Extraction, characterization and purification enzymes cathepsin from catfish (Pangasius Hypophthalmus)

EKSTRAKSI, KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ENZIM
KATEPSIN DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus)

MUHAMMAD ZAKIYUL FIKRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ”Ekstraksi, Karakterisasi
dan Purifikasi Enzim Katepsin dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)”
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, September 2013

Muhammad Zakiyul Fikri
NRP. C351100091

ABSTRACT
MUHAMMAD ZAKIYUL FIKRI. Extraction, Characterization and Purification
Enzymes Cathepsin from Catfish (Pangasius Hypophthalmus) Advised by
TATI NURHAYATI and ELLA SALAMAH.
This study aims to extract the enzyme cathepsin, to characterize the crude
extract and to purify the cathepsin enzyme derived from catfish. the stages of this
research consists of the extraction, characterization, and purification of the
enzyme cathepsin. the characteristic of crude extract from cathepsin enzyme is
that it has temperature, pH and substrate optimum around 50 °C, 6, and 2%. The
presence of Fe3+ , Cu2+, Ca2+,Mn2+ metal ions can inhibit enzyme activity.
Purification process using ion exchange chromatography on DEAE-sephadex A50 gives the best value on the activity of the fraction 18 is equal to 0.762 U / mL
and the specific activity of 54.077 mg / mL as well as having multiple levels of
purification of 59.602 times. Molecular weight of cathepsin enzyme is purely the
result of SDS-PAGE and the molecular weight of 43.18 kDa enzyme has a

proteolytic activity alleged in zimogram analysis is 49.93 kDa.
Keywords: enzyme, cathepsin, purification, catfish

RINGKASAN
MUHAMMAD ZAKIYUL FIKRI. Ekstraksi, Karakterisasi dan Purifikasi Enzim
Katepsin dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus). Dibimbing oleh
TATI NURHAYATI dan ELLA SALAMAH.
Ikan patin (pangasius hypophthalmus) merupakan salah satu spesies di
Indonesia yang memegang peranan penting dalam produksi perikanan budidaya.
Ikan patin diketahui memiliki kandungan gizi yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan protein hewani. Kandungan gizi ikan patin menjadi tidak bernilai tinggi
apabila tidak ditangani dengan baik setelah penangkapan atau pemanenan, karena
ikan patin sebagai bahan pangan ikani sangat rentan terhadap kerusakan (highly
perishabe food) atau cepat mengalami kemunduran mutu. Salah satu penyebab
terjadinya proses kemunduran mutu ialah adanya aktivitas enzim proteolitik.
Ladrat et al. (2006) menyatakan bahwa enzim katepsin merupakan kelompok dari
enzim proteolitik yang berperan aktif dalam pelunakan daging ikan. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan ezim katepsin murni dari ikan patin dan melakukan
karakterisasi dari hasil enzim tersebut.
Penelitian ini diawali dengan preparasi sampel, ekstraksi enzim katepsin

kasar, karakterisasi enzim katepsin kasar yang meliputi penentuan suhu, pH,
substrat optimum, dan ion logam penghambat dan pemurnian enzim katepsin
kasar yang terdiri dari proses presipitasi dan dialisis.
Karakteristik enzim katepsin kasar yang dihasilkan mempunyai suhu dan
pH optimum 50 °C dan 6, konsentrasi substrat optimum sebesar 2% dan
keberadaan ion logam Ca2+, Mn2+, Cu2+ dan Fe3+ akan mengganggu atau
menghambat aktivitas enzim. Ion logam Fe3+ memberikan nilai hambatan
tertinggi terhadap aktivitas enzim katepsin dari ikan patin. Enzim katepsin kasar
yang diperoleh memiliki aktivitas enzim sebesar 0,278 U/ml dan aktivitas
spesifiknya sebesar 0,907 U/mg. Enzim katepsin setelah dipresipitasi memiliki
aktivitas enzim sebesar 0,425 U/mL dan aktivitas spesifiknya sebesar 0,276 U/mg
dan setelah didialisis memiliki aktivitas enzim sebesar 1,550 U/mL dengan
aktivitas spesifik sebesar 2,704 U/mg. Enzim katepsin kemudian dimurnikan
dengan menggunakan kromatografi ion exchange DEAE sephadex A-50. Fraksi
terbaik adalah fraksi ke 18 dengan tingkat kelipatan pemurnian sebesar 59,602
kali, memiliki aktivitas enzim sebesar 0,762 U/mL dan aktivitas spesifiknya
54,077 mg/mL. Berat molekul enzim katepsin murni hasil SDS-PAGE 43,18 kDa
dan berat molekul enzim yang diduga mempunyai aktivitas proteolitik pada
analisis Zymogram adalah 49,93 kDa.
Kata kunci: enzim, katepsin, purifikasi, Pangasius hypophthalmus


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

EKSTRAKSI, KARAKTERISASI DAN PURIFIKASI ENZIM
KATEPSIN DARI IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus)

MUHAMMAD ZAKIYUL FIKRI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar master
pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Dosen Penguji Luar Komisi : Dr Dra Pipih Suptijah, MBA

Judul Tesis
Nama
NIM

Ekstraksi, Karakterisasi dan PurifIkasi Enzim Katepsin dari Ikan Patin
(Pangasius hypophthalmus)
Muhammad Zakiyul Fikri
C351100091

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

o a Ella Salamah


Dr Tati Nurhayati, SPi MSi
Ketua

MSi

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Hasil Perairan

Dr Tati Nurhayati, SPi MSi.

Tanggal Ujian: 16 Juli 2013

Tanggal Lulus:

L 4 JU


L

セェ@

Judul Tesis : Ekstraksi, Karakterisasi dan Purifikasi Enzim Katepsin dari Ikan
Patin (Pangasius hypophthalmus)
Nama
: Muhammad Zakiyul Fikri
NIM
: C351100091

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Tati Nurhayati, SPi MSi
Ketua

Dra Ella Salamah, MSi
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Hasil Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor

Dr Tati Nurhayati, SPi MSi.

Dr Ir Dahrul Syah MScAgr

Tanggal Ujian: 16 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis ini dengan judul “Ekstraksi, Karakterisasi dan Purifikasi Enzim
Katepsin dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)”. Tesis ini merupakan
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains di Program Studi
Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB ini
tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan banyak terima
kasih yang setulusnya kepada:
1. Dr Tati Nurhayati, SPi MSi selaku ketua komisi pembimbing dan
Dra Ella Salamah, MSi. sebagai anggota komisi pembimbing serta
Dr Dra Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen penguji luar komisi atas kesediaan
waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan selama
penyusunan tesis ini.
2. Dr Tati Nurhayati, SPi MSi selaku ketua Program Studi Teknologi Hasil
Perairan.
3. Bapak dan Ibu staf pengajar, staf administrasi dan laboran Program Studi
Teknologi Hasil Perairan serta laboran Mirobiologi dan Biokimia Hewan
Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) yang telah
banyak membantu dan kerjasamanya yang baik selama penulis menempuh
studi.
4. Ayahanda Muhd. Nur Anan Domo dan Ibunda Siti Kamilah dan kakanda

tersayang Hilalatul Khairiyah dan Nurul Arifah beserta seluruh keluarga atas
doa, motivasi dan semangat selama penulis menempuh studi.
5. Teman-teman S2 THP 2010, 2011 dan 2012 dan semua teman-teman atas
kerjasama yang baik selama studi serta segala motivasi, persahabatan, sharing
dan diskusi selama penulis menempuh studi, Terimakasih.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya
ilmiah ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB khususnya dan
masyarakat Indonesia umumnya.

