Perumusan Kebijakan Biodiesel Kelapa Sawit dengan Menggunakan Metode Regulatory Impact Analysis dan Model Sistem Dinamis

PERUMUSAN KEBIJAKAN BIODIESEL KELAPA SAWIT
DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGULATORY
IMPACT ANALYSIS DAN MODEL SISTEM DINAMIS

HENDRI WIJAYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perumusan Kebijakan
Biodiesel Kelapa Sawit dengan Menggunakan Metode Regulatory Impact
Analysis dan Model Sistem Dinamis adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Hendri Wijaya
NIM F351120181

RINGKASAN
HENDRI WIJAYA. Perumusan Kebijakan Biodiesel Kelapa Sawit dengan
Menggunakan Metode Regulatory Impact Analysis dan Model Sistem Dinamis.
Dibimbing oleh YANDRA ARKEMAN dan ERLIZA HAMBALI.
Indonesia telah memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan biodiesel.
Komitmen tersebut dibuktikan oleh adanya beberapa regulasi terkait dengan
pengembangan biodiesel yang dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga secara
politik pengembangan biodiesel mempunyai kekuatan hukum.
Salah satu kebijakan terbaru terkait biodiesel yang dikeluarkan pemerintah
adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
(Permen ESDM RI) Nomor 12 tahun 2015. Peraturan tersebut merupakan
perubahan ketiga atas Permen ESDM RI Nomor 32 tahun 2008 tentang
penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai
bahan bakar lain. Permen ESDM RI Nomor 32 tahun 2008 sebelumnya telah
direvisi melalui Permen ESDM RI No 25 Tahun 2013 dan Permen ESDM RI No

20 Tahun 2014. Permen ESDM RI Nomor 12 tahun 2015 menetapkan kewajiban
minimal pemanfaatan biodiesel sebagai campuran BBM untuk pemakaian di
sektor transportasi PSO dan non PSO, industri dan komersil, serta pembangkit
listrik secara bertahap dari tahun 2015 sampai 2025.
Penerapan regulasi biodiesel di lapangan ternyata sering menghadapi
masalah. Beberapa hasil penelitian terdahulu menyebutkan kontribusi atau target
pencapaian biodiesel sebagai bahan campuran diesel tidak tercapai. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis kondisi yang diperlukan, menyusun skenario
kebijakan, serta merumuskan kebijakan untuk mendukung pencapaian target
penggunaan biodiesel sesuai Permen ESDM RI Nomor 12 tahun 2015.
Kebijakan pemerintah yang ada untuk mendukung pencapaian penggunaan
biodiesel kelapa sawit adalah disinsentif CPO; pemberian keringanan
pengembalian pinjaman (bunga) untuk investasi pabrik biodiesel, pembebasan
atau keringanan pajak masuk untuk teknologi atau peralatan investasi pabrik
biodiesel; subsidi campuran biodiesel dan diesel sebesar Rp 1 000/liter. Simulasi
model dinamis terhadap kebijakan pemerintah yang ada menghasilkan target
pencapaian penggunaan biodiesel sebagai bahan campuran diesel tidak dapat
terpenuhi.
Target penggunaan biodiesel kelapa sawit sebagai bahan campuran diesel
akan tercapai apabila terdapat dukungan tambahan kebijakan atau kondisi berupa

peningkatan laju kapasitas produksi biodiesel, pemberian insentif biodiesel,
peningkatan produktivitas lahan kelapa sawit, perubahan pemberian subsidi
biodiesel minimal diatas Rp 1 250/liter untuk suku bunga 7 % atau Rp 1 350/liter
untuk suku bunga 9 %.
Kata kunci: biodiesel, kebijakan, kelapa sawit, simulasi

SUMMARY
HENDRI WIJAYA. Policy Formulation on Indonesian Palm Oil Biodiesel with
Regulatory Impact Analysis and System Dynamic Model. Supervised by
YANDRA ARKEMAN and ERLIZA HAMBALI.
Indonesia has strongh commitment to develop biodiesel. This commitment
has been proved by issuing several government’s policy in the form of regulations
to develop biodiesel. So that the development of biodiesel has legal force
politically.
One of the latest policy issued by the government is the Ministerial
Regulation from Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) of the
Republic of Indonesia
Number 12 of 2015. This regulation is the third revision
of Regulation of ESDM Number 32 of 2008 that concerning the provision, use,
and administration of biofuels as other energy. Before that, regulation of ESDM

Number 32 of 2008 has revised by Regulation of ESDM Number 25 of 2012 and
ESDM Number 20 of 2014. The core content of the Regulation of ESDM Number
12 of 2015 is mandatory in PSO and non PSO transportation, industry and
bussiness, and power plant sector to use biofuels as a mixture of fuel with a
certain mixture composition from 2015 to 2025
The implementation of biodiesel regulation in practice actually has many
problems. Several of earlier research mentioned that contribution or target to use
biodiesel as a mixture of diesel fuel was not achieved. This research provides
required condition analysis, policy scenario design, and formulation of a policy to
meet the target of the obligation to use biodiesel as a mixture of diesel fuel
according to the Ministry Regulation of Energy and Mineral Resources of
Republic Indonesia Number 12 of 2015.
The current government policy is a disincentive CPO; granting relief loan
repayment (interest) for the biodiesel plant investment, exemption or tax relief on
entry to the technology or equipment biodiesel plant investment; mixture diesel
fuel and biodiesel subsidy of IDR 1000 per liter. The simulation results describe
the current government policy to support the achievement of the use of biodiesel
as a mixture of diesel fuel will not be able to meet the target of achieving the use
of biodiesel as a mixture of diesel fuel.
The target use of palm oil biodiesel as a mixture of diesel, require additional

support policies or conditions by increasing the rate of production capacity of
biodiesel, biodiesel incentives, increase land productivity of palm oil, biodiesel
subsidies minimal changes over IDR 1250 per liter for 7% interest rate and IDR
1350 per liter for 9% interest rate.
Keywords : Biodiesel, policy, palm oil, simulation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERUMUSAN KEBIJAKAN BIODIESEL KELAPA SAWIT
DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGULATORY
IMPACT ANALYSIS DAN MODEL SISTEM DINAMIS


HENDRI WIJAYA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada ujian Tesis :
Dr Elisa Anggraeni, STP, MSc

PRAKATA
Penulis panjatkan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat, sehingga tugas akhir penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Topik yang
dipilih dalam penulisan karya ilmiah ini adalah Perumusan Kebijakan Biodoesel

Kelapa Sawit dengan Menggunakan Metode Regulatory Impact Analysis dan
Model Sistem Dinamis. Karya ilmiah ini disusun dalam rangka untuk memenuhi
syarat memperoleh gelas Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri
Pertanian Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor.
Penulis pada kesempatan ini bermaksud menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Dr Ir Yandra Arkeman, MEng dan Prof Dr Erliza Hambali selaku komisi
pembimbing yang telah secara tulus memberikan bimbingan sejak penentuan
topik tesis hingga penyelesain penulisan tesis. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Dr Ir Elisa Anggraeni, STP MSi selaku penguji luar komisi,
Kepala Program Studi TIP beserta staf, Dekan Pasca Sarjana IPB beserta staf.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibunda, Istri serta anakanak, yang telah memberikan dan menjadi motivasi selama melaksanakan studi.
Terima kasih juga diucapkan kepada teman-teman Cigaris, TIP S2 angkatan 2012
yang telah memberikan dukungan motivasi untuk penyelesaian studi di TIP.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
dan pembangunan khususnya di sektor bioenergi.

