Perancangan Model Optimasi Keseimbangan Energi Neto Biodiesel Kelapa Sawit

DINAMIKA INSTITUSI DALAM JEJARING KEKUASAAN
PENGELOLAAN HUTAN: KASUS PERUBAHAN LAHAN BERHUTAN DI
KABUPATEN PASER KALIMANTAN TIMUR

RETNO MARYANI

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi berjudul Dinamika Institusi
Dalam Jejaring Kekuasaan Pengelolaan Hutan: Kasus Perubahan Lahan Berhutan
Di Kabupaten Paser Kalimantan Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Retno Maryani
NIM E161100091

*

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
RETNO MARYANI. Dinamika Institusi Dalam Jejaring Kekuasaan Pengelolaan
Hutan: Kasus Perubahan Lahan Berhutan Di Kabupaten Paser Kalimantan Timur.
Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO, BRAMASTO NUGROHO, DIDIK
SUHARJITO dan BOEN M PURNAMA.
Peran institusi dalam menentukan kelestarian sumberdaya alam
dipertanyakan dengan meningkatnya laju deforestasi yang berlangsung di saat krisis
ekonomi tahun 1996 dan berlanjut dengan reformasi politik di tahun 1999. Laju

deforestasi, yang dilaporkan stabil dengan rata-rata 1,86 juta hektar selama 12 tahun
dari 1986 hingga 1996, meningkat hingga mendekati tiga juta hektar dengan adanya
konversi hutan menjadi non-hutan dalam kurun waktu tiga tahun. Situasi krisis
ekonomi yang berlanjut dengan reformasi politik diduga mempengaruhi stabilitas
institusi yang mengendalikan kebijakan pengelolaan hutan dan pelaksanaannya di
lapangan. Penelitian ini bermaksud melakukan eksploratori faktor-faktor yang
mempengaruhi stabilitas institusi dalam mewujudkan kelestarian hutan, melalui
empat tahapan analisis sebagai berikut, yaitu: (1) menganalisis perubahan tutupan
lahan berhutan menjadi non-hutan, (2) menganalisis faktor penyebab dari terjadinya
perubahan tutupan lahan tersebut, (3) menganalisis kebijakan pengelolaan hutan yang
mempengaruhi terjadinya perubahan tutupan lahan, (4) Mendiskusikan implikasi dari
pembaharuan undang-undang Pemerintahan Daerah terhadap upaya untuk
melestarikan hutan. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Paser, Kalimantan
Timur dengan mempertimbangkan karakteristik sumberdaya hutan yang
menghasilkan berbagai macam manfaat guna memenuhi berbagai kebutuhan
masyarakat, serta mempertimbangkan karakter pengguna hutan yang memiliki
berbagai kepentingan terhadap sumberdaya hutan. Jenis data yang digunakan bersifat
kuantitatif dan kualitatif yang bersumber dari data primer maupun data sekunder.
Data kuantitatif dalam bentuk Citra Landsat TM7 bersumber dari Kementerian
Kehutanan digunakan untuk menghitung luas lahan berhutan yang dibuka menjadi

non-hutan dan dianalisis secara spasial dengan menggunakan prosedur baku SNI
8803:2014 (Anonimus 2014). Penyebab pembukaan hutan ditelusuri dengan
menggunakan metode snowballing, untuk mengetahui aktor, kelompok pengguna
hutan, yang berdasarkan kepentingannya dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu:
pemerintah, non-pemerintah atau organisasi sipil masyarakat, pengusaha serta
kelompok masyarakat setempat (Grimble dan Wellard 1997). Wawancara mendalam
dengan aktor yang dilengkapi dengan pengamatan terlibat dilakukan untuk
mengetahui terjadinya perubahan kondisi hutan serta perubahan pengelolaan hutan
dari pandangan aktor yang mencerminkan realitas sosial (Suhardjito 2014). Analisis
aktor menggunakan teori akses untuk mengetahui sumberdaya aktor dalam bentuk a.l
kedudukan sosial, finansial, identitas, pengetahuan, dan teknologi yang digunakan
untuk memperoleh, mempertahankan, mengendalikan kontrol terhadap penggunaan
dan manfaat dari hutan (Ribot dan Peluso 2003). Realitas sosial yang dipahami oleh
aktor divalidasi dengan data sekunder guna menjelaskan efektivitas kebijakan
pengelolaan hutan. Sumber data sekunder adalah peraturan perundang-undangan,
kebijakan dan program kehutanan, laporan kegiatan dan evaluasi yang merefleksikan
aturan formal tentang pengelolaan hutan. Hubungan antara perkembangan institusi
dengan meluasnya pembukaan hutan didiskusikan dengan mengemukakan kenyataan

empiris tentang elemen institusi yang menentukan kelestarian hutan. Hasil analisis

spasial menunjukkan bahwa lahan berhutan yang menutupi kabupaten Paser berada
di dalam dan juga di luar kawasan hutan. Pembukaan hutan sebelum tahun 2000
berlangsung di dalam dan juga di luar kawasan hutan. Hutan di kawasan konservasi
dibuka menjadi tambak, sedangkan hutan di kawasan hutan produksi dibuka menjadi
belukar dan hutan yang diluar kawasan dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit.
Pembukaan hutan berlanjut setelah tahun 2000, yang mengakibatkan meluasnya
tambang di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Penyebab pembukaan
hutan di kabupaten Paser ada tiga, yaitu: (1) kawasan hutan digunakan untuk
mengembangkan investasi berbasis sumberdaya lahan; (2) hutan ditransaksikan
untuk berbagai kepentingan; (3) Situasi kaotik pengelolaan hutan dengan terbukanya
jejaring organisasi di masyarakat. Hutan digunakan untuk memenuhi kepentingan
yang beragam dan divergent, bersifat short sighted atau borientasi ekonomi jangka
pendek, serta beresiko tinggi. Re-formulasi aturan pengelolaan hutan (reformed
rules) belum ter-internalisasi ke dalam praktek sehari-hari sedangkan aturan yang
lama tidak dipatuhi dan kehilangan legitimasinya. Hasil analisis kebijakan
menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan hutan menghadapi persoalan
kepentingan untuk menggunakan hutan yang beragam serta berkembang.
Penggunaan hutan yang awalnya untuk produksi kayu dan non-kayu menjadi sarana
untuk membuka isolasi pemukiman, membangun infrastruktur, membuka lapangan
kerja serta mengembangkan usaha dan juga membangun kekuasaan politik serta

