Multiplikasi Tanaman Lidah Mertua Blue Leaf (Sansevieria sp.) Melalui Kalus Secara in vitro

MULTIPLIKASI TANAMAN LIDAH MERTUA BLUE LEAF
(Sansevieria sp. ) MELALUI KALUS SECARA IN VITRO

AI NURHASANAH HUSNUL IZZATI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Multiplikasi Tanaman
Lidah Mertua Blue Leaf (Sansevieria sp.) Melalui Kalus Secara in vitro adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Ai Nurhasanah Husnul Izzati
NIM G34090062

ABSTRAK
AI NURHASANAH HUSNUL IZZATI. Multiplikasi Tanaman Lidah Mertua
Blue Leaf (Sansevieria sp.) Melalui Kalus Secara in vitro. Dibimbing oleh DIAH
RATNADEWI dan ARIS TJAHJOLEKSONO.
Sansevieria di Indonesia dikenal dengan nama lidah mertua merupakan
tanaman hias daun. Lidah mertua blue leaf memiliki bentuk daun lebar dengan
ujung runcing, sisi daun bergelombang dan daun berwarna hijau dengan sisi daun
putih kemerahan. Stek daun masih belum mampu menginduksi pertunasan dan
perakaran yang baik secara efisien waktu, tempat, dan bebas hama penyakit.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kombinasi media dasar dan zat
pengatur tumbuh (ZPT) yang tepat untuk merangsang pertunasan melalui
organogenesis tak langsung (kalus) secara in vitro agar menghasilkan sejumlah
tunas dengan perakaran yang baik. Penelitian ini terdiri atas 2 tahap. Tahap
pertama adalah inisiasi pertunasan menggunakan media dasar (MS dan WP) dan
kombinasi (5 mg/L dan 7 mg/L) BAP dan 0.5 mg/L NAA, sedangkan tahap kedua

yaitu pengakaran menggunakan media ¼WP cair dengan 0.5 mg/L IBA dan
campuran media kompos:zeolit:pasir malang perbandingan 4:4:1. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan media dasar WP dengan kombinasi 5 mg/L BAP
dan 0.5 mg/L NAA menghasilkan pertumbuhan tunas dan daun yang baik selama
23 minggu setelah tanam (MST). Setelah tunas yang disubkultur ke media
perakaran, perlakuan media dasar ¼WP cair dengan auksin 0.5 mg/L IBA dan
campuran media kompos:zeolit:pasir malang mampu menginduksi perakaran yang
baik pada 8 planlet dalam 8 MST.
Kata kunci: kalus, muliplikasi in vitro, Sansevieria sp. blue leaf

ABSTRACT
AI NURHASANAH HUSNUL IZZATI. In Vitro Multiplication of Sansevieria sp.
Blue Leaf Through Callus. Supervised by DIAH RATNADEWI and ARIS
TJAHJOLEKSONO.
Sanseviera is a well-known ornamental plant leaves which is called lidah
mertua blue leaf in Indonesia. Sansevieria sp. blue leaf has leaf width with tapered
tip, wavy leaf side and green leaf with white reddish leaf side. The leaf cutting of
Sansevieria sp. does not produce rooted shoots efficiently. This research was
aimed to obtain an appropriate combination of basic media and plant growth
regulators (PGR) to stimulate in vitro shooting and rooting through callus.

Shooting was induced using two media (MS and WP) supplemented with (5mg/L
and 7 mg/L) BAP in combination with 0.5 mg/L NAA. ¼WP liquid medium with
0.5 mg/L IBA and compost:zeolite:sand at a ratio of 4:4:1 were used as rooting
medium. The results showed that WP with 5 mg/L BAP and 0.5 mg/L NAA is
produced the best growth of the shoots and leaves for 23 week after planting
(WAP). Medium ¼WP liquid with 0.5 mg/L IBA that incorporated in a mixture
compost, zeolite, and sand were able to induce rooting on eight plantlets in 8
weeks after shoots were transfered into rooting.
Keywords: callus, in vitro multiplication, Sansevieria sp. blue leaf

MULTIPLIKASI TANAMAN LIDAH MERTUA BLUE LEAF
(Sansevieria sp.) MELALUI KALUS SECARA IN VITRO

AI NURHASANAH HUSNUL IZZATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi


DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Multiplikasi Tanaman Lidah Mertua Blue Leaf (Sansevieria sp.)
Melalui Kalus Secara in vitro
Nama
: Ai Nurhasanah Husnul Izzati
NIM
: G34090062

Disetujui oleh

Dr Ir Diah Ratnadewi, DEA
Pembimbing I

Dr Ir Aris Tjahjoleksono, DEA

Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Multiplikasi Ta_:L
\fertua Blue Leaf (Sansevieria sp.)
Melalui Kalus Se ' _
Nama
: Ai Nurhasanah R..:.::: _' Izz_,NIM
: G34090062

Di:

Dr Ir Diah Ratnadewi, DEA
Pembimbing I


Tanggal Lulus:

_ . oleh

Dr Ir Aris T'a 'oleksono DEA  
Pembimbing II  

3 OEC 2(f1J

..,..

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya
ilmiah ini berjudul Multiplikasi Tanaman Lidah Mertua Blue Leaf (Sansevieria
sp.) Melalui Kalus Secara in vitro. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari
2013 sampai Agustus 2013 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Biologi,
FMIPA, IPB.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Diah Ratnadewi, DEA dan Dr Ir

Aris Tjahjoleksono, DEA atas bimbingan, saran, motivasi, dan fasilitas yang telah
diberikan selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih pula
kepada Dr Ir Dorly,MSi selaku penguji yang telah memberikan kritik dan saran
dalam penulisan karya ilmiah ini.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orangtua dan seluruh
keluarga tercinta yang senantiasa memberikan doa, dukungan dan semangatnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ucu, Ibu Dewi, Bapak
Kusmayadi, Ibu Glenny atas dukungannya. Tak lupa penulis juga berterimakasih
kepada teman-teman Biologi 46, khususnya teman seperjuangan di kultur jaringan
(Eva dan Rizky) dan sahabat-sahabat terbaik Lilia, Irene, Childa dan GM atas
semangat, perhatian, dan keceriaan yang selalu terukir selama kuliah di IPB.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2014
Ai Nurhasanah Husnul Izzati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

BAHAN DAN METODE

2

Alat

2

Bahan

3

Metode Penelitian

3

HASIL DAN PEMBAHASAN


5

Persentase Eksplan Bebas Kontaminasi

5

Pertumbuhan Kalus Lidah Mertua Blue Leaf (Sansevieria sp.)

6

Pertumbuhan Tunas

8

Fase Perakaran

12

SIMPULAN


14

DAFTAR PUSTAKA

14

LAMPIRAN

17

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1 Kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh (ZPT) pada media
pertunasan
2 Persentase bebas kontaminasi pada eksplan kalus lidah mertua blue
leaf (Sansevieria sp.) dengan penggunaan berbagai bahan sterilisasi
3 Pengaruh subkultur terhadap pertumbuhan kalus lidah mertua blue
leaf (Sansevieria sp.) setelah 6 minggu (MST)
4 Perkembangan tunas terhadap eksplan kalus lidah mertua blue leaf
(Sansevieria sp.)
5 Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan tunas pada
eksplan kalus lidah mertua blue leaf (Sansevieria sp.)
6 Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan daun pada
eksplan kalus lidah mertua blue leaf (Sansevieria sp.)
7 Pertumbuhan akar pada planlet lidah mertua blue leaf (Sansevieria
sp.) pada media perakaran
8 Jumlah dan ukuran daun pada planlet lidah mertua blue leaf
(Sansevieria sp.) yang berakar

4
5
7
8
10
12
13
13

DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan kalus lidah mertua blue leaf (Sansevieria sp.) sedikit (a),
sedang (b), dan banyak (c).
2 Kalus yang telah membentuk tunas mengalami browning
(pencoklatan) dan mati
3 Pertumbuhan tunas di media WP pada umur 3 MST (a) dan media MS
pada umur 4 MST (b)
4 Pertumbuhan tunas tunggal pada umur 7 MST (a) dan tunas banyak
pada umur 8 MST (b) pada media WP
5 Pertumbuhan akar adventif (a) dan akar lateral (b) pada planlet dari
eksplan lidah mertua blue leaf (Sansevieria sp.)

