Karakteristik Kebakaran Limbah Vegetasi Hutail Rawa Gambut Di Desa Pelalawan Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau

KARAKTERISTIK KEBAKARAN LIMBAH VEGETASI
HUTAN RAWA GAMBUT DI DESA PELALAWAN
KABUPATEN PELALAWAN PROPINSI RIAU

OLEH:
ERVINA ARYANTI

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
ERVINA ARYANTI.

Karakteristik Kebakaran Limbah Vegetasi Hutan Rawa

Gambut di Desa Pelalawan Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau. Dibimbing oleh
Prof. Dr. Ir. CECEP KUSMANA, M.S. sebagai ketua, Dr. Ir. BAMBANG HERO
SAHARJO, M.Agr. dan Dr. Ir. GUNAWAN DJAJAKIRANA, M.Sc. sebagai
anggota.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik kebakaran

(perilaku api, flammabilitas dan asap) pada hutan rawa gambut yang memiliki bahan
organic, bahan bakar dan cuaca yang berbeda. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Agustus - Juli 2002 di Desa Pelalawan Riau. Untuk menduga nilai dari karakteristik
bahan bakar, perilaku api, intensitas kebakaran, panas per unit area, flammabilitas
dan gas nunah kaca digunakan metode pengarnbilan contoh sampling purposive.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 10 plot dari tiga jenis gambut yang
berbeda memiliki karakteristik kebakaran yang berbeda.

Pada plot 1 di lokasi

gambut fibrik yang memiliki potensi bahan bakar 76,OO tlha, ketebalan bahan bakar
97,OO cm, kadar air bahan bakar 9,46-17,96%, suhu udara 37"C, kelembaban relative
53% dan kecepatan angin 1,08 mldetik memiliki perilaku api dan intensitas
kebakaran yang paling tinggi dengan tinggi api 4,12 m dan laju penjalaran
3,31 mlmenit. Intensitas kebakaran yang dihasilkan .adalah 6721,24 kW/m dengan
jumlah bahan bakar terkonsumsi adalah 95% pada serasah dan 75% pada batang,
tetapi gambut tidak terbakar.

Gambut pada lokasi penelitian saprik dan hemik


terbakar karena memiliki kadar air yang lebih rendah.

Pada plot 3 di lokasi

penelitian gambut hemik menghasilkan kandungan gas rumah kaca terbesar
dibanding plot lainnya. Macaranga proinosa, Litsea calophylIanta dan Baccaurea

pendula merupakan jenis tumbuhan yang tahan terhadap api.

ABSTRACT
ERVINA ARYANTI. The Characteristic of Plant Debris Fire on Peat Swamp Forest
at Pelalawan Riau. Under the direction of Prof. Dr. 1r.CECEP KUSMANA, M.S.
as chairman, Dr. 1r.BAMBANG HERO SAHAWO, M.Agr dan Dr. 1r.GUNAWAN
DJAJAKIRANA, M.Sc. as members.
The objective of the study was to determine the characteristic of fire (fire
behavior, flammability and smoke) on a peat swamp forest that have difference peat
materials, fuel materisl and local's climate. The study was conducted on August
2001 to July 2002 in peat swamp forest of Pelalawan Riau. The sampling tehnique
in this study was purposive sampling to assess the fuel characteristic, fire behavior,
fire intensity, heat per unit area, flammability and green house gases. The results

obtained showed that 10 sites from three organic material types have a difference
characteristic of fire. Site 1 on fibric that has fuel loading 76.00 t/ha, fuel bed depth
97.00 cm, fuel moisture 9.46-17.96%, the air temperature 37OC, the moisture 53 %
and wind speed 1.08 mlsecond has the highest fire behavior and fire intensity, while
flame hight was 4.12 m and rate of spread was 3.31 mlminute. Fire intensity on
fibric was 6721.24 kW/m with the number of fuel burned were 95% of fine material
and 75% of coarse material, but peat material was unburned. The peat materials in
the sapric and hemic peat were burned because the lower water content. Site 3 from
hemic peat produced the highest green house gases than those of other sites.
Macaranga proinosa, Litsea calophyllanta and Baccaurea pendula are species
having a heat tolerance.

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Karakteristik
Kebakaran Limbah Vegetasi Hutan Rawa Garnbut di Desa Pelalawan Kabupaten
Pelalawan Propinsi Riau adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri
dan belum pernah dipublikasikan. Semua surnber data dan informasi yang
digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

ERVINA ARYANTI

NRP: P14500028

KARAKTERISTIK KEBAKARAN LIMBAH VEGETASI
HUTAN RAWA GAMBUT DI DESA PELALAWAN
KABUPATEN PELALAWAN PROPINSI RIAU

ERVINA ARYANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk menlperoleh gelar
Magister Sains Pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Judul Tesis

:


Karakteristik Kebakaran Limbah Vegetasi Hutail Rawa
Gambut Di Desa Pelalawan Kabupaten Pelalawan
Propinsi Riau

Nama

:

Ewina Aryanti

Nomor Pokok

:

P14500028

Program Studi

:


Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Menyetujui
1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, M.S.
Ketua

Dr. 1r.Gunawan Diaiakirana, M.Sc.
Anggota

Anggota

2. Ketua Program Studi

A
/

%


~

.

_

.

.

Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, M.S.

Tanggal Lulus : 18 Desember 2002

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Juni 197:5, di Kertosono, Jawa Timur
sebagai anak dari Keluarga Moch. Sujudi dan Sunarti.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri
075 Sungai Pagar di Kampar pada tahun 1988, kemudian melanjutkan pendidikan

Sekolah Menengah Pertama Swadaya Sungai Pagar di Kampar hingga tahun 1991.
Pada tahun 1994 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas
Negeri 7 Pekan Baru, Riau. Penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Jurusan
Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Riau pada tahun 1999.
Penulis mengikuti pendidikan program Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor
mulai tahun 2000. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis
melakukan kegiatan penelitian dengan judul "Karakteristik Kebakaran Limbah
Vegetasi Hutan Rawa Gambut di Desa Pelalawan Kabupaten Pelalawan Propinsi
Riau".

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan karunia dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan
Karya Ilmiah ini.
Karya Ilmiah yang berjudul "Karakteristik Kebakaran Limbah Vegetasi
Hutan Rawa Gambut di Desa Pelalawan Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau" ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih pada
Prof. Dr. Ir. H. Cecep Kusmana, M.S. sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir.

