Hubungan Rinitis Alergi Dan Disfungsi Tuba Eustachius Dengan Menggunakan Timpanometri

(1)

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN DISFUNGSI TUBA EUSTACHIUS DENGAN MENGGUNAKAN TIMPANOMETRI

Tesis

Oleh: dr. Fadhlia

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

UTARA MEDAN 2012


(2)

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN DISFUNGSI TUBA EUSTACHIUS DENGAN MENGGUNAKAN TIMPANOMETRI

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh: dr. Fadhlia

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap Bismillahirrahmannirrahim, saya panjatkan puji syukur kehadirat Illahi Rabbi karena dengan rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan tulisan karya ilmiah dalam bentuk tesis yang berjudul HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN DISFUNGSI TUBA EUSTACHIUS DENGAN MENGGUNAKAN TIMPANOMETRI.

Tulisan ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialisasi dalam bidang Kedokteran Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Saya sangat menyadari bahwa tulisan ini mungkin masih jauh dari sempurna baik isi maupun bahasannya, dengan semua keterbatasan tersebut, saya berharap mendapat masukan yang bermanfaat demi kebaikan kita semua.

Dengan berakhirnya masa Program Pendidikan Dokter Spesialis saya, maka pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Suamiku tercinta Yudi Syukran S.Si serta anak-anak kami tersayang Muhammad Daffa Ghifari Syukran dan Raisa Kamila Putri Syukran, tiada kata yang lebih indah yang dapat diucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya saya sampai pada saat yang berbahagia ini. Yang Mulia Ayahanda H.Mahyiddin, HB.SH dan Ibunda Dra.Hj. Sufni Yusuf dengan segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih sayang semenjak kecil sehingga saya dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua, agama, bangsa dan negara. Dengan memanjatkan do’a kehadirat Allah SWT, ampunilah dosa kedua orang tua saya serta sayangilah mereka


(4)

sebagaimana mereka menyayangi saya sewaktu kecil. Terimakasih juga saya tujukan kepada kakak saya, Kurniati Mahyiddin M.Env.Sci, dan adik-adik saya Alfi Mushaitir S.TP,SHi, dr.Desi Maghfirah, yang telah memberikan dorongan semangat selama saya menjalani pendidikan ini. Yang terhormat kedua mertua saya Alm.H.Ridwan Rani,S.H dan Dra.Hj. Yulidar Mahmud yang telah memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga pendidikan ini dapat selesai.

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja dilingkungan Rumah Sakit ini. Yang terhormat Prof.dr.Abdul Rachman Saragih,Sp.THT-KL(K), Sebagai Kepala Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik yang telah banyak memberi petunjuk, pengarahan serta nasehat baik sebagai Kepala Departemen dan sebagai guru selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat, dr.T.Siti Hajar Haryuna,Sp.THT-KL sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, atas bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya.


(5)

Yang terhormat Prof.Dr.dr.Delfitri Munir,Sp.THT-KL(K) sebagai ketua pembimbing Tesis saya, dr. Andrina YM. Rambe, Sp.THT-KL dan dr. T.Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing tesis, yang telah banyak memberikan petunjuk perhatian serta bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis Spesialis ini. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

Yang terhormat Guru Saya dijajaran THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof.dr.Ramsi Lutan Sp.THT-KL (K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof.dr.Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), dr T.Sofia Hanum,Sp.THT-KL (K), dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL(K), dr.Mangain Hasibuan Sp.THT-KL, Ida Sjailandrawati Harahap, Sp.THT-KL , dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Adlin Adnan, Sp. THT-KL, dr. Siti Nursiah, Sp. THT-KL, dr. Linda Irwani Adenin, Sp.THT-KL, dr.Harry A. Asroel,Sp.THT-KL, dr.Farhat, Sp.THT-KL(K), dr. Aliandri,Sp.THT-KL, dr. Ashri Yudhistira,Sp.THT-KL, dr.Devira Zahara,Sp. THT-KL, dr. H.R.Yusa Herwanto,Sp.THT-KL, dr.Ferryan Sofyan,Sp.THT-KL yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu dan pengetahuan dibidang THT-KL, baik secara teori maupun keterampilan yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya dikemudian hari.

Yang terhormat dr. Putri C.Eyanoer,MS. Epid. Ph.D, yang yang telah banyak memberikan petunjuk perhatian serta bimbingan di bidang Metodologi Penelitian, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis Spesialis ini. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingannya.

Yang tercinta teman-teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan THT-Bedah Kepala dan Leher yang telah bersama-sama, baik dalam suka maupun dalam duka, saling membantu sehingga terjalin persaudaraan yang erat, dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah selalu memberkahi kita semua.


(6)

Akhirnya izinkan saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Amiin, Amiin Ya Robbal’alamin.

Medan, 22 September 2012


(7)

Abstrak

Pendahuluan: Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya. Ko-morbiditas rinitis alergi salah satunya adalah otitis media yang sangat erat hubungannya dengan gangguan fungsi tuba Eustachius yang berkaitan dengan tekanan telinga tengah Tujuan: Mengetahui hubungan rinitis alergi dengan disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. Metode: Studi kasus-kontrol (case-control). Disfungsi tuba ditentukan dengan pemeriksaan timpanometri (MEP negatif/<-25 daPa) dan hasil tes fungsi tuba yang tidak baik. Analisis hasil dengan uji Chi-square dan Analisis regresi logistik. Hasil: Didapatkan 60 sampel dengan jumlah perempuan 73.3% dengan kelompok umur terbanyak adalah usia 21-30 tahun (50% ) dengan rerata umur 29.33 tahun. Klasifikasi ARIA-WHO yang paling banyak yaitu rinitis alergi persisten sedang berat 36.7% dan yang paling sedikit adalah rinitis alergi intermitten ringan 16.7%. Jenis alergen inhalan terbanyak yaitu tungau 96.6% dan tungau debu rumah 90.0%. Tipe timpanogram yang terbanyak pada kedua kelompok yaitu tipe A, dimana kelompok kasus dengan tipe A 73.3% (rerata MEP -40.8 daPa), tipe As 10%, tipe Ad dan

tipe B masing-masing 3.3%, tipe C 10.0% dan kelompok kontrol tipe A 93.3% dan tipe As 6.7%. Pada kelompok kasus 83.3% hasil tes fungsi

tuba abnormal dan 16.7% normal, sedangkan kelompok kontrol yaitu 93.3% normal dan 6.7% abnormal. Uji chi-square menunjukkan perbedaan yang signifikan antara tipe rinitis alergi intermitten dan persisten dengan disfungsi tuba Eustachius (p=0.006) dan perbedaan yang signifikan antara jenis alergen indoor dan outdoor dengan disfungsi tuba Eustachius (p=0.041). Hasil uji multivariat terdapat bahwa tipe rinitis alergi berpengaruh tiga kali lebih besar terhadap disfungsi tuba Eustachius (OR 2.9; 95% IK: 1.52-241.90 dan nilai p=0.022) sedangkan jenis alergen dua kali lebih berpengaruh terhadap disfungsi tuba dengan OR 2.2; 95% IK: 0.01-7.31 dan nilai p=0.295. Kesimpulan: Rinitis alergi, 3 kali lebih sering mengalami disfungsi tuba Eustachius dari pada non rinitis alergi.OR:2.5 (95% CI 2.36-2.99) P=0.000.


(8)

Abstract

Background: Allergic rhinitis is a global health problem with increasing prevalence and can impact on the quality of life of sufferers. One of co-morbidity of allergic rhinitis is otitis media which closely related to Eustachian tube dysfunction associated with middle ear pressure. Objective: To determine the relationship of allergic rhinitis with Eustachian tube dysfunction using tympanometry. Methods: Case-control studies, Tubal dysfunction determined with tympanometry (MEP negative / <-25 Dapa) and tubal function test results were not good (≤15 daPa). Chi-square test and logistic regression analysis used for data analysis. Results: There were 60 samples with 73.3% of women with the highest age group is 21-30 years of age (50%) with a mean age of 29.33 years. The most commonest of classification ARIA-WHO was moderate-severe persistent allergic rhinitis were 36.7% followed by mild intermittent allergic rhinitis was 16.7%. The most types of aero-allergens are mites 96.6% and house dust mites 90.0%. The most tympanogram type in both groups were type A, which case group was 73.3% (mean -40.8 daPa MEP), type As 10%, type ad and type B respectively 3.3%, type C 10.0% and control groups type A 93.3%, type As 6.7%. At case group of 83.3% of the tubal function test abnormal and normal 16.7%, while the control group is 93.3% normal and 6.7% abnormal. Chi-square test showed a significant difference between the type of intermittent and persistent allergic rhinitis with Eustachian tube dysfunction (p = 0.006) and also allergens types with Eustachian tube (p= 0.0041). Multivariate test revealed allergic rhinitis type contributed Eustachian tube dysfunction OR:2.9 (95% CI 1.52-241.90)

p=0.022, neither allergen type with Eustachian tube dysfunction OR:2.2 (95% CI 0.01-7.31) p=0.295. Conclusion: Allergic rhinitis, more common which three times contributes a dysfunctional Eustachian tubes than the non-allergic rhinitis. OR: 2.5 (95% CI 2.36-2.99) P = 0.000

Keywords: Allergic rhinitis, Eustachian tube dysfunction, Mean Ear Pressure


(9)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan i

Kata Pengantar ii

Abstrak v

Daftar Isi vii

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan masalah 2

1.3 Tujuan penelitian 3

1.3.1 Tujuan Umum 3

1.3.2 Tujuan Khusus 3

1.4 Manfaat penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rinitis Alergi 5

2.1.1 Anatomi Hidung 5

2.1.2 Definisi 7

2.1.3 Epidemiologi 8

2.1.4 Patofisiologi 9

2.1.5 Klasifikasi 11

2.1.6 Gejala dan Tanda 12


(10)

2.1.8 Penatalaksanaan 15

2.2 Tuba Eustachius 17

2.2.1 Anatomi Tuba Eustachius 17

2.2.2 Fisiologi 18

2.2.3 Definisi 19

2.2.4 Patofisiologi 19

2.2.5 Gejala dan Tanda 20

2.2.6 Hubungan Rinitis Alergi dan Disfungsi Tuba

Eustachius.

