PANCASILA TAUHID SOSIAL DALAM KEHIDUPAN

Zakiyuddin Baidhawy

PANCASILA TAUHID SOSIAL DALAM
KEHIDUPAN BERBANGSA DAN
BERNEGARA
Zakiyuddin Baidhawy

Pendahuluan
Era reformasi hampir dua dekade berjalan. Namun reformasi tanpa arah
yang jelas telah berkontribusi atas ruwetnya penyelenggaraan Negara untuk
menyejahterakan dan memakmurkan warganya baik dalam bidang sosial,
budaya, politik dan ekonomi. Pada saat yang sama, Pancasila sebagai ideologi
pembangunan nasional mengalami krisis kepercayaan. Ruh Pancasila tidak lagi
menyemangati gelora pembangunan untuk memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan bangsa. Ekonomi Pancasila yang berasaskan kekeluargaan
hampir ditelan habis oleh neoliberalisme. Bumi, air dan udara, dan segala yang
menguasai hajat hidup orang banyak sudah dikapling-kapling oleh kekuatan
modal. Banyak BUMN yang diamanati mengelola hajat rakyat ini telah
diakuisisi kepemilikannya oleh asing.
Sementara itu, sebagian umat Islam masih bercita-cita mengembalikan tujuh
kata pada sila pertama sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta. Sebagian

lain berjuang untuk menegakkan syariat Islam; Sebagian lagi menolak mentahmentah bukan hanya Pancasila bahkan juga Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan hendak menggantikannya dengan Khilafah Islamiyah dan
syariat Islam.1

1

Bentuk-bentuk penolakan terhadap Pancasila dan upaya-upaya untuk menegakkan syariat Islam sebaga
dasar Negara dan perjuangan menggantikan NKRI dengan khilafah Islamiyah, dengan cermat telah
ditelaah oleh Haedar Nashir dalam bukunya Islam Syariat (Bandung: Maarif Institute dan Mizan, 2013).

41

Pancasila Tauhid Sosial dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara

Sebagian tokoh Muslim Indonesia, M. Amien Rais dan Hadimulyo misalnya,
berpendapat bahwa Pancasila sesungguhnya adalah suatu ideologi Islam atau
doktrin kenegaraan Islam versi Indonesia, dan empat pilar Negara –Pancasila,
UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika – adalah konsensus kebangsaan
yang final. Muhammadiyah menyebut Negara Pancasila sebagai Dar al-`Ahd

wa al-Syahadah. Sayangnya selama reformasi isu mengenai Negara Islam terus
menguat. Kehadiran wacana dan gerakan Negara Islam Indonesia (NII)
menimbulkan kesan kuat bahwa kontroversi gagasan Negara Islam versus
Negara Pancasila belum selesai.2 Secara formal-politis mungkin masalah ini
dapat dianggap selesai, namun diskursus ini ternyata belum usai. Cita-cita
mendirikan dan menegakkan Negara Islam di Indonesia masih diperjuangkan
oleh kelompok-kelompok semisal NII, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Anshorut Tauhid (JAT).
Kelompok-kelompok ekstrem minoritas bahkan menyebut Pancasila dan tiga
pilar lainnya sebagai ideologi “taghut”. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan empat
sila lainnya yang merupakan cermin dari paham Tauhid Sosial yang membumi
ditolak. Mereka lebih memilih “Tauhid Rububiyah, Mulkiyah dan Ubudiyah
(tauhid RMU) sebagaimana dipahami NII. Sebagian lainnya mengusung Tauhid
Hakimiyah sebagaimana JI yang mengharuskan “Negara Islam” dan syariat
Islam sebagai konstitusi Negara. Untuk mencapai tujuan mereka, kelompok
NII menyatakan pemberontakan (bughah) terhadap pemerintahan yang sah; JI
menghalalkan terorisme (irhabiyah) untuk meraih tujuan mereka.3 Akhirnya,
Pancasila dan butir-butir maknanya yang mencerminkan wajah teologi dan
falsafah Islam mulai disangsikan dan ditolak keberadaannya.
Krisis pemaknaan atas Pancasila, yang berujung pada penolakan, merupakan

persoalan serius bangsa dan umat Islam khususnya. Persoalan tersebut
memotivasi tulisan ini hadir. Tulisan ini bermaksud membangun makna baru
yang hidup mengenai relasi sila Ketuhanan dengan sila-sila berikutnya dalam
kerangka Tauhid Sosial. Tulisan ini ingin menawarkan alternatif pemikiran dan
pemaknaan mengenai basis teologis-filosofis Pancasila, dan memberikan suatu
pandangan baru tentang urgensi menghidupkan Pancasila sebagai ekspresi dari
Tauhid Sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

42

2

Lihat M. Dawam Rahardjo, “Kritik Nalar Negara Islam”, Islamlib.com,http://islamlib.com/?site+1&aid=152
3&cat=content&cid=11&title=kritik-nalar-negara-islam, diakses pada 17 Juli 2013.

3

Lihat dan baca lebih lanjut hasil kajian Solahudin, NII sampai JI: Salai Jihadisme di Indonesia (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2011).


MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

Zakiyuddin Baidhawy

Tauhid: Ketuhanan Yang Maha Esa
Bangsa Indonesia pada umumnya merupakan masyarakat religius. Kesadaran
akan Sang Pencipta tumbuh subur di kalangan pemeluknya karena ladang
agama-agama dipupuk dan dipelihara. Agama-agama diberikan tempat
untuk hidup dan berkembang oleh pemerintah dan masyarakatnya; para
penganutnya bebas mengembangkan keimanannya kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Frase “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Dasar Negara
Republik Indonesia merupakan kearifan dalam merengkuh dan merangkul
keanekaragaman agama-agama.
Islam dan masyarakat Muslim adalah penyusun terbesar bangunan kebangsaan
di negeri ini. Proses penyebaran melalui penetrasi damai, membuat Islam
Indonesia menjadi kekuatan penjaga harmoni. Mereka juga rela berkorban
menghapus 7 kata dalam sila pertama Pancasila demi mempertahankan rajutan
kemajemukan bangsa. Akhirnya sila ini diterima dan dapat menampung semua
kepentingan kepercayaan dan agama-agama yang ada tanpa terjebak ke dalam
egoisme menjadikan Islam (atau agama manapun) sebagai agama negara.

Islam dan masyarakat Muslim memandang penting urusan keyakinan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan kepada Tuhan adalah ajaran inti dari risalah
Islam. Kita mengenalnya dengan sebutan tauhid. Mengesakan Allah merupakan
ajaran pertama yang mesti dipersaksikan oleh dan disampaikan kepada umat
manusia. Karena keimanan kepada tauhid ini dan implementasinya dalam
bentuk ritual dan penghambaan kepada Allah menguatkan ikatan-ikatan
spiritual antara Khalik dan makhluk. Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah
hablun min Allah.

