SHADOW STATE : Studi Kasus Tentang Konflik Status Sofifi

(1)

SHADOW STATE

Studi Kasus Tentang Konflik Status Sofifi

OLEH : Bahran Taib NIM: 201110270211021

Dosen Pembimbing I : Prof. Dr Syamsul Arifin, M.Si Dosen Pemimbing II : Dr. Tri Sulistyaningsih, M.Si

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2013


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim,

Segala Puji Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan semua rahmat,taufiq,hidayah-Nya sehingga penyusunan Tesis ini dapat terselesaikan . Tesis dengan Judul “ SHADOW STATE : STUDI KASUS TENTANG KONFLIK STATUS SOFIFI “ ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sosiologi pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Dalam penyusunan Tesis ini tentunya dapat terselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak,oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak,antara lain :

 Isteriku yang selalu sabar dan memberikan dukungan moral dalam menempuh studi S2 Magister Sosiologi UMM.

 Prof. Dr. Syamsul Arifin,M.Si, selaku dosen Pembimbing Utama dan DR. Tri Sulistyaningsih,M.Si selaku Pembimbing Pendamping yang penuh kesabaran,keikhlasan dalam memberikan masukan, bimbingan,saran,petunjuk,serta pengaran yang berkaitan dengan tesis ini, hingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan tesis ini.

 Rektor UMM,Dr. Muhajir Effendy,M.AP,Direktur PPs- UMM,Dr. Latipun,M.Kes.

 Drs.Rinikso Kartono,M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Sosiologi yang selalu memberikan kemudahan selama penulis menyusun tesis ini.

 Dosen- dosen pascasarjana Magister Sosiologi yang telah meluangkan waktunya untuk mendidik,mengantar dan serta bimbingan mulai dari awal hingga akhir studi.

 Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi Kemdikbud yang telah memberi beasiswa BPPS selama penulis studi dipascasarjana UMM.

 Rektor Unkhair ,Dr. Gufran Ali Ibrahim,M.Hum dan Dekan FKIP,Drs. Taib Latif,M.Hum yang telah memberi rekomendasi untuk studi di pascasarjana UMM.


(4)

 Pemprov Maluku Utara dan Pemkot Tikepyang telah memberi rekomendasi untuk penelitian di Sofifi dan kota Tidore.

 Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari, bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena itu penulis mengharap adanya saran dan kritik dari semua pihak yang konstruktif demi kesmpurnaan tesis ini.

Akhirnya penulis hanya mampu berharap tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekalian, khususnya terhadap perkembangan ilmu Sosiologi dimasa mendatang. Amien. Wassalam

Malang, Juli 2013


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Malang, Juli 2013


(6)

PERSEMBAHAN

Karya tulis ini kupersembahkan kepada :

Isteriku tercinta :Masyumi Ulfah Muhamaroh Santi,S.Pd, yang selalu memberikan dukungan moral dan spiritual (do’a),teman diskusi,canda tawa dan selalu semangat mendidik dan membesarkan anak-anak kami.

Anak-anakku tersayang :Nurul Hanum Salsabila ( Hanum ) dan Fairuz Qurunulbahri(ade Alam),kaka Hanum deng ade Alam selalu menjadi spirit papa selama menempuh studi S2 di UMM,kaka deng ade menjadi mutiara hidup yang tak ternilai harganya bagi papa dan mama dalam hidup.

Orang tuaku tercinta :Taib Abd. Rahman dan Nasiah Ibrahim, yang merawat,mendidik dan membesarkanku sejak kecil sampai sekarang telah menjadi bagian dari aset bangsa yang turut mencerdaskan generasi bangsa masa depan. Kasih sayang dan kebaikanmu tak bisa ku balas dengan apapun.Moga Allah meridhoi setiap gerak langkahmu,mama.


(7)

MOTTO HIDUP

Dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang dikerjakannya besok “ (QS: Lukman:34)

“ Sekali layar terkembang surut kita berpantang,setiap keputusan apapun diambil pasti punya resiko,tapi hadapi resiko dari keputusan itu penuh sikap semangat dan tawaddu”

“ Kebenaran dan Kejujuran adalah spirit jiwa dalam mengarungi hidup yang fana ini”

“ Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat pada orang lain “ (


(8)

RIWAYAT HIDUP

Bahran Taib: lahir di Samo,21 Mei 1978 Kec. Gane Barat – Halmahera Selatan,Provinsi Maluku Utara, adalah anak dari Taib Abd.Rahman dan Nasiah Ibrahim. Isteri : Masyumi Ulfah Muhamaroh Santi,S.Pd. Anak : Nurul Hanum Salsabila dan fairuz Qurunulbahri.

Riwayat Pendidikan :

 SDN Samo,lulus Tahun 1992

 M.Ts.Negeri Kayoa,Guruapin lulus tahun 1996.

 SMA Muhammadiyah Ternate,jurusan IPA,lulus Tahun 1999.

 S-1 Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan ( UAD ),lulus 15 Mei 2005.

 S-2 Sosiologi,konsentrasi Sosiologi Politik pada Program Pascasarjana UMM,lulus 31 Agustus 2013

Riwayat Pekerjaan :

 Menjadi guru pada SMP Muhammadiyah 1 Ternate sejak Thn 2007-2008.

 Menjadi guru SMA Muhammadiyah Ternate sejak September Thn 2005-Thn 2010


(9)

 Menjadi Dosen Psikologi Prodi PGTK STKIP Kie Raha Ternate sejak Thn 2005- Thn 2010

 Menjadi Dosen Psikologi dijurusan Kebidanan Poltekkes Negeri-ternate sejak 2007-2011

 Menjadi Dosen PNS FKIP-Unkhair sejak 2008-sekarang.

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim,

Segala Puji Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan semua rahmat,taufiq,hidayah-Nya sehingga penyusunan Tesis ini dapat terselesaikan . Tesis dengan Judul “ SHADOW STATE : STUDI KASUS TENTANG KONFLIK STATUS SOFIFI “ ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sosiologi pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Dalam penyusunan Tesis ini tentunya dapat terselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak,oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak,antara lain :


(10)

 Isteriku yang selalu sabar dan memberikan dukungan moral dalam menempuh studi S2 Magister Sosiologi UMM.

 Prof. Dr. Syamsul Arifin,M.Si, selaku dosen Pembimbing Utama dan DR. Tri Sulistyaningsih,M.Si selaku Pembimbing Pendamping yang penuh kesabaran,keikhlasan dalam memberikan masukan, bimbingan,saran,petunjuk,serta pengaran yang berkaitan dengan tesis ini, hingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan tesis ini.

 Rektor UMM,Dr. Muhajir Effendy,M.AP,Direktur PPs- UMM,Dr. Latipun,M.Kes.

 Drs.Rinikso Kartono,M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Sosiologi yang selalu memberikan kemudahan selama penulis menyusun tesis ini.

 Dosen- dosen pascasarjana Magister Sosiologi yang telah meluangkan waktunya untuk mendidik,mengantar dan serta bimbingan mulai dari awal hingga akhir studi.

 Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi Kemdikbud yang telah memberi beasiswa BPPS selama penulis studi dipascasarjana UMM.

 Rektor Unkhair ,Dr. Gufran Ali Ibrahim,M.Hum dan Dekan FKIP,Drs. Taib Latif,M.Hum yang telah memberi rekomendasi untuk studi di pascasarjana UMM.

 Pemprov Maluku Utara dan Pemkot Tikepyang telah memberi rekomendasi untuk penelitian di Sofifi dan kota Tidore.

 Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(11)

Penulis menyadari, bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena itu penulis mengharap adanya saran dan kritik dari semua pihak yang konstruktif demi kesmpurnaan tesis ini.

Akhirnya penulis hanya mampu berharap tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekalian, khususnya terhadap perkembangan ilmu Sosiologi dimasa mendatang.

Amien. Wassalam

Malang, Juli 2013

Penulis

DAFTAR ISI JUDUL


(12)

LEMBAR PERSETUJUAN

ii

LEMBAR PENGESAHAN

iii

SURAT PERNYATAAN

iv

LEMBAR PERSEMBAHAN

v

MOTTO HIDUP

vi

RIWAYAT HIDUP

vii

KATA PENGANTAR

viii

DAFTAR ISI

x

DAFTAR GAMBAR

xiii

ABSTRAK


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Permasalahan 6

1.3 Tujuan Penelitian 11

1.4Manfaat Penelitian 12

1.5 Kerangka Pemikiran 12

1.6 Metodologi Penelitian 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendahuluan

18

2.2 Konsep Desentralisasi 19

2.2.1 Definisi Desentralisasi 19

2.2.2 Karaktreristik dan Prinsip Desentralisasi 21

2.2.3 Dimensi dan Jenis Desentralisasi 22

2.3 Teori Hegemoni 23


(14)

2.3.1 Definisi Teori Hegemoni 23

2.3.2 Bentuk Hegemoni Sumberdaya 25

2.3.2.1 Hegemoni Positif 25

2.3.2.2 Hegemoni Negatif 29

2.3.2.1 Hegemoni Bergejolak 31

2.4Shadow states 31

2.5 Manajemen Konflik 34

2.5.1 Definisi Manajemen Konflik 34

2.5.2 Teori Manajemen Konflik 36

2.5.2.1 Teori Manajemen Konflik Thomas 36

2.5.2.2 Teori Manajemen Konflik Deutsch 38

2.6 Skema Kerangka Teori 40

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendahuluan

43

3.2 Metode Studi Kasus 43


(15)

3.3 Konteks Penelitian 44

3.4 Prosedur Pemilihan Partisipan 45

3.5 Alat Pengumpulan Data 47

3.5.1 Catatan Lapangan 48

3.5.2 Literatur 48

3.5.3 Wawancara 48

3.6 Validitas Data 50

3.7 Reliabilitas Data 51

3.8 Etika Penelitian 52

3.9 Analisis Data 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Latar Belakang Kesultanan Tidore 56

4.1.1 Masa Pra- Kemerdekaan– Tidore Sebagai Negara Kesultanan


(16)

