Pengaruh pemberian terak baja pada podzolik merah kuning terhadap ciri kimia tanah, kadar dan serapan hara, serta produksi tanaman tebu (Scacharum officinarum L.)
PENDAHULUAK
Pemanfaatan dan pengembangan lahan-lahan kering bermasalah bagi berbagai usaha pertanian tidak dapat dihindari
bahkan akan makin meningkat.
Kecenderungan demikian adalah
sebagai akibat meningkatnya baik kebutuhan penduduk yang makin bertambah maupun guna memenuhi kebutuhan pembangunan nasional.
Lahan kering yang memiliki potensi untuk dikembangkan
atau telah diusahakan secara intenaif, tetapi menghadapi
hambatan kernasaman dan/atau kemampuan penyediaan hara bagi
tanaman yang rendah serta ketidakimbangan hara bagi tanaman.
terdapat cukup luas di Indonesia.
Menurut Pusat Penelitian
Tanah (1981) jenis-jenia tanah utama di Indonesia yang berreaksi masam meliputi Organosol, Podzolik, Podzol, Latosol,
dan sebagian Aluvial atau kompleks.
Podzolik Merah Kuning
(PMK), merupakan jenis tanah masam utama yaitu meliputi area
lebih kurang 38.4 juta hektar.
Secara kasar, penyebaran ta-
nah tersebut terutama di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya,
Maluku, Sulawesi, serta Jawa dan Madura dengan luas berturut-turut lebih kurang 14.7,
11.0, 8.7, 2.4, 1.3,
dan 0.3
juta hektar.
Ciri-ciri utama Podzolik meliputi reaksi tanah masam
(pH umumnya kurang dari 5.51,
kadar bahan organik rendah
hingga sedang, kapasitas tukar kation (KTK) umumnya kurang
dari 24 me/100 g liat, kejenuhan basa (KB) kurang dari 3 5
persen, serta mineral dominan tipe 1:l
(Soil Research
Institute, 1978). Upaya perbaikan untuk memproduktifkan tanah semacam itu sudah lama diketahui dan telah banyak dilakukan antara lain dengan pemberian bahan organik, kapur dan
fosfat alam.
Akan tetapi baru tahun 1983 dimulai pengapuran
tanah masam secara besar-besaran
sebagai salah satu program
nasional di bidang pertanian dan terutama dikaitkan dengan
usaha swasembada kedelai
{Soepardi, 1984).
Walaupun penga-
puran dan penambahan bahan organik telah menunjukkan terjadinya perbaikan ketersediaan hara yang diikuti peningkatan
produksi tanaman secara nyata (Nurhajati Hakim,
-
1982; Slamet
Setijono, 1982; Soepardi, Slamet Setijono, dan Nurhajati
Hakim, 1982; Soepardi, 1984), usaha menemukan pilihan lain
akan tetap bermanfaat.
Sejak permulaan dikembangkan di Indonesia, industri gula hanya berada di Jawa dengan pertanaman tebu pada lahanlahan berpengairan atau sawah dengan sistem pengairan yang
baik.
Cara bercocok tanam yang berkembang pada waktu itu
dikenal sebagai sistem "reynoso" yang dilakukan secara manual.
Akibat desakan penduduk dan persaingan dengan padi
sebagai bahan pangan utama dan memiliki nilai strategik yang
lebih tinggi, tanaman tebu mulai terdesak.
kebutuhan akan gula juga makin meningkat.
Dilain pihak,
Dengan alasan
itu, sejak dekade 1960-an diambil kebijakan untuk mulai memindahkan secara bertahap industri gula ke luar Jawa.
Pada
saat ini, kebijakan mengembangkan industri gula di luar Jawa
semakin mantap dan tampaknya akan terus dikembangkan di lahan kering baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Kebijakan ini
akan membawa beberapa perubahan dalam budi daya tebu yang
sebelumnya hanya diusahakan di lahan berpengairan atau sawah.
Termasuk di dalamnya adalah perubahan cara pengolahan
tanah dan/atau penyiapan lahan, pemupukan, penanaman, jadwal tanam dan tebang, serta varietas yang ditanam.
Bersa-
maan dengan itu berbagai permasalahan baru akan muncul yang
dapat menjadi penghambat untuk mencapai produksi yang tinggi.
Dengan demikian. cara-cara perbaikan tanah, meningkatkan dan/atau mempertahankan produksi tebu di lahan-lahan
kering baik yang sudah diusahakan secara intensif maupun
bukaan baru, kiranya perlu terus dikembangkan.
Salah satu
usaha yang dapat dilakukan adalah pemupukan yang tepat dan
teratur atau menggunakan bahan masukan yang memiliki kemampuan memperbaiki kondisi ketersediaan hara dan/atau meningkatkan keefisienan pemupukan d i samping
pemilihan varietas
yang sesuai.
Terak
(basic slag) adalah salah satu bahan masukan yang
dapat digunakan baik sebagai pupuk maupun sebagai bahan un-
*
tuk perbaikan ketersediaan hara bagi tanaman atau untuk meni'ngkatkan keefisienan pemupukan.
Bahan terak merupakan ha-
sil samping (limbah) pabrik baja atau pabrik pupuk fosfor.
Beberapa keterangan singkat tentang terak dimuat dalam Tabel
Lampiran B 2.
Terak dikenaf sebagai pupuk silikat (Oota,1979).
Di
Jepang dan Hawaii dikenal sebagai pupuk kalsium ailikat
(Clements, 1965) atau pupuk silikat dapat larut (Plucknett.
1972).
Peneliti lain menganggap terak sebagai salah satu
bahan kapur berhubung mempunyai pengaruh yang sama bahkan
dalam keadaan tertentu lebih baik dari kapur (Sherman, Diaa,
dan Monteith. 19643.
Dari telaahan pustaka diketahui bahwa
keberhasilan penggunaan terak baja untuk memperbaiki ketersediaan hara, meningkatkan pertuwbuhan dan produksi tanaman
serta keefisienan penrupukan telah dapat ditunjukkan pada
berbagai jenis tanaman di berbagai tempat (Harada, 1965;
Ayres, 1966; Fox, Silva, Young, Plucknett, dan Sherman,
1967a; Sherman, 1969; Silva, 1971; D'Hoore dan Coulter,
1972; Plucknett, 1972; Moberly, 1974; Yoahida, 1975;
Takahashi dan Miyake, 1977; Soepardi, 1981; Suwandi dan
Soepardi, 1981; Allorerung, 1982; Hagihara dan Hilton,
1987).
Bahan terak ini telah digunakan secara luas pada ta-
naman padi di Jepang dan pada tebu di Hawaii (Plucknett,
1972; Silva, 1973).
Dalam tahun 1982 jumlah bahan kalsium
silikat yang digunakan dalam industri gula di Hawaii sudah
menduduki peringkat ke tiga di antara jenis pupuk lainnya
yaitu sekitar 5.303 ton.
Jumlah tersebut lebih rendah dari
pupuk nitrogen dan kalium tetapi lebih tinggi dari pupuk
fosfor (Jakeway, 1984).
Bahan terak baja terutama mengandung Ca, Si, Al, dan
Fe, serta beberapa unsur lain dalam jumlah lebih sedikit,
dengan nisbah yang tergantung pada sumbernya.
Tanggapan ta-
naman terhadap pemberian terak umumnya dikaitkan dengan kandungan silikonnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Beberapa pakar membantah kesimpulan demikian, sehing-
ga keesensiafan unsur silikon bagi pertumbuhan tanaman hingga sekarang masih tetap diperdebatkan.
pendapat bahwa pengaruh terak b
Peneliti lain ber-
~ terhadap
a
pertumbuhan dan
produksi tanaman terutama melalui pengaruhnya terhadap perbaikan keimbangan hara dalam tanah.
Penelitian pemakaian terak baja eebagai k h a n pupuk
atau kapur di Indonesia relatif masih baru dan belum seintensif bahan lain, khususnya untuk tanaman tebu.
Hasil
menggembirakan telah dilaporkan untuk tanaman padi
(Soepardi, 1981), beberapa jenis sayuran (Suwandi dan
Soepardi, 1981). dan pada tebu (Allorerung, 1982).
Di lain
pihak, di Indonesia telah dihasilkan terak dari pabrik baja
Cilegon, Jawa Barat, yang belum dimanfaatkan. Terbukanya kemungkinan pemakaian terak di bidang pertanian di samping dapat meningkatkan produksi pertanian, juga akan membantu pabrik baja mengatasi masalah penimbunan limbah industri dan
membuka lapangan kerja baru di berbagai sektor.
Kendati usaha pemupukan telah dilakukan dan pemilihan
varietas tebu yang cocok untuk lahan kering terus diusahakan, hingga saat ini produksi tebu dan hablur pada lahan
kering di luar Jawa umumnya masih rendah.
Jika tidak ada
usaha sungguh-sungguh untuk mengatasi hambatan mencapai
produksi tinggi, dikuatirkan terjadinya kemerosotan produksi
secara berkelanjutan dengan makin intensifnya pengusahaan
tebu pada lahan semacam itu.
Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran yang
telah dikemukakan, penelitian ini dilakukan.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menemukan
cara meningkatkan produksi atau setidak-tidaknya mencegah
kemerosotan secara tajam produksi tebu pada lahan kering
PMK.
Tujuan utama adalah ( 1 ) untuk mempelajari bagaimana
pengaruh terak baja terhadap berbagai ciri kimia tanah dan
ketersediaan hara dan/atau yang dapat diserap tanaman tebu;
( 2 ) untuk memperkirskan unsur utama bawaan terak baja yang
lebih berperan dalam terjadinya tanggapan tanaman tebu; dan
( 3 ) untuk mendapatkan
takaran terak baja yang cukup untuk
rnemperbaiki ketersediaan hara serta meningkatkan produksi
gula pada lahan kering Podzolik Merah Kuning.
TINJAUAN PUSTAKA
Podzolik Merah Kuninq
podzolik Merah Kuning merupakan jenis tanah masam yang
paling luas di Indonesia yang weliputi hampir 30 persen dari
luas daratan Nusantara
(Driessen dan Soepraptohardjo, 1974).
Menurut Thorp dan Smith (1974) P M K merupakan penggahungan dari d u a kumpulan tanah yang sebelumnya dikenal sebagai Podzolik Merah dan Podzolik Kuning.
Podzolik Merah Kuning didefi-
nisikan sebagai kumpulan tanah yang sudah berkembang baik,
berdrainase baik, dan bereaksi masam dengan lapisan organik
( A o ) dan horizon mineral-organik
(Ax)
tipis d i atas horizon
tercuci ( A = ) yang berwarna cerah, duduk di atas horizon
(B)
yang berwarna merah, merah kekuningan atau kuning dengan
tekstur lebih berliat.
Soepraptohardjo
Sedangkan menurut Dudal dan
(1957) P M K adalah tanah yang telah mengalami
pencucian hebat, menampilkan warna agak kelabu hingga kekuningan di permukaan di atas horizon penimbunan yang berwarna
merah atau kuning, bertekstur relatif lebih berat dengan
struktur berblok, permeabilitas dan stabilitas agregat rendah.
LI
Bahan organik, kejenuhan basa, pH
(4.2
-
4.8) adalah
rendah.
Proses pembentukannya dipengaruhi oleh perubahan status
kelembaban profil yang menyebabkan perubahan warna matriks
tanah.
Proses-proses pencucian, penimbunan, dan
pembentukan
baru memegang peranan penting dalam pembentukan tanah-tanah
sangat terfapuk dengan kandungan kuarsa relatif tinggi
(Driessen dan Soepraptohardjo, 1974).
Podzolik Merah Kuning
terbentuk dari bahan induk endapan kaya silikat di daerah
beriklim tropik baaa dengan curah hujan bulanan antara 2 500
hingga 3 500 am.
Umumnya tergelar di wilayah berombak hingga
berbukit dengan ketinggian berkisar dari lebih kurang 50
hingga 350 m di atas permukaan laut (Dudal dan Soepraptohardjo. 1957; Driessesn dan Soepraptohardjo, 1974).
Mc Caleb (1959) menguraikan tahapan prosea pembentukan
PMK yang pada pokoknya meliputi perombakan mineral-mineral
yang mudah hancur menjadi liat sekunder, oksida-oksida, dan
ion-ion.
Selanjutnya basa-basa akan tercuci, dan oksida-
oksida yana tidak larut terpisah sebagai bahan amorf.
Kemu-
dian, morfologi tanah berubah secara bertahap sebagai tanggapan terhadap perubahan lingkungan fisik, kimia, dan biologi
pada waktu itu.
Dalam ha1 ini akan terjadi orientasi mine-
ral-mineral liat, pengisian pori-pori makro dan menebalnya
lapisan penimbunan.
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mencoba memilahkan PMK ke dalam sistem klasifikasi taksonomi tanah.
Se-
bagian dar-i PMK yang duduk di atas bahan induk tuff vulkanik
masam di Lampung oleh Buurman dan Dai (1976) diklaskan dalam
Inceptisol dan Ultisol.
Demikian pula tanah berbahan induk
sama di daerah Banten sebagian besar digolongkan Ultisol dan
sebagian
lagi dalam Inceptisol.
Sedangkan PMK dan Latosol
Sumatera Barat oleh Buurman dan Sukardi (1980) dimasukkan dalam Inceptisol, Ultisol, dan Oxisol.
Menurut Buurman (1980)
persoalan utama dalam mengklasifikasikan tanah tropik menurut
sistem taksonomi tanah terletak pada konsep dari horizon argilik yang merupakan salah satu penciri podzolik.
Menurut
pengertian yang digunakan-dalam sistem klasifikasi Dudal dan
Soepraptohardjo (1957) serta Thorp dan Smith (1949), horizon
argilik ialah horizon yang berkadar liat lebih tinpgi dari
horizon di atasnya.
Dalam sistem klaaifikasi taksonomi tanah
dan FAO, perbedaan tekstur tetap digunakan untuk memilahkan
tanah-tanah dengan horizon argilik, tetapi perbedaan tersebut
harus mencirikan penimbunan lia't yang terangkut dari lapisan
di atasnya.
Jadi, perbedaan tekstur karena stratifikasi liat
bahan induk dan/atau erosi tidak dinasukkan lagi.
Kelebih-
annya ialah bahwa penggambaran horizon argilik merupakan proses genetik murni, aedangkan kelemahannya ialah kesulitan dalam menentukan kehadiran horizon argilik pada tanah dengan
bahan induk berstratifikasi.
Selain itu,
selaput liat yang
dipersyaratkan menyertai horizon argilik aering sulit dijumpai di lapang dan kadang-kadang baru ditemukan di bawah horizon B.
Menurut Allbrook (1973, dalam Buurman, 1980) khusus
di daerah tropik basah, dimana hampir tidak ada periode kering yang menghambat aktifitas biologik, keberadaan horizon
argilik sangat meragukan.
Oleh karena itu disarankan oleh
Buurman (1980) agar kriteria untuk pembeda antara tanah dengan atau tanpa horizon penimbunan liat dalam sistem klasifikasi di Indonesia meliputi permeabilitas, struktur, dan
drainase.
Selanjutnya dikemukakan bahwa tanah-tanah yang
permeabel dengan struktur dan selaput liat lemah tidak
10
dimasukkan dalam
PMK,
kecuali jika terdapat perbedaan teks-
tur yang tegas sehingga menghambat pertumbuhan akar.
Secara umum, P M K termasuk tanah yang miskin hara dan sifat fisik yang sedang.