memekarkan wilayah administrasi. Pengguna hutan yang awalnya pengusaha besar
dengan ijin dari pusat, bertambah dengan pengusaha lokal dan masyarakat adat
dengan ijin dari kabupaten. Hak untuk memanfaatkan hasil hutan yang diberikan oleh
pemerintah menghadapi persoalan akses yang dikembangkan dengan menggunakan
pengetahuan, teknologi dan kemampuan finansial, ataupun posisi di masyarakat
dalam mengelola hutan. Akibatnya, lahan berhutan yang awalnya mendominasi
lanskap di Kabupaten Paser menjadi semakin berkurang luasnya, digantikan dengan
tutupan lahan non-hutan yang semakin meningkat luasnya. Kebijakan pengelolaan
hutan menghadapi persoalan jejaring kekuasaan yang berkembang untuk menguasai
manfaat dari hutan. Ill-defined property rights mempengaruhi berlanjutnya
pembukaan hutan di masa desentralisasi, yang ditunjukkan melalui de jure aturan
formal tentang pengertian hutan dan penunjukkan serta penetapan kawasan hutan
yang tidak sesuai dengan de facto penggunaan lahan di lapangan (Nugroho 2013).
Pembaharuan aturan penyelenggaraan negara melalui UU no 23 tahun 2014 tentang
pemerintahan daerah membuka peluang (window of opportunity) bagi sektor
kehutanan untuk mewujudkan kelestarian hutan sekaligus kemakmuran rakyat.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa stabilitas politik dan ekonomi di tingkat nasional
mempengaruhi laju kerusakan hutan di tingkat lokal. Hasil penelitian ini
merekomendasikan agar kebijakan pengelolaan hutan diarahakan untuk
mengakomodasi berkembangnya informasi dan organisasi pengelolaan hutan, serta

menggalang aksi kolektif guna melestarikan hutan.
Kata kunci: dinamika institusi, kabupaten Paser, desentralisasi, pengelolaan hutan

SUMMARY
RETNO MARYANI. Institutional Dynamic Within Web of Power of Forest
Management: The Cast of Conversion Forested Land at Paser Regency of East
Kalimantan Province. Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO, BRAMASTO
NUGROHO, DIDIK SUHARJITO and BOEN M PURNAMA.
Roles of institutions in sustaining natural resources being discussed given the
situation of increasing rate of deforestation during the economical crises and political
reform in Indonesia before the year 2000. Stability of institutions that control the
policy of forest management being affected and that influence the use of natural
resources, in particular of forest resources. This research aims to explore factors that
influence the dynamic of institutions in guiding sustainable use of forest resources by
applying three phases of analysis, namely (1) to analyse conversion of forested lands
into non-forestry uses at the research location; (2) to analyse underlying factors that
influence the conversion of forested lands into non forestry uses; (3) to discuss
implications for enactment of the law on regional governance, Law No 23/2014, on
the policy of forest management that intend to sustain forest condition. The research
purposively selects Regency of Paser at East Kalimantan Province as location of the

study by considering its characteristics of forest resources and the characters of forest
users that influence rules in used in forest management. It employs qualitative
approach by using combined data quantitative and data qualitative that originate from
both primary as well as secondary data sources. Optical data of Landsat TM7 from
the Ministry of Forestry being used to calculate the area of forested lands being
converted into other landuses by using standardized approach of SNI 8803:2014.
Snowballing approach being used to identify factors that affect the conversion and
actors responsible and affected by the conversion (Grimble and Wellard 1997). Social
reality about the situation of conversion of forested lands being interpreted from
narrative of informant that represent diversity of forest users (Suhardjito 2014). The
theory of access from Ribot and Peluso (2003) being used to explain empirical facts
about forest uses in relation with regulation of forest management. The spatial
analysis shows that forests at the Regency of Paser covert both state and private or
communal lands. During the economical crises and policital reform of year 1996 –
1999 intensity of forest conversion has increased. Conversion of forested lands
resulted into expansion of shrubs, oil palm plantations and fishponds expansions and
coal minning exploitation. The conversion of forested lands at Paser being caused by
the following reasons (1) state forest areas being used for expanding economical
investment based on land resources; (2) forests being transacted for various purposes
to satisfy diverse interests on the resources; (3) a chaotic situation facilitates web of

power to develop in the arena of forest management. Forest resources being used to
satisfy interests of forest users that diverse, short sighted and economical oriented
and high risks. Reformed rules on forest management has yet being not internalized
into the daily used of rules on forest management, in the meantime the former rules
loss its legitimation. The former rules of forest management that intend to produce
woods and non-woods products being used among others to open up isolated rural
places, to develop infrastructure, and expand private business, and to expand the area
of political administration and political power. The users of forest that in the past hold
the rights from the central government has expanded with the users that hold the rights

from government at regency level, and also the users that hold the adat rights being
granted from the local government. Rights to use the forests and natural resources
being granted from the government have been challenged with the rights being
accepted by society that have developed into access on regulating and using forest
resources. Ill-defined property rights influence on the continuous conversion of
forested lands at the Regency Paser of East Kalimantan Province. Formal rules that
regulate the management of forests in contradiction with de factor of forest uses. The
enactment of new law on Regional Governance of Law No. 23/2014 serves as the
window of opportunity for improving forest condition. However, formulation and
implementation of the law shall address roots of the problem that originate from illdefined property rights that enable web of power to flourish in the arena of forest

management. Efforts to sustain forest resources shall not only be directed at law
enforcement and formulation of new regulations, but it shall be able to identify web
of power that exist at certain location and control the power politically. Typology
politics of certain locality should be mapped as the bases to control the web of power.

Key words: institutional dynamic, Paser Regency, decentralisation, forest
management

 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Iin Ichwandi M.Sc.F
(Staf Pengajar pada Departemen Manajemen Hutan,

Fakultas Kehutanan IPB)
Dr Ir Hariyatno Dwiprabowo M.Sc
(Peneliti senior pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan,
Kementerian Kehutanan)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Iin Ichwandi M.Sc.F
(Staf Pengajar pada Departemen Manajemen Hutan,
Fakultas Kehutanan IPB)
Dr Ir Hariyatno Dwiprabowo M.Sc
(Peneliti senior pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan,
Kementerian Kehutanan)

DINAMIKA INSTITUSI DALAM JEJARING KEKUASAAN
PENGELOLAAN HUTAN: KASUS PERUBAHAN LAHAN BERHUTAN DI
KABUPATEN PASER KALIMANTAN TIMUR

RETNO MARYANI
Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Disertasi: Dinamika Institusi Dalam Jejaring Kekuasaan Pengelolaan Hutan:
Kasus Perubahan Lahan Berhutan Di Kabupaten Paser Kalimantan
Timur
Nama
: Retno Maryani
NIM
: E161100091

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga Disertasi dengan judul “Dinamika Institusi Dalam Jejaring
Kekuasaan Pengelolaan Hutan: Kasus Perubahan Lahan Berhutan Di Kabupaten
Paser Kalimantan Timur” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini diajukan dalam rangka
memenuhi persyaratan memperoleh gelar Doktor pada Mayor Ilmu Pengelolaan
Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dengan kerendahan hati dan penuh rasa hormat, penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1.

Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo MS, Prof Dr Ir Bramasto Nugroho MS, Prof
Dr Ir Didik Suharjito MS dan Dr Ir Boen M Purnama M.Sc selaku komisi
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan
pengetahuan selama proses pembimbingan hingga tersusunnya disertasi ini;
2.
Prof Dr Ir Hardjanto MS selaku Ketua Program Studi S3 yang telah
memberikan perhatian, dukungan dan pelayanan administratif yang diperlukan
untuk menyelesaikan studi ini;
3.
Dr Ir Iin Ichwandi M.Sc.F dan Dr Ir Haryatno Dwiprabowo M.Sc selaku
penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Sidang Terbuka Promosi Doktor;
4.
Pimpinan Badan Litbang Kehutanan dan jajarannya atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB;
5.
Tropenbos Internasional yang telah memfasilitasi pengumpulan data;
6.
Rekan-rekan di Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan atas semangat
dan dorongan yang diberikan untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini;
7.
Seluruh pihak yang telah membantu menyediakan data, informasi dan literature
selama pengumpulan data dan penyusunan disertasi;
8.
Teman-teman IPH angkatan 2010 atas waktu untuk berdiskusi dan bertukar
pendapat, kebersamaan serta kekeluargaannya selama ini;
9.
Seluruh pengelola Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Institut Pertanian
Bogor selama proses pendidikan penulis di IPB;
10. Dr. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc, Rahardhyani Primarista Putri S.Hum
dan Rahardhyani Dwiannisa, suami dan anak-anak tercinta yang selalu
mendampingi dan memberikan semangat sehingga penulis memiliki motivasi
untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini;
11. Keluarga besar Martadji dan Sumadhijo yang selalu memberikan semangat dan
dorongan baik moril maupun materil;
12. Kepada semua pihak yang berkenan mendukung pelaksanaan penelitian ini.
Semua dukungan yang telah diberikan kepada kami adalah bagian penting dari
penyelesaian disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Retno Maryani

DAFTAR ISI
1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5

Kebaruan (Novelty) Penelitian

5

Disain Penelitian

6

Metode Penelitian

9

2 SITUASI PENGELOLAAN HUTAN DI KABUPATEN PASER

16

Gambaran Umum Kabupaten Paser

16

Penggunaan Lahan dan Hutan

17

Perkembangan Luas Hutan

21

Simpulan

23

3 FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN LUAS LAHAN BERHUTAN DI
KABUPATEN PASER
24

4

Perluasan Tambak di Kawasan Konservasi

24

Perluasan Kebun Kelapa Sawit Menggantikan Tutupan Hutan

25

Penebangan Hutan Meningkat Volumenya dan Meluas Wilayahnya

27

Perluasan Tambang Batubara di dalam Kawasan Hutan

29

Pelestarian Hutan Lindung Gunung Lumut

30

Simpulan

31

ANALISIS PERKEMBANGAN INSTITUSI DALAM HUBUNGANNYA
DENGAN PERUBAHAN LUAS TUTUPAN HUTAN
32
Perkembangan Kondisi Hutan di Kabupaten Paser

32

Perkembangan Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Hutan

36

Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan dalam Hubungannya dengan
Kelestarian Hutan
39
Dinamika Institusi dalam Hubungannya dengan Pengelolaan Hutan

41

5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI

44

Simpulan

44

Rekomendasi

45

DAFTAR PUSTAKA

46

LAMPIRAN

49

RIWAYAT HIDUP

65
DAFTAR TABEL

1.
2.
3.
4.

5.
6.

Teori yang Digunakan, Pengumpulan dan Analisis Data pada MasingMasing Tujuan Penelitian
Pembagian luas kawasan berdasarkan TGHK 1983
Daftar nama pemegang ijin HPH hutan alam dan luas usaha yang
diberikan di Kabupaten Paser pada tahun 1970
Wilayah kerja Cabang Dinas Kehutanan dalam hubungannya dengan
wilayah administratip pemerintahan Kabupaten di propinsi Kalimantan
Timur.
Analisis Dokumen Regulasi
Faktor eksogen dan endogen dari institusi yang mempengaruhi
kelestarian hutan

15
17
20

21
40
42

DAFTAR GAMBAR
1.
2.

Lokasi Kabupaten Paser sebagai bagian dari Propinsi Kalimantan Timur
Anak Suku Muluy memulai aktifitas pagi hari di Sungai Muluy (sumber:
www.mongabay.co.id)
3. Houling
logging
masih
terlihat
di
kampong
Muluy
(Sumber: www.mongabay.co.id)
4. Luas lahan berhutan yang dibuka menjadi non-hutan di Kabupaten Paser
5. Luas lahan berhutan yang dibuka di dalam kawasan hutan
6. Luas lahan belukar, tanah terbuka, perkebunan, tambak, pertambangan
dan lain-lain yang diakibatkan dari pembukaan hutan pada masingmasing fungsi hutan di Kabupaten Paser
7. Faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan di
Kabupaten Paser Kalimantan Timur
8. Luas hutan dan non-hutan di Kabupaten Paser, dihitung periodik dari
tahun 2000 sampai dengan 2011
9. Luas penggunaan lahan di Kabupaten Paser (sumber: BLHD Kabupaten
Paser 2013)
10. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi di Kabupaten Paser (sumber:
BLHD Kabupaten Paser 2013)
11. Peran pemerintah dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Paser
12. Jejaring kekuasaan dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Paser
berdasarkan teori akses.

