Komunikasi Partisipatif pada Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) di Desa Abbokongeng Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan

KOMUNIKASI PARTISIPATIF PADA SEKOLAH
LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT)
DI DESA ABBOKONGENG KABUPATEN SIDRAP
PROVINSI SULAWESI SELATAN

KARMILA MUCHTAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Partisipatif
pada Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) di Desa
Abbokongeng Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Karmila Muchtar
I352120031

RINGKASAN
KARMILA MUCHTAR. 2014. Komunikasi Partisipatif pada Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) di Desa Abbokongeng Kabupaten
Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh NINUK PURNANINGSIH dan
DJOKO SUSANTO.
Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan
inovasi peningkatan produksi padi dengan pendekatan bottom up. SL-PTT adalah
wadah pembelajaran di mana petani dituntut melakukan proses belajar untuk
memecahkan masalah dan menemukan solusi bersama terkait pengelolaan
tanaman padi. SL-PTT memberikan ruang bagi petani untuk saling bertukar
informasi dan pengetahuan. Penerapan komunikasi partisipatif melalui prinsip
dialogis dilakukan dalam SL-PTT. Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran
tentang penerapan komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT dan

menganalisis keputusan petani dalam penerapan teknologi usaha tani padi.
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei. Populasi penelitian ini adalah
seluruh anggota kelompok tani di Desa Abbokongeng. Sampel penelitian
sebanyak 80 yang tercatat sebagai peserta program SL-PTT. Penelitian ini
dilaksanakan bulan Maret-April 2014. Pengujian hipotesis menggunakan uji
regresi linear berganda.
Komunikasi partisipatif dalam program SL-PTT telah dilakukan pada
tahap pertemuan rutin dan diskusi harian sebesar 78,7% dan 96,3%. Pada tahap
ini, penyuluh juga aktif dalam proses komunikasi partisipatif. Pada tahap PRA
dan tahap temu lapang, proses komunikasi partisipatif tergolong rendah yakni 5%
dan 12,5%. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap proses penerapan
komunikasi partisipatif adalah karakteristik petani, karakteristik penyuluh dan
saluran komunikasi.
Tingkat adopsi teknologi petani pada program SL-PTT sebesar 91,3% yakni
petani menerapkan seluruh teknologi, seperti penggunaan benih unggul,
penanaman sistem jejer legowo, pemupukan berimbang, pengairan berselang,
pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), panen dan pasca panen.
Sebagian kecil petani belum mengadopsi benih unggul dan sistem tanam jejer
legowo. Hal ini disebabkan oleh sulitnya mendapatkan benih unggul dan persepsi
petani bahwa jarak tanam mengurangi jumlah produksi. Untuk meningkatkan

proses komunikasi partisipatif perlu pendekatan yang lebih intensif oleh penyuluh
dan melibatkan tutor sebaya untuk menggerakkan petani mengadopsi teknologi
secara luas. Komunikasi partisipatif perlu dipertahankan dan ditingkatkan dalam
program SL-PTT sehingga peningkatan produksi padi tetap dapat dipertahankan
dan dikembangkan.

Kata kunci: Bottom-up, Komunikasi, Partisipatif, SL-PTT

SUMMARY
KARMILA MUCHTAR. 2014. Participative Communication in Field School of
Integrated Crop Management (SL-PTT) at Village of Abbokongeng, Sub District
of Kulo, District of Sidrap, South Sulawesi. Supervised by NINUK
PURNANINGSIH and DJOKO SUSANTO.
Field School of Integrated Crop Management (SL-PTT) is an agricultural
innovation system directed mainly to improve production of rice applying bottomup and participative communication approach of the farmers. The study aims to
get descriptions on how participative communication can be applied on the SLPTT program and to analyze decision making process by the farmers to adopt and
utilize the technology of rice innovation in their land-use. The study has been
done using survey about variables. Population of the study was all farmers in
village of Abbokongeng. Sample of this study was 80 farmers as respondents who
involved in SL-PTT program. The study was done on March-April 2014. Data and

hypothesis were analyzed and tested using multiple linear regression.
The evidence showed that participative communication of the farmers
toward SL-PTT program was considerable in the steps in the routine meeting and
daily discussion i.e 78,7% and 96,3%. On the steps, the interaction of the
extension worker and the farmers is considerable active. The respect of the
extension worker was also supporting. While in the PRA and field meeting,
activation of farmers in participative communication is grouped to low by 5% and
12,5%. Factors which have significant effect on applying participative
communication are: farmer’s characteristics, characteristics of the extension
worker and forum of communication between the extension worker and the
farmers.
Level of technology adoption of farmers by 91,25%. The farmers applied
all innovations, such as: using high qualified seeds, planting system, using
appropriate fertilizer and water irrigarion, controlling pests, harvest and pastharvest management. Small proportion of farmers have not using high qualified
seeds and planting system because difficult of getting high qualified seeds and
perception of the farmers about planting system can reduce the production level of
rice. To increase partisipative communication process, extension worker should
carry out more intensive approach and to involve those farmers who considered as
leaders of the farmers group, i.e to adopt innovation of technology to increase rice
production. Partisipative communication should be maintained through the SLPTT program in such that the rice production can be maintained and increased.


Keywords: Bottom-up, Communication, Participative, SL-PTT

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KOMUNIKASI PARTISIPATIF PADA SEKOLAH
LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT)
DI DESA ABBOKONGENG KABUPATEN SIDRAP
PROVINSI SULAWESI SELATAN

KARMILA MUCHTAR


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Djuara P Lubis MS

iii

Judul Tesis : Komunikasi Partisipatif pada Sekolah Lapangan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT) di Desa Abbokongeng Kabupaten
Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan

Nama
: Karmila Muchtar
NIM
: I352120031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi
Ketua

Prof (Ris) Dr Ign Djoko Susanto, SKM
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Djuara P. Lubis, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 21 Juli 2014

Tanggal Lulus:

iv

PRAKATA
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah komunikasi partisipatif yang berlangsung di Desa
Abbokongeng, sebagai salah satu penyangga pangan di Kabupaten Sidrap,
Provinsi Sulawesi Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi
dan Prof Dr Ign Djoko Susanto, SKM sebagai Komisi Pembimbing yang telah

memberikan banyak bimbingan dan saran. Kepada rekan-rekan sejawat atas
dukungan yang diberikan (KMP angkatan 2012) dan angkatan 2011. Terima kasih
kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang
memberikan Beasiswa Unggulan (BU-Dikti) untuk membiayai kuliah penulis.
Terima kasih kepada orang tua tercinta dan seluruh keluarga atas segala doa,
dukungan dan kasih sayangnya. Terima kasih juga kepada para sahabat di
Makassar dan di Kemuning 25.
Penulis dengan terbuka mengaharapkan masukan, koreksi dan saran untuk
melengkapi karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2014
Karmila Muchtar

