian Liu et al. (2004) menunjukkan bahwa konsentrasi debu jatuh
meningkat dengan meningkatnya erosi tanah akibat angin.
Almuhanna (2015) pada penelitian tentang debu jatuh akibat badai debu di
Oasis Al-Ahsa di Arab Saudi menyatakan bahwa sebuah mikrofotograf dari debu
jatuh yang tertangkap oleh mikroskop stereo dissection menunjukkan bahwa
partikel debu memiliki berbagai warna dan ukuran, dan terlihat kandungan serat
dan puing-puing vegetatif.
Zhang et al. (2010) membuat kesimpulan bahwa pada kurun waktu penelitian
dari tahun 1980 ke tahun 2000-an, konsentrasi TSP, dan intensitas debu jatuh
memiliki perubahan tata ruang yang sama. TSP memiliki dampak kuat pada
kualitas udara ambien di kota-kota utara dan pedalaman Cina dibandingkan
dengan kota-kota selatan dan pesisir. Umumnya, pasir dan badai debu menjadi
faktor penyebab utama yang mempengaruhi variabilitas temporal dan distribusi
spasial DF dan TSP di Cina.
Hasil penelitian Zhang et al. (2014) yang dilakukan selama musim panas
tahun 2010 di lokasi pedesaan Qinghai Lake Cina menyimpulkan bahwa
kandungan kimiawi TSP dan PM2.5, memiliki kandungan aerosol ber massa
rendah. Anion SO42- dan kation Ca2+ adalah ion utama yang sering dijumpai.
Adapun Ca, Fe, dan K adalah unsur utama yang kerap ditemukan. Tingkat
konsentrasi ion dan unsur yang terdeteksi pada sampel TSP dan PM2.5
menunjukkan bahwa udara dipengaruhi oleh sumber-sumber antropogenik di
Qinghai Lake.
Zhao & Shi (2012), yang telah mengambil Shanghai-Nanjing sebagai subjek
penelitian mendapatkan fakta kesimpulan bahwa hubungan antara konsentrasi
TSP, suhu dan tekanan atmosfer udara ternyata memiliki korelasi yang lemah.
Sebagai upaya pengelolaan kualitas udara ambien debu partikulat setidaknya
dapat diarahkan kepada empat faktor yang mempengaruhi bangkitan debu ke
udara ambien, yaitu merujuk kepada Mahowald et al. (2014), faktor tersebut
yaitu: (1) angin yang kuat, (2) tanah yang kering, (3) vegetasi yang jarang atau
berjarak jauh satu dengan lainnya, dan (4) partikel tanah yang terdistribusi oleh
fluida (saltating particles). Selanjutnya Mahowald et al. (2014) menjelaskan
bahwa partikulat di atmosfer dapat dibersihkan dengan adanya pengendapan
secara gravitasi (deposisi kering) maupun dengan pembersihan melalui curah
hujan (pembilasan, deposisi basah).