Bogor, September 2013

Muhammad Zakiyul Fikri

RIWAYAT HIDUP

Muhammad Zakiyul Fikri dilahirkan pada tanggal 23
Februari 1986 di Batusangkar Provinsi Sumatera Barat,
merupakan anak ketiga dari tiga orang bersaudara dari
pasangan yang berbahagia Muhd. Nur Anan Domo dan Siti
Kamilah.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN
020 Tunggul Hitam Padang pada tahun 1998. Sekolah
Madrasah Tsanawiyah di MTSs Darel Hikmah Pekanbaru
tahun 2002, dan Sekolah Madrasah Aliyah di MAN 2 Model
Pekanbaru pada tahun 2005.
Penulis diterima Universitas Riau melalui jalur PBUD pada tahun 2005
dan memilih Jurusan Teknologi Hasil Perikanan dan tamat pada tahun 2010.
Selama di UNRI penulis aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi
Hasil Perikanan (2007-2008). Pada tahun 2010, penulis meneruskan pendidikan
pascarsajana di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan Program Studi Teknologi
Hasil Perairan. Penulis melakukan penelitian dengan judul “Ekstraksi,
Karakterisasi dan Purifikasi Enzim Katepsin dari Ikan Patin (Pangasius
hypophthalmus)”. Sebagian tesis sudah di kirim ke jurnal Teknologi dan Industri
Pangan dengan judul “Ekstraksi dan Karakterisasi Crude Ekstrak Enzim Katepsin
dari Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)”.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR LAMPIRAN

v

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian

1
1
2
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Identifikasi Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)
2.2 Enzim
2.3 Enzim Katepsin
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Enzim
2.5 Pemurnian Enzim
2.6 Kromatografi
2.7 Elektroforesis

4
4
5
6
9
11
12
16

3 METODE
3.1 Waktu dan Tempat
3.2 Alat dan Bahan
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Ekstraksi katepsin kasar
3.3.2 Presipitasi dan dialisis
3.3.3 Pemurnian dengan kromatografi (Ustadi et al 2005)
3.3.4 Karakterisasi enzim katepsin
3.3.4.1 Penentuan suhu optimum
3.3.4.2 Penentuan pH optimum
3.3.4.3 Penentuan substrat optimum
3.3.4.4 Penghambatan ion logam
3.4 Analisis
3.4.1 Aktivitas katepsin (Dinu et al 2002)
3.4.2 Pengukuran konsentrasi protein (Bradford 1976)
3.4.3 Penentuan berat molekul dengan SDS-PAGE

19
19
19
19
21
22
22
22
23
23
23
24
24
24
25
26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Ekstraksi Enzim Katepsin
4.2 Karakteristik Enzim Katepsin Ikan Patin
4.2.1 Derajat keasaman (pH) optimum
4.2.2 Suhu optimum
4.2.3 Konsentrasi substrat optimum

28
28
28
28
29
31

4.3
4.4
4.5
4.6

4.2.4 Pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim
Presipitasi
Dialisis
Pemurnian dengan Kromatografi Penukar Ion
Penentuan Berat Molekul dengan SDS-PAGE

32
34
36
37
39

5 SIMPULAN DAN SARAN

41

DAFTAR PUSTAKA

42

LAMPIRAN

47

DAFTAR TABEL

Halaman
1

Sifat proteinase lisosomal katepsin A-L yang ditemukan pada otot

7

2

Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan

9

3

Metode kromatografi untuk fraksinasi protein

13

4

Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,01-0,3 mg/mL

26

5

Komposisi gel penahan dan pemisah SDS-PAGE

26

6

Efek penambahan ion logam terhadap aktivitas enzim katepsin

33

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

5

2 Pemurnian enzim dengan kromatografi penukar ion

15

3 Diagram alir tahapan penelitian

21

4 Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim katepsin ikan patin

29

5 Pengaruh suhu inkubasi terhadap aktivitas enzim katepsin ikan patin

30

6 Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim katepsin

31

7 Pengaruh ion logam konsentrasi 5 mM terhadap aktivitas enzim katepsin 32
8 Pengaruh kejenuhan ammonium sulfat terhadap aktivitas enzim katepsin

35

9 Kadar protein enzim katepsin ikan patin dari pellet hasil pengendapan
ammonium sulfat

36

10 Aktivitas enzim setelah didialisis

37

11 Kadar protein enzim setelah didialisis

37

12 Kadar protein (
) dan nilai aktivitas enzim katepsin (
pemurnian menggunakan kromatografi penukar ion

) hasil
38

13 Hasil elektroforesis, (M) marker, (1) ekstrak kasar katepsin,
(2) presipitasi (3) dialisis, (4) fraksi 15, (5) (6) fraksi 18, (7) fraksi 42,
(8) fraksi 55

39

14 Zymogram pemurnian enzim katepsin

40

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1

Pembuatan larutan

48

2

Kurva standar penentuan konsentrasi protein menurut metode Bradford
(1976)

49

3

Kurva standar marker elektroforesis

50

4

Komposisi gel dan perekasi untuk elektroforesis

51

5

Tabel konversi dari g (gravity) ke rpm (rotary per minute)

52

6

Tabel presipitasi ammonium sulfat

53

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) merupakan salah satu spesies ikan
budidaya di Indonesia. Ikan patin menjadi salah satu jenis ikan budidaya yang
memegang peranan penting dalam produksi perikanan budidaya yang mencapai
nilai produksi pada tahun 2009 sebesar 109.606 ton (KKP 2011) dan mengalami
peningkatan produksi pada tahun 2010 mencapai nilai produksi 225.000 ton
(Ditjen Perikanan Budidaya 2011).
Selain nilai produksi yang cukup tinggi, ikan patin juga mempunyai
kandungan gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan protein hewani.
Thammapat et al. (2010) menginformasikan bahwa kandungan protein pada fillet
patin cukup tinggi, yaitu berkisar antara 12,94–17,52% (bb), sedangkan
kandungan lemaknya berkisar antara 0,89–1,23% (bb). Kandungan lemak fillet
patin cukup rendah bila dibandingkan produk ikan lainnya. Ikan patin memiliki
kandungan lemak yang tinggi terutama berasal dari bagian perut (belly) yaitu
54,43% (bk).
Kandungan gizi ikan patin menjadi tidak bernilai tinggi apabila tidak
ditangani dengan baik setelah penangkapan atau pemanenan. Hal ini disebabkan
ikan patin sebagai bahan pangan ikani sangat rentan terhadap kerusakan (highly
perishable food). Kerusakan daging ikan yang terjadi pada fase rigor mortis
hingga fase post rigor, ditandai dengan melemasnya daging ikan (softening).
Pelemasan ini bukan disebabkan oleh terpecahnya protein aktomiosin yang telah
terbentuk tetapi karena kerusakan jaringan daging ikan. Kerusakan ini disebabkan
oleh aktivitas enzim-enzim proteolisis yang memecah protein menjadi molekul
yang lebih sederhana (autolisis) (Clucas dan Ward 1996).
Enzim-enzim proteolisis mampu menghidrolisis protein pada daging ikan
yang menyebabkan perubahan fungsional dan sifat organoleptik dari daging.
Enzim-enzim tersebut antara lain kolagenase, katepsin dan kalpain. Ladrat et al.
(2006) menyatakan bahwa katepsin merupakan kelompok dari sistein protease
diantaranya katepsin B dan L yang dapat menyebabkan terjadinya pelunakan
daging (softening) pada ikan.