4.1.2 Masa Kemerdekaan– Kompromi Kesultanan Tidore dan Pemerintah Indonesia

60

4.1.3 Masa Orde Lama– Masuknya Papua ke dalam NKRI

61

4.1.4 Masa Orde Baru – Militerisasi dan Penyatuan Wilayah

62

4.1.5 Masa Reformasi– Kesultanan Tidore sebagai Shadow State

63

4.2 Berjalannya Konflik 67

4.2.1 Sumberdaya 67

4.2.1.1 Sumberdaya Intelektual 68

4.2.1.1.1 Hasil Kajian UI 68

4.2.1.1.2 Hasil Kajian UGM 70

4.2.1.2 Sumberdaya Historis 73


(17)

4.2.2. Konflik 73

4.2.2.1 Konflik Laten 73

4.2.2.2 Konflik Manifest 77

4.3 Peran Kesultanan Tidore 83

4.4 Kekuatan Argumentasi Pihak Berkonflik 86

4.4.1 Argumentasi untuk menerima DOB Sofifi 86

4.4.2 Argumentasi untuk Menolak DOB Sofifi 91

4.5 Resolusi Konflik 93

4.6 Kesiapan Pihak Berkonflik untuk Resolusi 97

4.7 Implikasi Teoritis 100

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

108 5.1 Saran 109

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(18)

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Daerah

8

Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran

15

Gambar 2.1 Teori Manajemen Konflik Thomas

36

Gambar 2.2 Teori Manajemen Konflik Deutsch

39

Gambar 2.3 Skema Kerangka Teori

42

Gambar 3.1 Peta Ternate, Tidore, Sofifi, dan Halmahera

45

Gambar 4.1 Wilayah Tidore Pra Kemerdekaan (mencakup Maluku, Papua, dan Kepulauan Pasifik Barat)

65

Gambar 4.2 Wilayah Tidore saat Kemerdekaan (Mencakup Maluku, wilayah lain direbut Eropa – Perancis, Inggris, Belanda, dan Jerman)


(19)

65

Gambar 4.3 Wilayah Tidore pada Masa Provinsi Perjuangan Irian Barat (Mencakup Maluku dan Irian Barat, Irian Barat diperoleh berkat kerjasama dengan Republik Indonesia)

66

Gambar 4.4 Wilayah Tidore Akhir Abad ke-20 (Mencakup Halmahera Tengah, Halmahera Utara berada di bawah Kesultanan Ternate, Wilayah Lain menjadi Daerah Administratif Republik Indonesia)

66

Gambar 4.5 Wilayah Tidore Tahun 2013 (Mencakup Kota Tidore Kepulauan, Wilayah Lain menjadi Daerah Administratif Republik Indonesia)

67

SHADOW STATE:STUDI KASUS TENTANG KONFLIK SOFIFI Bahran Taib,mahasiswa Pascasarjana Magister Sosiologi UMM


(20)

Tujuan dari tesis ini adalah mempelajari latar belakang dan peran kesultanan Tidore dalam konflik terkait status Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) di Provinsi Maluku Utara. Peneliti menjelaskan kedudukan kesultanan Tidore dalam kerangka shadow state yang merupakan kekuatan politik alternatif dalam lingkungan desentralisasi modern di Indonesia. Shadow state dalam era desentralisasi modern di Indonesia merupakan faktor yang sangat penting dalam politik lokal dalam mengubah kebijakan dan strategi jangka pendek dan jangka panjang pemerintah. Karenanya, pengetahuan yang cukup mengenai latar belakang, harapan kesultanan, dan keinginannya sangat penting untuk menemukan solusi terbaik dalam menghadapi dinamika politik di daerah dan kemudian berperilaku sedemikian untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Dari analisis hasil wawancara dan studi literatur mengenai peran kesultanan Tidore dalam konflik Sofifi, peneliti menemukan kalau kesultanan Tidore memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan Sofifi sebagai satu kesatuan administratif karena berkurangnya secara drastis wilayah kekuasaannya sejak masa pra kemerdekaan. Sejak berdirinya kesultanan, wilayah kekuasaan Tidore mencakup seluruh kepulauan di Pasifik Barat, termasuk pula Maluku dan Papua. Wilayah ini terus mengecil akibat imperialisme Barat dan sempat membesar ketika Tidore membantu NKRI dalam merebut Irian Barat. Setelah era Orde Baru, wilayah Tidore semakin mengecil hingga akhirnya tersisa mencakup hanya kota Tidore Kepulauan (Tikep). DOB Sofifi praktis akan membagi kota Tikep menjadi dua yaitu Tikep lama dan Sofifi dan berarti mengurangi lebih jauh kawasan kekuasaan kesultanan secara politis. Hal ini membuat kesultanan mendukung sepenuhnya Pemerintah Kota dan DPRD Kota Tikep yang merasa dilangkahi oleh pemerintah provinsi dalam mengambil keputusan terkait DOB Sofifi.

Dalam konflik ini, hadir dua lembaga ilmiah yang menjadi sumberdaya intelektual dari kedua pihak untuk mempertahankan posisinya yaitu hasil kajian kelayakan UI dan hasil kajian kelayakan UGM. Masing-masing hasil kajian ini memiliki kelemahannya dan kajian pada isi penelitian menunjukkan kalau kajian UGM memiliki kekuatan yang mengatasi kelemahan kajian UI (yaitu kurangnya landasan teori) namun cenderung menggunakan logika yang sirkuler. Berjalannya konflik terekam dengan baik oleh media lokal yaitu Malut Post, Posko Malut, dan Monitor. Kajian pada konflik laten menemukan kalau ada kecemburuan terhadap perkembangan etnik Makian oleh etnik Tidore (yang berarti kekuasaan kesultanan Tidore) sehingga mereka tidak menginginkan etnik ini menguasai Sofifi karena etnik Makian telah pula menguasai pemerintahan provinsi. Konflik akhirnya ditentukan oleh pemilihan gubernur tahun 2013. Jika etnik Tidore dapat berkuasa di tingkat provinsi, maka masalah Sofifi kemungkinan besar akan segera tuntas, jika tidak, konflik akan terus berlanjut. Pada tingkat manifest, konflik telah smuncul setidaknya pada tanggal 4 April 2010 sejak walikota berjanji akan memekarkan Sofifi pada aliansi masyarakat yang mendukung pemekaran. Dinamika politik membuat walikota beralih mendukung penolakan pemekaran sehingga akhirnya terjadi aksi massa besar-besaran pasca keputusan DPRD menolak DOB tanggal 27 Juni 2011. Setelah penolakan resmi oleh DPRD dan Pemerintah Kota,


(21)

ditemukan kalau ada pemalsuan tanda tangan ketua DPRD dan walikota Tikep oleh pemerintah provinsi pada laporan ke Jakarta, dan ini menambah tingginya intensitas konflik. Solusi yang semestinya diambil adalah mediasi oleh pihak pemerintah pusat yang dinilai netral oleh kedua pihak. Hal ini karena upaya resolusi secara internal di Maluku Utara telah gagal dan membuat kedua pihak berseteru tetap pada pendiriannya masing-masing.

Kata kunci: daerah otonom baru, desentralisasi, elit politik lokal, kesultanan Tidore, shadow state

Shadow State:Studies Case About Conflict Status Sofifi Bahran Taib Sociology Graduate Student UMM


(22)

ABSTRACT

The purpose of this thesis is to study the background and role in the conflict-related Tidore sultanate Sofifi status as New Autonomous Region (DOB) in the province of North Maluku. The researcher explained the position of the Sultanate Tidore shadow state within the framework of which is an alternative political force in modern decentralized environment in Indonesia. Shadow state in the modern era of decentralization in Indonesia is a very important factor in local politics to change policies and strategies in the short-term and long-term government. Therefore, knowledge on the background, expectations empire, and his desire is very important to find the best solution in the face of the political dynamics in the region and then behave so as to maintain the unitary state of the Republic of Indonesia with social justice for all people. From the analysis of the interviews and literature studies on the role of Tidore sultanate in Sofifi conflict, researchers found that the Tidore sultanate had strong reason to maintain Sofifi as a whole due to reduced drastically administrative territory since pre-independence era. Since the establishment of the empire, covering the entire territory Tidore islands in the Western Pacific, including the Maluku and Papua. This region continues to shrink due to Western imperialism and was enlarged when Tidore help Homeland in West Irian. After the New Order era, the area gets smaller until finally Tidore include only city left Tidore Islands (Tikep). DOB practical Sofifi will divide the city into two Tikep Tikep old and Sofifi and means to reduce further the imperial power of the region politically. This makes the imperial government fully supports the City and City Council Tikep who felt bypassed by the provincial government in making decisions regarding DOB Sofifi.

In this conflict, there are two scientific institutions that became the intellectual resources of both parties to maintain the position that the results of the feasibility study and the results of a feasibility study UI UGM. Each outcome of this study has weaknesses and study the contents of the study showed that UGM has strengths to overcome weaknesses UI study (ie the lack of a theoretical basis) but tend to use circular logic. Conflict goes well documented by local media that Malut Post, Post Malut, and Monitor. Studies on latent conflict found that there is jealousy against ethnic development Makian by ethnic Tidore (which means power Tidore sultanate) so that they do not want ethnic as ethnic Makian Sofifi master has also mastered the provincial government. Conflict is ultimately determined by the gubernatorial election in 2013. If ethnic Tidore can power at the provincial level, then the problem is most likely Sofifi be completed soon, if not, the conflict will continue. At the manifest level, conflicts have arisen at least on April 4, 2010 from the mayor promised to split the alliance Sofifi communities that support the expansion. Political dynamics make the mayor's refusal to support the expansion switch that's when large-scale mass action after parliament rejected DOB decision dated June 27, 2011. After the formal rejection by the legislature and the City, found that there was falsification of signatures Tikep


(23)

chairman of the parliament and the mayor of the provincial government in Jakarta to report, and this adds to the intensity of the conflict. Solutions that should be taken is mediated by the central government which was considered neutral by the parties. This is because internally resolution efforts in North Maluku has failed and made the two warring parties remain in each establishment.