8
Wang et al. (2015) juga menjelaskan bahwa penyiraman dapat mengurangi
potensi emisi debu yang tertiup angin dari jalan beraspal yang diuji dengan 5099% pada kecepatan angin yang berbeda. Penyiraman adalah efektif untuk
mengurangi emisi debu buronan dari permukaan kering bila diterapkan di tempat
yang tepat dan pada jumlah yang tepat. Efektivitas penekan debu lainnya yang
dapat bertahan lebih lama atau lebih hemat biaya, seperti stabilisator polimer dan
surfaktan, dapat dievaluasi dengan metode yang digunakan.
.
Emisi dan faktor emisi
Kristensson et al. (2004). menyatakan bahwa sampai saat ini kendaraan
bermotor masih menjadi kontributor utama dalam hal pencemaran udara di
berbagai daerah perkotaan. Untuk dapat mengidentifikasi, sejauh mana lalu lintas
atau kendaraan yang berbeda jenis itu berkontribusi terhadap polusi kota maka
diperlukan informasi rinci dari emisi. Faktor emisi dapat digunakan untuk tujuan
ini dan pengertian faktor emisi disini adalah sebagai jumlah spesies yang
dipancarkan per km kendaraan per volume bahan bakar yang dikonsumsi.
Kemudian Kristensson et al. (2004) menandaskan bahwa ada tiga cara untuk
mendapatkan faktor emisi, yaitu: (1) melalui pengukuran terowongan jalan; (2)
melalui pengukuran pemodelan dispersi ‘’inversi’’ jalan-ngarai; dan (3) melalui
pengukuran model kotak massa konservasi jalan terbuka.
Roy et al. (2010) menambahkan bahwa faktor emisi dapat digunakan untuk
mengukur debu yang dihasilkan oleh peledakan pada tahap perencanaan atau
operasi penambangan. Oleh karena itu faktor emisi adalah merupakan instrumen
yang berguna untuk penyusunan rencana pengelolaan lingkungan Sebelum
bekerja dengan polusi udara akibat pertambangan batubara permukaan sebagian
waktu akan berkaitan dengan pemantauan dan analisis debu yang akan dihasilkan
oleh operasi pertambangan. Pengkajian dampak lingkungan (AMDAL), rencana
pengelolaan dan pemantuan lingkungan (RKL dan RPL) merupakan persyaratan
hukum untuk pelaksanaan proyek-proyek pertambangan baru atau untuk perluasan
proyek operasi. Untuk tujuan kuantifikasi, nilai emisi debu peledakan adalah
diperlukan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan faktor emisi untuk
peledakan
Penelitian Ghose (2003) menjelaskan bahwa permasalahan polusi udara
terutama di daerah pertambangan batubara adalah dikarenakan oleh debu. Untuk
penilaian dampak terhadap lingkungan udara, kuantifikasi emisi debu sangat
penting. Persamaan prakiraan dapat memberikan estimasi yang baik mengenai
pembentukan debu di tambang opencast. Data yang dikumpulkan dapat
disesuaikan dan dimasukkan untuk memvalidasi model evaluasi. Data faktor emisi
yang dikembangkan dapat dimanfaatkan untuk memprakirakan dan menilai
bangkitan debu akibat aktivitas pertambangan batubara. Penelitian tersebut