20

2.2.7 Pemeriksaan Fungsi Tuba Eustachius 22

2.3 Kerangka Konsep 27

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian 28

3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian 28

3.2.1 Lokasi Penelitian 28

3.2.2 Waktu Penelitian 28

3.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik pengambilan sampel

28

3.3.1 Populasi 28

3.3.2 Sampel Penelitian 28

3.3.3 Besar Sampel 29

3.3.4 Teknik pengambilan sampel 29

3.4 Variabel Penelitian 30


(11)

3.6 Alat dan Bahan Penelitian 31

3.6.1 Alat 31

3.6.2 Bahan 31

3.7 Cara Kerja 31

3.8 Kerangka Kerja 34

3.9 Hipotesa Penelitian 34

3.10 Analisa Data 34

3.11 Jadwal Penelitian 35

BAB 4 HASIL PENELITIAN 36

BAB 5 PEMBAHASAN 40

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 46

6.1 Kesimpulan 46

6.2 Saran 47

KEPUSTAKAAN Lampiran 1

48 55 Lampiran 2

Lampiran 3

60 62 Lampiran 4

Lampiran 5

63 64 Lampiran 6

Lampiran 7

67 75


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel.1.1 Klasifikasi rinitis alergi menurut ARIA-WHO 11 Tabel

2.2.1

Efek yang terjadi pada oklusi tuba 19

Tabel 3.1 Jadwal penelitian 34

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian 35 Tabel 4.2 Distribusi rinitis alergi menurut klasifikasi

ARIA-WHO

35

Tabel 4.3 Distribusi Alergen (pada kasus) 36 Tabel 4.4 Distribusi tipe timpanogram telinga pada

kelompok kasus dan kontrol

36

Tabel 4.5 Distribusi hasil tes fungsi tuba pada kelompok kasus dan kontrol


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi hidung bagian luar 4

Gambar 2.2 Anatomi hidung bagian dalam 6

Gambar 2.3 Terapi rinitis alergi 15

Gambar 2.4. Anatomi telinga 17

Gambar 2.5 Gambaran timpanogram 24

Gambar 2.6 A. stick duotip test B. stick duotip test dalam wadah alergen. C. Contoh reaksi hasil positif pada tes cukit


(14)

Abstrak

Pendahuluan: Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya. Ko-morbiditas rinitis alergi salah satunya adalah otitis media yang sangat erat hubungannya dengan gangguan fungsi tuba Eustachius yang berkaitan dengan tekanan telinga tengah Tujuan: Mengetahui hubungan rinitis alergi dengan disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. Metode: Studi kasus-kontrol (case-control). Disfungsi tuba ditentukan dengan pemeriksaan timpanometri (MEP negatif/<-25 daPa) dan hasil tes fungsi tuba yang tidak baik. Analisis hasil dengan uji Chi-square dan Analisis regresi logistik. Hasil: Didapatkan 60 sampel dengan jumlah perempuan 73.3% dengan kelompok umur terbanyak adalah usia 21-30 tahun (50% ) dengan rerata umur 29.33 tahun. Klasifikasi ARIA-WHO yang paling banyak yaitu rinitis alergi persisten sedang berat 36.7% dan yang paling sedikit adalah rinitis alergi intermitten ringan 16.7%. Jenis alergen inhalan terbanyak yaitu tungau 96.6% dan tungau debu rumah 90.0%. Tipe timpanogram yang terbanyak pada kedua kelompok yaitu tipe A, dimana kelompok kasus dengan tipe A 73.3% (rerata MEP -40.8 daPa), tipe As 10%, tipe Ad dan

tipe B masing-masing 3.3%, tipe C 10.0% dan kelompok kontrol tipe A 93.3% dan tipe As 6.7%. Pada kelompok kasus 83.3% hasil tes fungsi

tuba abnormal dan 16.7% normal, sedangkan kelompok kontrol yaitu 93.3% normal dan 6.7% abnormal. Uji chi-square menunjukkan perbedaan yang signifikan antara tipe rinitis alergi intermitten dan persisten dengan disfungsi tuba Eustachius (p=0.006) dan perbedaan yang signifikan antara jenis alergen indoor dan outdoor dengan disfungsi tuba Eustachius (p=0.041). Hasil uji multivariat terdapat bahwa tipe rinitis alergi berpengaruh tiga kali lebih besar terhadap disfungsi tuba Eustachius (OR 2.9; 95% IK: 1.52-241.90 dan nilai p=0.022) sedangkan jenis alergen dua kali lebih berpengaruh terhadap disfungsi tuba dengan OR 2.2; 95% IK: 0.01-7.31 dan nilai p=0.295. Kesimpulan: Rinitis alergi, 3 kali lebih sering mengalami disfungsi tuba Eustachius dari pada non rinitis alergi.OR:2.5 (95% CI 2.36-2.99) P=0.000.


(15)

Abstract

Background: Allergic rhinitis is a global health problem with increasing prevalence and can impact on the quality of life of sufferers. One of co-morbidity of allergic rhinitis is otitis media which closely related to Eustachian tube dysfunction associated with middle ear pressure. Objective: To determine the relationship of allergic rhinitis with Eustachian tube dysfunction using tympanometry. Methods: Case-control studies, Tubal dysfunction determined with tympanometry (MEP negative / <-25 Dapa) and tubal function test results were not good (≤15 daPa). Chi-square test and logistic regression analysis used for data analysis. Results: There were 60 samples with 73.3% of women with the highest age group is 21-30 years of age (50%) with a mean age of 29.33 years. The most commonest of classification ARIA-WHO was moderate-severe persistent allergic rhinitis were 36.7% followed by mild intermittent allergic rhinitis was 16.7%. The most types of aero-allergens are mites 96.6% and house dust mites 90.0%. The most tympanogram type in both groups were type A, which case group was 73.3% (mean -40.8 daPa MEP), type As 10%, type ad and type B respectively 3.3%, type C 10.0% and control groups type A 93.3%, type As 6.7%. At case group of 83.3% of the tubal function test abnormal and normal 16.7%, while the control group is 93.3% normal and 6.7% abnormal. Chi-square test showed a significant difference between the type of intermittent and persistent allergic rhinitis with Eustachian tube dysfunction (p = 0.006) and also allergens types with Eustachian tube (p= 0.0041). Multivariate test revealed allergic rhinitis type contributed Eustachian tube dysfunction OR:2.9 (95% CI 1.52-241.90)

p=0.022, neither allergen type with Eustachian tube dysfunction OR:2.2 (95% CI 0.01-7.31) p=0.295. Conclusion: Allergic rhinitis, more common which three times contributes a dysfunctional Eustachian tubes than the non-allergic rhinitis. OR: 2.5 (95% CI 2.36-2.99) P = 0.000

Keywords: Allergic rhinitis, Eustachian tube dysfunction, Mean Ear Pressure


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, berkurangnya produktivitas kerja dan prestasi sekolah, serta dapat mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et al., 2008). Rinitis alergi juga mempengaruhi secara signifikan terhadap anggaran kesehatan. Di Amerika biaya untuk rinitis alergi saja mencapai 2.7 milyar dolar setahun dan hampir 3.8 juta waktu bekerja dan sekolah hilang setiap tahunnya akibat rinitis alergi (Asha'ari, et al., 2010)

Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-20%, di Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10%. Prevalensi di negara industri lebih banyak daripada negara agraria, sedangkan diperkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan (Madiadipoera, 2009).

.

Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di Indonesia aeroalergen yang tersering menyebabkan rinitis alergi yaitu tungau, dan tungau debu rumah (Nurcahyo dan Eko, 2009).

Rinitis alergi dapat meyebabkan ko-morbiditas antara lain sinusitis, asma brokhial, konjungtivitis dan otitis media. Kejadian otitis media sangat erat hubungannya dengan gangguan fungsi tuba Eustachius yang berkaitan dengan tekanan telinga tengah

Peran rinitis alergi pada penyakit telinga tengah belum dapat dipahami sepenuhnya. Beberapa penelitian melaporkan mekanisme gangguan fungsi tuba Eustachius pada rinitis alergi didasari kesamaan antara mukosa rongga hidung, nasofaring, tuba Eustachius dan telinga tengah, sehingga proses inflamasi alergi di mukosa hidung dapat


(17)

berlanjut ke mukosa nasofaring dan tuba Eustachius (Bousquet, et al., 2001).

Keluhan dan gejala awal yang dirasakan penderita gangguan fungsi tuba Eustachius antara lain nyeri telinga, berdengung, rasa penuh di telinga hingga vertigo, hal ini menyebabkan rasa tidak nyaman dan dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita (Dhingra, 2007).

Jika terjadi gangguan fungsi tuba, dapat berlanjut menjadi otitis media efusi akut dan kronis, atelektasis membran timpani, dan

retraction pocket/cholesteatoma (Dhingra, 2007).

Penelitian mengenai hubungan rinitis alergi terhadap gangguan fungsi tuba Eustachius belum banyak dilaporkan. Lazo Saenz, et al.,

(2005) melaporkan penelitian mengenai gangguan fungsi ventilasi tuba Eustachius pada subjek rinitis alergi, sedangkan Kuldeska, et al.,

(2005) melakukan pemeriksaan audiometri dan timpanometri pada subjek rinitis alergi seasonal dan perennial. Karya, et al.,

Saat ini belum ada penelitian tentang hubungan rinitis alergi dengan gangguan fungsi tuba Eustachius di RS H.Adam Malik Medan, namun terdapat penelitian sebelumnya melaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara alergi dan OMSK, dimana OMSK selalu diawali oleh gangguan fungsi tuba, oleh karena itu peneliti ingin mengetahui berapa besar hubungan rinitis alergi dengan terjadinya gangguan fungsi tuba.

(2007) di Makassar melaporkan studi mengenai pengaruh rinitis alergi sesuai klasifikasi ARIA-WHO 2001 terhadap fungsi ventilasi tuba Eustachius. Wulandari (2010) melaporkan hubungan antara rinitis alergi dengan penurunan tekanan telinga tengah.


(18)

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan pertanyaan penelitian, bagaimana hubungan rinitis alergi terhadap gangguan fungsi tuba Eustachius.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan rinitis alergi terhadap terhadap gangguan fungsi tuba Eustachius.

1.3.1 Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi rinitis alergi berdasarkan kriteria ARIA- WHO pada kelompok kasus.

b. Mengetahui distribusi frekuensi jenis alergen inhalan pada kelompok kasus.

c. Mengetahui gambaran timpanogram dan nilai MEP (Mean Ear Pressure) pada kelompok kasus dan kontrol.

d. Mengetahui hasil tes fungsi tuba Eustachius pada kelompok kasus dan kontrol.

e. Mengetahui hubungan rinitis alergi menurut klasifikasi ARIA-WHO dengan hasil tes fungsi tuba.

f. Mengetahui besar hubungan hasil tes fungsi tuba terhadap tipe rinitis alergi menurut klasifikasi ARIA-WHO (lamanya gejala).

g. Mengetahui besar hubungan jenis alergen terhadap hasil tes fungsi tuba Eustachius.

h. Mengetahui pengaruh tipe rinitis alergi dan jenis alergen terhadap hasil tes fungsi tuba Eustachius.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Hasil penelitian dapat dijadikan masukan untuk penanganan rinitis alergi, tidak hanya terfokus pada gangguan di hidung tetapi juga memperhatikan gangguan yang terjadi pada telinga.