Keywords: new autonomous regions, decentralization, local political elites, the Sultanate Tidore, shadow state


(24)

Daftar Pustaka

Agustino, L., Mohammad Agus Yusoff. 2010. Pilkada Dan Pemekaran Daerah Dalam emokrasi Lokal Di Indonesia: Local Strongmen DanRoving Bandits. Jebat: Malaysian Journal Of History, Politics, & Strategic Studies,Vol. 37 (2010): 86 – 104

Alhadar, S. 2000. The Forgotten War In North Maluku. Inside Indonesia, 63

Alkatiri, U. (2012). Pro Kontra Pemekaran Sofifi Sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara Dalam Kajian Teori Acf. Malang: Universitas Brawijaya.

Altmann, J., Canno, L., Flaman, R., Kulessa, M., Schulz, I. 2000. The Undp Role In Decentralization And Local Governance: A Joint Undp–Government Of Germany Evaluation. Undp

Arti, D.B. 2011. Analisis Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Perkembangan Industri Kelapa Sawit Nasional (Studi Kasus Di Ptpn Iv Medan Sumatera Utara). Tesis. Ipb

Asrinaldi, A., Mohammad Agus, Y. (2011) Otonomi Negara Dan Konsolidasi Demokrasi Di Indonesia: Implementasi Politik Kekuasaan Pusat Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Masyarakat, Kebudayaan, Dan Politik, 24(1): 6-16

Ballve, T. (2011) Territory By Dispossession : Decentralization, Statehood, And The Narco Land-Grab In Colombia. Paper Presented At The International Conference On Global Land Grabbing, 6-8 April

Bappenas (2008) Evaluation Of The Proliferation Of Administrative Region In Indonesia, 2001-2007. Bridge

Barr, C., E. Wollenberg, G. Limberg, N. Anau, R. Iwan, M. Sudana, M. Moeliono, And T. Djogo. 2001. Case Study 3: The Impacts Of Decentralization On Forests And Forest-Dependent Communities In Kabupaten Malinau, East Kalimantan. Case Studies On Decentralization And Forests In Indonesia. Cifor, Bogor, Indonesia.

Beckfield, J., Krieger, N. 2009. Epi+Demos+Cracy: Linking Political Systems And Priorities To The Magnitude Of Health Ineguities – Evidence, Gaps, And A Research Agenda. Epidemiol Rev;31:152–177

Biddulph, R. 2010. Bey Village And The Political Ecology Of Southeast Asian Forests, Dalam Politicized Nature: Global Exchange, Resources And Power An Anthology Edited By Eva Friman And Gloria L. Gallardo Fernández. Cefo Publication Series (The Former Cemus Publication Series) Number 2, Hal. 73-92

Boyce, M.E. (1996). Teaching Critically As An Act Of Praxis And Resistance. Electronic Journal Of Radical Organization Theory, 2(2): 14. Diunduh Tanggal 24 Februari 2013, Dari Http://Www.Mngt.Waikato.Ac.Nz/Ejrot/Vol2_2/Boyce.Pdf

Braithwaite, J., Ali Wardak. 2013. Crime And War In Afghanistan Part I: The Hobbesian Solution.Brit. J. Criminol. (2013) 53, 179–196

Brancanti, Dawn (2006). “Decentralization: Fueling The Fire Or Dampening The Flames Of Ethnic Conflict And Secessionism?”International Organization 60: 651-685.

Clark, W.A.V. 2011. Mobility And Mobility Contexts: Modeling And Interpreting Residential


(25)

Darmawan, R.E.D. 2008. The Practices Of Decentralization In Indonesia And Its Implication On Local Competitiveness. University Of Twente

Destradi, S. 2008. Empire, Hegemony, And Leadership: Developing A Research Framework For The Study Of Regional Powers. Giga Research Programme: Violence, Power And Security

Efendi, D (2012) Yogyakarta Collective Movements And Identity In Post-Suharto Indonesia: A Case Study In Javanese Ethnic Nationalism. Dalam 2012 International Conference Of Decentralization (Icodec) Proceeding, Hal. 189-211

Eikemo Ta, Bambra C. The Welfare State: A Glossary For Public Health. J Epidemiol Community Health. 2008;62(1):3–6.

Elmhirst, R., Resurreccion, B.P. 2008. Gender, Environment And Natural Resource Management: New Dimensions, New Debates. Dalam Gender And Natural Resource Management. Livelihoods,Mobility And Interventions Edited By Bernadette P.Resurreccion And Rebecca Elmhirst. London: Earthscan, 3-22

Fadilah, K.N. 2012. Pembangunan Kearsipan Dalam Kerangka Otonomi Daerah Di Indonesia. Jurnal Kearsipan, Vol 7/Anri/12/2012, 62-90

Falleti, T.G. 2005. A Sequential Theory Of Decentralization: Latin American Cases In Comparative Perspective.American Political Science Review Vol. 99, No. 3

Fazarianto, A. (2011) Teorisasi Demokrasi, Negara Bangsa, Dan Masyarakat Madani Dalam Perspektif Undang-Undang Dasar 1945. Proceeding Seminar NasionalPeran Negara Dan Masyarakat Dalam Pembangunan Demokrasi Dan Masyarakat Madani Di Indonesia, Hal. 1-16

Filiault, S.M., Drummond, M.J.N. (2007) The Hegemonic Aesthetic. Gay And Lesbian Issues And Psychology Review, 3(3):175-184

Findlay, A., Fyfe, N., Stewart, E. 2007. Changing Places: Voluntary Sector Work With Refugees And Asylum Seekers In Core And Peripheral Regions Of The Uk. International Journal On Multicultural Societies (Ijms)Vol. 9, No. 1, 54-74

Goss, J. 2000. Understanding The “Maluku Wars”: Overview Of Sources Of Communal Conflict And Prospects For Peace.Cakalele, Vol. 11 (2000): 7–39

Gramsci, A. (1971)Selections From The Prison Notebooks, London: Lawrence And Wishart. Guest, G., Namey, E.E., Mitchell, M.L. 2013. Collecting Qualitative Data A Field Manual For

Applied Research . London: Sage

Hall, J.R., Neitz, M.J., Battani, M. 2003. Sociology On Culture. London: Routledge

Hansen, T.B., Stepputat, F. 2006. Sovereignty Revisited.Annu. Rev. Anthropol. 35:16.1–16.21 Harvey, D. (2004) The Difference A Generation Makes. Dalam Reading Economic Geography,

T.J. Barnes, J. Peck, E. Sheppard, Dan A. Tickell (Eds). London: Blackwell, Hal. 19-28 Hidayat, S. 2006. Bisnis Dan Politik D Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa Dan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca Pilkada. Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia, Jakarta

Hidayat, S. (2010) Demokrasi Elitis? Relasi Kekuasaan Pasca Pilkada.Masyarakat, Kebudayaan, Dan Politik, 23(3):169-180

Indonesia Timur Voice (4 Februari 2013) Rindu Pemilukada Damai Di Maluku Utara, Tanpa Kekerasan Dan Anarkisme. Diunduh Tanggal 24 Februari 2013, Dari


(26)

Http://Indonesiatimurvoice.Blogdetik.Com/2013/02/04/Rindu-Pemilukada-Damai-Di-Mal uku-Utara-Tanpa-Kekerasan-Dan-Anarkisme/

Indonesia Timur Voice (5 Februari 2013) Ternate: “Borok” Pengelolaan Apbd Di Maluku Utara.

Diunduh Tanggal 24 Februari 2013, Dari

Http://Indonesiatimurvoice.Blogdetik.Com/2013/02/05/Ternate-Borok-Pengelolaan-Apbd -Di-Maluku-Utara/

Jabes, J. 2004. The Role Of Public Administration In Alleviating Poverty And Improving Governance. Kuala Lumpur: Adb

Jafar, M. (2009) Perkembangan Dan Prospek Partai Politik Lokal Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis. Universitas Diponegoro

Jay, Martin 1973 The Dialectical Imagination. Boston: Little, Brown:

Jedawi, M (2012) The Role Of Bureucracy Increasing Competitiveness And Local Investment. Dalam 2012 International Conference Of Decentralization (Icodec) Proceeding, Hal. 212-223

Jessop, B. (2002). Governance And Metagovernance: On Reflexivity, Requisite Variety, And Requisite Irony. Bailrigg, Lancaster, Uk: Department Of Sociology, Lancaster University. Retrieved 14 Mei 2013, From Http://Www.Comp.Lancs.Ac.Uk/Sociology/Soc108rj.Htm Kaiser, F.M. 2011. Interagency Collaborative Arrangements And Activities: Types, Rationales,

Considerations. Congressional Research Service 7-5700

Kamaludin. 2010. Sokongan Politik Dan Leverage: Kasus Indonesia. Jurnal Ekonomi Bisnis No. 2, Volume 15 92-104

Kaplan Ga. Health Inequalities And The Welfare State: Perspectives From Social Epidemiology. Nor Epidemiol. 17(1):9–20

Keith, Green. (2005). Decentralization And Good Governance The Case Of Indonesia. Munic Personea Repec Archive. Diunduh Tanggal 24 Februari 2013, Dari Http://Mpra.Ub.Uni-Muenchen.De/18097/

Keohane, R. O. (1982). The Demand For International Regimes. International Organization, 36(2), 325–355