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii


DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Singkat SL-PTT
Peran Penyuluh Pertanian
Komunikasi Partisipatif
Komunikasi Partisipatif di Ruang Publik
Penelitian Terdahulu


1
2
2
4
4
4
4
9
11
18
19

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
Kerangka Pemikiran
Hipotesis

22
22
24

METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel
Data dan Instrumen Penelitian
Definisi Operasional
Validitas dan Reliabilitas
Analisis Data

24
24
24
24
25
27
29
30

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi
Karakteristik Responden
Karakteristik Penyuluh
Saluran Komunikasi
Proses Penerapan Komunikasi Partisipatif
Keputusan Penerapan Teknologi
Pengaruh Karakteristik Petani terhadap Komunikasi Partisipatif
Pengaruh Karakteristik Penyuluh terhadap Komunikasi Partisipatif
Pengaruh Saluran Komunikasi terhadap Komunikasi Partisipatif
Pengaruh Komunikasi Partisipatif terhadap Penerapan Teknologi

31
31
34
40
42
43
61
63
65
66
68

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

69
69
69
69

RIWAYAT HIDUP

88

vi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

29

Pemetaan tahapan program SL-PTT dari segi komunikasi
Penelitian terdahulu terkait SL-PTT dan komunikasi partisipatif
Jumlah populasi program SL-PTT di Desa Abbokongeng
Data, sumber data, dan metode
Peubah, definisi operasional dan kategori karakteristik petani
Peubah, definisi operasional dan kategori karakteristik penyuluh
Peubah, definisi operasional dan kategori saluran komunikasi
Peubah, definisi operasional dan kategori proses penerapan komunikasi
partisipatif
Peubah, definisi operasional dan kategori proses pengambilan
keputusan penerapan teknologi
Nilai koefisien korelasi product moment
Hasil uji kuesioner koefisien Cronbach’s Alpha
Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian
Jumlah sarana, prasarana, dan kelembagaan
Tingkat pendidikan penduduk di Desa Abbokongeng
Potensi Desa Abbokongeng
Persentase responden menurut umur
Persentase responden menurut tingkat pendidikan
Persentase responden menurut pengalaman berusahatani, luas lahan,
dan status sosial
Analisis usahatani responden
Sebaran responden berdasarkan penguasaan materi penyuluh
Sebaran responden berdasarkan keterampilan berkomunikasi penyuluh
Sebaran responden berdasarkan saluran komunikasi dalam SL-PTT
Proses penerapan komunikasi partisipatif tahap PRA
Proses penerapan komunikasi partisipatif tahap pertemuan
Proses penerapan komunikasi partisipatif tahap diskusi harian
Proses penerapan komunikasi partisipatif tahap temu lapang
Sebaran responden berdasarkan keputusan penerapan teknologi
Pengaruh karakteristik petani, karakteristik penyuluh dan saluran
komunikasi terhadap proses penerapan komunikasi partisipatif di Desa
Abbokongeng
Pengaruh proses penerapan komunikasi partisipatif terhadap keputusan
penerapan teknologi di Desa Abbokongeng

7
19
25
26
27
27
28
28
28
29
30
31
32
33
33
34
35
36
38
40
42
43
48
54
58
60
61

63
68

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran operasional komunikasi partisipatif
2 Jumlah produksi padi di Kecamatan Kulo
3 Jumlah produksi padi di Kabupaten Sidrap

23
39
40

vii

DAFTAR KOTAK
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Gambaran pemilihan ketua kelompok tani
Gambaran riwayat tingkat pendidikan petani
Gambaran riwayat tingkat pendidikan petani
Gambaran pengalaman berusahatani petani
Gambaran motivasi belajar petani
Gambaran motivasi belajar petani
Gambaran luas dan status sosial petani
Gambaran Kondisi Pengelolaan Usahatani Petani
Gambaran kepercayaan dan interaksi petani dengan penyuluh
Gambaran persepsi petani tentang penyuluh
Gambaran persepsi petani tentang kinerja penyuluh
Gambaran keaktifan petani pada program SL-PTT
Gambaran persepsi penyuluh tentang bantuan benih
Gambaran pertanyaan petani perempuan
Gambaran tanggapan penyuluh
Gambaran persepsi petani tentang kesempatan berdialog
Gambaran persepsi penyuluh tentang posisinya
Gambaran pertanyaan petani tentang benih lokal
Gambaran keinginan petani untuk adopsi
Gambaran kepercayaan petani terhadap penyuluh

35
36
36
37
37
37
38
39
41
41
42
42
48
52
52
54
55
57
57
58

DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi Penelitian
2 Kuesioner Penelitian

75
77

viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan
inovasi program peningkatan produksi padi dengan pendekatan bottom up.
Produksi padi yang selama ini masih mengandalkan sawah irigasi mengalami
banyak kendala, misalnya banyaknya lahan sawah irigasi beralih fungsi menjadi
lahan non pertanian dan berkurangnya debit air. Salah satu strategi untuk
menanggulangi kondisi tersebut adalah penerapan berbagai teknologi dengan
input produksi yang efisien sesuai kondisi spesifik lokasi untuk menunjang
peningkatan produksi padi secara berkelanjutan.
SL-PTT adalah wadah bagi petani dalam menerapkan berbagai teknologi
usaha tani melalui pembelajaran untuk memecahkan masalah-masalah dan
menemukan solusi secara bersama-sama. SL-PTT memberikan kesempatan bagi
petani bertukar informasi, pengetahuan dan prioritas masalah berasal dari petani,
dan petani merupakan pelaku utama (Lubis 2007). Sama halnya dengan yang
terjadi di Sub-Sahara Afrika, farmer field schools juga memberikan kesempatan
bagi petani untuk mendiagnosis sendiri masalah yang dihadapinya sampai
menemukan solusi. Pendekatan yang dipakai menggunakan metode partisipatif
sehingga petani mengalami pemberdayaan sebagai ahli teknis sendiri dalam
pengelolaan usaha taninya (Davis 2008).
Kabupaten Sidrap dikenal sebagai salah satu lumbung padi utama di
Provinsi Sulawesi Selatan dengan ciri petani aktif. SL-PTT yang sedang
berlangsung di Kabupaten Sidrap turut memberikan sumbangsih peningkatan
produksi padi yang mampu melampaui target, yakni sebesar 206.194 ton pada
tahun 2012. Namun di tempat lain, seperti Karawang dan Cianjur yang juga
sebagai sentra produksi beras di Provinsi Jawa Barat ditemukan bahwa petani
yang tergabung dalam SL-PTT masih termasuk kategori yang kurang berdaya
dengan ciri kurang mampu menghadapi tantangan-tantangan masa kini dalam
mengelola usaha taninya (Sadono 2012).
Tahapan identifikasi masalah, menetapkan tujuan, dan mencari solusi
bersama seperti yang dijelaskan di atas merupakan salah satu wujud komunikasi
partisipatif. Komunikasi partisipatif merupakan salah satu pendekatan bottom up
untuk menjawab kegagalan pembangunan terdahulu dengan sejauh mungkin
menempuh cara-cara dialog. Komunikasi partisipatif penting diupayakan untuk
mendorong keputusan dalam penerapan tindakan dalam pembangunan (Msibi &
Penzhorn 2010). Dialog sebagai prinsip berlangsungnya komunikasi partisipatif
dilakukan dengan tujuan merangkum solusi yang ada untuk penyelesaian bersama.
Dalam dialog, setiap petani memiliki hak sama untuk bicara atau didengar (Tufte,
2009).
Proses komunikasi partisipatif dengan menempuh cara dialog dipengaruhi
oleh beberapa stakeholders (aktor komunikasi) yakni penyuluh pertanian, petani
dan pemangku kepentingan. Keterampilan berkomunikasi yang dimiliki oleh
penyuluh pertanian merupakan salah satu hal yang memegang peranan penting
dalam keberhasilan program pemberdayaan. Undang-undang Nomor 16 tahun
2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K)