16
18
20
22
22

23
31
33
34
34
38
41

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelestarian sumberdaya alam ditentukan oleh institusi yang mengatur
sekelompok masyarakat dengan kepemilikan hak atas sumberdaya alam (owner of
rights) (Ostrom 1990; Bromley 1991). Hak tersebut memberikan kewenangan
untuk menentukan tujuan dari penggunaan sumberdaya alam, serta menentukan
pihak yang dipandang mampu untuk mewujudkan tujuan yang telah disepakati
(user of the rights). Hak dari sekelompok masyarakat tersebut dapat dialihkan
melalui mekanisme pasar (jual beli), atau melalui mekanisme politik ataupun
pengadilan.
Di Indonesia, institusi negara mengendalikan property rights atas
sumberdaya alam dengan mendeklarasikannya di dalam konstitusi negara. Pasal 33
ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “bumi, air dan segala
kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan manfaatnya digunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Penguasaan sumberdaya alam oleh
negara memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan
sumberdaya tersebut dengan menggunakan peraturan perundang-undangan dan
menegakkan aturan yang ada dengan menggunakan organisasinya. Pasal 18 UUD
1945 menyatakan bahwa organisasi pemerintah terstruktur secara hirarki dengan
susunan pemerintahan di pusat, di propinsi dan di kabupaten sebagai satu kesatuan
negara republik Indonesia (NKRI). Aturan formal yang bersumber dari UUD 1945
mengatur penggunaan sumberdaya alam, yang di dalamnya termasuk sumberdaya
hutan.
Penggunaan sumberdaya alam yang diatur oleh institusi negara
menimbulkan kontestasi kekuasaan ketika pemerintah melimpahkan sebagian
kewenangannya kepada pemerintah daerah di kabupaten guna mempercepat
pembangunan. Desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam, dilakukan dengan
menerbitkan undang-undang (UU) yang memperbaharui aturan Pemerintah Daerah
melalui UU No. 22/1999 dan diikuti dengan UU tentang Perimbangan Keuangan
Daerah dan Pusat No 25/1999. Pembaharuan aturan juga berlaku di bidang
kehutanan dengan menerbitkan UU Kehutanan No. 41/1999 yang menggantikan
UU Pokok Kehutanan No. 5/1967. Kebijakan tersebut dilaksanakan ketika
pemerintah bersama dengan Bank Dunia/IMF berupaya untuk mengembalikan
stabilitas perekonomian yang terguncang sebagai akibat dari krisis ekonomi yang
berawal dari tahun 1996 (Manning dan Diemen 2000).
Desentralisasi dipopulerkan di berbagai negara berkembang menjelang
tahun 2000, sebagai cara baru membangun negara dengan memperbaiki alokasi
sumberdaya, efisiensi, akuntabilitas dari penggunaan sumberdaya secara
berkeadilan (berbagai publikasi Bank Dunia). Di bidang pengelolaan sumberdaya
alam, kebijakan desentralisasi diharapkan mampu mengalirkan manfaat
pembangunan bagi masyarakat setempat, serta mampu untuk mendorong
masyarakat berpartisipasi melestarikan keberadaan sumberdaya.

2
Proponen desentralisasi menekankan bahwa masyarakat lokal dan pemerintah
daerah merupakan aktor yang paling tepat untuk menyusun rencana dan
melaksanakan pengelolaan sumberdaya. Asumsi tersebut berdasarkan, argumen
bahwa masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat adalah konstituen
pembangunan yang memahami kebutuhan setempat, termasuk seluk beluk
lingkungan dan penggunaan sumberdaya alam di wilayahnya. Dengan
pertimbangan tersebut, keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah akan
meningkatkan rasa kepemilikan (sense of ownership) dan memperkuat partisipasi
masyarakat. Pemberian kewenangan dalam hal penyusunan kebijakan dan
pelaksanaannya diharapkan akan mendorong terwujudnya kelestarian hutan,
meningkatnya kesejahteraan masyarakat, serta terwujudnya lingkungan yang
demokratis bagi masyarakat setempat, di sekitar wilayah sumberdaya alam.
Di Indonesia, kebijakan desentralisasi diberlakukan di tengah situasi krisis
ekonomi yang mempengaruhi formulasi peraturan pengelolaan hutan. Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia, diawali dengan jatuhnya mata uang rupiah
terhadap nilai tukar mata uang asing yang meningkat hingga menjadi tiga kali lipat.
Harga-harga barang impor meroket tinggi, yang sebagian adalah barang keperluan
sehari-hari seperti misalnya gula, bahan percetakan, serta bahan dasar bagi industri
yang mengakibatkan tutupnya sebagian industri (Sunderlin 1999; Manning dan
Diemen 2000). Sementara angka pengangguran di kota melonjak sebagai akibat
dari pemutusan kerja, hal yang sebaliknya terjadi di pedesaan yang menikmati
‘windfall profit’, keuntungan mendadak dari naiknya harga komoditas ekspor
seperti misalnya cokelat, udang dan ikan serta lada (Sunderlin dkk 2001).
Di sektor kehutanan, krisis ekonomi mengakibatkan bangkrutnya industri
pengolahan kayu dikarenakan melonjaknya harga bahan baku impor yang
dibutuhkan oleh industri pengolahan kayu, tingginya hutang perusahaan serta
menipisnya pasokan kayu ke dalam wilayah industri (Barr 2003). Dalam rangka
mengendalikan perekonomian yang mengalami kontraksi nasional, di tahun 1997
Presiden Soeharto mengambil langkah politik untuk menandatangani kesepakatan
dengan pihak International Monetary Funds (IMF/WB) World Bank. Kesepakatan
yang dituangkan di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies atau
yang dikenal sebagai the Letter of Intent yang pertama (LOI I) dijadwalkan
berlangsung selama tiga tahun.
Kedua pihak bersepakat untuk melakukan reformasi struktural di bidang
ekonomi dan keuangan dengan cara memperkuat kebijakan fiscal dan keuangan
guna mendukung kebijakan makro-ekonomi. Melalui kontrol Bank Dunia/IMF,
pemerintah Indonesia memberlakukan nilai tukar mata uang yang mengambang
(floated exchange rate) guna menyiasati fixed exchange rate yang semakin
melambung. Kepercayaan publik terhadap mata uang rupiah dipulihkan melalui
restrukturisasi perbankan, dengan cara antara lain memperbaiki institusi dan aturan
perundang-undangan di bidang perbankan. Reformasi struktural di bidang
keuangan meliputi empat agenda, yaitu reformasi kebijakan perdagangan dan
investasi asing, memperkuat de-regulasi dan privatisasi, memperkuat jejaring
keamanan nasional, serta mereformasi kebijakan lingkungan. Penggunaan
sumberdaya utama (key resource prices) ditata ulang, disertai dengan biaya
penggunaannya (usage charges). Kebijakan lingkungan yang diberlakukan di