Kohly, N. (2010) An Exploration Of School-Community Links In Enabling Environmental Learning Through Food Growing: A Cross-Cultural Study. Master Thesis. Rhodes University

Kompas. (4 Agustus 2010) 85% Daerah Otonomi Kurang Layani Warga. Diunduh Tanggal 24

Februari 2013, Dari

Http://Regional.Kompas.Com/Read/2010/08/04/1023333/85.Daerah.Otonomi.Kurang.Lay ani.Warga-5

Kothari, C.R. 2004. Research Methodology: Methods And Techniques. 2nd Edition. New Delhi: New Age

Lake, David A. 1993. Leadership, Hegemony, And The International Economy: Naked Emperor Or Tattered Monarch With Potential?International Studies Quarterly37 (4): 459-489 Legard, R., Jill Keegan ., Kit Ward . 2003. In-Depth Interviews . DalamQualitative Research

Practice A Guide For Social Science Students And ResearchersEdited By Jane Ritchi and Jane Lewis, London: Sage, Hal. 138-169

Legro, J., Moravcsik, A. 2008. Is Anybody Still A Realist? Http://Asrudiancenter.Wordpress.Com/2008/07/08/Is-Anybody-Still-A-Realist/


(27)

Lewis, J . 2003. Design Issues. DalamQualitative Research Practice A Guide For Social Science Students And ResearchersEdited By Jane Ritchi and Jane Lewis, London: Sage, Chapter 3

Masaaki, O (2004) Local Politics In Decentralized Indonesia: The Governor General Of Banten Province. Iias Newsletter No.34:24.

Mazaheri-Khorzani, E. 2002. Conflict Management Approaches, Customer Expectation Evaluation, And Customer Satisfaction: An Empirical Investigation. Master Thesis. University Of Lethbridge

Meizel, K. (2011) Idolized: Music, Media, And Identity In American Idol. Bloomington: Indiana University Press

Mitropolitski, S. (2012) The Role Of European Union Integration In Post-Communist Democratization In Bulgaria And Macedonia. Phd Dissertation. Universite De Montreal Mohammad Agus, Y., Leo, A. (2012) Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal Di

Indonesia Pasca Orde Baru. Jebat: Malaysian Journal Of History, Politics, And Strategic Studies, 39(1):75-96

Nash, K. (2010)Contemporary Political Sociology. 2nd Edition. West Sussex: Wiley-Blackwell Ngakan, P.O., Achmad, A., Lahae, K., Komarudin, H., Tako, A. 2007. Implikasi Perubahan

Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Beberapa Aspek Di Sektor Kehutanan Studi Kasus Di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Cifor

Nharnet., T. (2005). Decentralized Governance : A Global Sampling Of Experiences, Undp Monograph On Decentralization.

Nurdin, N (2012) Indonesia Decentralization: Direct Local Election Vs Public Services Delivery. Dalam 2012 International Conference Of Decentralization (Icodec) Proceeding, Hal. 243-258

O’neill, K. 2008.Decentralized Politics And Political Parties In The Andes.Cornell University Ongla, O. 2007. A Study Of The Forms And Approaches To The Decentralization Of Power And

The Mechanisms For Popular Participation In Local Administration In The Philippines And Indonesia, Dalam Asian Alternatives For A Sustainable World: Transborder Engagements In Knowledge Formation. Api. Hal. 120-130

Painter, J. (2000). State And Governance. In E. Sheppard & T. Barnes (Eds.), A Companion To Economic Geography(Pp. 359–376). Oxford: Blackwell

Pemerintah Ri. 2004. Uu Ri No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Peters, A., Forster, T., Koechlin, L. 2009. Chapter 18: Towards Non-State Actors As Effective, Legitimate, And Accountable Standard-Setters. In Anne Peters, Lucy Köchlin, Till Förster, And Gretta Fenner (Eds.), Non-State Actors As Standard Setters, Cambridge University Press

Poulantzas, N. (1972) ‘The Problem Of The Capitalist State’, In R. Blackburn (Ed.) Ideology In Social Science: Readings In Critical Social Theory. London: Fontana

Prasojo, E. (2009). “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Di Indonesia: Antara Sentripetalisme Dan Sentrifugalisme”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Indonesia, 8 April 2008, Www.Ekoprasojo.Com; Accessed 14 Mei 2013 Priscoli, J. D. (1998). Public Involvement; Conflict Management; And Dispute Resolution In

Water Resources And Environmental Decision Making. Public Involvement And Dispute Resolution: A Reader On The Second Decade Of Experience At The Institute For Water


(28)

Institute For Water Resources, Us Army Corps Of Engineers, Alexandria, Usa. Iwr Report 98-R-5.: 51

Qodir, Z., Sulaksono, T. (2012) Politik Rente Dan Konflik Di Daerah Pemekaran: Kasus Maluku Utara.Jksg Working Paper No: 002/Jksg/2012

Ramadayani, F. 2011. Efektivitas Pelaksanaan Program Raskin Di Desa Kubang Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar. Universitas Riau

Renner, M. 2002. Breaking The Link Between Resources And Repression. State Of The World 2002

Resurreccion, B. 2008. 8 Gender, Legitimacy And Patronage-Driven Participation: Fisheries Management In The Tonle Sap Great Lake, Cambodia. Dalam Gender And Natural Resource Management. Livelihoods,Mobility And Interventions Edited By Bernadette P.Resurreccion And Rebecca Elmhirst. London: Earthscan, 151-174

Ribot, J.C. 2002. African Decentralization Local Actors, Powers And Accountability. Unrisd Programme On Democracy, Governance And Human Rights Paper Number 8

Rios, M. 2006. Scale, Governance Coalitions, And The Branding Of Collective Action: The Politics Of Obesity In Pennsylvania. Dissertation. The Pennsylvania State University Ritzer, G. 2008. Sociological Theory. 8th Edition. Mcgraw-Hill

Rummel, R.J. 1979. Understanding Conflict

And War: Vol. 3:Conflict In Perspective. The Journal Of Politics,Vol. 41

Schneider, A. (2003). Decentralization : Conceptualization And Measurement, Studies In Comparative International Development, Vol. 38, No. 3, Pp. 32-56

Sidel, Jt (2005) Bossism And Democracy In The Philippines, Thailand, And Indonesia: Towards An Alternative Framework For The Study Of ‘Local Strongmen’. Dalam: J. Harriss, K. Stoke, O. Teornquist (Eds). Politicising Democracy: The New Local Politics Of Democratisation. London: Palgrave Macmillan. Hlmn: 51-74

Sim, S-F. (2004) Dewesternising Theories Of Authoritarianism: Economics, Ideology And The Asian Economic Crisis In Singapore.Asia Research Center Working Paper No. 103 Smoke, P. Undp, Beyond Normative Models And Donor Trends: Strategic Design And

Implementation Of Fiscal Decentralization In Developing Countries, Internal Working Draft, Prepared For The Management Development And Governance Division, By Paul Smoke, International Development And Regional Planning Program, Department Of Urban Studies And Planning, Massachusetts Institute Of Technology, 10-404, 77 Massachusetts Avenue, Cambridge, Ma 02139 Usa, April 1999, Pp. 14-15

Snidal, Duncan (1985): The Limits Of Hegemonic Stability Theory, In: International Organization 39 (4), Pp. 579-614.

Social Enterprise.2012. The Shadow State: A Report About Outsourcing Of Public Services. Social Enterprise

Spanger, H-J. 2001. The Ambiguous Lessons Of State Failure. Failed States Conference, 11-14 April 2001-03-30

Sriningsih, E. (2011) Perdebatan Teoritis Mengenai Civil Society Di Negara-Negara Asia. Proceeding Seminar Nasional Peran Negara Dan Masyarakat Dalam Pembangunan Demokrasi Dan Masyarakat Madani Di Indonesia, Hal. 98-118

Starfield B. 2006. State Of The Art In Research On Equity In Health. J Health Polit Policy Law.;31(1):11–32


(29)

Staszczak, D.E. 2012. International Trade And Capital Flows As The Sources Of The Nations Poverty Or Richness Knowledge Globalization Conference, Boston, October 16-17,: 171-190

Sulistiowati, R., Meiliyana (2012) Evaluation Of Decentralization Implementation And Regional Autonomy In New Autonomous Region (Dob) : Case Study In The District (Kabupaten) Of Peswaran Of Lampung Province. Dalam 2012 International Conference Of Decentralization (Icodec) Proceeding, Hal. 81-91

Tadjoeddin, M.Z. 2007. A Future Resource Curse In Indonesia: The Political Economy Of Natural Resources, Conflict And Development.Crise Working Paper No. 35

Tarigan, A. 2012. Decentralization And Globalization In The Glocalization Era Findings And Lessons From Karo Regent North Sumatera Province, Indonesia. 2012 International Conference Of Decentralization (Icodec) : 72-81

The Jakarta Post (4 Agustus 2010) President Supports Plan To Create Economic Center In Morotai. Diunduh Tanggal 24 Februari 2013, Dari Http://Www.Thejakartapost.Com/News/2010/08/04/President-Supports-Plan-Create-Eco nomic-Center-Morotai.Html

Tomagola, T. A. 2000. The Bleeding Ofhalmahera Of North Moluccas. Paper From The Workshop On Political Violence In Asia, Oslo, 5-7 June 2000

Tommasoli, M. 2007. Representative Democracy And Capacity Development For Responsible Politics. Dalam Public Administration And Democratic Governance: Governments Serving Citizens. Un, 52-77

Turner, Jonathan H. 1985 “In Defense Of Positivism.”Sociological Theory3:24–30. Undp. (1999) Decentralization: A Sampling Of Definition. Undp Working Paper. Unicef. 2012.Children In An Urban World. Unicef

Van Klinker, G. 2009. Decolonization And The Making Of Middle Indonesia. Urban Geography, 2009, 30, 8, Pp. 879–897