Dipandang dari sudut pertanian, po-
tensi dari PMK tergolong sedang disebabkan pH, kapasitas tuI
kar kation (KTK), dan kejenuhan baaanya rendah
Soepraptohardjo. 1974).
(Driessen dan
Selanjutnya dikemukakan bahwa sifat
fisik dari P M K adalah beragam, stabilitas struktur umumnya
rendah, khusunya di horizon B yang biasanya padat.
Kandungan
bahan organik di permukaan tinggi, khususnya pada lahan hutan
yang baru dibuka, tetapi kemudian humusnya cepat menurun.
Bersarnaan dengan itu, kepekaan tanah terhadap eroai meningkat
serta kesuburan alaminya akan menurun dan dengan demikian
produksi tanaman menurun secara tasam.
Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa untuk
mencapai
PMK,
produksi yang cukup tinggi dan relatif lestari pada
diperlukan selain tindakan konservasi, juga tindakan
reklamasi dan pemupukan yang tepat
(Driessen dan Soeprapto-
hardjo, 1974; Slamet Setijono, 1982; Nurhajati Hakim, 1982;
Soepardi, 1984).
Masalah Silikon dan Pemakaian
Terak dalam Pertanian
Perhatian terhadap silikon dalam pertumbuhan tanaman dimulai pada awal tahun 1868 (Taylor, 1961).
orang yang per-
tama menduga adanya peranan tertentu dari silikon bagi
pertumbuhan tanaman adalah Liebig
(Yoshida, 1975).
Sachs pada tahun 1882 (Lewin dan Reimann,
Remudian
1969) membantah
pendapat tersebut berdasarkan hasil percobaannya pada tanaman
gung dalam larutan hara tanpa silikon yang ternyata dapat
tumbuh normal.
Akan tetapi Clements (1965), Lewin dan
Reimann (1969), dan Yoshida
(1975) menjelaskan bahwa kelemah-
an dari percobaan Sachs adalah karena bejana gelas yang digunakan qesungguhnya tidak bebas dari silikon.
Setelah terbitan Sachs, dan berbagai penelitian yang dilakukan di berbagai tempat pada banyak jenis tanaman dengan
hasil berbeda-beda, lahir kelompok yang mendukung dan menentang keesensialan silikon bagi tanaman (Hartwell d a n Pember,
1920; M c George,
1924; Taylor,
1961; Farrar, 1969; Lewin dan
Reimann, 1969; Silva, 1971; Yoshida,
1975).
Hartwell dan
Pember (1920) yang membandingkan batu kapur dengan terak sampai pada kesimpulan bahwa terak sama efektifnya dengan batu
kapur dalam meningkatkan produksi tanaman, tetapi tidak ada
petunjuk adanya tambahan nilai dari terak karena kandungan
silikonnya.
Juga disimpulkan bahwa tidak ada petunjuk kalau
silikon itu esensial bagi tanaman.
Sommer (1926, dalam
Yoshida, 1975) merupakan orang pertama yang menunjukkan bahwa
silikon esensial bagi padi.
Selanjutnya Wagner (1940, dalam
Soepardi, 1979a) menyatakan bahwa silikon esensial bagi monokotil dan dikotil.
Kemudian Comhaire (1966) kembali menegas-
kan bahwa silikon esensial bagi semua tanaman.
Ayres
(1966) menyimpulkan bahwa Si, langsung atau tidak
langsung, bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan tebu.
.
Kendati Si tidak begitu dibutuhkan untuk pertumbuhan vegetatif kebanyakan tanaman, namun ada petunjuk bahwa ia dibutuhkan untuk pertumbuhan yang sehat b a g < banyak tanaman, dan
mungkin betul-betul esenaial bagi tanaman dengan kandunpan Si
tinggi seperti padi ban rumput-rumputan lain (Lewin d a n
Reimann,
1969).
Clementa
(1966) mengsmukakan bahwa di daerah
yang berkadar Si rendah, kelihatannya Si tidak dapat dipantikan, dengan demikian esensial bagi tanaman.
kemukakan, karena unsur-unsur
Selanjutnya di-
lain juga dapat memperbaiki ke-
imbangan hara sebagaiaana halnya dengan Si, maka kesimpulan
yang tegas tentang k e e w n s i a l a n Si tersebut tidak dapat dikemukakan.
Namun demikian, kenyataan tidak dapat dipungkiri
pada saat itu bahwa pemberian Si dapat meningkatkan produksi
beberapa tanaman di berbagai tampat, khususnya padi dan tebu
( D 7 H o o r e dan Coulter, 1972).
Dari telaahan pustaka yang ada
ternyata keesensialan dari unsur silikat bagi pertumbuhan tanaman masih tetap diperdebatkan para pakar
(Soepardi, 1979a).
Sejalan dengan penelitian tentang manfaat dari silikon,
berbagai bahan sebagai sumber silikon juga telah diteliti antara lain terak baja.
Terak adalah hasil samping pabrik baja
(Hartwell dan
Pember, 1920; Schollenberger, 1921; Barnette, 1924; Sherman
et al.,
1964; Farrar, 1969; Plucknett, 1972; Oota, 1979) atau
pabrik superfofat (Shermann et al.,
Plucknett, 1972).
Tanggal 3 Maret
1964; Clements,
1965;
1879 merupakan hari jadi
bagi terak ketika proses defosforisasi dalam pabrik baja mulai diterapkan (Farrar, 1969).
Susunan kimia dari terak
berbeda-beda
daik dalam jenis unsur maupun kadarnya, tergan-
tung pada bahan baku dan cara pembuatan baja atau pupuk fosfor.
Terak umumnya mengandung terutama Ca dan Si (Clements,
1965; Plucknett, 1972; Oota, 1979; Soepardi, 1981). Ca dan Fe
(Farrar, 1969).
Unsur-unsur lain yang terdapat dalam jumlah
yang lebih sedikit adalah Mg, Al, Fe, Mn, S, Ti (Oota, 1979),
dan P (Clemants, 1965), serta B, Z n , dan Mo
1972).
(Plucknett,
Sedangkan analisia yang dilakukan oleh Carson (1965,
dalam Farrar, 1969) terhadap lina sumber terak di Inggris
mengungkapkan terdapatnya unsur P, Mp, Mn, Si, Al, U, S, Cu,
Mo, Zn, dan Co (Lampiran B2).
Pemakaian terak sebagai bahan pupuk telah mulai dicoba
sejak tahun 1882/1883 di Jerman, kemudian di Ingsria pada
tahun 1884/1885 oleh Wrightson dan Munro
(Farrar, 1969). se-
lanjutnya di Amerika Serikat oleh Joseph dan L,ippinc&tt yang
diteruskan oleh Annes pada tahun 1916 (Barnette, 1924).
Se-
audah itu, beberapa penelitian terak telah dilakukan baik sebagai sumber Si maupun sebagai bahan kapur atau untuk tujuan
meningkatkan keefisienan pemupukan.
Penelitian terak pada
tanaman tebu di Hawaii dimulai pada tahun 1962 (Plucknett,
1972).
Perilaku Silikon Dalam Tanah
Silikon adalah komponen utama tanah mineral
dan Miyake,
1977; Krauskopf, 1967).
(Takahashi
Kadar Si dalam larutan
tanah atau yang dapat tersedia bagi tanaman sangat beragam
14
(Beckwith dan Fkeeve. 1963; Mc Keague dan Cline,
dan Handreck, 1963; Krauskopf,
1 9 ~ 3 ~ bjones
;
1967; Fox, Silva, Teranishi,
Matsuda, dan Ching, 1967b; Elgawhary dan Lindsay,
1972;
Weaver dan Bloom, 1977).
Kenyataan dari berbagai pengamatan menunjukkan bahwa bukan saja tanaman yang berbeda species, tetapi juga dari suatu
species akan berbeda kadar silikonnya bila ditanam pada tanah
yang berbeda
dan Coulter
(Jones dan Handreck,
1965).
Karena itu D'Hoore
(1972) menganjurkan agar Si larut dalam tanah di-
jadikan sebagai salah satu kriteria untuk menilai tanah-tanah
pertanian tropik.
Silikon yang tersedia dalam larutan tanah berada dalam
bentuk asam monosilisik, Si(OH)4
Jones dan Handreck,
Alexander et al.,
dan Krauskopf
tMc Keague dan Cline, 1963a;
1965; Elpawhary dan Lindsay,
1972).
(1954, dalam Elgawhary dan Lindsay,
1972)
(1967) mengemukakan bahwa pada pH larutan ku-
rang dari 9 hampir seluruhnya dijumpai dalam bentuk Si(0H)r.
Dikemukakan bahwa kelarutan Si tidak tergantung pada pH dalam
kisaran pH 2 dan 9, tetapi meningkat sangat tajam pada pH lebih dari 9 karena bentuk silikat ion.
Elgawhary dan Lindsay
(1972) telah mengembangkan diagram kelarutan Si yang memperlihatkan keaktifan berbagai bentuk ion dan molekul yang berada dalam keimbanpan dengan silikat amorf sebagai fungsi dari
pH.
Pada pH kurang dari 8 mereka mendapatkan Si dalam larut-
an hampir seluruhnya dalam bentuk Si(OH)r, sedangkan pada pH
lebih dari 8 bentuk ion telah muncul secara nyata.
~ i k e m u k a k A noleh Jones dan Handreck (1965) sifikon dalam
larutan tanah0sangat penting, karena larutan tanah merupakan
penyedia Si yang dapat segera diserap tanaman.
Walaupun su-
dah sejak 100 tahun yang lalu digunakan air untuk mendapatkan
larutan tanah, belupl ada saran yang khusus untuk pengukuran
Si dalam larutan tanah.
Selanjutnya
Elgawhary dan Lindsay
(1972) mengemukakan bahwa Si adalah pereaksi potensial dalam
tanah dengan berbagai unsur lain d a n mungkin untuk sebagian
mampu mengikat unsur hara, akan tetapi perilaku kelarutannya
belum sepenuhnya diketahui.
Kelarutan Si dalam air berbeda dengan kelarutannya dalam
larutan tanah (Beckwith dan Reeve, 1963; Jones dan Handreck,
1963; 1965; Mc Keague dan Cline.
Elgawhary dan Lindsay, 1972).
Fox et al.,
1963ab; Fox et al..
1967b;
Beckwith dan Reeve (1963) Dan
(1967b) mengemukakan bahwa kepekatan S i larut
sangat beragam di antara tanah-tanah dengan mineralogi yang
berbeda.
Elgawhary dan Lindsay (1972) dalam penelitiannya
dengan ekstrak CaCla 0.02 M menyimpulkan bahwa kelarutan Si
dalam tanah berada antara kisaran kelarutan kuansa sebesar
2.8 ppm Si dan silikat amorf sebesar 51 ppm Si.
Dengan per-
kataan lain, fase silikat padat dalam matriks tanah kurang
larut dibandingkan dengan silikat amorf, tetapi lebih larut
dibandingkan dengan kuarsa.
Selanjutnya M c Keague dan Cline
(1963a) mendapatkan kepekatan Si dari beberapa tanah dengan
ekstrak air antara 1 dan 20 ppm Si.
Handreck
Akan tetapi Jones dan
(1965) mengemukakan bahwa data dari ekstrak air
tidak sesuai dengan keadaan dalam larutan tanah dan tidak
dapat dikorelasikan langsung dengan serapan silikat oleh tanaman.
Lagi pula sulit untuk membandingkan dengan data lain
karena hasilnya tergantung pada nisbah tanah dengan air dan
lama pengocokan.
Oleh kerena itu, mereka menggunakan
"Pressure Cell" untuk mendapatkan larutan tanah dari contoh
tanah berkadar air kapasitas lapang.
Denpan cara ini rereka
mendapatkan kadar SiO, antara 7 dan 80 ppm.
Keimbangan an-
tara mineral-mineral dalam matriks tanah dengan Si(OH)4 dalam
larutan menentukan keaktifan dan jumlah Si dalam larutan tanah (Krauskopf, 1967; Weaver, Jackson, dan Syers, 1971;
Elgawhary dan Lindsay, 1972; Oallee, Herbillon, dan Juo,
1971; Weaver dan Bloom, 1977).
Berbagai faktor diduga menentukan kelarutan Si dalam tanah.
Beberapa peneliti mendapatkan
penurunan kadar Si dalam
ekstrak tanah aengan meningkatnya pH. Reifenberg dan Buckwold
(1954) dengan menggunakan beberapa garam natrium dan anion
ortofosfat untuk m e n m j i keefektifan pembebasan eilikat dari
tanah kaolinitik menyimpulkan bahwa ortofosfat paling efektif
dan pembebasan tersebut menurun dengan meningkatnya pH.
Hingston, Atkinson, Posner, dan Qyirk (1967) mendapatkan jerapan maksimum Si(0H)r pada pH 9.2.
Penelitian yang dilaku-
kan oleh E4c K e a g w d s n Cline (1963b) pa&
beberapa jenis ta-
nah menunjukkan bahwa jerapan Si terlarut oleh tanah sanpat
tergantung pada pH.
Jerapan Si meningkat dan Si dalam larut-
an tanah menurun dengan meninpkatnya pH antara 4 dan 9.
Pada
contoh latosol "ferruginous" jerapan Si kembali menurun aetelah pH sama atau lebih dari 10.
Alasan terjadinya pola
demikian masih kabur.
Selanjutnya Jones dan Handreck
(1965)
mengemukakan bahwa kepekatan silikon dalam larutan tanah tidak sama di antara tanah-tanah yang berbeda tetapi bernilai
pH sama.
Dikemukakan kepekatan Si dalam larutan tanah menu-
run dengan meningkatnya pH atau meningkatnya jumlah eesquioksida.
Diduga kadar Si dalam larutan tanah dikendalikan
oleh reaksi jerapan yang tergantung pH (Beckwith dan Reeve,
1963; Jones dan Hendreck.
Fox et al.,
1963; Mc Keague dan Cline, 1963b;
1967b; Mc Phail, Page, dan Bingham, 1972; Gallez
et al., 1977; Weaver dan Bloom, 1977).
Dikemukakan bahwa
silikon dijerap pada berbagai permukaan zarah tanah, akan
tetapi peranan sesquioksida lebih dominan.
Namun demikian
mereka sependapat bahwa mekanisme sesungguhnya masi,h kabur.
Fox et al.,
(1967b) mengemukakan bahwa oksida besi dan
aluminium terhidraai merupakan mineral-mineral sekunder penting dalam tanah.
Mereka mendapatkan urutan jumlah silikon
yang terekstraksi dengan beberapa macam ekstraktan pada tanah
yang terbentuk dari bahan induk basal dan aluvial menurut deret Latosol feruginus humik
rendah
< Liat
magnesium
< Latosol humik < Latosol humik
gelap.
Urutan tersebut
urutan penurunan tingkat pelapukan masing-masing
mengikuti
tanah.
Da-
lam kaitannya dengan pertumbuhan tanaman, dikemukakan bahwa
tanah-tanah yang kaya oksida besi dan aluminium dan kadanekadang mengandung ilit atau kaolinit termasuk kategori tanah
yang menyebabkan tanaman kahat silikat.
Kalau kaolinit yang
dominan termasuk kategori sedang, maka kadang-kadang
tanah
itu kahat silikat, tetapi apabila montmorilonit dominan maka
.
tanaman selalu berkadar silikat tinggi.
