Toksisitas Tembaga (Cu) terhadap Hematologi, Bioakumulasi, Sintasan dan Pertumbuhan Juvenil Ikan Patin (Pangasius sp)

TOKSISITAS TEMBAGA (Cu) TERHADAP HEMATOLOGI,
BIOAKUMULASI, SINTASAN DAN PERTUMBUHAN
JUVENIL IKAN PATIN (Pangasius sp)

DODY SIHONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Toksisitas Tembaga (Cu)
terhadap Hematologi, Bioakumulasi, Sintasan dan Pertumbuhan Juvenil Ikan Patin
(Pangasius sp) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Dody Sihono
NIM C151120091

RINGKASAN
DODY SIHONO. Toksisitas Tembaga (Cu) terhadap Hematologi, Bioakumulasi,
Sintasan dan Pertumbuhan Juvenil Ikan Patin (Pangasius sp). Dibimbing oleh
EDDY SUPRIYONO dan MIA SETIAWATI.
Peningkatan aktivitas antropogenik menyebabkan menurunnya kualitas
lingkungan perairan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa aktivitas antropogenik
telah meningkatkan konsentrasi tembaga (Cu) dalam lingkungan perairan secara
periodik. Tembaga merupakan mikro mineral yang dibutuhkan dalam tubuh
organisme karena memiliki peran penting dalam sejumlah proses enzimatik seperti
cytochrome oxidase, superoxide dismutase, lysyl oxidase, dopamine hydroxylase
dan tyrosinase. Tembaga juga memiliki potensi memberikan efek negatif bila
masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah besar atau melebihi nilai ambang
batas. Ikan dapat mengakumulasi tembaga dalam organ tubuh ketika mencapai
konsentrasi yang membahayakan. Tembaga dapat mengalami bioakumulasi dan
menjadi racun bagi organisme yang dibudidayakan. Kelebihan tembaga

menyebabkan gangguan pada sejumlah proses fisiologis yang meliputi
terganggunya regulasi pertukaran ion di insang sehingga menurunkan penyerapan
oksigen, tingginya kadar Cu dalam darah yang menyebabkan anemia hemolitik dan
tingginya kebutuhan energi untuk detoksifikasi. Ikan patin dibudidayakan oleh
masyarakat Bangka dengan memanfaatkan lahan bekas tambang timah atau yang
biasa disebut “kolong”. Kandungan Cu pada kolong yang lebih tinggi dari baku
mutu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah berpotensi menggagalkan produksi
budidaya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis toksisitas Cu pada kondisi lethal,
serta menganalisis pengaruh Cu pada kondisi sublethal terhadap respons
hematologi, akumulasi Cu, tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil
ikan patin (Pangasius sp). Bahan uji yang digunakan adalah tembaga sulfat anhidrat
(CuSO4). Analisis kadar tembaga menggunakan spektrophotometer serapan atom.
Rancangan penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
perlakuan konsentrasi Cu berbeda. Penelitian dilakukan dalam dua tahap meliputi
uji toksisitas akut dan uji toksisitas sublethal. Uji toksisitas akut menggunakan
juvenil ikan patin dengan panjang total 11±1 cm dan bobot 13±0,97 gram.
Konsentrasi tembaga yang digunakan pada uji toksisitas akut yaitu K (kontrol), A
(0,2), B (0,7), C (1,2) dan D (1,7) ppm. Uji toksisitas sublethal menggunakan
juvenil ikan patin dengan panjang total 11±1,7 cm dan bobot 13±2,72 gram.

Konsentrasi tembaga yang digunakan pada uji toksisitas sublethal yaitu K (kontrol),
A (0,167), B (0,334) dan C (0,500) ppm.
Pada uji toksisitas akut, juvenil ikan patin menunjukkan sejumlah
abnormalitas perilaku yang diawali dengan minimnya aktivitas renang dengan
berdiam diri pada dasar wadah uji. Kemudian ikan berenang tidak seimbang,
melompat-lompat dari air dan berenang terbalik hingga mati. Tembaga
dikategorikan sangat toksik terhadap juvenil ikan patin dengan nilai LC50 -96 jam
sebesar 0,667 ppm (0,539 - 0,805 ppm). Pada konsentrasi sublethal, tembaga
memberikan pengaruh terhadap respons hematologi, akumulasi Cu pada organ,
tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil ikan patin. Terjadi
peningkatan kadar hemoglobin, hematokrit, eritrosit dan leukosit pada minggu

pertama paparan. Namun pada minggu kedua hingga keempat, kadar hemoglobin,
hematokrit dan jumlah eritrosit mengalami penurunan, sementara kadar leukosit
stabil mengalami peningkatan. Akumulasi Cu tertinggi pada seluruh organ terjadi
pada perlakuan konsentrasi 0,500 ppm dan hati merupakan organ dengan akumulasi
tertinggi pada akhir penelitian untuk seluruh perlakuan. Persentase kelangsungan
hidup tertinggi yaitu pada perlakuan kontrol diikuti berturut-turut konsentrasi 0,167
ppm, 0,334 ppm dan 0,500 ppm dengan persentase kelangsungan hidup 100%,
88,33%, 70,00% dan 0,00%. Laju pertumbuhan spesifik tertinggi yaitu pada