Victor, D.A., Lanier, P.A, 2006. Conflict Management And Negotiation. Encyclopedia Of Management. 5th Edition. Edited By Marilyn M. Helms. Thomson-Gale, 115-119

Waltz, Kenneth N. (1979):Theory Of International Politics. New York, N.Y.: Random House Weitz, B.A., Bradford, K.D. 1999. Personal Selling And Sales Management: A Relationship

Marketing Perspective.Journal Of The Academy Of Marketing Science1999; 27; 241 Wirawan, 2010. Konflik Dan Manajemen Konflik, Teori, Aplikasi, Dan Penelitian, Penerbit

Salemba Humanika, Jakarta

Yoffe, S. B., Wolf, A. T. And Giordano, M. (2001). Conflict And Cooperation Over International Freshwater Resources: Indicators And Findings Of The Basins At Risk. Journal Of American Water Resources Association, 39(5), 1109–1126

Yusuf, M (2012) The Problems Of Regional Decentralization In Indonesia In A Public Policy Analyst Perspective. Dalam 2012 International Conference Of Decentralization (Icodec) Proceeding, Hal. 281-287

Zeitoun, M., Warner, J. 2006. Hydro-Hegemony – A Framework For Analysis Of Trans-Boundary Water Conflicts.Water Policy 8: 435–460


(30)

BAB I PENDAHULUAN

1..1Latar Belakang Masalah

Agustus 2010, Presiden Susilo Bambang Yudoyono meresmikan kota Sofifi, ibu kota kecamatan Oba Utara, wilayah Kota Tidore Kepulauan, di Pulau Halmahera sebagai ibu kota provinsi Maluku Utara yang baru, menggantikan Ternate yang berada di Pulau Ternate (The Jakarta Post, 4 Agustus 2010). Sofifi sendiri telah menjadi ibu kota Maluku Utara sejak 12 Oktober 1999 dalam UU No 46 Tahun 1999 seiring berdirinya provinsi Maluku Utara, hasil pemekaran provinsi Maluku. Masalahnya, ketika diresmikan saat itu, Sofifi masih sangat kekurangan infrastruktur. Ibu kota akhirnya dipindah sementara ke Ternate menunggu proses pembangunan infrastruktur. Setelah sejumlah kemajuan seperti berdirinya kantor gubernur, DPR, kejaksaan tinggi, kepolisian, dan kantor-kantor dinas, Sofifi kembali menjadi ibu kota Maluku Utara. Walau demikian, hingga diresmikan kembali sebagai ibu kota, masih belum ada fasilitas perumahan pegawai negeri sipil, fasilitas air dan listrik serta sosial (Kompas, 4 Agustus 2010). Belum adanya fasilitas ini membuat pegawai negeri sipil harus menyeberang dari Ternate setiap hari untuk bekerja di Sofifi, sementara kota Sofifi sendiri terpisah dari Ternate sejauh 30 menit hingga 1 jam perjalanan laut dengan biaya kapal Rp 30.000 -50.000 per orang.


(31)

Konflik terbuka bermula dari pemerintah Kota Tidore Kepulauan (Tikep) dan DPRD Tikep serta pihak kesultanan Tidore dalam bentuk penolakan atas wacana status Sofifi untuk menjadi daerah otonom baru (DOB). Untuk menjadi ibukota, Sofifi harus dimekarkan dari kota Tikep. Pemerintah kota Tikep menolak keras pemekaran karena dengan mengeluarkan Sofifi dari wilayahnya untuk menjadi daerah otonom baru, pemerintah kota Tikep akan mengalami penurunan PAD besar-besaran. Sekitar separuh PAD Kota Tidore Kepulauan berasal dari Sofifi (Qodir dan Sulaksono, 2012:33). DPRD Tikep pada bulan Mei 2011 melakukan Sidang Paripurna yang menolak usul pemekaran Sofifi tersebut. Sementara itu, Gubernur tetap mendorong pemekaran Sofifi agar memperoleh lahan baru untuk kepentingan politik dan ini didukung oleh rakyat Sofifi. Akibatnya terdapat konflik vertikal dan horizontal yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah Tikep bersama DPRD dan sultan Tidore yaitu dengan pemerintah provinsi Maluku Utara dan dengan rakyat Sofifi yang diwakili oleh AMOB (Aliansi Oba Bersatu) (Alkatiri, 2012).

Kedua pihak memiliki massa dan kedua pihak juga memiliki dukungan dari penelitian ilmiah. Pemerintah provinsi berpegang pada rekomendasi penelitian Universitas Indonesia, yang dananya datang dari pemerintah provinsi Maluku Utara itu sendiri. Begitu juga, pemerintah Tikep dan Kesultanan Tidore berpegang pada penelitian UGM yang biayanya diduga berasal dari pemerintah Tikep. Penelitian UI menyimpulkan perlunya kota Sofifi berdiri sendiri sementara penelitian UGM


(32)

menyimpulkan kalau kota Sofifi tidak perlu berdiri sendiri (Qodir dan Sulaksono, 2012:34).

Dalam wacana konflik antara kesultanan Tidore dengan Pemerintah Pusat/Provinsi perlu diperhatikan tentang gagasan shadow state. Shadow state merujuk pada legitimasi sistem pemerintahan berbasis budaya lokal yang berbentuk kesultanan untuk mendukung pemerintah pusat. Perlu digarisbawahi kalau shadow state berkonotasi negatif bagi pemerintahan, khususnya pemerintahan negara kesatuan. Akan terlihat bahwa pemerintah melanggar prinsip dasar kebangsaan jika harus berkompromi tanpa dasar legalitas dengan kekuasaan tradisional ataupun shadow state. Untuk itu, kesimpulan bahwa pemanfaatan shadow state sebagai sebuah usaha penanganan konflik di Maluku patut dikaji ulang.

Dalam perspektif teori, elit politik lokal dalam menghadapi suatu pilihan membuat kalkulasi-kalkulasi rasional yang tentunya memprioritaskan keuntungan bagi pihak mereka. Dengan menghubungkan antara pilihan dengan janji-janji bantuan dari pusat, elit politik lokal dapat terdorong untuk mendukung kebijakan dari pusat. Hal ini telah ditunjukkan dalam kasus integrasi negara-negara ex-komunis dengan Uni Eropa (Mitropolitski, 2012:45). Adanya janji bantuan finansial dan bentuk lain, negara-negara ini melakukan kalkulasi ulang sehingga lebih mengarah pada dukungan integrasi daripada penolakan. Masalahnya, dalam kasus Sofifi, elit politik lokal (DPRD Tikep) justru merasa pilihan yang mereka peroleh tidak menguntungkan mereka. Kalkulasi rasional mereka menunjukkan kalau hilangnya Sofifi akan menyebabkan berkurangnya PAD. Atas alasan ini,


(33)

mereka tidak mengizinkan provinsi membentuk Sofifi sebagai daerah otonom, apalagi ketika pada awalnya Gubernur tidak berkonsultasi dengan mereka.

Walau begitu, pemerintah pusat memiliki hegemoni untuk menghasilkan kebijakan yang tidak menguntungkan bagi masyarakat dan lebih menguntungkan para elit ekonomi. Pemerintah daerah, khususnyashadow state, akan lebih memilih menjadi counter-hegemoni atas liberalisasi politik dan sistem pasar bebas yang mengancam kebudayaan mereka (Efendi, 2012:189). Hal ini seharusnya mendukung desentralisasi karena sentralisasi memunculkan hegemoni kekuasaan yang terlalu berlebihan (Jedawi, 2012:212). Masalahnya, bahkan desentralisasi sekalipun masih dipandang belum mampu menjadi counter-hegemoni bagishadow state di Sofifi. Landasan inilah yang membuat perlunya aspek shadow state diperhitungkan dalam pemekaran daerah otonomi baru.

Adalah mungkin mendamaikan shadow state dengan pemerintah pusat. Dalam wacana shadow state, kesultanan lokal atau pemerintahan informal lainnya, diberi kepercayaan untuk merumuskan hal-hal penting untuk pengelolaan sumberdaya ekonomi dengan tetap berpegang pada kebijakan-kebijakan dari pusat. Pusat sendiri harus memodifikasi kebijakannya, setelah memperoleh masukan dari shadow state. Begitu pula, pusat harus memberikan inisiatif kreatif yang kemudian dipertimbangkan oleh shadow state. Di sini diperoleh sebuah harmoni antara dua jenis kekuasaan yang ada di wilayah otonomi baru.

Saat ini, Indonesia memiliki 535 wilayah otonom yang terdiri dari 34 provinsi, 502 kabupaten, 93 kota, 5 kota administratif, dan 1 kabupaten


(34)

administratif (Sulistiowati dan Meiliyana, 2012:81). Tahun 2012 saja, ada lima daerah otonom baru. Sebuah daerah otonom baru harus memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsi dasar dalam bentuk kebijakan pelayanan publik, manajemen konflik, dan pemberdayaan diri masyarakat lokal. Tanpa kemampuan ini, daerah otonom baru justru terjebak dalam konflik berlarut-larut dan tidak mampu memberikan pelayanan publik yang baik dan masyarakat menjadi tidak berdaya. Hal ini didukung pula oleh makna negatif dari istilah ‘baru’ yang bertanda memisahkan diri dari wilayah lama (Yusuf, 2012:282), apalagi jika wilayah lama mengalami kerugian atas pemisahan ini. Studi oleh Bappenas (2005 dalam Yusuf, 2012:284) pada lima daerah otonom baru menemukan bahwa PAD memang meningkat untuk daerah ini, namun DAU masih tetap tinggi dan pelayanan publik masih belum lebih baik dari sebelumnya. Hanya setelah daerah otonom cukup berkembang setelah beberapa lama, pelayanan publik mulai meningkat dan ketergantungan pada DAU mulai menurun. Selain itu, ditemukan pula kalau pembentukan daerah otonom baru seringkali lebih pada aspek kebijakan sementara kondisi fisik, regional, dan administrasi tidak diperhitungkan dengan teliti (Yusuf, 2012:286).