Menurut Beckwith dan
( 1 9 6 3 ) serta Mc Keague d a n Cline (1963b) pepmukaan ok-
Reeve
sida A 1 dan Fe lebih reaktif dibandingkan dengan permukaan
mineral liat.
Pada tingkat penghabluran yang sama, A1 oksida
lebih reaktif dibandingkan dengan F e oksida (Jones dan
Handreck, 1965).
Selanjutnya Gallez et al..
( 1 9 6 7 ) dengan
mengukur indeks kereaktifan silikat (IRS), yaitu persentase
silikat yang hilang dalam larutan yang dicampur dengan tanah
selama waktu tertentu, mendapatkan urutan ISR; kaolinit < <
goetit
< < gibsit.
Dengan demikian, tanah yang kaya gibsit
akan lebih banyak mengerap Si.
Mc Phail et a].,
( 1 9 7 2 ) mengemukakan bahwa dafam sistem
tanah secara alami yang mengandung oksida-oksida A1 d a n Fe
serta S i dalam larutan tanah, oksida tkrsebut kemungkinan besar mengandung sejumlah S i terjerap dan jumlahnya mungkin dipengaruhi oleh tingkat penghablurannya.
Dikemukakan bahwa
jumlah S i yang dapat diserap adalsh terbatas.
Penaaruh Terak Terhadap Ciri Tanah
Sejak terak menarik perhatian sebagai salah satu bahan
pupuk danfatau perbaikan tanah, penelitian intensif telah dilakukan dan alasan-alasan terjadinya tanggapan tanaman juga
telah banyak diajukan.
Salah satu alasan yang dikemukakan
adalah pengaruh positif dari terak terhadap beberapa ciri tanah
.
Beberapa peneliti menduga pengaruh terak terhadap ciri
tanah berasal dari silikat yang dikandung terak d a n dengan
demikian terak dipandang sebagai sumber Si (Mc George, 1924;
Suehisa, Younge, dan Sherman, 1963; Fox et al.,
1967a; 1969;
Silva, 1971; 1973; Plucknett, 1972; Khalid, Silva, dan Fox,
1978; Oota, 1979).
Peneliti lain menganggap terak sebagai
bahan masukan yang dapat memperbaiki keadaan ketersediaan hara atau sebagai bahan yang mempunyai pengaruh mirip dengan
kapur disebabkan kandungan Ca dari terak yang cukup tinggi
(Schollenberger, 1921; Barnette, 1924; Taylor, 1961; Sherman
e t al.,
1964; Silva, 1971; 1973).
Silva (1971; 1973) yang mengulas beberapa pustaka dan
data yang tidak diterbitkan mengemukakan bahwa secara umum
tanggapan terhadap terak telah dilaporkan untuk tanah-tanah
tropik yang telah terlapuk fanjut dan tercuci hebat dengan
pH. Si tersedia, KB, dan nisbah SiO~/sesquioksidarendah.
Akhir-akhir-ini ada petunjuk bahwa tanggapan itu disebabkan
ofeh pengaruh Si dan Ca dari terak dalam tanah maupun tanaman.
Pengaruhnya di dalam tanah meliputi peningkatan keter-
sediaan P, penyediaan Ca. pH, KTK, dan penurunan kadar unsurunsur yang meracuni tanaman.
Roy, Ali., Fox. dan Silva (1971)
melaporkan bahwa pemberian silikat pada beberapa Latosol
Hawaii menurunkan kebutuhan P sebanyak 9 hingga 43 persen untuk mencapai P larutan tanah sebesar 0.2 ppm.
Penurunan ter-
besar terjadi pada sistem kaolinit dan terkecil pada sistem
oksida terhidrasi,
Fosfor terekstraksi ternyata meningkat
dengan meningkatnya takaran silikat yang diberikan pada awal.
Dari percobaan terak pada tanah Gibsihumox di Hawaii terlihat
bahwa pemberian 9 ton/ha terak bersama 110 kg/ha P pada saat
tanam menurunkan kebutuhan P sebesar 500 kg/ha.
Artinya, ji-
ka pemupukan P tidak disertai pemberian terak diperlukan pupuk P yang lebih banyak pada tanah tersebut untuk mencapai
sil yang sama.
Lebih jauh dikemukakan bahwa pemberian te-rak
pada tanah-tanah yang kahat P walaupun tidak kahat silikat,
ternyata meningkatkan produksi bahan kering tebu.
Peningkat-
a n hasil itu berkaitan dengan perbaikan nutrisi fosfor.
Silva ( 1 9 7 1 ) dalam ulasannya mengemukakan bahwa mekanisme tanah dalam peningkatan pertumbuhan yang melibatkan Si
adalah peningkatan kelarutan dari P tererap,
menurunkan
pengikatan P, meningkatkan KTK, dan menurunkan kepekatan Al,
Fe, M n , dan meningkatkan penyediaan Ca. Dikemukakan bahwa secara keseluruhan pengaruh pemberian Si atas erapan P mungkin
dapat diterangkan dengan { I ) interaksi senyawa-senyawa Si dengan tapak erapan dan atau ( 2 ) inaktifasi A1 dan F e melalui
pembentukan senyawa-senyawa tidak larut dengan Si.
Hasil pe-
nelitian Agus Pramono ( 1 9 8 1 ) pada Podzolik Baturaja di
Sumatera menunjukkan bahwa pemberian terak baja secara nyata
meningkatkan KTK dan mengurangi ketersediaan Cu, serta cenderung meningkatkan ketersediaan Ca, K, dan Si.
Dari telaahan
pustaka diketahui bahwa pemberian Si (terak) meningkatkan ketersediaan P tanah ( M c George, 1924; Okuda dan Takahashi,
1964; Fox et al.,
1967b; Plucknett, 1972), menurunkan kapasi-
tas pengikatan P (Reinfenberg dan Buckwold, 1954; Suehisa et
a l . , 1963; Fox et al.,
1967b), dan memperbaiki
sehingga P mudah diserap tanaman (Silva, 1971).
lingkungan
Interaksi P dan Si
sulit dijelaskan disebabkan rumitnya
reaksi jerapan yang terjadi pada permukaan jerapan.
Beberapa
kar mengemukakan bahwa kedua anion tersebut mempunyai kesamaan kimiawi (Silva, 1971) dan sangat mungkin keduanya dijerap pada tapak yang sama (Deb dan De Datta, 1967ab; Obihara
dan Russel, 1972).
Selanjutnya Rajan dan Fox (1975) menge-
mukakan bahwa jerapan P melalui reaksi pertukaran dengan Si
terjerap pada keadaan kepekatan P rendah dan dengan Si dalam
struktur liat pada kepekatan P tinggi.
(1959) yang meneliti
Raupach dan Piper
interaksi Si dan P pada tanah Lateritik
di Australia mendapatkan pengaruh Si terhadap ketersediaan P
sangat rendah d a n tidak konsisten.
langsung selama satu kali tanam.
Pengaruhnya hanya berMereka menyimpulkan bahwa
Si tidak mempengaruhi reaksi pengikatan P tetapi agaknya mempengaruhi konstanta keimbangannya.
Dalam kaitannya dengan
kemasaman, Deb dan De Datta (1967ab) mengemukakan bahwa pengaruh Si terhadap ketersediaan P lekiih besar pada tanah yang
bereaksi masam.
Sedangkan Obihara dan Russel (1972) dari pe-
nelitian mereka terhadap persaingan jerapan antara Si dan P
pada Alfisol Nigeria dan Ultisol dari Malaya menunjukkan bahwa Si tidak dapat menekan P terjerap selama pH lebih dari
6.5.
Akan tetapi jerapan P menekan jerapan Si pada semua
tingkat pH.
Hasil penelitian pada berbagai, tanah masam di
Indonesia (Djokosudardjo, 1982) menunjukkan bahwa pemberian
CaSiOs dapat menurunkan jerapan P dalam tanah.
Ia juga me-
nunjukkan bahwa CaSiOs lebih efektif menurunkan jerapan P
dibandingkan dengan kapur (CaCOz).
Selanjutnya dikemukakan
bahwa tanah alami mempunyai tapak jerapan sebanyak d u a hingga
tiga tapak dengan nilai konstanta energi yang berbeda-beaa.
Nilai konstanta energi tapak pertama adalah lebih tinggi dari
pada yang kedua han ketiga.
~ e n g a r u h . ~ a ~terhadap
i~s
jerapan
P diduga melalui reaksi' pertukaran antara HaPo. dengan HzSiOa
pada tapak-tapak jerapan tersebut.
Dari analisis "crop log" (Clements, 1965) secara umum
dapat disimpulkan bahwa pengaruh rangsangan dari pemberian Si
( t e r a k ) terhadap pertumbuhan tebu erat kaitannya dengan pengayaan P.
Hasil penelitian Monteith d a n Sherman ( 1 9 6 3 ) yang
membandingkan pengaruh kapur d a n terak menunjukkan bahwa ked u a perlakuan meningkatkan kadar Ca tanaman, tetapi hanya terak yang meningkatkan produksi.
Dalam ha1 ini mereka mendu-
ga, Penyediaan C a yang cukup bukanlah faktor penyebab peningkatan faktor produksi.
Hasil yang eama dikemukakan oleh
Ayres (1966).
Pengaruh terak terhadap unsur mikro telah dilaporkan oleh Clements et a1.,(1967, dalam Silva, 1971).
Fakta-fakta
waktu itu menunjukkan bahwa fungsi terak same baiknya dengan
kapur dalam menunjang pertumbuhan tebu melalui penekanan uns u r beracun dalam tanah lewat pengendapan.
Mereka mendapat-
k a n peningkatan produksi rumput sudan fSorghum sudanense
P. S t a p f ) dalam pot yang mengandung takaran meracuni dari Mo,
B , C u , Fe. Mn. Zn, dan A1 baik dengan penambahan kapur maupuu
terak.
Dari penelitian terpisah diketahui bahwa pemakaian
terak di samping menekan keracunan A1
(Monteith dan Sherman.
1 9 6 3 ; Suehisa et al., 1963) juga menurunkan keracunan F e
(Okuda dan Takahashi, 1964; Fox et al.,
1967b; Lewin dan
Reimann, 1969; Horst dan Marschner, 1978).
Tanggapan Tanarnan Terhadaw
Pemberian Terak Baja
Sejumlah penelitian tentang pemakaian terak telah dilakukan pada beberapa jenis tanaman d i berbagai tempat dengan
hasil yang memuaskan.
bahwa terak
Hasil penelitian pada tebu menunjukkan
tidak hanya memperbaiki pertumbuhan dan mening-
katkan produksi tanaman pertama, tetapi juga pada keprasan
pertama dan kedua, bahkan sampai beberapa tahun kerudian
(Sherman et al..
1964; Clernents. 1965; Fox et e l , , 1967a;
Silva, 1971; Plucknett, 1972; Khalid et al.,
1978; Elawad,
Gascho, dan Street, 1982a; Elawad, Street d a n Gascho, 1982b).
Hasil serupa pada tebu diperoleh pula pada r u e p t S o r g h u m
sudanense P. Stapf {Monteith dan Sherman, 1963; Sherman,
1969). padi {okuda d a n Takahashi, 1964; Yoshida,
1979; Soepardi, 1981). kacang merah
dan Marschner,
1978) barley
1975; Oota,
(Barnette, 1924; Rorst,
( H o r d e u r n v u i g a r e L.)(Schollen-
berger, 1920; Barnette, 1924; Bollard dan Butler, 1966).
Plucknett ( 1 9 7 2 ) dafam mengulas berbagai pustaka yang
menyangkut pemakaian terak, mengemukakan sejualah tanaman
lain yang telah diteliti antara lain pisang, pepaya, nenas,
jagung sayur-sayuran d a n rumput-rumputan.
Selanjutnya Silva
( 1 9 7 3 ) melaporkan kisaran kenaikan produksi yang dicapai pada
berbagai species tsnaman d i beberapa negara.
Di Hawaii
diperoleh kenaikan produksi tebu dan gula sebesar 10 hingga
5 0 persen. di Mauritius dan Puerto Rico sekitar 5 hingga 3 5
persen.
Beberapa tanaman rumput-rumputan lain seperti sor-
ghum, gandum, d a n jagung memberikan tanggapan antara 5 dan 9 0
persen dalam pot dan sejumlah rumput makanan ternak dapat
mencapai kenaikan antara 5 hingga 200 persen.
Di samping itu
tanaman bukan rumput-rumputan seperti alfalfa (Medicago
Sativa L . ) ,
kacang merah, tomat, pepaya, d a n lain-lain dalam
percobaan pot diperoleh kenaikan produksi bahan kering antara
20 hingga 100 persen.
Di Indonesia, tanggapan terhadap pemberian terak telah
dilaporkan pada tanaman padi dan beberapa jenis sayuran.
Be-
berapa penelitian pada tanaman padi dengan kondisi yang berbeda menunjukkan hasil yang masih beragam.
pada tanah Organik
(Sri Djuniwati,
Pemberian terak
1979) cenderung mening-
katkan bobot padi serta ~ e n u r u n k a nkadar N jerami d a n akar.
Sebaliknya pemberian nitrogen saja cenderung eenurunkan kadar
SiOz jerami d a n akar.
Hasil penelitian Mubekti
( 1 9 8 0 ) pada
tanah mineral menunjukkan bahwa pemberian terak dapat mencegah penurunan kadar SiOa dalam tanaman padi akibat pemupukan
NPK berat.
Selanjutnya Yudho Sugiyarto (1980) menyimpulkan
bahwa pemberian terak pad-
Latoeox Dartaaga tidak berpengaruh
pada komponen pertumbuhan dan produksi padi gogo varietas
Gati.
Hasil yang serupa diperoleh Agus Sudarsono ( 1 9 8 1 ) pada
Podzolik Merah Kuning Baturaja, Sumatra Selatan.
Nangkulo
Akan tetapi
( 1 9 8 0 ) dari penelitiannya pada Podzolik Merah Kuning
Baturaja itu menyimpulkan bahwa pembefian terak tireningkatkan
tinggi tanaman, persentase anakan produktif, tetapi tidak
berpengaruh pada bobot kering jerami, akar, dan gabah padi.
Soepardi (1981) melaporkan bahwa pemberian terak sebanyak
1 ton/ha telah dapat meningkatkan pertumbuhan dan seraphn
hara tanaman padi varietas IR-30.
Selanjutnya
dikemukakan
bahwa dalam penelitian tersebut, pengaruh terak baja menjadi
sangat nyata apabila tanaman padi dipupuk NPK berat.
Kemu-
dian Naim (1982) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
peningkatan takaran hingga 366 kg/ha SiOz meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi.
Tanggapan tanaman sayuran ter-
hadap pemberian terak telah dilaporkan oleh Suwandi dan
Soepardi (1981).
Mereka mengemukakan bahwa pemberian terak
pada tomat, kentang dan kubis yang ditanam di Andosol Lembang
berpengaruh terhadap hasil dan mutu buah, umbi, atau krop masing-masing tanaman.
terak sudah mencukupi.
Dikemukakan bahwa takaran 3.5 ton/ha
Selanjutnya dikemukakan bahwa walau-
pun bobot total tomat tidak dipengaruhi oleh terak, tetapi
'ternyatemutunya dapat diperbaiki.
Pada tanaman kentang dan
kubis ternyata terak dapat meningkatkan produksi dan autu,
sedangkan kacang jogo sama sekali tidak tanggap terhadap terak baja.