7
9
10
11
13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi media dasar MS (Murashige & Skoog 1962) dan
modifikasinya (¼MS)
2 Komposisi media dasar Woody Plant (WP) (Llyod & Mc. Cown 1981)
dan modifikasinya (¼WP)

17
18

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sansevieria (lidah mertua) termasuk ke dalam famili Dracaenaceae,
merupakan marga dari kurang lebih 60 jenis herba rimpang yang berdaun
tegak, keras, tersusun dalam bentuk roset serta tidak memiliki tangkai daun
(Yuzzami et al. 2010). Menurut Sastrapradja (1977), tanaman Sansevieria
menyukai habitat yang terlindung (ternaungi), memiliki toleransi dan
adaptasi yang tinggi, sehingga dapat tumbuh mulai dataran rendah sampai
ketinggian 1000 meter dpl. Takawira (2001) menjelaskan bahwa anggota
dari genus Sansevieria memiliki nilai ekonomis sebagai tanaman hias
karena keindahan dari ragam jenis, bentuk, ukuran dan warna daun; sumber
serat; dan sebagai obat untuk menyembuhkan beberapa penyakit tertentu.
DJH (2008) melaporkan bahwa Sansevieria merupakan tanaman hias yang
sedang populer di pasaran. Selain memiliki, ragam morfologi yang cukup
eksotik, ternyata Sansevieria juga mampu menyerap polusi seperti
karbonmonoksida dan karbondioksida atau bahan beracun seperti benzena,
formaldehida, dan trikhloroetilena. Beberapa jenis Sansevieria memiliki
aktivitas antioksidan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Pratama
(2010) menunjukkan bahwa S. cylindrica memiliki senyawa flavonoid dan
tanin yang mendukung adanya aktivitas antioksidan.
Jenis Sansevieria yang termasuk langka dan menjadi salah satu
koleksi favorit adalah Sansevieria pinguicula, karena bentuk mirip dengan
Agave, daun tebal dengan ujung runcing, tegak, roset, warna daun hijau
keputih-putihan dan sisi daun putih kemerahan, serta masih sulit
diperbanyak secara konvensional (TRUBUS 2008). Sansevieria sp. yang
dikenal dengan nama dagang lidah mertua blue leaf memiliki bentuk daun
lebar dengan ujung runcing, sisi daun bergelombang dan daun berwarna
hijau dengan sisi daun putih kemerahan. Struktur morfologi lainnya seperti
daun tebal, tumbuh tegak dan bertipe roset sangat mirip dengan S.
pinguicula. Dilihat dari ukuran, bentuk dan warna daun, jenis lidah mertua
blue leaf juga masih langka dan sulit diperbanyak secara konvensional
sehingga bisa memiliki nilai jual yang tinggi di pasaran tanaman hias.
Yusnita et al. (2011) menjelaskan bahwa perbanyakan Sansevieria
melalui metode konvensional sering tidak memadai untuk memenuhi
tuntutan komersial karena pertumbuhan tanaman tersebut sangat lambat.
Bibit Sansevieria pada umumnya diperbanyak secara vegetatif melalui stek
daun (Purwanto 2006; Yusnita et al. 2011). Namun, perbanyakan dengan
stek daun membutuhkan jumlah tanaman yang banyak dan jangka waktu
yang panjang untuk menghasilkan sejumlah besar tanaman. Yusnita et al.
(2011) mengemukakan bahwa 2 potongan daun S. trifasciata var. Hahnii
menghasilkan 6 tunas dan 5 potongan daun S. trifasciata var. Lorentii
menghasilkan 15 tunas selama 2 bulan, serta setelah 4-5 bulan jumlah tunas
tetap tidak ada pertambahan lagi.
Metode perbanyakan tanaman secara in vitro bisa menjadi alternatif di
samping metode konvensional karena menghasilkan jumlah bibit yang

2
banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat, serta bebas dari hama dan
penyakit. Salah satu pola dalam regenerasi in vitro Sansevieria adalah
melalui organogenesis (Yusnita et al. 2011). Keuntungan lain dari
perbanyakan in vitro adalah menghasilkan keragaman somaklonal yang bisa
didapatkan melalui organogenesis secara tidak langsung atau melalui kultur
kalus. Hal ini yang seringkali diharapkan menjadi nilai tambah eksotik
tanaman hias.
Lestari (2011) menjelaskan bahwa perbanyakan in vitro sangat
menentukan keberhasilan produksi. Semakin banyak tunas yang terbentuk
akan semakin banyak bibit yang dapat dihasilkan melalui kultur jaringan.
Oleh karena itu, diperlukan sitokinin atau kombinasi yang terbaik antara
auksin dan sitokinin untuk memacu multiplikasi tunas yang tinggi. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa multiplikasi in vitro tanaman hias
Sansevieria dapat dilakukan melalui organogenesis tak langsung
menggunakan zat pengatur tumbuh sitokinin atau kombinasi auksin dan
sitokinin. Penggunaan potongan daun tanaman S. cylindrica melalui kultur
kalus menggunakan kombinasi 5 mg/L BAP dan 2 mg/L NAA
menghasilkan jumlah tunas terbanyak yaitu 17.6 ± 0.14 tunas per kultur
(Shahzad et al. 2009). Multiplikasi dengan menggunakan 2 mg/L BAP
menghasilkan jumlah tunas terbanyak pada S. trifasciata varietas Hahnii
yaitu 7 tunas per kultur dan pada S. trifasciata varietas Lorentii dengan
menggunakan 2 mg/L BAP juga menghasilkan sebanyak 8.6 tunas per
kultur setelah 14 minggu ( Yusnita et al. 2011).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendapatkan kombinasi media dasar dan zat
pengatur tumbuh (ZPT) yang tepat untuk merangsang pertunasan melalui
kultur kalus Sansevieria sp. secara in vitro agar menghasilkan sejumlah
tunas dengan sistem perakaran yang baik.

BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2013 sampai dengan
September 2013 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Biologi,
FMIPA, IPB.
Alat
Alat yang digunakan antara lain alat diseksi, botol kultur, autoklaf,
pH meter, termometer, timbangan analitik, laminar air flow cabinet (LAFC),
gelas piala, magnet pengaduk, penangas air, pipet, bulb, batang pengaduk,
corong, sudip, erlenmeyer dan labu takar.