Bambang Hero Saharjo, M.Agr. dan Dr. Ir.Gunawan Djajakirana, M.Sc. sebagai
anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, nasihat dan
bantuan selama penulis melaksanakan penelitian sampai pada penulisan tesis pada
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih kepada Ibu Dr. Ir.
Lailan Syaufina, M.Sc. sebagai dosen penguji, yang telah memberikan kritikan
dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua
tercinta, Ayahanda Moc. Sujudi dan Ibunda Sunarti, untuk doa, dorongan
semangat, perhatian dan pengorbanan sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan ini.
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak Dr. C.P. Munoz sebagai manajer lingkungan P.T Riau Andalan Pulp and
Paper yang telah mengizinkan dan memberikan peluang kepada penulis dan
rekan-rekan untuk melakukan penelitian di wilayah PT. RAPP. Terima kasih juga
kepada Karyawan dan Karyawati PT. RAPP, Bapak Ir. Haris Darsono, Ibu
Ir. Irma, Bapak Toto dan Bapak Sukri yang selalu setia menemani dan membantu
penulis dalam menjalankan penelitian.
Terima kasih untuk Yeni, Emmi, Artik dan semua rekan-rekan yang ada
di Pondok Jaika yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu atas segala
bantuan dan doanya, teman seperjuangan, Ati yang selalu bersama-sama dalam


suka dan duka, kepada Ujang, Adin dan Rahmat terimakasih atas kebersamaan
dan bantuannya selama penelitian.

Terima kasih juga untuk Arif dan Pak

Wardana yang tidak pernah bosan dalam membantu penulisan tesis. Terima kasih
Bapak Ir. Tatang Suryana yang telah menyedialcan waktunya untuk penulis
berkonsultasi statistik. Tidak lupa terima kasih kepada Ibu Julaeha, Ibu Asih dan
Bapak Jito yang telah bersedia membantu penulis melakukan analisis di
Laboratorium Biologi Tanah.

Bogor, Januari 2003
Penulis

DAFTAR IS1

DAFTAR TABEL

.......................................................................................


Halaman
...
viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................... ..............

x

I . PENDAHULUAN ...................................................................................
A. Latar Belakang .................................................................................
.* B . Tujuan Penelitian ...............................................................................
C. Manfaat Penelitian .............................................................................
D . Kerangka Teoritis ..............................................................................
E. Kerangka Pemikiran ..........................................................................
F . Hipotesis .............................................................................................
I1. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
A . Gambaran Umum Hutan Rawa Gambut ..........................................
1 . Pengertian dan batasan .................................................................
2. Pembentukkan dan penyebaran ....................................................
3. Keadaan vegetasi ..........................................................................
B . Kebakaran Hutan ..............................................................................
1. Pengertian dan batasan .................................................................
2 . Tipe kebakaran hutan ...................................................................
3. Penyebab kebakaran hutan ...........................................................
C. Perilaku Api ......................................................................................
D . Karakteristik Bahan Bakar ...............................................................
1. Tipe dan sifat bahan bakar ...........................................................
2. Flammabilitas ...............................................................................
E. Manajemen Asap ..............................................................................
111. METODE PENELITIAN........................................................................
A . Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................
B . Variabel yang Diamati .....................................................................
C. Alat dan Bahan .................................................................................
D . Metode Pengambilan Contoh ..........................................................
E. Metode Pengambilan Data ...............................................................
1 . Penentuan Jenis Gambut ..............................................................
2. Perilaku Api .................................................................................
3. Pengukuran Flammabilitas Bahan Bakar .....................................
4. Pengambilan Contoh Asap ...........................................................
5. Metode Pembakaran .....................................................................

23
23
23
24
24
25
25
25
20
30
30

IV . KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ........................................
A . Geografis .........................................................................................
B . Fisiografis ........................................................................................
C . Vegetasi ...........................................................................................
D. Kondisi tegakan sesudah dan sebelum ditebang .............................

31
31
31
31
31

V . HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
A . Hasil Penelitian ................................................................................
B . Pembahasan .....................................................................................
VI . KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
A . Kesimpulan ....................................................................................
B . Saran ...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

..................................................................................

LAMPIRAN .................................................................................................

vii

DAFTAR TABEL
No.

Teks

Halaman

Potensi bahan bakar permukaan setelah ditebang dan sebelum
dibakar .................................................................................................
Kadar air bahan bakar permukaan setelah ditebang. 2 minggu setelah
ditebang dan sebelum dibakar ..............................................................
Kadar air bahan bakar gambut sebelum dibakar .................................
Ketebalan bahan bakar permukaan sebelum dibakar ..........................
Potensi bahan bakar bawaldganlbut ....................................................
Perilaku api dan faktor yang mempengaruhinya di lokasi gambut
saprik ....................................................................................................
Perilaku api dan faktor yang mempengaruhinya di lokasi gambut
hemik ....................................................................................................
Perilaku api dan faktor yang mempengaruhinya di lokasi gambut
fibrik .....................................................................................................
Persentase bahan bakar permukaan terbakar (%) ................................
Kedalaman dan persentase luasan gambut terbakar ............................
Emisi gas N20. (2%. CO. dan CO ......................................................
Kandungan total abu. abu bebas silika dan fosfat daun tumbuhan
dominan pada lokasi gambut saprik. hemik dan fibrik ........................
Kandungan total abu. abu bebas silika dan fosfat batang tumbuhan
dominan pada lokasi gambut saprik. hemik dan fibrik ........................

No.

Lampiran

Halaman

Potensi bahan bakar di lokasi gambut saprik ......................................
Potensi bahan bakar di lokasi gambut hemik .....................................
Potensi bahan bakar di lokasi gambut fibrik ......................................
Potensi bahan bakar bawah/gambut ....................................................
Tebal bahan bakar permukaan ............................................................
Kadar air bahan bakar permukaan di lokasi gambut saprik ................
Kadar air bahan bakar permukaan di lokasi gambut hemik ................
Kadar air bahan bakar perrnukaan di lokasi gambut fibrik .................
Kadar air gambut .................................................................................
Perilaku api di lokasi gambut saprik ...................................................
Perilaku api di lokasi garnbut hemik ...................................................
Perilaku api di lokasi gambut fibrik ....................................................
..
Hasil uji flammabilitas .........................................................................
Hasil uji analisis gas rumah kaca .........................................................

DAFTAR GAMBAR
No.