Hasil penelitian di Hawaii menunjukkan bahwa tanggapan
tanaman terhadap terak lebih baik dibandingkan terhadap kapur
( C a C O * ) pada tanah yang telah terlapuk lanjut dengan alumini-
um bebas, oksida besi dan titanium, serta unsur meracuni lain
yang tinggi.
Penggunaan kapur pengaruhnya sangat tidak me-
nentu dan tidak lama, bahkan sering nenurunkan produksi
.
(Monteith dan Sherman. 1963; Suehisa et al..
al.,
1964; Clements,
1963; Sherman et
1965; Sherman, 1969; Plucknett, 1972).
Kesimpulan yang sama diperoleh di Afrika Selatan (Du Preez,
1970).
Clements ( 1 9 6 5 ) menyimpulkan bahwa pemberian terak kelihatannya memperbaiki mutu, sedangkan pengapuran menurunkan
mutu gula.
Hasil penelitian Fox et al., (1967a) menunjukkan
bahwa pemberian kapur justru menurunkan produksi hablur.
Dengan masukan 4.5 ton/ha kapur dan 1 120 kg/ha P dicapai
produksi gula 20.7 ton/ha, tetapi lebih rendah dibandingkan
23.1
pur.
ton/ha gula pada pemberian hanya 280 kg/ha P tanpa kaSedangkan pada perlakuan 4.5
ton/ha terak dengan 280
dan 1 120 kg/ha P dicapai produksi gula masing-masing
dan 32.7 ton/ha.
31.6
Hasil penelitian mereka sebagai contoh
pengaruh pemberian terak d a n kapur terhadap produksi tanaman
tebu disajikan dalam Tabel 1.
Tanggapan tanaman terhadap peaberian terak tergantung
dari keadaan tanah sebelumnya.
Hasil percobaan Allorerung
(1982) pada Latosol Subang di dua lokasi menunjukkan bahwa
kenaikan produksi tebu dan hablur pada tanaman pertama lebih
besar pada tanah yang bereakai lebih aasam, kadar d a n kejenuhan A1 lebih tinggi, dan
2).
jtrmiah
h s a lebih rendeh (Tabel
Diduga tanggapan terhadap pemberian terak lebih dise-
babkan oleh kemampuan terak memperbaiki keadaan lingkungan
dan/atau meningkatkan ketersediaan berbagai hara dalam tanah
bagi tanaman dari pada pengaruh tunggal unsur bawaan terak.
Tabel 1.
Produksi Tebu yang Dipengaruhi Terak,
Kapur, dan Fosfor (Fox et al., 1967a)
............................................................
Produka i
Perlakuan
CaCO 3
(coral)
CaSiOs
(TVA Slag)
P
Hablur
(Pol. )
Tebu yang dapat
digiling
............................................................
......(ton/ha)... . . .
kg/ha
.......... (ton/ha).. ........
Dalam keadaan pel-cobaan ini, kadar Si dan C a baik dalam tanah
maupun tanaman, belum termasuk kategori kahat.
Dari suatu penelitian lain pada Latosol Feruginus Aluminus, Plucknett (19721 melaporkan adanya peningkatan produksi secara konsisten dengan meningkatnya takaran terak
dari 0 (nol) hingga 18 ton/ha.
Sherman et al., (1964) men-
dapatkan peningkatan produksi tebu dari tanaman pertama dan
keprasan pertama sebesar 12.6
sebanyak 15.6 ton/ha.
(Elawad et al.,
ton/ha dengan pemberian terak
Hasil penelitian dari Florida
1982a) menunjukkan bahwa pemberian bahan-
bahan yang mengandung Si yaitu terak TVA, terak Florida, dan
semen Portland meningkatkan pertumbuhan dan produksi tebu
tanaman pertama dan keprasan pertama.
Tabel 2.
Pengaruh Pemberian Terak pada Latosol
Subang (Manyingsal d a n Pasir Bungur)
terhadap Rata-rata Bobot Tebu
.............................................................
Perlakuan
Terak
Menyingsal
Bobot tebu
-
Pasirbungur
......................
.....................
Hablur
Bobot tebu
Hablur
ku/ha
ton/ha
ku/ha
.............................................................
ton/ha
ton/ha
.............................................................
*
nyata pada uji t = 0.05;
+
nyata pada uji t = 0.10
Pemberian 15 ton/ha terak meningkatkan produksi tebu
yang dapat digiling dan hablur berturut-turut sebesar 68 d a n
79 persen pada tanaman pertama serta 125 d a n 129 persen pada
tanaman keprasan pertama.
Walaupun ketiga surnber Si tersebut
tidak menunjukkan perbedaan nyata, peningkatan tebu dan hablur terbesar diperoleh.dari pemberian terak Florida.
Mereka
menduga bahwa peranan utama Si dalam pertumbuhan tebu adalah
meningkatkan wkuran batang d a n jumlah anakari tebu.
Beberapa hasil penelitian penggunaan terak dibandingkan
dengan kapur yang dilakukan di Hawaii, teLah menarik perhatian pekebun-pekebun tebu di Hawaii
(Clements, 1965).
Suatu
penelitian yang membandingkan kontrol dengan 5.6 ton/ha terak
d a n 4.5
ton/ha batu kapur memberikan hasir maging-masing
27.75. 34.25.
dan 2 7 ton/ha hablur pada tanaman pertama aerta
masing-masing
29.5,
pertama.
37.75, dan 29 ton/ha hablur pada keprasan
Ternyata produksi hablur tanaman pertama menurun
sebesar 0.75
ton/ha akibat pemberian kapur, sedangkan dengan
pemberian terak meningkat sebesar 7.25
ton/ha.
Pemberian terak dengan takaran tinggi pada tebu dan rumput Sorghum s u d a n e n s e P-Stapf., (Monteith dan Sherman, 1963)
ternyata tidak memberikan pengaruh merugikan, sedangkan dengan pengapuran berat ternyata menurunkan hasil.
Namun de-
mikian, mereka tidak dapat memastikan alasan terjadinya tanggapan tanaman.
Mereka mendapat hubungan peningkatan serapan
fosfor dengan pemberian terak, tetapi ha1 yang sama juga terjadi pada pemberian kapur, karena baik silikat maupun karbonat mampu menggantikan fosfat yang terjerap.
Di samping itu
kedua perlakuan tersebut menurunkan ketersediaan Mn, Fe, dan
A1 aktif dalam tanah.
Mereka mendupa perbedaan tanggapan
tanaman disebabkan oleh jangka waktu pengaruh kedua bahan
tersebut atas sifat-sifat kimia dan fisik yang mempengaruhi
ketersediaan unsur hara, tingkat keracunan, dan keadaan lingkungan tanah yang berpengaruh atas peranan metabolik tsnaman.
Ternyata kehilangan C a melalui pencucian lebih besar pada tanah yang dikapur dibandinpkan yang diberi terak.
Kendati de-
mikian, mereka percaya bahwa perbaikan pertumbuhan dan produksi terutama disebabkan oleh peningkatan ketersediaan fosfor d a n penurunan keracunan Al.
Silva (1911) dalar ulasannya
meyimpulkan bahwa berdasarkan data yang ada, terdapat kesan
yang cukup kuat kalau Si, setidak-tidaknya untuk sebagian
adalah sumber terjadinya tanggapan.tanaman terhadap pemakaian
terak.
Di lain pihak Ali
(1966, 'dalam Silva, 1971) menyim-
pulkan dari penelitian pot, bahwa terjadinya tanggapan tanaman tebu terhadap pemakaian terak mungkin tidak semata-rnata
berasal dari Si karena tanaman kontrol juga tidak kekurangan
Si.
Penelitian dengan tanah dari sepuluh tempat berbeda d i
Jawa Barat yang mempunya'i kadar SiOs terekstrak antara 61 dan
186 ppm (Soepardi, 1981) diperoleh hubungan yang erat antara
silikat terekstrak dalam tanah dengan pertumbuhan dan serapan
hara tanaman padi.
Makin tinggi silikat terekstrak makin ba-
ik pertumbuhan dan serapan hara utama tanaman padi.
jutnya Naim
Selan-
(1982) menunjukkan bahwa pemberian Si (ailika
gel) pada lengas tanah kapasitas lapang meningkatkan serapan
Si dan unsur hara utama padi seperti N.
Fox e t al.,
P, K, Ca, dan Mg.
(1967a) mengemukakan bahwa kelihatannya
tanggapan tanaman terhadap silikon tidak berasal dari pengayaan P, karena peningkatan takaran P sampai empat kali
lipat hanya sedikit pengaruhnya terhadap produksi.
Pada
takaran terak yang sama ( 4 - 5 ton/ha) dicapai produksi hablur
masing-masing
31.6
ton/ha pada pemberian 280 kg/ha P diban-
-dingkan dengan 32.7 ton/ha pada takaran 1 120 kg/ha P (lihat
Tabel 1).
Di lain pihak Su&hisa
et al.,
(1963) menyimpulkan
bahwa pemberian natrium metasilikat ae'ningkatkan serapan P
baik pada perlakuan dengan atau tanpa P.
Dengan demikian
berarti peningkatan hasil berhubungan dengan pengayaan P.
Hasil penelitian Clements
(1965) wenunjukkan bahwa pemupukan
P akan lebih efisien jika dibarengi dengan pemberian
terak.
Produksi hablur relatif tidak berbeda antara perlakuan tanpa
dan dengan 224.2 kg/ha P , tetapi bila dikombinasi dengan terak sebanyak 2.8, 5.6, dan 11.2
tonrha memberikan peningkatan
produksi hablur masing-masing
ton/ha.
sebesar 2.5,
Menurut Okuda dan Takahashi
6.25, dan 7.25
(1964) kelihatannya
pengaruh pemberian Si tcdak dihasilkan dari penggunaan Si
oleh tanaman yang dapat menggantikan ion fosfor, sebagaimana
dipercaya sebelumnya, tetapi terutama dari kemampuan ion silikat menggantikan ion fosfat yang terjerap dalam tanah sehingga jumlah P tersedia meningkat.
Kemudian Silva ( 1 9 7 1 ) dalam mengulas sejumlah pustaka
mengemukakan bahwa pengaruh S i terhadap pertumbuhan tanaman
berasal dari reaksi unsur tersebut dengan P dalam tanah dan
tanaman.
Dikemukakan bahwa mekanisme yang melibatkan Si bagi
peningkatan pertumbuhan tanaman adalah peningkatan serapan P
oleh akar, meningkatnya angkutan P dari akar, meningkatnya
keefisienan pemakaian P oleh tanaman, dan memperbaiki keimbangan hara dalam tanarnan.
(1966) berpendapat bahwa peningkatan serapan P
Ayres
oleh tanaman tebu, kelihatannya lebih berkaitan dewan peningkatan produksi tebd karena pemakaian terak.
Dengan de-
mikian, yang terjadi adalah peningkatan serapan P karena
produksi tinggi lebih mungkin dibandingkan peningkatan produksi karena peningkatan serapan P.
Di lain pihak Teranishi
(1968, dalam Silva, 1971) menyimpulban bahwa peningkatan serapan P mungkin disebabkan oleh kenaikan produksi tebu pada
peningkatan takaran S i pertama,
berikutnya.
Teranishi
Selanjutnya Ali
tetapi tidak untuk takaran
(1966. dalam Silva.
1971) dan
(1968, dalam Silva, 1971) menyatakan terdapat kesan
32
*
bahwa Si dalam berbagai cara meningkatkan keefisienan pemakaian P oleh tanaman.
Diperlihatkan bahwa walaupun kadar P
pelepah daun sama, hasil yang lebih tinggi dicapai pada perlakuan dangan Si dibandingkan tanpa Si.
Sebagai contoh, di-
kemukakan bahwa pada kadar P yang aama (800 ppm) diperoleh
hasil 141 ton/ha tebu jika tanpa Si kurang dibandingkan 157
ton/ha tebu pada perlakuan 8 3 0 kg/ha Si.
Menurut mereka ini
merupakan petunjuk adanya penurunan kebutuhan P dalam tanaman, yang berarti dengan suatu cara pemakain P lebih efisien
pada tanaman yang diberi Si.
Penihgkatan serapan P oleh akar dari sejumlah tanaman
telah ditunjukkan oleh Roy
percobaan larutan hara.
(1969, dalam Silva, 1971) dalam
Dengan teknik akar terpisah, d i a
meneliti pengaruh interaksi P dan silikat dari beberapa species tanaman.
Dia mendapatkan bahwa silikat yang diberikan
bersama-sama P, meningkatkan serapan fosfor oleh akar tanaman
yang menimbun lebih banyak silikat.
Berdasarkan itu ia me-
nyimpulkan bah'wa pengaruh interaksi P dan Si adalah lebih
merupakan sifat species atau menyangkut metabolisme P dibandingkan gejala tunggal serapan.
Penjelasan lain terhadap ge-
jala tersebut dikernukakan oleh Akhromeiko's
Silva, 1971)
(1934, dalam
yang mendapatkan sol SiOz dapat meningkatkan
laju difusi P lewat membran koloidal.
Dikemukakan bahwa Si02
yang tertimbun pada akar tanaean akan meningkatkan permukaan
serapan akar dan dengan demikian mampu menyerap P lebih banyak.
Elawad et a].,
-(1982b) menyimpulkan bahwa peningkatan
kadar P daun dalam percobaan mereka tidak dihasilkan dari pelarutan atau pembebasan P tanah oleh Si, tetapi disebabkan
oleh jumlah dan pelarutan P yang diberikan sebagai pupuk.
Pengaruh terak terhadap serapan atau kadar unsur hara
lain dalam tanaman tebu, juga telah banyak dilaporkan.
Clements (1965) menyaksikan terjadinya penurunan tajam kadar
Mn dan nisbah Mn
karat
( p p m ) / S i O ~ ( X ) pelepah daun serta becak-
(freckle) pada daun menyusul pemberian terak baja.
Perlakuan dengan CaC03 juga menurunkan kadar Mn, tetapi kurang efektif menurunkan nisbah Mn/SiOz dibandingkan terak.
Nisbah antara 3 0 hingga 50 dianggap cukup baik, d i mana becqk
karat dapat diabaikan.
Dalam penelitian Fox et al.,
(1967a)
ditemukan satu tempat di mana nisbah Mn/SiOp dalam daun tebu
sebesar 4 8 tetapi masih menunjukkan becak-karat
yang hebat.
Di tempat lain diperoleh nisbah sebesar 6 5 , e t a p i tanaman
tidak menunjukkan gejala.
Kenudian hasil penelitian ELawad
et al,, (I982b) menunjukkan bahwa pemberian 15 ton/ha terak
atau semen menurunkan becak-karat
masing-masing
sebesar 41
dan 47 persen pada tanaman pertama dan keprasan pertama.
Dalam ha1 ini terjadi penurunan nisbah Mn/SiOz masing-masing
dari 42.13
25.25
ke 14.40 pada tanaman pertama dan dari 115.15
pada keprasan pertalea.
rak terhadap becak-karat
belum konsisten.
Jadi kelihatannya pengaruh te-
jika dikaitkan dengan nisbah Mn/Si02
Narnun deanikian, Clenrents (1965) menyatakan
bahwa kalau pemakaian silikon dapat mencegah becak-karat
becak-coklat
ke
dan
(bronzing) pada daun tebu, seharusnya silikat
mempunyai
fungsi fisiologik dalam mencegah penimbunan pada
bagian-bagian tertentu ion-ion yang menyebabkan becak-becak
nekrosis
.
