Respon Akar Terhadap Cekaman Salinitas Dan Isolasi Gen Sinac065 Pada Empat Genotipe Hotong [Setaria Italica (L) Beauv]
RESPON AKAR TERHADAP CEKAMAN SALINITAS DAN
ISOLASI GEN SiNAC065 PADA EMPAT
GENOTIPE HOTONG [Setaria italica (L.) Beauv]
NIKE KARJUNITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Respon Akar terhadap
Cekaman Salinitas dan Isolasi Gen SiNAC065 pada Empat Genotipe Hotong
[Setaria italica (L.) Beauv]” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Nike Karjunita
NIM A253130141
RINGKASAN
NIKE KARJUNITA. Respon Akar terhadap Cekaman Salinitas dan Isolasi Gen
SiNAC065 pada Empat Genotipe Hotong [Setaria italica (L.) Beauv]. Dibimbing
oleh SINTHO WAHYUNING ARDIE dan NURUL KHUMAIDA.
Cekaman salinitas telah mempengaruhi sekitar 19.5% lahan pertanian
beririgasi di dunia dan merupakan salah satu masalah pada lahan pasang surut di
Indonesia yang luasnya mencapai 20 juta ha. Foxtail millet (Setaria italica L.
Beauv) atau yang dikenal sebagai hotong merupakan salah satu tanaman yang
potensial dikembangkan pada lahan salin karena toleransinya yang cukup baik
terhadap cekaman salinitas. Walaupun cukup toleran terhadap cekaman salinitas,
taraf toleransi hotong terhadap cekaman tersebut dilaporkan bervariasi antar
genotipe. Perbandingan respon antara genotipe toleran dan peka terhadap
cekaman salinitas dapat mengidentifikasi karakter penting, baik morfologi,
anatomi, fisiologi dan molekuler pada kondisi cekaman tersebut.
Akar merupakan organ tanaman yang pertama kali terpapar cekaman pada
cekaman salinitas dan modifikasi akar merupakan respon yang menentukan
toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas. Respon tanaman secara anatomi
dan morfologi terhadap cekaman salinitas ditentukan oleh sejumlah gen regulator
(regulatory genes) yang disebut faktor transkripsi. Faktor transkripsi dari famili
gen NAC (NAM, ATAF, CUC) merupakan salah satu faktor transkripsi yang
terlibat erat dalam respon terhadap cekaman salinitas dan pembentukan akar
lateral melalui lintasan sinyal etilen dan auksin.Gen SiNAC065 telah diisolasi dari
tanaman hotong dan ekspresinya dilaporkan terinduksi oleh cekaman salinitas
dan oleh aplikasi etilen eksogen. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah
(1) mempelajari respon anatomi, morfologi dan fisiologi tanaman hotong terhadap
cekaman salinitas, khususnya peran etilen dalam modifikasi karakter akar, dan (2)
mengisolasi dan mengkarakterisasi gen SiNAC065 terkait respon terhadap
cekaman salinitas pada genotipe hotong toleran dan peka salinitas. Penelitian ini
terdiri atas 2 percobaan. Percobaan 1 terdiri atas 2 sub percobaan, yaitu percobaan
1a terkait respon anatomi akar genotipe hotong toleran dan peka terhadap
cekaman salinitas, dan percobaan 1b terkait respon genotipe hotong toleran dan
peka cekaman salinitas terhadap aplikasi regulator etilen eksogen. Percobaan 1
dilakukan di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan dan Laboratorium
mikroteknik AGH-IPB pada bulan Mei hingga Agustus 2015.
Percobaan 1a disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak
faktorial dengan 2 faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama merupakan genotipe
hotong yang terdiri atas 2 genotipe diduga toleran (ICERI-5 dan ICERI-6) dan 2
genotipe diduga peka (ICERI-4 dan ICERI-10). Faktor kedua adalah konsentrasi
NaCl yang terdiri atas 0, 60 dan 120 mM. Cekaman salinitas menyebabkan
perubahan anatomi akar hotong, yaitu peningkatan tebal epidermis, tebal korteks,
diameter akar, dan pertambahan jumlah rambut akar. Genotipe peka mengalami
peningkatan tebal epidermis, diameter akar dan jumlah rambut akar akibat
cekaman salinitas yang lebih tinggi dibandingkan genotipe toleran. Jumlah
protoxylem pada genotipe toleran meningkat akibat cekaman salinitas, sebaliknya
jumlah protoxylem menurun akibat cekaman salinitas pada genotipe peka. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sejumlah variabel anatomi akar mungkin
menentukan taraf toleransi hotong terhadap cekaman salinitas.
Percobaan 1b disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak
faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama merupakan konsentrasi NaCl yang
terdiri atas 0 dan 60 mM. Faktor kedua adalah regulator etilen yang terdiri atas
kontrol (tanpa regulator etilen), etilen eksogen (12 ppm etephon) dan inhibitor
aksi etilen (0.6µM AgNO3). Hasil percobaan menunjukkan bahwa interaksi antara
konsentrasi NaCl dengan regulator etilen berpengaruh terhadap tinggi tajuk,
jumlah daun, bobot kering tajuk dan pada beberapa variabel anatomi akar, yaitu
tebal korteks, diameter stele, diameter akar dan jumlah protoxylem. Aplikasi
etilen secara eksogen pada cekaman salinitas 60 mM semakin memperparah
dampak cekaman, dengan semakin terhambatnya pertumbuhan tinggi tajuk,
panjang akar dan berkurangnya bobot kering tajuk. Cekaman salinitas
menyebabkan peningkatan diameter akar dengan meningkatnya tebal epidermis,
tebal korteks dan diameter stele, sementara itu aplikasi etilen eksogen (12 ppm
etephon) dapat mempertahankan ukuran diameter akar, tebal korteks, dan
diameter stele seperti kondisi kontrol. Sebaliknya, aplikasi inhibitor etilen (0.6µM
AgNO3) menyebabkan peningkatan diameter akar yang signifikan pada masingmasing genotipe. Korelasi negatif nyata antara diameter akar dengan jumlah daun
dan bobot basah tajuk, menunjukkan bahwa semakin besar diameter akar
menyebabkan penurunan jumlah daun dan mengurangi bobot basah tajuk.
Aplikasi etilen eksogen lebih menekan tinggi tajuk pada genotipe peka (ICERI-4,
ICERI-10) dibandingkan pada genotipe toleran (ICERI-5 dan ICERI-6).
Percobaan 1 menunjukkan bahwa respon hotong terhadap cekaman
salinitas dipengaruhi oleh etilen. Gen SiNAC065 merupakan salah satu gen faktor
transkripsi yang ekspresinya terinduksi oleh cekaman salinitas dan aplikasi etilen
eksogen. Oleh karena itu, Percobaan 2, Isolasi gen SiNAC065 terkait respon
tanaman terhadap cekaman salinitas pada hotong, dilaksanakan di Laboratorium
Plant Molecular Biology, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB dan
Laboratory of Environmental Stress Tolerance Mechanisms, The University of
Tokyo. Materi genetik yang digunakan adalah empat genotipe hotong (ICERI-4,
ICERI-5, ICERI-6 dan ICERI-10). Fragmen berukuran ± 1300 pb telah
teramplifikasi dari DNA genom keempat genotipe hotong menggunakan primer
spesifik gen SiNAC065. Perunutan basa nukleotida menggunakan metode direct
sequencing pada keempat fragmen yang teramplifikasi dan analisis kesejajaran
menggunakan BLAST menunjukkan bahwa fragmen tersebut merupakan
homolog gen SiNAC065. Metode direct sequencing hanya dapat membaca
sebagian dari fragmen. Oleh karena itu, sub-cloning ke dalam plasmid pMD20
dilakukan agar sekuen full length dari keempat fragmen tersebut dapat diperoleh.
Hasil perunutan basa nukleotida pada fragmen yang diinsersikan ke dalam
pMD20 menunjukkan bahwa gen SiNAC065 yang diisolasi dari DNA genom
keempat genotipe hotong berukuran 1 265 pb. Gen tersebut memiliki satu intron
dan dua ekson. Gabungan antara kedua ekson merupakan coding sequence yang
menyandikan 325 asam amino. Pensejajaran asam amino hasil translasi fragmen
gen SiNAC065 dari empat genotipe hotong menunjukkan bahwa daerah
terkonservasi gen SiNAC065 berada pada asam amino ke 19-325 dan memiliki 8
motif terkonservasi. Berdasarkan motif terkonservasinya, SiNAC065 dari
genotipe ICERI-4, ICERI-5, ICERI-6, dan ICERI-10 termasuk ke dalam
kelompok gen SNAC (stress responsive NACs) yang terlibat dalam respon
terhadap cekaman abiotik.
Kata kunci : anatomi akar, cekaman abiotik, faktor transkripsi, famili gen NAC
SUMMARY
NIKE KARJUNITA. Responses of Root to Salinity Stress and Isolation of
SiNAC065 Gene from Four Foxtail millet [Setaria italica (L.) Beauv] Genotypes.
Supervised by SINTHO WAHYUNING ARDIE and NURUL KHUMAIDA.