Bogor, Juni 2015

Hendri Wijaya


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Ruang Lingkup Penelitian

1

1
2
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Analisis terhadap Kebijakan Bioenergi
Model Dinamis Biodiesel Kelapa Sawit
Tinjauan Kebijakan Biofuel di Asia Tenggara, Uni Eropa, Amerika, dan
Amerika Latin
Tinjauan Kebijakan Biofuel di Indonesia

4
4
4
5
13

3 METODE
Kerangka Penelitian

Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
Tahapan Penelitian

15
15
16
16
17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi untuk Mendukung Implementasi Kebijakan Biodiesel
Skenario Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Biodiesel
Rumusan Kebijakan Pengembangan Biodiesel

25
25
30
39


5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

40
40
41

DAFTAR PUSTAKA

41

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

60

DAFTAR TABEL

1 Kewajiban pemanfataan minimal biodiesel terhadap kebutuhan total
2 Jenis dan sumber data
3 Parameter yang digunakan
4 Hasil identifikasi peran dan kendala pemangku kepentingan
5 Status ketercapaian ketersediaan dan kebutuhan kewajiban biodiesel
6 Kriteria kelayakan finansial NPV dan B/C untuk skenario 4

2
17
24
28
37
38

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Kerangka pemikiran penelitian
Tahapan pengembangan model sistem dinamis
Batasan rancangan model sistem dinamis mandatori biodiesel
Rancangan causal loop model sistem dinamis kewajiban biodiesel
Alternatif proses pengolahan CPO sebagai bahan baku biodiesel
Perbandingan ketersediaan dan kebutuhan
kewajiban biodiesel
berdasarkan kondisi yang ada
7 Perbandingan ketersediaan dan kebutuhan
kewajiban biodiesel
berdasarkan kondisi yang ada dan skenario 1
8 Perbandingan ketersediaan dan kebutuhan
kewajiban biodiesel
berdasarkan kondisi yang ada, skenario 1 dan 2
9 Perbandingan ketersediaan dan kebutuhan
kewajiban biodiesel
berdasarkan kondisi yang ada, skenario 1, 2, 3, dan 4

16
20
21
22
32
35
35
36
37

DAFTAR LAMPIRAN
1 Formulasi model dinamis pencapaian kewajiban biodiesel
2 Diagram stockflow model sistem dinamis pencapaian target
kewajiban biodiesel sebagai campuran bahan bakar diesel
3 Hasil validasi model terhadap variabel produksi CPO dan konsumsi
diesel
4 Data-data yang digunakan
5 Hasil simulasi skenario model sistem dinamis
6 Cashflow industri biodiesel dengan menggunakan suku bunga 7 %

45
51
54
55
57
58

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketahanan energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi,
akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka
panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Indonesia sampai saat ini belum mampu mewujudkan ketahanan energi, bahkan
diidentifikasi mengalami permasalahan penyediaan energi. Permasalahan
penyediaan energi di Indonesia antara lain adalah masih banyak bergantung pada
sumber energi fosil untuk bahan bakar minyak, serta pemanfaatan energi baru
terbarukan masih tergolong rendah.
Indonesia belum dapat secara signifikan melepaskan diri dari penggunaan
minyak bumi sebagai sumber energi. Minyak bumi merupakan sumber energi
terbesar di Indonesia. Bauran energi Indonesia pada tahun 2013 tercatat sebesar
44 % berasal dari minyak bumi. Produksi minyak bumi nasional cenderung
menurun, sementara konsumsi naik sehingga menjadikan Indonesia harus
mengimpor minyak bumi. Produksi minyak bumi tahun 2013 sebesar 300 juta
barel.
Impor minyak bumi tahun 2013 sebesar 118 juta barel. Rasio
ketergantungan bahan bakar minyak bumi (BBM) rata-rata dari tahun 2005
sampai dengan 2013 adalah sebesar 34 %. Pada tahun 2013 rasio ketergantungan
impor BBM berada diatas rata-rata, yaitu sebesar 37 % (DEN 2014).
Pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang dipercaya dapat menjadi
solusi tepat untuk mengatasi pasokan energi yang masih tergolong rendah.
Kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia pada tahun 2013 adalah
sebesar 8 % dari total kebutuhan energi (DEN 2014). Target pemerintah pada
tahun 2025 sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006, EBT yang semula
diharapkan memberikan kontribusi suplai sebesar 17 %, telah ditingkatkan paling
sedikit 23 % dalam Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional
tahun 2014.
Bionergi merupakan sumber EBT yang paling mampu menggantikan peran
sumber energi fosil, baik sebagai penyedia listrik maupun BBM. Bioenergi
dinilai paling mudah dikonversi menjadi energi bahan bakar maupun listrik.
Sumber EBT lainnya, yaitu panas bumi, aliran dan terjunan air (hidro), sinar
matahari, angin, gerakan dan perbaikan suhu lapisan laut hanya mudah dikonversi
menjadi listrik (Thornley and Deborah 2008, Soerawidjaja 2011).
Indonesia sendiri sudah memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan
bioenergi. Komitmen tersebut dibuktikan oleh adanya beberapa kebijakan terkait
dengan pengembangan bioenergi yang dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga
secara politik pengembangan bioenergi mempunyai kekuatan hukum. Namun
kebijakan yang telah ditetapkan ternyata di lapangan banyak mengalami
hambatan. Kebijakan bioenergi mengalami masalah karena belum didukung oleh
struktur dan kebijakan yang memadai, proses, formulasi, organisasi, dan
implementasi, dan dinilai tidak memiliki basis ilmiah yang kuat (Arifin 2012,
Sadewo 2012, Jeffers et al. 2013). Oleh karena itu kebijakan bioenergi perlu
didukung oleh penelitian-penelitian ilmiah, agar teridentifikasi kondisi-kondisi
yang diperlukan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan.