Hablun min Allah
Hablun adalah kosa kata al-Qur’an yang mengandung beberapa makna sekaligus.
Pertama, ikatan (ribath). Seorang pemilik unta harus menambatkan tali untanya
ke sebuah pohon agar tidak lepas. Ketika al-Qur’an memerintahkan orangorang beriman untuk berpegang teguh kepada tali Allah (QS. Ali Imran 3:
103), itu artinya mereka harus memegangi agama Allah dan mengikatkan diri
dengan kuat dan istiqamah, mengikuti petunjuk-petunjuk kitab suci-Nya, dan
jangan bercerai-berai. Kedua, kontrak atau perjanjian (al-`ahd) antara manusia
dan Tuhan.4 Dua makna di atas menggarisbawahi bahwa hablun min Allah
mengandung muatan berupa ikatan, relasi, dan kontrak yang mengikat antara
4


Ibnu Manzhur, Lisan al-`Arab (Beirut; Dar al-Sadr, 1990), vol. 11, hlm. 134.

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

43

Pancasila Tauhid Sosial dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara

hamba dan Khalik. Bentuk-bentuk ikatan, relasi dan kontrak tersebut mencakup
antara lain sebagai berikut.
Pertama, fitrah atau kondisi asali manusia. Fitrah adalah kontrak primordial
antara ruh dan Tuhan di dalam rahim. Setelah ruh dihembuskan ke dalam
jasad manusia, Tuhan membuat perjanjian dengannya yang berisi pengakuan
dan persaksian akan ketuhanan Allah (QS. al-Rum 30: 30; Al-A`raf 7: 172).
Perjanjian ini mengikat hubungan primordial manusia-Tuhan; kontrak
ini melandasi kepatuhan, ketundukan, kepasrahan seorang hamba kepada
Penciptanya. Dengan memperkokoh ikatan (aqidah) ini, manusia telah menjaga,
mempertahankan serta memelihara kedekatannya dengan Allah. Kesadaran
spiritualnya senantiasa tumbuh subur oleh siraman pengabdian ruhani kepadaNya.

Kedua, ibadah. Pengabdian kepada Allah dalam bentuk ibadah, ritual, dan
doa merupakan pembuktian diri orang beriman untuk memenuhi perjanjian
primordial dengan Allah. Jika fitrah menjadi landasan utama kesadaran akan
hubungan primodial hamba-Khalik, maka ibadah adalah manifestasi batiniahlahiriah dari hubungan itu. Orang-orang beriman mesti menjalankan rukunrukun Islam yang lima: Syahadat adalah pembuktian lisan untuk menguatkan
fitrah ketuhanan; shalat merupakan persembahan dan kepasrahan diri secara
total kepada Allah; puasa adalah upaya penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) untuk
mencapai kedekatan dan ketaqwaan kepada Allah; zakat merupakan ritual
penyucian harta/kekayaan yang Allah anugerahkan dari hak-hak yang tidak
sepatutnya dikonsumsi; dan haji adalah ritual perjalanan ke rumah Allah
yang Suci (baytullah) untuk meneladani penghambaan, pengorbanan, dan
kepasrahan nabi-nabi Islam.
Ketiga, taqwa. Taqwa adalah terma yang paling komprehensif, inklusif dan
aplikatif meliputi tanggung jawab di hadapan Tuhan dan sekaligus manusia
(QS. al-Layl 92:4-10 dan al-Hujurat 49:13). Dengan taqwa, individu beriman
memelihara diri dari segala yang menyebabkannya jatuh dalam kehinaan
dan kenistaan, dan menjaga diri agar tetap berada di jalan-Nya. Taqwa dalam
konteks relasi hamba-Khalik merupakan moralitas individual yang momot
nilai-nilai untuk menjaga harmoni dengan Allah. Bartaqwa berarti bebas dari
prasangka (zhann) buruk kepada Allah. Karena Allah akan mengikuti apa yang
diprasangkakan manusia atas-Nya. Jika ia berprasangka buruk maka keburukan

akan menimpanya; sebaliknya bila ia berprasangka baik kepada Allah, maka
kebaikan yang akan diperolehnya. Taqwa memfasilitasi keseimbangan etika,

44

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

Zakiyuddin Baidhawy

estetika dan spiritual dalam kehidupan orang beriman. Harmoni hambaAllah bukan semata berada dalam wilayah spiritual, bahkan wilayah etis di
mana individu harus peduli kebaikan kepada-Nya dan sesamanya, dan wilayah
estetika di mana keindahan merupakan manifestasi dari Maha Indahnya Allah
(al-Jamal).
Keempat, toleransi. Islam sepenuhnya mendukung kehidupan demokrasi dalam
bidang keagamaan melalui proteksi atas hak asasi beragama/berkepercayaan,
dan menjamin kebebasan menjalankan ajaran-ajaran agama atau kepercayaan
masing-masing pengikutnya, yang juga sejalan dengan Dasar Negara Pancasila
dan UUD 1945 khususnya pasal 29. Ketika demokrasi beragama mengalami
stagnasi, maka kemerdekaan menjadi taruhannya. Para pemeluk agama merasa
dibatasi kebebasannya dalam beribadah, menjalankan ajaran-ajaran agamanya,

dan mendakwahkan agamanya kepada sesamanya tanpa jalan paksaan. Kasuskasus perusakan, pemusnahan, pembakaran rumah ibadah, pelarangan
penyelenggaraan ibadah di beberapa tempat seperti di Bandung, Bekasi, Solo.
Cikeusik, Temanggung, dll, merupakan contoh betapa amanat UUD 1945
mulai dikoyak-koyak kepentingan dan sentimen sektarian.
Demokrasi keagamaan dalam al-Qur’an dinyatakan secara gamblang dengan
pernyataan “tidak ada paksaan dalam agama” (QS. al-Baqarah 2: 256). Ayat
ini mengandung dua sudut pandang hukum: hukum agama menggarisbawahi
tidak boleh ada paksaan sedikitpun untuk bergama; dan hukum syariat
melarang menekan manusia agar mengikuti keimanan tertentu dalam situasi
terpaksa. Paksaan menyebabkan manusia bekerja dibawah pengaruh eksternal,
bukan dorongan nurani sehingga pilihannya tidak dapat dipertanggung
jawabkan.5 Paksaan juga bertentangan dengan dua hal, yakni kehendak Si
Pembuat Perintah yang Maha Bijaksana dan Pemelihara orang-orang berakal,
yaitu Allah swt. Tekanan tidak akan menyampaikan manusia pada terangnya
masalah kebenaran (al-Haqq). Paksaan juga bertentangan dengan rasio, karena
paksaan dan semacamnya tidak dapat menjelaskan aspek-aspek kebaikan dan
keburukan, juga tidak memberikan jalan keluar bagi manusia untuk memiliki
kebebasan memilih bagi dirinya sendiri. Memaksa manusia untuk beriman,
selain berlawanan dengan kebebasan manusia (al-istiqlal), juga bertentangan
dengan kehendak dan Iradah Allah.6

5

Muhammad Husein al-Thabathaba`i, al-Mizan i Tafsir al-Qur’an (Beirut: al-Mu’assasah al-A`lami alMatbu`at, 1991), vol. 2, hlm. 347.

6

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), vol. 11, hlm. 158.