Proyek sosial dan politik seperti wilayah otonomi merupakan wilayah kerja hegemoni untuk mempertahankan dimensionalitasnya (Ballve, 2011:2). Wilayah merupakan “morfologi sosial dimana kekuasaan negara diatur, diorganisir, dan dilaksanakan secara spasial” (Ballve, 2011:3). Daerah otonomi baru menjadi sebuah pusat ko-produksi hegemoni dan wilayah itu sendiri (Ballve, 2011:13).


(35)

Masyarakat yang berada dalam wilayah tersebut dapat bereaksi dalam bentuk perjuangan atau gerakan dalam melawan usaha ko-produksi tersebut. Karenanya teori Gramsci telah banyak digunakan untuk menjelaskan perjuangan atau gerakan daerah dalam melawan pemerintah pusat (Mohammad Agus dan Leo, 2012).

Diterapkan dalam kasus Sofifi, adalah penting bagi pemerintah informal seperti kesultanan Tidore untuk membentuk konsensus di masyarakat untuk mendukung legitimasinya dalam menolak daerah otonomi baru Sofifi. Negara, dalam hal ini diwakili oleh pemerintah pusat dan provinsi menjadi kekuatan politik yang berusaha menekan masyarakat. Dengan munculnya kasus konflik di Sofifi, jelaslah bahwa kekuatan masyarakat madani telah cukup kuat untuk menandingi kekuatan negara. Wacana shadow state kemudian menjadi relevan untuk menjelaskan bagaimana usaha harmonisasi antara dua kekuatan ini dapat dipadukan demi mendukung Sofifi sebagai daerah otonomi baru.

Apakah kesadaran berlawanan ini datang dari daerah atau dari luar daerah (misalnya kapitalisme global), masih merupakan hal yang tidak dapat ditentukan. Di sinilah peran shadow state dalam menjamin bahwa kesadaran berlawanan tersebut lahir dari masyarakat lokal. Hal ini didukung oleh pandangan kalau proses sosial yang menciptakan dan melaksanakan aturan, ketimbang aturan yang dibentuk lalu mengendalikan kehidupan sosial (Kohly, 2011:77).

1..2Permasalahan

Pemerintahan daerah pada awalnya diatur oleh UU No 22 tentang Pemerintahan Daerah tahun 1999 yang mengganti UU No. 5 tahun 1974, yang


(36)

pada gilirannya menggantikan UU No.18 tahun 1965. UU No 22 sendiri digantikan oleh UU No. 32 tahun 2004. Dua Undang-Undang terakhir (UU No. 22/1999 dan 32/2004) memiliki kelonggaran bagi shadow state namun hanya pada tingkatan desa. Definisi desa menurut UU No. 32 tahun 2004 adalah “Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dibandingkan dengan sebelumnya, yaitu pada UU No. 22 tahun 1999, terdapat tambahan “yang memiliki batas-batas wilayah” dan “dan dihormati”. Hal ini berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974 bahkan tidak mendefinisikan desa sama sekali.

Pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu kecamatan, otoritas tidak lagi dapat dipegang oleh kesultanan atau sistem pemerintahan tradisional. Pada tingkatan kecamatan, pemerintahan berada dalam kekuasaan pemerintah daerah. UU No. 32 tahun 2004 menyatakan Pemerintah Daerah sebagai “Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemda”. Jika seorang sultan misalnya, tidak menjadi gubernur, bupati, atau walikota, maka statusnya sebagai kepala pemerintahan otonom menjadi tidak diakui walaupun secara asal-usul dan adat-istiadat, dialah yang berkuasa untuk daerah tersebut. Hal inilah yang menjadi akar masalah dari segi kebijakan dalam konflik di Sofifi antara kesultanan Tidore dan Pemerintah Provinsi.


(37)

Reformasi tata kelola pemerintahan yang baik sangat dibutuhkan bagi suatu wilayah yang sedang atau baru saja mengalami konflik politis. Indonesia Timur, khususnya Maluku merupakan daerah yang rawan dengan konflik dan telah punya banyak sejarah konflik semenjak masa desentralisasi. Karena jauh dari pusat, Indonesia Timur lebih bermasalah lagi ketika desentralisasi digulirkan dan justru memunculkan konflik. Dalam sejarah Indonesia sendiri, desentralisasi Hindia Belanda pada masa politik etis merupakan salah satu pemicu usaha perjuangan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Kita tidak ingin agar Indonesia Timur mewacanakan pemisahan diri yang lebih radikal akibat perselisihan antara daerah dan pusat. Hal ini sedikit banyak telah hadir di Papua lewat benih disintegrasi lewat OPM.

Wacana daerah otonomi baru diharapkan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah tersebut. Walau begitu, studi Bappenas (2008) memberikan hasil yang kurang menggembirakan. Studi Bappemas (2008) menggunakan 10 kabupaten induk, 10 kabupaten otonom baru, dan enam kabupaten kontrol. Penelitian ini menemukan kalau justru daerah induk memberikan hasil yang jauh lebih baik daripada daerah otonom baru dalam lima tahun kebijakan berjalan. Hal ini terjadi walaupun daerah otonom baru mulai dengan kehidupan yang posisinya tidak berbeda jauh dengan daerah induk (Bappenas, 2008:5). Gambaran perkembangan yang buruk ini ditunjukkan dalam Gambar 1.1. Daerah terbagi merujuk pada gabungan antara daerah otonom baru dan daerah induk.


(38)

Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Bappenas, 2008:23)

Walaupun dalam gambar terlihat bahwa ada pencapaian hampir rata-rata di tahun 2005, tingkat kemiskinan di daerah otonom baru mencapai 21,4% dibandingkan di daerah induk yang hanya 16,7% (Bappenas, 2008:24). Dalam indeks kinerja ekonomi regional, daerah otonom baru bahkan berkinerja lebih buruk daripada seluruh tipe wilayah lainnya (Bappenas, 2008:25). Sebaliknya, ketergantungan fiskal daerah otonomi baru justru selalu lebih tinggi dari seluruh tipe wilayah lainnya (Bappenas, 2008:26). Hal ini disebabkan daerah otonom baru tidak mengembangkan PAD mereka dengan usaha yang lebih besar daripada


(39)

daerah induk sehingga rasio PAD terhadap GDP regionalnya lebih rendah dari daerah induk (Bappenas, 2008:27). Sebagian administrasi dan personilnya bahkan masih menumpang di daerah induk pada awal-awal pembentukan.

Jika menjadi daerah otonom baru tidak lebih baik daripada tetap berada pada daerah induk, mengapa daerah otonom baru terus diwacanakan? Hal ini karena keuntungan bagi hegemoni elit politik lokal. Dalam kasus Sofifi, keuntungan ini diperoleh gubernur selaku pendorong wacana daerah otonom baru Sofifi. Aktor masyarakat madani sendiri tidak memperoleh keuntungan sehingga memunculkan protes dan berujung pada konflik terbuka antara pemerintah kota Tikep dengan pemerintah provinsi Maluku Utara.

Shadow state adalah massa non-pemerintah yang mengendalikan birokrasi dari luar pemerintahan (Jedawi, 2012:218). Ia disebut jugalocal bossism atau local strongmen oleh Sidel (2005) dan Masaaki (2004). Ia dapat berupa perusahaan swasta, namun juga dapat berupa pemuka masyarakat dan pemimpin informal seperti kesultanan. Pegawai pemerintah sendiri mampu menjadi elemen dari shadow state lewat korupsi dengan penyuapan dan patronasi atau klientelasi. Negara dengan bayangan (shadow) yang lebih besar dari dirinya sendiri berarti sebuah negara yang memiliki hegemoni justru di luar kekuasaan formal (Mohammad Agus dan Leo, 2012:92). Dalam kasus Banten, para jawara menjadi penentu agenda publik, bukannya pemerintah daerah (Asrinaldi dan Mohammad Agus, 2011:2). Dalam kasus Sofifi, kesultanan Tidore merupakan salah satu aktor darishadow state. Aktor ini memperoleh dukungan dari budaya dan tradisi historis


(40)

yang masih mengakar kuat di masyarakat Tidore. Pengabaian atas shadow state memunculkan konflik yang mempertemukan negara dengan masyarakat madani dalam kerangka berpikir Gramskian.

Shadow state muncul karena adanya pelapukan dalam kelembagaan pemerintah formal. Pelapukan itu sendiri terjadi akibat ketidakberdayaan pemerintah formal dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan politik dari luar pemerintahan. Pada awalnya kekuatan-kekuatan ini tidak terstruktur namun seiring melemahnya pemerintah formal, kekuatan-kekuatan ini mengambil bentuk dan mengambil kendali otoritas informal di luar struktur pemerintah (Hidayat, 2010:4).

Sebagai calon daerah otonom baru, kecil kemungkinannya kalau Sofifi akan berkembang mengalahkan trend yang ditemukan oleh Bappenas (2008). Hal ini semakin sulit ketika awal berdirinya penuh dengan konflik antar pemerintah provinsi dan pemerintah kota. Konsep shadow state ini telah ditunjukkan sejalan dengan kerangka teori hegemoni Gramsci yang dipandang sesuai untuk menganalisis perilaku elit politik dalam wacana desentralisasi. Lebih jauh, permasalahan di atas menuntut pentingnya shadow state dipertimbangkan dalam pemertahanan Sofifi sebagai daerah otonom baru. Atas pertimbangan di atas, maka penelitian ini mengambil masalah utama “bagaimana mendorong kerjasamashadow state dalam meresolusi konflik, mengadaptasi, dan membangun harmoni di Sofifi sebagai daerah otonom baru di Maluku Utara?”