3

bidang kehutanan dan penggunaan air, dimaksudkan untuk memperkokoh
pendapatan negara disamping untuk mempromosikan pengembangan jasa
lingkungan.
Kebijakan desentralisasi juga dilakukan pada saat kondisi hutan
terdegradasi setelah dua puluh tahun dieksploitasi. Seluas 5,1 juta hektar kawasan
hutan dikategorikan open akses akibat dari berakhirnya masa konsesi HPH, atau
ditinggalkan oleh pemegang hak karena habis potensi kayunya, dan atau diokupasi
oleh masyarakat (Departemen Kehutanan 1997). Pada saat itu, era penebangan
hutan alam digantikan dengan pembangunan hutan tanaman dan rehabilitasi hutan
untuk mengembalikan produktivitas lahan dan hutan yang dikategorikan sebagai
lahan kritis seluas 13 juta hektar. Skema hak pengusahaan hutan tanaman Indonesia
atau HPHTI diterbitkan untuk menghemat kayu di hutan alam dan memperbaiki
kondisi hutan yang terdegradasi (PP No. 7/1990). Skema ini mendukung program
PELITA ke VI tahun 1993/1994 yang mentargetkan Indonesia untuk tinggal landas
dari pembangunan berbasis agraris menuju basis industri. Pemerintah memperbaiki
kondisi hutan dengan menata ulang kawasan hutan, mengambil alih hak BUMS
serta mengalihkannya kepada BUMN, disamping menggalakkan jiwa
professionalism rimbawan (Departemen Kehutanan 1997).
Aturan formal dan organisasi pemerintah yang digunakan untuk
mewujudkan kelestarian hutan dipertanyakan efektivitasnya dalam kaitannya
dengan laju deforestasi yang meningkat ketika pemerintah melimpahkan
kewenangannya kepada pemerintah daerah dalam mengatur pengelolaan
sumberdaya alam. Laju deforestasi yang dilaporkan stabil sebesar 1,86 juta hektar
selama 12 tahun, dari 1986 hingga 1996, meningkat hingga mendekati tiga juta
hektar rata-rata kerusakan selama tiga tahun dari 1997 hingga menjelang tahun
2000 (Soemargo et al. 2011). Peristiwa tersebut diikuti dengan berkembangnya
konflik di kehutanan yang yang mengancam kelestarian hutan (Barber dan
Schweithelm 2000; Colfer dan Capistrano 2005; Tacconi 2007; Sumargo et al.
2011).
Meskipun laju kerusakan hutan dilaporkan menurun hingga mencapai
460.000 hektar/tahun di tahun 2010 (Departemen Kehutanan 2011), namun dampak
dari kerusakan tersebut dirasakan hingga kini adanya banjir dan kekeringan,
berkurangnya jenis flora dan fauna endemik serta terbatasnya suplai kayu serta hasil
hutan lainnya yang diperlukan bagi industri maupun kebutuhan rumahtangga
(Barber dan Schweithelm 2000). Kerusakan hutan dan lingkungan juga
mempengaruhi iklim mikro yang dampaknya dirasakan oleh masyarakat yang
kehidupannya bergantung kepada sumberdaya hutan.
Penelitian ini memanfaatkan peristiwa meningkatnya laju kerusakan hutan
sebagai konteks untuk menjelaskan pengaruh lingkungan ekonomi dan politik
terhadap kondisi hutan.

Perumusan Masalah
Institusi politik menentukan kelestarian sumberdaya alam, mengingat
sumberdaya alam dikuasai oleh negara. Proses penyusunan peraturan perundangundangan dan juga pelaksanaannya di lapangan tidak terlepas dari pengaruh

4
perilaku aktor politik dan ekonomi (North 1990; Bromley et al 1992; Gibson et al
2000; Ribot dan Peluso 2003). Kebijakan desentralisasi memperbaharui aturan
penyelenggaraan negara dan pembaharuan tersebut diduga mempengaruhi nilainilai (value)2 yang memandu pengelolaan hutan. Nilai-nilai tersebut meliputi tujuan
dari penggunaan hutan, pihak yang berhak untuk menggunakan hutan, serta tata
cara untuk menggunakan hutan (Roumasset and La Croix, 1988., Vayda, 1996.,
Howlett, 1999). Nilai-nilai tersebut melekat di dalam organisasi pengelolaan hutan,
yang mengatur hubungan antar kelompok masyarakat dalam mengelola hutan, dan
juga mengatur hubungan sekelompok masyarakat dengan hutan (Long dan van der
Ploeg, 1994; Dunn 2003; Sashi Kant dan Berry 2005).
Kebijakan desentralisasi diikuti dengan pembaharuan UU Kehutanan No.
41/1999. UU ini dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi hutan serta menggalang
masyarakat berpartisipasi dalam mengelola hutan. Akses3 masyarakat untuk dapat
memanfaatkan hutan dibuka dengan memberikan hak pemanfaatan kepada
individu, koperasi serta kelompok kepentingan tertentu. Hak pengelolaan dan
pemanfaatan hutan produksi diperbaharui dengan menerbitkan peraturan
pemerintah PP No. 6/1999 yang mengatur tiga hal sebagai berikut. Skema hak
pengusahaan hutan (HPH) diperbaharui dengan skema ijin usaha pemanfaatan
(IUP). Luas maksimal HPH dibatasi untuk setiap kepulauan, serta usaha kecil
kehutanan didorong untuk memperoleh hak pengusahaan hasil hutan HPHH/HPH
dengan skala 100 ha.
Pembaharuan aturan pengelolaan hutan menghadapi persoalan yang
bersumber dari kewenangan pemerintah daerah yang dibatasi oleh struktur
organisasi yang terpusat (Shah et al. 1994; Litvack et al. 1998; Colfer dan
Capistrano 2005). Kewenangan tersebut juga menghadapi persoalan legitimasi
yang memungkinkan pemerintah daerah untuk menggunakan Peraturan Daerah
(PERDA) guna melegalkan kepentingannya dalam menggunakan hutan (Ekawati
2009; Ekawati 2011).
Kewenangan pemerintah daerah yang dibatasi oleh wilayah administrasi,
menghadapi persoalan pemekaran daerah yang menggunakan hutan serta
sumberdaya alam sebagai modal untuk membangun wilayah administrasi baru.
Sumberdaya hutan terfragmentasi dan fungsi hutan terganggu dengan semakin
sempitnya luas hutan serta semakin menipisnya kekayaan alam yang tersimpan di
dalam hutan (Kartodihardjo 2006).
Persoalan pengelolaan hutan semakin kompleks di era desentralisasi,
dikarenakan oleh kurangnya pemahaman terhadap karakteristik hutan sebagai
common pool resources (CPRs), dan juga kurangnya memahami karakter pengguna
hutan yang beragam dalam hal kepentingan serta sumberdaya untuk dapat
memanfaatkan hutan (Polski dan Ostrom 1999; Ribot dan Peluso 2003). Hak untuk
memanfaatkan hutan yang diatur oleh negara menghadapi persoalan akses yang
Jejaring kekuasaan yang terbentuk melalui mekanisme akses yang seringkali
2