(19)

1.4.2 Sebagai data dasar gambaran timpanometri dan tes fungsi tuba pada penderita rinitis alergi dan dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

1.4.3 Menjadi bahan edukasi untuk peningkatan kualitas hidup penderita rinitis alergi.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.2 Rinitis Alergi

2.2.1 Anatomi Hidung

• Hidung bagian luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan pangkal hidung dibagian atas dan puncaknya berada dibawah. Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit , jaringan ikat. Kerangka tulang terdiri dari; sepasang os nasal, prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terdiri dari; sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago septum nasi. Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator, terdiri dari muskulus dilator nares (anterior dan posterior), muskulus proserus, kaput angular muskulus kuadratus labii superior dan kelompok konstriktor yang terdiri dari muskulus nasalis dan muskulus depressor septi (Dhingra, 2007).

.

Gambar 2.1. Anatomi hidung bagian luar

• Hidung bagian dalam

Hidung bagian dalam dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kavum nasi kiri yang tidak sama


(21)

ukurannya. Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior dan lubang hidung bagian belakang disebut nares posterior atau disebut

choana. Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi

disebut vestibulum yang dilapisi oleh kulit yang mempunyai kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrisae. Rongga hidung dilapisi oleh membran mukosa yang melekat erat pada periosteum dan perikondrium, sebagian besar mukosa ini mengandung banyak pembuluh darah , kelenjar mukosa dan kelenjar serous dan ditutupi oleh epitel torak berlapis semu mempunyai silia (Dhingra, 2007). Kavum nasi terdiri dari :

1. Dasar hidung : dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum.

2. Atap hidung : terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal prosesus frontalis, os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa. 3. Dinding lateral : dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.

4. Konka : pada dinding lateral terdapat empat buah konka yaitu konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan konka yang terbesar dan merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila. Sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari etmoid.

5. Meatus nasi : diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka superior


(22)

dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

6. Dinding medial: dinding medial hidung adalah septum nasi. Mukosa hidung

Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir. Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel kolumnar bersilia, bertingkat palsu, berbeda- beda pada bagian hidung.pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia, lanjutan epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi kolumnar; silia pendek agak irreguler. Sel – sel meatus media dan inferior yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi (Dhingra, 2007).

Gambar 2.2 Anatomi hidung bagian dalam 2.1.2 Definisi

Rinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama setelah terpapar dengan aeroalergen (Dhingra, 2007; Bousquet, et al., 2008)

2.1.3 Epidemiologi

Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang memberi dampak 10-20% populasi. Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-20%, di Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10% (Madiadipoera, 2009). Prevalensi rinitis alergi di Indonesia


(23)

mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya (Nurcahyo dan Eko, 2009).

Tomonaga, Kurono dan Mogi (1987) melaporkan hasil penelitian tentang rinitis alergi dan terjadinya otitis media efusi, 21% dari subjek rinitis alergi mengalami otitis media efusi. Sente, et al., (2001) melaporkan 86,5% timpanogram tipe B dan 13.5% tipe C dari subjek rinitis alergi. Nguyen, et al., (2004) melaporkan hasil penelitian bahwa pada subjek dengan atopi, inflamasi alergi terjadi pada kedua sisi tuba Eustachius, kedua telinga tengah dan nasofaring.

Lazo Saenz, et al., (2005) melaporkan penelitian mengenai disfungsi tuba Eustachius pada subjek rinitis alergi pada 80 orang subjek rinitis alergi dan 50 orang normal dilakukan pemeriksaan skin prick test dan timpanometri, dilaporkan hasil timpanometri yang signifikan pada subjek rinitis alergi (P<0.05) terutama pada anak umur di bawah 11 tahun, di kelompok rinitis alergi didapatkan 16% timpanogram abnormal (13% tipe C dan 3% tipe B) sedangkan di kelompok kontrol seluruhnya dengan timpanogram tipe A.

Kudelska, et al., (2005) melakukan pemeriksaan audiometri dan timpanometri pada 30 subjek rinitis alergi seasonal dan 30 subjek rinitis alergi perennial. Hasilnya pada subjek rinitis alergi perennial ditemukan gangguan pendengaran tipe konduktif 26,7% dengan gambaran timpanogram tipe B dan tipe C masing-masing 20% sedangkan pada subjek rinitis alergi seasonal ditemukan gangguan pendengaran tipe konduktif 10% dengan gambaran timpanogram tipe B 3,33% dan tipe C 6,67%.

Karya,

Skoner (2009) melaporkan penelitian dari subjek otitis media efusi, terdapat 50% menderita rinitis alergi.

et al., (2007) dalam studi mengenai pengaruh rinitis alergi

sesuai klasifikasi ARIA-WHO 2001 terhadap fungsi ventilasi tuba Eustachius pada 30 orang subjek rinitis alergi dan 30 orang normal yang dilakukan pemeriksaan timpanometri menemukan rinitis alergi terdiri atas rinitis alergi intermitten ringan 4 orang (13,3%), rinitis alergi persisten


(24)

ringan 11 orang (36,7%), rinitis alergi intermitten sedang-berat 1 orang (3,3%), rinitis alergi persisten sedang- berat 14 orang (46,7%). Dari subjek rinitis alergi ada 1 orang (3,3%) timpanogram tipe B, 3 orang (10%) timpanogram tipe C dan sisanya 26 orang (86,7%) tipe A

Wulandari (2010) melaporkan penelitiannya tentang hubungan rinitis alergi dengan penurunan tekanan udara telinga tengah, dimana menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara rinitis alergi dengan penurunan tekanan telinga tengah P =0,001; OR 3,6; KI 95%.

. Dari semua subjek yang ada kelainan timpanometri, semuanya adalah dengan persisten sedang-berat. Pada kelompok kontrol semuanya normal.

Beberapa penelitian yang terkait melaporkan bahwa OMSK tipe benigna mempunyai hubungan dengan faktor alergi yang sudah lazim terjadi selalu diawali oleh gangguan fungsi tuba Eustachius. Suparyadi pada tahun 1990 di Semarang dalam penelitiannya terhadap 60 orang OMSK tipe benigna mendapatkan 25,67% subjek kemungkinan mempunyai faktor alergi. Susilo (2010) melaporkan terdapat hubungan yang signifikan antara alergi dengan OMSK benigna.

2.1.4 Patofisiologi

Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE. Reaksi ini diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi yang ditimbulkan terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL). Reaksi fase cepat berlangsung sampai satu jam setelah kontak dengan alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca pajanan alergen, sedangkan RAFL berlangsung 2-4 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 6-8 jam setelah pajanan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Tahap Sensitisasi. Reaksi alergi dimulai dengan respons pengenalan alergen oleh sel darah putih, yaitu sel makrofag, monosit atau sel dendritik. Sel-sel tersebut berperan sebagai antigen presenting sel (APC) atau sel penyaji dan berada di mukosa saluran napas. Sel penyaji akan


(25)

menangkap alergen yang menempel pada permukaan mukosa, yang kemudian setelah diproses akan dibentuk fragmen pendek peptida imunogenik. Fragmen ini akan bergabung dengan molekul-molekul HLA-kelas II membentuk kompleks peptid-MHC (Major Histocompatibility Complex)-kelas II yang kemudian akan dipresentasikan pada limfosit T yaitu helper T cell (sel Th0). Selanjutnya sel APC akan melepaskan sitokin yang salah satunya adalah interleukin 1 (IL 1). Sitokin ini mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 ini akan memproduksi IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan ditangkap reseptornya pada permukaan sel B-istirahat (resting B cell), sehingga sel B teraktivasi dan memproduksi immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Individu yang mengandung kompleks tersebut dianggap tersensitisasi, dan setiap saat akan mudah masuk ke reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Parwati, 2009).

Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Molekul IgE dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan mastosit/basofil, sehingga akan teraktifasi. Bila ada 2 light chain IgE berkontak dengan alergen spesifiknya, maka akan terjadi degranulasi sel yang berakibat terlepasnya mediator-mediator alergi yang terbentuk (Preformed Mediators), terutama histamin. Histamin yang terlepas akan menyebabkan hipersekresi kelenjar mukosa. Efek lain adalah vasodilatasi dan penurunan permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa. Selain histamin juga akan dikeluarkan

Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien

C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Faktor (PAF), serta berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL6, Granulocyte Macrophage Colony

Stimulating Faktor (GM-CSF), dan lain-lain. Sel mastosit juga akan


(26)

dari ECTA (Eosinophil Chemotactic Faktor of Anaphylactic) akan menyebabkan penumpukan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran. Reaksi Alergi tipe Lambat (RAFL). Reaksi alergi fase cepat dapat berlanjut terus sebagai RAFL dengan tanda khas, yaitu terlihatnya penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi yang berakumulasi di jaringan sasaran, seperti eosinofil, limfosit, basofil dan mastosit. Hal tersebut juga disertai dengan peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan GM-CSF dan ICAM-1 (Parwati, 2009).

Hidung dan telinga tengah sama-sama dilapisi oleh mukosa respiratorik dan secara anatomi terdapat struktur yang menghubungkan rongga hidung dengan telinga tengah, yaitu tuba Eustachius (Bousquet et al, 2008)

2.1.5 Klasifikasi

Rinitis dibagi dua menurut waktu terpajan, yaitu rinitis perennial (terjadi sepanjang tahun) yang berhubungan erat dengan jenis antigen bulu/ serpihan kulit binatang, tungau, kecoa dan tungau debu rumah sedangkan rinitis seasonal(musiman) yang berhubungan dengan jenis antigen serbuk sari dan jamur (Bousquet et al, 2001; Karya, Aziz, Rahardjo, & Djufri

Bousquet, et al (2008) dalam Allergic Rinitis and Its Impact on Asthma

(ARIA – WHO) membagi rinitis alergi berdasarkan lamanya serangan menjadi rinitis alergi intermiten dan rinitis alergi persisten sedangkan berat ringannya gejala berdasarkan pada kualitas hidup subjek diklasifikasikan ringan (mild) dan sedang–berat (moderate – severe)

, 2007).


(27)

Tabel.1.1 Klasifikasi rinitis alergi menurut ARIA-WHO :

2.1.6 Gejala dan Tanda

Gejala utama rinitis alergi adalah bersin, ingus encer dan hidung tersumbat. Gejala alergi lainnya, antara lain hidung gatal, penciuman berkurang, batuk kronis dan gangguan pendengaran. Gejala dan tanda tersebut dapat disertai gejala lain apabila melibatkan organ sasaran lain seperti palatum, faring, laring, telinga, kulit,mata dan paru (Dhingra, 2007). Pada pemeriksaan di hidung sering tampak mukosa nasal pucat dan udematous, konka membengkak, ingus encer seperti air. Sedangkan pada telinga sering di jumpai retraksi pada membran timpani dan otitis media efusi sebagai akibat dari sumbatan pada tuba Eustachius (Dhingra, 2007). Gatal-gatal pada hidung sehingga hidung sering diusap-usap keatas dapat terjadi allergic salute. Hal ini karena mencoba untuk mengurangi rasa gatal dan sumbatan dari hidung. Warna kehitaman pada daerah infraorbita disertai dengan pembengkakan disebut Allergic Shinners.