Foxtail millet (Setaria Italica L. Beauv), also known as hotong in
Indonesian, is one of carbohydrate sources with a fairly good tolerance to salinity
stress. Salinity stress has affected about 19.5% of irrigated agricultural land in the
world and is one of the important crop production limiting factors in the tidal area
in Indonesia (approx. 20 million ha). Foxtail millet is also has high nutritional
values and it is potential to be developed as functional food. Although foxtail
millet has been considered as one of the salinity tolerant crops, the level of
tolerance was reported to be varied among genotypes. Comparison of response
between salt tolerant and salt sensitive foxtail millet genotypes to salinity stress
may identify important morphological, anatomical, physiological and molecular
characters under the stress condition.
Root is a plant organ that is first exposed to stress under salinity and root
modification is a response that determine crop tolerance to salinity stress.
Anatomical and morphological responses of plant to salinity are determined by a
number of regulatory genes called transcription factors. Transcription factor gene
family of NAC (NAM, ATAF, CUC) is a transcription factor that is tightly
involved in the response to salinity stress and in the formation of lateral roots
through ethylene and auxin signaling pathway. SiNAC065 gene has been isolated
from foxtail millet and its expression level was induced by salinity and by the
application of exogenous ethylene. Therefore the objectives of this study were (1)
to study the root anatomical, morphological and physiological responses of foxtail
millet genotypes under salinity, with the emphasize in the role of ethylene in the
root anatomy modification, and (2) to isolate and characterize the SiNAC065
genes from salinity tolerant- and salinity sensitive- foxtail millet genotypes.
The study consisted of two experiments. Experiment 1 consisted of two
sub-experiments, i.e Experiment 1a. Root Anatomical Responses of Salt-Tolerant
and Salt-Sensitive Foxtail Millet Genotypes under Salinity Stress, and Experiment
1b. Responses of Salt-Tolerant and Salt-Sensitive Foxtail Millet Genotypes to
Exogenous Application of Ethylene Regulators under Salinity Stress. Experiment
1 was conducted in a greenhouse at Cikabayan Experimental Field and in the
Microtechnique Laboratory AGH-IPB from May to August 2015.
Sub-experiment 1a was arranged in randomized completely group design
with two factors and three replications. The first factor was foxtail millet genotype,
consisted of two potentially tolerant genotypes (ICERI-5 and ICERI-6) and two
potentially sensitive genotypes (ICERI-4 and ICERI-10). The second factor was
NaCl concentration consisted of 0, 60 and 120 mM.Our results showed that salt
stress significantly induced some anatomical changes in the roots of foxtail millet
genotypes, i.e. increased epidermis and cortex thickness, increased root diameter,
and increased the number of root hairs. The increase in epidermis thickness, root
diameter and the number of root hairs due to the salt application were more
pronounced in the sensitive genotypes. While salt stress induced a significant
increase in the number of protoxylem in the tolerant genotypes, it significantly
decreased the number of protoxylem in the sensitive genotypes. The different
anatomical changes under salt stress between the tolerant- and sensitive genotypes
indicate that some anatomical attributes of the roots might determine the salt
tolerance level of foxtail millet.
Sub-experiment 1b was arranged in randomized completely group design
with two factors and three replications. The first factor was NaCl concentration
consisted of 0 and 60 mM. The second factor was exogenous ethylene regulator
application, consisted of control (without any exogenous ethylene regulator
application), ethylene releaser (12 ppm etephon) and ethylene inhibitor (0.6 μM
AgNO3). Our results showed that interaction between salt stress and exogenous
ethylene regulator application significantly affected plant height, number of
leaves, shoot dry weight and some root anatomy variables, such as cortex
thickness, stele diameter, root diameter and number of protoxylem. Exogenous
ethylene application (12 ppm ethephon) exacerbated the negative effect of salinity,
i.e. higher reduction of plant height, root length and shoot dry weight. Similar to
the results in Experiment 1a, salinity increased epidermis and cortex thickness and
root diameter; however, exogenous ethylene application (12 ppm ethephon)
inhibits the increase in those root anatomical variables. In contrast to exogenous
ethylene application, application of ethylene inhibitor (0.6 M AgNO3) induced a
significant increase in root diameter. Significant negative correlation was
observed between root diameter, number of leaves and shoot fresh weight,
indicating higher root diameter would reduce number of leaves and shoot fresh
weight. The plant height suppression due to exogenous ethylene application under
salinity stress was more pronounced in the sensitive genotypes (ICERI-4 and
ICERI-10) than in the tolerant genotypes (ICERI-5 and ICERI-6).
The first experiment showed that ethylene is involved in the response of
foxtail millet to salinity stress. Therefore, the Second Experiment, Isolation of
SiNAC065 Genes from Salt-Tolerant and Salt-Sensitive Foxtail Millet, was
conducted in the Laboratory of Plant Molecular Biology, Department of
Agronomy and Horticulture, IPB and in the Laboratory of Environmental Stress
Tolerance Mechanisms, The University of Tokyo. Fragments (+ 1300 bp) were
successfully amplified from the genomic DNA of four foxtail millet genotypes
(ICERI-4, ICERI-5, ICERI-6 and ICERI-10) using gene specific primer. Direct
sequencing of the four fragments and BLAST analysis confirmed that the four
fragments were SiNAC065 gene homolog. Since direct sequence method could not
read the full length sequence of the genes, the SiNAC065 fragments were subcloned into pMD20 plasmid and were further sequenced. Sequence analysis
results showed that the SiNAC065 genes isolated from ICERI-4, ICERI-5, ICERI6 and ICERI-10 genotypes were 1265 bp in length with one intron and two exons.
The two exons encode 325 amino acids with the conserved domain located
between amino acid 19-325. The SiNAC065 protein identified in this study have 8
conserved motives in the conserved region which categorized them as SNAC
(stress responsive NACs) orthologs that are involved in the abiotic stress
responses.
Keywords: abiotic stress, NAC gene family, root anatomy, transcription factor
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RESPON AKAR TERHADAP CEKAMAN SALINITAS DAN
ISOLASI GEN SiNAC065 PADA EMPAT
GENOTIPE HOTONG [Setaria italica (L.) Beauv]
NIKE KARJUNITA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Edi Santosa, SP MSi
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang berjudul
“Respon Akar terhadap Cekaman Salinitas dan Isolasi Gen SiNAC065 pada Empat
Genotipe Hotong [Setaria italica (L.) Beauv]” disusun sebagai salah satu syarat
kelulusan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih diberikan kepada komisi pembimbing, Dr Sintho
Wahyuning Ardie, SP MSi dan Dr Ir Nurul Khumaida, MSi. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada dosen penguji Dr Edi Santosa, SP MSi dan kepada
Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Dr Ir Yudiwanti
Wahyu EK, MS. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Tetsuo Takano
atas kesempatan menganalisis sebagian data molekuler di Laboratory of
Environmental Stress Tolerance Mechanisms, The University of Tokyo. Terima
kasih kepada yang tercinta kedua orang tua Ayahanda Karnaini Mochtar, AMa Pd
dan Ibunda Animas, SPd serta seluruh keluarga atas do‟a, restu dan motivasi
selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana di IPB. Kemudian ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar dan teknisi
laboratorium serta teman-teman S1, S2, S3 dan seluruh pihak yang telah ikut
mendo‟akan, mendukung dan memotivasi hingga terselesaikannya tesis ini.
Sebagian dari tesis ini telah dipresentasikan pada The International
Congress and General Meeting ISSAAS 2015 (Tokyo, 7 November 2015). Penulis
berharap semoga tesis ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan
berguna bagi para pembaca untuk penelitian kedepan.