2

Tekstur merupakan salah satu karakteristik penting dalam penentuan
kualitas ikan. Masalah yang sering diamati berhubungan dengan tekstur, yaitu
pelunakan daging dan gaping (terpisahnya jaringan ikat), karena sifat alami
daging ikan yang bertekstur lunak. Mekanisme penentuan tekstur lunak tidak
sepenuhnya diteliti, tetapi beberapa penulis menekankan peran penting enzim
endogen proteolitik dalam proses perubahan ini. Lebih khusus lagi, rincian dari
struktur yang miofibrillar terutama untuk aktivitas katepsin lysosomal, katepsin B
(EC 3.4.22.1), katepsin L (EC 3.4.22.15) dan katepsin D (EC 3.4.23.5), yang
sangat aktif dalam ikan (Ladrat et al. 2006).
Penelitian mengenai enzim katepsin pada daging ikan telah banyak
dilakukan. Liu et al. (2008) melaporkan enzim katepsin yang diisolasi dari daging
ikan silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) mempunyai suhu dan pH optimum
35 oC dan 5,5 dengan berat molekul 29 kDa. Visessanguan et al. (2003) telah
mengisolasi enzim katepsin L pada ikan Atheresthes stomias memiliki suhu dan
pH optimum 60 oC dan 5,5 dengan berat molekul 27 kDa. Nielsen dan Nielsen
(2001) melaporkan hasil isolasi enzim katepsin dari ikan Clupea harengus
memiliki pH optimum 2,5 dan berat molekul 38-39 kDa. Informasi mengenai
enzim katepsin yang berasal dari ikan patin (Pangasius hypophthalmus) belum
tersedia, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai enzim katepsin dari ikan
tersebut.
1.2 Perumusan masalah
Ikan patin merupakan sumber dari beberapa jenis protease dan
inhibitornya. Salah satu protease yang berperan aktif dalam proses kemunduran
mutu ikan patin adalah enzim katepsin. Enzim katepsin yang berasal dari ikan
patin belum diketahui karakteristiknya. Penelitian tentang purifikasi dan
karakterisasi enzim katepsin dari ikan patin diperlukan agar diperoleh enzim
katepsin murni beserta karakteristiknya sehingga memudahkan nantinya dalam
proses penanganan kemunduran mutu ikan patin.

3

1.3 Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari karakteristik enzim pada ikan
patin, yang terdiri dari :
a) Memperoleh ekstrak kasar enzim katepsin dari ikan patin (Pangasius
hypophthalmus).
b) Memperoleh informasi mengenai karakteristik enzim katepsin yang dihasilkan
dari ekstrak kasar enzim katepsin ikan patin (Pangasius hypophthalmus).
c) Memperoleh

enzim

katepsin

murni

dari

ikan

patin

(Pangasius

hypophthalmus).
1.4. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui dan
memberikan informasi mengenai karakteristik enzim katepsin dari ikan patin
(Pangasius hypophthalmus), sehingga dapat membantu proses penanganan
kemunduran mutu ikan tersebut dan mengetahui metode terbaik dalam pemurnian
enzim katepsin.

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Identifikasi Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)
Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi.
Ikan patin memiliki banyak kelebihan dalam bidang budidaya, yaitu mudah
dibudidayakan jika dibandingkan dengan ikan tawar lainnya. Ikan patin sudah bisa
mencapai panjang 35-40 cm dalam waktu enam bulan, tempat pemeliharan ikan
patin tidak memerlukan air yang mengalir, bahkan di perairan yang kandungan
oksigennya rendah ikan ini masih dapat hidup dan berkembang. Ikan patin banyak
ditemukan di sungai dan danau karena ikan ini merupakan ikan yang hidup di
perairan umum (Khairuman dan Suhendra 2002).
Ikan patin berasal dari golongan famili Pangasidae yaitu jenis ikan berkumis
yang hidup di muara-muara sungai yang tersebar di sebagian wilayah Sumatera
dan Kalimantan. Ikan patin (Pangasius sp) berasal dari perairan umum dengan
distribusi penyebarannya meliputi Thailand, Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam
dan Indonesia. Di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin lokal
(Pangasius sp.) dan ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus). Salah satu jenis
varietas ikan patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan
adalah ikan patin jambal (Pangasius djambal) (Djarijah 2001).
Klasifikasi ikan patin (Pangasius hypophthalmus) menurut Saanin (1984)
adalah sebagai berikut :
Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Subkelas

: Teleostei

Ordo

: Ostariophysi

Famili

: Pangasidea

Genus

: Pangasius

Spesies

: Pangasius hypophthalmus

Ikan patin (Gambar 1) memiliki badan yang memanjang berwarna putih
seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat
mencapai 120 cm. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan
mulut terletak di ujung kepala agak sebelah bawah. Pada sudut mulutnya terdapat

5

dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba. Karakteristik ikan patin
adalah kulit halus dan memiliki dua pasang sungut yang relatif pendek sehingga
sering disebut sebagai catfish serta terdapat patil di sirip punggung dan sirip
dadanya (Susanto dan Amri 1997).