Perbaikan kekurangan Ca karena pemakaian terak diduga
merupakan salah satu sebab meningkatnya produksi
1971).
(Silv
Pemanfaatan dan pengembangan lahan-lahan kering bermasalah bagi berbagai usaha pertanian tidak dapat dihindari
bahkan akan makin meningkat.
Kecenderungan demikian adalah
sebagai akibat meningkatnya baik kebutuhan penduduk yang makin bertambah maupun guna memenuhi kebutuhan pembangunan nasional.
Lahan kering yang memiliki potensi untuk dikembangkan
atau telah diusahakan secara intenaif, tetapi menghadapi
hambatan kernasaman dan/atau kemampuan penyediaan hara bagi
tanaman yang rendah serta ketidakimbangan hara bagi tanaman.
terdapat cukup luas di Indonesia.
Menurut Pusat Penelitian
Tanah (1981) jenis-jenia tanah utama di Indonesia yang berreaksi masam meliputi Organosol, Podzolik, Podzol, Latosol,
dan sebagian Aluvial atau kompleks.
Podzolik Merah Kuning
(PMK), merupakan jenis tanah masam utama yaitu meliputi area
lebih kurang 38.4 juta hektar.
Secara kasar, penyebaran ta-
nah tersebut terutama di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya,
Maluku, Sulawesi, serta Jawa dan Madura dengan luas berturut-turut lebih kurang 14.7,
11.0, 8.7, 2.4, 1.3,
dan 0.3
juta hektar.
Ciri-ciri utama Podzolik meliputi reaksi tanah masam
(pH umumnya kurang dari 5.51,
kadar bahan organik rendah
hingga sedang, kapasitas tukar kation (KTK) umumnya kurang
dari 24 me/100 g liat, kejenuhan basa (KB) kurang dari 3 5
persen, serta mineral dominan tipe 1:l
(Soil Research
Institute, 1978). Upaya perbaikan untuk memproduktifkan tanah semacam itu sudah lama diketahui dan telah banyak dilakukan antara lain dengan pemberian bahan organik, kapur dan
fosfat alam.
Akan tetapi baru tahun 1983 dimulai pengapuran
tanah masam secara besar-besaran
sebagai salah satu program
nasional di bidang pertanian dan terutama dikaitkan dengan
usaha swasembada kedelai
{Soepardi, 1984).
Walaupun penga-
puran dan penambahan bahan organik telah menunjukkan terjadinya perbaikan ketersediaan hara yang diikuti peningkatan
produksi tanaman secara nyata (Nurhajati Hakim,
-
1982; Slamet
Setijono, 1982; Soepardi, Slamet Setijono, dan Nurhajati
Hakim, 1982; Soepardi, 1984), usaha menemukan pilihan lain
akan tetap bermanfaat.
Sejak permulaan dikembangkan di Indonesia, industri gula hanya berada di Jawa dengan pertanaman tebu pada lahanlahan berpengairan atau sawah dengan sistem pengairan yang
baik.
Cara bercocok tanam yang berkembang pada waktu itu
dikenal sebagai sistem "reynoso" yang dilakukan secara manual.
Akibat desakan penduduk dan persaingan dengan padi
sebagai bahan pangan utama dan memiliki nilai strategik yang
lebih tinggi, tanaman tebu mulai terdesak.
kebutuhan akan gula juga makin meningkat.
Dilain pihak,
Dengan alasan
itu, sejak dekade 1960-an diambil kebijakan untuk mulai memindahkan secara bertahap industri gula ke luar Jawa.
Pada
saat ini, kebijakan mengembangkan industri gula di luar Jawa
semakin mantap dan tampaknya akan terus dikembangkan di lahan kering baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Kebijakan ini
akan membawa beberapa perubahan dalam budi daya tebu yang
sebelumnya hanya diusahakan di lahan berpengairan atau sawah.
Termasuk di dalamnya adalah perubahan cara pengolahan
tanah dan/atau penyiapan lahan, pemupukan, penanaman, jadwal tanam dan tebang, serta varietas yang ditanam.
Bersa-
maan dengan itu berbagai permasalahan baru akan muncul yang
dapat menjadi penghambat untuk mencapai produksi yang tinggi.
Dengan demikian. cara-cara perbaikan tanah, meningkatkan dan/atau mempertahankan produksi tebu di lahan-lahan
kering baik yang sudah diusahakan secara intensif maupun
bukaan baru, kiranya perlu terus dikembangkan.
Salah satu
usaha yang dapat dilakukan adalah pemupukan yang tepat dan
teratur atau menggunakan bahan masukan yang memiliki kemampuan memperbaiki kondisi ketersediaan hara dan/atau meningkatkan keefisienan pemupukan d i samping
pemilihan varietas
yang sesuai.
Terak
(basic slag) adalah salah satu bahan masukan yang
dapat digunakan baik sebagai pupuk maupun sebagai bahan un-
*
tuk perbaikan ketersediaan hara bagi tanaman atau untuk meni'ngkatkan keefisienan pemupukan.
Bahan terak merupakan ha-
sil samping (limbah) pabrik baja atau pabrik pupuk fosfor.
Beberapa keterangan singkat tentang terak dimuat dalam Tabel
Lampiran B 2.
Terak dikenaf sebagai pupuk silikat (Oota,1979).
Di
Jepang dan Hawaii dikenal sebagai pupuk kalsium ailikat
(Clements, 1965) atau pupuk silikat dapat larut (Plucknett.
1972).
Peneliti lain menganggap terak sebagai salah satu
bahan kapur berhubung mempunyai pengaruh yang sama bahkan
dalam keadaan tertentu lebih baik dari kapur (Sherman, Diaa,
dan Monteith. 19643.
Dari telaahan pustaka diketahui bahwa
keberhasilan penggunaan terak baja untuk memperbaiki ketersediaan hara, meningkatkan pertuwbuhan dan produksi tanaman
serta keefisienan penrupukan telah dapat ditunjukkan pada
berbagai jenis tanaman di berbagai tempat (Harada, 1965;
Ayres, 1966; Fox, Silva, Young, Plucknett, dan Sherman,
1967a; Sherman, 1969; Silva, 1971; D'Hoore dan Coulter,
1972; Plucknett, 1972; Moberly, 1974; Yoahida, 1975;
Takahashi dan Miyake, 1977; Soepardi, 1981; Suwandi dan
Soepardi, 1981; Allorerung, 1982; Hagihara dan Hilton,
1987).
Bahan terak ini telah digunakan secara luas pada ta-
naman padi di Jepang dan pada tebu di Hawaii (Plucknett,
1972; Silva, 1973).
Dalam tahun 1982 jumlah bahan kalsium
silikat yang digunakan dalam industri gula di Hawaii sudah
menduduki peringkat ke tiga di antara jenis pupuk lainnya
yaitu sekitar 5.303 ton.
Jumlah tersebut lebih rendah dari
pupuk nitrogen dan kalium tetapi lebih tinggi dari pupuk
fosfor (Jakeway, 1984).
Bahan terak baja terutama mengandung Ca, Si, Al, dan
Fe, serta beberapa unsur lain dalam jumlah lebih sedikit,
dengan nisbah yang tergantung pada sumbernya.
Tanggapan ta-
naman terhadap pemberian terak umumnya dikaitkan dengan kandungan silikonnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Beberapa pakar membantah kesimpulan demikian, sehing-
ga keesensiafan unsur silikon bagi pertumbuhan tanaman hingga sekarang masih tetap diperdebatkan.
pendapat bahwa pengaruh terak b
Peneliti lain ber-
~ terhadap
a
pertumbuhan dan
produksi tanaman terutama melalui pengaruhnya terhadap perbaikan keimbangan hara dalam tanah.
Penelitian pemakaian terak baja eebagai k h a n pupuk
atau kapur di Indonesia relatif masih baru dan belum seintensif bahan lain, khususnya untuk tanaman tebu.
Hasil
menggembirakan telah dilaporkan untuk tanaman padi
(Soepardi, 1981), beberapa jenis sayuran (Suwandi dan
Soepardi, 1981). dan pada tebu (Allorerung, 1982).
Di lain
pihak, di Indonesia telah dihasilkan terak dari pabrik baja
Cilegon, Jawa Barat, yang belum dimanfaatkan. Terbukanya kemungkinan pemakaian terak di bidang pertanian di samping dapat meningkatkan produksi pertanian, juga akan membantu pabrik baja mengatasi masalah penimbunan limbah industri dan
membuka lapangan kerja baru di berbagai sektor.
Kendati usaha pemupukan telah dilakukan dan pemilihan
varietas tebu yang cocok untuk lahan kering terus diusahakan, hingga saat ini produksi tebu dan hablur pada lahan
kering di luar Jawa umumnya masih rendah.
Jika tidak ada
usaha sungguh-sungguh untuk mengatasi hambatan mencapai
produksi tinggi, dikuatirkan terjadinya kemerosotan produksi
secara berkelanjutan dengan makin intensifnya pengusahaan
tebu pada lahan semacam itu.
Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran yang
telah dikemukakan, penelitian ini dilakukan.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menemukan
cara meningkatkan produksi atau setidak-tidaknya mencegah
kemerosotan secara tajam produksi tebu pada lahan kering
PMK.
Tujuan utama adalah ( 1 ) untuk mempelajari bagaimana
pengaruh terak baja terhadap berbagai ciri kimia tanah dan
ketersediaan hara dan/atau yang dapat diserap tanaman tebu;
( 2 ) untuk memperkirskan unsur utama bawaan terak baja yang
lebih berperan dalam terjadinya tanggapan tanaman tebu; dan
( 3 ) untuk mendapatkan
takaran terak baja yang cukup untuk
rnemperbaiki ketersediaan hara serta meningkatkan produksi
gula pada lahan kering Podzolik Merah Kuning.
TINJAUAN PUSTAKA
Podzolik Merah Kuninq
podzolik Merah Kuning merupakan jenis tanah masam yang
paling luas di Indonesia yang weliputi hampir 30 persen dari
luas daratan Nusantara
(Driessen dan Soepraptohardjo, 1974).
Menurut Thorp dan Smith (1974) P M K merupakan penggahungan dari d u a kumpulan tanah yang sebelumnya dikenal sebagai Podzolik Merah dan Podzolik Kuning.
Podzolik Merah Kuning didefi-
nisikan sebagai kumpulan tanah yang sudah berkembang baik,
berdrainase baik, dan bereaksi masam dengan lapisan organik
( A o ) dan horizon mineral-organik
(Ax)
tipis d i atas horizon
tercuci ( A = ) yang berwarna cerah, duduk di atas horizon
(B)
yang berwarna merah, merah kekuningan atau kuning dengan
tekstur lebih berliat.
Soepraptohardjo
Sedangkan menurut Dudal dan
(1957) P M K adalah tanah yang telah mengalami
pencucian hebat, menampilkan warna agak kelabu hingga kekuningan di permukaan di atas horizon penimbunan yang berwarna
merah atau kuning, bertekstur relatif lebih berat dengan
struktur berblok, permeabilitas dan stabilitas agregat rendah.
LI
Bahan organik, kejenuhan basa, pH
(4.2
-
4.8) adalah
rendah.
Proses pembentukannya dipengaruhi oleh perubahan status
kelembaban profil yang menyebabkan perubahan warna matriks
tanah.
Proses-proses pencucian, penimbunan, dan
pembentukan
baru memegang peranan penting dalam pembentukan tanah-tanah
sangat terfapuk dengan kandungan kuarsa relatif tinggi
(Driessen dan Soepraptohardjo, 1974).
Podzolik Merah Kuning
terbentuk dari bahan induk endapan kaya silikat di daerah
beriklim tropik baaa dengan curah hujan bulanan antara 2 500
hingga 3 500 am.
Umumnya tergelar di wilayah berombak hingga
berbukit dengan ketinggian berkisar dari lebih kurang 50
hingga 350 m di atas permukaan laut (Dudal dan Soepraptohardjo. 1957; Driessesn dan Soepraptohardjo, 1974).
Mc Caleb (1959) menguraikan tahapan prosea pembentukan
PMK yang pada pokoknya meliputi perombakan mineral-mineral
yang mudah hancur menjadi liat sekunder, oksida-oksida, dan
ion-ion.
Selanjutnya basa-basa akan tercuci, dan oksida-
oksida yana tidak larut terpisah sebagai bahan amorf.
Kemu-
dian, morfologi tanah berubah secara bertahap sebagai tanggapan terhadap perubahan lingkungan fisik, kimia, dan biologi
pada waktu itu.
Dalam ha1 ini akan terjadi orientasi mine-
ral-mineral liat, pengisian pori-pori makro dan menebalnya
lapisan penimbunan.
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mencoba memilahkan PMK ke dalam sistem klasifikasi taksonomi tanah.
Se-
bagian dar-i PMK yang duduk di atas bahan induk tuff vulkanik
masam di Lampung oleh Buurman dan Dai (1976) diklaskan dalam
Inceptisol dan Ultisol.
Demikian pula tanah berbahan induk
sama di daerah Banten sebagian besar digolongkan Ultisol dan
sebagian
lagi dalam Inceptisol.
Sedangkan PMK dan Latosol
Sumatera Barat oleh Buurman dan Sukardi (1980) dimasukkan dalam Inceptisol, Ultisol, dan Oxisol.
Menurut Buurman (1980)
persoalan utama dalam mengklasifikasikan tanah tropik menurut
sistem taksonomi tanah terletak pada konsep dari horizon argilik yang merupakan salah satu penciri podzolik.
Menurut
pengertian yang digunakan-dalam sistem klasifikasi Dudal dan
Soepraptohardjo (1957) serta Thorp dan Smith (1949), horizon
argilik ialah horizon yang berkadar liat lebih tinpgi dari
horizon di atasnya.
Dalam sistem klaaifikasi taksonomi tanah
dan FAO, perbedaan tekstur tetap digunakan untuk memilahkan
tanah-tanah dengan horizon argilik, tetapi perbedaan tersebut
harus mencirikan penimbunan lia't yang terangkut dari lapisan
di atasnya.
Jadi, perbedaan tekstur karena stratifikasi liat
bahan induk dan/atau erosi tidak dinasukkan lagi.
Kelebih-
annya ialah bahwa penggambaran horizon argilik merupakan proses genetik murni, aedangkan kelemahannya ialah kesulitan dalam menentukan kehadiran horizon argilik pada tanah dengan
bahan induk berstratifikasi.
Selain itu,
selaput liat yang
dipersyaratkan menyertai horizon argilik aering sulit dijumpai di lapang dan kadang-kadang baru ditemukan di bawah horizon B.
Menurut Allbrook (1973, dalam Buurman, 1980) khusus
di daerah tropik basah, dimana hampir tidak ada periode kering yang menghambat aktifitas biologik, keberadaan horizon
argilik sangat meragukan.
Oleh karena itu disarankan oleh
Buurman (1980) agar kriteria untuk pembeda antara tanah dengan atau tanpa horizon penimbunan liat dalam sistem klasifikasi di Indonesia meliputi permeabilitas, struktur, dan
drainase.
Selanjutnya dikemukakan bahwa tanah-tanah yang
permeabel dengan struktur dan selaput liat lemah tidak
10
dimasukkan dalam
PMK,
kecuali jika terdapat perbedaan teks-
tur yang tegas sehingga menghambat pertumbuhan akar.
Secara umum, P M K termasuk tanah yang miskin hara dan sifat fisik yang sedang.