Bogor, Juni 2016
Nike Karjunita
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Hotong [Setaria italica (L.) Beauv]
Cekaman Salinitas
Respon Anatomi Akar terhadap Cekaman Salinitas
Peran Etilen dalam Respon Tanaman terhadap Cekaman Salinitas
Faktor Transkripsi NAC
3 PERBEDAAN RESPON ANATOMI AKAR GENOTIPE
HOTONG [Setaria italica (L.) Beauv] TOLERAN DAN PEKA
CEKAMAN SALINITAS
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
4 RESPON GENOTIPE HOTONG TOLERAN DAN PEKA
SALINITAS TERHADAP APLIKASI REGULATOR ETILEN
SECARA EKSOGEN
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
5 ISOLASI GEN SiNAC065 PADA EMPAT GENOTIPE
HOTONG (Setaria italica L. Beauv)
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
vi
vii
viii
1
2
2
2
5
6
7
7
8
9
9
10
10
11
16
17
17
18
19
19
33
34
34
35
35
38
46
47
54
DAFTAR TABEL
1 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh konsentrasi NaCl dan genotipe
hotong terhadap variabel anatomi akar (5 HSP)
2 Tebal epidermis (TE), tebal korteks (TK), diameter akar (DA),
diameter metaxylem (DMX), jumlah protoxylem (ΣPX) dan jumlah
rambut akar (ΣRA) bibit hotong pada 0, 60, dan 120 mM NaCl pada 5
HSP
3 Korelasi antar variabel anatomi akar hotong
4 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh konsentrasi NaCl dan regulator
etilen terhadap variabel anatomi akar hotong pada 5 HSP
5 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh konsentrasi NaCl dan regulator
etilen terhadap pertumbuhan bibit hotong pada 14 HSP
6 Tebal epidermis (TE) dan jumlah protoxylem (ΣPX) bibit hotong pada
0 dan 60 mM NaCl pada 5 HSP
7 Hasil uji-t beberapa variabel anatomi akar hotong pada genotipe toleran
(ICERI-5 dan ICERI-6) dan peka (ICERI-4 dan ICERI-10) pada 14
HSP pada 60 mM NaCl
8 Rata-rata tinggi tajuk (TT), panjang akar (PA), jumlah daun (JD), bobot
basah tajuk (BBT), bobot basah akar (BBA), bobot kering tajuk (BKT),
bobot kering akar (BKA) 4 genotipe hotong pada konsentrasi NaCl (0
dan 60 mM) 14 HSP
9 Hasil uji-t pertumbuhan bibit hotong pada genotipe toleran (ICERI-5
dan ICERI-6) dan peka (ICERI-4 dan ICERI-10) pada 14 HSP pada 60
mM NaCl
10 Korelasi antar variabel pengamatan genotipe hotong toleran dan peka
cekaman salinitas
11 Tebal epidermis (µm), jumlah metaxylem, diameter metaxylem (DMX)
dan jumlah protoxylem (ΣPX) akar hotong pada 5 HSP
12 Hasil uji-t beberapa variabel anatomi akar hotong pada genotipe toleran
(ICERI-5 dan ICERI-6) dan peka (ICERI-4 dan ICERI-10) pada 14
HSP pada kontrol, 12 ppm etephon dan 0.6 M AgNO3 pada 60 mM
NaCl
13 Rata-rata tinggi tajuk (TT), panjang akar (PA), jumlah daun (JD), bobot
basah tajuk (BBT), bobot basah akar (BBA), bobot kering tajuk (BKT),
bobot kering akar (BKA) 4 genotipe hotong terhadap regulator etilen
saat 14 HSP
14 Hasil uji-t pertumbuhan bibit hotong pada genotipe toleran (ICERI-5
dan ICERI-6) dan peka (ICERI-4 dan ICERI-10) pada 14 HSP pada
kontrol, 12 ppm etephon dan 0.6 M AgNO3
15 Estimasi konsentrasi DNA genom 4 genotipe hotong berdasarkan
spektrofotometer
12
13
13
20
21
22
22
23
23
25
26
27
28
29
39
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir tahap penelitian respon anatomi akar dan isolasi gen
SiNAC065 pada genotipe hotong [Setaria italica (L.) Beauv] toleran
dan peka salinitas
2 Struktur biji hotong
3 Konvergensi jalur sinyal cekaman abiotik dan biotik
4 Penampang melintang akar bibit hotong 5 HSP
5 Keragaan ujung akar genotipe hotong toleran dan peka salinitas di
bawah perlakuan NaCl (0, 60, 120 mM)
6 Keragaan irisan melintang (±3 mm) dari ujung akar terpanjang
genotipe hotong toleran dan peka salinitas di bawah perlakuan NaCl
(0, 60, 120 mM)
7 Tebal epidermis(A), jumlah rambut akar (B), dan jumlah protoxylem
(C) pada genotipe hotong toleran (ICERI-5 dan ICERI-6) dan peka
(ICERI-4 dan ICERI-10) salinitas pada 0, 60 dan 120 mM NaCl
8 Keragaan irisan melintang (±3 mm) dari ujung akar terpanjang
genotipe hotong toleran dan peka salinitas pada konsentrasi NaCl 0
dan 60 mM NaCl pada 5 HSP
9 Tebal korteks (A), diameter stele (B),diameter akar (C), dan jumlah
protoxylem (D) pada genotipe hotong toleran (ICERI-5 dan ICERI-6)
dan peka (ICERI-4 dan ICERI-10) dengan konsentrasi NaCl (0 dan 60
mM) dan regulator etilen (+ET= +12 ppm etephon, +Ag+= + 0.6 µM
AgNO3) pada 5 HSP
10 Tinggi tajuk (A), jumlah daun (B), bobot kering tajuk (C) bibit hotong
terhadap konsentrasi NaCl dan aplikasi regulator etilen pada 14 HSP
11 Keragaan bibit hotong pada 14 HSP tanpa cekaman salinitas (0 mM
NaCl) dan dengan cekaman salinitas (60 mM NaCl)
12 Integritas pita DNA genom daun hotong genotipe ICERI-4, ICERI-5,
ICERI-6 dan ICERI-10
13 Visualisasi hasil elektroforesis amplifikasi random primer H5 pada 4
genotipe hotong
14 Elektroforegram produk amplifikasi PCR yang berasal dari DNA
genom 4 genotipe hotong, menggunakan pasangan primer SiNAC065
15 Hasil pensejajaran nukleotida SiNAC065 yang berasal dari genotipe
hotong ICERI-4, ICERI-5, ICERI-6, ICERI-10, dan SiNAC065 dari
genotipe Yugu1 (nomor aksesi GenBank: XM_004971405.1)
menggunakan CLUSTAL X (1.83)
16 Prediksi asam amino SiNAC065 dari hotong genotipe ICERI-4,
ICERI-5, ICERI-6 dan ICERI-10
17 Dendogram hasil filogenetik sekuen residu asam amino yang
diprediksi dari SiNAC065 genotipe hotong ICERI-4, ICERI-5, ICERI6, dan ICERI-10
4
6
8
11
12
14
15
30
31
32
33
38
39
40
42
44
45
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salinitas merupakan kondisi sub-optimal akibat akumulasi garam berlebih
pada tanah, seperti NaCl dan Na2SO4 (Li et al. 2006) sehingga menyebabkan
electrical conductivity (EC) > 4.0 dS.m-1 (Muscolo et al. 2011). Cekaman salinitas
telah mempengaruhi sekitar 19.5% lahan pertanian beririgasi di dunia (Koyro et al.
2012) dan merupakan salah satu masalah pada lahan pasang surut di Indonesia
yang luasnya mencapai 20 juta ha (Alihamsyah 2004). Salinitas menyebabkan
hambatan dalam pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Hasanuzzaman et al.
2013) akibat dampak negatif toksisitas ion, cekaman osmotik, cekaman oksidatif
dan defisiensi hara (Zhu 2007).
Foxtail millet (Setaria italica L. Beauv) atau yang dikenal sebagai hotong
merupakan salah satu tanaman yang potensial dikembangkan pada lahan salin
karena toleransinya yang cukup baik terhadap cekaman salinitas (Kafi et al.
2009). Selain toleransinya yang cukup baik pada cekaman salinitas, kandungan
nutrisi hotong yang tinggi menjadikan tanaman ini potensial sebagai pangan
fungsional. Biji hotong mengandung karbohidrat sebesar 72.8% (Cheng dan Dong
2010), yang setara dengan kandungan karbohidrat pada beras (80.4%) (Vaclavik
dan Christian 2003). Biji hotong juga dilaporkan memiliki indeks glikemik yang
rendah (Jali et al. 2012), serta kandungan antioksidan (Suma dan Urooj 2012) dan
protein (Amadou et al. 2013) yang tinggi. Protein yang diekstrak dari kulit biji
hotong dilaporkan berpotensi sebagai anti kanker usus (Shan et al. 2014).
Adaptasi yang baik pada lingkungan sub-optimal dan kandungan nutrisi yang
tinggi menjadikan hotong potensial sebagai sumber pangan alternatif. Walaupun
hotong dilaporkan memiliki adaptasi yang cukup baik terhadap salinitas (Kafi et
al. 2009), namun toleransi hotong terhadap salinitas bervariasi tergantung
genotipe (Krishnamurthy et al. 2014; Ardie et al. 2015).
Akar merupakan organ tanaman yang pertama kali terpapar cekaman pada
cekaman salinitas dan modifikasi akar merupakan respon yang menentukan
toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas (Julkowska et al. 2014). Cekaman
salinitas dilaporkan mempengaruhi arsitektur akar (Julkowska et al. 2014; Zhang
et al. 2015) dan anatomi akar (Muhammad et al. 1999; Akram et al. 2002;
Farhana et al. 2014). Perubahan arsitektur akar (Julkowska et al. 2014) dan
anatomi akar (Akram et al. 2002; Muscolo et al. 2004; Younis et al. 2013)
dilaporkan berasosiasi dengan toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas.
Etilen merupakan hormon penting dalam regulasi modifikasi karakter akar
(Smith dan Smet 2012) dan respon tanaman terhadap cekaman salinitas (Tao et al.
2015). Sejumlah studi menunjukkan bahwa produksi etilen yang tinggi diperlukan
untuk meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas (Cao et al.
2007; Ma et al. 2012; Ellouzi et al. 2014). Akan tetapi, sejumlah studi lainnya
melaporkan bahwa penekanan produksi etilen diperlukan untuk meningkatkan
toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas (El-Iklil et al. 2000; Chen et al.
2014). Tao et al. (2015) menduga bahwa etilen berperan penting pada respon awal
terhadap cekaman salinitas, akan tetapi produksi etilen secara berlebihan pada
2
tahapan selanjutnya dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan pada cekaman
salinitas.
Respon tanaman secara morfologi dan fisiologi terhadap cekaman salinitas
merupakan respon ikutan (down-stream responses) yang diinduksi oleh respon
awal (up-stream response) pada tingkat molekuler. Faktor transkripsi
(transcription factor) dari famili gen NAC (NAM, ATAF, CUC) merupakan upstream genes yang dilaporkan terlibat erat dalam respon terhadap cekaman abiotik,
termasuk salinitas (Olsen et al. 2005). Anggota famili gen NAC dari A. thaliana,
AtNAC2, dilaporkan terlibat dalam respon terhadap cekaman salinitas dan
pembentukan akar lateral melalui lintasan sinyal etilen dan auksin (He et al. 2005).