perlakuan kontrol diikuti konsentrasi 0,167 ppm dan 0,334 ppm dengan nilai
berturut-turut 1,39%, 0,76% dan 0,07%.
Abnormalitas perilaku yang dialami oleh ikan menunjukkan bahwa tingginya
konsentrasi tembaga di perairan menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan
ikan. Tembaga dapat menurunkan penyerapan Na+ dengan menghambat NA+/K+
ATPase, menurunkan penyerapan Cl- pada aktivitas karbonik anhidrase,
menyebabkan gangguan pertukaran ion dan menghambat ekskresi NH3. Kontak
langsung dengan Cu juga dapat merusak sistem sensorik penciuman. Pada
konsentrasi sublethal, tembaga memberikan sejumlah efek negatif bagi juvenil ikan
patin. Meningkatnya konsentrasi tembaga secara nyata menurunkan jumlah
eritrosit, hemoglobin dan hematokrit. Penurunan jumlah eritrosit diduga merupakan
dampak dari meningkatnya aktivitas superoksidase dismutase guna menetralisir
radikal bebas akibat toksikan dari lingkungan. Produk yang dihasilkan berupa H2O2
menyebabkan lisisnya membran sel darah merah atau yang disebut anemia
hemolitik. Anemia hemolitik menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah dan
hematokrit. Tingginya konsentrasi Cu menurunkan penyerapan besi (Fe) pada usus
sehingga menyebabkan penurunan aktivitas ferrireductase dan berdampak pada
penghambatan sintesis hemoglobin. Meningkatnya konsentrasi tembaga secara
nyata meningkatkan bioakumulasi pada organ. Terjadi peningkatan proses
detoksifikasi oleh metallothionein guna mempertahankan homeostasis tubuh yang

menyebabkan penumpukan tembaga pada organ. Peningkatan energi untuk
detoksifikasi dan pemeliharaan homeostasis menyebabkan laju pertumbuhan
menjadi rendah dan konversi pakan menjadi tinggi.
Tembaga dikategorikan sangat toksik terhadap juvenil ikan patin dengan nilai
LC50 -96 jam sebesar 0,667 ppm (0,539 - 0,805 ppm). Pada konsentrasi sublethal,
tembaga berpengaruh nyata terhadap penurunan sintasan, pertumbuhan, eritrosit,
hemoglobin dan hematokrit serta menyebabkan peningkatan pada akumulasi
tembaga mulai pada konsentrasi 0,167 ppm.
Kata kunci: bioakumulasi, hematologi, patin, tembaga

SUMMARY
DODY SIHONO. Toxicity of Copper (Cu) on Haematological, Bioaccumulation,
Survival Rate and Growth of Catfish Juvenile (Pangasius sp). Supervised by EDDY
SUPRIYONO and MIA SETIAWATI.
Increased anthropogenic activities caused aquatic environmental degradation.
Several studies has reported that anthropogenic activities has increased the
concentration of copper (Cu) in the aquatic environment periodically. Copper is a
micro-mineral needed in the body of organisms because it has an important role in
a number of enzymatic processes such as cytochrome oxidase, superoxide
dismutase, lysyl oxidase, dopamine hydroxylase and tyrosinase. Copper also has

potential negative effect when enters the body in large quantities or exceeds the
threshold value. Copper can be toxic to cultivated organisms. Copper are able to
bioaccumulate and become toxic to the organisms cultured. Excess copper caused
disturbances in a number of physiological processes that include disruption of the
regulation of ion exchange in the gills thus lowering the absorption of oxygen, high
levels of Cu in the blood caused hemolytic anemia and high energy requirements
for detoxification. Catfish cultivated by the people of Bangka island by using tin
mined land or commonly called "kolong". The content of Cu higher than the
standard set by the government potentially failed the aquaculture production.
This study aimed to analyze the toxicity of Cu on lethal condition, and
analyzes the effect of Cu on sublethal conditions to haematological response,
accumulation of Cu, survival rates and growth of Pangasius sp. The test material
used was anhydrous copper sulfate (CuSO4). Analysis of copper content used
atomic absorption spectrophotometer. The study design used completely
randomized design (CRD) with different Cu concentration treatments. The study
was conducted in 2 phases include acute toxicity and sublethal toxicity test. Acute
toxicity test used catfish juvenile with a total length 11 ± 1 cm and weight 13 ± 0.97
grams. The concentration of copper used in the acute toxicity test was K (control),
A (0.2), B (0.7), C (1.2) and D (1.7) ppm. Sublethal toxicity test used catfish
juvenile with a total length 11 ± 1.7 cm and weight 13 ± 2.72 grams. The

concentration of copper used in the Sublethal toxicity test was K (control), A
(0167), B (0.334) and C (0.500) ppm.
In acute toxicity test, catfish juvenile showed a number of behavioral
abnormalities that begins with the lack of swimming activity with silence on the
basis of the test container. Then the fish swam out of balance, skipping of the water
and swim upside down to die. Copper categorized as highly toxic to catfish juvenile
with a LC50 -96 hours value was 0.667 ppm (0.539 to 0.805 ppm). At sublethal
concentrations, copper influenced the haematological response, Cu accumulation in
organs, survival rate and growth of catfish juvenile. There was an increase in levels
of haemoglobin, hematocrit, erythrocytes and leukocytes during the first week of
exposure. But in the second week to the fourth, the levels of haemoglobin,
hematocrit and erythrocytes decreased, while leukocytes stable increased. The
highest Cu accumulation in all organs occurs at concentrations of 0,500 ppm and
the liver was the organ with the highest accumulation at the end of the study for all
treatments. The highest percentage of survival rate was control treatment followed
by concentration of 0.167 ppm, 0.334 ppm and 0.500 ppm with survival percentage