Gambar 1 Ikan patin (Pangasius hypophthalmus).
(Sumber: http://www.fishbase.us/photos/UploadedBy.php?autoctr=2576&win=uploaded)

Ciri khas ikan patin lainnya yaitu jari-jari sirip punggung dan sirip dada
sempurna dengan tujuh jari-jari bercabang, sirip dubur panjang dan bersambung
dengan sirip ekor, sedangkan sirip ekor berbentuk seperti gunting. Ukuran kepala
ikan patin relatif kecil, dengan mulut terletak diujung kepala agak sebelah bawah
dan pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi
sebagai peraba (Susanto dan Amri 1997). Ikan ini memiliki warna khas pada
tubuhnya kelabu kehitaman, sedangkan warna perut dan sekitarnya putih
(Hernowo 2001).
Ikan patin cukup potensial dibudidayakan di berbagai media pemeliharaan
yang berbeda, yaitu kolam, keramba, dan jala apung. Budidaya ikan ini meliputi
dua kegiatan yakni pembenihan dan pembesaran. Kegiatan pembenihan
merupakan upaya untuk menghasilkan benih pada ukuran tertentu. Pembesaran
merupakan kegiatan untuk menghasilkan ikan yang siap dikonsumsi, meskipun
ukuran ikan yang dikonsumsi biasanya berbeda sesuai dengan kebutuhan pasar
(Susanto dan Amri 1997).
2.2 Enzim
Enzim merupakan unit fungsional dalam metabolisme sel. Unit ini bekerja
dengan urutan yang teratur. Enzim mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang
mengurai molekul nutrisi, menyimpan dan mengubah energi kimiawi yang

6

membuat makromolekul sel dari prekursor sederhana (Lehninger 1993). Enzim
bersifat sangat aktif. Pada reaksi-reaksi tertentu hanya diperlukan beberapa
molekul enzim saja untuk mengkatalisis sejumlah substrat. Hal ini dimungkinkan
karena protein enzim dapat direaksikan secara berulang-ulang. Kerja enzim
dimulai saat molekul enzim berikatan dengan substrat, kemudian mengubahnya
menjadi produk dalam waktu yang singkat. Enzim yang telah bebas dapat dipakai
untuk mengikat molekul substrat lainnya (Suhartono 1989).
2.3 Enzim katepsin
Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang ditemukan pada
jaringan hewan termasuk ikan yang dapat menghidrolisis protein menjadi
polipeptida. Katepsin banyak ditemukan dalam jaringan otot ikan terutama dalam
organel sub seluler atau disebut lisosom dan dibagi dalam dua tempat, yakni pada
serabut otot dan matriks ekstraselluler (Shahidi dan Botta 1994). Menurut pH
optimumnya, enzim proteolitik dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu protease
asam, basa, dan netral (Choi et al. 2005). Banyak katepsin optimal pada pH asam
walaupun beberapa diantaranya aktif pada pH netral (Haard 1994).
Katepsin B ditemukan secara luas pada lisosom. Katepsin B dapat diisolasi
dari beberapa spesies mamalia dan berbagai jaringan meliputi limpa, liver,
kelenjar paratiroid dan otak. Katepsin B ialah glikoprotein dengan jumlah manosa
yang sangat rendah atau rendah. Katepsin H dan katepsin L ditemukan lebih
banyak dibandingkan katepsin B. Ketiga enzim ini dipurifikasi bersama melalui
beberapa tahap sampai mereka terpisah oleh kromatografi pertukaran ion. Metode
baru yang lebih efisien, yakni kromatografi covalent affinity baru saja dikenalkan
untuk mempurifikasi katepsin B. Ketiga katepsin ini sangat tidak stabil pada pH
dibawah 7 (Polgar 1990).
Katepsin C tidak mungkin untuk melakukan tindakannya secara utuh pada
protein secara langsung, tetapi memiliki aktivitas spesifik tertinggi di antara
semua peptidase lisosomal, ini artinya bahwa katepsin C mencerna lebih lanjut
fragmen-fragmen peptida yang dihasilkan dari aktivitas katepsin D. Substrat yang
paling rentan terhadap serangan dari enzim ini adalah dipeptidil amida atau ester,
membawa gugus amino bebas ke posisi terminal NH3 (Park 2005).

7

Katepsin D pertama kali ditemukan pada jaringan otot daging oleh Siebert,
kemudian diidentifikasikan oleh Mekino dan dan Ikeda. Katepsin D dipercaya
berperan dalam pendegradasian secara signifikan pada tekstur

selama

penyimpanan dingin. Katepsin D juga dilaporkan merupakan salah satu katepsin
penting dalam tenderisasi pada post mortem karena katepsin D menyerang secara
langsung protein pada otot yang akan menghasilkan peptida yang dapat dipecah
lebih lanjut oleh katepsin lainnya (Park 2005).
Katepsin H aktif pada pH netral, stabil terhadap panas, dan menunjukkan
aktivitas molekuler dengan substrat miosin. Katepsin L merupakan jenis protease
lain yang sangat aktif dalam mendegradasi protein miofibril. Aktivitas molekular
dari katepsin L dengan substrat miosin adalah 10 kali lebih besar dari pada
katepsin B. Katepsin L dapat mendegradasi miofibril termasuk aktin, miosin, dan
tropomiosin pada pH 6,5 dan secara khusus aktif untuk troponin serta dalam
pemindahan Ca dari ATPase miofibril pada pH netral (Shahidi dan Botta 1994).
Tabel 1 menyajikan beberapa sifat dari proteinase.
Tabel 1 Sifat proteinase lisosomal, katepsin A-L yang ditemukan pada otot
Enzim

Berat molekul

Grup
fungsional

pH
optimal

A

100 kDa

-OH

5,0-5,2

B1

25 kDa

-SH

5,0

B2

47-52 kDa

-SH

5,5-6,0

C

200 kDa

-SH

5,0-6,0

D

42 kDa

-COOH

3,0-4,5

-COOH

2,0-3,5

-SH

5,0

-SH

3,0-6,5

H

90-100
kDa
28 kDa

L

24 kDa

E

Target protein
Dampaknya sedikit
pada protein
Miosin, aktin dan
kolagen
Spesifikasinya luas
Dampaknya sedikit
pada protein
Miosin, aktin, titin,
nebulin, M- dan Cprotein
Dampaknya sedikit
pada protein
Aktin, miosin
Aktin, miosin,
kolagen, α-aktinin,
troponin

Sumber : Choi et al. (2005)

Peranan katepsin dalam proses kemunduran mutu ikan secara nyata terlihat
dari perubahan kondisi fisik dan perubahan cita rasa ikan. Aktivitas katepsin
sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan karena katepsin dapat