3
Bahan
Bahan tanaman yang digunakan diperoleh dari Laboratorium
Bioproduk dan Kultur Jaringan Tanaman, Baranangsiang, Bogor yaitu
berupa kalus lidah mertua blue leaf (Sansevieria sp.) yang dipelihara dalam
media MS+10 mg/L BAP+0.5 mg/L NAA dan berumur 6-7 bulan. Zat
pengatur tumbuh (ZPT) auksin berupa NAA (Asam Naftalenaasetat), IBA
(Indole Butyricacid) dan sitokinin berupa BAP (Benzil Amino Purin)
ditambahkan dalam media MS (Murashige & Skoog) atau WP (Woody
Plant). Bahan pendukung untuk sterilisasi alat dan bahan adalah alkohol
70%, antibiotik kloramfenikol 500 mg/L, akuades steril, Bayclin (senyawa
aktif NaOCl2 5.25%), dan Betadine (senyawa aktif Povidone Iodine 10%).

Metode Penelitian
Sterilisasi alat, bahan dan eksplan
Sterilisasi alat diseksi, botol kultur, cawan petri, media kultur dan
aquades dilakukan dengan menggunakan autoklaf pada tekanan 15 psi, suhu
121 oC. Sterilisasi alat dilakukan selama 15 menit dan sterilisasi bahan
dilakukan selama 20 menit.
Pada saat pemindahan ke media kultur, jika mengalami kontaminasi
dilakukan sterilisasi ringan terhadap eksplan secara bertahap yaitu eksplan
direndam di dalam Bayclin 5% selama 10 menit, lalu Bayclin 2.5% selama 5
menit, kemudian larutan Betadine 2% selama 1 menit. Setiap langkah
sterilisasi tersebut diikuti dengan pembilasan menggunakan aquades steril
sebanyak 3 kali.
Sterilisasi juga dilakukan pada saat pemindahan ke media perakaran
jika tunas mengalami kontaminasi yaitu dengan perendaman dalam Bayclin
5% selama 5 menit, kemudian Bayclin 2.5% selama 2 menit, dan dalam
larutan Betadine 2% selama 1 menit. Setiap langkah sterilisasi diikuti
dengan pembilasan menggunakan aquades steril sebanyak 3 kali.
Selanjutnya tunas siap ditanam pada media perakaran.
Pembuatan Media Pertunasan
Media yang digunakan untuk mendorong pertunasan adalah media
dasar MS (Lampiran 1) dan WP (Lampiran 2). Larutan baku media MS dan
WP ditambah ZPT BAP dan NAA. Larutan baku dibuat untuk
mempermudah penimbangan bahan dan supaya lebih teliti. Campuran
larutan tersebut diencerkan menggunakan aquades hingga volume 1 L.
Setelah itu, pH diatur pada kisaran 5.7-5.8. Apabila ternyata pH medium
masih kurang, maka ditambah KOH 0.1N beberapa tetes, sedangkan bila pH
melampaui batas 5.8 maka diturunkan dengan penambahan beberapa tetes
HCL 0.1N. Tahap selanjutnya adalah pemberian agar sebanyak 7 g/L,
kemudian larutan media dididihkan. Media dituang ke dalam botol kultur
steril masing-masing sebanyak 25 mL. Tahapan terakhir, media pertunasan
disterilisasi dalam autoklaf dengan suhu 121 oC dan tekanan 15 psi selama
20 menit. Selanjutnya, media siap untuk digunakan.

4
Pembuatan Media Perakaran
Media yang digunakan untuk perakaran adalah media cair ¼MS dan
¼WP ditambah masing-masing ZPT IBA, dan tanpa pemberian agar.
Kemudian, campuran larutan ini dituangkan ke dalam Erlenmeyer ukuran
250 mL dan ditutup plastik tahan panas. Sebagai pengganti agar, disiapkan
media padat berupa pasir malang, kompos, dan zeolit dengan perbandingan
4:4:1. Setiap botol kultur diisi campuran tersebut sebanyak 50 g, kemudian
ditutup plastik tahan panas.
Sterilisasi media cair dan campuran media padat dilakukan dengan
menggunakan autoklaf pada tekanan 15 psi, suhu 121 oC selama 20 menit.
Media cair ¼MS dan ¼WP yang telah steril selanjutnya dituangkan ke
dalam media tanam campuran pasir malang, kompos, dan zeolit yang telah
steril sebanyak 1/3 tinggi botol media atau setara dengan 25 mL.
Perlakuan ZPT
Perlakuan ZPT diberikan pada dua tahap kegiatan, yaitu multiplikasi
tunas dan perakaran. Sebelum dikulturkan di dalam media perlakuan ZPT,
potongan kalus berukuran 1x1 cm, berwarna hijau dan teksturnya kompak
dikulturkan di dalam media MS dan WP tanpa ZPT selama 2 minggu.
Perlakuan untuk mendorong pertunasan terdiri atas 2 faktor. Faktor
pertama menggunakan media dasar (MS dan WP) dan faktor kedua adalah
konsentrasi ZPT BAP (5 dan 7 mg/L). Pada masing-masing media
ditambahkan 0.5 mg/L NAA (Tabel 1). Masing-masing perlakuan dibuat 10
ulangan botol kultur. Media untuk perakaran menggunakan ZPT 0.5 mg/L
IBA.
Tabel 1 Kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh (ZPT) pada media
pertunasan
Media
ZPT (dalam mg/L)
BAP 5 + NAA 0.5
BAP 7 + NAA 0.5

MS

WP

MH1
MH2

WH1
WH2

Penanaman Eksplan dan Subkultur Tunas ke Perakaran
Penanaman dilakukan secara aseptik di dalam LAFC. Eksplan
berupa potongan kalus berukuran 1x1 cm ditanam di dalam media
pertunasan sebanyak 1 eksplan tiap botol media.
Tunas yang dipilih dari media pertunasan untuk yang disubkulturkan
ke media perakaran adalah tunas yang berdaun sehat, berwarna hijau dan
panjang daunnya ± 1.5 cm. Tunas disubklturkan ke dalam media perakaran
dengan memisahkannya dari eksplan induk.
Kultur disimpan di ruangan dengan suhu ± 25 °C, intensitas cahaya
sebesar 1000 lux selama 16 jam/hari.
Pengamatan dan Analisis Data
Pengamatan awal dilakukan 3-4 hari setelah penanaman eksplan
pada media untuk melihat kemungkinan terjadinya kontaminasi.

5
Pengamatan selanjutnya dilakukan seminggu sekali. Parameter yang diamati
setiap minggu antara lain, persentase eksplan yang hidup, waktu muncul
tunas, jumlah tunas, tinggi tunas, jumlah daun, panjang daun, jumlah tunas
yang disubkultur ke media perakaran. Pada pengamatan terakhir (minggu
ke-8 setelah subkultur ke media perakaran) dilakukan pengamatan terhadap
persentase eksplan yang berakar, jumlah akar, panjang akar, panjang dan
lebar daun di media perakaran. Analisis data dilakukan secara deskriptif,
karena tingkat kematian eksplan sangat tinggi sehingga data tidak dapat
dianalisis secara statistika.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Eksplan Bebas Kontaminasi
Kondisi kalus yang ditanam pada media dasar tanpa perlakuan selama
2 minggu tidak menunjukkan adanya kontaminasi. Kontaminasi umumnya
dimulai 2 minggu setelah tanam (MST) pada media WP dengan tingkat
kontaminasi mencapai kisaran 70 sampai 90% pada perlakuan WH1 dan
WH2 (Tabel 2). Seluruh kontaminasi yang terjadi pada media WP
kemungkinan besar disebabkan oleh bakteri. Penyebab kontaminasi bakteri
tersebut tidak berasal dari eksplan karena eksplan yang digunakan berasal
dari kalus in vitro. Kontaminasi tersebut muncul pada bagian tepi media.
Hal ini mengindikasikan bahwa kontaminasi terjadi saat penanaman ke
media perlakuan dan kemungkinan kontaminan terbawa oleh sirkulasi udara
di laminar (alat atau cawan petri) atau berasal dari media sebagai akibat
sterilisasi yang tidak sempurna. Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa salah
satu penyebab kontaminasi adalah lingkungan kerja yang kurang steril atau
pelaksanaan penanaman yang kurang hati-hati dan kurang teliti.
Tabel 2 Persentase bebas kontaminasi pada eksplan kalus lidah mertua blue
leaf (Sansevieria sp.) dengan penggunaan berbagai bahan sterilisasi
Perlakuan