Perubahan ini mungkin karena adanya statis dari vena yang disebabkan udema dari mukosa hidung dan sinus. Karena bernafas melalui mulut, mulut menganga dan mungkin disertai dengan maloklusi dari gigi disebut

Adenoid Facies/Sad Looking Face. Hal ini disebabkan obstruksi karena

udema yang disebabkan alergi dan pembesaran tonsil/adenoid.

Classification of allergic rhinitis according to ARIA

1. Intermittent means that the symptoms are present <4 days a week Or for <4 consecutive weeks

2. Persistent means that the symptoms are present More than 4 days a week And for more than 4 consecutive weeks

3. Mild means that none of the following items are present: • Sleep disturbance

• Impairment of daily activities, leisure and/or sport • Impairment of school or work

• Symptoms present but not troublesome

4. Moderate/severe means that one or more of the following items are present: • Sleep disturbance

• Impairment of daily activities, leisure and/or sport • Impairment of school or work


(28)

Tahun 1984 Dr. Jhon Boyles pada makalahnya dalam kongres Otologi in Chicago menyatakan bahwa dari 300 subjek alergi didapatkan dizziness

59%, tinitus 25%, otalgia 15%, otitis media serosa 10%, gangguan pendengaran 10%, infeksi telinga tengah 5%, gatal-gatal pada kanalis akustikus externus 5%. Peradangan telinga tengah sering juga disebabkan karena alergi. Sebagai organ sasaran adalah tuba Eustachius. Jika terdapat infeksi telinga tengah yang persisten adanya faktor alergi jangan diabaikan. Shambough dalam penelitian pada anak-anak, 75% dari otitis media serosa disebabkan karena alergi (Madiadipoera, 2009).

2.1.9 Diagnosis

Untuk diagnosis tidak hanya ditegakkan dengan anamnesis riwayat adanya alergi, tetapi perlu pemeriksaan-pemeriksaan khusus, yaitu pemeriksaan dengan cara in-vivo dan in-vitro. Dengan cara pemeriksaan in-vivo dan in-vitro diagnosis alergi dapat ditegakkan lebih akurat, walaupun dalam hal ini tidak semua bentuk tes bisa dilakukan karena pemeriksaan mahal.

Anamnesis adanya riwayat alergi seperti adalah bersin, beringus dan hidung tersumbat. Gejala alergi lainnya, antara lain hidung gatal, penciuman berkurang, batuk kronis dan gangguan pendengaran. Pemeriksaan fisik, gambaran klasik status lokalis pada hidung, konka hidung udema dan pucat, sekret encer, jernih.

Diagnosis in-vitro, dapat dilakukan pemeriksaan morfologi apus dari sekresi hidung. Subjek dengan eosinophilia pada sekresi hidung memperlihatkan 91.7% tes kulit positif 80.1% IgE RAST positif dan tes provokasi hidung 73.3%. Dapat juga dilakukan pemeriksaan IgE RAST (Radioallergergosorbent test), pemeriksaan ini dapat juga dimanfaatkan untuk memonitor imunoterapi.

Antingen yang diujikan pada tes kulit menimbulkan reaksi kulit berupa

wheal indurasi dan eritema, 10-20 menit setelah alergen diujikan akan

menimbulkan reaksi kulit yang terjadi. Ada 2 macam tes kulit : Tes Kulit Epidermal (Tes kulit gores dan Tes cukit kulit), Tes Kulit Intradermal


(29)

(Single dilution /pengeceran tunggal, Multiple dilution /pengenceran berganda).

Tes cukit kulit (Skin prick test )

Skin prick test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang banyak digunakan untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibatnya timbul flare/kemerahan dan wheal/bintul pada kulit tersebut (Parwati, 2004).

Tes ini sangat populer, cepat, simpel, tidak menyakitkan, relatif aman, jarang menimbulkan reaksi anafilaktik dan tanda-tanda reaksi sistemik, dapat dilakukan banyak tes pada satu sisi, mempunyai korelasi baik dengan IgE spesifik. Tes kulit dilakukan dengan jalan meneteskan antigen pada kulit kemudian ditusukkan jarum no.26,5 dengan sudut 45 derajat dan epidermis diangkat sehingga dengan tusukan yang kecil beberapa mikroliter cairan akan masuk ke epidermis bagian luar. Sejak hasil reaksi kulit dari tiap-tiap orang dewasa berbeda, suatu kontrol yang positif atau negatif harus ada untuk evaluasi. Reaksi dibaca dalam 15-20 menit, dan hasilnya ditulis dalam gradasi dari negatif (-) sampai (+4).

Metode yang dilakukan dalam menginterpretasikan hasil tes cukit kulit dikenal dengan metode Pepys. Membandingkan bintul yang terjadi pada masing-masing ekstrak alergen yang diberikan dengan menggunakan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline).

Penilaiannya adalah sebagai berikut:

+ 1 (ringan) : bila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol negatif dan atau terdapat daerah eritema.

+ 2 (sedang) : bila bintul lebih kecil dari kontrol positif, tetapi 2 mm lebih besar dari kontrol negatif.

+ 3 (kuat) : bila bintul sama besar dengan kontrol positif. + 4 (sangat kuat) : bila bintul lebih besar dari kontrol positif


(30)

Ada beberapa obat-obatan yang mempengaruhi tes kulit antara lain antihistamin, kortikosteroid sehingga obat ini harus dihentikan sebelum tes dimulai. Pada saat ini berhubung metabolisme antihistamin banyak yang lambat dan berbeda-beda satu dengan yang lain, beberapa pendapat menyarankan puasa bebas obat antihistamin 3 hari sebelum tes kulit dilakukan, sedangkan untuk azetamizol 1 bulan, ada juga kortikosteroid dihentikan selama 6 minggu (Bousquet, et al., 2001).

2.1.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan rinitis alergi mencakup pencegahan kontak dengan alergen, obat-obatan, imunoterapi, penatalaksanaan komplikasi atau faktor-faktor yang memperburuk dan terapi bedah

Pencegahan kontak dengan allergen

Untuk pencegahan ini, diperlukan identifikasi alergen dan menghindari alergen penyebab (avoidance). Dalam pengelolaan alergi inhalan, menganjurkan penderita untuk menghindari alergen penyebab tidaklah mudah. Terdapat banyak sekali alergen yang berhubungan dengan rinitis alergi, yang paling banyak hasil penelitian adalah tungau debu rumah. ARIA WHO (2001) menyarankan beberapa hal berkaitan dengan mengurangi paparan alergen tungau debu rumah diantaranya menyarungi kasur, bantal dengan bahan yang mudah dicuci. Cucilah dengan air panas (55-600

Pengobatan simptomatis.

) seminggu sekali. Gantilah karpet dengan bahan linoleum atau lantai kayu. Pakailah perabot dengan bahan lapisan kulit, dan selalu membersihkan debu pada perabot dengan vacuum cleaner

atau kain lap yang basah. Gantilah gorden secara teratur dan gunakan bahan yang yang mudah di cuci (Bousquet, et al., 2001).

Diberikan bila pencegahan terhadap alergen penyebab tidak memberikan hasil yang memuaskan. Ada 4 golongan obat yang dapat di berikan, yaitu golongan antihistamin, simpatomimetik, kortikosteroid dan stabilisator mastosit.


(31)

Gambar 2.3 Terapi rinitis alergi Imunoterapi

Pemberian imunoterapi dapat dipertimbangkan bila cara-cara konservatif tidak berhasil. Dasar dari imunoterapi adalah menyuntikkan alergen penyebab secara bertahap dengan dosis kecil yang makin meningkat untuk menginduksi toleransi pada penderita alergi. Dari berbagai penelitian menunjukkan sekitar 60-90 % kasus memberikan respons dengan imunoterapi konvensional. Secara umum hasil imunoterapi dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok, yaitu : 1) Penderita mengalami perbaikan klinik sampai imunoterapi dihentikan. 2) Penderita mengalami perbaikan klinik selama imunoterapi, tetapi kadang-kadang timbul gejala yang dapat diatasi dengan terapi medikamentosa. 3) Hilangnya keluhan selama imunoterapi tidak berbeda dengan keadaan sebelumnya. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan imunoterapi, yaitu tindakan menghindari alergen yang kurang adekuat, pemilihan jenis alergen yang tidak tepat, dosis yang diberikan kurang cukup dan diagnosis yang salah.

Kontra indikasi pemberian desensitisasi ialah golongan penyakit kolagen dan glomerulonefritis karena dapat menyebabkan penyakit bertambah aktif. Pada kehamilan pemberian imunoterapi harus lebih hati-hati. Beberapa penulis menyatakan sebaiknya tidak diberikan, karena dapat menyebabkan malformasi pada bayi yang dilahirkan. Sebaliknya ada yang menyatakan bahwa antigen yang diberikan tidak dapat melalui sawar (barier) plasenta (Bousquet, et al., 2008).


(32)

Penatalaksanaan komplikasi atau faktor-faktor yang memperburuk.

Kelemahan, stress emosi, perubahan suhu yang mendadak, infeksi yang menyertai, deviasi septum dan paparan terhadap polutan udara lainnya yang dapat mencetuskan, memperhebat dan mempertahankan gejala -gejala yang menyertai rinitis alergi. Penanganan faktor-faktor ini sama pentingnya dengan pengobatan yang ditujukan terhadap alerginya. Terapi bedah

Pengobatan operatif baru dilakukan bila pengobatan medikamantosa gagal. Tindakan ini memungkinkan ventilasi dan drainase hidung serta mengupayakan aliran hidung dan sinus yang memadai (Dhingra, 2007). 2.3 Tuba Eustachius

2.2.2 Anatomi Tuba Eustachius

Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Tuba Eustachius pada orang dewasa panjangnya berkisar 36 mm dan terletak inferoanterior di medial telinga tengah. Terdiri dari dua bagian, 1/3 lateral (sekitar 12 mm) yang merupakan pars osseus, berada pada dinding anterior kavum timpani, 2/3 medial sekitar 24 mmm adalah pars fibrokartilagineus yang masuk ke dalam nasofaring. Ostium tuba terletak sekitar 1,25 cm di belakang dan agak di bawah ujung posterior konka inferior. Lumen tuba berbentuk segitiga dengan ukuran vertikal 2-3 mm dan horizontal 3-4 mm. Pars osseus selalu terbuka, pars kartilagineus pada saat istirahat akan tertutup dan akan terbuka pada saat menelan, menguap atau meniup keras. Mukosa tuba Eustachius dilapisi oleh epitel respiratorius berupa sel-sel kolumnar bersilia, sel goblet dan kelenjar mukus. Epitel ini bergabung dengan mukosa telinga tengah di pars osseus tuba.


(33)

Gambar 2.4. Anatomi telinga

Pada daerah inferolateral tuba Eustachius terdapat bantalan lemak Otsmann yang mempunyai peranan penting dalam penutupan tuba dan proteksi tuba Eustachius dan telinga tengah dari arus retrograde sekresi nasofaring. Otot-otot yang berhubungan dengan tuba Eustachius yang berperan penting dalam penutupan dan pembukaan tuba Eustachius adalah m.tensor velli palatine, m.levator veli palatine, m.salpingopharyngeus dan m.tensor timpani.