Teks

Halaman

Skema kerangka penelitian ..................................................................
Konsep segitiga api (Clar d& Chatten, 1954) .....................................
Desain plot penelitian pada jenis gambut (A) saprik, (B) hemik,
(C) fibrik .............................................................................................
Metode Pembakaran pada Plot Penelitian ...........................................
Kondisi tegakan sebelum ditebang pada lokasi gambut saprik
(A) plot 1, (B) plot 2, (C) plot 3, (D) plot 4 .........................................
Kondisi tegakan setelah ditebang pada lokasi gambut saprik
(A) plot 1, (B) plot 2, (C) plot 3, (D) plot 4 ........................................
Kondisi tegakan sebelum ditebang pada lokasi gambut hemik
(A) plot 1, (B) plot 2, (C) plot 3, (D) plot 4. ........................................
Kondisi tegakan setelah ditebang pada lokasi gambut hemik
(A) plot 1, (B) plot 2, (C) plot 3, (D) plot 4 .........................................
Kondisi tegakan sebelurn ditebang pada lokasi gambut fibrik
(A) plot 1, (B) plot 2. ...........................................................................
Kondisi tegakan setelah ditebang pada lokasi gambut fibrik
(A) plot 1, (B) plot 2 ............................................................................
Proses pembakaran pada lokasi gambut saprik (A) plot 1, (B) plot 2,
(C) plot 3, (D) plot 4. ...........................................................................
Proses pembakaran pada lokasi gambut heinik (A) plot 1, (B) plot 2,
(C) plot 3, (D) plot 4 ............................................................................
Proses pembakaran pada lokasi gambut fibrik (A) plot 1, (B) plot 2 ..
No.

Lampiran

Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ......................................................................... 99
............ .............. 100
2. Peta Plot Penelitian ...................................................

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.
Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya
dirasakan ole11 Indonesia saja tetapi juga sudah menjalar sainpai ke negara
tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Singapura. Akibat dari kebakaran tersebut
telah menimbulkan kerugian yang sangat besar dibidang perekonomian, kesehatan
dan lingkungan. Menurut World Wildlife Fund (WWF) dan Economic and
Environment Programme for Southeast Asia (EEPSEA, 1988 dalam Levine et al.,
1999), selarna bencana kebakaran dan asap yang terjadi pada tahun 1997 telah
menyebabkan kerusakan dengan kerugian yang diperkirakan mencapai lebih dari
4,5 milyar dolar AS termasuk biaya langsung dan tidak langsung.

Darnpak langsung dari kebakaran hutan yang mengganggu bagi kehidupan
adalah munculnya gangguan asap yang terdiri atas gas dan partikel yang
membahayakan kehidupan manusia. Gas-gas yang dihasilkan dari suatu proses
pembakaran seperti COYC02, 'C&, NOx dan non-methan hydrocarbon dapat
menyebabkan gangguan pernafasan pada manusia, mempercepat pemanasan
global (efek rumah kaca) dan memperburuk polusi udara (Goldammer, 1997).
Selain itu asap tebal yang dilepaskan ke atrnosfir akan mengurangi jarak pandang
sehingga mengganggu layanan jalur transportasi baik darat, laut maupun udara.
Selain asap dampak lain yang dirasakan adalah rusaknya ekosistem hutan,
perubahan iklim mikro dan makro serta p e n m a n surnber daya hayati.

Kebakaran hutan bukan saja terjadi pada lahan kering tetapi juga pada
lahan basah seperti gambut yang telah dibuka. Hutan rawa gambut merupakan
suatu tipe hutan dengan kondisi khusus, dimana tanahnya terbentuk dari sisa-sisa
generasi hutan sebelumnya (Istomo, 1996). Meskipun tipe hutan ini berada pada
areal yang banyak terdapat air, nanlun dalam kondisi tertentu dapat mengalami
kebakaran. Adanya pengaruh cuaca seperti musim kemarau yang panjang dan
kegiatan manusia dalam pembukaan hutan merupakan faktor yang dapat
menyebabkan hutan ini terbakar.
Kebakaran pada hutan rawa gambut bukan saja terjadi melalui tajuk pohon
atau permukaan tanah tetapi juga berlangsung di bawah permukaan tanah karena
gambut merupakan bahan bakar yang cukup potensial. Kebakaran di bawah
permukaan ini sulit untuk diamati sehingga tanpa diduga dapat menyebar dan
melanda areal hutan secara luas. Akibat yang ditimbulkan bukan hanya hilangnya
vegetasi dan satwa tetapi juga perubahan kualitas dan kuantitas tanah. Disamping
itu menurut Ward dan Levin (1998 dalam Heil 1999), kebakaran pada hutan rawa
gambut banyak menghasilkan asap karena selain potensi bahan bakarnya lebih
banyak juga proses pembakarannya didominasi oleh "smoldering".
Selama ini kebakaran hutan dipandang sebagai bencana alam sama halnya
dengan musibah gempa bumi dan badai topan. Padahal kebakaran hutan tidak
sama dengan bencana alam tersebut, karena dapat dicegah dan dikendalikan.
Melalui manajemen bahan bakar dan pemahaman terhadap kondisi lingkungan,
kebakaran dapat diminimalkan atau bahkan digunakan dalam pembukaan lahan
tanpa merusak lingkungan. Keterkaitan antara bahan bakar dengan kondisi
lingkungan dalam mempengaruhi kebakaran yang akan ditimbulkan dapat

.

diketahui dengan mengamati karakteristik kebakaran yang terjadi pada suatu
proses pembakaran.
Komponen penting yang dapat diamati dari suatu karakteristik kebakaran
antara lain adalah perilaku api, flamabilitas dan asap yang dihasilkan. Dengan
mengamati karakteristik kebakaran dapat diketahui bagaimana api bereaksi
dengan lingkungan dan besarnya atau kecilnya dampak yang ditimbulkan dari
kebakaran tersebut terhadap lingkungan. Hal ini penting agar dalam penggunaan
api untuk tujuan tertentu tidak sampai menimbulkan dampak yang merugikan.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik kebakaran
(perilaku api, flarnmabilitas, dan emisi gas rumah kaca) pada hutan rawa gambut
yang memiliki jenis gambut, karakteristik bahan bakar dan kondisi lingkungan
berbeda.

C. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
karakteristik kebakaran yang terjadi pada hutan rawa gambut sehingga berguna
dalam upaya pencegahan kebakaran, strategi pemadaman dan pembakaran secara
terkendali pada hutan rawa gambut.

D. Kerangka Teoritis

Kebakaran hutan yang teijadi sangat ditentukan oleh komponen-komponen
yang mempemgaruhi terjadinya kebakaran yaitu karakteristik vegetasi dan kondisi
lingkungan.