100%, 88.33%, 70.00% and 0.00%. The highest specific growth rate was control
treatment followed by concentration of 0.167 ppm and 0.334 ppm with values
respectively 1.39%, 0.76% and 0.07%.

Behavioral abnormalities experienced by fish indicate that the high
concentration of copper in water caused disorders of the respiratory system of fish.
Copper may decreased the absorption of Na+ by inhibiting NA+/K+ ATPase,
decreased the absorption of Cl- on the carbonic anhydrase activity, caused
disruption of ion exchange and inhibited the excretion of NH3. Direct contact with
Cu can damaged the olfactory sensory system. At sublethal concentrations, copper
gave a number of negative effects for catfish juvenile. Increased concentrations of
copper significantly reduced erythrocytes, hemoglobin and hematocrit. Decreased
erythrocytes is the impact of increased activity of superoxide dismutase to
neutralized free radicals as a result of environmental toxicant. Products produced in
the form of H2O2 caused lysis of red blood cell membrane or commonly called
hemolytic anemia. Hemolytic anemia caused a decrease in red blood cell count and
hematocrit. The high concentration of Cu decreased the absorption of iron (Fe) in
the intestine, caused a decrease in the activity of ferrireductase and impact on
haemoglobin synthesis inhibition. Increased concentrations of copper significantly
increased the bioaccumulation in organs. There was an increase in detoxification
by metallothionein in order to maintain homeostasis of the body that caused
accumulation of copper in the organs. Increased energy for detoxification and
maintenance of homeostasis caused the growth rate to be low and high feed
conversion.

Copper categorized as highly toxic to catfish juvenile with a LC50 -96 hours
value was 0.667 ppm (0.539 to 0.805 ppm). At sublethal concentrations, copper
significantly effected on decreased survival rates, growth, erythrocytes,
haemoglobin and hematocrit and caused an increased copper accumulation began
at 0.167 ppm concentration.
Keywords: bioaccumulation, haematological, catfish, copper

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TOKSISITAS TEMBAGA (Cu) TERHADAP HEMATOLOGI,
BIOAKUMULASI, SINTASAN DAN PERTUMBUHAN
JUVENIL IKAN PATIN (Pangasius sp)


DODY SIHONO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc

Judul Tesis : Toksisitas Tembaga (Cu) terhadap Hematologi, Bioakumulasi,
Sintasan dan Pertumbuhan Juvenil Ikan Patin (Pangasius sp)
Nama
: Dody Sihono
NIM

: C151120091

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Eddy Supriyono, MSc
Ketua

Dr Ir Mia Setiawati, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Akuakultur

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Widanarni, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 September 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah
toksikologi, dengan judul Toksisitas Tembaga (Cu) terhadap Hematologi,
Bioakumulasi, Sintasan dan Pertumbuhan Juvenil Ikan Patin (Pangasius sp).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Eddy Supriyono, MSc dan
Ibu Dr Ir Mia Setiawati, MSi selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Kukuh Nirmala,
MSc selaku dosen penguji luar yang telah banyak memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bupati Kabupaten Bangka Barat yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah
Pascasarjana IPB, serta rekan-rekan AKU 2012 yang telah membantu selama
penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, istri serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014
Dody Sihono

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis

1
1
2
3
3
3

2 METODE
Waktu dan Tempat
Prosedur Penelitian
Parameter Pengamatan
Analisis Data

3
3
3
5
8

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

8
8
15

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

19
19
19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Skoring gejala klinis toksisitas akut
Perlakuan uji sublethal tembaga pada juvenil ikan patin
Analisis parameter fisika kimia air pada uji toksisitas sublethal
Indeks toksisitas akut juvenil ikan patin pada uji toksisitas akut
Persentase mortalitas juvenil ikan patin dalam waktu 24 hingga 96 jam
akibat pengaruh konsentrasi Cu berbeda
Nilai LC50 Cu pada juvenil ikan patin
Kadar Cu pada organ juvenil ikan patin sebelum uji toksisitas sublethal
Akumulasi Cu pada organ juvenil ikan patin selama empat minggu uji
toksisitas sublethal
Faktor konsentasi Cu pada organ juvenil ikan patin selama empat minggu
uji toksisitas sublethal
Bobot rata-rata dan laju pertumbuhan juvenil ikan patin pada akhir
penelitian
Parameter kualitas air pada uji sublethal selama empat minggu