8

menurunkan fleksibilitas (kekenyalan) sehingga daging ikan menjadi tidak elastis
dan jaringan daging ikan melunak (Haard dan Simpson 2000). Daging yang
melunak ini merupakan salah satu sumber masalah pada industri surimi karena
katepsin dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel dalam proses
pembuatan surimi dari daging ikan akibat degradasi protein miofibril yang dapat
mengurangi elastisitas dan kekuatan gel surimi (Jiang 2000).
Katepsin berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan selama
masa post mortem. Ketika ikan mati (fase prerigor), maka kondisi menjadi
anaerob dan ATP terurai oleh enzim yang terdapat dalam tubuh ikan dengan
melepaskan energi. Proses ini kemudian diikuti dengan peristiwa glikolisis yang
menguraikan glikogen menjadi asam laktat. Pembentukan asam laktat
menyebabkan terjadinya penurunan pH dan jaringan otot tidak mampu
mempertahankan fleksibilitasnya (kekenyalannya). Kondisi inilah yang dikenal
dengan rigor mortis. Nilai pH yang semakin menurun mengakibatkan katepsin
yang terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif (Afrianto dan Liviawaty 1989).
Katepsin merupakan protease asam yang biasanya terletak di lisosom
(DeDuve et al. 1955 diacu dalam Toldra 2010) dan sel fagosit tetapi juga telah
ditemukan dalam reticulum sarkoplasmik dari sel otot (Allen dan Goll 2003 diacu
dalam Toldra 2010). Lisosom tidak mampu menelan struktur miofibril dan tidak
ada fragmen miofibril yang diidentifikasi pada lisosom. Di sisi lain, membran
lisosom sangat rapuh yang mungkin disebabkan oleh penurunan suhu dan pH otot
selama penyimpanan post mortem. Katepsin B mendegradasi miosin dan aktin ke
tingkat yang lebih rendah, sementara katepsin D mendegradasi baik aktin dan
miosin menjadi fragmen-fragmen peptida berukuran kecil (Haard 1994).
Sejumlah enzim dalam lisosom mampu mengkatalisis protein jaringan.
Beberapa enzim lisosom yang telah dicatat pada jaringan ikan adalah katepsin A,
B, C, D, serta protein asam, netral, dan alkali (Cowey dan Walton 1988 diacu
dalam Affandi dan Tang 2002). Enzim katepsin yang terdapat pada lisosom dapat
dilihat pada Tabel 2.

9

Tabel 2 Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan
Enzim
Katepsin B

Famili
Sistein

Katepsin H

Sistein

Katepsin J
Katepsin L

Sistein
Sistein

Dipeptidil
peptidase I
(katepsin C)
Dipeptidil
peptidase II
Katepsin D

Sistein

Sistein

Aktivitas
Jenis Ikan
Endopeptidase Dimurnikan dari otot berbagai
spesies ikan, identifikasi pada
berbagai spesies
Endopeptidase Identifikasi pada otot ikan
salmon
Endopeptidase
Endopeptidase Identifikasi pada otot ikan
salmon dan mackerel
Eksopeptidase Identifikasi dari otot berbagai
spesies ikan
Eksopeptidase

-

Aspartat Endopeptidase Dimurnikan dan diidentifikasi
dari otot berbagai spesies ikan
Aspartat Endopeptidase -

-glutamil
karboksipeptidase
Karboksipeptidase Serin
A (Katepsin A
dan I)
Katepsin S
Sistein

Eksopeptidase

Eksopeptidase

Dimurnikan dari berbagai
spesies ikan dan diidentifikasi
pada otot dari berbagai spesies
Diidentifikasi
pada
otot
mackerel

Sumber : Goll et al. 1989 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994

Pembebasan dan pengaktifan katepsin selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana.
Hal ini menimbulkan terjadinya akumulasi metabolit dan pembentukan senyawasenyawa basa volatil yang berakibat terhadap kenaikan pH dan peningkatan
jumlah bakteri karena senyawa-senyawa basa tersebut merupakan media yang
sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri pembusuk
(Lawrie 1985).
Enzim proteolitik mempunyai peran dalam mengontrol berbagai proses
biologis dalam tubuh (Almeida et al. 1983). Peningkatan panas yang semakin
tinggi sampai batas tertentu akan meningkatkan aktivitas enzim dalam hidrolisis
protein (Siswanto dan Soedarto 2008).
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja enzim
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kerja enzim. Faktor-faktor
tersebut erat kaitannya dengan sifat enzim sebagai protein. Faktor-faktor tersebut

10

antara lain adalah suhu, derajat keasaman (pH), zat penghambat, konsentrasi
enzim, dan substrat (Abdurrahman 2008).
Suhu
Suhu sangat berpengaruh terhadap kerja enzim karena enzim terdiri atas
protein. Semakin tinggi suhunya, reaksi kimia akan semakin cepat. Akan tetapi
enzim akan mengalami denaturasi jika susu terlalu tinggi. Enzim yang mengalami
denaturasi akan mengalami perubahan konformasi dari enzim sehingga enzim
tersebut tidak aktif.
Derajat keasaman (pH)
Seperti protein, kerja enzim juga dipengaruhi oleh derajat keasaman
lingkungan. Setiap enzim memiliki pH lingkungan yang khas untuk mencapai
aktivitas optimumnya. Diluar pH tersebut, kerja enzim akan terganggu bahkan
akan terdenaturasi.
Zat penghambat
Kerja enzim dapat dihambat oleh zat penghambat/inhibitor. Terdapat dua
jenis inhibitor yaitu inhibitor kompetitif dan inhibitor non-kompetitif. Inhibitor
kompetitif menghambat kerja enzim dengan cara berikatan dengan enzim pada
sisi aktifnya. Inhibitor ini bersaing dengan substrat untuk menempati sisi aktif
enzim. Hal ini terjadi karena inhibitor memiliki struktur yang mirip dengan
substrat.
Berbeda dengan inhibitor kompetitif, inhibitor non-kompetitif tidak bersaing
dengan substrat untuk berikatan dengan enzim. Inhibitor jenis ini akan berikatan
dengan enzim pada sisi yang berbeda (bukan sisi aktif enzim). Jika telah terjadi
ikatan enzim-inhibitor, sisi aktif enzim aka berubah sehingga substrat tidak dapat
berikatan dengan enzim.
Konsentrasi enzim dan substrat
Pada reaksi dengan konsentrasi enzim yang lebih sedikit dibandingkan
substrat, penambahan enzim akan meningkatkan laju reaksi. Peningkatan laju
reaksi ini terjadi secara linear. Jika konsentrasi substrat dan enzim sudah
seimbang, laju reaksi akan relatif konstan. Penambahan konsentrasi substrat pada
rekasi yang dikatalis oleh enzim awalnya akan meningkatkan laju reaksi. Akan

11

tetapi, setelah konsentrasi substrat dinaikkan lebih lanjut, laju reaksi akan
mencapai titik jenuh dan tidak bertambah lagi.
2.5 Pemurnian Enzim
Presipitasi Protein
Penambahan senyawa yang hanya menggumpalkan protein dan tidak
menggumpalkan bahan lain akan memisahkan dan lebih memurnikan protein yang
dihasilkan. Tahap ini diistilahkan dengan presipitasi (Suhartono et al. 1992).
Menurut Chaplin dan Bucke (1990), presipitasi protein merupakan metode yang
berguna untuk pemekatan protein dan sering dilakukan pada tahap awal dari
pemurnian enzim.
Presipitasi protein dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain
perubahan pH, penambahan garam, dan penambahan pelarut organik. Protein akan
mengendap jika pH larutan berada pada pH isoelektrik protein. Garam yang
digunakan dalam presipitasi protein dapat berupa ammonium sulfat, sodium
sulfat, dan sebagainya tergantung kepada jenis protein. Konsentrasi garam yang
ditambahkan adalah konsentrasi jenuhnya (Suhartono et al. 1992). Pemekatan
protein dengan menambahkan ammonium sulfat ke dalam larutan enzim
merupakan cara yang banyak dilakukan.
Beberapa keuntungan menggunakan ammonium sulfat antara lain mudah
larut, tidak toksik, murah, dan stabilitasnya terhadap enzim karena tidak
mempengaruhi struktur protein (Webb dan Dixon 1979). Selain keuntungan yang
diperoleh, penggunaan ammonium sulfat juga menimbulkan kerugian antara lain
konsentrasi garam yang tertinggal dalam produk tinggi, kurang efisien dalam
menghilangkan impuritis dan ammonium sulfat tidak bersifat bufer sehingga
dapat membebaskan ammonia yang mengakibatkan kemungkinan penambahan
nilai pH (Suhartono et al. 1992).
Prinsip pengendapan dengan garam berdasarkan pada kelarutan protein
yang berinteraksi polar dengan molekul air, interaksi ionik protein dengan garam,
dan daya tolak menolak protein yang bermuatan sama. Kelarutan protein (pada pH
dan suhu tertentu) meningkat pada kenaikan konsentrasi garam (salting in).
Kenaikan kelarutan protein akan meningkatkan kekuatan ion larutan. Pada
penambahan garam dengan konsentrasi tertentu menyebabkan kelarutan protein

