TENTANG INTEGRASI INTERKONEKSI DALAM KAJIAN ISLAM

Implementasi Paradigma Integrasi Interkoneksi dalam Kajian Keislaman

Gagasan tentang pengintegrasian antara ilmu agama dan umum muncul di tengah kesadaran beragama yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa umat Islam akan maju dan menyamai orang-orang Barat adalah jika umat Islam mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Di samping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara Barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya

398 Siswanto —Perspektif Amin Abdullah 398 Siswanto —Perspektif Amin Abdullah

Dipandang dari sisi aksiologis, ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia, bukan sebaliknya.

Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisipliner dan interkoneksitas dalam integrasi interkoneksi antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti. Bukan masanya sekarang disiplin ilmu-ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.

Interkoneksi Studi Hukum Islam dan Ilmu-ilmu Sosial

Mendiskusikan satu tema epistemologi hukum Islam, tepatnya mengenai problem tekstualitas studi hukum Islam, bahwa studi hukum Islam telah terjebak pada semata-mata kajian tekstual. Metodologi dan produk hukum Islam itu sendiri juga terjebak pada problem tekstualitas dan kajian tekstual. Ini antara lain telihat dari definisi yang diberikan sebagai seperangkat kaidah yang tidak pernah keluar dari teks. Tentu ini membawa problem ketika hukum Islam dituntut menyahuti perubahan sosial yang begitu cepat di luar teks dan bersifat non-tekstual. Upaya keluar dari jeratan tekstualitas ini adalah ten tu saja “interkoneksi” dengan ilmu-ilmu lain dalam studi hukum Islam. Teks memang penting dan tidak dapat ditinggalkan. Namun demikian, dengan interkoneksi

Teosofi —Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 399 Teosofi —Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 399

Problem Tekstualitas Studi Hukum Islam

Studi hukum Islam selama ini terkesan tekstual, norma tif dan sui-generis. Kesan demikian sebenarnya tidak berlebihan, sebab us}ûl al- fiqh —yaitu dasar-dasar dan metode penemuan dan penyimpulan hukum Islam —senantiasa didefinisikan sebagai “seperangkat kaidah untuk menyimpulkan hukum shar ‘î praktis dari dalil-dalinya (teks) yang rinci ”.

Tekstualitas hukum Islam ini bukan suatu kebetulan. Ini adalah karakteristik yang lahir dari sistem berpikir dan otoritas epistemologi tertentu. Sebagian besar umat Islam yang menganut “subjektifisme teistik” menyatakan bahwa hukum hanya dapat dikenali melalui teks wahyu Ilahi yang dibakukan dalam kata-kata yang terucap melalui Nabi, berupa al- Qur‟ân dan Sunnah. Akhirnya, inilah yang menggiring fokus hukum Islam berikut metode penemuannya pada analisis semata-mata tekstual.

Semua itu menunjukkan dan membuktikan bahwa kajian metodologi dan produksi hukum Islam memang terfokus bahkan tidak lebih dari pada analisis tekstual. Lebih dari itu, definisi dan basis empitemologis yang melahirkannya juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam memang hanya dapat digali, dicari dan diderivasi dari teks wahyu saja. Jadilah hukum Islam bersifat law in book oriented. Sementara realitas faktual- empiris “historis” yang hidup di luar teks (living law) kurang mendapatkan tempatnya yang proporsional dalam kerangka metodologi pemikiran istinbât} hukum Islam. 34

Kurangnya analisis empiris inilah satu kekurangan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam. Serangkaian metode us}ûl al-fiqh seperti qiyâs, istis}lâh}, bahkan ‘urf kurang memungkinkan untuk memberikan ruang gerak yang luas dan bebas bagi dimasukkannya data-data sosial empiris dalam analisis teoretis dan metode penemuan hukum Islam. Studi us}ûl al-fiqh pun lalu masih tetap

34 M. Alfatih Suryadilaga, “Implementasi Pendekatan Integrasi-Interkoneksi dalam Kajian Living Hadis ”, dalam Fahrudin Faiz (ed.) Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-

Interkoneksi: Sebuah Antologi (Yogyakarta: SUKA Press, 2007), 170.