Karakteristik vegetasi seperti potensi bahan bakar, kadp air,

ketebalan dan kandungan senyawa anorganik berperan dalam mensuplai energi
yang tersedia bagi pembakaran sehingga akan menentukan besar atau kecilnya
intensitas kebakaran yang tercipta dari suatu kebakaran. Kondisi lingkungan yaitu
iklim akan menentukan produktivitas vegetasi sebagai sumber bahan bakar, curah
hujan dan kelembaban akan menentukan pembakaran dan penyebaran api, angin
berperan dalam pengeringan bahan bakar dan penyediaan oksigen, sedangkan
topografi merupakan penentu dari penyebaran komunitas vegetasi.
Berdasarkan teori di atas maka dapat dijelaskan bahwa suatu kebakaran
yang terjadi pada wilayah yang berbeda, dengan tipe bahan bakar yang dan
kondisi lingkungan yang berbeda pula akan rnemberikan dampak kerusakan yang
berbeda pula. Sebagai contoh kebakaran yang terjadi pada lahan kering akan
berbeda dengan kebakaran yang terjadi pada lahan basah seperti hutan rawa
gambut. Jika kebakaran hutan pada lahan kering hanya terjadi melalui permukaan
dan tajuk, kebakaran pada lahan gambut selain terjadi pada pada permukaan dan
tajuk juga terjadi pada bagian bawah, karena gambut (terutama gambut kering)
merupakan bahan bakar yang cukup potensial. Dengan demikian kerugian yang
ditimbulkan menjadi lebih besar. Selain berdampak besar terhadap lingkungan
biofisik, kebakaran hutan rawa gambut juga sangat merugikan kesehatan karena
banyak menghasilkan asap.
Di Indonesia hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan termasuk juga
pada lahan basah seperti gambut.

Kebakaran ini biasanya terjadi pada saat

kemarau panjang. Namun sayangnya tehnik pencegahan dan penanggulangannya
belum ditemukan. Padahal Indonesia memiliki lahan bergambut yang cukup luas
diperkirakan mencapai 27 juta ha (Hardjowigeno, 1989) yang tersebar di

Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya. Jika ha1 ini dibiarkan saja bukan tidak
mungkin gambut di Indonesia akan semakin menyempit luasannya karena
mengalami kebakaran yang terus menerus. Tidak tersedianya data dan hasil
penelitian tentang karakteristik kebakaran hutan pada lahan gambut merupakan
salah satu penyebab sulitnya pengendalian kebakaran pada areal bergambut.
Karakteristik kebakaran merupakan gambaran bagaimana komponen-komponen
dari penyebab kebakaran berinteraksi sehingga tercipta kebakaran. Bagian dari
karakteristik kebakaran yang penting untuk diamati adalah perilaku api dan asap
yang ditimbulkan. Perilaku api adalah suatu kebiasaan atau kebiasaan api yang
terjadi sebagai hasil reaksi dengan kondisi bahan bakar dan lingkungan (de Bano
et al., 1998).

Perilaku api penting untuk diamati sebagai acuan dalam membuat
kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan upaya pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan. Dengan mengetahui perilaku api dapat dibuat
suatu estimasi tentang antisipasi tingkat bahaya kebakaran yang terkait erat antara
tipe bahan bakar dan kondisi lingkungan pada suatu areal pada suatu waktu
tertentu, sehingga upaya pencegahan kebakaran dapat dilakukan. Pemahaman
terhadap perilaku api ini juga .bergma dalam pelaksanaan pembakaran secara
terkendali.
Bagian yang tidak terpisahkan dari suatu kebakaran adalah munculnya
asap. Asap dan kandungan senyawa yang ada didalamnya dapat menyebabkan
terjadinya perubahan iklim secara global dan sangat mengganggu kesehatan
manusia. Jenis senyawa yang terkandung didalam asap dan besarnya konsentrasi
ditentukan oleh jenis bahan bakar dan kandungan air. Hal ini penting diketahui

untuk menentukan tingkat ambang batas pencemaran yang ditimbulkan. Dalam
penggunaan api untuk tujuan tertentu, besarnya asap yang ditimbulkan dapat
diminimalkan melalui manajemen bahan bakar seperti menurunkan kadar air.

E. Kerangka Pemikiran
Kebakaran hutan rawa dan gambut dalam kondisi tertentu, misalnya
disengaja atau terkendali dapat berdampak menguntungkan diantaranya;
membantu peremajaan hutan secara alami, mempercepat menambahan unsur hara
bagi tanaman, meningkatkan pH, menghindarkan kebakaran hutan dalam skala
besar dan dapat juga digunakan untuk memusnahkan tegakan yang mati sehingga
menghemat biaya (Suratmo, 1974).
Di sisi lain Kebakaran hutan rawa gambut dapat menimbulkan kerusakan
yang sangat besar. Akibat kebakaran pada gambut menyebabkan gambut menjadi

irreversible drying (kering tidak dapat balik) dan mengalami pengkerutan
sehingga menyebabkan terjadinya penurunan permukaan lahan (subsidence).
Selain itu kebakaran juga menyebabkan kematian bagi vegetasi dail satwa, dan
perubahan mikroklimat.
Dari fenomena ini dapat ditarik suatu kesirnpulan bahwa penggunaan api
dalam batasan tertentu dapat dilakukan sepanjang tidak menimbulkan dampak
yang merugikan. Hal ini dapat dipelajari dengan mengamati karakterisrik dari api
itu sendiri. Dengan mengamati karakteristik api dapat diketahui bagaimana api
bereaksi dengan lingkungan yaitu bahan bakar dan iklim yang berbeda dan sejauh
mana dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Dari hasil pengarnatan ini
dapat ditentukan langkah-langkah dalam pengendalian api, pemilihan strategi

dalam pemadaman kebakaran dan juga pembakaran secara terkendali. Secara
singkat kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

I
Lingkungan

Vegetasi

I

~
p
b

1
Kegunaan:

- Pengendalian api

- Strategi pemadaman kebakaran
- Pembakaran terkendali

Gambar 1. Skema kerangka penelitian.

F. Hipotesis
Karakteristik kebakaran pada hutan rawa garnbut dipengaruhi oleh jenis
gambut, karakterisrik bahan bakar dan kondisi lingkungan.

11. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Hutan Rawa Gambut
1. Pengertian dan batasan

Istilah gambut berasal dari daerah Kalimantan Selatan untuk menunjukkan
pada timbunan bahan organik yang menempati suatu luasan tertentu
(Poerwowidodo, 1991). Menurut sistem klasifikasi taksonomi tanah (USDA,
1975), tanah gambut termasuk ke dalam ordo histosol, yaitu tanah dengan
kandungan bahan organik lebih dari 20% (tekstur pasir) atau lebih dari 30%
(tekstur liat). Lapisan yang mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya
lebih dari 40 cm atau lebih. Dalam sistem ini, ordo histosol dibagi menjadi 4 sub
ordo berdasarkan bahan asal dan tingkat perombakannya yaitu folist, hemist,
fibrist dan saprist.
Radjagukguk (1988), menyatakan bahwa gambut mempunyai dua makna
yaitu gambut sebagai materi organik dan sebagai bahan organik. Sebagai materi
organik gambut merupakan surnber energi, media perkecambahan biji dan pupuk
organik. Sedangkan sebagai bahan organik gambut cenderung sumber
terbentuknya tanah organik.
Berdasarkan kualitasnya gambut dibedakan atas gambut subur (eutrophic),
gambut sedang (mesotrophic) dan gambut miskin hara (oligotrophic) (Driessen,
1978).

Menurut Suhardjo (1993), kualitas tanah gambut tersebut sangat

ditentukan oleh jenis vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah
gambut, bahan mineral yang ada dibawahnya, faktor lingkungan tempat
terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya.

Pusat Penelitian Tanah (1981), membagi tanah gambut dalam dua
golongan, yaitu gambut pantai dan gambut pedalaman. Gambut pantai adalah
gambut yang dipengaruhi oleh, luapan air laut sedangkan gambut yang tidak
dipengaruhi oleh luapan air laut disebut gambut pedalaman. Umumnya gambut
pedalaman meiupakan gambut yang miskin hara, bereaksi masam, kapasitas tukar
kation sangat tinggi dan bulk density rendah. Menurut Soepardi (1983), keadaan
ini tidak menunjang laju dan kemudahan ketersediaan hara yang memadai bagi
tanaman, termasuk unsur K, Ca dan Mg. Sedangkan menurut Andriesse (1988),
rendahnya ketersediaan hara pada tanah gambut karena terdapat dalam bentuk
kompleks dengan asam organik.

2. Pembentukan dan penyebaran
Hutan rawa gambut merupakan tipe hutan formasi klimatis (climatic
,

formation), yaitu hutan yang pembentukan vegetasinya sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor iklim seperti temperatur, kelembaban, intensitas callaya dan angin.
Umumnya terdapat pada daerah yang mempunyai tipe iklim A dan B dan tanah
organosol dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih (Direktorat Jendral
Kehutanan, 1976). Menurut Istomo (1994), istilah hutan rawa ini muncul karena
antara hutan rawa dan hutan gambut umumnya berdekatan, dan seringkali tidak
ada batasan yang jelas antar keduanya.
Poenvowidodo (1991), menyatakan bahwa rangkaian tipe-tipe hutan rawa
gambut yang ada saat ini merupakan hasil suksesi yang memakan waktu yang
cukup lama.

Suksesi hutan rawa gambut diperkirakan berasal dari timbunan

payau yang kemudian berangsur-angsur menjadi tumbuhan hutan rawa gambut.

Daerah penyebaran tipe hutan rawa gambut di Indonesia terdapat di dekat
pantai timur Sumatera dan merupakan jalur panjang dari utara ke selatan sejajar
dengan pantai timur, di Kalimantan ditemukan mulai d& bagian utara Kalimantan
Barat sejajar pantai memanjang ke selatan dan ke timur sepanjang pantai selatan
sampai ke bagian hilir sungai Barito. Disarnping itu juga terdapat hutan rawa
yang luas di bagian selatan Ir'ian Jaya (Direktorat Jendral Kehutanan, 1976).
'

Menurut Hardjowigeno (1989), luas gambut Indonesia ini diperkirakan mencapai
27 juta ha.
3. Vegetasi

Pola penyebaran vegetasi termasuk salah satu aspek yang penting dari
ekologi dan merupakan sifat dasar dari suatu organisme.

Pola penyebaran

vegetasi ini sangat ditentukan oleh faktor lingkungan (Ludwig dan Reynold,
1988). Menurut Soerianegara dan Irawan (1985), faktor lingkungan seperti jenis,
sifat dan keadaan tanah yang berbeda selain mempengaruhi penyebaran
tumbuhan, juga menyebabkw terjadinya vegetasi yang berlainan serta
,

mempengaruhi kesuburan dan produktivitas hutan.
Driessen dan Rochimah (1976), menyatakan bahwa perbedaan jenis
garnbut (ombrogen dan topogen) menyebabkan terjadinya perbedaan vegetasi.
Disebutkan pula bahwa perubahan vegetasi berkolerasi dengan sifat fisik rawa
gambut dan merupakan petunjuk penting dalam penilaian tanah rawa gambut.
Menurut Whitten et al. (1988), karena permukaan ombrogen berbentuk kubah dan
satu-satunya input hara berasal dari air hujan, maka terjadi kecenderungan
penurunan kandungan unsur hara terutama fosfat dan kalium di daerah dome.
Kecenderungan ini tercermin dari kondisi vegetasi di daerah dome yang

mengalami penurunan tinggi tajuk, penurunan total biomass per satuan luas,
peningkatan ketebalan daun sebagai akibat adaptasi tumbuhan terhadap tanah
miskin hara, penurunan diameter pohon untuk jenis tertentu dan ditemukan jenis
tanaman yang merupakan indikator tanah miskin hara misalnya Nephenthes spp.
Hutan rawa gambut biasanya mempunyai beberapa lapisan tajuk dan selalu
hijau. Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat pada hutan rawa gambut adalah
Alstorzia sp, Tristania sp, Eugenia sp, Cratoxylon arborescens, Tretamerista
glabi-a, Dactylocladus stenostacys, Diospyros sp dan Myristica sp. Khusus di
Kalimantan dan beberapa daerah di Sumatera Selatan pada hutan rawa gambut ini
banyak terdapat Gonystylus bancailus (Direktorat Jendral Kehutanan, 1976).