memiliki makna yang sangat besar di bidang perlindungan lingkungan dan
dampak yang mungkin banyak ditemui. Setelah sejumlah bangkitan debu dapat
diperkirakan, dampak terhadap lingkungan udara akibat kegiatan proyek dapat
dinilai dengan tepat dan strategi pengendalian pencemaran udara dapat
dikembangkan untuk mempertahankan secara tepat keseimbangan antara
pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan. Dapat disimpulkan

9
bahwa penelitiannya memberikan semacam wawasan ilmiah mendasar dalam
kuantifikasi emisi debu akibat aktivitas pertambangan batubara.
US Environmental Protection Agency juga telah memperkenalkan
“Kompilasi Faktor Emisi Polutan Udara” (AP-42). Faktor emisi dan inventaris
emisi adalah instrumen dasar untuk pengelolaan kualitas udara ambien. Prakiraan
emisi adalah penting untuk mengembangkan strategi pengendalian emisi,
menentukan penerapan perizinan dan program pengendalian, memastikan efek
sumber dan strategi mitigasi yang tepat. Faktor emisi adalah nilai representatif
yang menghubungkan kuantitas suatu polutan yang dilepas ke atmosfer dengan
kegiatan yang berhubungan dengan pelepasan polutan. Faktor-faktor ini biasanya
dinyatakan sebagai bobot polutan dengan satuan berat dibagi volume, jarak, atau
durasi aktivitas yang memancarkan polutan (misalnya, kilogram partikel yang
dipancarkan per megagram batubara terbakar). Faktor-faktor tersebut akan
memberikan prakiraan emisi dari berbagai sumber polusi udara. Pada kebanyakan
kasus, faktor-faktor ini hanyalah rata-rata dari semua data kualitas yang tersedia,
dan umumnya dianggap sebagai perwakilan dari rata-rata jangka panjang untuk
semua fasilitas yang masuk dalam kategori sumber (yaitu, rata-rata populasi). (US
EPA 2015).
Niemeier & Shafizadeh (2004) menjelaskan bahwa sumber emisi secara
umum dibagi ke dalam dua kategori yaitu: sumber diam (stasioner source), dan
sumber bergerak (mobile source). MENLH (2007) juga menyebutkan bahwa
dengan pola pengelompokan yang lain, sumber-sumber emisi dari suatu rencana
kegiatan dapat saja terdiri dari sumber titik (point source), sumber ruang (volume
source), sumber area (area source), dan sumber garis (line source). Salah satu
contoh sumber titik yang banyak terdapat dalam suatu rencana kegiatan adalah
cerobong (stack). Banyak komponen kegiatan mengeluarkan emisi yang tergolong
sebagai emisi liar (fugitive emission) karena polutan-polutan tersebut akan
langsung terlepas ke udara tanpa melalui sistem penangkapan polutan dan
pelepasan terkendali di suatu titik, seperti halnya cerobong atau ventilasi udara.
MENLH (2013) dan US EPA (2015) memberikan persamaan umum untuk
estimasi emisi yaitu :
E = R x FE x (100 – C)/100 ………………………………………… (1)
dimana:

E = emisi (berat polutan),
R = tingkat aktivitas (jumlah materi yang diproses)
FE = faktor emisi (berat per jumlah materi yang diproses), dengan
asumsi tanpa pengendalian ,
C = efisiensi peralatan pengendali (%), jika tidak terpasang
peralatan pengendali maka C=0

Persamaan di atas akan menjadi: E = R x FE, jika menggunakan faktor
emisi yang telah mempertimbangkan efek pengendalian.
MENLH (2013) telah menjelaskan bahwa emisi sumber area umumnya sulit
dihitung melalui pengukuran aktivitas secara langsung. Untuk itu, digunakan
faktor emisi yang didasarkan pada peubah penentu yang dapat dikaitkan dengan
emisi, misalnya penduduk atau tenaga kerja di dalam industri.

10
Saat ini, Indonesia belum memiliki dokumen/publikasi yang memuat faktorfaktor emisi yang berlaku nasional. Beberapa publikasi di luar negeri yang
memuat referensi faktor-faktor emisi untuk berbagai fasilitas dan kategori industri
berdasarkan tingkat aktivitas di negara dimana faktor emisi tersebut disusun
diantaranya selain U.S. EPA AP-42 adalah: EMEP/CORINAIR, dan IPCC.
Adopsi faktor-faktor emisi dari publikasi tersebut sebaiknya dilakukan secara
berhati-hati karena adanya perbedaan kondisi/karakteristik pengoperasian.
(MENLH 2013). Namun meskipun demikian dalam kaitan pendugaan dampak
bangkitan debu jatuh dan TSP untuk wilayah pulau Jawa penelitian Yuwono et al.
(2014) telah berhasil membuat suatu persamaan faktor emisi yang saat ini sudah
siap untuk implementasi lapangan dengan cara hanya memasukkan kadar air tanah
dan kecepatan angin lokal.
Karakteristik Tanah Andosol
Tanah di daerah pegunungan vulkanik dicirikan oleh warna tanah hitam atau
gelap karena tingginya kandungan bahan organik, gembur, ringan dan licin jika
dipirid dengan jari tangan. Tanah dengan sifat-sifat demikian disebut tanah
Andosol. Istilah Andosol berasal dari bahasa Jepang yang berarti tanah hitam (An
= hitam; do = tanah). (BBSDLP 2014). Di Jepang tanah hitam yang berkembang
dari abu vulkanik diberi nama Kurobokudo atau black fluffy soils (Shindo &
Honma 1998). “Ando soils” pertama kali diperkenalkan pada tahun 1947 dalam
pemetaan tanah tinjau (reconnaissance) di Jepang oleh ahli-ahli tanah dari
Amerika (Shoji et al. 1993; Katou & Kozai 2010; Rennert et al. 2014).
Andosol hanya dijumpai pada bahan vulkanik yang tidak padu, pada
ketinggian 750 sampai 3.000 m di atas permukaan laut (m dpl). Andosol dijumpai
pada daerah beriklim tropika basah dengan curah hujan antara 2,500-7,000 mm
tahun-1 dengan suhu yang sejuk (suhu rata-rata < 22oC). Didefinisikan juga
bahwa tanah Andosol sebagai tanah yang mempunyai horison A molik, atau A
umbrik dan mungkin juga terdapat di atas horison B kambik; atau horison A
okhrik dan horison B kambik; tidak mempunyai horison diagnostik lain (kecuali
jika tertimbun oleh 50 cm atau lebih bahan baru); pada kedalaman sampai 35 cm
atau lebih mempunyai satu atau kedua-duanya dari: (a) bulk density (pada
kandungan air 1/3 bar) dari fraksi tanah halus (kurang dari 2 mm) kurang dari 0.85
g cm-3 dan kompleks pertukaran didominasi oleh bahan amorf, (b) 60% atau lebih
adalah abu vulkanik vitrik, abu atau bahan piroklastik vitrik yang lain dalam fraksi
debu, pasir dan kerikil. (FAO/UNESCO 1997; Mahowald et al. 2014; Rennert et
al. 2014; BBSDLP 2014).
Tanah Andosol menampilkan berbagai karakteristik kimia yang
mencerminkan pengaruh dari bahan induk dan tingkat pelapukannya. Bahan
organik tanah, aluminium, besi dan silika aktif adalah unsur-unsur yang paling
menonjol mengatur reaksi kimia pada tanah Andosol. Di Indonesia tanah Andosol
mempunyai kandungan Al paling tinggi dibandingkan dengan kandungan Fe dan
Si. Dilihat dari sifat bahan induknya, tanah Andosol yang berkembang dari
bahan induk masam (liparit) mempunyai kandungan Al paling tinggi, sedangkan
tanah yang berkembang dari bahan induk basa (basalt) mempunyai nilai Al paling
rendah. Hal tersebut menyebabkan mengapa tanah Andosol mempunyai retensi