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

45

Pancasila Tauhid Sosial dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara

Islam hanyalah satu di antara banyak agama yang hidup di negara ini. Karenanya
toleransi merupakan keniscayaan. Islam secara terbuka dan jujur mengakui
keberadaan agama-agama terdahulu atau yang sezaman. Islam siap untuk untuk
hidup berdampingan (ko-eksistensi) dengan mereka. Islam sama sekali tidak
membawa umatnya untuk bersikap masa bodoh, apatis dan pura-pura tidak

tahu (ignorance) atas hadirnya orang lain agama (the religious others). Ini juga
menjadi cita-cita luhur para pendiri bangsa Ini.
Lebih dari sekadar ko-eksistensi, Islam mengarahkan penganutnya menghadapi
dan memecahkan problem bersama umat manusia. Inilah yang disebut proeksistensi. Hidup bersama secara berdampingan berarti menghargai keragaman
agama-agama sekaligus tetap loyal pada identitas agamanya sendiri. Sikap
penghargaan dan penghormatan semacam ini diterangkan dalam sebuah surat
al-Kafirun 109: 1-6.

Hablun min al-Nas: Manifestasi Sosial Tauhid
Paparan singkat tentang hablun min Allah, yang sesungguhnya berada pada level
hubungan vertikal, mengimplikasikan pentingnya hablun min al-nas, sehingga
tauhid mempunyai dampak sosial konkret dalam kehidupan. Hablun min alnas adalah relasi, ikatan, kontrak antar individu-individu dan atau kelompokkelompok manusia untuk mengatur kehidupan bersama. Relasi, ikatan, dan
kontrak dapat terjadi pada berbagai pengelompokan sosial, yang dalam
istilah al-Qur’an disebut “ummat” – mulai kelompok keagamaan, komunitas/
masyarakat, bangsa, dan umat manusia secara global. Kontrak sifatnya mengikat
dan mengatur hubungan-hubungan sosial, baik dalam bentuk tertulis maupun
konvensi. Misal, kontrak sosial yang dibuat Nabi Muhammad yang melibatkan
kelompok Muhajirin, suku-suku Anshar dan suku-suku Yahudi di Madinah dan
menghasilkan Piagam Madinah. Piagam ini mengandung kesepakatan mengenai
pembinaan persatuan dan kesatuan, keamanan dan perluasan wilayah, hukum
dan kebebasan beragama, perdamaian, sanksi dan perang. Kesepakatan ini juga
menyediakan perlindungan bagi semua kelompok sosial yang terlibat kontrak,
tak terkecuali perlindungan bagi kelompok minoritas (ahl al-dhimmah).7
Hablun min al-nas menghendaki nilai-nilai lain yang dibutuhkan dalam
mengatur relasi-relasi sosial antara lain: Pertama, ta`aruf atau saling mengenalmemahami adalah kesadaran bahwa nilai-nilai mereka dan kita dapat berbeda

7

46

Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945 (Jakarta: UI Press, 1995Sukardja, 1995), hlm. 60-78.

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

Zakiyuddin Baidhawy

dan mungkin saling melengkapi serta memberi kontribusi terhadap relasi yang
dinamis, sehingga pihak lain merupakan mitra dan kemitraan menyatukan
kebenaran-kebenaran parsial dalam suatu relasi. Kawan sejati adalah lawan
dialog yang senantiasa setia untuk menerima perbedaan dan siap pada segala
kemungkinan untuk menjumpai titik temu di dalamnya, serta memahami
bahwa dalam perbedaan dan persamaan, ada keunikan-keunikan yang tidak
dapat diseragamkan oleh para partisipan dalam kemitraan (QS. Al-Hujurat 49:
13).
Kedua, ta`awun, yaitu kesadaran dan kesediaan untuk hidup bersama, bertetangga
dengan yang lain secara kultural, agama dan etnik dan menindaklanjuti
kebersamaan, kebertetanggaan dan kesalingkenalan itu pada kerjasama, saling
memberi dan menerima, dan siap berkorban dalam keragaman untuk tujuantujuan dan kebaikan bersama (QS. Al-Maidah 5: 2).
Ketiga, tafahum yaitu sikap saling menghormati dan menghargai sesama manusia,
yang dengannya kita dapat dan siap untuk mendengarkan suara dan perspektif
agama lain; menghargai signifikansi dan martabat semua individu dan
kelompok yang beragam. Menjaga kehormatan tidak dengan mengorbankan
kehormatan orang lain apalagi dengan menggunakan sarana dan tindakan
kekerasan. Saling menghargai membawa pada sikap saling berbagi di antara
semua individu dan kelompok.
Keempat, kompetisi dalam prestasi (fastabiq al-khayrat): keanekaragaman yang
setara mendukung terbukanya individu dan atau kelompok untuk saling
berlomba-lomba secara jujur dan sehat untuk mengejar kebaikan, prestasi, dan
kualitas dalam berbagai aspek kehidupan sosial (QS. al-Maidah 5: 48).
Kelima, sulh dan islah adalah alat untuk membangun jembatan dua pihak
atau lebih yang terlibat ketegangan dan konflik sosial (QS. al-Anfal 8:1). Sulh
adalah rekonsiliasi untuk mempertemukan konsep-konsep kebenaran, belas
kasihan dan keadilan setelah kekerasan sosial terjadi. Sulh juga merujuk pada
perjanjian damai, seperti Sulh Hudaibiyah (Perjanjian Hudaibiyah). Sementara
islah (conflict resolution) merupakan tindakan yang menekankan hubungan erat
antara dimensi-dimensi psikologis dan politik kehidupan komunal melalui
pengakuan bahwa luka-luka yang diderita oleh individu dan kelompok akan
membusuk dan meluas jika tidak dipahami, diperbaiki, dimaafkan dan diatasi.
Resolusi konflik dipergunakan untuk mencapai rekonsiliasi atas permusuhan
berdarah, horor kejahatan, dan kasus-kasus pembunuhan.

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

47

Pancasila Tauhid Sosial dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara

Paparan di muka menunjukkan dengan jelas hubungan sekuensial antara hablun
min Allah dengan hablun min al-nas. Kesalehan orang beriman sebagai hamba
terhadap Allah (`abdullah) bermuara dan berdampak langsung pada kesalehan
dalam relasi-relasi sosial dan lingkungan (khalifah). Inilah kandungan inti dari
tauhid Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tauhid Kemanusiaan: Relasi Berkeadilan dan Berkeadaban
“Kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah manifestasi sosial pertama dari
tauhid Ketuhanan Yang Maha Esa. Apa makna dan kandungan sila ini dari
sudut pandang Islam? Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah
seruan pada semua umat manusiamenuju satu cita-cita kesatuan kemanusiaan
(unity of humankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, jenis kelamin,
kebudayaan, dan agama. Tak ada satu pun orang, kelompok, atau bangsa
manapun yang dapat membanggakan diri sebagai diistimewakan Tuhan (the
chosen people).8 Ini dapat berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama
apa pun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus
dikecam sebagai “kemusyrikan” dan sekaligus kejahatan atas kemanusiaan.