400 Siswanto —Perspektif Amin Abdullah 400 Siswanto —Perspektif Amin Abdullah

Kesulitan demikian masih dirasakan pada tawaran pembaruan metodologis yang ditawarkan oleh para pemikir hukum Islam klasik al- Ghazâlî dengan metode induksi dan tujuan hukumnya maupun al- Shât}ibî melalui induksi tematiknya. Sumbangan besar mereka baru merintis jalan dasar-dasar analisis empiris di luar analisis tekstual untuk dapat memasukkan dinamika kontekstual dan empiris historis ke dalam studi dan teori penemuan hukum Islam.

Pembaruan pemikiran hukum kontemporer Fazlur Rahman hingga Muh}ammad Shah}rûr, juga belum secara tegas menjawab

problem tekstualitas. Karena upaya pembaruan itu adalah perluasan makna teks melalui beragam cara, maka problem tekstualitas itu sendiri belum teratasi. Secara metodologis, dalam hukum Islam masih terdapat ruang kosong antara teks-teks hukum (hukum itu sendiri) dan realitas historis kontekstual disekelilingnya. Penekanan terlalu besar pendekatan tekstual dan sekaligus kurangnya analisis empiris metode penemuan hukum Islam belum tersentuh memadai.

Tekstualitas hukum Islam tentu membawa kesulitan dan ancaman ketidakcakapan hukum Islam untuk merespons tantangan zaman dan perubahan sosial. Karakteristik fiqh klasik yang law in-book oriented, bahkan tidak jarang terkekang dalam satu mazhab sempit serta pada saat yang sama kurang memperhatikan law-in action dan living law, telah sering membawa ketertinggalan. Tidak saja ketertinggalan, bahkan bisa jadi mulai ditinggalkan, out dated dan old fashioned.

Paradigma Integrasi Interkoneksi sebagai Solusi Kajian Keislaman

Interkoneksi studi hukum Islam dan ilmu-imu sosial karena itu merupakan terobosan baru atas stagnasi problem tekstualitas studi hukum Islam selama ini. Interkoneksi ini perlu diarahkan pada pengembangan metode penemuan dan penyimpulan hukum Islam berbasis analisis normatif-cum-empiris. Artinya, analisis tekstual metode penemuan hukum Islam klasik harus dihubungkan sedemikian

35 Shofiyullah Mz, “Ushul Fiqih Integratif-Humanis: Sebuah Rekonstruksi Metodologis”, dalam Fahrudin Faiz (ed.), Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-

Interkoneksi (Yogyakarta: SUKA Press, 2007), 192.

Teosofi —Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 401 Teosofi —Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 401

Model interkoneksi dan integrasi studi hukum Islam dan ilmu- ilmu sosial berupaya merekonstruksi suatu cara pembacaan dan

pemahaman baru pada wilayah yang sama sekali belum terdapat nas}s}- hukumnya. Ini dilakukan dengan menghargai tradisi, kultur, untuk secara sistematis mengurangi kesan arogansi intektual-tekstual, bahwa hukum diketahui dari teks semata. Analisisnya dilakukan dengan menggabungkan teori aksi dan teori sistem secara simultan dan sinergis.

Upaya interkoneksi dan integrasi studi hukum Islam dengan ilmu-ilmu sosial tentu mengandaikan pengakuan epistemologi hukum Islam baru bahwa hukum Islam tidak hanya dapat diketahui dan diderivasi atas dasar-dasar analisis tekstual semata. Adapasi dan derivasi atas realitas sosiologis historis (tentu dengan mempertimbagkan cara baca produktif atas teks-teks universal) akan memungkinkan juga untuk menentukan hukum Islam, sebagai upaya meningkatkan daya jawab kontekstual kontemporer.

Integrasi dan interkoneksi studi hukum Islam dan ilmu-ilmu sosial jelas harus menjadi agenda sekarang dan ke depan agar hukum Islam dapat ikut ambil bagian dalam proses regulasi masyarakat modern, dengan sistem kebangsaan modern. Agar membangkitkan

nalar historis dan empiris us}ûl al-fiqh.