B. Kebakaran Hutan
1. Pengertian dan batasan
Menurut US Forest Service (1956 dalam Brown dan Davis 1973),
kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar
secara bebas yang mengkonsumsi bahan bakar hutan seperti serasah, rumput,
humus, ranting kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan serta pohon segar.
Dengan demikian ciri utama kebakaran hutan adalah sifatnya yang tidak tertekan
dan menyebar bebas p e e burning).
Menurut Brown dan Davis (1973), proses kebakaran merupakan proses
kebalikan dari proses fotosintesis. Jika pada proses fotosintesis energi terpusat
secara perlahan-lahan, sebaliknya pada proses pembakaran energi dilepas dengan
cepat.

Proses fotosintesis:
C02 + H20 + Energi matahari

-

(CsHtoOs),, + 0

2

Proses pembakaran:
(C6HloOs)n+02+ "Kindling" temperatur

-

C02 + Hz0 + Energi panas

Kebakaran hutan hanya terjadi apabila terdapat tiga unsur yaitu bahan
bakar, oksigen dan sumber api. Clar dan Chatten (1954) menyatakan bahwa
ketiga unsur tersebut disebut sebagai segitiga api.
Bahan bakar

Oksigen

Panas

Gambar 2. Konsep segitiga api (Clar dan Chatten, 1954)
Menurut Wright dan Bailey (1982), kebakaran hutan memberikan 3 sifat
yaitu:
a. Menghabiskan kayu di hutan dalam waktu singkat di samping bahan-bahan
lain yang mudah terbakar.
b. Menghasilkan energi yang berbentuk panas atau temperatur yang tinggi
hingga dapat membunuh vegetasi, binatang, mempengaruhi tanah hutan dan
mikroklimat tanah.

c. Abu sisa pembakaran akan memberikan pengaruh kimia pada tanah hutan.
Haygreen dan Bowyer (1989), menyatakan bahwa proses kebakaran
diawali dengan terjadinya penguraian komponen-komponen dari kayu jika kayu
dipanaskan kira-kira 1OO°C. Uap air akan keluar bersama dengan karbon dioksida
dan sejumlah karbon monoksida. Kayu berangsur-angsur akan rusak atau
.

mengalami pirolisis yaitu pemanasan tanpa adanya oksigen. Pirolisis bertambah
cepat pada suhu 260-350°C. Pada suhu ini keluar gas-gas yang dapat menyala bila

bersentuhan dengan oksigen. Pembakaran akan terus berlangsung selama kayu
dapat mempertahankan pada suhu yang tinggi.
Selanjutnya de Bano et al. (1998), memisahkan proses kebakaran tersebut
ke dalam beberapa fase yaitu:
a. Fase pra penyalaan (pre-ignition)
Bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mengalami pirolisis, yaitu
pelepasan uap air, COz dan gas-gas yang mudah terbakar termasuk methana,
methanol dan propana.

Untuk terjadinya pirolisis dibutuhkan radiasi dan

konveksi yang dapat mengubah panas terhadap permukaan bahan bakar,
sedangkan transfer panas ke dalam bahan bakar terjadi melalui konduksi.
Dalam proses pirolisis ini reaksi berubah dari eksotermik (memerlukan panas)
menjadi endotermik (melepaskan panas).
b. Fase penyalaan (fZamming)
Laju pirolisis meningkat dan mempercepat oksidasi dari gas-gas yang dapat
terbakar. Gas-gas ini akan naik ke permukaan, bercarnpur dengan oksigen dan
terjadi pembakaran yang terlihat dalam bentuk nyala pada saat suhu mencapai

300-600°C. Penyalaan merupakan awal terjadinya pembakaran dimana bahan
bakar yang mudah terbakar meningkat tetapi kemudian menurun menjadi
arang.
c. Fase pembaraan (smolderirzg)
Terdapat dua zona yang merupakan karakteristik dari zona ini, yaitu ( 1 ) zona
pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasi pembakaran dan (2) zona arang
dengan pelepasan hasil pembakaran yang tidak terlihat. Laju pembakaran
mulai menurun karena bahan bakar tidak mampu mensuplai gas-gas yang

.

mudah terbakar dalam konsentrasi yang cukup. Selanjutnya suhu dan panas
yang dilepaskan mulai menurun sehingga gas-gas lebih banyak terkondensasi
dalam bentuk asap.
d. Fase pemijaran (glowing)
Merupakan fase akhir proses smoldering, dimana pada fase ini sebagian besar
gas-gas yang mudah menguap hilang dan oksigen mengadakan kontak
langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mulai menjadi arang.
Hasil dari fase ini adalah CO, COs dan abu sisa pembakaran.
e. Fase pemadaman (extinction)
Kebakaran mulai berhenti karena tidak ada bahan bakar yang bisa dikonsumsi.
2. Tipe kebakaran hutan
Berdasarkan cara menjalarnya api dan posisi api dari tanah (Brown dan
Davis, 1973) membedakan kebakaran hutan menjadi 3 tipe yaitu:
a. Kebakaran bawah (groundfire)
Merupakan kebakaran yang terjadi pada bahan organik di bawah permukaan
serasah, pada umumnya berupa gambut dan humus. Kebakaran dalam bentuk
ini tidak menampakkan nyala api sehingga sulit untuk dideteksi.
b. Kebakaran permukaan (surfacefire)
Merupakan kebakaran yang terjadi pada permukaan tanah. Api membakar
serasah, semak-semak dan anakan pohon yang tingginya kurang dari 1,2 m.
c. Kebakaran tajuk (crown fire)
Merupakan kebakaran yang terjadi pada tajuk-tajuk pohon. Api berawal dari
serasah (kebakaran permukaan), kemudian merambat dari tajuk pohon ke

tajuk pohon lainnya. Kebakaran seperti ini sulit dikendalikan karena api
menjalar sangat cepat searah dengan angin.
3. Penyebab kebakaran hutan

Kebakaran hutan disebabkan oleh dua penyebab utama yaitu manusia
(karena kesengajaan dan kelalaian) dan peristiwa alam yang dapat menimbulkan
kebakaran hutan.