Gen SiNAC065 telah diisolasi dari tanaman hotong dan ekspresinya dilaporkan
terinduksi oleh cekaman kekeringan (20% PEG-6000), salinitas (250 mM NaCl)
dan 100 M ethephon (Puranik et al. 2013).
Toleransi terhadap cekaman salinitas pada beberapa genotipe hotong pada
tahap perkecambahan dan bibit dalam kultur hara telah dilaporkan oleh Ardie et al.
(2015). Perbandingan respon antara genotipe toleran dan peka terhadap cekaman
salinitas dapat mengidentifikasi karakter penting, baik morfologi, anatomi,
fisiologi dan molekuler pada kondisi cekaman tersebut. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari respon tanaman hotong terhadap cekaman salinitas, khususnya
peran etilen dalam modifikasi karakter akar, serta mengisolasi dan
mengkarakterisasi gen SiNAC065 terkait respon terhadap cekaman salinitas pada
genotipe hotong toleran dan peka salinitas.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mempelajari respon anatomi, morfologi dan fisiologi tanaman hotong
terhadap cekaman salinitas, khususnya peran etilen dalam modifikasi
karakter akar;
2. Mengisolasi dan mengkarakterisasi gen SiNAC065 terkait respon terhadap
cekaman salinitas pada empat genotipe hotong.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Perbandingan respon antara genotipe toleran dan peka terhadap cekaman
salinitas dapat mengidentifikasi karakter penting, baik morfologi, anatomi,
fisiologi dan molekuler pada kondisi cekaman tersebut.
2. Mendapatkan informasi mengenai peran etilen dalam modifikasi karakter
akar, sebagai salah satu hormon yang berperan dalam merespon perubahan
fisiologi tanaman terhadap cekaman salinitas.
3. Gen SiNAC065 yang diisolasi dari genotipe hotong toleran dan peka
salinitas merupakan informasi penting dalam mendukung program
pemuliaan tanaman menggunakan pendekatan bioteknologi.
Ruang Lingkup Penelitian
Salinitas merupakan salah satu masalah pada lahan pasang surut di
Indonesia dengan luasnya mencapai 20 juta hektar. Lahan salin terbentuk akibat
akumulasi garam berlebih pada tanah, seperti NaCl dan Na2SO4. Secara umum
3
salinitas menyebabkan hambatan pertumbuhan dan produktivitas tanaman sebagai
akibat dampak negatif toksisitas ion, cekaman osmotik, cekaman oksidatif, dan
defisiensi hara. Sementara itu, foxtail millet (Setaria italica L. Beauv) atau yang
dikenal sebagai hotong berpotensi untuk dikembangkan pada lahan salin karena
toleransinya yang cukup baik terhadap cekaman salinitas. Selain toleransinya
yang cukup baik pada cekaman salinitas, kandungan nutrisi hotong yang tinggi
juga menjadikan tanaman ini potensial sebagai pangan fungsional. Walaupun
cukup toleran terhadap cekaman salinitas, taraf toleransi hotong terhadap cekaman
tersebut dilaporkan bervariasi antar genotipe. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari respon tanaman hotong terhadap cekaman salinitas,
khususnya peran etilen dalam modifikasi karakter akar, serta mengisolasi dan
mengkarakterisasi gen SiNAC065 terkait respon terhadap cekaman salinitas pada
genotipe hotong toleran dan peka salinitas. Penelitian ini terdiri atas 2 percobaan.
Percobaan 1 terdiri atas 2 sub percobaan, yaitu Percobaan 1a terkait respon
anatomi akar genotipe hotong toleran dan peka terhadap cekaman salinitas, dan
Percobaan 1b terkait respon genotipe hotong toleran dan peka cekaman salinitas
terhadap aplikasi etilen eksogen. Percobaan 2, Isolasi gen SiNAC065 terkait
respon tanaman terhadap cekaman salinitas pada hotong. Perbandingan respon
antara genotipe toleran dan peka terhadap cekaman salinitas diharapkan dapat
mengidentifikasi karakter penting, baik morfologi, anatomi, fisiologi dan
molekuler pada kondisi cekaman tersebut. Alur kegiatan penelitian disajikan pada
Gambar 1.
4
Genotipe hotong koleksi
BALITSEREAL
Percobaan 1. Mekanisme toleransi tanaman
hotong [Setaria italica (L.) Beauv] terhadap
cekaman salinitas
Percobaan 1a. Respon anatomi akar
genotipe hotong toleran dan peka
cekaman salinitas.
(Konsentrasi NaCl 0, 60, 120 mM)
Percobaan 1b. Respon genotipe hotong
toleran dan peka cekaman salinitas terhadap
regulator etilen eksogen.
(Kontrol, Regulator etilen: 12 ppm etephon,
Inhibitor aksi etilen: 0.6 µM AgNO3)
Percobaan 2. Isolasi gen SiNAC065
pada empat genotipe hotong
terkait cekaman salinitas
-
Isolasi DNA
Amplifikasi gen target
Sub-cloning ke pMD20
Sekuensing
Analisis sekuen
Respon anatomi akar hotong dan fragmen
gen SiNAC065 pada empat genotipe hotong
Gambar 1 Diagram alir tahap penelitian respon akar terhadap cekaman salinitas dan
isolasi gen SiNAC065 pada empat genotipe hotong [Setaria italica (L.)
Beauv].
5
TINJAUAN PUSTAKA
Hotong (Setaria italica L. Beauv)
Hotong atau foxtail millet (Setaria italica L. Beauv) menempati urutan
keenam sebagai serealia utama dan dikonsumsi sepertiga penduduk dunia yang
hidup di daerah kering dan semi-kering (McDonough et al. 2000). Rata-rata
produktivitas hotong di dunia 0.8-0.9 ton ha-1 (FAO 2014). Hotong merupakan
salah satu jenis spesies millet yang paling banyak dibudidayakan dalam urutan
produksi di seluruh dunia selain pearl millet (Pennisetum glaucum), proso millet
(Panicum miliaceum), dan finger millet (Eleusine coracana) (Baker 2003).
Hotong tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, diantaranya adalah Pulau Buru,
Enrengkang (Sulawesi Selatan), Pulau Rote dan Pulau Sumba (Alamendah 2015;
Nurmala 2003).
Hotong termasuk dalam famili Graminae (Poaceae) (Hubbard 1915) yang
merupakan tanaman semusim penghasil karbohidrat (Andoko 2001). Biji hotong
merupakan bagian yang dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat. Sulistiyowati
(2015) melaporkan bahwa biji hotong memiliki panjang 0.58-0.76 mm, diameter
biji 0.73-1.22 mm, dengan kisaran bobot 100 butir 0.09-0.28 g. Menurut Zhang et
al. (2011), biji hotong terdiri atas 3 bagian yaitu: (1) kulit buah luar; (2) kulit buah
dalam; dan (3) kulit biji luar, yang terdiri atas kulit ari dan kulit biji dalam
(Gambar 2). Biji hotong memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi yaitu
72.8% (Cheng dan Dong 2010), dengan indeks glikemik yang rendah (Jali et al.
2012), kandungan antioksidan (Suma dan Urooj 2012) dan kandungan protein
(Amadou et al. 2013) yang tinggi. Kandungan protein kasar hotong lebih tinggi 12% dibandingkan sorgum, dan kandungan lisin hotong lebih tinggi 21%
dibandingkan jagung dan 36% dibandingkan sorgum (Tirajoh et al. 2012). Selain
karbohidrat dan protein, kandungan nutrisi biji hotong per 100 g adalah vitamin
B1 (37%), B2 (24%), B3 (31%), B5 (17%), B6 (29%), B9 (21%), dan mineral
kalsium (1%), besi (23%), magnesium (32%), fosfor (41%), kalium (4%), dan
seng (18%) (USDA 2015). Hotong juga dilaporkan berpotensi sebagai anti kanker
usus (Shan et al. 2014).
Tanaman ini memiliki batang yang kecil dan tegak, dengan kisaran tinggi
60-120 cm. Sistem perakaran rapat. Daunnya tunggal berbentuk garis, panjang
antara 16-32 cm dan lebar 1.5-2.5 cm dengan bagian ujung daun runcing. Bunga
hotong menyerupai bulir dengan panjang 8-18 cm dan tangkai malai berkisar 2530 cm, tegak atau melengkung. Biji berbentuk oval dengan warna yang bervariasi,
kuning pucat, jingga, merah, hingga cokelat atau hitam (Maim dan Rachie 1971).
Hotong dapat tumbuh hingga ketinggian 2 000 m dpl dengan curah hujan
tahunan yang relatif rendah, yaitu berkisar antara 500-700 mm per tahun (FAO
2014). Penanaman dapat dilakukan dengan cara menyebar benih atau mengubur
dengan kedalaman 4-6 cm untuk memudahkan perkecambahan. Tanaman ini
memiliki siklus hidup yang pendek, dengan waktu berbunga sekitar 56-62 hari
(Maim dan Rachie 1971). Selain itu, hotong memiliki kemampuan untuk
beradaptasi pada berbagai jenis tanah, termasuk lahan marginal tanpa memerlukan
pemeliharaan yang intensif seperti tanaman pangan lainnya (Herodian et al. 2009).