4
5
7
8
9
9
12
12
13
11
15

DAFTAR GAMBAR
1 Nilai LC50 -96 jam Cu pada juvenil ikan air tawar
2 Hemoglobin juvenil ikan patin pada uji toksisitas sublethal selama empat
minggu
3 Hematokrit juvenil ikan patin pada uji toksisitas sublethal selama empat
minggu
4 Eritrosit juvenil ikan patin pada uji toksisitas sublethal selama empat
minggu
5 Leukosit juvenil ikan patin pada uji toksisitas sublethal selama empat
minggu
6 Tingkat kelangsungan hidup juvenil ikan patin pada uji sublethal selama
empat minggu

9
10
10
11
11
14

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Prosedur analisis parameter hematologi
Prosedur destruksi sampel (Departemen Pertanian 2005)
Parameter fisika kimia air setiap minggu pada uji sublethal
Analisis sidik ragam dan uji lanjut (duncan) respons hematologi juvenil
ikan patin
5 Analisis sidik ragam dan uji lanjut (duncan) akumulasi Cu pada organ
hati, insang, kulit dan daging juvenil ikan patin
6 Analisis sidik ragam dan uji lanjut (duncan) tingkat kelangsungan hidup
(kh) juvenil ikan patin
7 Analisis sidik ragam dan uji lanjut (duncan) laju pertumbuhan juvenil
ikan patin

25
26
27
27
31
35
35

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meningkatnya kegiatan pertambangan, industri dan pertanian mempercepat
peningkatan konsentrasi tembaga (Cu) terlarut dalam badan perairan. Penelitian
Andarani dan Roosmini (2009) menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi Cu dalam
badan air sungai Cikijing sebelum menerima effluen dari industri tekstil adalah
0,0238 ppm (rentang: 0,017 ppm sampai 0,033 ppm) dan setelah menerima effluen
adalah 0,3265 ppm (rentang: 0,214 ppm sampai 0,54 ppm). Terjadi peningkatan
konsentrasi Cu yang sangat tajam, yaitu sebesar 1.274,74%. Penelitian Fitriyah et
al. (2013) juga menunjukkan tingginya konsentrasi Cu dalam badan air sungai
Surabaya yaitu antara 0,37-0,81 ppm, sedangkan pada sedimen antara 27,58-77,29
ppm. Peningkatan konsentrasi Cu juga terjadi dalam sedimen di Teluk Jakarta.
Penelusuran data menunjukkan, penelitian Hutagalung dan Nontji (1995),
kandungan Cu berkisar 7,2-53,9 ppm, Williams et al. (1997), kandungan Cu
berkisar 5,2-71,4 ppm, dan Rochyatun dan Rozak (2007), kandungan Cu berkisar
antara 0,79-193,75 ppm. Data menunjukkan konsentrasi Cu terus mengalami
peningkatan dari tahun 1995 hingga 2007.
Tembaga merupakan mikro mineral yang dibutuhkan dalam tubuh
organisme dalam jumlah yang sangat sedikit namun memiliki peran penting dalam
sejumlah proses enzimatik. Tembaga berperan dalam aktivitas enzim seperti
cytochrome oxidase, superoxide dismutase, lysyl oxidase, dopamine hydroxylase
dan tyrosinase (Watanabe et al. 1997). Tembaga adalah bagian penting dari
sitokrom oksidase, komponen penting yang terlibat dalam pembentukan
hemoglobin (USPHS 2004) dan terlibat dalam reaksi redoks yang penting dalam
sel (Halfdanarson et al. 2008). Selain itu, Cu dalam bentuk tembaga sulfat sering
digunakan dalam akuakultur untuk mengontrol penyakit dan blooming alga (Lin et
al. 2008).
Tembaga juga memiliki potensi memberikan efek negatif (Handy 2003),
bila masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah besar atau melebihi nilai
ambang batas. Anemia hemolitik, komplikasi umum dari keracunan tembaga sulfat,
disebabkan langsung baik oleh kerusakan membran eritrosit atau tidak langsung
sebagai akibat dari inaktivasi enzim yang melindungi diri terhadap stres oksidatif
(Dethloff et al. 2001). Stres oksidatif merupakan suatu kondisi ketika konsentrasi
radikal bebas lebih tinggi daripada antioksidan sehingga mengganggu metabolisme
sel dan merusak organ seluler (Lushchak 2011). Tembaga dapat terbioakumulasi
dan menjadi racun bagi organisme yang dibudidayakan (Carvalho dan Fernandes
2006). Kelebihan tembaga menyebabkan gangguan pada sejumlah proses fisiologis
yang meliputi terganggunya regulasi pertukaran ion di insang sehingga menurunkan
penyerapan oksigen (Blanchard 2009), tingginya kadar Cu dalam darah yang
menyebabkan anemia hemolitik (Dethloff et al. 2001) dan tingginya kebutuhan
energi untuk detoksifikasi (De Boeck et al. 1997). Tembaga menjadi aspek vital
pada penelitian ini karena dapat terbioakumulasi dalam jaringan tubuh dan dapat
mengganggu proses fisiologis ikan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan pemahaman
tentang toksisitas tembaga pada organisme air.