12

menurun (salting out). Molekul air yang berikatan dengan ion-ion garam semakin
banyak yang menyebabkan penarikan selubung air yang mengelilingi permukaan
protein. Peristiwa ini mengakibatkan protein saling berinteraksi, beragregasi,
kemudian mengendap (Harris 1989; Scopes 1994).
Garam berlebih yang terdapat di dalam larutan enzim setelah tahap
fraksinasi dapat dihilangkan dengan cara dialisis. Pada tahap dialisis, protein
ditempatkan di dalam kantung (membran) semipermeabel yang direndam di dalam
larutan bufer tertentu. Molekul yang berukuran kecil akan ke luar melalui
membran, dan molekul yang berukuran besar akan tertahan di dalam membran
dialisis. Ukuran pori kantung dialisis yang terbuat dari bahan selulosa asetat
berdiameter 1-20 nm. Ukuran ini menunjukkan berat molekul minimum yang
dapat tertahan di dalam membran. Selain dengan dialisis, penghilangan garam
dapat dilakukan dengan filtrasi gel. Metode ini biasanya diterapkan untuk sampel
yang sedikit, yaitu tidak melampaui 25-30% volume kolom untuk mendapatkan
resolusi yang memadai antara protein dan garam. Matriks filtrasi gel memiliki
pori yang berukuran kecil, misalnya Sephadex G-25 buatan Phamacia.
Kekurangan metode ini adalah terjadi pengenceran sampel protein (Harris 1989).
2.6 Kromatografi
Kromatografi merupakan teknik pemisahan dengan mengadakan manipulasi
atas dasar perbedaan sifat-sifat fisik dari zat-zat yang menyusun suatu campuran.
Kromatografi juga termasuk teknik isolasi komponen dalam suatu campuran
menggunakan medium yang mengalir pada liquid atau gas yang disebabkan
perbedaan migrasi setiap komponen. Aliran tersebut biasanya menggunakan
tekanan atau gravitasi. Teknik kromatografi secara mendasar terdiri dari empat
kelompok, yaitu gel filtrasi, penukar ion, interaksi hidrofobik, dan kromatografi
afinitas (Rosenberg 1996).
Fraksinasi enzim merupakan suatu proses pemurnian untuk memisahkan
protein enzim dengan protein lainnya yang terdapat pada ekstrak kasar enzim.
Kromatografi kolom merupakan teknik yang efisien dalam pemisahan ekstrak
protein hayati. Metode fraksinasi dengan kolom kromatografi berbeda-beda
tergantung pada tujuan karakter fraksi protein yang difraksinasi sebagaimana
disajikan pada Tabel 3.

13

Kromatografi penukar ion (ion exchange chromatography) merupakan
teknik pemisahan berdasarkan muatan dengan memanfaatkan sifat amfoter dari
protein. Pengisi kolom merupakan senyawa polimer elastik dengan kerangka resin
sintetik berupa polistirena yang dikaitkan dengan suatu gugus fungsional yang
akan berinteraksi dengan molekul enzim. Dietilaminoetil (DEAE) selulosa
merupakan penukar ion yang paling banyak digunakan untuk keperluan fraksinasi
enzim dan merupakan penukar anion lemah yang bekerja pada kisaran pH 2-9.
Penukar ion paling baik dipergunakan pada tahap awal kromatografi dengan
kapasitas yang tinggi (Suhartono 1989; Rosenberg 1996).
Tabel 3 Metode kromatografi untuk fraksinasi protein
Sifat protein
Teknik pemisahan
-Interaksi hidrofobik dan fase balik
Hidrofobik
kromatografi
Ukuran dan bentuk molekul
-Filtrasi gel
Titik isoelektrik

-Kromatofokusing

Muatan

-Kromatografi penukar ion

Biospesifik terhadap
ligan,inhibitor, reseptor,
antibodi dll

-Kromatografi afinitas

Sumber : APB (2001)

Kromatografi penukar ion memanfaatkan perbedaan afinitas antara
molekul bermuatan di dalam larutan dengan senyawa yang tidak reaktif yang
bermuatan berlawanan sebagai pengisi kolom (Scopes 1994). Kromatografi
penukar ion memisahkan protein berdasarkan muatan bersih protein dan kekuatan
relatif dari muatan bersih protein tersebut.
Kromatografi penukar ion memerlukan fase diam yang biasanya
merupakan polimer terhidratasi yang bersifat tidak larut seperti selulosa, dekstran
dan agarosa. Gugus penukar ion diimobilisasikan pada matriks. Beberapa gugus
penukar anion yaitu aminoetil (AE-), kuaternari aminoetil (QAE-), dan
dietilaminoetil (DEAE-). Gugus penukar kation yaitu sulfopropil (SP-), metil
sulfonat dan karboksimetil (CM-). Penukar ion lemah seperti DEAE- (penukar
anion lemah) dan CM- (penukar kation lemah) hanya dapat mempertahankan
kondisi terionisasi pada rentang pH sempit dan kehilangan muatannya pada pH
tertentu. Gugus penukar anion lemah DEAE- terionisasi sempurna di bawah pH 6