6
Gambar 2 Struktur biji Hotong (Zhang et al. 2011)
Cekaman Salinitas
Salinitas secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana
garam dapat larut dalam jumlah yang berlebihan dan berakibat buruk bagi
pertumbuhan tanaman. Garam-garam yang menyebabkan cekaman pada tanaman
antara lain adalah NaCl, NaSO4, CaCl2, MgSO4, MgCl2 yang terlarut dalam air.
Sebagian ion-ion garam akan terhidrolisis di dalam larutan tanah sehingga dapat
mengubah pH larutan menjadi asam atau basa dan mempengaruhi daya hantar
listrik (Vuorinen et al. 2006). Menurut Follet et al. (1981), tanah salin memiliki
pH < 8.5 dengan daya hantar listrik > 4 mmhos.cm-1.
Follet et al. (1981) mengklasifikasikan tanah menurut salinitas atas tiga
kelompok berdasarkan hasil pengukuran daya hantar listrik sebagai berikut :
1. Tanah salin dengan daya hantar listrik > 4.0 mmhos.cm-1, pH < 8.5 dan
Na-dd < 15% dengan kondisi fisik normal. Kandungan garam larutan
dalam tanah dapat menghambat perkecambahan, penyerapan unsur hara
dan pertumbuhan tanaman.
2. Tanah sodik dengan daya hantar listrik < 4.0 mmhos.cm-1, pH > 8.5 dan
Na-dd > 15% dengan kondisi fisik buruk. Garam yang terlarut dalam tanah
relatif rendah, dan keadaan tanah cenderung terdispersi dan tidak
permeable terhadap air hujan dan air irigasi.
3. Tanah salin sodik dengan daya hantar listrik > 4.0 mmhos.cm-1, pH < 8.5
dan Na-dd > 15% dengan kondisi fisik normal. Keadaan tanah umumnya
terdispersi dengan permeabilitas rendah dan sering tergenang jika diairi.
Cekaman salinitas akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui dua
cara utama yaitu kadar salin yang tinggi dalam tanah mengganggu kemampuan
akar untuk mengambil air, sedangkan konsentrasi garam yang tinggi pada jaringan
tanaman dapat menyebabkan keracunan, sehingga mengakibatkan penghambatan
proses fisiologis dan biokimia pada tanaman seperti serapan hara dan asimilasi
(Munns dan Tester 2008). Kedua efek ini saling berinteraksi mengakibatkan efek
penghambatan pertumbuhan perkembangan dan kelangsungan hidup tanaman.
Salisbury dan Ross (1995) melaporkan salah satu mekanisme adaptasi tanaman
terhadap salinitas adalah melalui pengaturan osmotik dengan cara mensintesis
senyawa-senyawa asam amino prolin, asam amino lain, galaktosil gliserol, dan
asam organik. Salinitas menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang
menghambat pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein serta penambahan
biomassa tanaman (Tuteja 2007). Tanaman yang mengalami cekaman salinitas
umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi
pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara perlahan.
7
Respon Anatomi Akar terhadap Cekaman Salinitas
Akar merupakan organ pokok tanaman yang berperan penting dalam
menjaga kelangsungan penyerapan hara dan air serta bertanggung jawab dalam
menjaga kelangsungan hidup tanaman (Petricka et al. 2012; Giehl et al. 2014).
Akar adalah bagian tanaman yang pertama kali terpapar cekaman salinitas.
Tingkat pertumbuhan akar ditentukan melalui pembelahan, diferensiasi dan
pemanjangan sel (Bennett dan Scheres 2010; Petricka et al. 2012; Giehl et al.
2014). Modifikasi akar merupakan respon yang menentukan toleransi tanaman
terhadap cekaman salinitas. Julkowska et al. (2014) melaporkan bahwa
konsentrasi NaCl di atas 75 mM menyebabkan penurunan panjang akar primer,
panjang akar lateral dan jumlah akar lateral pada 4 genotipe Arabidopsis thaliana,
perubahan arsitektur akar yang terjadi berasosiasi dengan rasio Na+/K+ pada tajuk
tanaman. Selain arsitektur akar, dampak salinitas juga dilaporkan mempengaruhi
anatomi akar. Respon anatomi akar bervariasi, tergantung pada spesies tanaman.
Farhana et al. (2014) melaporkan cekaman salinitas 200 mM menurunkan jumlah
dan diameter metaxylem pada akar jagung (Zea mays). Sebaliknya, jumlah dan
diameter pembuluh xylem (metaxylem) pada akar bibit Kikuyu (Pennisetum
clandestum Hoechst) dilaporkan meningkat pada kondisi salinitas (Muscolo et al.
2004).
Peran Etilen dalam Respon Tanaman terhadap Cekaman Salinitas
Etilen merupakan zat pengatur tumbuh berupa gas dalam suhu ruang
memiliki struktur kimia yang sederhana, dengan rumus molekul C2H4 (Abeles
1973; Cawse et al. 1980). Produksi etilen bergantung pada tipe jaringan, spesies
tumbuhan, dan tingkatan perkembangan (Salisbury dan Ross 1995). Etilen
dibentuk dari metionin melalui 3 proses (McKeon et al. 1995), yaitu 1. ATP
merupakan komponen penting dalam sintesis etilen. ATP dan air akan membuat
metionin kehilangan 3 gugus fosfat. 2. Asam 1-amino siklopropana-1-karboksilat
sintase (ACC-sintase) kemudian memfasilitasi produksi ACC dan SAM (Sadenosil metionin). 3. Oksigen dibutuhkan untuk mengoksidasi ACC dan
memproduksi etilen. Reaksi ini dikatalisasi menggunakan enzim pembentuk
etilen. Etilen dikategorikan sebagai hormon alami untuk penuaan dan pemasakan
dan secara fisiologis sangat aktif dalam konsentrasi sangat rendah (
ISOLASI GEN SiNAC065 PADA EMPAT
GENOTIPE HOTONG [Setaria italica (L.) Beauv]
NIKE KARJUNITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Respon Akar terhadap
Cekaman Salinitas dan Isolasi Gen SiNAC065 pada Empat Genotipe Hotong
[Setaria italica (L.) Beauv]” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Nike Karjunita
NIM A253130141
RINGKASAN
NIKE KARJUNITA. Respon Akar terhadap Cekaman Salinitas dan Isolasi Gen
SiNAC065 pada Empat Genotipe Hotong [Setaria italica (L.) Beauv]. Dibimbing
oleh SINTHO WAHYUNING ARDIE dan NURUL KHUMAIDA.
Cekaman salinitas telah mempengaruhi sekitar 19.5% lahan pertanian
beririgasi di dunia dan merupakan salah satu masalah pada lahan pasang surut di
Indonesia yang luasnya mencapai 20 juta ha. Foxtail millet (Setaria italica L.
Beauv) atau yang dikenal sebagai hotong merupakan salah satu tanaman yang
potensial dikembangkan pada lahan salin karena toleransinya yang cukup baik
terhadap cekaman salinitas. Walaupun cukup toleran terhadap cekaman salinitas,
taraf toleransi hotong terhadap cekaman tersebut dilaporkan bervariasi antar
genotipe. Perbandingan respon antara genotipe toleran dan peka terhadap
cekaman salinitas dapat mengidentifikasi karakter penting, baik morfologi,
anatomi, fisiologi dan molekuler pada kondisi cekaman tersebut.
Akar merupakan organ tanaman yang pertama kali terpapar cekaman pada
cekaman salinitas dan modifikasi akar merupakan respon yang menentukan
toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas. Respon tanaman secara anatomi
dan morfologi terhadap cekaman salinitas ditentukan oleh sejumlah gen regulator
(regulatory genes) yang disebut faktor transkripsi. Faktor transkripsi dari famili
gen NAC (NAM, ATAF, CUC) merupakan salah satu faktor transkripsi yang
terlibat erat dalam respon terhadap cekaman salinitas dan pembentukan akar
lateral melalui lintasan sinyal etilen dan auksin.Gen SiNAC065 telah diisolasi dari
tanaman hotong dan ekspresinya dilaporkan terinduksi oleh cekaman salinitas
dan oleh aplikasi etilen eksogen. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah
(1) mempelajari respon anatomi, morfologi dan fisiologi tanaman hotong terhadap
cekaman salinitas, khususnya peran etilen dalam modifikasi karakter akar, dan (2)
mengisolasi dan mengkarakterisasi gen SiNAC065 terkait respon terhadap
cekaman salinitas pada genotipe hotong toleran dan peka salinitas. Penelitian ini
terdiri atas 2 percobaan. Percobaan 1 terdiri atas 2 sub percobaan, yaitu percobaan
1a terkait respon anatomi akar genotipe hotong toleran dan peka terhadap
cekaman salinitas, dan percobaan 1b terkait respon genotipe hotong toleran dan
peka cekaman salinitas terhadap aplikasi regulator etilen eksogen. Percobaan 1
dilakukan di rumah kaca kebun percobaan Cikabayan dan Laboratorium
mikroteknik AGH-IPB pada bulan Mei hingga Agustus 2015.