2
Sejumlah penelitian yang telah dilakukan dapat memberikan informasi
penting tentang dampak Cu dalam lingkungan perairan. Terdapat beberapa laporan
efek jangka pendek dan kronis paparan Cu pada fisiologis ikan (Beaumont et al.
2000; Antognelli et al. 2003; Carvalho dan Fernandes 2006). Toksisitas akut Cu
pada ikan terdapat pada disfungsi insang, sementara dampak kronis dari paparan
sublethal Cu juga terdapat pada organ lainnya, terutama pada organ hati yang
memiliki konsentrasi Cu tertinggi karena perannya pada detoksifikasi (Mela et al.
2013).
Penelitian mengenai dampak Cu terhadap juvenil biota budidaya telah
dilakukan pada crustacea seperti P. monodon (Chen dan Lin 2001), M. rosenbergii
(Reddy dan Pillai 2006) dan L. vannamei (Frias-Espericueta et al. 2008). Untuk
biota air tawar, penelitian dampak Cu pada juvenil ikan telah dilakukan pada
Clarias gariepinus (Olaifa et al. 2004), Channa punctatus (Singh et al. 2008),
Grass Carp (Nekoubin et al. 2012) dan O. niloticus (Monteiro et al. 2012).
Ikan patin (Pangasius sp) merupakan salah satu komoditas perikanan dalam
program percepatan industrialisasi dari jenis komoditas perikanan budidaya dengan
jumlah produksi pada tahun 2012 sebesar 651.000 ton (KKP 2014). Komoditas ini
dibudidayakan khususnya oleh masyarakat Bangka dengan memanfaatkan lahan
bekas tambang timah atau yang biasa disebut “kolong”. Menurut Henny (2011),
kandungan Cu pada perairan kolong berkisar antara 0,001-0,11 ppm. Nilai ini lebih
tinggi dari kandungan maksimum tembaga pada air untuk aktivitas budidaya
menurut PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air sebesar 0,02 ppm. Namun penelitian mengenai toksisitas logam
pada pemanfaatan kolong masih terbatas pada logam berat seperti Pb (Henny 2011;
Prasetiyono 2012). Terdapat potensi kandungan Cu pada kolong yang lebih tinggi
dari baku mutu akan menggagalkan produksi budidaya. Oleh karena itu, studi
mengenai toksisitas Cu terhadap juvenil ikan patin perlu untuk dilakukan.
Perumusan Masalah
Lingkungan perairan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha
budidaya ikan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran logam
tertentu dalam konsentrasi yang tinggi akan memberikan sejumlah dampak negatif
bagi ikan. Masalah utama pada kegiatan budidaya ikan dengan memanfaatkan
sumber air yang tercemar logam dalam konsentrasi tinggi adalah terjadinya
kematian ikan dan terakumulasinya logam ke dalam tubuh ikan. Ikan yang
terkontaminasi logam apabila dikonsumsi oleh manusia dapat membahayakan
kesehatan manusia. Tembaga dibutuhkan dalam tubuh organisme namun memiliki
potensi memberikan dampak negatif. Tingginya konsentrasi tembaga yang
mencemari perairan dapat mengganggu proses kelangsungan hidup juvenil ikan,
karena tembaga erat kaitannya dengan insang sehingga akan menyebabkan
gangguan pada sistem pernapasan ikan. Tembaga dapat menurunkan penyerapan
Na+ dengan menghambat NA+/K+ ATPase, menurunkan penyerapan Cl- pada
aktivitas karbonik anhidrase, menyebabkan gangguan pertukaran ion dan
menghambat ekskresi NH3. Terganggunya sistem pernafasan ikan berdampak pada
menurunnya suplai oksigen dalam tubuh ikan yang menyebabkan rendahnya
oksigen yang diikat oleh sel darah merah sehingga aktivitas kerja enzim dan
metabolisme tubuh menjadi terganggu.

3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis toksisitas Cu pada konsentrasi
akut, serta menganalisis pengaruh Cu pada konsentrasi sublethal terhadap respons
hematologi, akumulasi Cu, tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil
ikan patin (Pangasius sp).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang dampak
toksisitas Cu dengan berbagai konsentrasi pada juvenil ikan patin (Pangasius sp).

Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian di atas maka
hipotesis yang dikemukakan adalah konsentrasi tembaga yang berbeda pada media
akan memberikan respons yang berbeda terhadap respons hematologi, akumulasi
Cu, tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil ikan patin (Pangasius sp).

2 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2014 di
Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan (BDP) IPB.
Analisis respons hematologi dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan BDP IPB.
Analisis bioakumulasi tembaga dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak
Perah dan Laboratorium Kimia Bersama IPB.