Modal Sosial: Prasangka Baik dan Amanah
Dalam perspektif Islam, sila ini mengandung risalah egalitarianisme.
Egalitarianisme ini menggarisbawahi relasi-relasi manusiawi yang ditengarai
dengan kerjasama untuk saling menjaga perasaan dan kepercayaan. Kecurigaan
dan khianat merupakan titik awal yang buruk dalam membangun komunikasi
lintas batas yang setara. Sebaliknya, senantiasa berprasangka baik (husnuzhann),
memenuhi janji dan memelihara kepercayaan sangat ditekankan (QS. alHujurat 49: 12).
Baik prasangka maupun janji dan amanah, keduanya tidak semata berhubungan
dengan relasi horizontal antar manusia, bahkan juga hubungan vertikal dengan
Tuhan. Berprasangka baik pada manusia berarti tidak mudah memvonis dan
selalu mengedepankan klarifikasi (tabayyun)9 dalam kehidupan masyarakat yang
plural; sementara berprasangka baik pada Tuhan adalah tidak mencerca nasib
manusia yang berjalan sesuai dengan ketetapan-Nya dalam sunnatullah.10
8

Karl May, Und Friede auf Erden, terjemahan Agus Setiadi dan Hendarto Setiadi, Dan Damai di Bumi!
(Jakarta: KP.Gramedia dan Paguyuban Karl May Indonesia, 2002), hlm. 21.

9

QS. al-Hujurat 49:6.

10 QS. al-Ra`d 13:11.

48

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

Zakiyuddin Baidhawy

Al-`ahd meliputi sesuatu yang dijanjikan manusia kepada Tuhan dalam rangka
untuk menaati segala perintah-Nya seperti shalat, nadzar, dan sebagainya; juga
sesuatu yang dijanjikan pada sesama manusia, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, seperti akad, janji dan pemberian. Sedangkan al-amanah adalah
sesuatu yang dipercayakan oleh Allah pada manusia seperti taklif syari`ah, atau
kepercayaan manusia pada sesamanya, seperti penitipan harta dan sebagainya.
Dari segi ruang lingkupnya, amanah meliputi segala hubungan antarmanusia
dalam persoalan muamalah baik dalam aspek ekonomi, perkara kontrak dan
etika sosial serta persoalan kontrak politik dan perang.11
Menepati janji dan menjaga kepercayaan orang lain adalah suatu kebutuhan bagi
terwujudnya kehidupan harmoni (QS. Al-Mu’minun 23: 8). Karena pentingnya
dua masalah ini, Rasulullah pernah menekankan bahwa pengingkaran atas
amanah dan janji adalah salah satu tanda orang munafik.12 Menepati janji dan
amanah adalah bentuk dari pertemuan antara kewajiban sosial dan kewajiban
agama seseorang. Manusia wajib mentaati Allah dan Rasul-Nya. Ia juga punya
kewajiban terhadap keluarga, tetangga dan masyarakat. Membuang limbah
industri misalnya, berarti membuat lingkungan hidup tercemar, mengganggu
keseimbangan sistem ekologis dan ini bertentangan dengan kewajiban terhadap
masyarakat, karena itu menghalangi tercapainya langkah masyarakat menuju
kesejahteraan dan kemakmuran. Masyarakat tidak dapat mencapai tujuan
tertingginya hingga penduduknya memenuhi perjanjian dan amanah yang
mereka buat sendiri.
Nilai-nilai ideal di muka sedang mengalami ancaman serius. Bangunan
masyarakat madani dalam dua dekade terakhir mengalami guncangan. Kekerasan
langsung, kekerasan struktural, konflik etnik dan konflik agama – kasus Aceh,
Maluku, Poso, Sampit, Cikeusik dan Temanggung misalnya -- adalah faktafakta yang membuyarkan semangat warga negara untuk percaya diri guna terus

11 Wahbah al-Zuhayli, Al-Tafsir al-Munir i al-`Aqidah wa al-Shari`ah wa al-Manhaj (Beirut: Dar al-Fikr,
1991), vol. 18: 9-13; Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), vol. 192193.
12 Lihat misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Musnad (t.p.: al-Maktab
al-Islami, t.th.), juz 3, hadis nomor 135; sedangkan hadis tentang tanda orang munaik dalam Imam
Bukhari, Sahih al-Bukhari (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-`Arabiyyah, 1981), kitab al-Iman nomor 24,
hal 14.

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

49

Pancasila Tauhid Sosial dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara

merajut benang-benang modal sosial (social capital) bagi demokrasi.13 Sumbersumber non-material di dalam masyarakat ini, sebagaimana sudah dijelaskan
di atas, berupa prasangka baik (husnuzhan) dan rasa saling percaya (amanah,
trust).14
Indonesia yang multikultural dalam banyak hal menghadapi hambatan
besar dalam dua modal sosial di atas. Warisan masa lalu meninggalkan batu
sandungan: peninggalan Hindu-Budha melestarikan kekuasan raja-sentris;
pemerintahan kolonial melembagakan sistem kekuasaan tersentral, monopoli
negara, dan chauvinisme rasial; Orde Lama dan Orde Baru melembagakan
sistem patrimonialisme, monopoli konglomerat, dan pemiskinan budaya.
Masyarakat Muslim sesungguhnya tampil dengan modal sosial yang cukup
signifikan bagi masyarakat madani, karena mereka bangkit sebagai kekuatan
yang menjaga jarak dan menentang kekuasaan Hindu-Budha dan kolonial;
melahirkan organisasi keagamaan independen di bidang sosial, pendidikan
dan kebudayaan; mempelopori organisasi perdagangan untuk mengorganisir
potensi ekonomi umat sekaligus perlawanan atas monopoli Timur Asing dan
kolonial, seperti Syarikat Dagang Islam. Namun semua itu memudar karena
upaya sistematik melalui the invention of tradition kolonial, jawanisasi kekuasaan,
hegemoni negara, dan pemiskinan pluralitas budaya, yang membuat wajah
masyarakat madani kontemporer masih jauh panggang dari api.
Modal sosial utama berupa amanah (trust), yakni sikap saling percaya antara
warga negara belum cukup tumbuh di negara ini. Dalam hal ini dibutuhkan
keterlibatan warga negara dalam kegiatan-kegiatan sosial secara sukarela dan
menumbuhkan trust antar sesama warga negara. Beruntung bahwa kesukarelaan
(voluntary) masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial cukup menonjol
dalam aktifitas keagamaan. Mereka mengaku sebagai bagian dari komunitas
keagamaan tertentu, seperti Muhammadiyah dan NU. Dari sisi ini kita bisa
melihat bahwa organisasi-organisasi keagamaan di Indonesia masih cukup
berpengaruh dalam mendorong masyarakat untuk berasosiasi; masih besarnya
keyakinan masyarakat terhadap agama sebagai perekat kehidupan sosial.

13 Modal sosial ini dapat dibandingkan dengan modal ekonomi dari Max Weber, The Protestant Ethics
and the Spirit of Capitalism (New York: Scribbner’s, 1958); yang dalam konteks Indonesia pembahasan
tentang masalah ini dapat dijumpai pada karya Clifford Geertz, Peddlers and Princes: Social
Development and Economic Change in Two Indonesian Town (Chicago: University of Chicago Press,
1963); dan modal simbolik dari Pierre Bourdieu, Outline of a Theory Practice (Cambridge: Cambridge
University Press, 1977).
14 Sumber-sumber non material yang bisa disebutkan dan sama pentingnya adalah kemerdekaan,
toleransi, nirkekerasan dan damai, partisipasi secara sukarela, dan penghormatan pada aturan hukum.