2

Rumusan Masalah
Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan bioenergi telah beberapa kali
mengeluarkan kebijakan dalam bentuk regulasi. Salah satu kebijakan terbaru yang
dikeluarkan pemerintah adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Republik Indonesia (Permen ESDM RI) No 12 tahun 2015. Peraturan
tersebut merupakan perubahan ketiga atas Permen ESDM RI No 32 tahun 2008
tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel)
sebagai bahan bakar lain.
Permen ESDM RI No 12 tahun 2015 menetapkan kewajiban minimal
pemanfaatan biodiesel sebagai campuran
BBM untuk pemakaian di sektor
transportasi PSO dan non PSO, industri dan komersil, serta pembangkit listrik
secara bertahap sampai tahun 2025. Kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kewajiban pemanfaatan minimal biodiesel terhadap kebutuhan total
Sektor

Transportasi PSO, usaha mikro,
pertanian dan perikanan
Transportasi non PSO
Industri dan komersil
Pembangkit listrik

Kewajiban pemanfaatan minimal
biodiesel (%)
Januari Januari Januari Januari
2015
2016
2020
2025
15
20
30
30
15
15
25

20
20
30

30
30
30

30
30
30

Sumber : Lampiran Permen ESDM RI Nomor 12 tahun 2015

Indonesia mempunyai potensi ketersediaan bahan baku yang cukup tinggi
untuk dikembangkan menjadi produk biodiesel, namun kondisi industri biodiesel
di Indonesia saat ini belum optimal. Produksi biodiesel nasional pada tahun 2014
sebesar 3.4 juta kl, dibawah kapasitas produksi terpasang sebesar 5.6 juta kl.
Hanya terdapat 14 produsen biodiesel yang berproduksi dari 25 produsen
biodiesel yang memiliki izin usaha niaga BBN (KESDM 2015). Kondisi tersebut
dikhawatirkan akan menghambat ketersediaan pasokan sehingga target
pemanfaatan minimal biodiesel tidak akan tercapai.
Pengembangan biofuel memerlukan dukungan kondisi atau kebijakan dari
pemerintah. Untuk meningkatkan produksi dan konsumsi biofuel, diperlukan
kebijakan berupa kewajiban penggunaan biofuel, pengurangan atau pembebasan
pajak, dan subsidi (Sorda et al. 2010). Interfensi kebijakan biofuel dari pemerintah
efektif akan mengendalikan harga biofuel sehingga biofuel akan mempunyai daya
saing di pasar (Jeffers et al. 2013). Kebijakan biofuel bersifat lintas sektoral,
antara lain melibatkan sektor pertanian, energi, lingkungan, dan perdagangan, oleh
karena itu diperlukan alur kebijakan antar sektoral yang efektif (Panoutsou 2008).
Evaluasi terhadap kebijakan sebelumnya, yaitu Permen ESDM RI No 32
tahun 2008 juga menghasilkan target pemanfaatan biodiesel yang direncanakan
tidak tercapai. Pemanfaatan biodiesel pada tahun 2009 sampai 2011 masingmasing hanya mencapai 15.38 %, 20.73%, dan 27.66 % (Sadewo 2012). Evaluasi

3

terhadap Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 tentang target bauran energi
nasional tahun 2025 menghasilkan kontribusi biodiesel untuk memenuhi target
bauran energi nasional pada tahun 2025 juga tidak tercapai. Kontribusi biodiesel
tidak tercapai karena kewajiban campuran yang rendah, pasokan bahan baku
terbatas, dan pasar yang terbatas pada sektor PSO saja (Handoko et al. 2012).
Penelitian dilakukan dalam rangka untuk membuat skenario pencapaian
pasokan biodiesel dalam rangka memenuhi target mandatori sesuai Permen
ESDM RI No 12 tahun 2015. Oleh karena itu penelitian didasarkan pada
permasalahan :
1. Bagaimana menganalisis kondisi yang diperlukan untuk mendukung
implementasi kebijakan biodiesel yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.
2. Bagaimana menyusun skenario pencapaian pasokan pengembangan biodiesel
kelapa sawit.
3. Bagaimana menyusun rekomendasi kebijakan pengembangan biodiesel dari
kelapa sawit.
Tujuan
Tujuan umum penelitian adalah menghasilkan rumusan kebijakan
pengembangan biodiesel kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan target
mandatori biodiesel sesuai Permen ESDM RI No 12 tahun 2015. Tujuan khusus
penelitian meliputi :
1. Menganalisis kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mendukung kebijakan
biodiesel yang telah dikeluarkan pemerintah dengan menggunakan metode
RIA (Regulatory Impact Assessment).
2. Merancang skenario rekomendasi kebijakan pengembangan biodiesel
menggunakan model sistem dinamis.
3. Merumuskan kebijakan pengembangan biodiesel untuk mendukung kebijakan
biodiesel yang telah dikeluarkan pemerintah.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian adalah :
1. Kebijakan yang dianalisis adalah mandatori biodiesel sesuai Permen ESDM
RI No 12 tahun 2015
2. Studi ini terbatas hanya pada sistem biodiesel dari kelapa sawit
3. Metode RIA digunakan untuk menghasilkan altenatif kondisi yang diperlukan
dalam mencapai target mandatori biodiesel, sehingga disain implementasi
kebijakan pada tahapan metode RIA tidak dilakukan
4. Penilaian dampak pada tahapan metode RIA dianalisis dengan menggunakan
model sistem dinamis
5. Nilai laju perubahan ekspor dalam model sistem dinamis ditentukan
berdasarkan pada analisis data sebelumnya dan atau wawancara dengan
pemangku kepentingan yang relevan
6. Besarnya minimal subsidi biodiesel ditentukan berdasarkan pada nilai
kelayakan minimal Net Present Value (NPV) dan Net Benefit Cost Ratio (Net
B/C)

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab tinjauan pustaka ini akan disampaikan mengenai analisis kebijakan
bioenergi, model dinamis biodiesel kelapa sawit, tinjauan kebijakan biofuel di
Asia Tenggara, Uni Eropa, Amerika, dan Amerika Latin, serta tinjauan kebijakan
biofuel di Indonesia.
Analisis terhadap Kebijakan Bioenergi
Sadewo (2012) melakukan analisis terhadap implementasi Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No 32 tahun 2008
tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel)
sebagai bahan bakar lain. Hasil analisis menyimpulkan implementasi kebijakan
kewajiban biodiesel belum berjalan maksimal. Indikator kinerja pemanfaatan
biodiesel dari tahun 2009 sampai 2011 mengalami peningkatan, namun secara
volume terdapat kesenjangan antara target dan realisasi yang semakin besar.
Penelitian tersebut menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif.
Prambudia dan Nakano (2012) melakukan penelitian integrasi interaksi
antar berbagai komponen untuk menilai kinerja keamanan energi dalam perspektif
ekonomi dengan menggunakan model simulasi dan sistem dinamis di Indonesia.
Sekenario model dinamis ada tiga, yaitu tanpa membuat kebijakan sesuai kondisi
yang ada, peningkatan produksi, dan pengurangan subsidi.
Dimensi diukur
bedasarkan kelompok ketersediaan, keterjangkauan, efisiensi, dan keterterimaan,
dengan indikator kecukupan, impor, biaya, subsidi, emisi.
Hasil penelitian Prambudia dan Nakano (2012) menyimpulkan bahwa untuk
memperbaiki keamanan energi di Indonesia, penetapan kebijakan untuk
mengurangi subsidi akan lebih menguntungkan dibanding kebijakan untuk
meningkatkan produksi energi. Kebijakan pengurangan subsidi untuk energi akan
memperbaiki ukuran dimensi kinerja ketersediaan, efisiensi, dan keterterimaan,
sedangkan peningkatan produksi memenuhi ukuran dimensi ketersediaan,
keterjangkauan, dan efisiensi namun tidak memenuhi keterterimaan. Penelitian
yang dilakukan Prambudia dan Nakano (2012) sudah mengidentifikasi pelaku
yang terlibat dalam implementasi suatu kebijakan namun belum spesifik
mengaitkan dengan pencapaian target penggunaan biofuel sesuai regulasi yang
ada.
Model Dinamis Biodiesel Kelapa Sawit
Lembito et al. (2013) melakukan penelitian dengan judul Designing a
Supply Chain System Dynamic Model for Palm Oil Agro-Industries. Model
dinamis rantai pasok industri CPO yang disusun terdiri dari submodel produksi,
permintaan dan suplai, serta pendapatan dan biaya. Model dinamis memasukan
parameter biaya logistik yang terdiri dari biaya transportasi dan penyimpanan
yang membedakan dengan penelitian yang dirujuk sebelumnya. Namun model
tersebut belum memasukan potensi CPO untuk memenuhi kebutuhan biodiesel.
Denny et al. (2011) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan
pengembangan BBN terhadap dinamika harga komoditas pangan dan energi