Problematika Studi al- Qur’ân

Di era kontemporer ini, studi al- Qur‟ân semakin banyak diminati baik oleh kalangan umat Islam sendiri maupun kalangan ilmuan dari agama lain. Jika dilihat secara historis, dalam perkembangan studi al- Qur‟ân, tafsir merupakan ilmu yang paling tua. Hanya saja, tafsir pada

masa awal hingga Abad Pertengahan banyak yang bersifat leksiografis. 36 Di dunia Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, studi al- Qur‟ân

berada di bawah Fakultas Ushuluddin, sebagian yang lain di Fakultas Syari‟ah. Sedang di luar dua fakultas itu, studi al-Qur‟ân juga diperkenalkan kepada mahasiswa dalam beberapa fakultas lain dalam mata kuliah Ulûm al- Qur‟ân, Ilmu Tafsir, atau Tafsir. Akan tetapi, di

36 Lebih lanjut baca Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), 36.

402 Siswanto —Perspektif Amin Abdullah 402 Siswanto —Perspektif Amin Abdullah

penafsiran seperti itu dapat membawa mahasiswa pada pemahaman al- Qur‟ân yang kurang utuh karena belum mencerminkan satu kesatuan pemahaman terpadu dari ajaran al- Qur‟ân yang fundamental. Oleh karenanya, diperlukan sebuah pengembangan model studi al- Qur‟ân yang dapat mencerminkan satu kesatuan pemahaman yang utuh dan terpadu dari ajaran al- Qur‟ân.

Di sisi lain, kebutuhan pengembangan studi al- Qur‟ân merupakan sebuah keniscayaan dan tuntutan dari dua hal berikut:

a. Pendekatan studi al-Qur‟ân belakangan sudah merambah ke berbagai perspektif dan analisis, bukan lagi dengan hanya menggunakan satu perspektif, teologis-normatif, melainkan

menggunakan berbagai perspektif modern 38 Tegasnya, Metodologi Studi al- Qur‟ân, atau lebih dikenal dengan Ilmu Tafsir, merupakan

salah satu ilmu (Keislaman) yang mengalami perkembangan sangat cepat, bahkan lebih cepat apabila dibandingkan dengan metode

keilmuan yang lain, seperti metode studi hadis dan us}ûl al-fiqh (metode istinbât} hukum). Untuk itu, pemberian mata kuliah ilmu- ilmu al- Qur‟ân dengan sistem keilmuan klasik, yakni pemisahan antara Ulûm al- Qur‟ân dan Ilmu Tafsir, yang disajikan secara parsial akan mengakibatkan mahasiswa ketinggalan perkembangan studi al- Qur‟ân.

b. Hal lain yang mendukung urgensi pengembangan studi al-Qur‟ân adalah dikedepankannya al- Qur‟ân sebagai paradigma berpikir (manhâj al-fikr). 39 Tawaran paradigma al- Qur‟ân ( Qur’anic paradigm)

37 Abdullah, Studi Agama, 139.

38 Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan al- Qur’an, terj: Machasin (Jakarta: INIS, 1997), 43. Dalam buku ini Arkoun membongkar pendekatan-pendekatan pembacaan

al- Qur‟ân yang dipergunakan oleh ulama salaf dengan menggunakan beberapa pendekatan kebahasaan kontemporer. Lihat juga misalnya M. Quraish Shihab, Mukjizat al- Qur’ân Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 1997). Dalam buku ini Shihab mengkaji kemukjizatan al-Quran dengan menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis dan pengetahuan

alam dalam menjelaskan mukjizat al- Qur‟an.

39 Arif Subhan, “Dr. Kuntowijiyo: al-Qur‟ân Sebagai Paradigma”, Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. V (1994), 92-100.