14

dan akan kehilangan muatannya pada pH 9, sedangkan gugus penukar kation
lemah CM- akan kehilangan muatannya di bawah pH 4,5. Penukar ion kuat dapat
mempertahankan kondisi terionisasi pada rentang pH yang luas. Gugus penukar
ion QAE- (penukar anion kuat) dan SP- (penukar kation kuat) dapat
mempertahankan kondisi terionisasi pada rentang pH 1-10 (Coligan et al. 2003).
Kolom untuk kromatografi penukar ion biasanya tidak panjang dan
memiliki diameter lebih besar dari pada kolom untuk filtrasi gel. Jumlah sampel
yang dimasukkan umumnya sekitar 10-20% dari kapasitas kolom. Pembilasan
dengan konsentrasi NaCl yang linier baik digunakan untuk memisahkan molekulmolekul yang memiliki perbedaan muatan bersih yang tidak terlalu besar
sedangkan gradien NaCl bertahap baik digunakan untuk memisahkan molekulmolekul yang memiliki perbedaan muatan bersih yang besar.
Pada dasarnya prinsip kromatografi penukar ion adalah ion bermuatan
bebas dipertukarkan dengan ion yang memiliki tipe muatan yang sama. Protein
yang bermuatan negatif dapat ditukar dengan ion klorida. Awalnya gugus
fungsional matriks yang bermuatan negatif mengikat ion dari bufer (misalnya
Na+). Pada saat sampel dimasukkan ke dalam kolom, maka protein yang
bermuatan positif akan menggantikan ion Na+, sedangkan protein yang bermuatan
negatif atau netral tidak akan terikat. Protein yang tidak terikat dibilas dengan
menggunakan bufer (biasanya dengan konsentrasi 10-50 mM). Selanjutnya ikatan
protein yang terikat gugus fungsional matriks akan terlepas setelah dibilas dengan
bufer yang mengandung NaCl atau KCl secara linier atau bertahap sehingga
protein yang memiliki ikatan lemah dengan matriks akan lepas terlebih dahulu dan
diikuti oleh protein yang memiliki ikatan lebih kuat (Gambar 2).
Pemilihan penukar ion tergantung pada muatan protein target. Muatan
bersih protein tergantung pada pH yaitu protein akan bermuatan positif dengan
menurunkan pH dan bermuatan negatif dengan menaikkan pH.

15

Gambar 2 Pemurnian enzim dengan kromatografi penukar ion.
(Sumber: http://voh.chem.ucla.edu/vohtar/winter99/153L/lec1.html)

Pada saat menentukan pH untuk kromatografi, kestabilan protein target
pada pH yang dipilih perlu dijaga. Apabila protein stabil pada pH di atas titik
isoelektriknya (pI) maka digunakan penukar anion (positif), tetapi bila protein
stabil pada pH di bawah pI nya maka digunakan penukar kation (negatif). Jika
protein stabil pada rentang 1 unit di atas dan di bawah pI maka kedua penukar ion
dapat digunakan. Matriks yang mengikat gugus fungsional menentukan sifat
aliran, ion yang dapat diikat, kestabilan mekanik dan kimia. Ada 3 kelompok
matriks yang biasanya digunakan, yaitu: 1) polistiren, poliakrilik atau polifenol;
2) selulosa; dan 3) dekstran (Sephadex) atau agarosa (Sepharose). Matriks
polistiren dan polifenolik lebih sering digunakan untuk memisahkan molekulmolekul kecil misalnya asam-asam amino, peptida kecil, nukleotida, nukleotida
siklik,

asam-asam

organik.Matriks

selulosa

biasanya

digunakan

untuk

memisahkan protein (termasuk enzim), polisakarida dan asam nukleat. Matriks
DEAE-selulosa, CM-selulosa dan fosfoselulosa paling sering digunakan. Matriks
polidekstran dan agarosa (misalnya DEAE-Sephadex, CM-Sephadex) digunakan
untuk memisahkan protein, hormon, tRNA, dan polisakarida (Scopes 1994).
Pemilihan penukar ion kuat atau lemah tergantung pada pH molekul target.
Molekul yang memerlukan pH sangat rendah atau sangat tinggi untuk dapat
berionisasi atau apabila molekul stabil pada pH ekstrim maka penukar ion kuat
harus digunakan. Penukar ion lemah akan memberikan hasil pemisahan yang lebih
baik untuk protein-protein yang memiliki muatan bersih yang berdekatan.

16

Keuntungan kromatografi penukar ion diantaranya adalah tidak merusak protein
yang dimurnikan dan pada umumnya memiliki kapasitas pengikatan yang tinggi.
Kelemahannya adalah protein-protein yang memiliki distribusi gugus bermuatan
pada permukaannya atau memiliki pI yang sama atau mirip akan sulit dipisahkan
dengan cara kromatografi penukar ion. Selain itu larutan enzim hasil kromatografi
penukar ion mengandung kadar garam cukup tinggi yang harus dihilangkan untuk
proses pemurnian selanjutnya (Scopes 1994).
2.7 Elektroforesis
Elektroforesis didefinisikan sebagai migrasi molekul atau partikel
bermuatan di dalam larutan atau medium melalui pengaruh medan listrik (Nielsen
2003). Migrasi partikel bermuatan tersebut dapat terjadi karena perbedaan muatan
total, ukuran dan bentuk partikel (Pomeranz dan Meloan 1994). Metode analisis
elektroforesis protein merupakan metode analisis yang memisahkan molekul
protein berdasarkan berat molekulnya (Bollag dan

Edelstein 1991). Teknik

elektroforesis telah banyak digunakan dalam analisis protein untuk menentukan
tingkat

kemurnian

sampel,

berat

molekul,

maupun

titik

isoelektrik

(Copeland 1994). Selain itu, teknik elektroforesis juga sering digunakan untuk
menentukan komposisi protein dari suatu produk pangan (Nielsen 2003).
Pemisahan protein berdasarkan muatannya tergantung pada karakter asam
dan basa protein. Hal ini ditentukan oleh jumlah dan jenis rantai samping
(gugus R) yang dapat terionisasi dalam rantai polipeptida serta pH lingkungan.
Pada pH lingkungan yang lebih besar daripada pH isoelektriknya (pI), protein
akan memiliki muatan negatif sehingga migrasi protein akan menuju anoda yang
bermuatan positif. Sebaliknya, bila pH lingkungan di bawah pI, muatan protein
menjadi positif yang membuatnya akan bermigrasi menuju katoda yang
bermuatan negatif (Autran 1996). Hal inilah yang menjadi dasar pemisahan
protein dengan elektroforesis.
Metode elektroforesis protein yang paling umum dan banyak dilakukan
adalah Sodium Dodecyl Sulfate-Poly Acrylamide Gel Electrophoresis (SDSPAGE). SDS-PAGE merupakan teknik elektroforesis dalam sistem bufer
diskontinyu yang menggunakan dua tipe gel sebagai medianya, yaitu stacking gel
dan separating gel. Sistem bufer yang diskontinyu membuat sampel