5

nasional.
Model sistem dinamis terdiri dari produksi CPO untuk konsumsi
(minyak goreng, margarine dan oleokimia), ekspor dan biodiesel. Hasil penelitian
menyebutkan pengembangan bioenergi berbahan baku CPO dapat mengurangi
alokasi CPO untuk konsumsi (minyak goreng, margarin, oleochemical dan sabun).
Berkurangnya pasokan CPO akibat alokasi untuk bioenergi akan berpengaruh
pada harga CPO domestik. Harga CPO domestik akan fluktuatif namun cenderung
mengalami kenaikan.
Handoko et al. (2012) melakukan penelitian tentang permodelan sistem
dinamik ketercapaian kontribusi biodiesel dalam bauran energi Indonesia 2025
sesuai Peraturan Presiden No 5 tahun 2006. Model sistem dinamis yang disusun
terdiri dari lahan, pabrik refineri, pabrik biodiesel, dan penggunaan untuk minyak
goreng dan biodiesel sebagai bahan bakar. Penelitian menggabungkan
kemungkinan penyediaan biodisel dengan menggunakan bahan baku CPO dan
minyak jarak pagar. Hasil penelitian menyebutkan pada kondisi mandat 5 % dan
subsidi biodiesel Rp2 000 /l tidak akan mencapai target biodiesel pada tahun 2025
sebesar 10.22 juta kl. Target kontribusi biodiesel dalam bauran energi Indonesia
2025 sebesar 10.22 juta ton tersebut dapat dicapai dengan intervensi kebijakankebijakan yang meliputi 1) pencabutan subsidi solar ke level harga pasar, 2)
perluasan implementasi kewajiban penggunaan campuran biodiesel ke solar di
sektor transportasi non PSO, industri, dan pembangkit listrik sehingga mencapai
target minimum campuran sebesar 10 % untuk memberikan kepastian pasar,
3) Pengenaan pajak lingkungan terhadap solar sebesar minimum 5 % sebagai
tambahan atas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan
Bakar Kendaraan (PBBKB), 4) Subsidi biodisel minimum sebesar Rp2 000 /l.
Penelitian memasukan minyak jarak sebagai sumber bahan baku biodiesel,
padahal dalam kenyataannya minyak jarak belum nyata berproduksi. Penelitian
juga hanya memasukkan minyak goreng sebagai alternatif penggunaan CPO,
belum memasukan industri lain seperti oleokimia.
Tinjauan Kebijakan Biofuel di Asia Tenggara, Uni Eropa, Amerika, dan
Amerika Latin
1. Malaysia
Malaysia pertama kali mempromosikan kebijakan penganekaragaman
sumber energi adalah di tahun 1981. Kebijakan Malaysia menetapkan 4 sumber
energi, yaitu minyak, air, batubara, dan gas. Tujuan kebijakan tersebut adalah
mengurangi ketergantungan pada konsumsi bahan bakar minyak bumi (Kumar et
al. 2013).
Malaysia mulai merintis pengembangan energi terbarukan sebagai sumber
energi alternatif adalah pada Tahun 1982 melalui pengembangan biodiesel dengan
kapasitas 3 000 ton/tahun. Setelah melalui berbagai ujicoba penggunaan biodiesel,
pada tahun 2005 The National Biofuel Policy (BNP) mulai mengeluarkan
kebijakan kewajiban (mandatory) penggunaan biodiesel. Biodiesel yang pertama
diterapkan adalah B5 (campuran biodiesel 5 % dan solar 95 %) dari bahan baku
kelapa sawit. Biodiesel dikembangkan dengan tujuan utama adalah mengganti
bahan bakar fosil untuk keperluan sektor transportasi (kendaraan) dan industri
(boiler) (Masjuki et al. 2013, Sorda et al. 2010).

6

Keuntungan pengembangan biodiesel di Malaysia antara lain dapat
mencegah dampak negatif kenaikan harga bahan bakar minyak, menciptakan
pasar baru bagi industri hilir kelapa sawit, meningkatkan efisiensi utilisasi bahan
baku hasil produk dalam negeri, meningkatkan kesetabilan sosial ekonomi,
mendapatkan sumber energi yang ramah lingkungan yaitu dapat mengurangi emisi
gas rumah kaca (Zou and Thomson 2009).
Malaysia dalam mendukung pengembangan biodiesel telah mengeluarkan
kebijakan yang berupa insentif, pajak, dan retribusi. Pemerintah Malaysia pada
tahun 1986 telah mengeluarkan kebijakan pembebasan pajak sebesar 70 % dari
pendapatan industri biodiesel untuk 5 tahun pertama operasi. Ekspor biodiesel
tidak dikenakan biaya, namun ekspor produk CPO dikenakan biaya. Mulai tahun
2004 sampai 2006 pemerintah menyediakan anggaran US$26,8 juta untuk
pinjaman dengan bunga rendah serta untuk kegiatan penelitian, pengembangan,
dan demonstrasi hasil. Pada tahun 2006 Pemerintah Malaysia mewajibkan
setidaknya 6 juta ton CPO digunakan sebagai bahan baku biodiesel (Kumar et al.
2013, Sorda et al. 2010).
Produksi biodiesel Malaysia Tahun 2006 sebesar 55 000 ton, meningkat
menjadi 434 800 ton pada tahun 2007. Pemerintah Malaysia telah memberikan
ijin kepada 92 pabrik untuk memproduksi biodiesel dengan kapasitas produksi
keseluruhan mencapai 10.2 juta ton. Namun demikian, banyak pabrik biodiesel
yang telah diberikan ijin produksi tidak memproduksi biodiesel karena terkendala
dengan harga bahan baku CPO yang semakin meningkat sehingga dinilai tidak
layak secara ekonomi (Kumar et al. 2013).
Produksi biodiesel Malaysia menurun mulai tahun 2008 sampai 2011. Pada
tahun 2011 produksi biodiesel hanya mencapai 60 027 ton (GAIN 2014). Selain
adanya kenaikan harga CPO, isu lingkungan yaitu tidak terpenuhinya syarat
reduksi gas rumah kaca produk biodiesel untuk dipasarkan ke Uni Eropa dan
Amerika juga ikut andil menyebabkan penurunan produksi biodiesel. Pemerintah
Malaysia mengeluarkan peraturan untuk mengurangi masalah tren penurunan
produksi biodiesel mulai tanggal 1 Januari 2010, semua stasiun pengisian bahan
bakar harus menjual B5. Malaysia memberikan kebijakan subsidi ke industri
untuk mengatasi biaya produksi biodiesel yang tinggi. Namun kebijakan tersebut
hanya berlangsung sampai bulan Juni tahun 2011, sehingga tidak dapat menaikan
produksi biodiesel nasional (Kumar et al. 2013).
Pemerintah Malaysia pada tahun 2012 mulai fokus melaksanakan
implementasi mandat kewajiban penggunaan B5 yang sebelumnya tertunda.
Produksi biodiesel mulai tahun 2012 naik kembali. Pada tahun 2013 produksi
biodiesel Malaysia sebesar 330 032 ton naik 134 % dibandingkan dengan tahun
2012 sebesar 140 983 ton. Walaupun produksi biodiesel naik, namun produksi
biodiesel Malaysia masih berada dibawah kapasitas produksi. Jumlah pabrik
biodiesel yang beroperasi hanya 10 unit dari 34 pabrik yang terdaftar. Pemerintah
Malaysia menargetkan implementasi kewajiban B7 pada tahun 2015. Target
produksi biodiesel dengan menerapkan B7 pada tahun 2015 adalah sebesar 500
000 ton (GAIN 2014).
Pasar biodiesel Malaysia lebih banyak diekspor dibandingkan untuk
konsumsi dalam negeri. Ekpor biodiesel Malaysia tahun 2013 sebesar 175 032
ton, dan sisanya sebesar 155 000 ton digunakan untuk konsumsi dalam negeri
(GAIN 2014).