2.2.3 Fisiologi

Tuba Eustachius mempunyai 3 fungsi fisiologik terhadap telinga tengah antara lain :

1. Fungsi ventilasi telinga tengah untuk menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara atmosfir.

2. Fungsi drainase dan clearance ke nasofaring dari sekret yang diproduksi dalam telinga tengah

3. Fungsi proteksi dari tekanan bunyi dan sekret di nasofaring.

Fungsi Ventilasi

Fungsi ventilasi merupakan fungsi yang paling penting untuk menyeimbangkan tekanan antara telinga tengah dengan udara luar. Tuba Eustachius yang normal akan tertutup secara normal saat istirahat, dengan sedikit tekanan negatif pada telinga tengah. Pembukaan tuba


(34)

Eustachius pada saat menelan atau menguap akan terjadi pertukaran gas dan penyeimbangan tekanan antara udara luar dengan telinga tengah. Fungsi drainase dan proteksi

Tuba Eustachius mengalirkan sekresi normal telinga tengah melalui sistem transport mukosilier dengan penutupan dan pembukaan tuba yang berulang sehingga memungkinkan sekresi mengalir ke nasofaring. Bila terjadi gangguan drainase mengakibatkan sekresi tertahan dan cairan akan menumpuk di telinga telinga tengah. Fungsi proteksi dimungkinkan karena secara fungsional tuba tertutup pada keadaan istirahat sehingga bunyi-bunyi yang timbul di nasofaring tidak akan masuk ke telinga tengah. 2.2.3 Definisi

Disfungsi tuba Eustachius adalah adanya gangguan pembukaan tuba sehingga fungsi tuba terganggu. Sering juga disebut oklusi tuba dimana udara tidak dapat masuk ke telinga tengah, sehingga tekanan udara diluar lebih besar dari pada tekanan di dalam telinga tengah.

2.2.4 Patofisiologi

Tuba Eustachius dalam keadaan normal adalah tertutup dan terbuka saat menelan, menguap dan bersin akibat kontraksi aktif m.tensor veli palatini. Udara di telinga tengah mengandung oksigen, karbondioksida, nitrogen dan uap air. Saat terjadi oklusi tuba, yang pertama diabsorbsi adalah oksigen, baru kemudian gas lainnya CO2 dan nitrogen juga

terdifusi ke dalam darah. Hal ini menyebabkan tekanan negatif pada telinga tengah dan menyebabkan retraksi membran timpani. Jika tekanan negatif terus meningkat akan menyebabkan tuba “terkunci” dan dapat menyebabkan terjadinya penumpukan transudat selanjutnya eksudat bahkan hemoragik. Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara mekanik, fungsional ataupun keduanya. Obstruksi mekanik dapat disebabkan oleh (a) faktor instrinsik seperti inflamasi atau alergi atau (b) faktor ekstrinsik seperti tumor di nasofaring atau adenoid. Obstruksi fungsional dapat disebabkan oleh kolapsnya tuba oleh karena meningkatnya compliance tulang rawan yang menghambat terbukanya


(35)

tuba atau gagalnya mekanisme aktif pembukaan tuba Eustachius

akibatnya buruknya fungsi m.tensor veli palatine. Efek lamanya oklusi tuba dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.2.1 Efek yang terjadi pada oklusi tuba (Dhingra, 2007)

Gangguan fungsi tuba menyebabkan mekanisme aerasi ke rongga telinga tengah terganggu, drainase dari rongga telinga ke nasofaring terganggu, dan gangguan mekanisme proteksi rongga telinga tengah terhadap refluks dari rongga nasofaring. Begitu pula dari fungsi mukosilia tuba Eustachius akan terganggu. Pembersihan sekret telinga tengah dilakukan oleh sistem mukosiliar tuba Eustachius dan telinga tengah. Tertutupnya tuba Eustachius oleh beberapa sebab akan membuat ruang telinga tengah terisolasi dari lingkungan luar. Udara yang terjebak akan terabsorbsi dan menyebabkan tekanan intratimpanik atau kavum telinga tengah menurun atau negatif, sehingga menyebabkan membran timpani retraksi. Bila keadaan ini terjadi, dapat menimbulkan keluhan rasa nyeri pada telinga, rasa tertekan atau tertutup dan gangguan pendengaran. Obstruksi atau tertutupnya tuba Eustachius yang kronik disebut gangguan fungsi tuba Eustachius.

Acute tubal blockage

Absorption of ME gases Negative pressure in ME

Retraction of TM

Transudate in ME/ haemorrhage (acute OME) Prolonged tubal blockoge/ dysfunction

OME (th in watery or mucoid discharge)

Atelectatic ear/ perforation

Retraction pocket/cholesteatoma


(36)

2.2.4 Gejala dan Tanda

Gejala oklusi tuba antara lain otalgia bisa ringan sampai berat, gangguan pendengaran, sensasi telinga terasa penuh,telinga berdengung hingga gangguan keseimbangan.

Tanda oklusi tuba Eustachius sangat bervariasi tergantung lamanya dan keparahan kondisi oklusinya, antara lain retraksi membran timpani, kongesti pada daerah prosessus maleus dan pars tensa, adanya transudat di belakang membran timpani yang merubah warna membran timpani menjadi buram dan terkadang tampak air fluid level yang disertai tuli konduktif. Pada kasus yang berat seperti barotrauma, membran timpani sangat retraksi dan disertai hemoragik di subepitelial, dapat terjadi hemotimpanum bahkan perforasi.

2.2.5 Hubungan Rinitis Alergi dan Disfungsi Tuba Eustachius.

Dengan melihat konsep “ global airway allergy “ mediator dan respon inflamasi alergi dapat juga terjadi pada telinga tengah. Penelitian oleh downs dkk 2001 menyatakan bahwa pajanan histamin intratimpanik mengakibatkan disfungsi tuba pada tikus. Hal ini menjadi dasar bahwa suatu rinitis alergi berakibat terjadinya suatu reaksi inflamasi yang mempengaruhi tidak hanya mukosa hidung, tapi hingga ke telinga tengah yang berakibat terjadinya perubahan pada telinga tengah, sehingga terjadi disfungsi tuba. Perubahan tekanan pada telinga tengah ini umumnya dirasakan subjek sebagai sensasi rasa tidak enak, rasa penuh, rasa tertutup atau kurang mendengar (Bousquet, et al., 2001).

Subjek rinitis alergi mempunyai resiko tinggi terjadinya disfungsi tuba Eustachius pada gambaran timpanometri dibandingkan pada subyek non alergi. Pada individu dengan rinitis alergi, dengan memberikan provokasi nasal dengan tungau, akan menyebabkan obstruksi hidung dan disfungsi tuba. Dengan adanya alergen inhalan pada hidung akan menyebabkan deposit alergen pada tuba yang disebabkan induksi alergen lokal atau repons imun sistemik yang melibatkan mukosa saluran nafas pada tuba Eustachius. Kedua mekanisme ini akan mencetuskan inflamasi alergi dan


(37)

pembengkakan dari tuba yang pada akhirnya akan merupakan predisposisi terjadinya otitis media efusi (Bousquet, et al., 2008).

Tuba Eustachius sangat besar peranannya pada fungsi telinga tengah yaitu menjaga haemostasis melalui perannya pada fungsi ventilasi, proteksi dan transport mukosiliar telinga tengah. Selain itu mukosa yang melapisi tuba Eustachius adalah merupakan mukosa respiratorik sehingga alergen yang masuk ke saluran nafas dapat juga menyebabkan respon pada mukosa tuba (Dhingra, 2007).

Inflamasi hidung yang disebabkan oleh provokasi alergen akan menghasilkan tanda dan gejala rinitis alergi dan disfungsi tuba. Disfungsi tuba Eustachius akan menyebabkan peningkatan tekanan negatif pada telinga tengah dan fungsi ventilasi terganggu. Reaksi alergi dalam rongga hidung akan menyebabkan inflamasi nasal, disfungsi tuba dan peningkatan transudasi protein serta hipersekresi yang dicetuskan oleh pengeluaran mediator-mediator dan sitokin (Fireman, 1997). Gejala hidung yang berhubungan erat dengan adanya disfungsi tuba adalah sumbatan hidung (Krouse, 2002).

2.2.6 Pemeriksaan Fungsi Tuba Eustachius

1. Otoskopi

Penampakan membran timpani yang normal, mengindikasikan fungsi tuba Eustachius yang normal. Jika ditemukan retraksi membran timpani atau Mengetahui besar adanya cairan ditelinga tengah mengindikasikan adanya disfungsi tuba tapi tidak membedakan antara penyebab fungsional atau mekanik dari tuba. Mobilitas membran timpani yang normal pada pneomotoskopi Siegel menunjukkan patensi tuba Eustachius yang baik.

2. Nasofaringoskopi

Nasofaringoskopi dengan pemeriksaan rinoskopi posterior atau dengan endoskopi dapat membantu visualisasi adanya massa (polip, adenoid dan tumor di nasofaring) yang mungkin dapat menyumbat ostium tuba Eustachius.


(38)

3. Timpanometri

Timpanometri adalah pemeriksaan obyektif yang digunakan untuk mengetahui kondisi telinga tengah dan mobilitas selaput gendang telinga dan tulang-tulang pendengaran dengan memberikan tekanan udara pada liang telinga luar. Mekanisme kerja timpanometri adalah dengan memberikan tekanan berubah-rubah dengan rentang +200mmH2O

sampai dengan -400mmH2O pada kanalis auditorius ekternus, kemudian

menilai perubahan compliance membrane timpani, tekanan telinga tengah

(Mean Ear Pressure) dan ear canal volume, digambarkan dalam bentuk grafik (Katz, et al.,

MEP (Mean Ear Pressure) atau tekanan telinga tengah dinyatakan dalam mmH

1994)

2O maupun dalam deka Pascal (daPa). Satu deka Pascal =

1,02 mmH2O. Jerger menyampaikan postulatnya bahwa nilai rentang

normal untuk telinga tengah adalah -100 mmH2O sampai +100 mmH2O,

diluar rentang tersebut dianggap kondisi yang patologis (Katz, et al.,

Gelfand (2009) dalam buku Clinical Audiology menyebutkan range normal untuk tekanan telinga tengah masih kontroversi. Nilai yang abnormal untuk MEP (Mean Ear Pressure)tidak disebut batas yang tegas pada banyak literatur. Nilai cut off point yang di sebut sangat lebar yaitu di antaranya -25 daPa (Holmquist&Miller, 1972; Ghosh&Kumar, 2002), -30 daPa (Fieldman, 1975), -50 daPa (Porter, 1972), -100 daPa (Jerger,1970;Silverman&Arick 1992), 150 (Jones&Stephens 1988) dan -170 daPa.

1994).