50

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

Zakiyuddin Baidhawy

Keadaban dan Nirkekerasan
Komunitas-komunitas keagamaan sebagai bagian dari masyarakat madani
itu belum mampu mentransformasikan nilai-nilai keadaban (civility) kepada
pengikutnya. Wajah sosial-politik menjelang kejatuhan Soeharto dan transisi
dinodai konflik vertikal dan horizontal bermuatan kekerasan. Negara-bangsa
ini serta merta menjadi primitif, barbar, negara tak beradab, demikian Hefner
menyebutnya.15 Orang lain yang tidak sama secara identitas, baik etnik, agama,
pilihan partai politik, kelompok keagamaan, bahkan antartetangga, dipandang
sebagai orang lain.
Tidak mudah membangun rasa saling percaya. Warisan pendidikan yang
menekankan perbedaan SARA membuat warga terdidik dalam suasana
sektarian; warga mengembangkan chauvinisme dan etnosentrisme; memahami
dan memperlakukan orang lain secara stereotip dan penuh prasangka. Inilah
pangkal binasanya sikap trust dan toleran. Secara sadar atau tidak, bangsa ini
sedang memasyarakatkan teologi su’uzhann dan sakralisasi kekerasan.
Kekerasan bisa bersumber dari norma-norma budaya yang membolehkan
kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik; sikap masyarakat yang
menerima bahwa bunuh diri adalah pilihan individu; norma-norma yang
memberikan prioritas pada hak orang tua sebagai satu-satunya yang menentukan
kesejahteraan anak; norma-norma yang memberikan dominasi laki-laki terhadap
perempuan; norma-norma yang mendukung digunakannya kekuatan militer
terhadap warga sipil; dan norma-norma yang mendukung konflik politik.
Di antara berbagai norma sebagai faktor kekerasan di atas, sebagian memperoleh
justifikasi dari doktrin dan tafsir keagamaan konvensional. Meski tidak sedikit
teks-teks keagamaan mengajarkan perdamaian dan cinta kasih, dan banyak
orang telah mengambil inspirasi darinya untuk menjadi manusia beriman,
saleh, pengampun dan pemaaf, pemurah dan penyayang. Pada saat lain, teksteks itu beserta tafsirnya dapat merupakan sumber konflik dan mengundang
kebencian dan pertumpahan darah. Kitab-kitab suci dari agama-agama
monoteis seperti Yahudi, Kristen dan Islam, mengandung teks yang berbau
teror. Sejarah tidak kurang contoh tentang penerapan teks-teks bersentimen
teror yang termanifestasi dalam berbagai perang atas nama agama. Peperangan
dan penaklukan kembali Spanyol (1003-1260), perang antaragama Katholik
15 Lihat karya otoritatif tentang pergulatan Islam, masyarakat madani dan demokrasi di Indonesia dari
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization (Princeton: Princeton University Press,
2000), khususnya bab 7, terjemahannya oleh Ahmad Baso, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di
Indonesia (Yogyakarta: ISAI & The Asia Foundation, 2001).

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

51

Pancasila Tauhid Sosial dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara

dan Protestan (1520-1648), kisah tragis penaklukan benua Amerika, sekadar
contoh bagaimana teks-teks Kitab Suci diaplikasikan secara tekstual dan arbitrer
dengan mempergunakan dan mengagungkan instrumen kekerasan.
Beranjak dari pertimbangan di muka, perlu kiranya kita mengemukakan
alternatif penafsiran yang mengintrodusir pertemuan Kehendak Allah dengan
hasrat kaum beriman akan perdamaian dan nirkekerasan.

Damai dan Pengampunan
Keadaban dan keadilan, sebagaimana Sila Kedua, adalah bagian dari inti risalah
Islam. Islam adalah tradisi perdamaian dan harmoni. Harmoni adalah ta’aluf,
yakni keakraban (familiarity), kekariban, kerukunan dan kemesraan (intimacy),
dan saling pengertian (understanding). Harmoni juga tawafuq, yaitu persetujuan,
permufakatan, perjanjian (agreement), dan kecocokan, kesesuaian, keselarasan
(conformity).16 Jadi, Islam adalah agama damai dan harmoni, dan setiap yang
meyakini Islam disebut Muslim. Muslim sejati tidak akan menjadi fanatik,
bahkan sebaliknya ia cinta damai, mengedepankan harmoni dan rasa aman
bagi semua makhluk.17
Dalam kebudayaan Islam, memperbaiki hubungan yang telah rusak secara
tradisi menghendaki retribusi tertentu sebagai kompensasi yang diikuti
dengan pemberian maaf atau ampunan (`afw). Alternatif keadilan retributif
mengasumsikan bahwa perdamaian tidak akan pernah dapat tercapai
dengan melakukan tindakan-tindakan pembalasan, sehingga pemaafan dan
pengampunan dilibatkan dalam proses penyehatan relasi antarmanusia.
Pemaafan dan pengampunan adalah suatu kapasitas manusiawi yang membuat
perubahan sosial sejati menjadi mungkin.18 Tindakan ini juga dapat berakibat
pada terbentuknya suatu tatanan politik yang adil dan damai dengan membawa
individu, keluarga, dan kelompok untuk saling dekat.
Pandangan moral al-Qur’an secara tegas memberikan pesan bahwa Kekuasaan
Tuhan memberi ampunan seyogyanya menjadi sifat kemanusiaan dalam relasi
satu dengan yang lain; ampunan-Nya membawa pada perbaikan harga diri yang

16 Lihat lebih lanjut J. Milton Cowan, ed. A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Macdonald and
Evans Ltd, 1974).
17 Maryam Jameelah, Islam in Theory and Practice (Lahore: Sant Nagar, 1967), hlm. 37.
18 Donald W. Shriver Jr., An Ethic for Enemies: Forgiveness in Politics (New York: Oxford University Press,
1995), hlm. 6.

52

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

Zakiyuddin Baidhawy

dapat menciptakan relasi antarmanusia yang lebih sejuk (QS. Al-An`am 6: 54).
Memaafkan dan pengampunan berarti melupakan semua serangan, kejahatan,
perbuatan salah dan dosa yang dilakukan orang lain secara sengaja maupun
tidak sengaja terhadap anda, seperti mencerca melalui lisan, mengambil atau
merampas hak milik anda. Al-Qur’an menyatakan: “Berilah pengampunan/
maaf, bimbinglah ke arah kebaikan, dan berpalinglah dari orang-orang
bodoh” (QS. Al-A`raf 7: 199). Di ayat lain juga dinyatakan: “Orang-orang
yang menafkahkan harta baik di waktu lapang maupun sempit, dan menahan
amarah serta memaafkan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan” (QS. Ali Imran 3: 134).
Memberikan maaf pada orang yang menyerang dan menghindarkan diri dari
balas dendam bukanlah tugas mudah. Manusia membutuhkan kekuatan
spiritual (jihad al-nafs), membunuh dendam, serta memberi maaf ketika mampu
membalas. Untuk itu Allah memberikan batasan-batasan kemarahan sebagai
salah satu sifat yang harus dijalankan manusia yang menekan amarahnya dan
memaafkan orang lain (QS. Ali Imran 3: 139).
Di samping mengajak orang-orang untuk bersikap pemaaf, Rasulullah menjadi
teladan pemaaf di muka bumi ini, dan tak satupun manusia yang menyamai
sifatnya. Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik perbuatan di hadapan Allah adalah
memberi maaf pada orang yang berbuat salah padamu, memberi kasih sayang
terhadap keluarga yang memutuskan silaturahim denganmu, dan berlaku
rendah hati terhadap orang yang menzalimimu”.