Dipandang dari sudut pertanian, po-
tensi dari PMK tergolong sedang disebabkan pH, kapasitas tuI
kar kation (KTK), dan kejenuhan baaanya rendah
Soepraptohardjo. 1974).
(Driessen dan
Selanjutnya dikemukakan bahwa sifat
fisik dari P M K adalah beragam, stabilitas struktur umumnya
rendah, khusunya di horizon B yang biasanya padat.
Kandungan
bahan organik di permukaan tinggi, khususnya pada lahan hutan
yang baru dibuka, tetapi kemudian humusnya cepat menurun.
Bersarnaan dengan itu, kepekaan tanah terhadap eroai meningkat
serta kesuburan alaminya akan menurun dan dengan demikian
produksi tanaman menurun secara tasam.
Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa untuk
mencapai
PMK,
produksi yang cukup tinggi dan relatif lestari pada
diperlukan selain tindakan konservasi, juga tindakan
reklamasi dan pemupukan yang tepat
(Driessen dan Soeprapto-
hardjo, 1974; Slamet Setijono, 1982; Nurhajati Hakim, 1982;
Soepardi, 1984).
Masalah Silikon dan Pemakaian
Terak dalam Pertanian
Perhatian terhadap silikon dalam pertumbuhan tanaman dimulai pada awal tahun 1868 (Taylor, 1961).
orang yang per-
tama menduga adanya peranan tertentu dari silikon bagi
pertumbuhan tanaman adalah Liebig
(Yoshida, 1975).
Sachs pada tahun 1882 (Lewin dan Reimann,
Remudian
1969) membantah
pendapat tersebut berdasarkan hasil percobaannya pada tanaman
gung dalam larutan hara tanpa silikon yang ternyata dapat
tumbuh normal.
Akan tetapi Clements (1965), Lewin dan
Reimann (1969), dan Yoshida
(1975) menjelaskan bahwa kelemah-
an dari percobaan Sachs adalah karena bejana gelas yang digunakan qesungguhnya tidak bebas dari silikon.
Setelah terbitan Sachs, dan berbagai penelitian yang dilakukan di berbagai tempat pada banyak jenis tanaman dengan
hasil berbeda-beda, lahir kelompok yang mendukung dan menentang keesensialan silikon bagi tanaman (Hartwell d a n Pember,
1920; M c George,
1924; Taylor,
1961; Farrar, 1969; Lewin dan
Reimann, 1969; Silva, 1971; Yoshida,
1975).
Hartwell dan
Pember (1920) yang membandingkan batu kapur dengan terak sampai pada kesimpulan bahwa terak sama efektifnya dengan batu
kapur dalam meningkatkan produksi tanaman, tetapi tidak ada
petunjuk adanya tambahan nilai dari terak karena kandungan
silikonnya.
Juga disimpulkan bahwa tidak ada petunjuk kalau
silikon itu esensial bagi tanaman.
Sommer (1926, dalam
Yoshida, 1975) merupakan orang pertama yang menunjukkan bahwa
silikon esensial bagi padi.
Selanjutnya Wagner (1940, dalam
Soepardi, 1979a) menyatakan bahwa silikon esensial bagi monokotil dan dikotil.
Kemudian Comhaire (1966) kembali menegas-
kan bahwa silikon esensial bagi semua tanaman.
Ayres
(1966) menyimpulkan bahwa Si, langsung atau tidak
langsung, bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan tebu.
.
Kendati Si tidak begitu dibutuhkan untuk pertumbuhan vegetatif kebanyakan tanaman, namun ada petunjuk bahwa ia dibutuhkan untuk pertumbuhan yang sehat b a g < banyak tanaman, dan
mungkin betul-betul esenaial bagi tanaman dengan kandunpan Si
tinggi seperti padi ban rumput-rumputan lain (Lewin d a n
Reimann,
1969).
Clementa
(1966) mengsmukakan bahwa di daerah
yang berkadar Si rendah, kelihatannya Si tidak dapat dipantikan, dengan demikian esensial bagi tanaman.
kemukakan, karena unsur-unsur
Selanjutnya di-
lain juga dapat memperbaiki ke-
imbangan hara sebagaiaana halnya dengan Si, maka kesimpulan
yang tegas tentang k e e w n s i a l a n Si tersebut tidak dapat dikemukakan.
Namun demikian, kenyataan tidak dapat dipungkiri
pada saat itu bahwa pemberian Si dapat meningkatkan produksi
beberapa tanaman di berbagai tampat, khususnya padi dan tebu
( D 7 H o o r e dan Coulter, 1972).
Dari telaahan pustaka yang ada
ternyata keesensialan dari unsur silikat bagi pertumbuhan tanaman masih tetap diperdebatkan para pakar
(Soepardi, 1979a).
Sejalan dengan penelitian tentang manfaat dari silikon,
berbagai bahan sebagai sumber silikon juga telah diteliti antara lain terak baja.
Terak adalah hasil samping pabrik baja
(Hartwell dan
Pember, 1920; Schollenberger, 1921; Barnette, 1924; Sherman
et al.,
1964; Farrar, 1969; Plucknett, 1972; Oota, 1979) atau
pabrik superfofat (Shermann et al.,
Plucknett, 1972).
Tanggal 3 Maret
1964; Clements,
1965;
1879 merupakan hari jadi
bagi terak ketika proses defosforisasi dalam pabrik baja mulai diterapkan (Farrar, 1969).
Susunan kimia dari terak
berbeda-beda
daik dalam jenis unsur maupun kadarnya, tergan-
tung pada bahan baku dan cara pembuatan baja atau pupuk fosfor.
Terak umumnya mengandung terutama Ca dan Si (Clements,
1965; Plucknett, 1972; Oota, 1979; Soepardi, 1981). Ca dan Fe
(Farrar, 1969).
Unsur-unsur lain yang terdapat dalam jumlah
yang lebih sedikit adalah Mg, Al, Fe, Mn, S, Ti (Oota, 1979),
dan P (Clemants, 1965), serta B, Z n , dan Mo
1972).
(Plucknett,
Sedangkan analisia yang dilakukan oleh Carson (1965,
dalam Farrar, 1969) terhadap lina sumber terak di Inggris
mengungkapkan terdapatnya unsur P, Mp, Mn, Si, Al, U, S, Cu,
Mo, Zn, dan Co (Lampiran B2).
Pemakaian terak sebagai bahan pupuk telah mulai dicoba
sejak tahun 1882/1883 di Jerman, kemudian di Ingsria pada
tahun 1884/1885 oleh Wrightson dan Munro
(Farrar, 1969). se-
lanjutnya di Amerika Serikat oleh Joseph dan L,ippinc&tt yang
diteruskan oleh Annes pada tahun 1916 (Barnette, 1924).
Se-
audah itu, beberapa penelitian terak telah dilakukan baik sebagai sumber Si maupun sebagai bahan kapur atau untuk tujuan
meningkatkan keefisienan pemupukan.
Penelitian terak pada
tanaman tebu di Hawaii dimulai pada tahun 1962 (Plucknett,
1972).
Perilaku Silikon Dalam Tanah
Silikon adalah komponen utama tanah mineral
dan Miyake,
1977; Krauskopf, 1967).
(Takahashi
Kadar Si dalam larutan
tanah atau yang dapat tersedia bagi tanaman sangat beragam
14
(Beckwith dan Fkeeve. 1963; Mc Keague dan Cline,
dan Handreck, 1963; Krauskopf,
1 9 ~ 3 ~ bjones
;
1967; Fox, Silva, Teranishi,
Matsuda, dan Ching, 1967b; Elgawhary dan Lindsay,
1972;
Weaver dan Bloom, 1977).
Kenyataan dari berbagai pengamatan menunjukkan bahwa bukan saja tanaman yang berbeda species, tetapi juga dari suatu
species akan berbeda kadar silikonnya bila ditanam pada tanah
yang berbeda
dan Coulter
(Jones dan Handreck,
1965).
Karena itu D'Hoore
(1972) menganjurkan agar Si larut dalam tanah di-
jadikan sebagai salah satu kriteria untuk menilai tanah-tanah
pertanian tropik.
Silikon yang tersedia dalam larutan tanah berada dalam
bentuk asam monosilisik, Si(OH)4
Jones dan Handreck,
Alexander et al.,
dan Krauskopf
tMc Keague dan Cline, 1963a;
1965; Elpawhary dan Lindsay,
1972).
(1954, dalam Elgawhary dan Lindsay,
1972)
(1967) mengemukakan bahwa pada pH larutan ku-
rang dari 9 hampir seluruhnya dijumpai dalam bentuk Si(0H)r.
Dikemukakan bahwa kelarutan Si tidak tergantung pada pH dalam
kisaran pH 2 dan 9, tetapi meningkat sangat tajam pada pH lebih dari 9 karena bentuk silikat ion.
Elgawhary dan Lindsay
(1972) telah mengembangkan diagram kelarutan Si yang memperlihatkan keaktifan berbagai bentuk ion dan molekul yang berada dalam keimbanpan dengan silikat amorf sebagai fungsi dari
pH.
Pada pH kurang dari 8 mereka mendapatkan Si dalam larut-
an hampir seluruhnya dalam bentuk Si(OH)r, sedangkan pada pH
lebih dari 8 bentuk ion telah muncul secara nyata.
~ i k e m u k a k A noleh Jones dan Handreck (1965) sifikon dalam
larutan tanah0sangat penting, karena larutan tanah merupakan
penyedia Si yang dapat segera diserap tanaman.
Walaupun su-
dah sejak 100 tahun yang lalu digunakan air untuk mendapatkan
larutan tanah, belupl ada saran yang khusus untuk pengukuran
Si dalam larutan tanah.
Selanjutnya
Elgawhary dan Lindsay
(1972) mengemukakan bahwa Si adalah pereaksi potensial dalam
tanah dengan berbagai unsur lain d a n mungkin untuk sebagian
mampu mengikat unsur hara, akan tetapi perilaku kelarutannya
belum sepenuhnya diketahui.
Kelarutan Si dalam air berbeda dengan kelarutannya dalam
larutan tanah (Beckwith dan Reeve, 1963; Jones dan Handreck,
1963; 1965; Mc Keague dan Cline.
Elgawhary dan Lindsay, 1972).
Fox et al.,
1963ab; Fox et al..
1967b;
Beckwith dan Reeve (1963) Dan
(1967b) mengemukakan bahwa kepekatan S i larut
sangat beragam di antara tanah-tanah dengan mineralogi yang
berbeda.
Elgawhary dan Lindsay (1972) dalam penelitiannya
dengan ekstrak CaCla 0.02 M menyimpulkan bahwa kelarutan Si
dalam tanah berada antara kisaran kelarutan kuansa sebesar
2.8 ppm Si dan silikat amorf sebesar 51 ppm Si.
Dengan per-
kataan lain, fase silikat padat dalam matriks tanah kurang
larut dibandingkan dengan silikat amorf, tetapi lebih larut
dibandingkan dengan kuarsa.
Selanjutnya M c Keague dan Cline
(1963a) mendapatkan kepekatan Si dari beberapa tanah dengan
ekstrak air antara 1 dan 20 ppm Si.
Handreck
Akan tetapi Jones dan
(1965) mengemukakan bahwa data dari ekstrak air
tidak sesuai dengan keadaan dalam larutan tanah dan tidak
dapat dikorelasikan langsung dengan serapan silikat oleh tanaman.
Lagi pula sulit untuk membandingkan dengan data lain
karena hasilnya tergantung pada nisbah tanah dengan air dan
lama pengocokan.
Oleh kerena itu, mereka menggunakan
"Pressure Cell" untuk mendapatkan larutan tanah dari contoh
tanah berkadar air kapasitas lapang.
Denpan cara ini rereka
mendapatkan kadar SiO, antara 7 dan 80 ppm.
Keimbangan an-
tara mineral-mineral dalam matriks tanah dengan Si(OH)4 dalam
larutan menentukan keaktifan dan jumlah Si dalam larutan tanah (Krauskopf, 1967; Weaver, Jackson, dan Syers, 1971;
Elgawhary dan Lindsay, 1972; Oallee, Herbillon, dan Juo,
1971; Weaver dan Bloom, 1977).
Berbagai faktor diduga menentukan kelarutan Si dalam tanah.
Beberapa peneliti mendapatkan
penurunan kadar Si dalam
ekstrak tanah aengan meningkatnya pH. Reifenberg dan Buckwold
(1954) dengan menggunakan beberapa garam natrium dan anion
ortofosfat untuk m e n m j i keefektifan pembebasan eilikat dari
tanah kaolinitik menyimpulkan bahwa ortofosfat paling efektif
dan pembebasan tersebut menurun dengan meningkatnya pH.
Hingston, Atkinson, Posner, dan Qyirk (1967) mendapatkan jerapan maksimum Si(0H)r pada pH 9.2.
Penelitian yang dilaku-
kan oleh E4c K e a g w d s n Cline (1963b) pa&
beberapa jenis ta-
nah menunjukkan bahwa jerapan Si terlarut oleh tanah sanpat
tergantung pada pH.
Jerapan Si meningkat dan Si dalam larut-
an tanah menurun dengan meninpkatnya pH antara 4 dan 9.
Pada
contoh latosol "ferruginous" jerapan Si kembali menurun aetelah pH sama atau lebih dari 10.
Alasan terjadinya pola
demikian masih kabur.
Selanjutnya Jones dan Handreck
(1965)
mengemukakan bahwa kepekatan silikon dalam larutan tanah tidak sama di antara tanah-tanah yang berbeda tetapi bernilai
pH sama.
Dikemukakan kepekatan Si dalam larutan tanah menu-
run dengan meningkatnya pH atau meningkatnya jumlah eesquioksida.
Diduga kadar Si dalam larutan tanah dikendalikan
oleh reaksi jerapan yang tergantung pH (Beckwith dan Reeve,
1963; Jones dan Hendreck.
Fox et al.,
1963; Mc Keague dan Cline, 1963b;
1967b; Mc Phail, Page, dan Bingham, 1972; Gallez
et al., 1977; Weaver dan Bloom, 1977).
Dikemukakan bahwa
silikon dijerap pada berbagai permukaan zarah tanah, akan
tetapi peranan sesquioksida lebih dominan.
Namun demikian
mereka sependapat bahwa mekanisme sesungguhnya masi,h kabur.
Fox et al.,
(1967b) mengemukakan bahwa oksida besi dan
aluminium terhidraai merupakan mineral-mineral sekunder penting dalam tanah.
Mereka mendapatkan urutan jumlah silikon
yang terekstraksi dengan beberapa macam ekstraktan pada tanah
yang terbentuk dari bahan induk basal dan aluvial menurut deret Latosol feruginus humik
rendah
< Liat
magnesium
< Latosol humik < Latosol humik
gelap.
Urutan tersebut
urutan penurunan tingkat pelapukan masing-masing
mengikuti
tanah.
Da-
lam kaitannya dengan pertumbuhan tanaman, dikemukakan bahwa
tanah-tanah yang kaya oksida besi dan aluminium dan kadanekadang mengandung ilit atau kaolinit termasuk kategori tanah
yang menyebabkan tanaman kahat silikat.
Kalau kaolinit yang
dominan termasuk kategori sedang, maka kadang-kadang
tanah
itu kahat silikat, tetapi apabila montmorilonit dominan maka
.
tanaman selalu berkadar silikat tinggi.
Menurut Beckwith dan
( 1 9 6 3 ) serta Mc Keague d a n Cline (1963b) pepmukaan ok-
Reeve
sida A 1 dan Fe lebih reaktif dibandingkan dengan permukaan
mineral liat.