Teosofi —Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 403 Teosofi —Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 403

Hal yang terakhir disebutkan ini pada perkembangannya mengakibatkan ilmu pengetahuan modern, tegasnya ilmu pengetahuan Barat, memperoleh kritik tajam dari banyak ahli yang menganggap ilmu pengetahuan Barat sebagai faktor utama dari runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan karena memisahkan manusia dengan alam dan mematahkan nilai dari ranting-ranting

pengetahuan. 41 Menjawab itu semua, studi al- Qur‟ân tidak bisa disajikan dengan

hanya menggunakan satu paradigma, tetapi mesti multi partadigma, sesuai dengan makna al- Qur‟ân yang multi-sisi dan multi-dimensi. Dengan demikian, keilmuan studi al- Qur‟ân yang sementara ini dilakukan dalam sistem keilmuan yang parsial, mesti dirubah dengan penggunaan paradigma dan pendekatan holistik, yakni pendekatan yang menjadikan keilmuan studi al- Qur‟ân dalam satu kesatuan yang terpadu, untuk menghindari dampak yang paling negatif dari akibat studi al- Qur‟ân yang parsial tadi.

Pendekatan holistik dalam studi al- Qur‟ân pada sisi lain diperlukan untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum ditemukan pada masa sebelumnya. Apalagi, dampak modernisasi yang kian tidak menentu seperti sekarang, tidak cukup diselesaikan dengan hanya menggunakan literatur-literatur klasik, melainkan diperlukan reinterpretasi terhadap ajaran al- Qur‟ân agar doktrin agama tidak tertinggal dari realitas dan kebutuhan hidup

masyarakatnya. 42 Apa yang dikatakan Lawrence di atas secara sederhana dapat

dipahami sebagai sebuah kesadaran perlunya reinterpretasi (penafsiran ulang) doktrin-doktrin agama (dalam Islam al- Qur‟ân dan H{adîth) agar

40 Haidar Baqir dan Zainal Abidin, “Pengantar” (Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan?) dalam Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al- Qur’an, terj: Agus Effendi

(Bandung: Mizan, 1998), 7.

41 Syed Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka Salman, 1981), 43. 42 Bruce B. Lawrence, “Woman as Subject/Woman as Symbol,” Jurnal of Religious

Ethics, 22 (Spring, 1994), 181; Seperti dikutip oleh Akh. Minhaji, “Masa Depan Studi Hukum Islam: Problem Metodologi”, Makalah disajikan dalam Kuliah Perdana Jurusan Syari‟ah STAIN Malang, 4 September 2000, 1.

404 Siswanto —Perspektif Amin Abdullah 404 Siswanto —Perspektif Amin Abdullah

petunjuk bagi manusia 43 dalam menyelesaikan perselisihan dan permasalahan yang dihadapinya. 44 Fungsi-fungsi wahyu seperti yang

antara lain disebutkan tadi hanya dapat teraplikasikan apabila setiap umat Islam dapat memahaminya sesuai dengan konteks kekiniannya, bukan berdasarkan konteks historisnya semata. Namun, karena untuk memahami al- Qur‟ân dalam praktiknya membutuhkan penelitian, pendekatan dan analisis yang mendalam, sesuai dengan sifat al- Qur‟ân yang mujmal (global), maka dalam kegiatan menginterpretasi al- Qur‟ân pasti membutuhkan sebuah ilmu yang kita sebut dengan Ilmu Tafsir.

Ilmu Tafsir dalam hal ini dipahami sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana al- Qur‟ân dapat diteliti, didekati dan dianalisis secara benar. Untuk itu, Ilmu Tafsir pada dasarnya merupakan ilmu yang secara epistemologis bertugas membangun “kerangka kerja” studi al- Qur‟ân. Dalam fungsinya ini, ia dapat pula disebut dengan Metodologi Studi al- Qur‟ân yang di dalamnya tercakup seluruh aspek metodologis dari studi al- Qur‟ân. Dari sini dapat dipahami bahwa Ilmu Tafsir harus dibedakan dari Ulûm al- Qur‟ân.