11
yang tinggi terhadap fosfat dan tanah Andosol yang berasal dari bahan induk
liparit mempunyai retensi P yang paling tinggi. Demikian juga halnya dengan pH
tanah, tanah Andosol di Indonesia memiliki kisaran pH yang cukup lebar yaitu
antara 3.4 sampai 6.7 dengan rata-rata 5.4. Namun kisaran pH antara 4.5 sampai
5.5 merupakan kisaran pH yang paling banyak sedangkan yang kedua terbanyak
adalah pada kisaran pH antara 5.5 sampai 6.5. Tanah Andosol yang bersifat
masam berasal dari daerah bercurah hujan tinggi dan mempunyai bahan induk
bersifat liparitik, yaitu dari dataran tinggi Toba di Sumatera Utara. Tanah Andosol
yang mempunyai pH lebih dari 6.5 berasal dari daerah beriklim kering yaitu dari
Nusa Tengggara Timur dan dari daerah yang mempunyai bahan induk basaltik.
(Shoji et al. 1993; Ranst et al. 2008; Wakindiki & Omondi 2012; Mahowald et al.
2014; Rennert et al. 2014; BBSDLP 2014)
Sifat fisika tanah Andosol memiliki sifat yang khas dan berkaitan erat
dengan tingginya kandungan alofan. Alofan merupakan salah satu bahan bentuk
non kristalin terpenting yang berkontribusi pada bobot isi (bulk density) yang
rendah dari tanah Andosol melalui pengembangan struktur tanah berpori. Mineral
ini memiliki banyak lubang-lubang yang memungkinkan keluar masuknya
molekul-molekul air. Tanah Andosol selain memiliki kandungan bahan organik
yang tinggi, bobot isi rendah, daya menahan air tinggi, total porositas tinggi, tetapi
juga tanah ini bersifat gembur dengan konsistensi kurang plastis dan tidak lekat.
Tanah ini bila basah bersifat berminyak (greasy) dan menyemir (smeary). Selain
itu tanah Andosol juga mempunyai sifat kering tak balik (irreversible).
Penyebabnya adalah akibat dari adanya: (1) liat silikat amorf yang memiliki nilai
ZPC (zero point of charge) lebih besar daripada mineral-mineral kristalin biasa
dan (2) adanya oksida-oksida terhidrat yang menyebabkan presipitasi kembali (coprecipitation). Dikemukakan juga bahwa sifat fisika penting lainnya dari Andosol
adalah struktur tanahnya. Struktur tanah Andosol terdiri atas makrostruktur dan
mikrostuktur. Makrostruktur dijumpai pada horizon A yang dicirikan oleh struktur
granular yang khas, yang terbentuk oleh proses yang disebut mountain
granulation. Struktur ini berlainan dengan struktur granular tanah-tanah lainnya
karena satuan-satuan strukturnya sangat resisten terhadap daya rusak air hujan.
Kerena ketahanannya ini dan terasa seperti pasir pada musim kering, maka unitunit struktur tersebut disebut pasir semu (pseudo-sand) (Shoji et al. 1993; Ranst et
al. 2008; Ranst et al. 2008; Katou & Kozai 2010; Wakindiki & Omondi 2012;
BBSDLP 2014)
Bobot isi tanah Andosol di Indonesia sangat bervariasi, yaitu berkisar dari
0.37 sampai 0.90 g cm-3. Rendahnya bobot isi tanah Andosol ini tidak terlepas
dari pengaruh kandungan mineral amorf yang dominan. Pada tanah Andosol yang
didominasi oleh mineral amorf, jumlah pori mikro cukup banyak terutama pori
intra dan inter partikel dari alofan. Tanah Andosol yang mempunyai bobot isi
paling tinggi adalah tanah Andosol dari Gunung Soputan, Sulawesi Utara.
Tingginya berat isi tanah tersebut karena kandungan pasirnya yang cukup tinggi
yaitu mencapai 84% dan kandungan C-organik yang hanya 1.24% . Sifat tanah
Andosol yang khas inilah yang membuat mereka rentan terhadap proses erosi,
baik erosi angin maupun erosi air dan cryoturbation (Shoji et al. 1993; Ranst et al.
2008; Vilmundardóttir et al. 2010; Wakindiki & Omondi 2012; BBSDLP 2014).

12

3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kampus IPB Dramaga, Bogor dengan contoh uji
tanah yang diperoleh dari Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung yaitu pada
wilayah-wilayah yang berjenis tanah Andosol. Lampiran 1 memperlihatkan peta
jenis tanah di pulau Sumatra, lampiran 2 memperlihatkan peta jenis tanah untuk
Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Kondisi lokasi pengambilan contoh
tanah Andosol di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung digambarkan pada
lampiran 3. Lokasi pengambilan contoh uji tanah Andosol di Kabupaten
Tanggamus ini berada di lokasi pertanian dan perkebunan sehingga masih
memiliki tutupan vegetasi yang cukup baik. Waktu penelitian dilaksanakan dari
September 2015 sampai dengan Februari 2016.

Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan penelitian
melalui beberapa tahap yang mencakup pengumpulan data awal; pengukuran
konsentrasi DF dan TSP pada skala laboratorium disertai pengendalian kecepatan
angin, kadar air serta persentase tutupan lahan; pengukuran distribusi ukuran
partikel dengan menggunakan mikroskop digital yang dilengkapi dengan kamera;
dan penyusunan faktor emisi. Tahap awal, yaitu pengukuran awal dan pengukuran
laboratorium selalu diikuti dengan pengukuran suhu dan kelembaban udara, guna
memasukkan pengaruh kedua parameter tersebut. Tahap berikutnya penyusunan
faktor emisi serta analisis dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Excel dan
Minitab 16. Bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan alir kerangka penelitian