Pada umumnya peristiwa alam yang dapat menimbulkan

kebakaran hutan secara langsung adalah letusan gunung berapi dan petir, tetapi
ha1 ini sangat jarang terjadi untuk wilayah tropika. Menurut Schindler (1998),
sebagian besar kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia (99%) disebabkan oleh
manusia.
Chandler et al. (1983), menyatakan bahwa secara alami kebakaran hutan
dipengaruhi ole11 beberapa faktor alami yang saling berkaitan seperti iklim
(kemarau yang panjang, petir dan daya alam lainnya), jenis tanaman (seperti
tanaman pinus yang mengandung resin), tipe vegetasi (seperti hutan alam, hutan
monokultur dan padang ilalang) dan bahan-bahan sisa vegetasi (seperti serasah,
humus dan ranting).
Kebakaran hutan biasanya berkaitan erat dengan kegiatan yang dilakukan
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kegiatan menyiapkan lahan
untuk berladang dengan cara membakar, longging yang menggunakan peralatan
mekanis atau tungku api dan penggembalaan ternak dengan cara membakar alangalang yang sudah tua agar berguna kembali (Fuller, 1991).
Penyebab kebakaran yang sering terjadi umurnnya disebabkan oleh faktor
yang saling berkaitan yaitu alam dan menusia. Menurut Saharjo (1999), penyebab
kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998, selain difasilitasi oleh

gangguan alam yaitu adanya El Nino juga disebabkan oleh faktor manusia sepel-ti
pembukaan areal hutan untuk perkebunan, minirnnya peralatan dan pengetahuan
tentang kebakaran, serta lemahnya penerapan hukum dan kebijakan pengalihan
fungsi lahan.
C. Perilaku Api

De Bano et al. (1998), mendefinisikan perilaku api sebagai suatu respon
atau kebiasaan api yang terjadi sebagai hasil reaksi dengan lingkungan seperti
bahan bakar, iklim, kondisi lokal, cuaca dan topografi. Perilaku api ini bersifat
tidak tetap tetapi berubah sesuai dengan waktu dan ruang atau kondisi keduanya
dalam hubungaimya dengan komponen lingkungan tersebut. Komponen bahan
bakar berubah sangat cepat pada waktu dan ruang dalam suatu rangkaian
kebakaran, iklim setempat, juga berubah menurut waktu dan tempat. Topografi
tidak berubah menurut waktu tetapi berubah menurut ruang.
Selanjutnya menwut Chandler et al. (1983), perilaku api dapat diprediksi
dengan dua cara yaitu fire danger rating dan fire behavior forecast.

Suatu

estimasi tentang antisipasi tingkat bahaya kebakaran yang terkait erat dengan tipe
bahan b&ar dan topografi pada areal yang relatif luas dalam waktu tertentu
biasanya pada saat siang hari disebut Fire danger rating. Data yang diperoleh
dari Fire danger rating ini penting dalam upaya pencegahan bahaya kebakaran.
Sedangkan suatu estimasi atau ramalan terhadap tingkat penyebaran api pada
daerah tertentu yang diduga akan terjadi kebakaran hutan baik secara terkendali
maupun tidak pada periode waktu yang akan datang disebut fire behavior
forecast. Pengetahuan ini sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pemadarnan api
'

secara terkendali.

/

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku api yaitu ketersediaan
bahan bakar, temperatur dan kelembaban udara, komposisi bahan bakar, angin dan
topografi. Makin banyak tersedia bahan bakar makin besar intensitas kebakaran,
bahan bakar yang lembab akan lebih lama terbakar dibanding bahan bakar yang
kering. Komposisi bahan bakar juga mempengaruhi intensitas kebakaran. Minyak
dan resin meningkatkan reaksi panas dan intensitas kebakaran sedangkan
konsentrasi mineral dapat menurunlan flammabilitas. Angin akan meningkatkan
ketersediaan oksigen, menyatukan panas dan menghasilkan bbspot
.fire". Terakhir
adalah pengaruh topografi terhadap intensitas kebakaran.

Kebakaran yang

dimulai dari bagian atas pada suatu daerah yang miring akan menjalar lebih
lambat sedangkan kebakaran yang dimulai dari bawah akan menjalar dengan
cepat karena udara hangat muncul dan memanasi bahan bakar yang berada di
atasnya (Ecological Society of America, 2002).

D. Karakteristik Bahan Bakar
1. Tipe dan sifat bahan bakar
Menurut Brown dan Davis (1973) dan Chandler et al. (1983), secara garis
besar bahan bakar diklasifikasikan dalam 3 kelompok yaitu: (1) bahan bakar
bawah terdiri atas "duffJ,akar dan gambut yang terletak di dalarn tanah dan telah
terakumulasi selama beberapa tahun (2) bahan bakar permukaan terdiri atas
serasah, ranting, kulit kayu, dan cabang kayu yang semuanya belum terurai.
Selain itu juga termasuk rumput, tumbuhan bawah, anakan dan semai (3) bahan
bakar tajuk terdiri atas bahan bakar baik hidup atau mati yang berada di atas dan
menutupi kanopi hutan serta menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 m. Umumnya

adalah bahan bakar hidup yang mempunyai kelembaban yang tinggi sehingga sulit
untuk terbakar kecuali dalam periode yang lama.
Wright dan Bailey (1982) menyatakan bahwa jenis bahan bakar yang
terdapat di hutan terdiri atas: pohon, semak dan anakan, tumbuhan penutup tanah,
serasah dan lapisan humus yang belum hancur, cabang pohon dan pohon berdiri
yang mati, serta sisa tebangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa hutan murni dari
jenis konifer yang banyak mengandung resin lebih mudah menyala dibanding
hutan mumi dari jenis daun lebar. Semak dan anakan, tumbuhan penutup tanah,
serta serasah, merupakan bahan bakar halus yang sangat mudah menyala.
Demikian pula dengan cabang yang mati dan sisa tebangan adalah bahan bakar
potensial, dan mudah menyala, sehingga dalam jumlah yang banyak dapat
menyebabkan kebakaran dalam areal yang luas.
Menurut Clar dan Chatten (1954), hal-ha1 penting dari bahan bakar yang
dapat mempengaruhi kebakaran adalah:
a. Ukuran bahan bakar
Bahan bakar halus biasanya mudah kering tetapi juga mudah menyerap air,
karena cepat kering apabila terbakar cepat meluas namun cepat padam pula.
Sedangkan bahan bakar kasar memiliki kadar air yang stabil sehingga sulit
terbakar, tetapi bila sudah terbakar akan mengalami penyalaan yang lama.
b. Susunan bahan bakar
Pada bahan bakar bertingkat atau berkesinambungan ke atas akan
memungkinkan api mencapai tajuk dalam waktu yang singkat. Sedangkan
bahan bakar yang menyebar secara horizontal akan mempercepat kebakaran.

c. Volume bahan bakar
Volume bahan bakar (potensi) akan menentukan besarnya api yang timbulkan,
temperatur yang tinggi dan kebakaran yang sulit dipadamkan.
d. Jenis bahan bakar
Tumbuhan berdaun jarum umumnya lebih mudah terbakar dibanding
tumbuhan jenis daun lebar karena lebih banyak mengandung resin yang
merupakan zat ekstraktif yang mudah terbakar.
e. Kerapatan bahan bakar
Kerapatan bahan bakar berhubungan dengan jarak antar partikel yang akan
mempengaruhi persediaan udara dan perpindahan panas. Kayu akan terbakar
dengan baik bila kerapatannya tinggi dan berhenti bila kerapatannya rendah.
Sebaliknya rumput akan terbakar dengan baik bila kerapatannya rendah dan
berhenti bila kerapatannya tinggi.
f. Kadar air balian bakar
Bahan bakar yang banyak mengandung air akan sulit terbakar karena
dibutuhkan energi yang besar untuk memanaskan untul mencapai titik awal
pembakaran.
2. Flammabilitas
Komposisi bahan bakar memegang peranan yang penting dalam
kebakaran.