Apabila pemahaman ini benar, maka beberapa silabi yang ada di beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia perlu direformulasi. Sebab, sebagian dari materi Ilmu Tafsir masih tumpang tindih (over lapping) dengan Ulûm al- Qur‟ân. Jika kita mengatakan bahwa tafsir adalah penjelasan maksud dari sebuah ayat yang sulit dipahami, 45 misalnya, maka Ilmu Tafsir adalah ilmu yang membahas

tentang bagaimana kita dapat mengetahui ayat yang sulit dipahami tersebut, bagaimana cara menjelaskan, dan dengan apa kita dapat menjelaskannya. 46 Untuk itu, pembahasan Ilmu Tafsir mesti ditekankan

kepada bidang-bidang metodologis, bukan kepada Makkîyah-Madânîyah,

I ‘jâz al-Qur’ân, dan Qirâ’at al-Qur’ân, sebagaimana yang menjadi kajian sementara ini diberbagai Perguruan Tinggi Islam, sebab sekalipun cara

43 Q.S. al-Baqarah (2):185; Q.S. Ibrâhîm [14]: 1. 44 Q.S. al-Baqarah [2]: 213. 45 Lihat pengertian ini dalam Abû al-Fâd}îl Jamâl al-Dîn Muh}ammad b. Manz}ûr, Lisân

al- ‘Arâb (Beirut: Dâr al-S{adr, t.th.), 55. 46 Ahmad Syirbashi, Sejarah Tafsîr al- Qur’ân (t.tp.: Pustaka Firdaus, 1994), 5-6.

Teosofi —Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 405 Teosofi —Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 405

Catatan Akhir

Adanya dikotomi keilmuan yang memisahkan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama merupakan kenyataan yang memprihatikan dan menjadi academic crisis bagi Amin Abdullah. Dalam kajian keagamaan (kajian keislaman) terdapat tumpang tindih antara yang sakralitas-normativitas (agama) dengan yang profanitas-historisitas (kepentingan lembaga-lembaga kekuasaan), sehingga seringkali terjadi ketegangan-ketegangan di antara satu dengan yang lain.

Studi dan pendekatan agama yang bersifat empiris-historis-kritis dan paradigma interkoneksitas akan dapat menyumbangkan jasanya untuk mengurangi kadar dan intensitas ketegangan (tension) tersebut, tanpa harus berpretensi dapat menghilangkannya sama sekali. Lewat kajian dan pendekatan agama yang bersifat kritis-historis, yakni lewat analisis yang tajam terhadap aspek historis yang diramu dengan paradigma interkoneksitas akan mampu menjernihkan duduk “keberagaman” manusia.

Paradigma Interkoneksi-Integrasi ala Amin Abdullah adalah salah satu opsi pemikiran agar ragam kajian keisalaman dapat berkembang lebih komprehensif. Paradigma ini memandang bahwa antara ilmu-ilmu qawlîyah/h}ad}ârah al-nas}s} dengan ilmu-ilmu

kawnîyah/h}ad}ârah al- ‘ilm, maupun dengan h}ad}ârah al-falsafah berintegrasi dan berinterkoneksi satu sama lain.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin dkk. Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural. Yogyakarta: Panitia Dies IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ke 50 dan Kurnia Alam Semesta, 2002.

-----. “Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pendekatan Dikotomis-Atomistis Kearah Integratif- Interkonektif” dalam Fahrudin Faiz, (ed.). Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Yogyakarta: SUKA Press, 2007.

406 Siswanto —Perspektif Amin Abdullah

-----. “Kajian Ilmu Kalam di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman pada Era Melinium Ketiga”, Al- Jami’ah, No. 65, VI/2000.

----- . “Membangun Kembali Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman: Tajdid dalam Perspektif Filsafat Ilmu” dalam A. Syafi‟i Ma‟arif, dkk., Tajdid Muhammadiyah untuk Pencerahan Peradaban, (ed.) Mifedwil Jandra dan M. Safar Nasir. Yogyakarta: MT-PPI & UAD Press, 2005.

-----. “Mempertautkan ‘Ulûm al-Dîn, al-Fikr al-Islâmî, dan Dirâsat Islâmîyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global ”, disampaikan dalam Workshop Pembelajaran Inovatif Berbasis Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta, 19 Desember 2008.