Prosedur Penelitian
Uji Toksisitas Akut
Uji ini menggunakan akuarium berukuran 30x40x50 cm3. Ikan uji adalah
juvenil ikan patin (Pangasius sp) dengan panjang total 11±1 cm dan bobot 13±0,97
gram. Padat tebar ikan uji adalah 10 ekor per akuarium. Bahan pencemar yang
digunakan adalah Tembaga(II) Sulfat Anhidrat (CuSO4).
Tujuan uji ini adalah untuk mengetahui toksisitas akut tembaga yang
dinyatakan oleh nilai lethal median concentration (LC50). Nilai LC50 adalah nilai
yang dapat mematikan 50% jumlah ikan uji. Nilai LC50 Cu yang lazim digunakan
sebagai konsentrasi pada uji toksisitas sublethal adalah LC50 -96 jam (Singh et al.
2008; Monteiro et al. 2012; Nekoubin et al. 2012). Ikan patin merupakan keluarga
catfish sehingga guna meminimalkan rentang konsentrasi uji, perlakuan pada uji
toksisitas akut merujuk pada LC50 -96 jam juvenil Clarias gariepinus menurut

4
Olaifa et al. (2004). Uji ini terdiri atas 4 perlakuan dan 1 kontrol dengan 2 ulangan.
Konsentrasi tembaga yang digunakan yaitu K (kontrol), A (0,2), B (0,7), C (1,2)
dan D (1,7) ppm. Perhitungan konsentrasi larutan uji mengacu pada persamaan
berikut:
V1 N1 = V2 N2
Keterangan :
N1 : Konsentrasi tembaga dalam larutan stok (mg l-1)
V1 : Volume larutan stok yang akan diambil (ml)
N2 : Konsentrasi tembaga yang diinginkan dalam media air (mg l-1)
V2 : Volume media air penelitian yang diinginkan (ml)
Selama uji dilakukan pergantian air 100% setiap 12 jam dengan sistem flowthrough. Jumlah konsentrasi Cu sama setiap pergantian air. Selama uji tidak
dilakukan pemberian pakan. Parameter yang diukur adalah mortalitas ikan yang
dihitung pada jam ke- 0, 6, 12, 18, 24 dan selanjutnya dilakukan perhitungan setiap
12 jam sekali sampai jam ke- 96.
Salah satu parameter pengamatan pada uji toksisitas akut adalah gejala
klinis toksisitas dengan indikator pengamatan tingkah laku ikan uji meliputi pola
gerak renang dan refleksi (normal, diam di dasar, ke permukaan, tidak seimbang,
atau kehilangan gerak reflek). Metode skoring adalah teknis analisis data kuantitatif
yang digunakan untuk memberikan nilai pada masing-masing karakteristik
parameter dari sub-sub variabel agar dapat dihitung nilainya serta dapat ditentukan
peringkatnya (Powers dan Xie 2008). Metode skoring pada penilaian gejala klinis
toksisitas akut pada akuakultur belum pernah dilakukan. Pada penelitian ini
dilakukan skoring terhadap gejala klinis toksisitas akut melalui nilai yang disebut
Indeks Toksisitas Akut (ITA).
Tabel 1 Skoring gejala klinis toksisitas akut

Perilaku

Harkat
(H)

Aktifitas renang
minim, berada di
dasar wadah uji

1

Berenang tidak
seimbang,
menabrak dinding
wadah uji

2

Melompat-lompat
dari air

3

Berenang terbalik
hingga mati

4

Rentang
paparan
< 12 jam
12-24 jam
24-48 jam
48-96 jam
< 12 jam
12-24 jam
24-48 jam
48-96 jam
< 12 jam
12-24 jam
24-48 jam
48-96 jam
< 12 jam
12-24 jam
24-48 jam
48-96 jam

Total organisme
mengalami (%)
15
Tinggi
: 10 < ITA ≤ 15
Sedang
5 < ITA ≤ 10
Rendah
: ITA < 5
Untuk dapat menentukan nilai LC50 dilakukan analisis probit dengan SPSS
18.0. Analisis probit adalah suatu cara transformasi statistik dari data persentase
kematian ke dalam varian yang disebut probit dan kemudian digunakan untuk
menentukan fungsi regresi probit dengan log konsentrasi agar dapat mengestimasi
LC50. Hasil perhitungan LC50 dilanjutkan dengan mengklasifikasikan dalam
kategori tingkat toksisitas berdasarkan kriteria toksisitas yang dikeluarkan oleh
Komisi Pestisida Departemen Pertanian yaitu :
Sangat tinggi
: LC50 < 1 ppm
Tinggi
: 1 ppm < LC50 ≤ 10 ppm
Sedang
: 10 ppm < LC50 ≤ 100 ppm
Rendah
: LC50 > 100 ppm
Uji Toksisitas Sublethal
Uji ini menggunakan akuarium berukuran 100x50x50 cm3. Ikan uji adalah
juvenil ikan patin (Pangasius sp) dengan panjang total 11±1,7 cm dan bobot
13±2,72 gram. Padat penebaran ikan uji adalah 20 ekor per akuarium. Sistem
pemeliharaan dilengkapi dengan aerasi. Pemberian pakan tiga kali sehari secara at
satiation. Penggantian air 75% dengan konsentrasi Cu yang sama dilakukan setiap
dua hari dengan sistem flow-through. Ikan dipelihara selama empat minggu.
Sampling dilakukan setiap tujuh hari. Rancangan penelitian menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan konsentrasi Cu berbeda. Setiap
perlakuan memiliki tiga ulangan.
Tabel 2 Perlakuan uji sublethal tembaga pada juvenil ikan patin
Perlakuan
K
A
B
C