Solidaritas dan Kerjasama
Islam, sebagai agama egalitarian, terbuka atas solidaritas dan ketergantungan
sosial (ta`awun). Islam mengakui hak semua manusia untuk hidup layak
dalam hal kesehatan, pakaian, makanan, perumahan serta usaha-usaha sosial
yang diperlukan. Islam juga menekankan hak setiap orang atas jaminan sosial
di waktu mengalami pengangguran, sakit, cacat, janda/duda, lanjut usia
atau mengalami kekurangan. Standar hidup semacam ini hanya mungkin
dalam sebuah tatanan sosial yang sehat, di mana individu-individu, individukelompok, dan kelompok-kelompok saling memelihara hubungan sosial kuat.
Dapatkah orang merasa aman tanpa ikatan, kohesi dan solidaritas sosial? Uang
dapat membeli apa pun, namun pengangguran, sakit, ketidakmampuan, duda/
janda, lanjut usia atau kekurangan lainnya, memerlukan tanggung jawab dan
saling berkorban agar mereka tercipta masyarakat yang saling berbagi, tolong-

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

53

Pancasila Tauhid Sosial dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara

menolong, gotong-royong (QS. al-Maidah 5: 2).
Hingga di sini, kita mesti tak putus berharap agar agama tetap punya peran
sebagai kekuatan integrasi sosial, kohesi sosial, solidaritas, dan kerjasama.
Karena itu, para pengikutnya dianjurkan masih memiliki semangat untuk
berasosiasi secara sukarela dalam organisasi-organisasi sosial-keagamaan mereka
untuk memompa optimisme dalam mentransformasi nilai-nilai kemanusiaan
dan keadilan. Organisasi-organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah dan
NU misalnya, sudah semestinya bertanggung jawab melakukan internalisasi
nilai-nilai ini ke dalam basis konstituennya masing-masing, dan bangsa pada
umumnya, agar Kemanusiaan Indonesia yang Adil dan Beradab dapat terealisasi
dalam kenyataan.

Tauhid Persatuan
Indonesia adalah negeri megadiversity. Keanekaragaman agama, etnik, dan
kebudayaan, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi kekayaan ini merupakan
khazanah yang patut dipelihara dan memberikan nuansa dan dinamika bagi
bangsa; di sisi lain kekayaan ini dapat menjadi titik pangkal perselisihan,
konflik vertikal dan horizontal. Krisis multidimensi yang berawal sejak
pertengahan 1997 dan ditandai dengan kehancuran perekonomian nasional,
sulit dijelaskan secara mono-kausal. Cukup banyak konflik komunal terjadi
sepanjang krisis, dan diperparah konflik elite politik yang membuang-buang
waktu dan mengarahkan negara pada perang sipil.19
Sebuah permulaan buruk bagi bangsa Indonesia dalam menyambut abad 21.
Namun era reformasi sedikit menyelamatkan wajah kusam itu. Meskipun ada
rasa miris menyaksikan era reformasi yang dipenuhi dengan krisis politik dan
moral yang berlarut-larut dan bergerak dalam suatu proses interrelasi yang
sangat kompleks. Berbagai ragam kekerasan silang sengkarut dengan proses
demokratisasi yang mandul dan kebebasan tanpa kesadaran dan penerapan
hukum yang berwibawa.

Sindrom Chauvinistik
Era reformasi menyaksikan bahwa aparat negara yang berkuasa gagal ketika
monopoli kekuasaan terdesentralisir melalui kebijakan otonomi daerah yang
19 Kasus-kasus konlik komunal dan perang sipil di Indonesia dibahas cukup panjang lebar dalam Chaider
S. Bamualim et.al. eds. Communal Conlicts in Contemporary Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa dan
Budaya IAIN Syarif Hidayatullah dan The Konrad Adenauer Foundation, 2002).

54

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

Zakiyuddin Baidhawy

berjalan tanpa skenario yang jelas. Otonomi daerah telah melahirkan “rajaraja kecil” dengan chauvinisme etnik yang memperparah situasi konflik dan
ketegangan. Ruang demokrasi kurang dapat dimanfaatkan oleh demokrat
sejati. Para elite anti demokrasi seringkali memanipulasi sentimen etnik dengan
maksud untuk melemahkan tuntutan akan demokratisasi. Agaknya, masyarakat
Indonesia sedang memetik akibat politisasi etnisitas yang dieksploitasi secara
semena-mena oleh para elite lokal yang cenderung mengedepankan ikatan
primordial di mana etnisitas hanya dimaknai sebagai realitas nenek moyang
atau putra daerah.20
Di lain tempat perbedaan kelompok-kelompok keagamaan, etnik, dan sosiokultural yang semakin meningkat dari segi ukuran dan signifikansi politiknya
dalam beberapa tahun terakhir, telah melahirkan tuntutan agar kebijakan
dan program-program sosial responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan
keragaman tersebut. Memenuhi tuntutan ini akan menghendaki lebih
kepekaan kultural, koalisi pelangi dan negosiasi-kompromi secara pluralistik
pula. Ketegangan etnik dan kelompok-kelompok kepentingan tertentu dapat
diakselerasi, dan akibatnya terjadi persaingan terhadap berbagai sumber daya
yang terbatas seperti lapangan pekerjaan, perumahan, kekuasaan politik, dan
sebagainya. Semua ini tentu saja merupakan ancaman dan anti-tesis dari Sila
Persatuan.

Membangun Ummat dan Persaudaraan (Ukhuwah)
Semua persoalan krusial tersebut tidak akan terpecahkan bila Sila Persatuan
tidak dilekatkan dengan konsep masyarakat multikultural. Ketika keran
demokratisasi dan kebebasan semakin terbuka, sistem sosial-politik yang
dipaksakan oleh negara tidak mendapatkan tempat di hati rakyat sebagai
pemilik kedaulatan. Demokratisasi dan globalisasi telah mempecundangi
kendali negara, rakyat tidak lagi memandang negara sebagai agen yang dominan,
sehingga peluang untuk menjadi berbeda sangat terbuka. Untuk kepentingan
ini, kita perlu memiliki pengetahuan fundamental tentang, kepekaan terhadap,
dan penghargaan atas berbagai pengalaman, perspektif, masyarakat yang
beragam secara etnik maupun kultural.
Islam mengajarkan tentang upaya-upaya menyikapi keanekaragaman masyarakat
20 Studi yang cukup representatif tentang fenomena baru kebangkitan elite lokal pasca kejatuhan Soeharto
dalam memperebutkan sumberdaya ekonomi dan kekuasaan dengan memanipulasi isu dan politisasi
etnisitas, dapat dilihat pada karya Gerry van Klinken,”Indonesia’s New Ethnic Elites”, dalam Henk
Schulte Nordoholt dan Irwan Abdullah, eds. Indonesia in Search of Transition (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hal. 67-106.