Nilai-nilai atau value
Akses menurut Ribot dan Peluso (2003) merupakan kemampuan atau ability untuk mendapat
manfaat dari sesuatu, yang dibedakan dari manfaat adanya hak (property rights). Hak merupakan
klaim terhadap sumberdaya yang mana klaim tersebut dapat ditegakkan dan didukung oleh
masyarakat dan negara melalui hukum atau konvensi.
3

5

terbebas dari adanya sangsi-sangsi yang ditetapkan melalui mekanisme
kepemilikan hak atau property rights.
Manfaat sumberdaya hutan digunakan oleh sekelompok masyarakat melalui
hubungan kekeluargaan, client patron, maupun pertukaran barang dan jasa secara
illegal yang membentuk kumpulan atau jaringan kekuasaan atau bundle atau web
of power (Repetto dan Gillis 1988; Barber, Nels C Johnson dan Emmy Hafild 1994;
Dauvergne 1996; Ross 2001). Hubungan tersebut semakin berkembang di era
desentralisasi melalui jaringan politik dan ekonomi yang mempengaruhi proses,
mekanisme penyusunan kebijakan dan implementasinya yang menghambat upaya
untuk mewujudkan kelestarian hutan (Casson dan Obidszinsky 2002; MacCarthy
2005). Menurut Ribot dan Peluso (2003) kekuasaan terhadap teknologi, material
atau finansial, kedudukan sosial, pengetahuan, identitas, dan tenaga kerja
memungkinkan bagi sekelompok masyarakat untuk menguasai manfaat
sumberdaya hutan dan menghambat upaya untuk melestarikan hutan.
Hubungan antara desentralisasi dengan deforestasi perlu digali secara
menyeluruh (wholistic) dan berkesinambungan (inter-temporal). Aktor proses dan
mekanisme penyusunan kebijakan dan pelaksanaannya di lapangan perlu
diidentifikasi, serta lingkungan politik dan ekonomi yang mendasari suatu
kebijakan perlu ditemu-kenali dalam hubungannya dengan lingkungan biofisik,
yang menjadi arena berlangsungnya pengelolaan hutan.

Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bermaksud melakukan eksploratori faktor-faktor
yang mempengaruhi stabilitas institusi dalam mengendalikan laju kerusakan hutan.
Tujuan umum tersebut akan dicapai melalui tiga tujuan khusus dengan tahapan
sebagai berikut:
1. Mengetahui terjadinya perubahan luas lahan berhutan di lokasi penelitian
2. Menganalisis penyebab terjadinya perubahan luas lahan berhutan
3. Mendiskusikan implikasi dari pembaharuan undang-undang pemerintahan
daerah, UU No 23/2014 terhadap kebijakan pengelolaan hutan

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan guna kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan, pengambilan keputusan serta pembelajaran dari lapangan yang
dimaksudkan untuk melestarikan sumberdaya alam, khususnya hutan.
Kebaruan (Novelty) Penelitian
Studi tentang kebijakan desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam telah
banyak dilakukan, namun demikian studi tersebut umumnya bersifat parsial, yang
memfokuskan pada kurun waktu tertentu, atau pada fungsi hutan tertentu, serta
kelompok masyarakat yang tertentu pula. Penelitian ini melihat secara menyeluruh

6
dari perspektif institusi dan jejaring kekuasaan untuk dapat mengungkap persoalan
kerusakan hutan dan lingkungan yang berlangsung hingga saat ini.
Dari sisi keilmuan, pendekatan semacam ini tergolong baru di kehutanan
yang selama ini lebih menekankan pada aspek teknis prosedural. Melalui
pendekatan institusi dan jejaring kekuasaan, hubungan sosial dalam pengelolaan
hutan yang menghambat upaya untuk melestarikan hutan dapat diungkap dan
diidentifikasi solusinya berdasar kenyataan yang ada di lapangan.
Dari sisi kebijakan, pendekatan institusi dengan jejaring kekuasaan dapat
digunakan untuk memberdayakan kelompok masyarakat tertentu yang berpotensi
menentukan tercapainya tujuan kelestarian hutan.
Dari sisi praktis, pendekatan institusi dengan jejaring kekuasaan dapat
digunakan untuk mengungkap pendekatan, teknologi, metode baru atau alternatif
yang diperlukan untuk menggalang upaya yang diperlukan untuk mewujudkan
kelestarian hutan.
Disain Penelitian
Rancangan penelitian penting dikemukakan untuk memberikan gambaran
secara menyeluruh pendekatan yang digunakan agar dapat menjawab tujuan
penelitian. Disain penelitian ini diperlukan sebagai roadmap, arahan bagi peneliti
untuk menentukan metode atau alat penelitian yang tepat, serta sebagai alat untuk
mengumpulkan informasi dari lapangan yang relevan, yang akan ditransfer sebagai
data dalam penelitian ini.
Dalam menyusun rancangan penelitian, pemahaman peneliti terhadap subyek
yang diteliti serta pengetahuan tentang lokasi yang menjadi wilayah penelitian
merupakan faktor utama. Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi kredibilitas
hasil penelitian serta mempercepat proses pelaporan hasil penelitian. Pada bagian
ini dikemukakan bahwa laju deforestasi yang meningkat di masa krisis ekonomi
dan reformasi politik sebagai persoalan institutional yang memerlukan pendekatan
kualitatif untuk dapat menjelaskan terjadinya peristiwa tersebut. Peristiwa
meningkatnya laju deforestasi perlu dibuktikan dengan pertama-tama memahami
pengertian deforestasi, serta pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan
terjadinya deforestasi di lokasi penelitian.
Pendekatan penelitian
Secara umum, deforestasi dipahami sebagai hilangnya hutan atau seringkali
disebut dengan forest loss, istilah ini mengundang perdebatan karena pemahaman
yang diberikan secara formal memberikan implikasi politis yang mengundang
perdebatan tentang pihak-pihak yang menjadi penyebab dari deforestasi serta upaya
yang diperlukan untuk dapat menghambat laju deforestasi. Pengertian deforestasi
bersumber dari definisi forest atau hutan yang menurut badan dunia PBB, FAO
dikonsepsikan sebagai hamparan wilayah yang ditumbuhi sekumpulan pepohonan
dengan luas minimal 0,25 hektar dan penutupasn tajuk minimal 60%. Deforestasi
menurut FAO adalah hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun
sementara, yang disebabkan oleh adanya penebangan tutupan hutan dan konversi
lahan secara permanen untuk berbagai manfaat lainnya. Menurut definisi tata guna
lahan yang digunakan oleh FAO dan diterima oleh pemerintah, lahan hutan yang
telah ditebang, bahkan ditebang habis, tidak dianggap sebagai kawasan yang