(41)

Permasalahan utama tersebut kemudian dapat dipecah menjadi sejumlah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Mengapa kesultanan Tidore menentang Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru?

2. Bagaimana peran kesultanan Tidore sebagai shadow state dalam konflik Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru?

3. Bagaimana resolusi konflik yang dilakukan dalam mendamaikan konflik tersebut?

3.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui mengapa kesultanan Tidore menentang Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru

2. Untuk mengetahui peran kesultanan Tidore sebagai shadow state dalam konflik Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru

3. Untuk mengetahui resolusi konflik yang dilakukan dalam mendamaikan konflik tersebut

3.4 Manfaat Penelitian

1. Dilihat dari kegunaan akademis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam pengembangan studi sosiologi politik di Indonesia.


(42)

2. Dilihat dari kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan memberikan hasil untuk pertimbangan dan pengembangan kebijakan terkait daerah otonom baru di wilayah lain di Indonesia maupun dalam pengembangan kota Sofifi sebagai daerah otonom dalam mengembangkan kapasitasnya.

2.5 Kerangka Pemikiran

Maluku Utara sebagai sebuah provinsi hasil pemekaran provinsi Maluku hingga sekarang masih mengalami banyak permasalahan politis. Pemilihan gubernur tahun 2008 misalnya, merupakan peristiwa penuh konflik dimana pertikaian berlangsung hingga tataran masyarakat umum. KPUD Malut meloloskan Armaiyn-Ghani sebagai pemenang namun KPU menganulirnya dengan menyatakan proses pilkada berlangsung tidak adil. Ketua KPUD Malut dipecat dan hasil perhitungan suara diperiksa ulang. Hasilnya pasangan Gafur-Fabanyo yang menjadi pemenang. Massa kedua belah pihak melakukan protes dan konflik terjadi selama setengah tahun.

Masalah juga terjadi di tingkat DPRD ketika sejumlah kasus korupsi terbongkar dalam pengelolaan APBD provinsi. Defisit APBD 2012 bahkan mencapai Rp 186,59 Miliar dan ada dua versi laporan yaitu hasil audit BPK dan laporan pemprov Malut (Indonesia Timur Voice, 5 Februari 2013). Banyak proyek yang tidak selesai dan praktek korupsi dengan pembelian tanah oleh oknum pemerintah daerah untuk dijual kembali ke pemerintah daerah dengan harga tinggi. Hal ini belum menghitung lagi masalah konflik antar kampung yang sering kali terjadi tanpa jelas akar permasalahannya.


(43)

Kasus konflik dalam status Sofifi sebagai daerah otonom baru merupakan salah satu kasus konflik di Maluku Utara yang patut dicermati. Kasus ini relatif baru dan dapat memberikan sedikit banyak gambaran mengenai bagaimana sesungguhnya permasalahan yang dihadapi Maluku Utara sehingga konflik yang terjadi berkepanjangan dan terjadi dalam banyak aspek. Kajian ini semakin penting mengingat tahun 2013 akan diadakan pemilihan gubernur yang berpotensi menjadi sumber baru konflik di Maluku Utara (Indonesia Timur Voice, 4 Februari 2013).

Dalam sosiologi politik, teori yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah konflik elit politik lokal adalah teori hegemoni Gramsci. Gramsci menyatakan bahwa kesepakatan yang diperoleh hegemoni dari masyarakat lebih efektif dan bertahan lama daripada penggunaan kekerasan dan dominasi (Jafar, 2009:40). Dipandang dengan kacamata ini, konflik di Maluku Utara merupakan sebuah unjuk kekuasaan hegemoni dalam merebut kesepakatan. Elit politik lokal yang bertikai melontarkan wacana ke publik dan publik memberikan pilihannya. Ketika dukungan atau kesepakatan yang diperoleh telah mencukupi, mobilisasi massa dapat dilakukan dan unjuk kekuasaan antar hegemoni berlangsung di medan konflik.

Dalam medan konflik semacam ini, Gramsci melihat kaum intelek berada dalam mendung pesimisme (Harvey, 2004:27). Walau begitu, mereka semestinya bekerja keras dan memunculkan optimisme kalau masalah yang ada ini akan terselesaikan. Para intelektual harus mengeluarkan pendapatnya dan solusi-solusi atas permasalahan yang terjadi dalam konflik hegemoni sehingga tujuan utama


(44)

yaitu kesejahteraan masyarakat umum dapat tercapai. Sejumlah penelitian telah dilakukan dan menggambarkan masih adanya optimisme ini. Salah satu penelitian tersebut adalah penelitian Qodir dan Sulaksono (2012) yang secara komprehensif mengkaji pola konflik di Maluku Utara. Penelitian mereka merekomendasikan shadow state sebagai solusi atas permasalahan konflik yang berlarut-larut di provinsi muda ini. Penelitian sekarang adalah usaha untuk mempertegas optimisme tersebut dengan mengkaji lebih jauh aspek-aspek shadow state tersebut untuk menjadi lebih praktis di tataran pelaksanaan oleh pemangku kebijakan dan kepentingan di Maluku Utara.

Pihak-pihak yang bertikai dalam kasus Sofifi adalah pihak-pihak dengan latar belakang ideologis berbeda. Hal ini sejalan dengan pandangan Gramsci kalau ideologi adalah praktek yang membentuk subjek dan subjek tersebut adalah keinginan-keinginan politik kolektif untuk menarik berbagai pihak ke dalam proyek hegemoni (Nash, 2010:6). Dengan kata lain, akar masalah konflik elit politik lokal dalam perspektif Gramsci adalah gagasan dan nilai dalam berbagai kombinasi. Masing-masing pihak punya ideologinya sendiri dan ideologi tersebut yang menarik berbagai pendukung atas subjek yang mewacanakannya. Sebagai teori neo-Marxis, pada akhirnya, ideologi ini berakar dari masalah ekonomi dan ekonomi bukan hanya menjadi kekuatan penentu politik, namun juga sebuah hegemoni luar yang memberi masukan pada pertikaian antar subjek untuk meraih hegemoni di masyarakat.


(45)

Dengan pemahaman di atas, menjadi relevan untuk mengangkat isu shadow state ke permukaan. Shadow state menjadi sebuah latar belakang ideologis baru yang patut diperhitungkan dalam penanganan konflik di Sofifi. Apapun hasil kompromi antara state dan shadow state, hasil akhirnya harus memberikan kemanfaatan maksimal bagi masyarakat. Kemanfaatan ini dapat diperoleh jika konflik yang ada beranjak menjadi resolusi, kemudian adaptasi, dan diakhiri dengan harmonisasi. Berlandaskan pemikiran tersebut, penelitian sekarang memiliki kerangka dalam bentuk diagram seperti pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran

2.6 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian studi kasus. Studi kasus dipilih karena memang masalah Sofifi merupakan masalah yang mempengaruhi masyarakat hingga taraf dimana konflik yang terjadi mengganggu aktivitas warga dalam mengejar kesejahteraannya. Diharapkan dengan studi kasus dapat diperoleh solusi-solusi berbagai aktor yang terlibat dalam konflik ini. Selain itu, pengaruh budaya tidak dapat dilepaskan dari konflik Sofifi. Keterlibatan kesultanan Tidore sebagai salah satu aktor shadow state telah cukup menunjukkan kalau faktor


(46)

budaya sangat kental dalam membangun hegemoni di Sofifi, selain faktor ekonomi yang melandasi bangunan dasar ideologis dari shadow state maupun pemerintah pusat dan provinsi.

Pengumpulan data yang sesuai untuk studi kasus adalah wawancara mendalam dengan informan-informan yang mengetahui permasalahan Sofifi didukung oleh studi literatur dan observasi. Wawancara dilakukan secara terbuka dan direkam secara audio untuk menjadi alat analisis lebih lanjut. Analisis sendiri dilakukan dengan pendekatan deskriptif-kualitatif. Proses analisis bersifat interpretif lewat usaha memahami dan menarik pernyataan-pernyataan penting yang relevan dan menjawab pertanyaan penelitian. Hasil dari proses ini dilanjutkan dengan pembahasan dan penyimpulan atas data hasil penelitian.

Pemilihan informan sendiri dilakukan dengan teknik bola salju. Teknik ini diawali dengan menemukan gatekeeper yang paham mengenai objek penelitian. Dari gatekeeper kemudian diperoleh informan lain yang lebih paham dan dapat diwawancarai. Proses ini terus berlanjut hingga data menjadi jenuh yaitu tidak lagi memperoleh temuan-temuan yang menambah dan melengkapi informasi yang telah ada. Sejumlah perwakilan para pihak yang berkontestansi harus diwakili. Para aktor yang berpotensi terlibat dalam konflik Sofifi akan mendapat perwakilan dalam wawancara mendalam. Aktor tersebut antara lain: (1) Kesultanan Tidore, (2) AMOB, (3) Pemda Sofifi, (4) Pemda Tikep, (5) Pemda Ternate, (7) Pemda Malut, (8) DPRD Sofifi, (9) DPRD Tikep, (10) DPRD Ternate, (11) DPRD Malut, (12) Masyarakat Sofifi, (13) Masyarakat Tikep, dan (14) Masyarakat Ternate.


(47)

Diperkirakan total informan akan mencapai 28 hingga 42 orang jika setiap pihak diwakili dua informan (pro dan kontra), atau tiga orang (pro, kontra, dan netral). Sampel diusahakan berusia tua (>40 tahun) untuk memperoleh kekayaan pengalaman hidup dan sejarah yang lebih mendalam terkait faktor budaya yang kuat dalam kasus ini. Informan berusia tua juga penting dalam menggali pengaruh kesultanan dan aktor shadow state lainnya dalam pengambilan keputusan politis di Sofifi.