7

2. Thailand
Thailand merupakan salah satu negara yang sukses mengembangkan biofuel
untuk memenuhi sebagian kebutuhan energi. Produk biofuel yang dikembangkan
di Thailand adalah etanol dan biodiesel. Pemerintah Thailand berhasil
mengembangkan etanol karena didukung ketersediaan bahan baku
molases
domestik yang diproduksi dari singkong dan tebu. Tingkat produksi singkong di
Thailand mencapai 26 juta ton dan tebu mencapai 64 juta ton/tahun (Zou and
Thomson 2009). Produk biodiesel di Thailand diproduksi dari bahan baku kelapa
sawit dan kelapa.
Kebijakan dan pelaksanaan pengembangan biofuel pertama kali dibangun
melalui program Alternatif Energy Development Plan (AEDP) mulai tahun 2004
sampai 2011. Untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dengan target
sebesar 20 % dari total kebutuhan energi pada tahun 2022, Pemerintah Thailand
mengeluarkan program kedua AEDP untuk tahun 2008 sampai 2022 (Kumar et
al. 2013). Pemerintah Thailand kemudian merevisi target bauran energi
terbarukan menjadi 25 % pada tahun 2021 melalui program AEDP untuk tahun
2012 sampai 2021 (Sutabutr 2012).
Target bauran biofuel yang dipenuhi dari pengembangan etanol dan
biodiesel direncanakan melalui program jangka pendek tahun 2011, menengah
tahun 2016, dan panjang tahun 2022. Target produksi etanol program jangka
pendek adalah 3 juta l/hari pada tahun 2011, 6,2 juta l/hari pada tahun 2016 untuk
jangka menengah, 9 juta l/hari pada tahun 2012 untuk jangka panjang. Target
produksi biodiesel program jangka pendek adalah 3 juta l/hari pada tahun 2011,
3,6 juta l/hari pada tahun 2016 untuk jangka menengah, 5,97 juta l/hari pada tahun
2012 untuk jangka panjang (Kumar et al. 2013).
Kebijakan yang diterapkan dalam pengembangan etanol sesuai AEDP
adalah meningkatkan produksi dan produktivitas bahan baku singkong dan tebu,
mengembangkan alternatif bahan baku lainnya yaitu gandum, menggantikan
penggunaan bensin oktan 91 pada bulan oktober 2012, subsidi E20 gasohol
sebesar 3 baht/l (sekitar US$3 /l) lebih murah dari 95 oktan gasohol dan
memperluas stasiun pengisian E20, mendukung industri manufaktur Eco Car dan
mobil E85 dengan mengurangi pajak untuk industri otomotif sebesar 50 000 baht
(sekitar US$1 600) untuk setiap mobil E85 dan 30 000 baht (sekitar US$1 000)
untuk setiap Eco Car, mengubah peraturan dan undang-undang untuk mendukung
perdagangan bebas, dan memperbaiki bea cukai pajak untuk mendukung ekspor
etanol (Haema 2012), membiayai kegiatan R&D sebesar US$187.1 juta selama
tahun 2012 sampai 2016 untuk bioenergi, memberikan insentif finansial (feed in
tariff) dan fiskal (potongan/bebas pajak penghasilan) untuk investasi bioenergi
bagi swasta (Sutabutr 2012).
Kebijakan untuk mengembangkan biodiesel adalah memperluas area
perkebunan kelapa sawit tanpa mengurangi dan merubah area tanaman pangan,
meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas kelapa sawit, menerapkan
pencampuran B5 dan mengatur proposi campuran sesuai dengan tingkat produksi
kelapa sawit dalam negeri, mengembangkan pilot plant B10 atau B20 dan
meningkatkan kemampuan teknologi blending sebesar 7 % untuk minyak diesel
(Haema 2012).