2

juga membahas kompetensi komunikasi inovasi penyuluh yang dicirikan oleh
kemampuan penyuluh mencari informasi inovasi melalui berbagai saluran
komunikasi, memahami jenis inovasi yang dibutuhkan petani, memiliki
kemampuan komunikasi inovasi dalam bahasa yang mudah dipahami petani,
memiliki kemampuan dalam berkomunikasi secara dialogis, dan berempati
terhadap permasalahan yang dihadapi petani. Kompetensi penyuluh juga terlihat
dari kemampuan mengkomunikasikan materi penyuluhan dengan pesan yang
bersifat inovatif yang mampu mengubah atau mendorong perubahan, sehingga
terwujud perbaikan-perbaikan mutu hidup petani.
Penelitian Wahyuni, dkk (2006) tentang peran pendamping dalam proses
komunikasi program Raksa Desa di Kecamatan Ciampea menyimpulkan bahwa
metode dalam proses komunikasi yang cenderung top down dan searah
menyebabkan partisipasi masyarakat kurang efektif, intensitas komunikasi yang
rendah menghasilkan lemahnya pemahaman anggota dan pengurus tentang
pelaksanaan program serta konvergensi komunikasi yang rendah cenderung
kurang berhasil meningkatkan motivasi anggota. Penelitian lain tentang kepuasan
petani kedelei pada bimbingan penyuluhan pertanian di Kabupaten Lahat
menyimpulkan bahwa penyuluh yang telah membangun kepercayaan (trust)
sebagai sumber informasi atau komunikator dianggap telah memberikan informasi
sesuai kebutuhan petani dan cukup mudah dipahami (Andawan 2007).
Keterlibatan petani dalam program pemberdayaan seperti penyusunan
rencana penyuluhan penting diupayakan, sehingga penyuluh tidak hanya
melakukan sesuatu untuk petani, tetapi melakukan sesuatu bersama. Petani
dilibatkan dalam memberikan masukan dan penyusunan rencana program
penyuluhan seperti kebutuhan, keinginan, harapan, serta masalah-masalah yang
dihadapi dalam pengelolaan usaha taninya. Hal ini akan berdampak pada
munculnya rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap program penyuluhan yang
dilakukan (Herawati dan Pulungan 2006).
Penelitian ini berusaha mengkaji sejauh mana penerapan komunikasi
partisipatif untuk membuktikan bottom up dalam SL-PTT. Hal ini bertujuan untuk
memperoleh gambaran keputusan petani untuk menerapkan teknologi.
Komunikasi partisipatif sebagai peubah terikat diduga dipengaruhi oleh peubah
bebas seperti karakteristik petani, karakteristik penyuluh, dan saluran komunikasi.
Penelitian ini mengambil kasus pelaksanaan program SL-PTT di Desa
Abbokongeng Kecamatan Kulo Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan.
Masalah Penelitian
Berbagai program pemberdayaan masyarakat telah dibuat dalam rangka
mengembangkan kemandirian masyarakat, khususnya bagi petani di wilayah
pedesaan. Salah satunya adalah SL-PTT dengan tujuan untuk peningkatan
produksi padi. Kabupaten Sidrap merupakan penghasil padi terbesar di Provinsi
Sulawesi Selatan. Tahun 2011 lalu, Kabupaten Sidrap mampu melampaui target
yakni 499.125 ton beras dari target prognosa gabah kering giling (GKG) sebesar
417.600 ton. Pada tahun 2012, Kabupaten Sidrap kembali memenuhi kebutuhan
pangan dari target pengadaan beras GKG yang diberikan Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan yakni sebesar 206.194 ton (BPKP 2012).

3

Program SL-PTT dalam beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan
peningkatkan produksi padi. Penelitian Nurawan (2007) menemukan bahwa
melalui pendekatan model PTT dengan introduksi varietas unggul dapat
meningkatkan produksi padi dan meningkatkan efisiensi usaha tani. Sejalan
dengan penelitian Marsudi (2009) bahwa ada perbedaan tingkat efisiensi usaha
tani sebelum dan sesudah penerapan program SL-PTT padi. Penerapan model
PTT juga mampu menjaga kelestarian lingkungan (Nurbaeti,dkk 2010).
Pendampingan SL-PTT di Bangka Belitung juga dinilai efektif dalam
meningkatkan produktivitas dan pendampingan sehingga mampu memenuhi
harapan petani (Fachrista & Risfaheri 2013).
Nurhayati (2011) mengkaji komunikasi dari sisi karakteristik pemandu
lapangan, jenis inovasi, karakteristik petani, dan saluran komunikasi
menyebabkan terjadinya perubahan pengetahuan dan sikap peserta SL-PTT.
Namun, perubahan tersebut tidak sampai pada tindakan dalam menerapkan
teknologi pada lahan usaha tani. Salah satu penyebabnya adalah PRA
(Participatory Rural Appraisal) yang tidak dilaksanakan sehingga tidak diketahui
secara menyeluruh keadaan setempat mulai dari kekurangan-kekurangan dan
hambatan-hambatan. Petani juga tidak memiliki kekuatan dalam menentukan
pilihan dalam menerapkan teknologi tersebut karena status mereka sebagai petani
penggarap dan petani umumnya masih dibayangi resiko kegagalan apabila
mengubah cara-cara berusaha tani mereka. Fakta di atas menjadi dasar dalam
penelitian ini untuk mengkaji lebih lanjut proses komunikasi partisipatif yang
terjadi dalam SL-PTT sehingga diketahui proses keputusan petani dalam
penerapan teknologi.
Sisi lain ditunjukkan dari hasil penelitian Sadono (2012) bahwa petani
dalam sekolah lapangan di Kabupaten Karawang dan Cianjur masih termasuk
kategori kurang berdaya, yang menunjukkan bahwa petani kurang mampu
menghadapi tantangan-tantangan pada masa kini yang ada di sekitarnya dalam
mengelola usaha taninya. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya
keberdayaan petani adalah rendahnya tingkat partisipasi petani dalam kelompok,
pola pemberdayaan yang kurang sesuai, kurangnya dukungan lingkungan fisik
dan sosial ekonomi, rendahnya ciri kepribadian petani pada aspek pengambilan
resiko dan kreativitas, dan kurang tersedianya informasi pertanian yang sesuai
dengan kebutuhan petani padi.
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah penelitian ini secara umum
bermaksud mengkaji sejauh mana komunikasi partisipatif berperan sebagai
kekuatan dalam penerapan teknologi SL-PTT dan menentukan keputusan petani
dalam penerapan teknologi di Desa Abbokongeng. Secara rinci masalah penelitian
ini adalah :
1. Sejauh mana proses penerapan komunikasi partisipatif dalam program SLPTT ?
2. Bagaimana pengaruh karakteristik petani, karakteristik penyuluh, dan
saluran komunikasi terhadap penerapan komunikasi partisipatif dalam
program SL-PTT ?
3. Bagaimana keputusan petani dalam penerapan teknologi PTT ?