7

dibalak karena pada prinsipnya pohon-pohon mungkin akan tumbuh kembali atau
ditanami kembali.
Undang-undang kehutanan membatasi pengertian tentang hutan sebagai
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan (UU 41 Tahun 1999 Pasal 1). Pengertian tentang
hutan tersebut seringkali dikaitkan dengan sumberdaya alam yang dikuasai oleh
negara. Berdasarkan pengertian tentang perundangan, deforestasi adalah perubahan
secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh
kegiatan manusia (Permenhut No. 30 Tahun 2009).
Dalam hubungannya dengan keberadaan hutan, deforestasi dapat dimaknai
dari berbagai perspektif. Dari perspektif pengelolaan hutan, hilangnya tutupan
hutan dapat berlangsung secara temporer sebagai konsekuensi dari tindakan
pengelolaan atau bersifat permanen. Misalnya penebangan hutan merupakan
kegiatan pemanenan yang diikuti dengan penanaman untuk menjadikan lahan
kembali terttutup oleh hutan. Dalam kaitannya dengan penggunaan hutan,
deforestasi menyangkut kapasitas hutan untuk menghasilkan berbagai macam
produk hasil hutan atau kapasitas hutan terutama untuk menghasilkan produk kayu.
Deforestasi juga dapat dimaknai dari atribut hutan yang menjadi karakteristik
sumberdaya ini sebagai common pool resources (CPR) yang tersusun atas berbagai
strata tajuk, dengan kerapatan yang beragam serta komposisi jenis yang beragam
pula. Kajian terhadap pengaruh deforestasi memerlukan akurasi dan konsistensi
pendekatan dan metodologi yang sesuai dari waktu ke waktu. Seringkali, data yang
tersedia untuk melakukan perhitungan deforestasi sangat terbatas. Deforestasi
dalam penelitian dikonsepsikan sebagai perubahan lahan yang berhutan menjadi
non-hutan, yang dapat berlangsung di dalam maupun di luar kawasan karena
keberadaan hutan di kedua wilayah tersebut.
Peristiwa meningkatnya deforestasi di saat berlangsungnya perubahan
kebijakan telah banyak dilakukan. Lembaga penelitian CIFOR melakukan
penelitian yang intensif pada saat terjadinya perubahan kebijakan di Indonesia, dan
secara umum menyimpulkan bahwa perubahan kebijakan menghasilkan gambaran
yang skeptic tentang kondisi hutan di masa mendatang. Kebakaran hutan berlanjut
sebagai episode yang berulang setiap tahun, masyarakat sekitar hutan atau
komunitas lokal terus melakukan klaim atas kepemilikan lahan dan hutan,
pemerintah daerah berebut dengan kebijakan pusat untuk menerbitkan ijin
penebangan hutan dan melupakan aspek konservasi. Hutan menjadi sumber
pendapatan daerah tetapi kemiskinan di hutan tidak teratasi. Elit setempat terlibat
di dalam praktek illegal logging yang berkembang menjadi jejaring dan
berkontribusi terhadap konversi lahan komunal menjadi penggunaan privat, yang
dikhawatirkan mengakibatkan hilangnya sumberdaya hutan.
Kebijakan desentralisasi yang melimpahkan kewenangan pemerintah dalam
mengelola sumberdaya alam menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi dan
akuntabilitas pemerintah dalam mengatur pengelolaan hutan. Situasi yang terbentuk
di masa transfer kebijakan memerlukan pendalaman dan kajian untuk mengungkap
peran pemerintah dalam mengkoordinasikan berbagai kepentingan terhadap hutan,
utamanya kepentingan untuk melestarikan hutan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dilengkapi dengan
pendekatan kuantitatif untuk dapat menjelaskan akar masalah dari kerusakan hutan

8
yang meningkat di saat transfer kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dari
pemerintah pusat kepada daerah. Dengan menggunakan kombinasi kedua
pendekatan tersebut maka penelitian ini dapat menjelaskan kerusakan hutan yang
terjadi sebagai persoalan sosial yang memerlukan kebijakan khusus untuk dapat
menangani persoalan tersebut.
Hakekat penelitian kualitatif dan penggunaannya
Penelitian ini berawal dengan premis bahwa kebijakan pengelolaan hutan
memiliki karakteristik tertentu yang melekat di dalam aturan pengelolaan dan juga
praktek pengelolaan di lapangan. Aturan tentang pengelolaan hutan dinyatakan
secara tertulis dan dimuat di dalam peraturan perundang-undangan sebagai arahan
formal dalam memandu penyusunan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan hutan.
Kebijakan pengelolaan hutan merupakan proses institusional yang
menggunakan aturan main dan melibatkan berbagai kepentingan untuk dapat
mengatur penggunaan manfaat dari hutan (Schneider dan Ingram 1996; Dunn
2014). Produk kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan memuat
norma dan nilai-nilai, serta kepentingan (interest) tertentu yang ditransmisikan
secara tertulis dalam bentuk teks atau bersifat tertulis. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif untuk dapat dapat menjelaskan ‘makna’ dibalik aturan
pengelolaan hutan yang mengatur hubungan sosial dalam menggunakan
sumberdaya alam. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif maka penelitian ini
dapat digunakan untuk memahami organisasi sosial khususnya dalam hal
pengelolaan hutan dengan pertimbangan berikut.
Pertama, aturan formal memberikan justifikasi dan legitimasi bagi
berlangsungnya hubungan antara public dengan privat maupun hubungan individu
dengan kelompok. Aturan tersebut memberikan posisi sosial dengan peran untuk
menyusun agenda kebijakan, melaksanakan agenda serta menentukan outcome dari
suatu kebijakan. Dengan demikian, aturan formal memberikan entitas tertentu
dengan kekuasaan dalam pengelolaan hutan.
Silverman (2013) menyatakan bahwa aturan formal merefleksikan konteks
atau setting tertentu yang menggambarkan kepentingan atau pesan utama untuk
disampaikan melalui peraturan tersebut. Sebagai sarana komunikasi, aturan formal
juga merefleksikan hubungan sosial yang terjalin antara berbagai pihak, cara
pandang terhadap kelompok tertentu yang meliputi hubungan kesetaraan atau subordinasi.
Kedua, aturan formal memiliki kapasitas untuk mempertahankan dan juga
melestarikan hubungan yang ada di masyarakat, disamping kapasitas untuk
menegakkan hubungan yang ada. Melalui aturan formal, kekuasaan yang ada
ditransmisikan, diinterpretasikan, dan bahkan ditegakkan. Aturan ini merefleksikan
kepentingan serta kebutuhan masyarakat untuk mewujudkan tujuan tertentu dalam
suatu kurun waktu. Dokumen ini merupakan artefact atau bukti sejarah yang
mengandung pesan tertentu dan perlu diinvestigasi agar dapat memberikan
pemahaman tentang konstruksi sejarah dari suatu masyarakat atau komunitas.
Di lain pihak, ekspresi tertulis ini memiliki keterbatasan untuk dapat
merepresentasikan praktek sehari-hari yang ada di masyarakat. Aturan formal tidak
mampu memberikan pembuktian yang dapat menjelaskan pengorganisasian
pengelolaan hutan dalam praktek sehari-hari, terutama pada saat berlangsungnya
pengambilan keputusan. Pemahaman aktor menjadi solusi untuk menggali seberapa