8

Diantara negara berkembang di Asia, Thailand adalah negara yang
mempunyai rata-rata pertumbuhan etanol tertinggi.
Pada awalnya etanol
merupakan campuran bensin premium dengan angka oktan 95, dan mulai tahun
2003 pasar gasolin E10 mulai dikembangkan. Pemerintah Thailand pada tahun
2003 menargetkan produksi etanol sebesar 1 juta l/hari, untuk tahun 2006 sampai
2011 sebesar 3 juta l/hari, dan mulai tahun 2012 sebesar 9 juta l/hari
(Thammanomai 2014). Ketentuan pajak pembuatan E10 adalah sebesar 1.5 baht/l
(5 -6%) lebih murah dibanding bensin premium. Launcing E20 pada tahun 2008
dengan harga 6 baht/l lebih rendah 2 baht dibanding bensin murni dan E10
menyebabkan produksi etanol meningkat (Kumar et al. 2013).
Pemerintah Thailand belum mempunyai peraturan tentang penggunaan dan
penjualan biodiesel sebagaimana etanol. Etanol lebih sukses di pasaran dibanding
biodiesel, karena keterbatasan bahan baku biodiesel. Biodiesel di Thailand mulai
dipromosikan pada tahun 2005. Produksi awal biodiesel adalah pada tahun 2008
dengan dikembangkannya B2. Tanaman penghasil biodiesel mulai ditingkatkan
produksinya seiring dengan kebijakan penggunaan B100 untuk B2 yang
ditingkatkan menjadi B5. Pengembangan biodiesel di Thailand mempunyai
kendala berupa tidak terpenuhinya target produksi tanaman, terbatasnya lahan
perluasan kelapa sawit yang bersaing dengan tanaman karet. Oleh karena itu
pemerintah Thailand mengembalikan kebijakan penggunaan B5 menjadi B2 atau
B3 (Kumar et al. 2013).
Pada tahun 2012 konsumsi biodiesel meningkat, oleh karena itu pemerintah
mewajibkan kembali B5. Pemerintah Thailand pada tahun 2014 memperbaharui
kewajiban penggunaan B5 menjadi B7. Target produksi biodiesel adalah 7.2 juta
l/hari (Thammanomai 2014). Produksi biodiesel Thailand pada tahun 2014 adalah
sebesar 1 060 juta l. Kapasitas produksi biodiesel adalah 1 450 juta l/tahun.
Jumlah pabrik biodiesel yang beroperasi pada tahun 2014 adalah 10 unit. Pasar
biodesel adalah 100 % untuk konsumsi dalam negeri (GAIN 2014).
3. Philipina
Biofuel Philipina berupa etanol dan biodiesel bersumber dari tebu dan
kelapa. Coco-Methyl Ester (CME) merupakan produk turunan minyak kelapa
(CNO) sebagai bahan baku utama pembuatan biodiesel di Philipina. Philipina
merupakan produsen CNO terbesar di dunia.
Philipina adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang pertama
mengeluarkan peraturan tentang biofuel. Presiden Philipina Aroyo pada tanggal
24 Juli tahun 2006 telah menandatangani peraturan tentang kewajiban penggunaan
biofuel yaitu The Biofuel Act 2006 atau Republic Act 9367 (RA 9367). RA 9367
merumuskan : mengembangkan dan menggunakan energi terbarukan untuk
mengurangi impor minyak bbm, mencegah kerusakan lingkungan termasuk gas
rumah kaca, meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan pedesaan, memastikan
ketersediaan alternatif energi dan energi bersih tanpa merusak ekosisten nasional,
keragaman, dan ketahanan pangan negara (Zhou and Thomson 2009).
Tiga bulan setelah mandat RA 9367 diberlakukan minimum 1 % biodiesel
untuk bahan bakar mesin diesel. Dua tahun berikutnya naik menjadi 2 %. Target
campuran biodiesel pada tahun 2015 adalah 5 %, tahun 2020 sebesar 10 %, dan
2025 sebesar 20 % (GAIN 2014).

9

Selama dua tahun pemberlakuan mandatori, etanol 5 % telah berhasil
diproduksi dan digunakan sebagai bahan campuran untuk memenuhi kebutuhan
gasolin nasional. Setelah 4 tahun pemberlakukan mandatori, minimum etanol 10
% telah dicampur pada semua minyak gasolin untuk kebutuhan nasional. Target
campuran etanol pada tahun 2020 adalah 20 % (GAIN 2014). Pemenuhan biofuel
untuk sektor transportasi telah mendukung program pengembangan energi
alternatif pengganti bahan bakar fosil.
Untuk mendukung investasi pengembangan energi alternatif, Pemerintah
Philipina mengeluarkan kebijakan insentif. Pajak khusus sebesar nol persen
diterapkan untuk bahan baku lokal atau impor biofuel. Penjualan bahan baku yang
digunakan untuk produksi biofuel seperti kelapa, jarak, tebu, singkong, jagung,
dan gandum dibebaskan dari pajak nilai tambah. Semua air yang keluar sebagai
limbah cair dibebaskan dari biaya, institusi perbankan diwajibkan untuk
memberikan prioritas sampai 60 % dari modal untuk keperluan produksi,
penyimpanan, penanganan, pencampuran (blending), transportasi biofuel dan
bahan baku biofuel (Kumar et al. 2013).
Produksi biofuel pada awalnya yaitu tahun 2004, hanya terbatas pada
penggunaan kelapa untuk memproduksi CME atau coco diesel. Produksi bioetanol
dengan menggunakan tebu baru dikembangkan pada tahun 2008. Pertumbuhan
produksi etanol tidak signifikan sampai tahun 2009. Hanya ada dua fasilitas
produksi etanol yang beroperasi jauh dibawah target. Pada tahun 2010 produksi
etanol juga masih rendah. Rendahnya produksi etanol karena harga tebu yang
tinggi serta harga etanol tidak dapat bersaing dengan etanol dari Brazil dan
Thailand. Pada tahun 2011 produksi etanol meningkat karena harga tebu telah
stabil serta didukung oleh infrastruktur pabrik. (Kumar et al. 2013).
Produksi etanol untuk bahan bakar pada tahun 2013 sebesar 72 juta l.
Kapasitas produksi etanol sebesar 133 juta l. Jumlah Pabrik penghasil etanol
adalah 4 unit. Philipina adalah negera pengimpor etanol untuk bahan bakar. Impor
etanol untuk bahan bakar Philipina pada tahun 2013 mencapai 247 juta l (GAIN
2014).
Produksi biodiesel dapat berkembang setelah dikeluarkannya RA 9367.
Pada tahun 2010 terdapat 12 pabrik biodiesel yang mempunyai kapasitas total
sebesar 400 juta l, namun hanya 8 pabrik yang beroperasi. Produksi biodiesel
cenderung tetap setelah tahun 2009 karena keterbatasan produksi kelapa. Pada
tahun 2013 diperkirakan produksi biodiesel (CME) Philipina sebesar 130 juta l
(GAIN 2014).
4. Uni Eropa
Kebijakan pengembangan biofuel di Uni Eropa untuk pertama kali
dikeluarkan secara bersama-sama adalah Council and Parliament Directive
2003/30/EC. Kebijakan tersebut menetapkan target bauran pasar biofuel dalam
jangka pendek yaitu 2005 sebesar 2 % dan menengah sebesar 5.75 % pada tahun
2010. Target Council and Parliament Directive 2003/30/EC
ternyata tidak
tercapai, karena pada tahun 2005 bauran pasar biofuel hanya mencapai 1.8 %
dan 2010 mencapai 4.2 % (Sorda et al. 2010).
Uni Eropa pada tahun 2009 mengeluarkan The Renewable Energy Directive
(Directive 2009/28/EC) yang salah satu isinya adalah kebijakan target bauran
biofuel sebesar 10 % untuk transportasi pada tahun 2020 (Franco et al. 2010).