Umur
2 MST 4 MST 16 MST 17 MST 20 MST
MH1
100
100
100
100
100
MH2
100
100
100
100
100
WH1
30
30
75
87.5
87.5
WH2
10
20
30
38.5
62.5
Keterangan : Sterilisasi ulang dilakukan pada eksplan WH1 dan WH2

23 MST
100
100
87.5
75

Setelah kalus yang terkontaminasi disterilisasi ringan pertama pada 2
MST, persentase bebas kontaminasi pada perlakuan WH2 meningkat sebesar
10% pada 4 MST. Selanjutnya, kultur di disterilisasi ulang pada minggu ke4 hingga minggu ke-16 menghasilkan peningkatan persentase eksplan steril
sebesar 45% pada WH1 dan sebesar 10% pada WH2. Persentase kalus yang
bebas kontaminasi pada media WH1 dan WH2 masih rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa sterilisasi ulang kultur dari 2 MST hingga 16 MST
menggunakan larutan Bayclin belum efektif menghilangkan kontaminan
pada kultur. Sterilisasi lanjutan dilakukan pada 16 MST yaitu dengan

6
perendaman kalus dalam larutan antibiotik kloramfenikol 500 mg/L selama
15 menit. Sterilisasi lanjutan ini dilakukan setelah pembilasan terakhir dari
tahapan sterilisasi ringan. Keberhasilan penggunaan kloramfenikol terlihat
pada WH2; persentase bebas kontaminasinya naik sebesar 45% dari 16-23
MST. Pada perlakuan WH1 peningkatan bebas kontaminasi hanya 12.5%.
Sterilisasi ringan dengan mengulang penggunaan Bayclin, belum
mampu memberikan hasil yang baik. Walaupun teknik sterilisasi telah
dilakukan dengan hati-hati, kontaminasi masih tinggi. Oleh karena itu,
dicoba untuk menggunakan antibiotik yang diharapkan mampu menurunkan
tingkat kontaminasi bakteri hingga 100%. Penggunaan antibiotik merupakan
langkah yang tepat karena prinsipnya mengarah ke penghambatan bahkan
mematikan pertumbuhan mikroba bakteri. Kloramfenikol adalah salah satu
jenis antibiotik berspektrum luas yang bekerja dengan cara menghambat
sintesis protein bakteri (Surini 2007).
Penggunaan kloramfenikol sebelumnya telah dilakukan pada
penelitian jarak pagar. Perendaman dalam larutan kloramfenikol dosis 500
mg/L dalam waktu 15 menit mampu meningkatkan persentase bebas
kontaminasi sekaligus memperpanjang waktu eksplan jarak pagar dalam
keadaan aseptis (Theodora 2010). Penggunaan antibiotik kloramfenikol
menghasilkan persentase kontaminasi bakteri terkecil, namun menyebabkan
kondisi toksik pada jaringan tanaman heliconia (Cantika 2007). Oleh karena
itu, penggunaan kloramfenikol dalam penelitian ini dilakukan seperti pada
penelitian Theodora (2010) yaitu dengan tidak mencampurkannya pada
media tetapi diberikan sebagai tahapan sterilisasi permukaan.
Sifat toksisitas kloramfenikol tidak tampak pada perkembangan kultur
(tidak menyebabkan browning) sehingga beberapa kultur berhasil tumbuh
dalam keadaan aseptis sampai ke fase perakaran.
Kontaminasi pada perlakuan WH1 dan WH2 setelah 16 MST,
kemungkinan disebabkan oleh adanya bakteri endofit. Bakteri endofit
merupakan bakteri yang hidup bersimbiosis di dalam jaringan tanaman
(Melliawati et al. 2006). Penggunaan kloramfenikol dalam penelitiaan ini
belum mampu menghilangkan 100% kontaminasi. Antibiotik tersebut
digunakan untuk merendam eksplan, sehingga pengaruhnya hanya untuk
sterilisasi di permukaan jaringan eksplan.
Pertumbuhan Kalus Lidah Mertua Blue Leaf (Sansevieria sp.)
Data kualitatif dari hasil penelitian ini (Gambar 1) memperlihatkan
pertumbuhan kalus yang memiliki tekstur kompak dengan warna hijau muda
kekuningan hingga hijau kehitaman. Pertumbuhan kalus baru dimulai dari
bagian atas eksplan yang dipotong dan terus membesar hingga 6 MST.
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari keempat perlakuan, yang memberikan
respon tumbuh paling baik pada 6 MST adalah MH1; hanya perlakuan WH2
yang tidak memberikan respon pertumbuhan kalus. Laju pertumbuhan kalus
yang tinggi terdapat pada media MS yang diberi 5 mg/L BAP dan 0.5 mg/L
NAA (MH1), kemudian diikuti oleh pemberian 7 mg/L BAP dan 0.5 mg/L
NAA (MH2). Hal ini menandakan bahwa media MS dengan pemberian BAP

7
tinggi dan NAA yang rendah berpengaruh lebih baik terhadap pertumbuhan
kalus baru pada lidah mertua blue leaf (Sansevieria sp.) daripada media WP.

Gambar 1 Pertumbuhan kalus lidah mertua blue leaf (Sansevieria sp.) sedikit (a),
sedang (b), dan banyak (c).

Tabel 3 Pengaruh subkultur terhadap pertumbuhan kalus lidah mertua blue
leaf (Sansevieria sp.) setelah 6 minggu (MST)
Perlakuan

Pertumbuhan
kalus
Banyak
Sedang
Sedikit
Tidak tumbuh

MH1
MH2
WH1
WH2
Keterangan :
Tidak tumbuh = 0 botol kultur
Sedikit
= 1-2 botol kultur

Tekstur kalus

Warna kalus

Kompak, padat
Kompak, padat
Kompak, padat
Kompak, padat

Hijau muda kekuningan
Hijau muda kekuningan
Hijau,coklat kehitaman
Hijau,coklat kehitaman

Sedang = 3-5 botol kultur
Banyak = ≥ 6 botol kultur

Akumulasi pati dalam plastida sel-sel eksplan tanaman yang dikultur
secara in vitro merupakan prasyarat bagi terjadinya morfogenesis, baik pada
pembentukan maupun regenerasi kalus (Saji dan Sujatha 1998). Pati
dibentuk dari sukrosa dan gula lain yang ditambahkan dalam medium kultur
in vitro (Thorpe et al. 1986). Pada penelitian ini, kontaminasi oleh bakteri
pada semua perlakuan media WP dan sterilisasi berulang menyebabkan
berkurangnya daya serap eksplan terhadap sukrosa dan zat pengatur tumbuh.
Hal ini mungkin menjadi faktor penyebab hampir tidak terjadinya
pertumbuhan kalus pada perlakuan WH1 dan WH2.
Penelitian Pratiwi (2009) telah menghasilkan pertumbuhan kalus
Anthurium plowmani yang semakin meningkat dengan menggunakan
sitokinin (kinetin) dalam konsentrasi yang semakin tinggi. Di lain pihak,
Gamborg (1991) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan kalus yang
baik, perlu penambahan sitokinin (BA atau kinetin) yang diberikan secara
bersamaan dengan auksin (2.4D atau NAA). Umumnya, semua eksplan
pada Sansevieria trifasciata var. Hahnii dan Lorentii dengan menggunakan
0.25 mg/L 2.4D membentuk kalus yang baik berwarna kehijauan (Yusnita et
al. 2011).
Perlakuan BAP dan NAA pada berbagai konsentrasi menghasilkan
morfologi kalus yang bervariasi (Gambar 1). Seluruh perlakuan
menghasilkan kalus yang berwarna hijau kekuningan hingga hijau
kehitaman. Perubahan warna kalus dari kuning hingga kehijauan tersebut
umumnya terjadi menjelang pertunasan. Menurut Prihatmanti (2002),
pemberian BAP dengan berbagai konsentrasi menunjukkan kecendurungan
kalus berwarna hijau pada eksplan Anthurium andreanum Linden ex Andre.