Pada tingkat penghabluran yang sama, A1 oksida
lebih reaktif dibandingkan dengan F e oksida (Jones dan
Handreck, 1965).
Selanjutnya Gallez et al..
( 1 9 6 7 ) dengan
mengukur indeks kereaktifan silikat (IRS), yaitu persentase
silikat yang hilang dalam larutan yang dicampur dengan tanah
selama waktu tertentu, mendapatkan urutan ISR; kaolinit < <
goetit
< < gibsit.
Dengan demikian, tanah yang kaya gibsit
akan lebih banyak mengerap Si.
Mc Phail et a].,
( 1 9 7 2 ) mengemukakan bahwa dafam sistem
tanah secara alami yang mengandung oksida-oksida A1 d a n Fe
serta S i dalam larutan tanah, oksida tkrsebut kemungkinan besar mengandung sejumlah S i terjerap dan jumlahnya mungkin dipengaruhi oleh tingkat penghablurannya.
Dikemukakan bahwa
jumlah S i yang dapat diserap adalsh terbatas.
Penaaruh Terak Terhadap Ciri Tanah
Sejak terak menarik perhatian sebagai salah satu bahan
pupuk danfatau perbaikan tanah, penelitian intensif telah dilakukan dan alasan-alasan terjadinya tanggapan tanaman juga
telah banyak diajukan.
Salah satu alasan yang dikemukakan
adalah pengaruh positif dari terak terhadap beberapa ciri tanah
.
Beberapa peneliti menduga pengaruh terak terhadap ciri
tanah berasal dari silikat yang dikandung terak d a n dengan
demikian terak dipandang sebagai sumber Si (Mc George, 1924;
Suehisa, Younge, dan Sherman, 1963; Fox et al.,
1967a; 1969;
Silva, 1971; 1973; Plucknett, 1972; Khalid, Silva, dan Fox,
1978; Oota, 1979).
Peneliti lain menganggap terak sebagai
bahan masukan yang dapat memperbaiki keadaan ketersediaan hara atau sebagai bahan yang mempunyai pengaruh mirip dengan
kapur disebabkan kandungan Ca dari terak yang cukup tinggi
(Schollenberger, 1921; Barnette, 1924; Taylor, 1961; Sherman
e t al.,
1964; Silva, 1971; 1973).
Silva (1971; 1973) yang mengulas beberapa pustaka dan
data yang tidak diterbitkan mengemukakan bahwa secara umum
tanggapan terhadap terak telah dilaporkan untuk tanah-tanah
tropik yang telah terlapuk fanjut dan tercuci hebat dengan
pH. Si tersedia, KB, dan nisbah SiO~/sesquioksidarendah.
Akhir-akhir-ini ada petunjuk bahwa tanggapan itu disebabkan
ofeh pengaruh Si dan Ca dari terak dalam tanah maupun tanaman.
Pengaruhnya di dalam tanah meliputi peningkatan keter-
sediaan P, penyediaan Ca. pH, KTK, dan penurunan kadar unsurunsur yang meracuni tanaman.
Roy, Ali., Fox. dan Silva (1971)
melaporkan bahwa pemberian silikat pada beberapa Latosol
Hawaii menurunkan kebutuhan P sebanyak 9 hingga 43 persen untuk mencapai P larutan tanah sebesar 0.2 ppm.
Penurunan ter-
besar terjadi pada sistem kaolinit dan terkecil pada sistem
oksida terhidrasi,
Fosfor terekstraksi ternyata meningkat
dengan meningkatnya takaran silikat yang diberikan pada awal.
Dari percobaan terak pada tanah Gibsihumox di Hawaii terlihat
bahwa pemberian 9 ton/ha terak bersama 110 kg/ha P pada saat
tanam menurunkan kebutuhan P sebesar 500 kg/ha.
Artinya, ji-
ka pemupukan P tidak disertai pemberian terak diperlukan pupuk P yang lebih banyak pada tanah tersebut untuk mencapai
sil yang sama.
Lebih jauh dikemukakan bahwa pemberian te-rak
pada tanah-tanah yang kahat P walaupun tidak kahat silikat,
ternyata meningkatkan produksi bahan kering tebu.
Peningkat-
a n hasil itu berkaitan dengan perbaikan nutrisi fosfor.
Silva ( 1 9 7 1 ) dalam ulasannya mengemukakan bahwa mekanisme tanah dalam peningkatan pertumbuhan yang melibatkan Si
adalah peningkatan kelarutan dari P tererap,
menurunkan
pengikatan P, meningkatkan KTK, dan menurunkan kepekatan Al,
Fe, M n , dan meningkatkan penyediaan Ca. Dikemukakan bahwa secara keseluruhan pengaruh pemberian Si atas erapan P mungkin
dapat diterangkan dengan { I ) interaksi senyawa-senyawa Si dengan tapak erapan dan atau ( 2 ) inaktifasi A1 dan F e melalui
pembentukan senyawa-senyawa tidak larut dengan Si.
Hasil pe-
nelitian Agus Pramono ( 1 9 8 1 ) pada Podzolik Baturaja di
Sumatera menunjukkan bahwa pemberian terak baja secara nyata
meningkatkan KTK dan mengurangi ketersediaan Cu, serta cenderung meningkatkan ketersediaan Ca, K, dan Si.
Dari telaahan
pustaka diketahui bahwa pemberian Si (terak) meningkatkan ketersediaan P tanah ( M c George, 1924; Okuda dan Takahashi,
1964; Fox et al.,
1967b; Plucknett, 1972), menurunkan kapasi-
tas pengikatan P (Reinfenberg dan Buckwold, 1954; Suehisa et
a l . , 1963; Fox et al.,
1967b), dan memperbaiki
sehingga P mudah diserap tanaman (Silva, 1971).
lingkungan
Interaksi P dan Si
sulit dijelaskan disebabkan rumitnya
reaksi jerapan yang terjadi pada permukaan jerapan.
Beberapa
kar mengemukakan bahwa kedua anion tersebut mempunyai kesamaan kimiawi (Silva, 1971) dan sangat mungkin keduanya dijerap pada tapak yang sama (Deb dan De Datta, 1967ab; Obihara
dan Russel, 1972).
Selanjutnya Rajan dan Fox (1975) menge-
mukakan bahwa jerapan P melalui reaksi pertukaran dengan Si
terjerap pada keadaan kepekatan P rendah dan dengan Si dalam
struktur liat pada kepekatan P tinggi.
(1959) yang meneliti
Raupach dan Piper
interaksi Si dan P pada tanah Lateritik
di Australia mendapatkan pengaruh Si terhadap ketersediaan P
sangat rendah d a n tidak konsisten.
langsung selama satu kali tanam.
Pengaruhnya hanya berMereka menyimpulkan bahwa
Si tidak mempengaruhi reaksi pengikatan P tetapi agaknya mempengaruhi konstanta keimbangannya.
Dalam kaitannya dengan
kemasaman, Deb dan De Datta (1967ab) mengemukakan bahwa pengaruh Si terhadap ketersediaan P lekiih besar pada tanah yang
bereaksi masam.
Sedangkan Obihara dan Russel (1972) dari pe-
nelitian mereka terhadap persaingan jerapan antara Si dan P
pada Alfisol Nigeria dan Ultisol dari Malaya menunjukkan bahwa Si tidak dapat menekan P terjerap selama pH lebih dari
6.5.
Akan tetapi jerapan P menekan jerapan Si pada semua
tingkat pH.
Hasil penelitian pada berbagai, tanah masam di
Indonesia (Djokosudardjo, 1982) menunjukkan bahwa pemberian
CaSiOs dapat menurunkan jerapan P dalam tanah.
Ia juga me-
nunjukkan bahwa CaSiOs lebih efektif menurunkan jerapan P
dibandingkan dengan kapur (CaCOz).
Selanjutnya dikemukakan
bahwa tanah alami mempunyai tapak jerapan sebanyak d u a hingga
tiga tapak dengan nilai konstanta energi yang berbeda-beaa.
Nilai konstanta energi tapak pertama adalah lebih tinggi dari
pada yang kedua han ketiga.
~ e n g a r u h . ~ a ~terhadap
i~s
jerapan
P diduga melalui reaksi' pertukaran antara HaPo. dengan HzSiOa
pada tapak-tapak jerapan tersebut.
Dari analisis "crop log" (Clements, 1965) secara umum
dapat disimpulkan bahwa pengaruh rangsangan dari pemberian Si
( t e r a k ) terhadap pertumbuhan tebu erat kaitannya dengan pengayaan P.
Hasil penelitian Monteith d a n Sherman ( 1 9 6 3 ) yang
membandingkan pengaruh kapur d a n terak menunjukkan bahwa ked u a perlakuan meningkatkan kadar Ca tanaman, tetapi hanya terak yang meningkatkan produksi.
Dalam ha1 ini mereka mendu-
ga, Penyediaan C a yang cukup bukanlah faktor penyebab peningkatan faktor produksi.
Hasil yang eama dikemukakan oleh
Ayres (1966).
Pengaruh terak terhadap unsur mikro telah dilaporkan oleh Clements et a1.,(1967, dalam Silva, 1971).
Fakta-fakta
waktu itu menunjukkan bahwa fungsi terak same baiknya dengan
kapur dalam menunjang pertumbuhan tebu melalui penekanan uns u r beracun dalam tanah lewat pengendapan.
Mereka mendapat-
k a n peningkatan produksi rumput sudan fSorghum sudanense
P. S t a p f ) dalam pot yang mengandung takaran meracuni dari Mo,
B , C u , Fe. Mn. Zn, dan A1 baik dengan penambahan kapur maupuu
terak.
Dari penelitian terpisah diketahui bahwa pemakaian
terak di samping menekan keracunan A1
(Monteith dan Sherman.
1 9 6 3 ; Suehisa et al., 1963) juga menurunkan keracunan F e
(Okuda dan Takahashi, 1964; Fox et al.,
1967b; Lewin dan
Reimann, 1969; Horst dan Marschner, 1978).
Tanggapan Tanarnan Terhadaw
Pemberian Terak Baja
Sejumlah penelitian tentang pemakaian terak telah dilakukan pada beberapa jenis tanaman d i berbagai tempat dengan
hasil yang memuaskan.
bahwa terak
Hasil penelitian pada tebu menunjukkan
tidak hanya memperbaiki pertumbuhan dan mening-
katkan produksi tanaman pertama, tetapi juga pada keprasan
pertama dan kedua, bahkan sampai beberapa tahun kerudian
(Sherman et al..
1964; Clernents. 1965; Fox et e l , , 1967a;
Silva, 1971; Plucknett, 1972; Khalid et al.,
1978; Elawad,
Gascho, dan Street, 1982a; Elawad, Street d a n Gascho, 1982b).
Hasil serupa pada tebu diperoleh pula pada r u e p t S o r g h u m
sudanense P. Stapf {Monteith dan Sherman, 1963; Sherman,
1969). padi {okuda d a n Takahashi, 1964; Yoshida,
1979; Soepardi, 1981). kacang merah
dan Marschner,
1978) barley
1975; Oota,
(Barnette, 1924; Rorst,
( H o r d e u r n v u i g a r e L.)(Schollen-
berger, 1920; Barnette, 1924; Bollard dan Butler, 1966).
Plucknett ( 1 9 7 2 ) dafam mengulas berbagai pustaka yang
menyangkut pemakaian terak, mengemukakan sejualah tanaman
lain yang telah diteliti antara lain pisang, pepaya, nenas,
jagung sayur-sayuran d a n rumput-rumputan.
Selanjutnya Silva
( 1 9 7 3 ) melaporkan kisaran kenaikan produksi yang dicapai pada
berbagai species tsnaman d i beberapa negara.
Di Hawaii
diperoleh kenaikan produksi tebu dan gula sebesar 10 hingga
5 0 persen. di Mauritius dan Puerto Rico sekitar 5 hingga 3 5
persen.
Beberapa tanaman rumput-rumputan lain seperti sor-
ghum, gandum, d a n jagung memberikan tanggapan antara 5 dan 9 0
persen dalam pot dan sejumlah rumput makanan ternak dapat
mencapai kenaikan antara 5 hingga 200 persen.
Di samping itu
tanaman bukan rumput-rumputan seperti alfalfa (Medicago
Sativa L . ) ,
kacang merah, tomat, pepaya, d a n lain-lain dalam
percobaan pot diperoleh kenaikan produksi bahan kering antara
20 hingga 100 persen.
Di Indonesia, tanggapan terhadap pemberian terak telah
dilaporkan pada tanaman padi dan beberapa jenis sayuran.
Be-
berapa penelitian pada tanaman padi dengan kondisi yang berbeda menunjukkan hasil yang masih beragam.
pada tanah Organik
(Sri Djuniwati,
Pemberian terak
1979) cenderung mening-
katkan bobot padi serta ~ e n u r u n k a nkadar N jerami d a n akar.
Sebaliknya pemberian nitrogen saja cenderung eenurunkan kadar
SiOz jerami d a n akar.
Hasil penelitian Mubekti
( 1 9 8 0 ) pada
tanah mineral menunjukkan bahwa pemberian terak dapat mencegah penurunan kadar SiOa dalam tanaman padi akibat pemupukan
NPK berat.
Selanjutnya Yudho Sugiyarto (1980) menyimpulkan
bahwa pemberian terak pad-
Latoeox Dartaaga tidak berpengaruh
pada komponen pertumbuhan dan produksi padi gogo varietas
Gati.
Hasil yang serupa diperoleh Agus Sudarsono ( 1 9 8 1 ) pada
Podzolik Merah Kuning Baturaja, Sumatra Selatan.
Nangkulo
Akan tetapi
( 1 9 8 0 ) dari penelitiannya pada Podzolik Merah Kuning
Baturaja itu menyimpulkan bahwa pembefian terak tireningkatkan
tinggi tanaman, persentase anakan produktif, tetapi tidak
berpengaruh pada bobot kering jerami, akar, dan gabah padi.
Soepardi (1981) melaporkan bahwa pemberian terak sebanyak
1 ton/ha telah dapat meningkatkan pertumbuhan dan seraphn
hara tanaman padi varietas IR-30.
Selanjutnya
dikemukakan
bahwa dalam penelitian tersebut, pengaruh terak baja menjadi
sangat nyata apabila tanaman padi dipupuk NPK berat.
Kemu-
dian Naim (1982) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
peningkatan takaran hingga 366 kg/ha SiOz meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi.
Tanggapan tanaman sayuran ter-
hadap pemberian terak telah dilaporkan oleh Suwandi dan
Soepardi (1981).
Mereka mengemukakan bahwa pemberian terak
pada tomat, kentang dan kubis yang ditanam di Andosol Lembang
berpengaruh terhadap hasil dan mutu buah, umbi, atau krop masing-masing tanaman.
terak sudah mencukupi.
Dikemukakan bahwa takaran 3.5 ton/ha
Selanjutnya dikemukakan bahwa walau-
pun bobot total tomat tidak dipengaruhi oleh terak, tetapi
'ternyatemutunya dapat diperbaiki.
Pada tanaman kentang dan
kubis ternyata terak dapat meningkatkan produksi dan autu,
sedangkan kacang jogo sama sekali tidak tanggap terhadap terak baja.
Hasil penelitian di Hawaii menunjukkan bahwa tanggapan
tanaman terhadap terak lebih baik dibandingkan terhadap kapur
( C a C O * ) pada tanah yang telah terlapuk lanjut dengan alumini-
um bebas, oksida besi dan titanium, serta unsur meracuni lain
yang tinggi.