Percobaan 1a disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak
faktorial dengan 2 faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama merupakan genotipe
hotong yang terdiri atas 2 genotipe diduga toleran (ICERI-5 dan ICERI-6) dan 2
genotipe diduga peka (ICERI-4 dan ICERI-10). Faktor kedua adalah konsentrasi
NaCl yang terdiri atas 0, 60 dan 120 mM. Cekaman salinitas menyebabkan
perubahan anatomi akar hotong, yaitu peningkatan tebal epidermis, tebal korteks,
diameter akar, dan pertambahan jumlah rambut akar. Genotipe peka mengalami
peningkatan tebal epidermis, diameter akar dan jumlah rambut akar akibat
cekaman salinitas yang lebih tinggi dibandingkan genotipe toleran. Jumlah
protoxylem pada genotipe toleran meningkat akibat cekaman salinitas, sebaliknya
jumlah protoxylem menurun akibat cekaman salinitas pada genotipe peka. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sejumlah variabel anatomi akar mungkin
menentukan taraf toleransi hotong terhadap cekaman salinitas.
Percobaan 1b disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak
faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama merupakan konsentrasi NaCl yang
terdiri atas 0 dan 60 mM. Faktor kedua adalah regulator etilen yang terdiri atas
kontrol (tanpa regulator etilen), etilen eksogen (12 ppm etephon) dan inhibitor
aksi etilen (0.6µM AgNO3). Hasil percobaan menunjukkan bahwa interaksi antara
konsentrasi NaCl dengan regulator etilen berpengaruh terhadap tinggi tajuk,
jumlah daun, bobot kering tajuk dan pada beberapa variabel anatomi akar, yaitu
tebal korteks, diameter stele, diameter akar dan jumlah protoxylem. Aplikasi
etilen secara eksogen pada cekaman salinitas 60 mM semakin memperparah
dampak cekaman, dengan semakin terhambatnya pertumbuhan tinggi tajuk,
panjang akar dan berkurangnya bobot kering tajuk. Cekaman salinitas
menyebabkan peningkatan diameter akar dengan meningkatnya tebal epidermis,
tebal korteks dan diameter stele, sementara itu aplikasi etilen eksogen (12 ppm
etephon) dapat mempertahankan ukuran diameter akar, tebal korteks, dan
diameter stele seperti kondisi kontrol. Sebaliknya, aplikasi inhibitor etilen (0.6µM
AgNO3) menyebabkan peningkatan diameter akar yang signifikan pada masingmasing genotipe. Korelasi negatif nyata antara diameter akar dengan jumlah daun
dan bobot basah tajuk, menunjukkan bahwa semakin besar diameter akar
menyebabkan penurunan jumlah daun dan mengurangi bobot basah tajuk.
Aplikasi etilen eksogen lebih menekan tinggi tajuk pada genotipe peka (ICERI-4,
ICERI-10) dibandingkan pada genotipe toleran (ICERI-5 dan ICERI-6).
Percobaan 1 menunjukkan bahwa respon hotong terhadap cekaman
salinitas dipengaruhi oleh etilen. Gen SiNAC065 merupakan salah satu gen faktor
transkripsi yang ekspresinya terinduksi oleh cekaman salinitas dan aplikasi etilen
eksogen. Oleh karena itu, Percobaan 2, Isolasi gen SiNAC065 terkait respon
tanaman terhadap cekaman salinitas pada hotong, dilaksanakan di Laboratorium
Plant Molecular Biology, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB dan
Laboratory of Environmental Stress Tolerance Mechanisms, The University of
Tokyo. Materi genetik yang digunakan adalah empat genotipe hotong (ICERI-4,
ICERI-5, ICERI-6 dan ICERI-10). Fragmen berukuran ± 1300 pb telah
teramplifikasi dari DNA genom keempat genotipe hotong menggunakan primer
spesifik gen SiNAC065. Perunutan basa nukleotida menggunakan metode direct
sequencing pada keempat fragmen yang teramplifikasi dan analisis kesejajaran
menggunakan BLAST menunjukkan bahwa fragmen tersebut merupakan
homolog gen SiNAC065. Metode direct sequencing hanya dapat membaca
sebagian dari fragmen. Oleh karena itu, sub-cloning ke dalam plasmid pMD20
dilakukan agar sekuen full length dari keempat fragmen tersebut dapat diperoleh.
Hasil perunutan basa nukleotida pada fragmen yang diinsersikan ke dalam
pMD20 menunjukkan bahwa gen SiNAC065 yang diisolasi dari DNA genom
keempat genotipe hotong berukuran 1 265 pb. Gen tersebut memiliki satu intron
dan dua ekson. Gabungan antara kedua ekson merupakan coding sequence yang
menyandikan 325 asam amino. Pensejajaran asam amino hasil translasi fragmen
gen SiNAC065 dari empat genotipe hotong menunjukkan bahwa daerah
terkonservasi gen SiNAC065 berada pada asam amino ke 19-325 dan memiliki 8
motif terkonservasi. Berdasarkan motif terkonservasinya, SiNAC065 dari
genotipe ICERI-4, ICERI-5, ICERI-6, dan ICERI-10 termasuk ke dalam
kelompok gen SNAC (stress responsive NACs) yang terlibat dalam respon
terhadap cekaman abiotik.
Kata kunci : anatomi akar, cekaman abiotik, faktor transkripsi, famili gen NAC
SUMMARY
NIKE KARJUNITA. Responses of Root to Salinity Stress and Isolation of
SiNAC065 Gene from Four Foxtail millet [Setaria italica (L.) Beauv] Genotypes.
Supervised by SINTHO WAHYUNING ARDIE and NURUL KHUMAIDA.
Foxtail millet (Setaria Italica L. Beauv), also known as hotong in
Indonesian, is one of carbohydrate sources with a fairly good tolerance to salinity
stress. Salinity stress has affected about 19.5% of irrigated agricultural land in the
world and is one of the important crop production limiting factors in the tidal area
in Indonesia (approx. 20 million ha). Foxtail millet is also has high nutritional
values and it is potential to be developed as functional food. Although foxtail
millet has been considered as one of the salinity tolerant crops, the level of
tolerance was reported to be varied among genotypes. Comparison of response
between salt tolerant and salt sensitive foxtail millet genotypes to salinity stress
may identify important morphological, anatomical, physiological and molecular
characters under the stress condition.
Root is a plant organ that is first exposed to stress under salinity and root
modification is a response that determine crop tolerance to salinity stress.
Anatomical and morphological responses of plant to salinity are determined by a
number of regulatory genes called transcription factors. Transcription factor gene
family of NAC (NAM, ATAF, CUC) is a transcription factor that is tightly
involved in the response to salinity stress and in the formation of lateral roots
through ethylene and auxin signaling pathway. SiNAC065 gene has been isolated
from foxtail millet and its expression level was induced by salinity and by the
application of exogenous ethylene. Therefore the objectives of this study were (1)
to study the root anatomical, morphological and physiological responses of foxtail
millet genotypes under salinity, with the emphasize in the role of ethylene in the
root anatomy modification, and (2) to isolate and characterize the SiNAC065
genes from salinity tolerant- and salinity sensitive- foxtail millet genotypes.
The study consisted of two experiments. Experiment 1 consisted of two
sub-experiments, i.e Experiment 1a. Root Anatomical Responses of Salt-Tolerant
and Salt-Sensitive Foxtail Millet Genotypes under Salinity Stress, and Experiment
1b. Responses of Salt-Tolerant and Salt-Sensitive Foxtail Millet Genotypes to
Exogenous Application of Ethylene Regulators under Salinity Stress. Experiment
1 was conducted in a greenhouse at Cikabayan Experimental Field and in the
Microtechnique Laboratory AGH-IPB from May to August 2015.
Sub-experiment 1a was arranged in randomized completely group design
with two factors and three replications. The first factor was foxtail millet genotype,
consisted of two potentially tolerant genotypes (ICERI-5 and ICERI-6) and two
potentially sensitive genotypes (ICERI-4 and ICERI-10). The second factor was
NaCl concentration consisted of 0, 60 and 120 mM.Our results showed that salt
stress significantly induced some anatomical changes in the roots of foxtail millet
genotypes, i.e. increased epidermis and cortex thickness, increased root diameter,
and increased the number of root hairs. The increase in epidermis thickness, root
diameter and the number of root hairs due to the salt application were more
pronounced in the sensitive genotypes. While salt stress induced a significant
increase in the number of protoxylem in the tolerant genotypes, it significantly
decreased the number of protoxylem in the sensitive genotypes. The different
anatomical changes under salt stress between the tolerant- and sensitive genotypes
indicate that some anatomical attributes of the roots might determine the salt
tolerance level of foxtail millet.
Sub-experiment 1b was arranged in randomized completely group design
with two factors and three replications. The first factor was NaCl concentration
consisted of 0 and 60 mM. The second factor was exogenous ethylene regulator
application, consisted of control (without any exogenous ethylene regulator
application), ethylene releaser (12 ppm etephon) and ethylene inhibitor (0.6 μM
AgNO3). Our results showed that interaction between salt stress and exogenous
ethylene regulator application significantly affected plant height, number of
leaves, shoot dry weight and some root anatomy variables, such as cortex
thickness, stele diameter, root diameter and number of protoxylem. Exogenous
ethylene application (12 ppm ethephon) exacerbated the negative effect of salinity,
i.e. higher reduction of plant height, root length and shoot dry weight. Similar to
the results in Experiment 1a, salinity increased epidermis and cortex thickness and
root diameter; however, exogenous ethylene application (12 ppm ethephon)
inhibits the increase in those root anatomical variables. In contrast to exogenous
ethylene application, application of ethylene inhibitor (0.6 M AgNO3) induced a
significant increase in root diameter. Significant negative correlation was
observed between root diameter, number of leaves and shoot fresh weight,
indicating higher root diameter would reduce number of leaves and shoot fresh
weight. The plant height suppression due to exogenous ethylene application under
salinity stress was more pronounced in the sensitive genotypes (ICERI-4 and
ICERI-10) than in the tolerant genotypes (ICERI-5 and ICERI-6).