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

55

Pancasila Tauhid Sosial dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara

dan bangsa ini melalui beberapa konsep kunci. Keanekaragaman secara
konseptual dan praktis dapat dipahami dalam kerangka ummat dengan berbagai
tingkatannya -- komunitas eksklusif, komunitas inklusif, kesatuan ummat
dalam skala bangsa, dan umat global. Manusia yang berbeda dan beragam dari
segi ras, warna, kulit, bahasa, kebudayaan, etnik, agama, dan lain-lain, dapat
dipersatukan di bawah panji kemanusiaan yang tunggal; kesatuan kemanusiaan
yang mempertemukan semua anak-anak Adam dan Hawa.
Dalam kata ummat terkandung makna kesatuan, integrasi dan solidaritas.
Nazeer Kakakhel menjelaskan lebih luas konsep ummat sebagai kesatuan dan
integrasi spiritual, ekonomi, sosial dan politik.21 Pertama, integrasi spiritual.
Islam datang dengan doktrin keesaaan Allah dan kenabian Muhammad. Islam
merupakan kendaraan bagi integrasi spiritual tersebut. Karena itu, hakikat
kesatuan Muslim bersifat ideologis, melampaui semua ras, warna kulit, klan,
bahasa, dsb. Inilah persaudaraan universal umat manusia yang diikat oleh
kebersamaan iman dan moralitas. Al-Qur’an mengatur dan mengintegrasikan
kehidupan mereka sebagai satu unit tak terpisahkan.
Kedua, integrasi ekonomi. Ayat-ayat Makkiyah dan hadis-hadis yang relevan
mengindikasikan eksploitasi kaum miskin oleh orang kaya. Ayat-ayat Makkiyah
menyebutkan pelarangan berbuat tidak jujur dalam hal takaran dan timbangan.
Ekspolitasi ekonomi adalah satu sebab terjadinya disintegrasi dalam masyarakat
ketika kesejahteraan umum diabaikan dan orang-orang kaya memperoleh
kemajuan kapital dan kekuasaan untuk memperoleh kekayaan secara berlebih.
Karena itu, Islam mengeliminasi eksploitasi ini dengan keharusan berinfak di
jalan Allah. Islam juga melarang riba, monopoli, dan manipulasi. Pada saat yang
sama zakat, sadaqah, hibah, wakaf dan lain-lain ditekankan dalam al-Qur’an
dengan maksud terjadi redistribusi atas surplus yang diperoleh kelompok kaya.
Inilah yang disebut sebagai jaminan sosial yang dapat mempererat integrasi
ekonomi antara kaya dan miskin dalam ummat Muslim.
Ketiga, integrasi sosial. Al-Qur’an menjelaskan perlunya membangun
masyarakat manusia atas asas moralitas, keadilan dan kejujuran. Ketika Nabi
mulai berdakwah, banyak orang dengan beragam status sosial mengitarinya. Ia
segera berupaya untuk memperkuat ikatan persatuan di antara mereka melalui
institusi persaudaraan (mu’akhat). Ini dilakukan untuk menjamin keadilan
sosial. Anggota ummat setara di hadapan Allah tanpa memandang status
21 Muhammad Nazeer Kakakhel, ”The Rise of Muslim Umma at Makkah and Its Integration”, The Dialogue
(1983), hlm.10-19.

56

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

Zakiyuddin Baidhawy

sosial mereka. Untuk memperkuat kesatuan sosial ini, Nabi juga melarang
perbudakan dan melakukan upaya maksimal untuk membebaskan para budak
dengan mengalokasikan zakat. Nabi bersabda:
“Budak-budakmu adalah saudaramu. Allah menempatkan mereka
di bawah penguasaanmu. Jadi, jika saudaramu berada di bawah
kekuasaanmu, maka kamu harus memberinya makanan yang sama
dengan yang kamu makan; kamu harus menyediakan pakaian baginya
yang sama dengan yang kamu pakai dan kamu tidak boleh memberi
pekerjaan yang melampaui kemampuannya. Jika beban pekerjaannya
terlampau banyak, kamu harus membantunya”.22
Keempat, integrasi politik. Ummat merujuk pada ikatan antara anggotaanggota komunitas satu dengan yang lainnya. Ketaatan moral kepada Nabi
mengimplikasikan ketaatan politik sekaligus karena keduanya tidak dapat
dipisahkan. Solidaritas ummat secara logika mesti menghendaki basis politik.
Dengan demikian ummat dibangun berdasarkan pada prinsip-prinsip moral
Islam.
Sejalan dengan konsep dan historisitas ummat seperti dipaparkan di atas, maka
persatuan dan kesatuan manusia perlu diikat oleh persaudaraan. Persaudaraan
yang di maksud ialah “persaudaraan universal” di mana umat manusia diikat
tanpa mengenal warna dan identitas etnis; ukuran kehormatan ditentukan oleh
amal salehnya. Visi persatuan ini menggarisbawahi bahwa tatanan manusia
terdiri dari konsensus tiga bagian: otak, pemikiran, dan keputusan; hati, sikap
dan watak; serta tangan, perbuatan, tindakan. Jadi, umat merupakan tatanan
universal dan kedamaian (pax Islamica) yang terdiri dari keanekaragaman,
terbuka dan merdeka.23
Nilai-nilai tentang persaudaraan ini sangat jelas disuratkan dalam al-Quran,
seperti semua Muslim adalah bersaudara (QS. Yunus 10: 4), dan umat manusia
adalah umat yang satu (QS. al-Baqarah 2: 213). Dalam tatanan sosial Islam, setiap
individu adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya.
Islam menentang individualisme dan isolasionisme, menganjurkan intervensi
dalam kehidupan sosial demi kebaikan. Karena itu, secara global tugas warga
masyarakat antara lain adalah menebarkan salam/kedamaian, menengok yang
22 Al–Bukhari, Al-Jami` al–Sahih , vol 1 (Karachi: TP., 1961), hlm. 346.
23 Islamil Raji Al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan
Publishing Company, 2001); terjemahnya Atlas Budaya Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang.
Bandung: Mizan, 2001.

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

57

Pancasila Tauhid Sosial dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara

sakit, menghibur yang kena musibah, kerjasama melawan agresi dan kejahatan,
berbagi kegembiraan, memberi maaf, tidak bergosip, menutupi kekurangan,
saling menasehati, dsb.