10

Directive 2009/28/EC merupakan bagian dari EU Energy and Climate Change
Package (CCP). CCP menetapkan 20/20/20, yaitu :
- A 20 % reduksi Gas Rumah Kaca (GRK) dibandingkan tahun 1990
- A 20 % perbaikan efisiensi energi pada tahun 2020
- A 20 % bauran energi terbarukan dari total energi di Uni Eropa. Bagian dari 20
% energi terbarukan adalah 10 % pencapaian bauran biofuel untuk sektor
transportasi untuk seluruh anggota negera Uni Eropa
Pada tahun 2010 Uni Eropa untuk menerapkan Directive 2009/28/EC
membuat National Renewable Energy Action Plans (NREAPs). Pada tahun 2012
Uni Eropa mengeluarkan Indirect Land Use Change (ILUC). Salah satu isi dari
ILUC adalah memulai produksi biofuel dari bahan baku tumbuhan non pangan.
Target produksi biofuel dari tanaman pangan adalah 5 % dari 10 % bauran
produksi biofuel. Setelah tahun 2020 biodiesel tidak akan diproduksi dari tanaman
yang dapat digunakan untuk pangan maupun makanan (GAIN 2014).
Parlemen Uni Eropa atas masukan dari petani, industri, dan stakeholder
lainnya pada tahun 2013 merevisi target produksi biofuel dari tanaman pangan
dan makanan menjadi 6 % dari 10 % produksi biofuel di tahun 2020. Target
dimulai pada tahun 2016 dengan besaran awal 0.5 % dari 10 %. Akhirnya, Dewan
Energi Uni Eropa pada Juni tahun 2014 mengeluarkan perjanjian politik yang
salah satu isinya adalah pencapaian 7 % dari 10 % target biofuel dapat berasal dari
tanaman pangan dan makanan (GAIN 2014).
Produksi etanol untuk bahan bakar di Uni Eropa pada tahun 2008 sebesar 2
816 juta l, meningkat 84 % menjadi 5 190 juta l pada tahun 2013. Negara
penghasil terbesar etanol untuk bahan bakar adalah Perancis. Produksi etanol di
Perancis pada tahun 2013 sebesar 1 180 juta l atau 23 % dari total produksi Uni
Eropa. Pengguna etanol untuk bahan bakar terbesar adalah Jerman sebesar 1 157
juta l atau 27.5 % dari total konsumsi etanol Uni Eropa. Setelah tahun 2012
kapasitas produksi etanol tidak signifikan naik, sehingga diprakirakan produksi
etanol juga tidak akan naik secara signifikan (GAIN 2014).
Produksi biodiesel di Uni Eropa pada tahun 2008 sebesar 9 550 juta l,
meningkat 14 % menjadi 10 880 juta l pada tahun 2013. Negara penghasil terbesar
biodiesel adalah Jerman. Pada tahun 2013 produksi biodiesel Jerman sebesar 3
180 juta l atau 29 % dari total produksi biodiesel di Uni Eropa. Pengguna
biodiesel terbesar di Uni Eropa juga Jerman dan Perancis. Jerman dan Perancis
pada tahun 2013 masing-masing mengkonsumsi biodiesel sebesar 2 500 juta l atau
masing-masing sebesar 20 % dari total konsumsi Uni Eropa. Bahan baku utama
biodiesel di Uni Eropa adalah tanaman rapeseed, kelapa sawit, dan minyak bunga
matahari (GAIN 2014).
Jerman sebagai negara produsen dan konsumen biofuel terbesar di Uni
Eropa sudah memperkenalkan biofuel sebagai alternatif sumber energi minyak
bumi sekitar tahun 1970-an, yaitu ketika krisis minyak. Jerman pada awalnya
kesulitan mengembangkan biofuel. Rendahnya harga minyak bumi, kesenjangan
teknologi dan ketidaksesuaian dengan kendaraan secara umum menyebabkan
biofuel hanya dikonsumsi oleh sebagian kecil kelompok konsumen (Franco et al.
2010).
Kebijkan utama pengembangan biofuel di Jerman adalah pemberian insentif
pajak. Insentif pajak diberikan kepada pabrik biofuel maupun pabrik blending

11

sejak tahun 2003 (Fig et al. 2010). Jerman juga menetapkan kebijakan target
kewajiban penggunaan biodiesel di sektor transportasi sebesar 4.4 % untuk
campuran solar dan penggunaan etanol sebesar 2.8 % untuk campuran bensin
(Sorda et al. 2010).
Pada tahun 2007 Pemerintah Jerman menerapkan kebijakan baru, yaitu
kewajiban kuota dan pajak potongan harga. Pajak potongan harga diberikan pada
biodiesel murni (B100) yang jumlahnya melebihi kuota. Biodiesel murni (B100)
dikenakan pajak 0.186 euro/l, sebagai perbandingan diesel dikenakan pajak 0.47
euro/l (Sorda et al. 2010).
5. Brazil
Brazil adalah negara produsen, konsumen, dan ekportir utama etanol dari
tebu. Brazil sudah mempunyai kebijakan terkait produksi dan penjualan etanol
sebagai campuran bahan bakar dari tahun 1930-an. Program peningkatan skala
produksi bioetanol di Brazil dimulai sekitar tahun 1970-an. Program utamanya
berupa penggantian bahan bakar minyak bumi dengan biofuel dan peningkatan
produksi tebu sebagai bahan baku bioetanol (Lima 2012).
Pada tahun 1990-an terjadi penurunan harga minyak bumi serta timbul
keluhan konsumen pengguna kendaraan terhadap etanol. Kondisi tersebut
menghambat laju penggunaan bioetanol. Pada tahun 2000-an program bioetanol
hidup kembali seiring dengan kemajuan teknologi mobil yang dapat
mengkonsumsi bahan bakar campuran etanol, kenaikan harga minyak bumi, dan
isu perubaham iklim dunia (Lima 2012).
Kebijakan pengembangan etanol di Brazil didukung oleh kebijakan
pemberian subsidi yang diberikan produsen gula dan produsen etanol. Subsidi
kepada produsen gula pada tahun 2013 sebesar R$12 /metrik ton, dan produsen
etanol sebesar R$0.20 /l etanol. Brazil juga menerapkan kebijakan kewajiban
penggunaan etanol. Pada tahun 2013 prosentase kewajiban penggunaan etanol
dalam bahan bakar minyak ditingkatkan dari 20 % menjadi 25 %. Brazil juga
memberikan insentif pajak bagi kendaraan yang menggunakan bahan bakar
campuran etanol yang besarnya disesuaikan dengan ukuran silinder cc kendaraan.
Produk campuran etanol dan bahan bakar minyak juga diberikan insentif pajak
CIDE (Conribution for Intervention in Economic Domain) sebesar 0 %. Pajak
CIDE digunakan untuk membiayai infrastruktur kerja dan perawatan sistem
transportasi di Brazil. Brazil juga memberikan keringanan suku bunga investasi
produk gula 5.5 %, dan produk etanol sebesar 7.7 % (GAIN 2013).
Kebijakan kewajiban penggunaan biodiesel sebesar 5 % telah ditetapkan
Pemerintah Brazil sejak tahun 2010. Kebijakan yang ditetapkan untuk menunjang
penggunaan biodiesel adalah pilihan untuk membeli (option to buy) yang
dikeluarkan oleh Kementerian Pertambangan dan Energi Brazil. Kebijakan
tersebut menyebutkan pemerintah dapat membeli hasil tanaman sebagai bahan
baku biodiesel kapan saja. Kebijakan lainnya yang diterapkan adalah tarif impor
biodiesel yang ditetapkan sebesar 14 % (GAIN 2013).
6. Amerika Serikat
Sejarah penggunaan biofuel di negara Amerika Serikat (AS) pada awalnya
lebih memfokuskan pada pengembangan etanol. Pada tahun 1978 pemerintah
mengeluarkan kebijakan the Energy Tax Act yang berisi pemberian subsidi