The first experiment showed that ethylene is involved in the response of
foxtail millet to salinity stress. Therefore, the Second Experiment, Isolation of
SiNAC065 Genes from Salt-Tolerant and Salt-Sensitive Foxtail Millet, was
conducted in the Laboratory of Plant Molecular Biology, Department of
Agronomy and Horticulture, IPB and in the Laboratory of Environmental Stress
Tolerance Mechanisms, The University of Tokyo. Fragments (+ 1300 bp) were
successfully amplified from the genomic DNA of four foxtail millet genotypes
(ICERI-4, ICERI-5, ICERI-6 and ICERI-10) using gene specific primer. Direct
sequencing of the four fragments and BLAST analysis confirmed that the four
fragments were SiNAC065 gene homolog. Since direct sequence method could not
read the full length sequence of the genes, the SiNAC065 fragments were subcloned into pMD20 plasmid and were further sequenced. Sequence analysis
results showed that the SiNAC065 genes isolated from ICERI-4, ICERI-5, ICERI6 and ICERI-10 genotypes were 1265 bp in length with one intron and two exons.
The two exons encode 325 amino acids with the conserved domain located
between amino acid 19-325. The SiNAC065 protein identified in this study have 8
conserved motives in the conserved region which categorized them as SNAC
(stress responsive NACs) orthologs that are involved in the abiotic stress
responses.
Keywords: abiotic stress, NAC gene family, root anatomy, transcription factor
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RESPON AKAR TERHADAP CEKAMAN SALINITAS DAN
ISOLASI GEN SiNAC065 PADA EMPAT
GENOTIPE HOTONG [Setaria italica (L.) Beauv]
NIKE KARJUNITA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Edi Santosa, SP MSi
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang berjudul
“Respon Akar terhadap Cekaman Salinitas dan Isolasi Gen SiNAC065 pada Empat
Genotipe Hotong [Setaria italica (L.) Beauv]” disusun sebagai salah satu syarat
kelulusan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih diberikan kepada komisi pembimbing, Dr Sintho
Wahyuning Ardie, SP MSi dan Dr Ir Nurul Khumaida, MSi. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada dosen penguji Dr Edi Santosa, SP MSi dan kepada
Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Dr Ir Yudiwanti
Wahyu EK, MS. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Tetsuo Takano
atas kesempatan menganalisis sebagian data molekuler di Laboratory of
Environmental Stress Tolerance Mechanisms, The University of Tokyo. Terima
kasih kepada yang tercinta kedua orang tua Ayahanda Karnaini Mochtar, AMa Pd
dan Ibunda Animas, SPd serta seluruh keluarga atas do‟a, restu dan motivasi
selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana di IPB. Kemudian ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar dan teknisi
laboratorium serta teman-teman S1, S2, S3 dan seluruh pihak yang telah ikut
mendo‟akan, mendukung dan memotivasi hingga terselesaikannya tesis ini.
Sebagian dari tesis ini telah dipresentasikan pada The International
Congress and General Meeting ISSAAS 2015 (Tokyo, 7 November 2015). Penulis
berharap semoga tesis ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan
berguna bagi para pembaca untuk penelitian kedepan.
Bogor, Juni 2016
Nike Karjunita
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Hotong [Setaria italica (L.) Beauv]
Cekaman Salinitas
Respon Anatomi Akar terhadap Cekaman Salinitas
Peran Etilen dalam Respon Tanaman terhadap Cekaman Salinitas
Faktor Transkripsi NAC
3 PERBEDAAN RESPON ANATOMI AKAR GENOTIPE
HOTONG [Setaria italica (L.) Beauv] TOLERAN DAN PEKA
CEKAMAN SALINITAS
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
4 RESPON GENOTIPE HOTONG TOLERAN DAN PEKA
SALINITAS TERHADAP APLIKASI REGULATOR ETILEN
SECARA EKSOGEN
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
5 ISOLASI GEN SiNAC065 PADA EMPAT GENOTIPE
HOTONG (Setaria italica L. Beauv)
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
vi
vii
viii
1
2
2
2
5
6
7
7
8
9
9
10
10
11
16
17
17
18
19
19
33
34
34
35
35
38
46
47
54
DAFTAR TABEL
1 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh konsentrasi NaCl dan genotipe
hotong terhadap variabel anatomi akar (5 HSP)
2 Tebal epidermis (TE), tebal korteks (TK), diameter akar (DA),
diameter metaxylem (DMX), jumlah protoxylem (ΣPX) dan jumlah
rambut akar (ΣRA) bibit hotong pada 0, 60, dan 120 mM NaCl pada 5
HSP
3 Korelasi antar variabel anatomi akar hotong
4 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh konsentrasi NaCl dan regulator
etilen terhadap variabel anatomi akar hotong pada 5 HSP
5 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh konsentrasi NaCl dan regulator
etilen terhadap pertumbuhan bibit hotong pada 14 HSP
6 Tebal epidermis (TE) dan jumlah protoxylem (ΣPX) bibit hotong pada
0 dan 60 mM NaCl pada 5 HSP
7 Hasil uji-t beberapa variabel anatomi akar hotong pada genotipe toleran
(ICERI-5 dan ICERI-6) dan peka (ICERI-4 dan ICERI-10) pada 14
HSP pada 60 mM NaCl
8 Rata-rata tinggi tajuk (TT), panjang akar (PA), jumlah daun (JD), bobot
basah tajuk (BBT), bobot basah akar (BBA), bobot kering tajuk (BKT),
bobot kering akar (BKA) 4 genotipe hotong pada konsentrasi NaCl (0
dan 60 mM) 14 HSP
9 Hasil uji-t pertumbuhan bibit hotong pada genotipe toleran (ICERI-5
dan ICERI-6) dan peka (ICERI-4 dan ICERI-10) pada 14 HSP pada 60
mM NaCl
10 Korelasi antar variabel pengamatan genotipe hotong toleran dan peka
cekaman salinitas
11 Tebal epidermis (µm), jumlah metaxylem, diameter metaxylem (DMX)
dan jumlah protoxylem (ΣPX) akar hotong pada 5 HSP
12 Hasil uji-t beberapa variabel anatomi akar hotong pada genotipe toleran
(ICERI-5 dan ICERI-6) dan peka (ICERI-4 dan ICERI-10) pada 14
HSP pada kontrol, 12 ppm etephon dan 0.6 M AgNO3 pada 60 mM
NaCl
13 Rata-rata tinggi tajuk (TT), panjang akar (PA), jumlah daun (JD), bobot
basah tajuk (BBT), bobot basah akar (BBA), bobot kering tajuk (BKT),
bobot kering akar (BKA) 4 genotipe hotong terhadap regulator etilen
saat 14 HSP
14 Hasil uji-t pertumbuhan bibit hotong pada genotipe toleran (ICERI-5
dan ICERI-6) dan peka (ICERI-4 dan ICERI-10) pada 14 HSP pada
kontrol, 12 ppm etephon dan 0.6 M AgNO3
15 Estimasi konsentrasi DNA genom 4 genotipe hotong berdasarkan
spektrofotometer
12
13
13
20
21
22
22
23
23
25
26
27
28
29
39
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir tahap penelitian respon anatomi akar dan isolasi gen
SiNAC065 pada genotipe hotong [Setaria italica (L.) Beauv] toleran
dan peka salinitas
2 Struktur biji hotong
3 Konvergensi jalur sinyal cekaman abiotik dan biotik
4 Penampang melintang akar bibit hotong 5 HSP
5 Keragaan ujung akar genotipe hotong toleran dan peka salinitas di
bawah perlakuan NaCl (0, 60, 120 mM)
6 Keragaan irisan melintang (±3 mm) dari ujung akar terpanjang
genotipe hotong toleran dan peka salinitas di bawah perlakuan NaCl
(0, 60, 120 mM)
7 Tebal epidermis(A), jumlah rambut akar (B), dan jumlah protoxylem
(C) pada genotipe hotong toleran (ICERI-5 dan ICERI-6) dan peka
(ICERI-4 dan ICERI-10) salinitas pada 0, 60 dan 120 mM NaCl
8 Keragaan irisan melintang (±3 mm) dari ujung akar terpanjang
genotipe hotong toleran dan peka salinitas pada konsentrasi NaCl 0
dan 60 mM NaCl pada 5 HSP
9 Tebal korteks (A), diameter stele (B),diameter akar (C), dan jumlah
protoxylem (D) pada genotipe hotong toleran (ICERI-5 dan ICERI-6)
dan peka (ICERI-4 dan ICERI-10) dengan konsentrasi NaCl (0 dan 60
mM) dan regulator etilen (+ET= +12 ppm etephon, +Ag+= + 0.6 µM
AgNO3) pada 5 HSP
10 Tinggi tajuk (A), jumlah daun (B), bobot kering tajuk (C) bibit hotong
terhadap konsentrasi NaCl dan aplikasi regulator etilen pada 14 HSP
11 Keragaan bibit hotong pada 14 HSP tanpa cekaman salinitas (0 mM
NaCl) dan dengan cekaman salinitas (60 mM NaCl)
12 Integritas pita DNA genom daun hotong genotipe ICERI-4, ICERI-5,
ICERI-6 dan ICERI-10
13 Visualisasi hasil elektroforesis amplifikasi random primer H5 pada 4
genotipe hotong
14 Elektroforegram produk amplifikasi PCR yang berasal dari DNA
genom 4 genotipe hotong, menggunakan pasangan primer SiNAC065
15 Hasil pensejajaran nukleotida SiNAC065 yang berasal dari genotipe
hotong ICERI-4, ICERI-5, ICERI-6, ICERI-10, dan SiNAC065 dari
genotipe Yugu1 (nomor aksesi GenBank: XM_004971405.1)
menggunakan CLUSTAL X (1.83)
16 Prediksi asam amino SiNAC065 dari hotong genotipe ICERI-4,
ICERI-5, ICERI-6 dan ICERI-10
17 Dendogram hasil filogenetik sekuen residu asam amino yang
diprediksi dari SiNAC065 genotipe hotong ICERI-4, ICERI-5, ICERI6, dan ICERI-10
4
6
8
11
12
14
15
30
31
32
33
38
39
40
42
44
45
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salinitas merupakan kondisi sub-optimal akibat akumulasi garam berlebih
pada tanah, seperti NaCl dan Na2SO4 (Li et al. 2006) sehingga menyebabkan
electrical conductivity (EC) > 4.0 dS.m-1 (Muscolo et al. 2011). Cekaman salinitas
telah mempengaruhi sekitar 19.5% lahan pertanian beririgasi di dunia (Koyro et al.