8
Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa penambahan sitokinin dapat
mendorong pembentukan klorofil pada kalus.
Pertumbuhan Tunas
Sitokinin BAP dipilih untuk tujuan multiplikasi tunas karena
memiliki efektivitas yang tinggi terhadap multiplikasi tunas, mudah
didapatkan dan relatif murah dibandingkan kinetin (Yusnita 2003). Sitokinin
umumnya digunakan dalam proses regenerasi kultur in vitro karena zat
pengatur tumbuh ini berfungsi dalam pembelahan sel dan diferensiasi tunas
adventif dari kalus (Bhojwani dan Razdan 1996).
Berdasarkan hasil penelitian ini, kombinasi auksin dan sitokinin yang
diberikan menunjukkan bahwa semua perlakuan mampu menumbuhkan
tunas, walaupun waktu muncul tunas tidak seragam (Tabel 4). Perlakuan
MH1, MH2, dan WH1 mulai menghasilkan tunas pada 2 MST. Perlakuan
WH2 memberikan tunas paling lambat, yaitu pada 8 MST, namun rentang
waktu tumbuh tunas paling panjang hingga 19 MST. Perlakuan MH1 dan
WH1 memberikan respon rentang waktu tumbuh tunas lebih pendek, yaitu
2-8 MST dan 2-7 MST.
Tabel 4 Perkembangan tunas pada eksplan kalus lidah mertua blue leaf
(Sansevieria sp.)
Perlakuan
MH1
MH2
WH1
WH2

Waktu muncul tunas (MST)
Kisaran
2-8
2-11
2-7
8-19

Persentase kultur yang hidup pada semua perlakuan mengalami
penurunan dimulai sejak 7 MST (Tabel 5). Hal ini karena tingginya tingkat
kematian kultur yang diawali dengan proses penguningan hingga
pencoklatan pada kultur. Proses penguningan kultur dimulai dengan
memudarnya warna hijau pada permukaan kalus secara berangsur-angsur.
Warna kuning terlihat dari bagian tepi hingga akhirnya menyebar ke seluruh
permukaan kalus dan tunas kemudian berubah menjadi coklat, akhirnya
kering dan mati. Diikuti juga oleh kondisi media yang mengalami
perubahan warna dari bening menjadi kecoklatan. Gambar 2
memperlihatkan kultur kalus yang telah membentuk tunas kemudian
berubah warna menjadi coklat dan akhirnya mati.
Penurunan persentase kultur hidup tersebut lebih banyak terjadi pada
media MS dibandingkan dengan media WP sehingga kultur yang hidup
tersisa 10% pada 23 MST. Pada media WP, persentase hidup kultur hanya
mengalami penurunan pada 7 MST saja.

9

Gambar 2 Kalus yang telah membentuk tunas mengalami browning (pencoklatan)
dan mati

Adanya kandungan senyawa fenol pada lidah mertua blue leaf yang
berlebih merupakan faktor utama terjadinya browning pada kultur. Bagian
kalus yang terpotong merupakan bagian yang terluka. Hutami (2008)
menyatakan bahwa pelukaan pada eksplan akan menyebabkan terjadi proses
oksidasi oleh enzim oksidase yang mengubah senyawa fenol menjadi
senyawa aktif quinon yang tinggi, kemudian terakumulasi di media dan
menjadi toksik pada kultur. Akumulasi senyawa fenol pada kultur
menyebabkan kultur mengalami pencoklatan. Hal ini merupakan respon
jaringan yaitu mengeluarkan senyawa metabolit sekunder berupa senyawa
fenol karena jaringan mengalami cekaman pada proses pelukaan kalus.
Berdasarkan hasil penelitian ini, tingkat kematian sangat tinggi pada media
MS daripada WP. Potongan eksplan sebelumnya untuk perlakuan di media
MS diperoleh dari kalus yang ukurannya lebih besar, sehingga jumlah
potongan kalus lebih banyak daripada WP. Dalam hal ini, diduga bahwa
bagian kalus yang terluka mengalami cekaman yang lebih tinggi pada media
MS daripada media WP.
Pengamatan pertumbuhan tunas dari minggu ke-7 sampai dengan
minggu ke-14 menunjukkan bahwa perlakuan MH1 menghasilkan tunas
banyak tertinggi dengan kisaran 0-3 tunas di minggu ke-7, diikuti oleh MH2,
WH1 dan WH2 dengan 0-2 tunas. Namun, perlakuan MH1 dan MH2 belum
dapat dinyatakan pengaruhnya terhadap seluruh parameter yang diamati
secara kuantitatif. Hal ini dikarenakan kematian eksplan di setiap ulangan
yang tinggi.
Pengamatan jumlah tunas dihitung dari tumbuhnya tunas pada kalus
pada setiap ulangan, sedangkan tinggi tunas diukur dari pangkal tunas
hingga ujung tunas (pucuk daun) tertinggi. Pengamatan (Tabel 5)
menunjukkan bahwa jumlah tunas tidak banyak berbeda antar perlakuan
WH1 dan WH2 dan tinggi tunas pada perlakuan WH1 lebih tinggi daripada
WH2. Penurunan dan peningkatan kembali rerata jumlah tunas disebabkan
oleh kematian beberapa tunas dan munculnya kembali tunas-tunas baru.
Pada perlakuan WH2 tunas mulai memanjang pada 14 MST namun jumlah
tunas tidak bertambah lagi hingga 23 MST.
Perlakuan WH1 cenderung memberikan pengaruh terbaik dalam
pertumbuhan tunas. Hartmann et al. (1997) mengemukakan bahwa
pemberian sitokinin dengan konsentrasi tinggi yang dikombinasikan dengan
auksin konsentrasi rendah sangat penting dalam pembentukan tunas. Namun,
jumlah tunas dan tinggi tunas pada perlakuan WH2 lebih rendah daripada
WH1. Hal ini diduga karena kultur pada 7 mg/L BAP telah memasuki titik

10
jenuh pembelahan sel atau kemungkinan lainnya karena kultur di WH2 lebih
sering disterilisasi ulang sehingga memperlambat waktu pertunasan dan
pertumbuhan tunas. Pratiwi (2009) menemukan adanya titik jenuh eksplan
dalam merespon sitokinin (kinetin) konsentrasi tinggi pada multiplikasi
tunas Anthurium plowmanii yaitu 0.46 µM. Pada kondisi titik jenuh
pembelahan sel tersebut, konsentrasi optimum sitokinin telah terlewati
sehingga pembelahan sel berlangsung lambat yang kemudian menyebabkan
menurunnya laju multiplikasi tunas.
Tabel 5 Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan tunas pada
kalus lidah mertua blue leaf (Sansevieria sp.)