4

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis proses komunikasi partisipatif petani dalam program SL-PTT
di Desa Abbokongeng, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Provinsi
Sulawesi Selatan.
2. Menganalisis pengaruh karakteristik petani, karakteristik penyuluh, dan
saluran komunikasi terhadap tingkat penerapan komunikasi partisipatif
dalam program SL-PTT di Desa Abbokongeng, Kecamatan Kulo,
Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan.
3. Menganalisis keputusan petani dalam penerapan teknologi PTT di Desa
Abbokongeng, Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi
Selatan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi untuk:
1. Para pengambil kebijakan, khususnya pemerintah Kabupaten Sidrap dalam
evaluasi sistem penyuluhan pertanian sebagai langkah menuju petani
berkualitas dan kesejahteraan yang merata.
2. Para penyuluh pertanian yang melakukan pendampingan kepada petani
untuk membantu menyukseskan berbagai program pemberdayaan sehingga
tujuan ideal pemberdayaan dapat terwujud serta membantu petani dalam
meningkatkan proses belajar sehingga mandiri dalam keputusan terkait
pengelolaan usaha tani.
3. Kalangan akademisi, diharapkan menambah khasanah ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan penerapan komunikasi partisipatif.

TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Singkat SL-PTT
Upaya peningkatan produksi padi di Indonesia telah banyak dikembangkan,
salah satunya melalui penerapan berbagai macam teknologi. Pada tahun 1950-an
hingga 1980-an dikenal konsep revolusi hijau melalui gerakan bimbingan
masyarakat (Bimas) dengan tujuan meningkatkan produksi beras. Komponen
gerakan Bimas salah satunya adalah penggunaan teknologi yang disebut Panca
Usaha Tani, yang terdiri dari penggunaan bibit, pengolahan tanah, pemupukan,
pengendalian hama dan pengairan, kemudian berkembang menjadi Sapta Usahatani
yakni penanganan panen dan pasca panen. Gerakan Bimas mampu mengantarkan
Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984. Di sisi lain, konsep revolusi hijau
memiliki dampak negatif, seperti penurunan kualitas lingkungan karena penggunaan
pupuk yang terus menerus dan munculnya jenis hama baru yang resisten.
Pada tahun 1990, diperkenalkan bentuk lain dalam sistem penyuluhan pertanian
untuk menunjang peningkatan produksi padi yang dikenal sekolah lapangan.
Tujuannya adalah mengendalikan hama dengan konsep pengendalian hama
terpadu. Tahun 1994, program ini dilaksanakan di lebih dari 10.000 desa dengan
nama Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT). Teknologi PHT

5

mempertimbangkan ekosistem, stabilitas, dan kesinambungan produksi sesuai
dengan tuntutan praktek pertanian yang baik. Prinsipnya adalah budidaya tanaman
sehat, pelestarian musuh alami, pengamatan berkala yang berkesinambungan dan
menjadikan petani ahli PHT. SL-PHT adalah suatu metode pendidikan dan
partisipasi bagi petani dengan pendekatan partisipatoris, dengan harapan petani
lebih mandiri, percaya diri, dan lebih bermartabat sebagai manusia bebas. Fokus
kegiatan SL-PHT adalah pengamatan keadaan tanaman, keadaan cuaca, keadaan
gulma, umur tanaman, varietas, musuh alami yang ditemukan, populasi organisme
pengganggu tanaman (OPT), intensitas serangan OPT maupun serangga lain
(Pedoman Teknis Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu, 2007).
Pada tahun 2009, Kementerian Pertanian kembali memperkenalkan inovasi
sekolah lapangan dalam skala lebih luas, yakni Sekolah Lapangan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT) dengan tujuan yang sama untuk peningkatan
produksi padi. Komponen teknologi PTT sama halnya dengan Panca Usahatani
yang sedikit revolusi seperti penggunaan benih unggul, penanaman dengan sistem
jajar legowo, pemupukan berimbang, pengairan berselang, perlindungan tanaman,
dan penanganan panen dan pasca panen. Tujuan SL-PTT adalah meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usaha
tani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi
yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat. Melalui SL-PTT petani
dibimbing secara terpadu dan kerja magang dalam pengelolaan tanaman yang baik
dan benar.
Komponen teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) adalah:
1. Penggunaan Benih : varietas unggul bermutu (VUB) yang ditanam secara
bergantian akan memutus siklus hidup hama dan penyakit. Beberapa jenis
varietas unggul padi sawah antara lain IR-64, Ciherang, Ciliwung,
Mekongga, Sarinah, Cigeulis, Bondoyudo, dan Batang Piaman.
Keuntungannya adalah benih tumbuh cepat dan serempak, jika disemaikan
akan menghasilkan bibit yang tegar dan sehat, pada saat ditanam pindah,
bibit tumbuh lebih cepat, dan jumlah tanaman optimum sehingga akan
memberikan hasil yang tinggi.
2. Penanaman : tepat waktu, serentak dalam populasi optimal. Penanaman
yang disarankan menggunakan sistem jajar legowo 2:1 atau 4:1 karena
populasi lebih banyak dan produksinya lebih tinggi. Keuntungan cara
tanam ini adalah rumpun tanaman yang berada pada bagian pinggir lebih
banyak, terdapat ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpulan
keong mas atau untuk mina padi, pengendalian hama, penyakit, dan gulma
lebih mudah, pada tahap awal areal penanaman lebih terang sehingga
kurang disenangi tikus, dan penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
3. Pemupukan : berimbang sesuai kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara
tanah. Kebutuhan tanaman dapat diketahui dengan cara mengukur tingkat
kehijauan warna daun padi menggunakan Bagan Warna Daun (BWD).
4. Pengairan Berselang : merupakan pengaturan kondisi sawah dalam kondisi
kering dan tergenang secara bergantian. Tujuannya adalah memberi
kesempatan akar tanaman memperoleh udara lebih banyak sehingga dapat
berkembang lebih dalam. Selain itu, pengairan berselang juga
memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran

6

hama wereng coklat dan penggerek batang serta mengurangi kerusakan
tanaman padi karena hama tikus.
5. Perlindungan tanaman : menggunakan prinsip dan strategi pengendalian
hama terpadu (PHT) dengan paduan berbagai cara pengendalian hama dan
penyakit, di antaranya melakukan monitoring populasi hama dan
kerusakan tanaman sehingga penggunaan teknologi pengendalian dapat
lebih tepat.
6. Panen dan Pascapanen : pada umur dan cara yang tepat, secara kelompok
menggunakan mesin yang cocok, hasilnya dikemas dalam wadah dan
disimpan di tempat yang aman.
Prinsip-prinsip pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yakni terpadu dalam
mengelola sumber daya (tanaman, tanah, dan air), sinergis dalam memperhatikan
keterkaitan komponen teknologi, spesifik lokasi dengan memperhatikan
kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi
petani setempat, partisipatif yakni petani turut berperan serta memilih dan menguji
teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani melalui
proses pembelajaran.
Penyuluh lapangan berperan sebagai fasilitator, dinamisator, motivator dan
konsultan bagi petani peserta SL-PTT untuk mempermudah menentukan langkahlangkah selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan usaha taninya. Selanjutnya,
monitoring dan evaluasi oleh penyuluh lapangan yang ditujukan untuk mengikuti,
mengetahui kemajuan, pencapaian tujuan ataupun sasaran serta memberikan
umpan balik upaya-upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Beberapa pertemuan kelompok dalam program SL-PTT yang waktu
pelaksanaannya dirundingkan bersama petani peserta sehingga tidak mengganggu
atau merugikan waktu petani. Pertemuan tersebut dilakukan oleh pelaksana SLPTT, tempat pertemuan di lokasi pelaksana SL-PTT dan peserta pertemuan adalah
petani peserta dipandu oleh penyuluh lapangan. Pertemuan tersebut antara lain
PRA (Participatory Rural Appraisal), pertemuan, diskusi, dan temu lapang. Tabel
1 menyajikan pemetaan tahapan pertemuan dalam program SL-PTT.
PRA merupakan pendekatan dengan menggunakan metode partisipatif
dengan menekankan pengetahuan lokal dan kemampuan masyarakat. PRA
memfasilitasi proses saling berbagi informasi, analisis, dan aktifitas antar
stakeholders. Faktor lingkungan, ekonomi, sosial, serta budaya pada suatu
masyarakat harus dipandang sebagai suatu sistem yang terintegrasi dan saling
mempengaruhi satu sama lainnya. Ada lima kunci utama dalam
mengimplementasikan PRA yakni partisipasi, teamwork, fleksibel, efisiensi dalam
konteks anggaran dan waktu, serta tim PRA setidaknya menggunakan tiga sumber
atau metode (triangulasi) dalam membahas satu topik (Syahyuti 2006). PRA
dalam program SL-PTT merupakan pertemuan periodik dimulai beberapa minggu
sebelum tanam untuk melihat potensi, kendala, dan peluang.
Kabupaten Sidrap sebagai lumbung beras di Sulawesi Selatan mendapat
jatah peningkatan produksi sebesar 553 ribu ton pada tahun 2014 dari Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan yang telah mencanangkan peningkatan produksi
sebanyak 2 juta ton beras. Untuk merealisasikan target tersebut langkah-langkah
yang dilakukan adalah semakin mengefektifkan program SL-PTT yang telah
berlangsung sejak tahun 2010 hingga saat ini, misalnya antisipasi khususnya
terhadap pengendalian hama dan penyakit tanaman padi.

7

Tabel 1. Pemetaan tahapan program SL-PTT di atas ditinjau dari segi komunikasi:
No.

Jenis Kegiatan

Bentuk
Kegiatan
Proses sosialisasi
program SL-PTT
secara
interpersonal atau
secara langsung
kepada masyarakat
di pedesaan atau
kepada petani
secara khusus
melalui kegiatan
penyuluhan
(bersifat top down).

Pelaku
Komunikasi
Pihak Kementerian
Pertanian diwakili
oleh Dinas
Pertanian, BPKP,
Pengawas Benih
Tanaman (PBT)
tingkat provinsi dan
kabupaten,
penyuluh pertanian
setempat, dan
petani.

Materi
Komunikasi
Membahas program
SL-PTT terkait visi
dan misi program,
bentuk program, tujuan
program, peserta
program, mekanisme
pelaksanaan program,
dan peran penyuluh
pertanian.

1.

Sosialisasi

2.

PRA

Kegiatan PRA
meliputi
identifikasi
masalah, pemilihan
komponen
teknologi, dan
keputusan
teknologi yang
dipakai sesuai
kondisi wilayah.
dan tokoh
masyarakat. kepada
petani.

Petani, Penyuluh
Pertanian, dan
Stakeholder lain
(Dinas Pertanian,
BPKP, dan
Pengawas Benih
Tanaman (PBT)
tingkat kabupaten).

Mengidentifikasi
kendala dan masalah
yang dihadapi petani
sebelum proses tanam
dimulai. Serta
membahas potensi
wilayah dalam
menunjang
keberhasilan
pengelolaan usaha tani
padi.

3.

Pertemuan

Pertemuan periodik
dilakukan pada saat
pengolahan tanah,
pembuatan
persemaian,
pemupukan,
pengairan, dan
pada saat tanam
padi dalam fase
anakan maksimum,
primordial,
bunting, berbunga,
pengisian bulir,
panen, dan pasca
panen.

Pertemuan dihadiri
oleh petani,
perangkat desa,
tokoh masyarakat,
penyuluh pertanian,
POPT, ketua
Gapoktan, ketua
kelompok tani,
ketua P3K, dan
tokoh wanita.

Persiapan petani dalam
proses tanam,
pelaksanaan, sampai
panen dan pasca panen.

8

No
4.

5.

Jenis
Kegiatan
Diskusi

Bentuk
Kegiatan
Diskusi dilakukan
setiap hari terhadap
hasil pengamatan
lapangan terkait
kondisi padi.
Pengamatan
dilakukan sendiri
oleh petani baik
kondisi lahan
maupun
pertumbuhan
kemudian
didiskusikan
dengan petani
lainnya.

Pelaku
Komunikasi
Diskusi dilakukan
antara sesama
petani, namun
terkadang
didampingi oleh
penyuluh lapangan.