-----. “Muhammadiyah di Tengah Pluralitas Keberagamaan” dalam Edy Hamid, Suandi dkk. (ed.). Rekonstruksi Gerakan Muhammadiyah Pada Era Multiperadaban. Yogyakarta: UII Press, 2000.

-----. “Visi Keindonesiaan Pembaharuan Pemikiran Islam Hermeneutik”, Epistema, No. 02, 1999. -----. dkk., Seri Kumpulan Pidato Guru Besar: Rekonstruksi Metodologi Ilmu- ilmu Keislaman. Yogyakarta: SUKA Press, 2003. -----. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif,

Adib Abdushomad (ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. -----. Pendidikan Agama Era Multikultural Multi-Religius. Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005. -----. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Abror, Robby H. “Reformulasi Studi Agama untuk Harmoni Kemanusiaan”, Kedaulatan Rakyat, 31 Juli 2010. al-Attas, Syed Naquib. Islam dan Sekularisme. Bandung: Pustaka Salman, 1981. Arkoun, Mohammed. Berbagai Pembacaan al- Qur’an, terj: Machasin. Jakarta: INIS, 1997. Baqir, Haidar dan Abidin, Zainal. “Kata Pengantar” dalam Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al- Qur’an, terj: Agus Effendi. Bandung: Mizan, 1998.

Djamari. Agama dalam Perspektif Sosiologi. Bandung: Alfabeta, 1993.

Teosofi —Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 407

Faiz, Fahrudin. “Mengawal Perjalanan Sebuah Paradigma” dalam Fahrudin Faiz (ed.), Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi- Interkoneksi. Yogyakarta: SUKA Press, 2007.

Hakim, Atang Abd dan Mubarok, Jaih. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

Jâbirî (al), Muh}ammad „Âbid. Bunyah al- ‘Aql al-Arâbî: Dirâsât Tah}lîlîyah Naqdîyah li Nuz}um al- Ma‘rifah fi al-Thaqâfah al-‘Arabîyah. Beirut: Markaz Dirâsat al-Wah}dah al- „Arâbîyah, 1990.

-----. Takwîn al- ‘Aql al-‘Arâbî. Beirut: al-Markaz al-Thaqâfî al-„Arâbî, 1990. Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007. Lawrence, Bruce B. “Woman as Subject/Woman as Symbol,” Jurnal of Religious Ethics, 22, Spring, 1994. Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 2000. Manz}ûr, Abû al-Fâd}îl Jamâl al-Dîn Muh}ammad b. Lisân al- ‘Arâb.

Beirut: Dâr al-S{adr, t.th. Minhaji, Akh. “Masa Depan Studi Hukum Islam: Problem Metodologi”, Makalah disajikan dalam Kuliah Perdana Jurusan

Syari‟ah STAIN Malang, 4 September 2000. Muslih, Mohammad. Religious Studies Problem Hubungan Islam dan Barat: Kajian Atas Pemikiran Karel A. Steenbrink. Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003.

Mz, Shofiyullah. “Ushul Fiqih Integratif-Humanis: Sebuah Rekonstruksi Metodologis”, dalam Fahrudin Faiz (ed.), Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Yogyakarta: SUKA Press, 2007.

Nasr, Seyyed Hossein. Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono dan Djamaluddin MZ. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 33-34.

Nata, Abuddin Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity. Chicago: The University of Chicago Press, 1982. -----. Islam, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka, 2000.

408 Siswanto —Perspektif Amin Abdullah

Shihab, M. Quraish. Mukjizat al- Qur’ân Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib. Bandung: Mizan, 1997. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press, 1991. Subhan, Arif. “Dr. Kuntowijiyo: al-Qur‟ân Sebagai Paradigma”, Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. V, 1994. Suryadilaga, M. Alfatih. “Implementasi Pendekatan Integrasi- Interkoneksi dalam Kajian Living Hadis ”, dalam Fahrudin Faiz (ed.) Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi: Sebuah Antologi. Yogyakarta: SUKA Press, 2007.

Syirbashi, Ahmad. Sejarah Tafsîr al- Qur’ân. t.tp.: Pustaka Firdaus, 1994.

Teosofi —Volume 3 Nomor 2 Desember 2013 409