Bagian ordinat menunjukkan suatu kelenturan (compliance) dalam mmH2O atau millimeterH20 dan nilai rentang normal berdasarkan

Jerger-Liden adalah 0,3-1,6 cm3. Kelenturan (compliance) membran timpani mencapai nilai maksimum saat tekanan udara pada kedua sisi membran timpani sama, puncak dari grafik pada posisi 0 mmH2O. Artinya pada

telinga yang sehat, transmisi bunyi mencapai tekanan di telinga tengah negatif, puncak grafik akan berada di daerah negatif dari timpanogram.


(39)

Begitu juga jika tekanan telinga tengah positif, artinya puncak dari suatu grafik akan mengindikasikan tekanan di telinga tengah (Katz, et al, 1994). Parameter lain pada timpanogram adalah ear canal volume atau volume liang telinga. Volume liang telinga pada orang dewasa lebih besar dibandingkan liang telinga anak, yaitu sekitar 0,63-1,46 cm3. Saat dekade 50-an, volume liang telinga akan mengecil menjadi sekitar 1,41 cm3 dan menjadi 1,28 cm3

Jerger-Liden mengklasifikasikan gambaran timpanogram sebagai tipe A,B, dan C. Tipe A ditemukan pada keadaan telinga tengah normal, memiliki puncak kurva dengan ketelitian normal, pada atau sekitar tekanan atsmosfer yaitu 0 daPa. Tipe ini memiliki variasi yaitu tipe A

saat dekade 80-an akibat proses penuaan (Mikolai, 2006).

d dan

A

Tipe A

s.

d (’d’ = discontinuity), bentuk kurva menyerupai gambaran tipe A

tetapi dengan puncak yang lebih tinggi dari nilai normal, misalnya ditemukan pada keadan disartikulasi tulang pendengaran, segala sesuatu yang menyebabkan rangkaian tulang pendengaran menjadi sangat lentur akan menyebabkan masuknya energi bunyi secara berlebihan. Tipe As

Bentuk kurva menyerupai gambaran tipe A, tetapi dengan puncak yang lebih rendah.

(’s’= stiffness atau shallowness) memiliki kelenturan membran timpani dibawah nilai normal misalnya ditemukan pada keadaan fiksasi tulang pendengaran sehingga terjadi penurunan aliran energi bunyi yang melewati telinga tengah.

Tipe B memiliki gambaran kurva dengan puncak yang menghilang atau sedikit melengkung bahkan sampai datar, misalnya pada otitis media efusi atau oklusi akibat serumen.

Tipe C juga puncak kurva berada pada daerah tekanan negatif, ditemukan pada keadaan disfungsi tuba auditiva, yaitu saat tuba tidak membuka, maka udara yang terperangkap di telinga tengah akan diserap oleh mukosa telinga tengah. Hal ini akan mengakibatkan turunnya


(40)

tekanan udara di telinga tengah terhadap tekanan di liang telinga luar. Perbedaan tekanan yang terjadi akan menyebabkan membran timpani retraksi dan terdorong ke medial dan pengaruh terhadap gambaran timpanometri adalah puncak grafik akan terdorong ke area negatif menjauhi nilai 0 (Mikolai, 2006).

Gambar 2.5 Gambaran timpanogram

Dengan alat timpanometri dapat juga dilakukan tes fungsi tuba Eustachius. Tekanan telinga tengah diukur saat istirahat, segera setelah perasat Toynbee dan setelah perasat Valsava. Kedua prosedur ini memberikan gambaran semikuantitatif kemampuan tuba Eustachius menyeimbangkan tekanan yang lebih tinggi atau lebih rendah pada telinga tengah. Prinsip tes Toynbee adalah memberikan tekanan negatif, lebih fisiologis dari tes lain. Tes ini dilakukan dengan menelan ludah dibarengi dengan hidung dipencet dan mulut di tutup. Hal ini menarik udara dari telinga tengah keluar ke nasofaring dan menyebabkan membran timpani tertarik ke medial. Sedangkan tes Valsava, tuba Eustachius dan telinga tengah diberi tekanan positif dengan memencet hidung sambil menghembus dari mulut. Jika udara memasuki telinga tengah, membran timpani akan bergerak ke lateral. Jika terdapat perforasi membran timpani terdengar suara berdesis atau jika terdapat cairan di telinga tengah akan terdengar suara seperti sesuatu pecah. Tes ini harus dihindari pada kondisi atropi membran timpani karena akan


(41)

menyebabkan ruptur membran timpani dan pada kondisi infeksi pada hidung dan nasofaring yang yang menyebabkan sekret dapat terdorong ke telinga tengah sehingga dapat menyebabkan otitis media.

4. Tes Politzer

Tes ini dikerjakan dengan memberikan pada satu lubang hidung selang karet yang dihubungkan dengan kantung udara sedangkan lubang hidung lainnya ditekan dengan jari. Pasien diminta untuk menelan atau mengatakan secara berulang huruf “K” untuk menutup pintu velofaringeal. Bila tes ini positif tekanan yang berlebihan di nasofaring dihantarkan ke telinga tengah sehingga membuat tekanan positif dalam telinga tengah dan menggerakkan membran timpani ke lateral (Dhingra, 2007).

2.3 Kerangka Konsep

Intrinsik Ekstrinsik

= yang di teliti

• Tumor nasofaring • Tumor hidung • Hipertropi

adenoid • Polip nasi • Palatochizis • Septum deviasi • Barotrauma Sumbatan tuba

Eustachius

Rinitis Alergi

Perubahan tekanan telinga

tengah Infeksi

Disfungsi Tuba


(42)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol (case-control study). 3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan di poliklinik THT-KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian mulai dilakukan bulan Desember 2011 sampai Mei 2012. 3.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik pengambilan sampel 3.3.1 Populasi

a. Populasi Target

Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh kasus rinitis alergi. b. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah seluruh rinitis alergi yang berobat ke Poliklinik THT-KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan. 3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah bagian dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.

a. Kriteria inklusi

• Kasus adalah subjek rinitis alergi yang diagnosanya ditegakkan berdasarkan definisi operasional.

• Kontrol adalah pasien yang secara klinis tidak berhubungan dengan alergi dan disfungsi tuba Eustachius

• Usia lebih dari 15 tahun dan kurang dari 60 tahun

• Bebas obat antihistamin selama 3 hari dan bebas kortikosteroid oral selama 2 minggu sebelum dilakukan pemeriksaan Tes cukit kulit


(43)

• Bersedia ikut dalam seluruh proses penelitian dan memberikan persetujuan secara tertulis setelah mendapat penjelasan (inform

consent)

b. Kriteria eksklusi kelompok kasus dan kelompok kontrol

• Subjek dengan rinosinusitis, polip nasi, tumor kavum nasi, hipertropi tonsil/adenoid, tumor nasofaring dan palatoskisis.

• Wanita hamil dan menyusui

• Sudah pernah mendapat imunoterapi. 3.3.3 Besar Sampel

Penentuan jumlah besar sampel dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

N = Jumlah sampel minimal tiap kelompok P1

P

= Proporsi paparan pada kelompok kasus

2

OR = Nilai odds ratio = 3 (Wulandari DP 2010) = Proporsi paparan pada kelompok kontrol

α = tingkat kemaknaan 0,05 Z α = 1,960 β = Kekuatan uji 20% , Z β

Dengan rumus diatas di dapat jumlah kelompok kasus = kontrol sebanyak 28 orang.

= 0,842

3.3.4 Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel penelitian diambil secara non probability

consecutive sampling dimana setiap subjek yang memenuhi kriteria inklusi

dimasukkan dalam penelitian sehingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. Pada penelitian ini kelompok kasus dan kontrol dilakukan padanan (matching)terhadap umur dan jenis kelamin.

3.4 Variabel Penelitian

• Variabel independen = Rinitis alergi

• Variabel dependen = Disfungsi tuba Eustachius 3.5 Definisi Operasional

N1=N2 = [Zα/2+ Zβ√PQ]2 (P-1/2)


(44)

a. Rinitis alergi adalah penderita yang dari anamnesa dan pemeriksaan fisik menunjukkan gejala dan tanda rinitis alergi serta hasil Tes cukit kulit positif. Gejala utama rinitis alergi adalah bersin, ingus encer dan hidung tersumbat. Tanda yaitu konka berwarna pucat dan atau kebiruan, dijumpai sekret yang bening seperti air, dengan foto hidung dan sinus paranasal yang normal.

b. Tes cukit kulit (Skin prick test) disebut positif jika bintul yang timbul pada kulit adalah +3 (bila bintul sama besar dengan kontrol positif) dan +4 (bila bintul lebih besar dari kontrol positif). Penilaian sesuai metode Pepys.

c. Jenis alergen yang digunakan hanya aeroallergen yang terdiri dari alergen indoor (tungau, tungau debu rumah, bulu anjing, bulu kucing) dan alergen outdoor (serbuk sari bunga dan kapuk).

d. Disfungsi tuba Eustachius adalah adanya gangguan pembukaan tuba Eustachius sehingga tuba tidak mampu menyeimbangkan tekanan pada telinga tengah. Dinilai dengan alat timpanometer. e. Penilaian disfungsi tuba Eustachius dilihat dari MEP (Mean Ear

Pressure) dari gambaran grafik timpanogram dan hasil tes fungsi tuba, dimana disebut :

Normal : Timpanogram tipe A dengan nilai MEP (Mean Ear Pressure) ≥ -25 daPa dan hasil tes fungsi tuba yang baik

Abnormal : Timpanogram tipe A dengan nilai MEP (Mean Ear Pressure) <-25 daPa, tipe B dan C disertai hasil tes fungsi tuba yang tidak baik.

f. Tes fungsi tuba adalah pemeriksaan untuk menilai kemampuan tuba Eustachius menyeimbangkan tekanan yang lebih tinggi atau lebih rendah pada telinga tengah dengan cara menentukan tekanan telinga tengah saat istirahat, setelah perasat Toynbee dan perasat Valsava dengan alat timpanometri.


(45)

g. Hasil tes fungsi tuba tidak baik bila tekanan telinga tengah pada saat istirahat, setelah perasat Toynbee dan perasat Valsava hampir sama atau pergeseran tekanannya kurang dari 15 daPa. 3.6 Alat dan Bahan Penelitian

3.6.1 Alat

1. Lampu kepala merek Riester 2. Spekulum telinga tipe Hartman 3. Otoskop merek Heine mini 2000

4. Alat penghisap (suction) merek Thomas Medi-Pump tipe 1132 5. Kanul penghisap no.6 dan 8 tipe ferguson

6. Spekulum hidung tipe Hartmant 7. Kaca nasofaring

8. Bunsen

9. Penekan/spatel lidah tipe Burning

10. stickduotip test

11. Teleskop 00 dan 300

12. Light source Olympus CLH 250

merk Olympus Germany A70940A

13. Digital Processor Olympus Ulsera OTV-S7

14. Timpanometer merk Inter Acoustics, tipe Audio Traveller AA222. 3.6.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah ekstrak alergen inhalan dr.Indrajana, Lembaga Alergen Pertama Indonesia (LAPI). Inhalan terdiri dari 6 jenis alergen yaitu tungau, debu rumah, serbuk sari bunga, kapuk, bulu anjing, bulu kucing dengan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (buffer). 3.7 Cara Kerja

Semua peserta penelitian yang memenuhi kriteria menjalani penelitian dengan urutan tata cara sebagai berikut :

1. Semua peserta penelitian diminta persetujuan tertulis bersedia mengikuti penelitian sampai selesai dengan menandatangani formulir


(46)

2. Setelah dilakukan diagnosis secara klinis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik THT dan pemeriksaan penunjang, kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol yang telah menjalani Skin prick test dilakukan pemeriksaan timpanometri selanjutnya data dicatat pada formulir status penelitian.