Materi
Komunikasi
Mengamati sebanyakbanyaknya perubahan
pertumbuhan yang
terjadi misalnya:
populasi hama dan
musuh alaminya,
kerusakan tanaman,
tingkat hijauan warna
daun padi, tinggi
tanaman, jumlah
rumpun yang diamati.

Temu Lapang

Dilakukan diskusi
tentang
pelaksanaan SLPTT secara
keseluruhan, hasil
kajian, dan analisis
agroekosistem.
Seluruh kegiatan
tersebut dilakukan
di lahan
percontohan. Temu
lapang juga
mendiskusikan
keberhasilan yang
dicapai selama
mengikuti
program.

Merupakan media
komunikasi yang
dihadiri oleh petani,
penyuluh, petani
non SL-PTT dan
masyarakat tani
pada umumnya.

Untuk
memperkenalkan PTT
dan alih teknologi
kepada masyarakat di
sekitas lokasi
percontohan. Melalui
temu lapang ini, petani
peserta juga berbagi
informasi tentang
dampak yang dirasakan
baik sebelum maupun
sesudah penerapan
teknologi PTT.

Sumber : Adaptasi dari Pedoman Teknis SL-PTT Padi dan Jagung (2013)

Hama pada tanaman padi umumnya adalah serangan hama tikus,
penggerek batang, wereng coklat, dan sejumlah jenis organisme pengganggu
tanaman (OPT) lainnya yang selama ini menjadi musuh utama petani. Selain itu,
pihak petani juga mendapatkan sejumlah kemudahan yang diberikan oleh Dinas
Pertanian dan Perkebunan setempat. Misalnya, sebagai langkah antisipasi
pengembangbiakan hama tikus, telah dilakukan gerakan Spot Stop yang sangat
ampuh untuk mengendalikan hewan pengerat ini hingga ke bibit-bibitnya. Data
riil menyatakan bahwa melalui penerepan teknologi sistem tanam jajar legowo
mampu menghasilkan produksi hingga 8,7 juta ton/ha Gabah Kering Panen (GKP)
pada tahun 2011 lalu (BPKP, 2011). Lebih khusus, harapan besar disandarkan
kepada para penyuluh pertanian sebagai ujung tombak sekaligus jembatan
informasi dan teknologi yang dibutuhkan oleh petani, dengan harapan bisa
memberikan kontribusi bagi surplus Cadangan Beras Nasional 2014 yakni 10 Juta
Ton (Ajatappareng News, 2013).

9

Peran Penyuluh Pertanian
Penyuluh pertanian adalah perorangan yang melakukan kegiatan
penyuluhan pertanian, yang menurut UU No. 16 tahun 2006 terbagi menjadi tiga.
Pertama, penyuluh pegawai negeri sipil (PNS) merupakan PNS yang diberi tugas,
tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang
pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk
melakukan kegiatan penyuluhan. Kedua, penyuluh swasta merupakan penyuluh
yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi
dalam bidang penyuluhan. Ketiga, penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang
berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya dengan kesadaran sendiri
mau dan mampu menjadi penyuluh.
Tugas pokok penyuluh pertanian menurut Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/02/Menpan/2/2008 meliputi:
1. Melakukan kegiatan persiapan penyuluhan pertanian, meliputi: identifikasi
potensi wilayah, memandu penyusunan rencana usaha petani, penyusunan
program penyuluhan pertanian, dan penyusunan rencana kerja tahunan
penyuluh pertanian.
2. Melaksanakan penyuluhan pertanian, meliputi: penyusunan materi,
perencanaan
penerapan
metode
penyuluhan
pertanian,
dan
menumbuhkan/mengembangkan kelembagaan petani.
3. Evaluasi dan pelaporan, meliputi: evaluasi pelaksanaan penyuluhan
pertanian, dan evaluasi dampak pelaksanaan penyuluhan pertanian.
4. Pengembangan penyuluhan pertanian, meliputi: penyusunan pedoman/
juklak/juknis penyuluhan pertanian, kajian kebijakan pengembangan
penyuluhan pertanian, dan pengembangan metode/sistem kerja penyuluhan
pertanian.
5. Pengembangan profesi, meliputi: pembuatan karya tulis ilmiah di bidang
pertanian, penerjemahan/penyaduran buku dan bahan-bahan lain di bidang
pertanian, dan pemberian konsultasi di bidang pertanian yang bersifat
konsep kepada institusi dan/atau perorangan.
6. Penunjang tugas Penyuluh Pertanian, meliputi: peran serta dalam seminar/
lokakarya/konferensi, keanggotaan dalam Tim Penilai Jabatan Fungsional
Penyuluh Pertanian, keanggotaan dalam dewan redaksi penerbitan di bidang
pertanian, perolehan penghargaan/tanda jasa, pengajaran/pelatihan pada
pendidikan dan pelatihan, keanggotaan dalam organisasi profesi, dan
perolehan gelar kesarjanaan lainnya.
Sumardjo (2008) menjelaskan bahwa sistem penyuluhan pertanian
mengandalkan penyuluh yang berkompeten untuk mewujudkan fungsi sistem
penyuluhan sesuai amanat UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Penyuluh pertanian dikatakan berkompeten
apabila mampu :
1. Mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan penyuluhan dengan terampil untuk
memberdayaan orang-orang dalam upaya meraih kesejahteraan diri,
keluarga dan masyarakatnya.
2. Mengorganisasikan sistem penyuluhan sehingga efektif memfasilitasi
masyarakat dengan cermat agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya
secara mandiri.