Perlakuan

M.H1

M.H2

W.H1

W.H2

Minggu
ke1
7
14
21
23
1
7
14
21
23
1
7
14
21
23
1
7
14
21
23

Kultur
yang
hidup
(%)
100
90
30
20
20
100
90
50
10
10
100
80
80
80
80
100
80
80
80
80

Jumlah
kultur
yang
bertunas
1
4
2
2
2
1
5
5
1
1
0
7
7
6
7
0
0
6
6
6

Jumlah tunas
per kultur
Rerata
0.10
0.77
1.67
1.00
1.00
0.10
0.55
1.20
1.00
1.00
0.00
0.88
1.00
0.88
1.13
0.00
0.00
0.88
0.88
0.88

Kisaran
0-1
0-3
0-4
1
1
0-1
0-1
1-2
1
1
0
0-1
0-2
0-2
0-2
0
0
0-2
0-2
0-2

Rerata
tinggi
tunas
(cm)
0.00
0.17
0.30
0.45
0.45
0.00
0.17
0.59
0.90
0.90
0.00
0.52
0.73
0.71
0.78
0.00
0.00
0.46
0.58
0.71

Gambar 3 Pertumbuhan tunas di media WP pada umur 3 MST (a) dan media MS
pada umur 4 MST (b)

Perbedaan penampakan tunas yang muncul secara umum di kedua
media perlakuan WP dan MS terlihat pada Gambar 3. Penampakan tunas
pada media MS (Gambar 3a) menghasilkan warna tunas kekuningan dan

11
agak transparan, sedangkan media WP (Gambar 3b) menghasilkan warna
tunas hijau muda dan tebal. Dari kedua media perlakuan WP dan MS,
penampilan tunas yang lebih baik pada media WP. Perbedaan media WP
dan MS terletak pada kadar garam anorganik di komposisi medianya.
Kelebihan media WP dari MS terletak pada sulfat sebesar 3.79 mM,
sedangkan media MS memiliki sulfat sebesar 0.67 mM. Kelebihan media
MS memiliki kandungan nitrogen sebesar 32.12 mM dan kalium sebesar 7.6
mM, lebih tinggi dari media WP .
Kumar dan Kumar (2008) melaporkan bahwa sulfur berpengaruh
dalam peningkatan sintesis klorofil dalam daun pisang Cavendish. Diduga
sulfur bertanggung jawab untuk membentuk enzim feredoksin. Berdasarkan
hasil pengamatan, hal ini diduga peranan sulfur yang berlebih pada media
WP yang menjadikan tunas terlihat lebih hijau. Penurunan kandungan
nitrogen dan kalium pada media WP menyebabkan tunas terlihat lebih tebal
kompak, dan sehat. Hal itu didukung oleh hasil penelitian Winarto (2004)
yang mengindikasikan bahwa penurunan total nitrogen (NH4NO3) lebih
cepat memacu terbentuknya sel-sel yang lebih kompak dan tunas tumbuh
lebih sehat pada tanaman anyelir. Di lain pihak media MS memiliki
kelebihan nitrogen dan kalium yang lebih berperan dalam pembesaran sel
dan jumlah daun lebih banyak tetapi menghasilkan tunas berwarna
kekuningan, kurang kompak dan agak transparan. Berdasarkan penelitian
Yunita (2004) disimpulkan bahwa nitrogen dan kalium lebih tinggi pada
media MS lebih berperan membentuk jumlah tunas lebih banyak
dibandingkan media WP.

Gambar 4 Pertumbuhan tunas tunggal pada umur 7 MST (a) dan tunas banyak
pada umur 8 MST (b) pada media WP

Gambar 4 a dan b memperlihatkan kalus yang bertunas tunggal dan
bertunas banyak (jumlah tunas lebih dari 1 per eksplan kalus) serta masingmasing tunas telah membentuk daun dengan tipe roset.
Daun yang dihitung jumlahnya merupakan daun yang telah terbuka
penuh. Panjang daun diukur dari pangkal daun hingga ujung. Tabel 6
memperlihatkan bahwa daun yang pertama kali terbuka penuh adalah daun
pada perlakuan WH1 yaitu pada 7 MST, sedangkan perlakuan WH2
membentuk daun pada 14 MST. Jumlah daun pada perlakuan WH1
mengalami peningkatan hingga umur 21 MST dan tidak mengalami
pertambahan jumlah daun lagi setelah itu. Perlakuan WH1 dan WH2
menghasilkan pertumbuhan panjang daun yang terus meningkat hingga
umur 23 MST. Dengan demikian, perlakuan WH1 menghasilkan rerata

12
jumlah daun terbanyak yaitu 9 daun dengan kisaran 8 hingga 19 daun dan
daun terpanjang yaitu 1.49 cm selama 23 MST.
Perlakuan WH1 memberikan pengaruh lebih baik terhadap
pertumbuhan ditunjukkan dengan jumlah daun dan panjang daun yang lebih
tinggi dibandingkan WH2. Hal ini menandakan bahwa pemberian kombinasi
5 mg/L BAP dengan 0.5 mg/L NAA merupakan konsentrasi optimum
sehingga memberikan efek sinergis pada multiplikasi dan pemanjangan
daun.
Tabel 6 Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan daun pada
kalus lidah mertua blue leaf (Sansevieria sp.)

Perlakuan

M.H1

M.H2

W.H1

W.H2

Minggu
ke-

Jumlah
tunas

Jumlah
tunas yang
berdaun

1
7
14
21
23
1
7
14
21
23
1
7
14
21
23
1
7
14
21
23

1
7
5
2
2
0
5
6
1
1
0
7
8
7
9
0
0
7
7
7

0
0
0
2
2
0
0
1
1
1
0
3
7
7
7
0
0
4
6
6

Jumlah daun
per tunas
Rerata

Kisaran

Rerata
Panjang
daun
(cm)

0.00
0.00
0.00
3.00
3.00
0.00
0.00
1.67
17.00
17.00
0.00
3.70
8.19
9.13
9.13
0.00
0.00
5.13
6.44
6.44

0
0
0
3
3
0
0
10
17
17
0
6-14
7-16
8-19
8-19
0
0
7-15
7-15
7-15

0.00
0.00
0.23
0.54
0.80
0.00
0.00
0.53
1.00
1.00
0.00
0.68
1.36
1.44
1.49
0.00
0.00
0.71
0.97
1.17

Fase Perakaran
Tunas yang tumbuh baik, berdaun sehat, warna hijau dan panjang
daunnya ± 1.5 cm dipilih dari media pertunasan kemudian segera
disubkultur pada media perakaran. Berdasarkan kriteria tersebut, hanya
planlet dari media WP yang dapat dipindahkan ke media perakaran,
walaupun tidak dari seluruh ulangan. Tunas yang dipindahkan ke media
perakaran jumlahnya sangat sedikit, yaitu sebanyak 8 tunas. Hal ini
disebabkan hampir seluruh tunas masih memiliki panjang daun kurang dari
1.5 cm. Tunas yang disubkulturkan pada media perakaran memiliki umur
yang berbeda-beda, karena awal munculnya tunas juga tidak seragam. Tunas