Keterangan
Tanpa Penambahan Cu
Cu dengan konsentrasi 25% dari LC50-96jam
Cu dengan konsentrasi 50% dari LC50-96jam
Cu dengan konsentrasi 75% dari LC50-96jam

Nilai Konsentrasi
0 ppm
0,167 ppm
0,334 ppm
0,500 ppm

Parameter Pengamatan
Respons Hematologi
Darah mempunyai fungsi vital diantaranya adalah mengedarkan nutrien ke
seluruh sel tubuh, membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh serta membawa
hormon dan enzim ke organ yang memerlukannya (Wedemeyer 1996). Tingginya

6
kadar Cu dalam darah dapat menyebabkan anemia hemolitik, yaitu peningkatan
terjadinya lisis pada membran sel darah merah (Dethloff et al. 2001), penghambatan
sintesis hemoglobin (Pamila et al. 1991) dan menurunkan hematokrit (Georgieva et
al. 2010). Leukosit berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Perubahan yang
diamati dalam parameter hematologi dapat digunakan sebagai indikator stres yang
diakibatkan oleh peningkatan kadar tembaga (Ciji dan Nandan 2014).
Prosedur analisis hematologi dapat dilihat pada Lampiran 1 dengan
pengamatan dan pengukuran respons hematologi terdiri atas:
a. Hemoglobin: metode yang digunakan metode sahli dengan sahlinometer
(Wedemeyer dan Yasutake 1977).
b. Hematokrit adalah perbandingan antara volume sel darah dengan total volume
darah (Anderson dan Siwicki 1993).


� =



�� �ℎ
×
�� �ℎ

c. Jumlah eritrosit
Σ eritrosit = Σ sel terhitung x 104 sel/mm3 (Blaxhall dan Daisley 1973)
d. Jumlah leukosit
Σ Leukosit = Σ sel terhitung x 50 sel/mm3 (Blaxhall dan Daisley 1973)
Kandungan Cu di Air dan Ikan
Kandungan Cu dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer serapan
atom (Atomic Absorption Spectrophotometer) (SNI 6989.6:2009). Prinsip
analisisnya berdasarkan Hukum Lambert-Beert yaitu banyaknya sinar yang diserap
berbanding lurus dengan kadar zat. Persamaan garis antara konsentrasi logam
dengan absorbansi adalah persamaan linier dengan koefisien arah positif: Y = a +
bX. Cara kerjanya yaitu berdasarkan atas penguapan larutan sampel yang kemudian
logam terkandung didalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut
mengabsorpsi radiasi dari sumber cahaya dari lampu katoda (Hollow Cathode
Lamp) yang mengandung unsur target. Banyaknya penyerapan radiasi kemudian
diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya. Pada ikan,
kandungan Cu diuji pada hati, insang, kulit dan daging. Sebelum dianalisis dengan
Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), tiap sampel organ mengalami proses
destruksi hingga menjadi larutan sampel. Prosedur destruksi sampel dapat dilihat
pada Lampiran 2.
Faktor Konsentrasi
Faktor konsentrasi (FK) merupakan rasio kadar logam dalam tubuh ikan
dengan kadar logam dalam air. Kumar dan Achyuthan (2007) menyampaikan
bahwa faktor konsentrasi digunakan untuk menghitung perkiraan jumlah masukan
logam dari lingkungan sekitar dan dirumuskan sebagai berikut :
�K =

Kadar Cu pada ikan ppm
Kadar Cu dalam air ppm

Hasil perhitungan FK dilanjutkan dengan mengklasifikasikan dalam
kategori tingkat akumulasi berdasarkan Van Esch (1977) yaitu :
Akumulasi rendah : FK < 100
Akumulasi sedang : 100 < FK ≤ 1000
Akumulasi tinggi
: FK > 1000

7

Tingkat Kelangsungan Hidup (KH)
Ikan yang dipelihara diamati setiap hari. Ikan yang mati dikeluarkan dari
wadah uji, dicatat dan tidak dilakukan pergantian ikan. Tingkat kelangsungan hidup
ikan dihitung dengan rumus berikut (Steffens 1989) :

� % =
×

Keterangan =
KH = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt
= Jumlah ikan yang hidup pada waktu t
N0
= Jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian
Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS)
Data laju pertumbuhan ikan uji diperoleh dengan melakukan pengambilan
ikan uji pada awal dan akhir penelitian, kemudian ditimbang beratnya. Laju
pertumbuhan dianalisis dengan menggunakan rumus berdasarkan Effendie (1979):


dengan =
α
=
Wt
=
Wo =
t
=

�= √



×

laju pertumbuhan spesifik (%)
bobot rata-rata individu pada waktu t (g)
bobot rata-rata individu pada waktu t0 (g)
lama waktu pemeliharaan (hari)

Konversi Pakan (KP)
Konversi pakan dihitung dengan rumus berikut (Steffens 1989) :

×
�� % =


Keterangan =
KP = Konversi pakan (%)
F
= Jumlah pakan yang diberikan (g)
Wt = Bobot total ikan pada akhir pemeliharaan (g)
Wd = Bobot total ikan yang mati selama pemeliharaan (g)
W0 = Bobot total ikan pada awal pemeliharaan (g)