10

3. Melakukan tindakan yang tepat bilamana terjadi sesuatu yang berbeda
dengan rencana penyuluhan semula.
4. Bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan
masalah atau melaksanakan tugasnya sebagai penyuluh meski dengan
kondisi yang berbeda (lokal spesifik).
5. Mampu mensinergikan kepentingan lokal dengan kepentingan yang lebih
luas.
Untuk menjalankan peran penyuluh pertanian tersebut, seorang penyuluh
harus memiliki karakteristik personal yang mampu meningkatkan partisipasi
petani dalam program SL-PTT. Anwas (2009) menyatakan bahwa kompetensi
penyuluh mempengaruhi perubahan persepsi dan sikap petani. Kompetensi
penyuluh dipengaruhi oleh faktor lingkungan dengan menciptakan suasana yang
mendorong penyuluh melakukan proses belajar. Beberapa karakteristik penyuluh
yang diduga mempengaruhi komunikasi partisipatif petani dalam program SLPTT sebagai berikut :
Pengalaman Penyuluh
Ketepatan komunikasi yang tinggi dapat dicapai jika sumber komunikasi
memiliki kepercayaan diri dan faktor-faktor kepribadian individu (seperti
motivasi, aspirasi) yang tinggi. Selain itu pengalaman menjalani profesi sebagai
penyuluh juga menjadi indikator penting dalam keberhasilan proses komunikasi.
Pengalaman atau masa kerja merupakan jumlah tahun yang telah dilalui seorang
penyuluh dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai penyuluh pertanian,
diukur menggunakan skala rasio dalam tahun. Pengalaman akan mempengaruhi
perilaku seseorang dan produktivitas kerja. Penelitian Narso (2012) menemukan
bahwa masa kerja atau pengalaman berhubungan nyata terhadap persepsinya
terkait peran yang dijalankan.
Penguasaan Materi
Proses komunikasi yang efektif dapat terjadi jika penyuluh memahami
materi yang disampaikan. Selain itu, mereka juga dituntut memiliki pengetahuan
tentang karakteristik petani, menguasai cara-cara menghasilkan dan
memperlakukan pesan-pesan, serta mampu membuat pilihan-pilihan dalam
menentukan saluran komunikasi yang tepat untuk berkomunikasi sesuai dengan
karakteristik petani. Materi yang disampaikan dalam SL-PTT adalah pengetahuan
teknologi PTT yang ditawarkan meliputi penggunaan bibit unggul, penanaman
dengan sistem jejer legowo, pemupukan berimbang, pengairan berselang,
pengendalian hama terpadu, panen dan penanganan pasca panen.
Kemampuan Berkomunikasi
Yamin (2004) menyatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan dasar
yang dapat dilakukan seseorang pada tahap kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Kemampuan dasar ini akan dijadikan landasan melakukan proses pembelajaran
dan penilaian seseorang. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang
penyuluh pertanian adalah kemampuan berkomunikasi, meliputi penggunaan
metode dan strategi komunikasi. Misalnya, pada komunitas adat di Teluk Bintuni
ditempuh dengan strategi komunikasi melalui peningkatan partisipasi sehingga
berani mengeluarkan pendapat, menggunakan pendekatan persuasif yang
melibatkan peran serta tokoh adat dan mengembangkan komunikasi partisipatoris
dalam komunikasi kelompok (Tahoba 2011).

11

Komunikasi Partisipatif dalam Pembangunan
Sejarah Komunikasi Partisipatif
Komunikasi pembangunan partisipatif pertama kali digunakan secara resmi
dalam sebuah seminar di Amerika Latin pada tahun 1978 yang disponsori oleh
Center for Advanced Studies and Research for Latin America (Huesca 2002).
Komunikasi partisipatif pertama kali dicetuskan oleh intelektual dari Amerika
bernama Paulo Freire yang mengaskan bahwa secara individual atau bersamasama menyuarakan kata-katanya adalah hak semua orang, bukan untuk beberapa
orang saja (Freire 1972). Masyarakat dahulu yang termasuk kaum marjinal tidak
mampu menyuarakan aspirasinya, kehendak, dan permasalahannya sendiri.
Mefalopulos (2003) mengkaji secara mendalam dan membandingkan
komunikasi partisipatif secara teoritis dalam literatur dan praktis dalam proyek
“Communication in Southren Africa” di Harare, Zimbabwe pada tahun 1994
menemukan bahwa komunikasi partisipatif merupakan pendekatan yang mampu
memfasilitasi masyarakat terlibat dalam keputusan tentang isu yang berdampak
pada hidup mereka, sebuah proses yang mampu menangani kebutuhan dan akan
membantu meningkatkan keberdayaan. Pemberdayaan masyarakat akar rumput
sangat penting untuk meningkatkan kesadaran terkait masalah dan keakraban
dengan pemangku kepentingan. Sifat komunikatif yang dimaksud digunakan
untuk membangun kepercayaan, pertukaran pengetahuan dan persepsi tentang
masalah serta peluang sehingga tercapai konsensus dalam pemecahan masalah
dengan semua pemangku kepentingan.
Sejalan dengan hasil penelitian Msibi & Penzhorn (2010) tentang
komunikasi partisipatif pada pemerintah daerah di Afrika Selatan dengan studi
kasus kota Kungwini menemukan bahwa komunikasi partisipatif memegang
peranan penting dalam pembangunan daerah. Afrika Selatan mengakui pentingnya
pendekatan komunikasi partisipatif dalam pembangunan dengan fokus
keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan. Hal ini karena
komunikasi partisipatif memastikan masyarakat adalah bagian dari proses
pembangunan. Bessette 2006:13 dalam Msibi & Penzhorn (2010) menambahkan
bahwa prinsip pemberdayaan dalam komunikasi partisipatif memungkinkan
masyarakat terlibat dalam mengidentifikasi masalah mereka, mencari solusi, dan
mengambil keputusan untuk penerapan tindakan dalam pembangunan.
Pembangunan di Indonesia sejak terlepas dari belenggu penjajahan
dipandang sebagai strategi investasi yang identik dengan pembangunan ekonomi.
Tujuannya adalah mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya.
Pembangunan ini mendapat banyak kritikan karena menimbulkan kerusakan alam,
kesenjangan sosial, dan ketergantungan. Dalam paradigma pembangunan ini
masyarakat dijadikan sebagai obyek pembangunan. Proses perencanaan dan
pengambilan keputusan dalam paradigma ini kerapkali dilakukan secara topdown. Program yang dicanangkan sering tidak berhasil karena kurang melibatkan
masyarakat dan terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sejak saat itu, komunikasi dikerahkan sebagai saluran informasi dari
pemerintah kepada masyarakat untuk menyukseskan tujuan pembangunan.
Komunikasi dipandang sebagai alat untuk menyampaikan informasi tentang
pembangunan nasional kepada masyarakat agar memusatkan perhatian pada
kebutuhan akan perubahan, kesempatan, dan cara mengadakan perubahan