13
yang terkontaminasi di media pertunasan tapi sudah memenuhi persyaratan,
selanjutnya disubkulturkan pada media perakaran setelah disterilisasi ulang.
Semua tunas yang disubkulturkan dan dipelihara selama 8 minggu
pada media perakaran menunjukkan pertumbuhan akar (Tabel 7). Gambar 5
memperlihatkan planlet yang berakar. Planlet yang berasal dari media WH1
dan WH2 menghasilkan rerata jumlah akar adventif masing-masing 1.60 dan
1.33 akar. Selanjutnya akar adventif tersebut bercabang dan disebut sebagai
akar lateral. Jumlah akar lateral 2.00 dan 1.67 akar, panjang akar adventif
1.29 dan 2.22 cm, serta panjang akar lateral 0.73 dan 0.58 cm.
Dalam masa pengakaran, terlihat pertumbuhan tajuk masih
berlangsung sehingga masih dilakukan pengamatan terhadap parameter
pertumbuhan daun. Tabel 8 menunjukkan bahwa setelah disubkulturkan
selama 8 minggu pada media perakaran, planlet yang tunasnya berasal dari
media WH1 dan WH2 memiliki rerata tinggi tunas masing-masing 1.56 dan
1.93 cm, jumlah daun 13.20 dan 12.00, panjang daun 2.78 dan 2.63 cm,
serta lebar daun 1.10 dan 1.03 cm.
Tabel 7 Pertumbuhan akar pada planlet lidah mertua blue leaf (Sansevieria
sp.) pada media perakaran
Rerata
Jumlah
planlet
Jumlah
Jumlah Panjang akar Panjang akar
yang
akar
akar
adventif
lateral
berakar
adventif
lateral
(cm)
(cm)
WH1
5
1.60
2.00
1.29
0.73
WH2
3
1.33
1.67
2.22
0.58
Keterangan : Pengamatan pada 8 minggu setelah subkultur ke media perakaran
Media asal
planlet

Tabel 8 Jumlah dan ukuran daun pada planlet lidah mertua blue leaf
(Sansevieria sp.) yang berakar
Media
Rerata
Jumlah daun
Rerata
Rerata Lebar
asal
tinggi tunas
Panjang daun
daun (cm)
Rerata Kisaran
planlet
(cm)
(cm)
WH1
1.56
13.20
8-11
2.78
1.10
WH2
1.93
12.00
10-11
2.63
1.03
Keterangan : Pengamatan pada 8 minggu setelah subkultur ke media perakaran

Gambar 5

Pertumbuhan akar adventif (a) dan akar lateral (b) pada planlet lidah
mertua blue leaf (Sansevieria sp.)

14
Media yang digunakan untuk perakaran adalah media beraerasi yang
memiliki porositas (bersifat porous) yang dikenal dengan in vitro soil-less
(IVS). Media ini sudah digunakan oleh Newel et al. (2003) untuk
menginduksi akar dan pemanjangan akar tanaman Grevillea thelemanniana
dan tanaman hasil persilangan Verticordia plumosa dengan Chamelaucium
uncinatum menggunakan campuran media sphagnum peat, pasir sungai
kasar (1-3 mm) dan perlite (Horticulture grade P500) dengan perbandingan
0.5:2:2 dan tambahan 2 g/L kapur pertanian (horticultural lime) serta
seluruh campuran media tersebut dimasukkan ke dalam peat pots (Jiffy A/S,
Jiffy Strip ®, #300 515 91, 4 x 5 cm). Pada penelitian ini, penggunaan
media aerasi (¼WP cair dan 0.5 mg/L IBA dicampurkan ke dalam kompos;
zeolit; pasir malang yang telah steril) diharapkan mampu mempermudah
induksi perakaran dibandingkan dengan media agar. Media perakaran yang
baik adalah media yang memiliki kelembaban cukup dengan aerasi yang
baik sehingga cukup menyediakan O2 dan bebas dari mikroorganisme
pengganggu, misalnya cendawan dan bakteri (Mangoendidjojo 2003). Pierik
(1987) menambahkan bahwa media cair sebagai transportasi nutrien yang
lebih baik.
Hasil penelitian Shahzad et al. (2009) menunjukkan bahwa eksplan
Sansevieria cylindrica yang dipindahkan ke media perakaran dengan ½MS
dan 5 mg/L IBA telah berhasil menginduksi perakaran dalam 8 minggu,
dengan jumlah akar terbanyak 3.5 ± 0.18 akar dan akar terpanjang 6.5 ±
0.14 cm. Sebaliknya, hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
penggunaan konsentrasi auksin rendah yaitu IBA 0.5 mg/L dalam media
beraerasi mampu menginduksi perakaran pada kedelapan planlet yang
berasal dari media WH1 dan WH2 dalam 8 minggu.

SIMPULAN
Pertumbuhan tunas dan daun yang baik diperoleh pada perlakuan
media dasar WP dengan kombinasi 5 mg/L BAP dan 0.5 mg/L NAA.
Pengaruh media dasar ¼WP cair dengan auksin 0.5 mg/L IBA dan
campuran media kompos; zeolit; pasir malang perbandingan 4:4:1 mampu
menginduksi perakaran yang baik pada tunas.

DAFTAR PUSTAKA
[DJH] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Sansevieria, booming di
pasaran, tanaman hias yang penting di dunia [internet]. [Diunduh 19
November 2012]. Tersedia pada: http://hortikultura.deptan.go.id/
?q=node/183.
Bhojwani SS, Razdan MK. 1996. Plant Tissue Culture: Theory and Practice,
A Revised Edition. Amsterdam (NL): Elsevier Science B.V.
Cantika. 2007. Pengaruh jenis dan konsentrasi antibiotik terhadap
kontaminasi dan perkembangan eksplan Heliconia psittacorum L.f CV.
lady di [skripsi]. Bogor (ID): Insitut Pertanian Bogor.

15
Gamborg, OL. 1991. Callus and Cell Culture. Di dalam : Wetter LR,
Constabel F, editor. Plant Tissue Culture Methods. Canada (CA): Prairie
Regional Laboratory of The National Research Council of Canada.
Hartmann HT, Kester DE, Davies FTJr, Geneve RL. 1997. Plant
Propagation Principle and Practises, Six Edition. New Jersey (US):
Prentice Hall Incorporated.
Hutami. 2008. Masalah pencoklatan pada kultur jaringan [ulasan]. Agrobio.
4(2):83-88.
Kumar AR, Kumar N. 2008. Studies on the efficacy of sulphate of potash
(SOP) on the physiological, yield and quality parameters of Banana CV.
Robusta (Cavendish-AAA). EurAsia J BioSci. 2(12):102-109.
Lestari EG. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan
tanaman melalui kultur jaringan [ulasan]. Agrobio. 7(1):63-68.
Lloyd G, Mc Cown B. 1981. Commercially feasible micropropagation of
mountain laurel, Kalmia latifolia by use of shoot tip culture. Comb Proc
Intl Plant Prop Soc. 30:421-427.
Mangoendidjojo W. 2003. Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Jakarta (ID):
Penerbit Kanisius.
Melliawati R, Widyaningrum DN, Djohan AC, Sukiman H. 2006.
Pengkajian bakteri endofit penghasil senyawa bioaktif untuk proteksi
tanaman. Biodiversitas. 7(3):221-224.
Murashige T, Skoog F. 1962. A reivised medium for rapid growth and
bioassays with tobacco tissue culture. Physiol Plant. 15: 473.
Newell C, Growns D, McComb J. 2003. The influence of medium aeration
on in vitro rooting of Australian plant microcutting. PCTOC. 75(2): 131142.
Pierik RLM. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Dordrecht (NL):
Martinus Nitjhof Publisher.
Pratama R. 2010. Potensi Antioksidan dan toksisitas ekstrak daun
Sansevieria cylindrica [skripsi]. Bogor (ID): Insitut Pertanian Bogor.
Pratiwi 2009. Penggunaan jenis media dasar dan kinetin untuk induksi
organogenesis anthurium gelombang cinta (Anthurium plowmanii) secara
in vitro [skripsi]. Bogor (ID): Insitut Pertanian Bogor.
Prihatmanti D. 2002. Penggunaan zat pengatur tumbuh NAA dan BAP serta
air kelapa untuk menginduksi organogenesis tanaman anthurium
(Anthurium andraeanum Linden ex Andre) [skripsi]. Bogor (ID): Insitut
Pertanian Bogor.
Purwanto AW. 2006. Sansevieria Flora Cantik Penyerap Racun.
Yogyakarta (ID): Kanisius.
Saji KV, Sujatha M. 1998. Embryogenesis and plant regeneration in anther
culture of sunflower (Helianthus anuus L.). Euphytica. 103:1-7.
Sastrapradja S. 1977. Tanaman Hias. Bogor (ID): Lembaga Biologi
Nasional, LIPI.
Shahzad A, Ahmad N, Rather MA, Husain MK, Anis M. 2009. Improved
shoot regeneration system through leaf derived callus and nodule culture
of Sansevieria cylindrica. Biol Plant. 53 (4):745-749.
Surini. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.