Fisika Kimia Air
Tabel 3 Analisis parameter fisika kimia air pada uji toksisitas sublethal
Parameter
Suhu
DO
pH
Alkalinitas
Kesadahan
TAN

Satuan
0
C
mg l-1
mg l-1
mg l-1
mg l-1

Alat
Termometer
DO meter
pH meter
Titrasi
Titrasi
Spektrofotometer

8

Analisis Data
Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis menggunakan program
Microsoft Excel 2013 dan SPSS 18.0, yang meliputi Analisis Ragam (ANOVA)
dengan uji F pada selang kepercayaan 95%, untuk menentukan ada atau tidaknya
pengaruh perlakuan terhadap respons hematologi, kandungan Cu pada ikan, laju
pertumbuhan, konversi pakan dan tingkat kelangsungan hidup. Apabila
berpengaruh nyata, untuk melihat perbedaan antar perlakuan, diuji lanjut
menggunakan uji Duncan. Data fisika kimia air dianalisis secara deskriptif
menggunakan tabel.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Toksisitas Akut
Hasil uji toksisitas akut pengaruh Cu terhadap tingkat mortalitas juvenil ikan
patin (Pangasius sp) dengan 5 konsentrasi berbeda diperoleh hasil sebagai berikut:
Gejala Klinis Toksisitas Akut
Tabel 4 Indeks toksisitas akut juvenil ikan patin pada uji toksisitas akut
Perilaku
1. Aktifitas renang minim,
berada di dasar wadah uji
2. Berenang tidak seimbang,
menabrak dinding wadah uji
3. Melompat-lompat dari air
4. Berenang terbalik hingga mati
Total indeks
Kategori

0,208

Perlakuan (ppm)
0,706
1,205

1,705

0,5

1,0

2,0

2,0

0,5

1,5

3,0

3,0

0,75
1,0
2,75

3,0
2,0
7,5

4,5
2,0
11,5

Rendah

Sedang

Tinggi

4,5
6,0
15,5
Sangat
tinggi

Toksisitas Akut Tembaga
Toksisitas akut digambarkan oleh nilai lethal median concentration (LC50).
Untuk mendapatkan nilai LC50 tembaga pada juvenil ikan patin diperlukan data
mortalitas ikan uji yang dihitung pada jam ke- 0, 6, 12, 18, 24 dan selanjutnya
dilakukan perhitungan setiap 12 jam sekali sampai jam ke- 96.

9
Tabel 5 Persentase mortalitas juvenil ikan patin dalam waktu 24 hingga 96 jam
akibat pengaruh konsentrasi Cu berbeda
Konsentrasi Cu
(ppm)
0
0,208
0,706
1,205
1,705

24 Jam
0
0
0
5 ± 0,071
5 ± 0,071

Mortalitas (%)
48 Jam
72 Jam
0
0
0
10
0
30
35 ± 0,071 80 ± 0,141
95 ± 0,071
100

96 Jam
0
10
55 ± 0,071
95 ± 0,071
100

Hasil analisis probit SPSS 18.0, nilai LC50 Cu untuk juvenil ikan patin dapat
dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 6 Nilai LC50 Cu pada juvenil ikan patin
LC50

Konsentrasi (ppm)

95% confidence limits

24 Jam
48 Jam
72 Jam
96 Jam

3,244
1,306
0,855
0,667

1,182 – 1,430
0,712 – 1,011
0,539 – 0,805

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat toksisitas logam adalah
spesies yang berbeda. Gambar 1 menunjukkan perbandingan nilai LC50 -96 jam Cu
pada juvenil ikan air tawar.
Grass Carp

1,717

Nile Tilapia
C. gariepinus
Pangasius sp

1,207
0,670
0,667 (Penelitian ini)
Nilai LC50 -96 jam (ppm)

Gambar 1 Nilai LC50 -96 jam Cu pada juvenil ikan air tawar (Olaifa et al. 2004;
Monteiro et al. 2012; Nekoubin et al. 2012)
Uji Toksisitas Sublethal
Uji toksisitas sublethal dilakukan selama empat minggu, bertujuan untuk
mengetahui pengaruh Cu terhadap respons hematologi, akumulasi Cu pada organ,
tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil ikan patin.
Respons Hematologi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada minggu pertama paparan, kadar
hemoglobin pada perlakuan 0,500 ppm dan 0,334 ppm meningkat dari rerata kadar
hemoglobin 8,4 g% pada kondisi awal menjadi 10,53 g% dan 9,73 g%. Pada akhir

10

Hemoglobin (gram %)

penelitian, kadar hemoglobin menjadi 7,57 g% untuk perlakuan 0,500 ppm dan 8,30
g% untuk perlakuan 0,334 ppm. Pada perlakuan kontrol dan 0,167 ppm, kadar
hemoglobin pada akhir penelitian adalah 9,5 g% dan 9,23 g%.
13.00
12.00
11.00
10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00

K (0 ppm)
a

a a
a

a a
a a

a a
a a

a

A (0,167 ppm)
a

ab b

B (0,334 ppm)
C (0,500 ppm)

0

1

2
Minggu ke-

3

4

Huruf yang berbeda pada minggu yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p