12

(Nasution 1996). Komunikasi pembangunan adalah proses interaksi seluruh
masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran dan menggerakkan partisipasi
mereka. Dalam hal ini, partisipasi tercipta melalui komunikasi dan dengan
komunikasi, pesan-pesan pembangunan dapat disampaikan.
Belajar dari kesalahan pembangunan masa lalu, maka diperlukan sebuah
strategi komunikasi dalam pembangunan, di antaranya melalui pendekatan
pembangunan bottom-up yaitu pendekatan pembangunan dengan ciri keputusan
yang berorientasi pada rakyat. Pendekatan ini menuntut adanya partisipasi
masyarakat dan diskusi (dialog) yang bersifat terbuka dengan menekankan upaya
pemberdayaan (empowerment). Pendekatan semacam ini dapat juga disebut model
komunikasi partisipatif. Habermas (1984, 1989 dalam Melkote 2006) menyatakan
bahwa model komunikasi partisipatif telah melengkapi kekurangan dari teori
partisipasi dengan menggunakan acuan teori tindakan komunikatif untuk
memberikan pendekatan analitis terhadap masalah definisi dan skala kegiatan
partisipasi termasuk komunikasi (Jacobson, 2003).
Di Indonesia, telah ditemukan bahwa pengembangan komunikasi
partisipatif dalam komunikasi kelompok di Teluk Bintuni dapat menciptakan
iklim komunikasi yang merangsang para partisipan berani mengeluarkan pendapat
atau ide pembangunan (Tahoba 2011). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian
Satriani dan Muljono (2011) tentang komunikasi partisipatif pada program pos
pemberdayaan keluarga di kota Bogor yang mengatakan bahwa komunikasi
partisipatif dalam Posdaya Kenanga memiliki dampak positif yakni saling
berbagai informasi dan pengetahuan, menyelesaikan permasalahan secara bersama
dan terjalinnya keakraban sesama kader.
Pengertian Komunikasi Partisipatif
Komunikasi partisipatif merupakan pendekatan dalam pembangunan yang
menggunakan perpaduan model komunikasi satu arah dan dua arah. Komunikasi
pembangunan partisipatif diyakni sebagai sebuah pendekatan yang paling
menjanjikan untuk mengurangi ketergantungan, membangun rasa percaya diri dan
kemampuan sendiri masyarakat (Rajasunderam 1996 dalam Hadiyanto 2008).
Ukuran pembangunan dalam paradigma ini pun lebih menekankan pada
pembangunan manusia. Pergeseran atau perubahan paradigma ini lebih
memandang komunikasi sebagai proses-proses yang memungkinkan masyarakat
lebih aktif dan proses pembangunan itu sendiri dimulai dari rakyat sebagai spirit
utamanya (Hadiyanto 2008).
Makna komunikasi dalam paradigma komunikasi pembangunan partisipatif
adalah pergeseran pesan dengan fokus menginformasikan dan membujuk untuk
perubahan perilaku kepada penyediaan fasilitas untuk masyarakat dan pemerintah
untuk menentukan masalah bersama. Dalam hal ini terjadi perubahan pendekatan
top down, linear dan searah menuju pendekatan horisontal, interaktif dan dialogis.
Komunikasi lebih dimanfaatkan untuk membantu proses balajar melalui
pertukaran informasi secara transaksional. Masyarakat diharapkan mampu
mengidentifikasi kebutuhan akan informasi dan komunikasi sehingga
memungkinkan untuk mengurangi terjadinya konflik di dalam kelompok,
komunitas, dan pemangku kepentingan lainnya.

13

Beberapa perbedaan komunikasi pembangunan partisipatif dengan strategi
komunikasi lainnya menurut Dagron (2001) antara lain :
1. Komunikasi Horizontal vs Vertikal. Setiap manusia dipandang sebagai
individu yang aktif merespon stimulus dalam lingkungan sehingga
menjadi subjek yang dinamis bukan pribadi yang pasif dan orang lain yang
membuat keputusan kehidupan mereka.
2. Proses vs Kampanye. Masa depan masyarakat berada di tangan mereka
yang ditempuh dengan cara dialog dan partisipasi bukan kampanye dari
atas yang kurang membangun masyarakat bawah.
3. Jangka Panjang vs Jangka Pendek. Komunikasi dan pembangunan
dipandang sebagai proses jangka panjang yang butuh waktu untuk
diterima oleh rakyat, bukan jangka pendek yang kurang sensitif terhadap
budaya setempat.
4. Kolektif vs Individual. Komunitas desa bertindak secara kolektif untuk
memenuhi kepentingan mayoritas, dibandingkan rakyat yang menjadi
target secara individual.
5. Dengan vs Untuk. Meneliti, merencanakan dan mendiseminasikan pesan
dengan melibatkan rakyat, bukan sekedar untuk rakyat.
6. Spesifik vs Masif. Proses komunikasi disesuaikan dengan komunitas
tertentu, seperti bahasa, isi, budaya, dan media yang digunakan, bukan
menggunakan teknik, media, dan pesan untuk kelompok yang memiliki
budaya dan kondisi sosial yang berbeda.
7. Kebutuhan Rakyat vs Keharusan Pemerintah. Dialog berbasis komunitas
dan cara-cara komunikasi untuk membantu mengidentifikasi antara
kebutuhan yang dirasakan dengan kebutuhan yang dibutuhkan, bukan atas
kehendak dan kepentingan golongan tertentu.
8. Kepemilikan vs Akses. Proses komunikasi merupakan hak setiap rakyat dan
memberikan kesempatan yang sama kepada komunitas lain, bukan sekedar
memberikan akses yang dikondisikan oleh faktor sosial, politik, atau
agama.
9. Penyadaran vs Persuasi. Proses untuk mencapai penyadaran dan
pemahaman yang mendalam tentang realitas sosial, masalah, dan solusi,
bukan persuasi untuk mengubah perilaku jangka pendek.
Sejalan dengan hal yang dikemukakan di atas, Rahim (2004) menyatakan
bahwa komunikasi partisipatif dapat diwujudkan dalam bentuk dialog. Esensi dari
sebuah dialog adalah pengakuan dan penghormatan terhadap pembicara lain.
Setiap pembicara merupakan subjek yang otonom, bukan sebagai obyek
komunikasi serta memiliki hak yang sama untuk berbicara dan untuk didengar,
mengharapkan suara mereka tidak ditekan atau digabung dengan suara lain. Hal
tersebut adalah bentuk ideal komunikasi partisipatif di mana didapatkan benang
merah dari kesatuan dan keragaman suara yang menghubungkan kepentingan
umum

Dokumen yang terkait

Partisipasi Petani dalam Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi non Hibrida

1 80 95

EFEKTIVITAS PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI DI DESA KEDALEMAN KECAMATAN ROGOJAMPI KABUPATEN BANYUWANGI

0 4 198

KAJIAN PENDAPATAN DAN MOTIVASI PETANI PESERTA PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) PADA USAHATANI SEMANGKA DI KABUPATEN BANYUWANGI

2 12 19

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH (Oriza sativa) DI DESA WATES KECAMATAN GADING REJO KABUPATEN PRINGSEWU

0 6 71

EFEKTIVITAS PROGRAM SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU (SL-PTT) PADI SAWAH DI PEKON SIDOREJO KECAMATAN SUMBER REJO KABUPATEN TANGGAMUS

2 15 227

PENDAPATAN DAN KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PADI ORGANIK PESERTA SL-PTT (SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU) DAN NON PESERTA SL-PTT DI KECAMATAN PAGELARAN KABUPATEN PRINGSEWU

0 30 125

EVALUASI PETANI PESERTA PROGRAM SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) PADI DI KABUPATEN NGAWI.

0 1 105

Adopsi Inovasi PTT pada Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.

0 1 19

PENDAMPINGAN PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) JAGUNG DI PROVINSI ACEH

0 0 9

EVALUASI PETANI PESERTA PROGRAM SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) PADI DI KABUPATEN NGAWI

0 0 20