Penggunaan kapur pengaruhnya sangat tidak me-
nentu dan tidak lama, bahkan sering nenurunkan produksi
.
(Monteith dan Sherman. 1963; Suehisa et al..
al.,
1964; Clements,
1963; Sherman et
1965; Sherman, 1969; Plucknett, 1972).
Kesimpulan yang sama diperoleh di Afrika Selatan (Du Preez,
1970).
Clements ( 1 9 6 5 ) menyimpulkan bahwa pemberian terak kelihatannya memperbaiki mutu, sedangkan pengapuran menurunkan
mutu gula.
Hasil penelitian Fox et al., (1967a) menunjukkan
bahwa pemberian kapur justru menurunkan produksi hablur.
Dengan masukan 4.5 ton/ha kapur dan 1 120 kg/ha P dicapai
produksi gula 20.7 ton/ha, tetapi lebih rendah dibandingkan
23.1
pur.
ton/ha gula pada pemberian hanya 280 kg/ha P tanpa kaSedangkan pada perlakuan 4.5
ton/ha terak dengan 280
dan 1 120 kg/ha P dicapai produksi gula masing-masing
dan 32.7 ton/ha.
31.6
Hasil penelitian mereka sebagai contoh
pengaruh pemberian terak d a n kapur terhadap produksi tanaman
tebu disajikan dalam Tabel 1.
Tanggapan tanaman terhadap peaberian terak tergantung
dari keadaan tanah sebelumnya.
Hasil percobaan Allorerung
(1982) pada Latosol Subang di dua lokasi menunjukkan bahwa
kenaikan produksi tebu dan hablur pada tanaman pertama lebih
besar pada tanah yang bereakai lebih aasam, kadar d a n kejenuhan A1 lebih tinggi, dan
2).
jtrmiah
h s a lebih rendeh (Tabel
Diduga tanggapan terhadap pemberian terak lebih dise-
babkan oleh kemampuan terak memperbaiki keadaan lingkungan
dan/atau meningkatkan ketersediaan berbagai hara dalam tanah
bagi tanaman dari pada pengaruh tunggal unsur bawaan terak.
Tabel 1.
Produksi Tebu yang Dipengaruhi Terak,
Kapur, dan Fosfor (Fox et al., 1967a)
............................................................
Produka i
Perlakuan
CaCO 3
(coral)
CaSiOs
(TVA Slag)
P
Hablur
(Pol. )
Tebu yang dapat
digiling
............................................................
......(ton/ha)... . . .
kg/ha
.......... (ton/ha).. ........
Dalam keadaan pel-cobaan ini, kadar Si dan C a baik dalam tanah
maupun tanaman, belum termasuk kategori kahat.
Dari suatu penelitian lain pada Latosol Feruginus Aluminus, Plucknett (19721 melaporkan adanya peningkatan produksi secara konsisten dengan meningkatnya takaran terak
dari 0 (nol) hingga 18 ton/ha.
Sherman et al., (1964) men-
dapatkan peningkatan produksi tebu dari tanaman pertama dan
keprasan pertama sebesar 12.6
sebanyak 15.6 ton/ha.
(Elawad et al.,
ton/ha dengan pemberian terak
Hasil penelitian dari Florida
1982a) menunjukkan bahwa pemberian bahan-
bahan yang mengandung Si yaitu terak TVA, terak Florida, dan
semen Portland meningkatkan pertumbuhan dan produksi tebu
tanaman pertama dan keprasan pertama.
Tabel 2.
Pengaruh Pemberian Terak pada Latosol
Subang (Manyingsal d a n Pasir Bungur)
terhadap Rata-rata Bobot Tebu
.............................................................
Perlakuan
Terak
Menyingsal
Bobot tebu
-
Pasirbungur
......................
.....................
Hablur
Bobot tebu
Hablur
ku/ha
ton/ha
ku/ha
.............................................................
ton/ha
ton/ha
.............................................................
*
nyata pada uji t = 0.05;
+
nyata pada uji t = 0.10
Pemberian 15 ton/ha terak meningkatkan produksi tebu
yang dapat digiling dan hablur berturut-turut sebesar 68 d a n
79 persen pada tanaman pertama serta 125 d a n 129 persen pada
tanaman keprasan pertama.
Walaupun ketiga surnber Si tersebut
tidak menunjukkan perbedaan nyata, peningkatan tebu dan hablur terbesar diperoleh.dari pemberian terak Florida.
Mereka
menduga bahwa peranan utama Si dalam pertumbuhan tebu adalah
meningkatkan wkuran batang d a n jumlah anakari tebu.
Beberapa hasil penelitian penggunaan terak dibandingkan
dengan kapur yang dilakukan di Hawaii, teLah menarik perhatian pekebun-pekebun tebu di Hawaii
(Clements, 1965).
Suatu
penelitian yang membandingkan kontrol dengan 5.6 ton/ha terak
d a n 4.5
ton/ha batu kapur memberikan hasir maging-masing
27.75. 34.25.
dan 2 7 ton/ha hablur pada tanaman pertama aerta
masing-masing
29.5,
pertama.
37.75, dan 29 ton/ha hablur pada keprasan
Ternyata produksi hablur tanaman pertama menurun
sebesar 0.75
ton/ha akibat pemberian kapur, sedangkan dengan
pemberian terak meningkat sebesar 7.25
ton/ha.
Pemberian terak dengan takaran tinggi pada tebu dan rumput Sorghum s u d a n e n s e P-Stapf., (Monteith dan Sherman, 1963)
ternyata tidak memberikan pengaruh merugikan, sedangkan dengan pengapuran berat ternyata menurunkan hasil.
Namun de-
mikian, mereka tidak dapat memastikan alasan terjadinya tanggapan tanaman.
Mereka mendapat hubungan peningkatan serapan
fosfor dengan pemberian terak, tetapi ha1 yang sama juga terjadi pada pemberian kapur, karena baik silikat maupun karbonat mampu menggantikan fosfat yang terjerap.
Di samping itu
kedua perlakuan tersebut menurunkan ketersediaan Mn, Fe, dan
A1 aktif dalam tanah.
Mereka mendupa perbedaan tanggapan
tanaman disebabkan oleh jangka waktu pengaruh kedua bahan
tersebut atas sifat-sifat kimia dan fisik yang mempengaruhi
ketersediaan unsur hara, tingkat keracunan, dan keadaan lingkungan tanah yang berpengaruh atas peranan metabolik tsnaman.
Ternyata kehilangan C a melalui pencucian lebih besar pada tanah yang dikapur dibandinpkan yang diberi terak.
Kendati de-
mikian, mereka percaya bahwa perbaikan pertumbuhan dan produksi terutama disebabkan oleh peningkatan ketersediaan fosfor d a n penurunan keracunan Al.
Silva (1911) dalar ulasannya
meyimpulkan bahwa berdasarkan data yang ada, terdapat kesan
yang cukup kuat kalau Si, setidak-tidaknya untuk sebagian
adalah sumber terjadinya tanggapan.tanaman terhadap pemakaian
terak.
Di lain pihak Ali
(1966, 'dalam Silva, 1971) menyim-
pulkan dari penelitian pot, bahwa terjadinya tanggapan tanaman tebu terhadap pemakaian terak mungkin tidak semata-rnata
berasal dari Si karena tanaman kontrol juga tidak kekurangan
Si.
Penelitian dengan tanah dari sepuluh tempat berbeda d i
Jawa Barat yang mempunya'i kadar SiOs terekstrak antara 61 dan
186 ppm (Soepardi, 1981) diperoleh hubungan yang erat antara
silikat terekstrak dalam tanah dengan pertumbuhan dan serapan
hara tanaman padi.
Makin tinggi silikat terekstrak makin ba-
ik pertumbuhan dan serapan hara utama tanaman padi.
jutnya Naim
Selan-
(1982) menunjukkan bahwa pemberian Si (ailika
gel) pada lengas tanah kapasitas lapang meningkatkan serapan
Si dan unsur hara utama padi seperti N.
Fox e t al.,
P, K, Ca, dan Mg.
(1967a) mengemukakan bahwa kelihatannya
tanggapan tanaman terhadap silikon tidak berasal dari pengayaan P, karena peningkatan takaran P sampai empat kali
lipat hanya sedikit pengaruhnya terhadap produksi.
Pada
takaran terak yang sama ( 4 - 5 ton/ha) dicapai produksi hablur
masing-masing
31.6
ton/ha pada pemberian 280 kg/ha P diban-
-dingkan dengan 32.7 ton/ha pada takaran 1 120 kg/ha P (lihat
Tabel 1).
Di lain pihak Su&hisa
et al.,
(1963) menyimpulkan
bahwa pemberian natrium metasilikat ae'ningkatkan serapan P
baik pada perlakuan dengan atau tanpa P.
Dengan demikian
berarti peningkatan hasil berhubungan dengan pengayaan P.
Hasil penelitian Clements
(1965) wenunjukkan bahwa pemupukan
P akan lebih efisien jika dibarengi dengan pemberian
terak.
Produksi hablur relatif tidak berbeda antara perlakuan tanpa
dan dengan 224.2 kg/ha P , tetapi bila dikombinasi dengan terak sebanyak 2.8, 5.6, dan 11.2
tonrha memberikan peningkatan
produksi hablur masing-masing
ton/ha.
sebesar 2.5,
Menurut Okuda dan Takahashi
6.25, dan 7.25
(1964) kelihatannya
pengaruh pemberian Si tcdak dihasilkan dari penggunaan Si
oleh tanaman yang dapat menggantikan ion fosfor, sebagaimana
dipercaya sebelumnya, tetapi terutama dari kemampuan ion silikat menggantikan ion fosfat yang terjerap dalam tanah sehingga jumlah P tersedia meningkat.
Kemudian Silva ( 1 9 7 1 ) dalam mengulas sejumlah pustaka
mengemukakan bahwa pengaruh S i terhadap pertumbuhan tanaman
berasal dari reaksi unsur tersebut dengan P dalam tanah dan
tanaman.
Dikemukakan bahwa mekanisme yang melibatkan Si bagi
peningkatan pertumbuhan tanaman adalah peningkatan serapan P
oleh akar, meningkatnya angkutan P dari akar, meningkatnya
keefisienan pemakaian P oleh tanaman, dan memperbaiki keimbangan hara dalam tanarnan.
(1966) berpendapat bahwa peningkatan serapan P
Ayres
oleh tanaman tebu, kelihatannya lebih berkaitan dewan peningkatan produksi tebd karena pemakaian terak.
Dengan de-
mikian, yang terjadi adalah peningkatan serapan P karena
produksi tinggi lebih mungkin dibandingkan peningkatan produksi karena peningkatan serapan P.
Di lain pihak Teranishi
(1968, dalam Silva, 1971) menyimpulban bahwa peningkatan serapan P mungkin disebabkan oleh kenaikan produksi tebu pada
peningkatan takaran S i pertama,
berikutnya.
Teranishi
Selanjutnya Ali
tetapi tidak untuk takaran
(1966. dalam Silva.
1971) dan
(1968, dalam Silva, 1971) menyatakan terdapat kesan
32
*
bahwa Si dalam berbagai cara meningkatkan keefisienan pemakaian P oleh tanaman.
Diperlihatkan bahwa walaupun kadar P
pelepah daun sama, hasil yang lebih tinggi dicapai pada perlakuan dangan Si dibandingkan tanpa Si.
Sebagai contoh, di-
kemukakan bahwa pada kadar P yang aama (800 ppm) diperoleh
hasil 141 ton/ha tebu jika tanpa Si kurang dibandingkan 157
ton/ha tebu pada perlakuan 8 3 0 kg/ha Si.
Menurut mereka ini
merupakan petunjuk adanya penurunan kebutuhan P dalam tanaman, yang berarti dengan suatu cara pemakain P lebih efisien
pada tanaman yang diberi Si.
Penihgkatan serapan P oleh akar dari sejumlah tanaman
telah ditunjukkan oleh Roy
percobaan larutan hara.
(1969, dalam Silva, 1971) dalam
Dengan teknik akar terpisah, d i a
meneliti pengaruh interaksi P dan silikat dari beberapa species tanaman.
Dia mendapatkan bahwa silikat yang diberikan
bersama-sama P, meningkatkan serapan fosfor oleh akar tanaman
yang menimbun lebih banyak silikat.
Berdasarkan itu ia me-
nyimpulkan bah'wa pengaruh interaksi P dan Si adalah lebih
merupakan sifat species atau menyangkut metabolisme P dibandingkan gejala tunggal serapan.
Penjelasan lain terhadap ge-
jala tersebut dikernukakan oleh Akhromeiko's
Silva, 1971)
(1934, dalam
yang mendapatkan sol SiOz dapat meningkatkan
laju difusi P lewat membran koloidal.
Dikemukakan bahwa Si02
yang tertimbun pada akar tanaean akan meningkatkan permukaan
serapan akar dan dengan demikian mampu menyerap P lebih banyak.
Elawad et a].,
-(1982b) menyimpulkan bahwa peningkatan
kadar P daun dalam percobaan mereka tidak dihasilkan dari pelarutan atau pembebasan P tanah oleh Si, tetapi disebabkan
oleh jumlah dan pelarutan P yang diberikan sebagai pupuk.
Pengaruh terak terhadap serapan atau kadar unsur hara
lain dalam tanaman tebu, juga telah banyak dilaporkan.
Clements (1965) menyaksikan terjadinya penurunan tajam kadar
Mn dan nisbah Mn
karat
( p p m ) / S i O ~ ( X ) pelepah daun serta becak-
(freckle) pada daun menyusul pemberian terak baja.
Perlakuan dengan CaC03 juga menurunkan kadar Mn, tetapi kurang efektif menurunkan nisbah Mn/SiOz dibandingkan terak.
Nisbah antara 3 0 hingga 50 dianggap cukup baik, d i mana becqk
karat dapat diabaikan.
Dalam penelitian Fox et al.,
(1967a)
ditemukan satu tempat di mana nisbah Mn/SiOp dalam daun tebu
sebesar 4 8 tetapi masih menunjukkan becak-karat
yang hebat.
Di tempat lain diperoleh nisbah sebesar 6 5 , e t a p i tanaman
tidak menunjukkan gejala.
Kenudian hasil penelitian ELawad
et al,, (I982b) menunjukkan bahwa pemberian 15 ton/ha terak
atau semen menurunkan becak-karat
masing-masing
sebesar 41
dan 47 persen pada tanaman pertama dan keprasan pertama.
Dalam ha1 ini terjadi penurunan nisbah Mn/SiOz masing-masing
dari 42.13
25.25
ke 14.40 pada tanaman pertama dan dari 115.15
pada keprasan pertalea.
rak terhadap becak-karat
belum konsisten.
Jadi kelihatannya pengaruh te-
jika dikaitkan dengan nisbah Mn/Si02
Narnun deanikian, Clenrents (1965) menyatakan
bahwa kalau pemakaian silikon dapat mencegah becak-karat
becak-coklat
ke
dan
(bronzing) pada daun tebu, seharusnya silikat
mempunyai
fungsi fisiologik dalam mencegah penimbunan pada
bagian-bagian tertentu ion-ion yang menyebabkan becak-becak
nekrosis
.
Perbaikan kekurangan Ca karena pemakaian terak diduga
merupakan salah satu sebab meningkatnya produksi
1971).
(Silv