3. Skin prick test dilakukan dengan cara :

• Lengan bawah bagian volar dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian dibersihkan sampai kering, dengan jarak 2 cm, jarak dari lipatan siku 10 cm dibawahnya dan jarak dari pergelangan tangan 5 cm diatasnya. Buffer diberikan sebagai kontrol negatif dan histamin sebagai kontrol positif.

• Alergen di tetesi di tempat yang sudah ditentukan, kemudian dilakukan cukit kulit dengan stick duotip test 45° sedalam epidermis atau dengan memutar stick duotip test tersebut. Setiap stick duotip test hanya dipakai satu kali untuk satu jenis alergen.

• Penilaian dilakukan setelah 15-20 menit dengan cara melingkari bintul yang timbul dengan pena. Penggaris transparan digunakan untuk mengukur bintul dengan meletakkannya tepat diatas bintul tersebut.

• Untuk menilai ukuran bintul berdasarkan Pembacaan hasil menurut Metode Pepys.

Gambar 2.6 A. stick duotip test B. stickduotip test dalam wadah alergen. C. Contoh reaksi hasil positif pada tes cukit

• Pemeriksaan timpanometri dan tes fungsi tuba dilakukan dengan menggunakan alat timpanometer merk Inter Acoustics, tipe Audio Traveller AA222.


(47)

Cara penggunaannya dengan memasukkan probe yang sesuai dengan besar liang telinga subjek sehingga telinga tertutup rapat kemudian alat akan secara otomatis memberikan tekanan udara dan suara ke telinga subjek yang kemudian akan dipantulkan kembali oleh membran timpani. Pantulan gelombang suara inilah yang akan ditangkap oleh mikrofon yang ada pada probe dan kemudian diterjemahkan sebagai gambar pada grafik timpanogram. Pada grafik ini terdapat gambaran kurva timpanogram, nilai tekanan telinga tengah dan volume kanalis auditorius eksternus Selanjutnya pada alat timpanometer ditekan tanda yang bertulis timpanometri, jika pada probe terlihat lampu hijau menandakan tidak ada kebocoran; gambaran timpanogram akan terlihat di layar (Mikolai, 2006). Pemeriksaan dilakukan saat istirahat, setelah perasat Toynbee dan Valsava. Saat pemeriksaan subjek diberitahukan supaya tetap diam dan tidak melakukan gerakan yang bisa membuat tuba terbuka, seperti menguap, menelan ludah dan berbicara.


(48)

3.8 Kerangka Kerja

3.9 Hipotesa Penelitian

Ada hubungan rinitis alergi terhadap disfungsi tuba Eustachius 3.10 Analisa Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk mengetahui hasil analisa deskriptif karakteristik subjek penelitian, distribusi rinitis alergi sesuai klasifikasi ARIA-WHO, distribusi allergen dan distribusi hasil timpanogram, dan menilai besar hubungan rinitis alergi dan disfungsi tuba Eustachius.

Pasien poliklinik THT-KL FK USU/HAM

Kontrol Kasus

Anamnesa, pemeriksaan fisik THT rutin, nasoendoskopi dan foto hidung

dan SPN

Anamnesa, pemeriksaan fisik THT rutin, nasoendoskopi dan foto hidung

dan SPN

Tes cukit kulit Tes cukit kulit

Tes cukit kulit + Tes cukit kulit - Tes cukit kulit + Tes cukit kulit -

Eksklusi Timpanometri dan tes Eksklusi

fungsi tuba Eustachius


(49)

3.11 Jadwal Penelitian Jenis

Kegiatan

Waktu Sept 2011

Okt 2011

Nov 2011

Des 2011

Jan - Mei 2012

Juni 2012

Juli 2012

Agus 2012 1. Persiapan

proposal 2. Seminar proposal 3. Pengump

ulan data 4. Pengolah

an data 5. Penyusun

an laporan 6. Seminar 7. Penggan

daan laporan


(50)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan case–control studies yang dilakukan pada 30 kasus rinitis alergi dan 30 kontrol yang bukan rinitis alergi yang sesuai kriteria penelitian di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Karakteristik sampel penelitian disajikan pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian

Kasus Kontrol

n (%) n (%)

Jenis Kelamin

• Perempuan 22(73.3) 22(73.3)

• Laki-laki 8(26.7) 8(26.7)

Umur

• ≤ 20 4(13.3) 4(13.3)

• 21-30 15(50.0) 15(50.0)

• 31-40 7(23.3) 7(23.3)

• 41-50 4(13.3) 4(13.3)

Total 30(100.0) 30(100.0)

Dari tabel diatas terlihat bahwa distribusi jenis kelamin terbanyak pada kedua kelompok adalah perempuan sebanyak 22 orang (73.3%) dengan kelompok umur terbanyak adalah usia 21-30 tahun sebanyak 15 orang (50%) dengan rata-rata umur 29.33 tahun.

Tabel 4.2 Distribusi rinitis alergi menurut klasifikasi ARIA-WHO

Rinitis Alergi n (%)

Intermintten Ringan 5(16.7)

Intermintten Sedang-berat 7(23.3)

Persisten Ringan 7(23.3)

Persisten Sedang-berat 11(36.7)

Total 30

Dari tabel 4.2 menunjukkan bahwa jumlah kasus terbanyak menurut klasifikasi ARIA-WHO yaitu rinitis alergi persisten sedang berat sebanyak 11 orang (36.7%) dan yang paling sedikit adalah rinitis alergi intermitten ringan yaitu 5 orang (16.7%).


(51)

Alergen n(%)

Tungau 29(96.6)

Tungau Debu rumah 27(90.0)

Bulu anjing 12(40.0)

Bulu kucing 13(43.3)

Serbuk sari bunga 10(30.3)

Kapuk 21(70.0)

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa jenis alergen inhalan terbanyak yaitu tungau sebanyak 29 orang (96.6%) dan tungau debu rumah 27 orang (90.0%), dimana tiap subjek memiliki lebih dari satu alergen, minimal tiga alergen yang sensitif.

Tabel 4.4 Distribusi tipe timpanogram telinga pada kelompok kasus dan kontrol

Tipe Timpanogram

Kasus Kontrol

n(%) MEP (daPa) kanan/kiri

n (%) MEP (daPa) kanan/kiri A 22(73.3) -40.8/-40.9 28(93.3) -17.9/-14.8 As 3(10.0) -35.3/-40.6 2(6.7) -19/-22

Ad 1(3.30) -16/-17 0 0

B 1(3.30) -112/-101 0 0

C 3(10.0) -115/-113 0 0

Total 30(100) 30(100)

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa tipe timpanogram yang terbanyak pada kedua kelompok yaitu tipe A, dimana kelompok kasus tipe A sebanyak 22 orang (73.3%) sedangkan tipe As 3 orang (10%), tipe Ad

dan tipe B masing-masing 1 orang (3.3%), tipe C 3 orang (10.0%) dan kelompok kontrol tipe A sebanyak 28 orang (93.3%) sisanya tipe As 2

orang (6.7%).

Tabel 4.5 Distribusi hasil tes fungsi tuba pada kelompok kasus dan kontrol

Tes fungsi tuba Normal Abnormal

n(%) n(%)

Kasus 5(16.7) 25(83.3)


(52)

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 25 kasus (83.3%) yang hasil tes fungsi tuba abnormal dan 5 (16.7%) normal, sedangkan kelompok kontrol yaitu 28 (93.3%) normal dan 2 (6.7%) abnormal.

Tabel 4.6 Hubungan hasil tes fungsi tuba terhadap tipe rinitis alergi menurut klasifikasi ARIA-WHO (lamanya gejala)

ARIA WHO

ETF

Normal Abnormal

n (%) n(%)

Intermiten 5 (100,0) 7 (28,0)

Persisten 0 (0,0) 18 (72,0)

Total 5 (100,0) 25 (100,0)

nilai p = 0,006

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari 12 orang (40.0%) rinitis alergi intermitten, terdapat masing-masing 5 orang (16.6%) dengan hasil tes fungsi tuba yang normal dan 7 orang (23.4%) yang abnormal, sedangkan dari 18 orang (60.0%) kasus rinitis alergi persiten, semuanya mengalami fungsi tuba yang abnormal. Uji Pearson menunjukkan perbedaan yang signifikan antara tipe rinitis alergi intermitten dan persisten dengan disfungsi tuba Eustachius (p=0.006). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa disfungsi tuba 3 kali lebih sering ditemukan pada pasien dengan rinitis alergi dibandingkan non-rinitis alergi (OR 2.5 ; 95% IK: 2.36-2.99).

Tabel 4.7 Hubungan jenis alergen terhadap hasil tes fungsi tuba Alergen

ETF

Normal Abnormal

n (%) n (%)

In Door 2(40,0) 22(88,0)

Out Door 3(60,0) 3(12,0)

Total 5(100,0) 25(100,0)

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari 5 orang dengan hasil tes fungsi tuba yang normal, terdapat 2 orang (40%) dengan alergen indoor, dan 3 orang (60%) alergen outdoor. Sedangkan dari 25 orang dengan


(53)

hasil tes fungsi tuba yang abnormal, terdapat 22 orang (88%) dengan alergen indoor dan 3 orang dengan alergen outdoor. Uji Fisher Exact

menunjukkan perbedaan yang signifikan antara jenis alergen indoor dan

outdoor dengan disfungsi tuba Eustachius (p=0.041). Hasil analisis

bivariat menunjukkan bahwa jenis alergen indoor 3 kali lebih sering ditemukan pada pasien dengan hasil tes fungsi tuba yang abnormal dibandingkan jenis alergen outdoor (OR 2.8 ; 95% IK: 0.011-0.787).

Tabel 4.8 Pengaruh tipe rinitis alergi dan jenis alergen terhadap hasil tes fungsi tuba

Variabel OR 95%CI Nilai p

Tipe rinitis alergi 2.9 1.52-241.90 0.022*

Alergen 2.2 0.01-7.31 0.295

Tabel diatas merupakan hasil uji multivariat, dimana ketiga variabel yaitu tipe rinitis alergi, jenis alergen serta hasil tes fungsi tuba di uji dengan regresi logistik dimana hasilnya menunjukkan bahwa tipe rinitis alergi berpengaruh tiga kali lebih besar terhadap disfungsi tuba Eustachius (OR 2.9 ; 95% IK: 1.52-241.90 dan nilai p=0.022) sedangkan jenis alergen dua kali lebih berpengaruh terhadap disfungsi tuba dengan OR 2.2; 95% IK: 0.01-7.31 dan nilai p=0.295.