Kandungan senyawa kimia dapat meningkatkan atau menurunkan

intensitas kebakaran. Menurut Whelan (1995), kandungan minyak dan resin akan
meningkatkan pembakaran karena dapat meningkatkan reaksi panas yang
dihasilkan sebab mengandung energi yang lebih besar. Sebaliknya kandungan
mineral pada kayu dan daun yang relatif tinggi dapat menurunkan flamrnabilitas.

Flarnmabilitas adalah kemudahan bahan bakar untuk menyala sehubungan
dengan kandungan senyawa inorganik yang sifatnya dapat menghambat laju
penyalaan. Dari hasil penyelidikan disebutkan bahwa kandungan abu bebas silika
berkolerasi positif dengan flammabilitas dibanding dengan total abu (Philpot,
1970). Telah ada bukti bahwa fosfat juga bertanggung jawab terhadap penekanan
flammabilitas (Nicholas, 1987). Abu bebas silika dan fosfat mempengaruhi
proses pembakaran dengan cara membentuk suatu katalisator tertentu pada awal
reaksi pirolisis dari selulosa sehingga menyebabkan tejadinya peningkatan
produksi arang dan menurunkan dalam pembentukan ter yang merupakan
senyawa penting untuk terbentuknya nyala (Chandler et al., 1983).
Mutch dan Philpot (1970), menyatakan bahwa selama pirolisis dari suatu
tumbuhan akan

dihasilkan gas volatil (mudah menguap) yang mendukung

terhadap pembakaran. Berdasarkan hasil penelitian disebutkan bahwa selarna
pirolisis, selulosa berhubungan dengan unsur inorganik yang diperkirakan dapat
mempengaruhi flammabilitas (biasanya disebut dengan mineral atau kandungan
bebas abu).

Karena abu bebas silika ditemukan sebagai penghambat dalam

pirolisis, maka jumlah silika dapat ditentukan dengan metode standar, yaitu dapat
diambil dari total abu pada proses pengabuan. Kenaikan kandungan abu dapat
menyebabkan penurunan rata-rata maksimum gas yang menguap, meningkatkan
residu pembakaran dan pirolisis akan aktif pada suhu yang rendah.

E. Manajemen Asap
Asap merupakan salah satu akibat yang ditimbulkan dari kejadian
kebakaran hutan. Ribuan senyawa dihasilkan selama reaksi eksotermik dari suatu
kebakaran yang selanjutnya dilepaskan ke atmosfir. Ukuran yang biasa digunakan

-

untuk menduga jumlah asap yang dihasilkan selama kebakaran dan dampaknya
terhadap kualitas udara adalah dengan emision rate (laju emisi).

Besarnya

emision rate ditentukan oleh ketersediaan bahan bakar, laju pembakaran dan
faktor emisi (Chandler et al., 1983).
Levine et al. (1995), menyatakan bahwa biomass burning, termasuk
pembakaran vegetasi hutan di dunia, padang rumput dan pembukaan lahan untuk
pertanian mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap gas-gas aktif di
udara. Menurut Leenhout (1998), gas-gas emisi dari biomass burning seperti
karbon monoksida, karbon dioksida, methana, bahan partikel, nitrogen oksida,
hidrokarbon dan unsur-unsur karbon dapat mempengaruhi kimia atmosfir dan
iklim regional ataupun global.

Beberapa dari gas-gas emisi seperti karbon

monoksida, bahan partikel dan nitrogen oksida diklasifikasikan sebagai bahan
pencemar yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan terhadap manusia.
Sementara itu bahan partikel yang memiliki ukuran lebih kecil dari 2,5 mikron,
karbon organik, hidrokarbon dan einisi karbon inorganik dapat mempertebal asap
yang dapat menyebabkan pengurangan jarak pandang, mempengaruhi keindahan
dan mempengaruhi ekonomi pariwisata. Karbon dioksida, karbon monoksida dan
methana merupakan penyebab ,gas rumah kaca yang berpotensi meningkatkan
radiasi panas, akan tetapi bahan partikel bertindak sebagai penghalang radiasi
yang dapat menyebabkan temperatur menjadi rendah.
Selama musim kemarau bioinass burning merupakan sumber elnisi gas
pada troposfer di daerah tropik (Kondo, 2000). Goldammer (1997) menyatakan
bahwa musim kemarau ditandai dengan jumlah presipitasi yang kurang dari 100
mmltahun dan dalarn waktu dua minggu atau lebih tidak ada hujan. Kondisi ini

menyebabkan penurunan kadar air dan vegetasi mengalami stress yang hebat,
sehingga mudah untuk terbakar. Demikian pula dengan gambut, berkurangnya
presipitasi dan penurunan muka air tanah dapat menyebabkan kekeringan sedalam

1-2 m. Levine et al. (1999) menyatakan bahwa total rasio emisi bahan partikel
(Total Particulat Matter) yang dilepaskan ke atmosfir saat kebakaran pada daerah
gambut lebih besar dibanding hutan tropik.
Untuk menghindari terjadinya kebakaran yang banyak menimbulkan asap
perlu adanya suatu manajemen asap. Menurut Goldammer (1997) upaya ini dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu: ( 1 ) melakukan teknik pembakaran yang
tepat seperti ring$re ( 2 ) membuat rencana pembakaran terkendali yang meliputi
pemahaman terhadap fisik dan biologi bahan bakar, manajemen lahan dan sumber
.

daya alam, faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku api dan dampak yang
ditimbulkan (3) penggunaan teknologi yang tepat. Selain itu juga perlu dibentuk
organisasi manajemen kebakaran yang menyangkut persyaratan teknik seperti
pers