Pertanyaan-pertanyaan utama dalam wawancara mendalam ini selain berasal dari pertanyaan penelitian juga bersifat terbuka, dalam artian mengalir sesuai dengan pembicaraan informal sehingga tidak memunculkan kesan interogatif. Privasi dan etika pengumpulan data untuk kasus sensitif, seperti kerahasiaan informan, ketidakberpihakan peneliti, dan keterbukaan peneliti dalam menyatakan maksud dan tujuan penelitian akan dipegang teguh untuk menjamin hak-hak informan terpenuhi.


(1)

2. Dilihat dari kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan memberikan hasil untuk pertimbangan dan pengembangan kebijakan terkait daerah otonom baru di wilayah lain di Indonesia maupun dalam pengembangan kota Sofifi sebagai daerah otonom dalam mengembangkan kapasitasnya.

2.5 Kerangka Pemikiran

Maluku Utara sebagai sebuah provinsi hasil pemekaran provinsi Maluku hingga sekarang masih mengalami banyak permasalahan politis. Pemilihan gubernur tahun 2008 misalnya, merupakan peristiwa penuh konflik dimana pertikaian berlangsung hingga tataran masyarakat umum. KPUD Malut meloloskan Armaiyn-Ghani sebagai pemenang namun KPU menganulirnya dengan menyatakan proses pilkada berlangsung tidak adil. Ketua KPUD Malut dipecat dan hasil perhitungan suara diperiksa ulang. Hasilnya pasangan Gafur-Fabanyo yang menjadi pemenang. Massa kedua belah pihak melakukan protes dan konflik terjadi selama setengah tahun.

Masalah juga terjadi di tingkat DPRD ketika sejumlah kasus korupsi terbongkar dalam pengelolaan APBD provinsi. Defisit APBD 2012 bahkan mencapai Rp 186,59 Miliar dan ada dua versi laporan yaitu hasil audit BPK dan laporan pemprov Malut (Indonesia Timur Voice, 5 Februari 2013). Banyak proyek yang tidak selesai dan praktek korupsi dengan pembelian tanah oleh oknum pemerintah daerah untuk dijual kembali ke pemerintah daerah dengan harga tinggi. Hal ini belum menghitung lagi masalah konflik antar kampung yang sering kali terjadi tanpa jelas akar permasalahannya.


(2)

Kasus konflik dalam status Sofifi sebagai daerah otonom baru merupakan salah satu kasus konflik di Maluku Utara yang patut dicermati. Kasus ini relatif baru dan dapat memberikan sedikit banyak gambaran mengenai bagaimana sesungguhnya permasalahan yang dihadapi Maluku Utara sehingga konflik yang terjadi berkepanjangan dan terjadi dalam banyak aspek. Kajian ini semakin penting mengingat tahun 2013 akan diadakan pemilihan gubernur yang berpotensi menjadi sumber baru konflik di Maluku Utara (Indonesia Timur Voice, 4 Februari 2013).

Dalam sosiologi politik, teori yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah konflik elit politik lokal adalah teori hegemoni Gramsci. Gramsci menyatakan bahwa kesepakatan yang diperoleh hegemoni dari masyarakat lebih efektif dan bertahan lama daripada penggunaan kekerasan dan dominasi (Jafar, 2009:40). Dipandang dengan kacamata ini, konflik di Maluku Utara merupakan sebuah unjuk kekuasaan hegemoni dalam merebut kesepakatan. Elit politik lokal yang bertikai melontarkan wacana ke publik dan publik memberikan pilihannya. Ketika dukungan atau kesepakatan yang diperoleh telah mencukupi, mobilisasi massa dapat dilakukan dan unjuk kekuasaan antar hegemoni berlangsung di medan konflik.

Dalam medan konflik semacam ini, Gramsci melihat kaum intelek berada dalam mendung pesimisme (Harvey, 2004:27). Walau begitu, mereka semestinya bekerja keras dan memunculkan optimisme kalau masalah yang ada ini akan terselesaikan. Para intelektual harus mengeluarkan pendapatnya dan solusi-solusi


(3)

yaitu kesejahteraan masyarakat umum dapat tercapai. Sejumlah penelitian telah dilakukan dan menggambarkan masih adanya optimisme ini. Salah satu penelitian tersebut adalah penelitian Qodir dan Sulaksono (2012) yang secara komprehensif mengkaji pola konflik di Maluku Utara. Penelitian mereka merekomendasikan shadow state sebagai solusi atas permasalahan konflik yang berlarut-larut di provinsi muda ini. Penelitian sekarang adalah usaha untuk mempertegas optimisme tersebut dengan mengkaji lebih jauh aspek-aspek shadow state tersebut untuk menjadi lebih praktis di tataran pelaksanaan oleh pemangku kebijakan dan kepentingan di Maluku Utara.

Pihak-pihak yang bertikai dalam kasus Sofifi adalah pihak-pihak dengan latar belakang ideologis berbeda. Hal ini sejalan dengan pandangan Gramsci kalau ideologi adalah praktek yang membentuk subjek dan subjek tersebut adalah keinginan-keinginan politik kolektif untuk menarik berbagai pihak ke dalam proyek hegemoni (Nash, 2010:6). Dengan kata lain, akar masalah konflik elit politik lokal dalam perspektif Gramsci adalah gagasan dan nilai dalam berbagai kombinasi. Masing-masing pihak punya ideologinya sendiri dan ideologi tersebut yang menarik berbagai pendukung atas subjek yang mewacanakannya. Sebagai teori neo-Marxis, pada akhirnya, ideologi ini berakar dari masalah ekonomi dan ekonomi bukan hanya menjadi kekuatan penentu politik, namun juga sebuah hegemoni luar yang memberi masukan pada pertikaian antar subjek untuk meraih hegemoni di masyarakat.


(4)

Dengan pemahaman di atas, menjadi relevan untuk mengangkat isu shadow state ke permukaan. Shadow state menjadi sebuah latar belakang ideologis baru yang patut diperhitungkan dalam penanganan konflik di Sofifi. Apapun hasil kompromi antara state dan shadow state, hasil akhirnya harus memberikan kemanfaatan maksimal bagi masyarakat. Kemanfaatan ini dapat diperoleh jika konflik yang ada beranjak menjadi resolusi, kemudian adaptasi, dan diakhiri dengan harmonisasi. Berlandaskan pemikiran tersebut, penelitian sekarang memiliki kerangka dalam bentuk diagram seperti pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran

2.6 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian studi kasus. Studi kasus dipilih karena memang masalah Sofifi merupakan masalah yang mempengaruhi masyarakat hingga taraf dimana konflik yang terjadi mengganggu aktivitas warga dalam mengejar kesejahteraannya. Diharapkan dengan studi kasus dapat diperoleh solusi-solusi berbagai aktor yang terlibat dalam konflik ini. Selain itu, pengaruh budaya tidak dapat dilepaskan dari konflik Sofifi. Keterlibatan kesultanan Tidore


(5)

budaya sangat kental dalam membangun hegemoni di Sofifi, selain faktor ekonomi yang melandasi bangunan dasar ideologis dari shadow state maupun pemerintah pusat dan provinsi.

Pengumpulan data yang sesuai untuk studi kasus adalah wawancara mendalam dengan informan-informan yang mengetahui permasalahan Sofifi didukung oleh studi literatur dan observasi. Wawancara dilakukan secara terbuka dan direkam secara audio untuk menjadi alat analisis lebih lanjut. Analisis sendiri dilakukan dengan pendekatan deskriptif-kualitatif. Proses analisis bersifat interpretif lewat usaha memahami dan menarik pernyataan-pernyataan penting yang relevan dan menjawab pertanyaan penelitian. Hasil dari proses ini dilanjutkan dengan pembahasan dan penyimpulan atas data hasil penelitian.

Pemilihan informan sendiri dilakukan dengan teknik bola salju. Teknik ini diawali dengan menemukan gatekeeper yang paham mengenai objek penelitian. Dari gatekeeper kemudian diperoleh informan lain yang lebih paham dan dapat diwawancarai. Proses ini terus berlanjut hingga data menjadi jenuh yaitu tidak lagi memperoleh temuan-temuan yang menambah dan melengkapi informasi yang telah ada. Sejumlah perwakilan para pihak yang berkontestansi harus diwakili. Para aktor yang berpotensi terlibat dalam konflik Sofifi akan mendapat perwakilan dalam wawancara mendalam. Aktor tersebut antara lain: (1) Kesultanan Tidore, (2) AMOB, (3) Pemda Sofifi, (4) Pemda Tikep, (5) Pemda Ternate, (7) Pemda Malut, (8) DPRD Sofifi, (9) DPRD Tikep, (10) DPRD Ternate, (11) DPRD Malut, (12) Masyarakat Sofifi, (13) Masyarakat Tikep, dan (14) Masyarakat Ternate.


(6)

Diperkirakan total informan akan mencapai 28 hingga 42 orang jika setiap pihak diwakili dua informan (pro dan kontra), atau tiga orang (pro, kontra, dan netral). Sampel diusahakan berusia tua (>40 tahun) untuk memperoleh kekayaan pengalaman hidup dan sejarah yang lebih mendalam terkait faktor budaya yang kuat dalam kasus ini. Informan berusia tua juga penting dalam menggali pengaruh kesultanan dan aktor shadow state lainnya dalam pengambilan keputusan politis di Sofifi.

Pertanyaan-pertanyaan utama dalam wawancara mendalam ini selain berasal dari pertanyaan penelitian juga bersifat terbuka, dalam artian mengalir sesuai dengan pembicaraan informal sehingga tidak memunculkan kesan interogatif. Privasi dan etika pengumpulan data untuk kasus sensitif, seperti kerahasiaan informan, ketidakberpihakan peneliti, dan keterbukaan peneliti dalam menyatakan maksud dan tujuan penelitian akan dipegang teguh untuk menjamin hak-hak informan terpenuhi.