12

sebesar US¢4 /galon untuk bahan bakar E10 atau setara US¢40 /galon etanol
murni (Sorda et al. 2010).
Pada tahun 2004, The American Job Creation Act mengembangkan
kebijakan kredit pajak menjadi the Volumetric Ethanol Exercise Tax Credit
(VEETC) yang berupa penjaminan kredit pajak untuk setiap pencampuran etanol
dengan bahan bakar minyak bumi, baik untuk etanol yang berasal dari dalam
negeri maupun impor per volume tertentu. Industri pencampur etanol menerima
insentif kredit pajak sebesar US¢45 /galon. Jika penggunaan etanol mencapai 11
juta galon, maka besarnya kredit pajak sebesar 5 juta dolar. Kebijakan tersebut
berlaku sampai tahun 2010. VEETC juga berisi pemberian insentif kredit pajak
untuk biodiesel dari minyak nabati atau lemak sebesar US$1 /galon, dan insentif
kredit pajak sebesar US$50 /galon untuk minyak daur ulang (Sorda et al. 2010).
Kebijakan tarif impor sebesar US$0.54 /galon dikeluarkan pemerintah AS
untuk melindungi dari persaingan dengan industri luar negeri khususnya Brazil.
Kebijakan tarif impor memperbaharui kebijakan VEETC (Sorda et al. 2010).
Kebijakan yang mengatur penggunaan kewajiban biofuel di negara Amerika
Serikat (AS) adalah The Renewable Fuel Standard (RFS). Kongres pertama RFS
(RSF1) adalah pada tahun 2005. Hasil kongres RSF1 dituangkan dalam Energy
Policy Act of 2005 yang ditandatangani oleh Presiden AS. Energy Policy Act of
2005 mewajibkan penggunaan bahan bakar terbarukan (biofuel) di sektor
transportasi minimum sebesar 4 juta galon pada tahun 2006 dan menaikan tingkat
penggunaannya pada tahun-tahun berikutnya sampai mencapai 7.5 juta galon pada
tahun 2012 (Schnepf and Yacobucci 2013).
Pada tahun 2007, the Energy Independence and Security Act menaikan
target kewajiban penggunaan biofuel pada tahun 2008 sebesar 9 juta galon, serta
tahun 2022 sebesar 36 juta galon sebagaimana tercantum dalam RSF2 . Tujuan
peraturan tersebut adalah mengurangi ketergantungan konsumsi bahan bakar
minyak bumi sebesar 20 % pada 10 tahun ke depan (Schnepf and Yacobucci
2013); (Sorda et al. 2010).
Pada tahun 2008, Departemen Energi AS mengeluarkan program biomassa
yang mempunyai dua tujuan utama, yaitu mengurangi konsumsi bensin sebesar 30
% pada tahun 2030 dibanding penggunaan pada tahun 2004, serta penggunaan
bahan biofuel dari selulosa dan etanol turunan dari jagung. Target penggunaan
biofuel dari selulosa adalah setidaknya sebesar 16 juta galon dan dari etanol
turunan jagung sebesar 15 juta galon. RSF2 mempunyai tiga perbedaan mendasar
dibanding dengan RSF1. Perbedaan tersebut adalah pertama total permintaan
bahan bakar terbarukan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu bahan bakar terbarukan,
biofuel yang lebih maju (advance), biomassa berbasis biodiesel, dan biofuel
selulosa; kedua kualifikasi biofuel harus memenuhi syarat minimum reduksi emisi
gas rumah kaca; ketiga semua bahan bakar terbarukan harus terbuat dari bahan
baku biomassa terbarukan, termasuk juga pembatasan penggunaan lahan. RSF2
telah memasukan prinsip keberlanjutan (Schnepf and Yacobucci 2013, Sorda et
al. 2010).
Kebijakan yang terdapat pada negara AS dalam pengembangan biofuel
dapat diringkas meliputi kewajiban minimum penggunaan biofuel sebagai bahan
campuran bahan bakar minyak bumi, kredit pajak untuk industri produsen dan
pencampur biofuel, tarif impor, pinjaman dan garansi pinjaman, pemberian
anggaran penelitian di bidang biofuel (Schnepf and Yacobucci 2013).

13

Tinjauan Kebijakan Biofuel di Indonesia
Pemerintah Indonesia melakukan kajian potensi energi terbarukan sejak
tahun 1976 dengan membentuk lembaga setingkat departemen yang bernama
Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN). BAKOREN kemudian
merumuskan KebijakanUmum Bidang Energi (KUBE) yang memasukkan
program energi baru dan terbarukan sebagai sumber energi alternatif. Pada tahun
1990 KUBE diperbaharui dengan programnya berupa intensifikasi, diversifikasi,
dan konservasi energi (Yugistiantoro 2000).
KUBE pada tahun 1998 diperbaharui kembali dengan membuat kebijakan
yang mengarah pada pemanfaatan energi terbarukan yang lebih ramah
lingkungan. Cakupan kebijakan KUBE 1998 meliputi lima, yaitu intensifikasi,
diversifikasi, konservasi, dan harga energi, serta memperhatikan aspek
lingkungan. Pada KUBE 1998 sudah memasukan kebijakan pendukung yang
berupa meningkatkan investasi, memberikan insentif dan disinsenif, standarisasi
dan sertifikasi, pengembangan infrastruktur, peningkatan kualitas SDM,
pengelolaan sistem informasi, penelitian dan pengembangan, serta pengembangan
kelembagaan dan pengaturan (Yugistiantoro 2000).
Pada tahun 2005 terjadi kenaikan harga BBM, akibatnya pemerintah
semakin tertarik untuk mengembangkan energi terbarukan. Presiden RI kemudian
mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 1996 tentang pemanfaatan
dan penyediaan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai bahan bakar lain. Kebijakan
ini merupakan instruksi kepada 13 Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota untuk
mengambil langkah-langkah dalam percepatan penyediaan dan pemanfaatan
BBN.
Pada tahun 2006 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No 5 tentang
kebijakan energi nasional yang menekankan pentingnya upaya untuk mengurangi
pemakaian bahan bakar minyak dan meningkatkan pemakian sumber energi baru
dan terbarukan. Peraturan tersebut juga mencantumkan target kontribusi biofuel di
Indonesia adalah sebesar 5 % dari total suplai energi pada tahun 2025, serta target
EBT 17 % . Target EBT pada Rancangan Peraturan Pemerintah untuk tahun 2013
sampai 2050 tentang kebijakan energi nasional direvisi menjadi paling sedikit 23
% pada tahun 2025 dan 31 % pada tahun 2050.
Pada tahun 2007 telah terbit Undang-undang (UU) No 30 tentang energi. Isi
UU No 30 tahun 2007 antara lain adalah memprioritaskan penyediaan dan
pemanfaatan EBT sebagai bentuk penganekaragaman sumber daya energi untuk
menjamin ketersediaan energi nasional. Penyediaan sumber EBT dapat
memperoleh kemudahan dan/atau insentif untuk jangka waktu tertentu hingga
tercapai nilai keekonomian. UU No 30 tahun 2007 merupa