13

Penyiapan Bahan Uji, Pengendalian Kadar Air Tanah, Kecepatan Angin dan
Media Tutupan Lahan
Bahan uji yang digunakan adalah bahan tanah terganggu (disturbed) jenis
tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung.
Sesuai hasil analisis Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan Faperta IPB, tanah Andosol yang digunakan ini memiliki kelas tekstur lom
berpasir, nilai C-organik tanah 2.46 % dan nilai pH tanah 5.42.
Penyiapan diawali dengan membuat satu variasi kadar air tanah (KAT)
untuk pengamatan hari pertama dengan % tertinggi, yaitu dengan cara tanah
disiram dengan sejumlah air yang terukur, kemudian diaduk agar KAT merata.
Penambahan air dihentikan bila KAT telah mencapai nilai % yang diinginkan
atau % yang tertinggi. Saat pengadukan, bagian tanah yang telah diaduk tidak
boleh diinjak kembali, hal ini untuk menjaga supaya tidak terjadi perubahan nilai
densitas pada tanah. Variasi KAT ini diukur dan dikendalikan agar tetap berada
dalam selang kadar air tanah 17-44 %. Tanah kemudian ditebar di dalam tunnel
secara merata dengan ketinggian ± 3 cm. Pengamatan hari berikutnya dilakukan
dengan cara yang sama untuk KAT dengan % sedang dan hari ketiga untuk KAT
dengan % rendah, sehingga selama pengamatan tiga hari pertama telah dibuat tiga
variasi kadar air yang berbeda (tinggi, sedang, rendah). Pengaturan variasi KAT
tiga hari pertama ini dengan cara yang sama diulangi kembali pada pengamatan
tiga hari kedua dan pengamatan tiga hari ketiga.
Variasi kecepatan angin menggunakan pengaturan kecepatan yang sudah
terpasang pada kipas. Pengamatan tiga hari pertama, dilaksanakan pada kecepatan
angin tingkat ke 1. Pengamatan tiga hari kedua dengan cara yang sama
dilaksanakan pada kecepatan angin tingkat ke 2. Dan pengamatan tiga hari ketiga
dengan cara yang sama dilaksanakan pada kecepatan angin tingkat ke 3.
Persentase tutupan lahan disimulasikan dengan menggunakan jenis tanaman
padi huma dengan tinggi tanaman ± 15 cm yang ditempatkan pada 4 buah nampan
berdimensi 80 cm x 60 cm, masing-masing nampan bernilai 10 % tutupan.
Tutupan lahan yang disimulasikan adalah 10 %, 20 %, 30 % dan 40 %
dilaksanakan dari hari ke 10 sampai hari ke 13, dengan menggunakan kecepatan
angin tingkat ke 1 dan KAT dengan nilai % terendah.
Pengukuran Debu Jatuh dan TSP
Skema terowongan (tunnel) uji disajikan pada gambar 2, Tipe tunnel adalah
tipe jalur terbuka dengan ukuran standard sesuai kebutuhan penelitian (Yuwono et
al. 2014). Pada lampiran 4 dan lampiran 5 memperlihat alat, bahan serta perangkat
lunak yang digunakan selama pelaksanaan penelitian ini. Bangkitan DF diukur
sesuai dengan ketentuan dalam SNI 13-4703-1998 tentang Penentuan Kadar Debu
di Udara dengan Penangkap Debu Jatuh. Alat dan bahan yang digunakan untuk
mengukur konsentrasi DF adalah dustfall canister Model AS-2011-1, filter
Whatman #41 (ø 47mm), neraca analitik OHAUS, dan Universal Oven UNB 400
Memmert. Bangkitan TSP diukur sesuai dengan ketentuan SNI 19-7119.3-2005
tentang Cara Uji Partikel Tersuspensi Total menggunakan peralatan high volume
air sampler (HVAS) dengan metoda gravimetri. Udara ambien terhisap dengan

14
menggunakan High Volume Air Sampler [STAPLEX; TFIA-2] selama satu jam.
Filtrat yang diperoleh kemudian disimpan dalam ruang stabilisasi dalam kondisi
kelembaban relatif dan suhu terkendali sebelum dilakukan penimbangan.
Konsentrasi partikel tersuspe