(54)

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian yang dilakukan terhadap ke enam puluh pasien yang terbagi atas kasus dan kontrol dijumpai bahwa perempuan lebih banyak dari pada laki-laki yaitu masing-masing 73.3% dan 26.7%. Hal yang sama dilaporkan oleh Lazo-Saens et al (2005), Karya, et al., (2007)

et al., (2010) dengan kisaran antara 55-65% adalah perempuan.

Penelitian epidemiologik multisentra di Eropa melaporkan bahwa prevalensi perempuan dan laki-laki hampir samet al., 2010). Berdasarkan observasi lapangan dalam penelitian ini perempuan dan laki-laki sering memiliki persepsi yang berbeda terhadap rasa sakit. Penelitian baru dari Stanford University menunjukkan bahwa ketika perempuan dan laki-laki memiliki kondisi yang sama, seperti masalah punggung, arthritis atau infeksi sinus, wanita biasanya lebih merasa sakit. Sebanyak 21 dari 22 penyakit yang diteliti, perempuan yang melaporkan tingkat nyeri yang lebih tinggi daripada laki-laki, sehingga perempuan lebih banyak memeriksakan diri (Ratnadita, 2012).

Kelompok umur 21-30 merupakan kelompok paling banyak dijumpai (46.6%), dengan umur paling muda adalah 17 tahun dan yang paling tua adalah 43 tahun. Lumbanraja (2007) dan Rahmawati, Suprihati, dan Muyassaroh (2011) melaporkan hal yang sama distribusi kelompok umur penderita rinitis alergi paling banyak adalah kelompok umur 21-30 tahun sebanyak 35-38%. Hal yang hampir sama dilaporkan oleh Karya, et al.,

(2007) yang melaporkan kelompok umur paling banyak adalah ≤ 20 tahun (40%) dan paling sedikit kelompok umur 51-60 (3.3%). Bousquet, et al.,

(2001) mengatakan bahwa puncak prevalensi rinitis alergi terjadi pada masa setelah pubertas dan berangsur-angsur menurun pada usia pertengahan dan umur tua.

Jumlah kasus terbanyak menurut klasifikasi ARIA-WHO yaitu rinitis alergi persisten sedang berat sebanyak 36.6%, rinitis alergi intermiten sedang berat dan persisten ringan masing-masing 23.3% dan yang paling


(55)

sedikit adalah rinitis alergi intermitten ringan yaitu 16.7% (tabel 4.2). Hal yang mirip dilaporkan oleh Karya, et al., (2007) danet al., 2010

dan yaitu kasus terbanyak tipe rinitis alergi persisten sedang berat berkisar 46-49%.

Pada penelitian ini jumlah rinitis alergi persisten lebih banyak karena hampir semua subjek penelitian merupakan polisensitif (sensitif lebih 3 alergen), terutama aero-alergen indoor seperti tungau, tungau debu rumah dan bulu binatang, sehingga resiko lebih tinggi pada subjek terpapar alergen yang berbeda secara bergantian dan menyebabkan gejala yang berlangsung lama dan menggangu kualitas hidup subjek.

Jenis alergen inhalan terbanyak terpapar yaitu tungau sebanyak 96.6% dan tungau debu rumah 90% dan yang paling sedikit adalah serbuk sari bunga sebanyak 30.3%. Seluruh subjek penelitian pada kelompok kasus menunjukkan alergi terhadap minimal tiga alergen pada masing-masing subjek. Dengan alergen yang tersering adalah tungau dan yang paling jarang adalah serbuk sari bunga. Hal yang mirip dilaporkan oleh Lazo-Saens, et al., (2005) dan Lumbanraja (2007) alergen inhalan yang paling sering adalah tungau debu rumah (62%). Rinitis perennial terjadi pada daerah yang beriklim tropis seperti indonesia yang berhubungan erat dengan jenis antigen bulu/ serpihan kulit binatang, tungau, kecoa dan tungau debu rumah sedangkan rinitis seasonal

Gambaran timpanogram kelompok kasus hampir semua mengalami gangguan fungsi tuba Eustachius, yaitu dengan hasil timpanogram tipe A (73.3%) dengan nilai MEP -40.8 daPa pada telinga kanan dan -40.9 daPa di telinga kiri, tipe B 3.4% dan tipe C 10% dengan nilai rata-rata MEP telinga kanan -115 daPa dan telinga kiri -113 daPa. Sedangkan kelompok kontrol paling banyak tipe A yaitu 93.4% dengan nilai rata-rata MEP telinga kanan -17.9 daPa dan telinga kiri -14.8 daPa dan sisanya adalah tipe As 6.6% dengan nilai rata-rata MEP telinga kanan -19 daPa dan (musiman) yang berhubungan dengan jenis antigen serbuk sari dan jamur (Bousquet et al, 2001; Karya, et al., 2007).


(56)

telinga kiri -22 daPa. Hasil pemeriksaan tes fungsi tuba (ETF: Eustachian Tube function) pada semua subjek penelitian, pada kelompok kasus terdapat 83.3% dengan gangguan fungsi tuba dan fungsi tuba normal (16.7%) sedangkan kelompok kontrol 93.3% normal dan 6.7% abnormal. Lazo-Saens, et al., (2005) melaporkan 80 orang rinitis alergi dan 50 orang normal sebagai kontrol, 3% kelompok rinitis alergi dengan timpanogram tipe B dan 13% tipe C sedangkan pada kelompok kontrol semuanya tipe A. Hasil penelitian lain di Makassar oleh Karya, et al.,

(2007), melaporkan tipe timpanogram yang paling banyak yaitu tipe A (83.3%), tipe As (10.0%), tipe Ad dan tipe B (0%) dan tipe C (6.7%), sedangkan pada kelompok kontrol semuanya dengan tipe A dan tipe As. Hasil penelitian lain di Semarang oleh Rahmawati, Suprihati dan Muyassaroh (2011) melaporkan tipe timpanogram pada rinitis alergi persisten yaitu sebanyak 85% normal (tipe A) dan selebihnya adalah abnormal (tipe B dan C).

Ghosh dan Kumar (2002) melaporkan setelah dilakukan reevaluasi secara obyektif, demi keamanan pada penerbangan militer di India, nilai MEP (Mean Ear Pressure) yang aman adalah ± 25 daPa. Artinya nilai MEP (Mean Ear Pressure) <-25 daPa mulai menunjukkan adanya disfungsi tuba Eusthacius.

Hubungan rinitis alergi klasifikasi ARIA-WHO dengan hasil tes fungsi tuba digambarkan pada tabel 4.6 dimana dengan Uji Pearson

menunjukkan perbedaan yang bermakna antara tipe rinitis alergi intermitten dan persisten dengan disfungsi tuba Eustachius (p=0.006). Uji bivariat menunjukkan kasus rinitis alergi mempunyai resiko gangguan fungsi tuba Eustachius tiga kali lebih sering dibanding dengan kasus non rinitis alergi OR:2.5 (95% CI 2.36-2.99) p=0.000.

Penelitian lain melaporkan hal yang hampir sama, sebanyak 76.7% dari 30 subjek penelitian mengalami gangguan fungsi tuba Eustachius, dimana sebanyak 12 orang merupakan rinitis alergi persisten dan 11 orang rinitis alergi intermitten (Karya, et al., 2007). Wulandari, DP (2010)


(1)

Crosstabs

ARIA_WHO * ETF Crosstabulation

Count

ETF

Total Normal Abnormal

ARIA_WHO intermiten ringan 4 1 5

intermiten sedang-berat 1 6 7

persisten ringan 0 7 7

persisten sedang-berat 0 11 11

Total 5 25 30

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 18.069a 3 .000

Likelihood Ratio 16.288 3 .001

Linear-by-Linear Association 12.104 1 .001

N of Valid Cases 30

a. 5 cells (62,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,83.

Regression

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 ETFa . Enter

a. All requested variables entered.

b. Dependent Variable: STATUS

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .771a .594 .587 .324


(2)

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 8.906 1 8.906 84.757 .000a

Residual 6.094 58 .105

Total 15.000 59

a. Predictors: (Constant), ETF

b. Dependent Variable: STATUS

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 2.623 .129 20.341 .000

ETF -.774 .084 -.771 -9.206 .000

a. Dependent Variable: STATUS

Coefficientsa

Model

95,0% Confidence Interval for B

Lower Bound Upper Bound

1 (Constant) 2.365 2.881

ETF -.943 -.606

a. Dependent Variable: STATUS

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

ETF Percentage

Correct Normal Abnormal

Step 0 ETF Normal 0 5 .0

Abnormal 0 25 100.0

Overall Percentage 83.3


(3)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant 1.609 .490 10.793 1 .001 5.000

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables Alergen 6.000 1 .014

ARIA_WHO 12.522 1 .000

Overall Statistics 14.100 2 .001

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a Alergen -2.278 2.177 1.095 1 .295 .102 .001 7.305

ARIA_WH O

2.953 1.294 5.209 1 .022 19.159 1.517 241.909

Constant -1.349 3.122 .187 1 .666 .259 a. Variable(s) entered on step 1: Alergen, ARIA_WHO.

Correlation Matrix

Constant Alergen ARIA_WHO

Step 1 Constant 1.000 -.679 -.501

Alergen -.679 1.000 -.235


(4)

(5)

CURICULUM VITAE

I.

DENTITAS

1. Nama

: dr. Fadhlia

2. Tempat/ Tanggal lahir

: Banda Aceh / 7 April 1977

3. Alamat

: Komplek Royal Setiabudi residen Blok C-

10 Pasar II Tanjung Sari Medan

4.HP

: 081360080058

5. Orangtua

: Mahyiddin HB,SH (Ayah)

Dra. Sufni Yusuf (Ibu)

6. Suami

: Yudi Syukran S.Si

7. Anak

: 1. Muhammad Daffa Ghifari Syukran

2. Raisa Kamila Putri Syukran

II.

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1983- 1989

: SDN 26 Banda Aceh

2. 1989-1992

: MTsS Bustanul Ulum Langsa

3. 1992-1995

: SMU negeri 3 Banda Aceh

4. 1995-2003

: FK Unsyiah Banda Aceh

4. 2008- 2012

: PPDS I. Kes THT-KL FK USU Medan

III. RIWAYAT PEKERJAAN

Tahun 2003-2005 Dokter PTT di RSUD dr.Zainoel Abidin NAD

Tahun 2005- Sekarang PNS Sekda Provinsi NAD di RSUD dr.Zainoel Abidin NAD

IV. KEANGGOTAAN PROFESI

1. 2003- sekarang

: Anggota IDI Wilayah NAD

2. 2008- sekarang

: Anggota Muda PERHATI-KL Cabang


(6)