9

jauh perubahan yang terjadi pada kondisi hutan mampu mempengaruhi tujuan dari
penyusunan kebijakan dan pilihan instrumen yang akan digunakan (Grimble dan
Wellard 1997). Pemahaman aktor tentang sosial setting atau konteks pengambilan
kebijakan diperlukan untuk menjelaskan seberapa jauh kewenangan yang
dilimpahkan kepada pemerintah daerah mempengaruhi penggunaan hutan
(Silverman 2013). Hanya dengan menguraikan keterkaitan antara aturan formal dan
informal maka organisasi sosial dalam pengelolaan hutan dapat dijelaskan dan
dipahami, sehingga fakta sosial dari kerusakan hutan dapat dipresentasikan.
Hakekat pendekatan kuantitatif dan penggunaannya
Deforestasi sebagaimana disampaikan pada bagian sebelumnya merupakan
fenomena yang berlangsung secara sistematis dan kejadiannya dapat diukur serta
dihitung dengan menggunakan model matematis. Pengukuran laju deforestasi telah
banyak dilakukan dan digunakan oleh Departemen Kehutanan untuk melaporkan
kondisi hutan secara periodik tiga tahunan. Pengukuran tersebut bersifat strategis
mengingat nilai ekologis dan sosial dari hutan dalam mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Perkembangan teknologi mempengaruhi akurasi hasil pengukuran, dan
saat ini teknologi inderaja (citra satelit) dipandang sebagai solusi untuk
mengungkap kondisi faktual dari hutan, tanpa larut terlibat di dalam perdebatan
definisi tentang hutan dan juga status kepemilikan hutan.
Dalam penelitian ini pengukuran deforestasi diperlukan untuk menggali
pemahaman aktor tentang terjadinya perubahan kondisi hutan, dan digunakan untuk
mendiskusikan seberapa jauh perubahan yang terjadi disebabkan oleh adanya
perubahan aturan main dalam pengelolaan hutan.

Metode Penelitian
Kerangka Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan institusi dan jejaring kekuasaan
untuk mengungkap persoalan kerusakan hutan yang dilaporkan meningkat pada
saat pemerintah melimpahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah.
Pendekatan institusi digunakan untuk memahami aturan main yang memandu
masyarakat dalam menggunakan sumberdaya hutan dan mengatur manfaatnya
sehingga sumberdaya alam tersebut dapat digunakan secara lestari. Aturan tentang
pengelolaan sumberdaya alam yang awalnya dilakukan secara terpusat perlu dikaji
seberapa jauh aturan tersebut terdesentralisasi ke daerah. Rules in used yang
memandu proses formulasi aturan pengelolaan hutan dan implementasinya di
lapangan perlu dianalisis perkembangannya dalam hubungannya dengan kebijakan
desentralisasi yang secara formal melimpahkan kewenangan pemerintah kepada
pemerintah daerah (Ostrom 1990).
Kebijakan desentralisasi memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk menyusun aturan penggunaan sumberdaya alam, memonitor
pelaksanaan aturan tersebut serta menegakkannya dengan menggunakan organisasi
pemerintah di daerah. Proses penyusunan kebijakan dan juga pelaksanaannya
dipengaruhi oleh kondisi atau situasi lingkungan, organisasi serta kelembagaan
yang mengatur hubungan di masyarakat dalam menggunakan sumberdaya alam
(Rondinelli and Cheema 1983; Ribot and Larson 2005; Capistrano and Colfer

10
2005). Efektivitas aturan formal pengelolaan hutan menghadapi persoalan akses
yang memungkinkan bagi individu dan sekelompok masyarakat untuk dapat
memanfaatkan sumberdaya hutan dengan cara menggunakan akses untuk
memperoleh kekuasaan (to gain), mempertahankannya (to control) serta
mengendalikan kekuasaan tersebut (to enforce) agar dapat memperoleh mabfaat
dari sumberdaya hutan (Ribot dan Peluso 2003).
UUD 1945 menyatakan bahwa manfaat sumberdaya alam digunakan untuk
kemakmuran rakyat, dan penggunaannya diatur oleh negara yang menguasai
sumberdaya alam. UU Kehutanan No 41/1999 menyatakan bahwa hutan
merupakan sumberdaya alam yang dibedakan menjadi hutan negara dan hutan hak
berdasarkan kepemilikan lahan yang diatur melalui UU Pokok Agraria No 5/1960.
Property rights yang mengatur penggunaan sumberdaya alam di masyarakat
dikendalikan oleh institusi negara yang mengatur hubungan antar kelompok di
masyarakat, termasuk hubungan dalam menggunakan sumberdaya hutan.
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang menunjuk lahan sebagai
kawasan hutan dan membedakannya dari non-kawasan, mempengaruhi hubungan
di masyarakat dalam menggunakan hutan. Kawasan hutan dikelola berdasarkan
fungsi hutan yang dibedakan sebagai fungsi lindung, produksi dan konservasi, dan
hak untuk mengelola fungsi kawasan hutan tersebut diatur melalui peraturan
perundang-undangan. Aturan formal pengelolaan hutan didefinisikan melalui rejim
property rights, dan manfaat dari penggunaan hutan ditentukan oleh sekelompok
masyarakat melalui mekanisme hak dan kewajiban untuk melestarikan hutan
(Bromley 1991). Aktor politik dan ekonomi menentukan kinerja tata kelola
kehutanan melalui pengaruhnya di dalam proses dan mekanisme penyusunan
peraturan dan pelaksanaannya di lapangan (North 1990; Dunn 2014).
Aktor politik dan ekonomi menggunakan akses melalui teknologi, kapital,
pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas dan hubungan sosial untuk
dapat mempengaruhi proses dan mekanisme penyusunan peraturan dan
pelaksanaan peraturan tersebut. Sumberdaya aktor mempengaruhi proses dan
mekanisme yang digunakan untuk memperoleh atau mempertahankan akses
terhadap manfaat sumberdaya hutan (Ribot dan Peluso 2003). Mekanisme akses
yang digunakan dapat merupakan kombinasi dari berbagai sumberdaya yang
membentuk bundle of power yang