17

terkonsentrasi dalam stacking gel sehingga menghasilkan resolusi yang lebih baik
ketika pemisahan protein terjadi di separating gel (Garfin 1990).
Gel poliakrilamid dibentuk dari hasil ko-polimerisasi monomer akrilamid
(CH2=CH-CO-NH2) dengan bantuan senyawa yang bertindak sebagai crosslinking
agent yaitu N,N’-metilen-bisakrilamid (CH2=CH-CO-NH-CH2-NH-COCH=CH2).
Mekanisme polimerisasi akrilamid tersebut dikatalisis oleh tetrametietilendiamin
(TEMED) dan amonium persulfat (APS). TEMED akan menyebabkan
pembentukan radikal bebas dari amonium persulfat yang mengakibatkan reaksi
pembentukan akrilamid aktif. Akrilamid aktif ini akan bereaksi dengan akrilamid
lainnya membentuk rantai polimer yang panjang. Hasil dari polimerisasi ini
adalah terbentuknya gel dengan struktur jala dari rantai akrilamid. Ukuran pori
dan jala gel tersebut ditentukan oleh jumlah akrilamid yang digunakan per unit
volumenya dan derajat ikatan silangnya (Garfin 1990; Autran 1996).
Sodium dodecyl sulfate (SDS) adalah detergen anionik yang paling umum
digunakan dalam elektroforesis. SDS memiliki dua fungsi, yaitu: (1) untuk
memisahkan protein-protein yang beragregasi, hidrofobik, atau memiliki kelarutan
yang rendah, misalnya membran protein; dan (2) memisahkan protein berdasarkan
bentuk, ukuran dan berat molekulnya. SDS menyelimuti protein dengan muatan
negatif serta mengikat protein dengan rasio yang konstan, yaitu 1,4 g SDS per
gram polipeptida (Garfin 1990; Autran 1996).
Interaksi SDS dengan protein akan merusak seluruh ikatan non-kovalen
protein sehingga struktur protein akan terbuka. Selanjutnya, penggunaan
reducingagent seperti 2-merkaptoetanol atau ditiothreitol akan membantu
mendenaturasi protein melalui pemutusan ikatan disulfida pada protein sehingga
memecahnya menjadi subunit-subunit protein. Akibatnya, mobilitas elektroforetik
dari kompleks detergen polipeptida hanya merupakan fungsi dari berat molekul
protein (Garfin 1990).
Elektroforesis

protein

dapat

dilakukan dengan proses

denaturasi

(SDS-PAGE) dan nondenaturasi (native-PAGE). Mekanisme pada SDS-PAGE
dijelaskan bahwa protein akan bereaksi dengan SDS yang merupakan detergen
anionik membentuk kompleks yang bermuatan negatif. Protein akan terdenaturasi
dan terlarut membentuk kompleks berikatan dengan SDS yang berbentuk elips

18

atau batang yang ukurannya sebanding dengan berat molekul protein. Protein
dalam bentuk kompleks yang bermuatan negatif ini akan dapat terpisahkan
berdasarkan muatan dan ukurannya secara elektroforesis di dalam matriks gel
poliakrilamida (Smith 1984).
Berbeda dengan SDS-PAGE, pada zimogram gel pemisah disisipi substrat
yang akan dihidrolisis oleh enzim selama masa inkubasi. Zimogram merupakan
cara menganalisis aktivitas kitinolitik yang sederhana, sensitif, dapat dikuantisasi
dan fungsional (Leber dan Balkwil 1997). Pada dasarnya terdapat 2 model teknik
zimogram. Model pertama menggunakan substrat yang terikat pada bahan
penahan berupa gel, kertas saring, lembaran plastik, atau lapisan substrat
langsung. Pada model kedua, indikator diikatkan secara kuat pada gel pemisah
dimana enzim subjek dibuat inaktif selama elektroforesis dan diaktifkan kembali
setelah elektroforesis. Substrat yang digunakan untuk zimogram harus bersifat
kromogenik,

kromoforik, atau hasil reaksi enzim dengannya dapat diwarnai

(Paech et al. 1993).
Elektroforesis zimogram memisahkan protein terlarut yang tidak
mengendap atau beragregasi selama elektroforesis. Pada elektroforesis gel yang
terdenaturasi, seperti pada SDS-PAGE, molekul-molekul protein yang telah
terpisah dengan elektroforesis dapat kehilangan aktivitas biologi dan biokimianya,
tetapi pada elektroforesis zimogram aktivitas tersebut masih bertahan (Dunn
1989). Enzim dipisahkan dalam gel denaturasi (SDS), namun dalam kondisi tidak
tereduksi.SDS dilepaskan dengan penambahan larutan renaturasi (misalnya
detergen Triton X-100) dan kembali terjadi pelipatan protein. Kemudian gel
diwarnai dengan pewarna yang sesuai dengan enzim yang diujikan. Metode
zimogram bersifat mudah, sensitif, dan kuantitatif dalam menganalisis aktivitas
enzim (Kleiner dan Stetler-Stevenson 1994; Leber dan Balkwil 1997).
Berat molekul protein dapat ditetapkan dengan menggunakan protein
standar yang telah diketahui berat molekulnya dan memperbandingkan nilai Rf
(mobilitas relatif) yang diperoleh. Pita pada gel dapat divisualisasi dengan
pewarnaan, misalnya menggunakan pewarna coomasie blue atau pewarna perak
nitrat (Suhartono 1989).

19

3. METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Januari 2013
di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan dan Laboratorium Biokimia Hasil
Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Laboratorium Mirobiologi dan Biokimia Hewan Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan baku ikan
patin dalam keadaan post rigor, bahan-bahan untuk ekstraksi kasar (bufer tris HCl
0,1 M pH 7,4, akuades), presipitasi (ammonium sulfat teknis), dialisis (kantong
dialisis ukuran 12 kDa, bufer tris HCl pH 7,4), uji aktivitas katepsin (hemoglobin
(sigma), bufer tris 0,1 pH 7,4, tirosin (Applichem), akuades, TCA 5%, folin
(merck), dan HCl 1 N), dan uji kadar protein (pereaksi Bradford, bovine serum
albumin (applichem)).
Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain inkubator (Thermoline
type 42000), sentrifuse dingin (Beckmen), spektrofotometer (Spectrophotometer
UV-2500 Labomed Inc), pH meter (Thermo), tabung dialisis, kertas saring
Whatman no.1, mikropipet, mikrotip, sudip, dan erlenmeyer.
3.3 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu preparasi sampel berupa
ikan patin pada tahap post rigor yang diambil dagingnya. Tahap selanjutnya yakni
pemurnian enzim katepsin semi murni yang meliputi ekstraksi kasar, presipitasi, dan
dialisis. Data dianalisis secara deskriptif yaitu disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik, kemudian dibahas berdasarkan literatur dan standar yang ada. Secara
ringkas tahapan penelitian tersebut disajikan dalam bentuk diagram alir yang
disajikan pada Gambar 3.

20

Ikan patin

Preparasi

Tulang

Daging

Kulit

Homogenisasi
daging ikan : akuades
1:1

Sentrifuse 4 oC
400 rpm

Pelet

Supernatan
Sentrifuse 4 oC
14.000 rpm

Supernatan

Pelet
Sentrifuse 4 oC
7.000 rpm

Pelet

Supernatan
 Analisis aktivitas
katepsin (Dinu et
al. 2002)
 Pengukuran
konsentrasi
protein (Bradford
1976)

Ekstrak enzim
katepsin kasar

 Penentuan suhu optimal
40, 50, 60 dan 70°C
 Penentuan pH optimal
3, 4, 5, 6 dan 7
 Penentuan substrat
optimal
3, 4, 5, 6, 7%
 Pengaruh ion logam
Na+, Ba2+, Ca2+, Al2+

21

Presipit