Budaya Ta`aruf dan Tasamuh
Dalam rangka kehidupan bersama, bernegara dan berbangsa, kebutuhan
membangun persatuan dan kesatuan mensyaratkan ta`aruf dan tasamuh. Ta’aruf
adalah upaya secara timbal balik untuk mengenal dan memahami satu dengan
yang lain (QS. al-Hujurat 49: 13). Karenanya ta’aruf merupakan “dialog” (baca:
bukan monolog). Dialog bukan semata percakapan bahkan juga pertemuan dua
pikiran dan hati mengenai persoalan bersama, dengan komitmen bersama yang
tujuannya agar setiap pihak dapat belajar dari yang lain. Dialog merupakan
pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan cara hidup
bersama yang menghargai “kelainan” (the otherness).
Secara eksperimental, ta`aruf tampil ke permukaan dan menjangkau perjumpaan
antar dunia multikultural. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama,
etnik, kebudayaan, seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural, seperti
pertentangan berbagai pandangan dunia, keterlibatan secara kreatif berbagai
kekuatan besar dalam kehidupan sipil di mana pertempuran ideologi dan
kehidupan terjadi. Pengalaman multikultural ini membuat kita mampu bangkit
dan sadar dengan perspektif baru yang lebih memadai. Dengan demikian,
ta`aruf bukan hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah sebentuk manifesto
dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality) dan keanekaragaman (diversity)
sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok
multikultural diperlakukan setara (equality) dan sama bermartabatnya (dignity).
Dialog dan perjumpaan multikultural tidak dapat terjadi secara elegan tanpa
prasyarat sikap toleran. Toleransi (tasamuh) adalah modal utama dalam
menghadapi keragaman dan perbedaan. Toleransi bisa bermakna penerimaan
kebebasan beragama dan perlindungan undang-undang bagi hak-hak asasi
manusia dan warga negara. Toleransi adalah sesuatu yang mustahil untuk
dipikirkan dari segi kejiwaan dan intelektual dalam sistem hegemonik- eksklusif.
Yaitu sistem-sistem yang dibentuk untuk melindungi dirinya atau meluaskan
pengaruhnya (expansive) terhadap orang luar (outsiders). Sistem semacam ini
biasanya dogmatis, memonopoli kekuasaan, keselamatan dan kebenaran
(salvation and truth claim).
Toleransi jauh dari cukup untuk kebutuhan hidup dalam pluralitas dan

58

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

Zakiyuddin Baidhawy

multikulturalitas bila hanya dipandang sebagai ungkapan tentang keutamaan
persaudaraan (ukhuwah) sekalipun hal itu diperintahkan oleh ajaran-ajaran
keagamaan yang berkembang di negeri ini atau filsafat-filsafat besar sampai ia
mewujudkan diri dalam realitas nyata. Pengukuhan toleransi di setiap tempat
menuntut tersedianya dua syarat utama: yakni keinginan individu akan
toleransi, dan keterkaitan kehendak individual ini dengan kehendak politis
masyarakat pada tingkat Negara.24
Untuk tujuan ini kita mendapatkan kenyataan bahwa dua kehendak ini
hingga sekarang masih sulit ditemukan di negeri ini. Perlu dicatat, kelangkaan
toleransi ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor kesejarahan, kemasyarakatan
dan antropologis daripada disebabkan oleh stagnasi nash-nash keagamaan
karena ketidakberdayaan tafsir yang mencerdaskan pemikiran Islam. Keadaan
Indonesia semasa Soeharto dan kini menjelaskan secara nyata hal tersebut.
Dengan toleransi, pluralitas dan perbedaan dipandang sebagai sunnatullah yang
tidak akan pernah berubah sekali dan selamanya. Karena merupakan kodrat
Tuhan dan kenyataan kehidupan yang tak terbantahkan, toleransi terhadap
pluralitas dan perbedaan menghendaki pula sikap saling memahami (mutual
understanding) dan saling menghargai (mutual respect).
“Hai manusia, sesungguhnya Kami jadikan kalian dari jenis lakilaki dan perempuan, dan menjadikan kalian berkelompok-kelompok
dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling mengenal (memahami dan
menghargai). Sesungguhnya orang yang paling bermartabat di sisi Allah
adalah mereka yang paling takwa di antara kamu” (QS. Al-Hujurat 49:13).
Ayat ini mengandung prinsip kesahajaan dalam keragaman. Bersikap dewasa
dalam merespon keragaman menghendaki kesahajaan, sikap moderat yang
menjamin kearifan berpikir (open mind) dan bertindak; jauh dari fanatisme
yang sering melegitimasi penggunaan instrumen kekerasan dan membenarkan
dirty hands (tangan berlumuran darah dan air mata orang tak berdosa) untuk
mencapai tujuan apa pun; mendialogkan berbagai pandangan keagamaan dan
kultural tanpa diiringi tindakan pemaksaan.
Dengan mengikuti pemaknaan di atas, maka tauhid persatuan dalam Pancasila
sesungguhnya telah meletakkan dasar yang kokoh bagi persatuan dan kesatuan
Negara-bangsa Indonesia. Prinsip itu harus tumbuh secara bersama baik
24 Mohammed Arkoun, Min Faisal Tafriqah ila Fasl al-Maqal: Aina al-Fikr al-Islami al-Mu`asir (Kairo: alMaktabah al-Bi’sah al-Umam, 1992), bab iv.

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

59

Pancasila Tauhid Sosial dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara

pada tingkat individu, komunitas/masyarakat, maupun Negara. Pada tingkat
individu, setiap warga Negara RI siap menerima keragaman Nusantara dan hidup
berdampingan dalam harmoni. Pada tingkat komunitas/masyarakat, semua
lapisan masyarakat yang menyusun Nusantara berada level yang setara dan sedia
memberikan kontribusi terbaiknya. Pada tingkat Negara, pemerintah pusat dan
juga pemerintah daerah wajib melindungi dan memberikan kehidupan kepada
semua unsur tersebut untuk berkembang dan tumbuh berdasarkan pada politik
pengakuan.

Tauhid Kerakyatan
Sejak pertengahan pertama abad 20, demokrasi modern masih dipandang
sebagai sistem terbaik, meskipun tidak sempurna, karena mencerminkan
beberapa ciri berikut. Pertama, demokrasi modern membuka cara-cara yang
terbuka untuk memberikan jawaban atas segala pertentangan-pertentangan
yang ada di dalam masyarakat. Kedua, demokrasi modern merupakan
perwujudan kehendak sejati mayoritas anggota masyarakat (secara ekonomi,
sosial, dan politik), yang berdasarkan asas kesetaraan setiap warga. Ketiga, segala
hasil keputusan bersama, hasil dari proses demokrasi itu sendiri, harus secara
disiplin dijalankan oleh semua anggota warga. Minoritas yang tidak sepakat
dengan keputusan tersebut boleh tetap beradu argumen dengan mayoritas
lainnya, tetapi mereka harus dengan disiplin dan tanggung jawab menjalankan
keputusan yang telah disepakati.
Sejalan dengan paparan di muka, relevan kiranya kita membincang dan
menguji kembali ide dan praktik demokrasi sebagaimana terlukiskan dalam
sila keempat Pancasila – kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, dan menyinarinya menurut sudut
pandang tauhid sosial dalam konteks kehidupan bersama, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

Daulat Rakyat
Kerakyatan dalam sistem negara-bangsa Indonesia merupakan cermin demokrasi
yang sesungguhnya. Dalam sistem ini, sesuai dengan amanat Pancasila dan
UUD 1945, rakyat adalah pemegang kedaulatan semestinya. Karena itu semua
berasal, oleh dan untuk rakyat.
Kata rakyat, berasal dari ra`iyah bermakna kepemimpinan (leadership). Kata
ini mengandung konsep kepemimpinan yang komprehensif mencakup

60

MAARIF Vol. 11, No. 1 — Juni 2016

Zakiyuddin Baidhawy

kepemimpinan diri sendiri hingga kepemimpinan kelompok dan kenegaraan.
Dalam Islam setiap individu adalah p