16
Takawira R. 2001. The genus Sansevieria (family Dracaenaceae) in
Zimbabwe. Act Hort . 552: 189-198.
Theodora F. 2010. Perbanyakan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas)
melalui stek buku tunggal secara in vitro [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Thorpe TA, Joy IVRW, Leung WM. 1986. Starch turnover in shoot-forming
tobacco callus. Physiol Plant. 66:58-62.
TRUBUS. 2008. Sansevieria: 200 Jenis Spektakuler, 400 Foto. Depok (ID):
PT Trubus Swadaya.
Winarto B. 2004. Modifikasi konsentrasi NH4NO3 dan CaCl2 medium MS
terhadap pertumbuhan eksplan hiperhidristri anyelir. AgroSains. 6(2):4552.
Yunita R. 2004. Multiplikasi tunas melinjo (Gnetum gnemon) secara in vitro.
Sagu. 3(1):1-8.
Yusnita, Pungkastiani W, Hapsoro D. 2011. In vitro organogenesis of two
Sansevieria cultivars on different concentrations of benzyladenine (BA).
Agrivita 33:147-153.
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Tanaman: Cara Memperbenyak Tanaman
secara Efisien. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Yuzzami, Witono JR, Hidayat S, Handayani T, Sugiarti, Mursidawati S,
Triono T, Astuti IP, Sudarmono, Wawangningrum H. 2010. Ensiklopedia
Flora Jilid I. Depok (ID): PT Kharisma Ilmu.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman
Budi Daya. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.

17

LAMPIRAN
Lampiran 1 Komposisi media dasar MS (Murashige dan Skoog 1962) dan
modifikasinya (¼MS)
No.
Garam Mineral
Konsentrasi
¼ Konsentrasi
mM
Hara Makro
mg/L
mg/L
1
NH4NO3
1650
20.6
412.5
2
KNO3
1900
18.8
475
3
CaCl2∙2H2O
440
3.01
110
4
MgSO4∙7H2O
370
1.5
92.5
42.5
5
KH2PO4
170
1.25
6.962
FESO4∙7H2O
27.85
0.1
6
9.312
Na2EDTA∙2H2O
0.1
37.25
7
Hara Mikro
mg/L
µM
mg/L
1
MnSO4∙4H2O
22.3
100
5.575
2
ZnSO4∙7H2O
8.6
30
2.15
3
H3BO3
6.2
100
1.55
4
KI
0.83
5
0.207
5
Na2MoO4∙2H2O
0.25
1
0.063
6
CuSO4∙5H2O
0.025
0.1
0.006
7
CoCl2∙6H2O
0.025
0.1
0.006
Vitamin
mg/L
µM
mg/L
1
Inositol
100
550
25
2
Thiamin-HCl
0.1
0.3
0.025
3
Asam Nikotianat
0.5
4.1
0.125
4
Piridoksin-HCl
0.5
2.4
0.125
Asam Amino
mg/L
µM
mg/L
1
Glisin
2
26.6
0.5

18
Lampiran 2 Komposisi media dasar Woody Plant (WP) (Llyod dan Mc
Cown 1981) dan modifikasinya (¼WP)
No.
Garam Mineral
Konsentrasi
¼ Konsentrasi
Hara Makro
mg/L
mM
mg/L
1
NH4NO3
400
5.0
100
2
CaCl2∙2H2O
96
0.7
24
3
MgSO4∙7H2O
370
1.5
92.5
4
KH2PO4
170
1.25
42.5
Ca(NO3)2∙4H2O
5
556
2.4
139
K2SO4
6
990
5.7
247.5
FESO4∙7H2O
7
27.85
0.1
6.963
Na2EDTA∙2H2O
8
37.25
0.1
9.313
Hara Mikro
mg/L
µM
mg/L
1
MnSO4∙4H2O
22.3
100
5.575
2
ZnSO4∙7H2O
8.6
30
2.15
3
H3BO3
6.2
100
1.55
4
Na2MoO4∙2H2O
0.25
1
0.063
5
CuSO4∙5H2O
0.25
1
0.063
Vitamin
mg/L
µM
mg/L
1
Inositol
100
550
25
2
Thiamin-HCl
1
30
0.25
3
Asam Nikotianat
0.5
4.1
0.125
4
Piridoksin-HCl
0.5
2.4
0.125
Asam Amino
mg/L
µM
mg/L
1
Glisin
2
26.6
0.5

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 4 Februari 1991 dari
pasangan Bapak Bunyamin dan Ibu Siti Nurkaya. Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah
di SMPN 1 Cigombong pada tahun 2006 dan SMAN 1 Cigombong pada
tahun 2009. Tahun 2009 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama menempuh pendidikan S1 di IPB, penulis aktif dalam
kepanitian sebagai staf divisi konsumsi Go Green (2010), staf infokom
HIMABIO (2010/2011), staf divisi publikasi, dekorasi dan dokumentasi Go
Green (2011), staf divisi konsumsi Grand Biodiversity (2011), staf divisi
kestari LCTB dalam PESTA SAINS (2012), Pengalaman menjadi asisten
praktikum pernah dirasakan antara lain Biologi Dasar, Fisiologi Tumbuhan
Dasar, Biologi Alga dan Lumut, dan Kultur Jaringan Tanaman.
Selama menempuh studi di Departemen Biologi, penulis melakukan
penelitian dalam studi lapang mengenai “Inventarisasi Meniran di Hutan
Pendidikan Gunung Walat” (2011), dan praktik lapang yang berjudul
“Teknik Budidaya Jamur Tiram Putih Menggunakan Media Limbah Industri
Kayu di Unit Community Development SEAMEO BIOTROP Bogor”
(2012). Penulis juga mendapatkan penghargaan prestasi akademik
diantaranya adalah Program Kreativitas Mahasiswa di Bidang Penelitian
didanai oleh DIKTI (2012) tentang “Uji Khasiat Leunca (Solanum nigrum
L.) sebagai Obat Herbal Peluruh Batu Ginjal di Laboratorium Biokimia dan
Kimia IPB, Bogor” dan Artikel Ilmiah didanai oleh DIKTI (2012) yang
berjudul “Keragaman Meniran di Hutan Pendidikan Gunung Walat”.