2012) dan merupakan salah satu masalah pada lahan pasang surut di Indonesia
yang luasnya mencapai 20 juta ha (Alihamsyah 2004). Salinitas menyebabkan
hambatan dalam pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Hasanuzzaman et al.
2013) akibat dampak negatif toksisitas ion, cekaman osmotik, cekaman oksidatif
dan defisiensi hara (Zhu 2007).
Foxtail millet (Setaria italica L. Beauv) atau yang dikenal sebagai hotong
merupakan salah satu tanaman yang potensial dikembangkan pada lahan salin
karena toleransinya yang cukup baik terhadap cekaman salinitas (Kafi et al.
2009). Selain toleransinya yang cukup baik pada cekaman salinitas, kandungan
nutrisi hotong yang tinggi menjadikan tanaman ini potensial sebagai pangan
fungsional. Biji hotong mengandung karbohidrat sebesar 72.8% (Cheng dan Dong
2010), yang setara dengan kandungan karbohidrat pada beras (80.4%) (Vaclavik
dan Christian 2003). Biji hotong juga dilaporkan memiliki indeks glikemik yang
rendah (Jali et al. 2012), serta kandungan antioksidan (Suma dan Urooj 2012) dan
protein (Amadou et al. 2013) yang tinggi. Protein yang diekstrak dari kulit biji
hotong dilaporkan berpotensi sebagai anti kanker usus (Shan et al. 2014).
Adaptasi yang baik pada lingkungan sub-optimal dan kandungan nutrisi yang
tinggi menjadikan hotong potensial sebagai sumber pangan alternatif. Walaupun
hotong dilaporkan memiliki adaptasi yang cukup baik terhadap salinitas (Kafi et
al. 2009), namun toleransi hotong terhadap salinitas bervariasi tergantung
genotipe (Krishnamurthy et al. 2014; Ardie et al. 2015).
Akar merupakan organ tanaman yang pertama kali terpapar cekaman pada
cekaman salinitas dan modifikasi akar merupakan respon yang menentukan
toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas (Julkowska et al. 2014). Cekaman
salinitas dilaporkan mempengaruhi arsitektur akar (Julkowska et al. 2014; Zhang
et al. 2015) dan anatomi akar (Muhammad et al. 1999; Akram et al. 2002;
Farhana et al. 2014). Perubahan arsitektur akar (Julkowska et al. 2014) dan
anatomi akar (Akram et al. 2002; Muscolo et al. 2004; Younis et al. 2013)
dilaporkan berasosiasi dengan toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas.
Etilen merupakan hormon penting dalam regulasi modifikasi karakter akar
(Smith dan Smet 2012) dan respon tanaman terhadap cekaman salinitas (Tao et al.
2015). Sejumlah studi menunjukkan bahwa produksi etilen yang tinggi diperlukan
untuk meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas (Cao et al.
2007; Ma et al. 2012; Ellouzi et al. 2014). Akan tetapi, sejumlah studi lainnya
melaporkan bahwa penekanan produksi etilen diperlukan untuk meningkatkan
toleransi tanaman terhadap cekaman salinitas (El-Iklil et al. 2000; Chen et al.
2014). Tao et al. (2015) menduga bahwa etilen berperan penting pada respon awal
terhadap cekaman salinitas, akan tetapi produksi etilen secara berlebihan pada
2
tahapan selanjutnya dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan pada cekaman
salinitas.
Respon tanaman secara morfologi dan fisiologi terhadap cekaman salinitas
merupakan respon ikutan (down-stream responses) yang diinduksi oleh respon
awal (up-stream response) pada tingkat molekuler. Faktor transkripsi
(transcription factor) dari famili gen NAC (NAM, ATAF, CUC) merupakan upstream genes yang dilaporkan terlibat erat dalam respon terhadap cekaman abiotik,
termasuk salinitas (Olsen et al. 2005). Anggota famili gen NAC dari A. thaliana,
AtNAC2, dilaporkan terlibat dalam respon terhadap cekaman salinitas dan
pembentukan akar lateral melalui lintasan sinyal etilen dan auksin (He et al. 2005).
Gen SiNAC065 telah diisolasi dari tanaman hotong dan ekspresinya dilaporkan
terinduksi oleh cekaman kekeringan (20% PEG-6000), salinitas (250 mM NaCl)
dan 100 M ethephon (Puranik et al. 2013).
Toleransi terhadap cekaman salinitas pada beberapa genotipe hotong pada
tahap perkecambahan dan bibit dalam kultur hara telah dilaporkan oleh Ardie et al.
(2015). Perbandingan respon antara genotipe toleran dan peka terhadap cekaman
salinitas dapat mengidentifikasi karakter penting, baik morfologi, anatomi,
fisiologi dan molekuler pada kondisi cekaman tersebut. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari respon tanaman hotong terhadap cekaman salinitas, khususnya
peran etilen dalam modifikasi karakter akar, serta mengisolasi dan
mengkarakterisasi gen SiNAC065 terkait respon terhadap cekaman salinitas pada
genotipe hotong toleran dan peka salinitas.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mempelajari respon anatomi, morfologi dan fisiologi tanaman hotong
terhadap cekaman salinitas, khususnya peran etilen dalam modifikasi
karakter akar;
2. Mengisolasi dan mengkarakterisasi gen SiNAC065 terkait respon terhadap
cekaman salinitas pada empat genotipe hotong.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Perbandingan respon antara genotipe toleran dan peka terhadap cekaman
salinitas dapat mengidentifikasi karakter penting, baik morfologi, anatomi,
fisiologi dan molekuler pada kondisi cekaman tersebut.
2. Mendapatkan informasi mengenai peran etilen dalam modifikasi karakter
akar, sebagai salah satu hormon yang berperan dalam merespon perubahan
fisiologi tanaman terhadap cekaman salinitas.
3. Gen SiNAC065 yang diisolasi dari genotipe hotong toleran dan peka
salinitas merupakan informasi penting dalam mendukung program
pemuliaan tanaman menggunakan pendekatan bioteknologi.
Ruang Lingkup Penelitian
Salinitas merupakan salah satu masalah pada lahan pasang surut di
Indonesia dengan luasnya mencapai 20 juta hektar. Lahan salin terbentuk akibat
akumulasi garam berlebih pada tanah, seperti NaCl dan Na2SO4. Secara umum
3
salinitas menyebabkan hambatan pertumbuhan dan produktivitas tanaman sebagai
akibat dampak negatif toksisitas ion, cekaman osmotik, cekaman oksidatif, dan
defisiensi hara. Sementara itu, foxtail millet (Setaria italica L. Beauv) atau yang
dikenal sebagai hotong berpotensi untuk dikembangkan pada lahan salin karena
toleransinya yang cukup baik terhadap cekaman salinitas. Selain toleransinya
yang cukup baik pada cekaman salinitas, kandungan nutrisi hotong yang tinggi
juga menjadikan tanaman ini potensial sebagai pangan fungsional. Walaupun
cukup toleran terhadap cekaman salinitas, taraf toleransi hotong terhadap cekaman
tersebut dilaporkan bervariasi antar genotipe. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari respon tanaman hotong terhadap cekaman salinitas,
khususnya peran etilen dalam modifikasi karakter akar, serta mengisolasi dan
mengkarakterisasi gen SiNAC065 terkait respon terhadap cekaman salinitas pada
genotipe hotong toleran dan peka salinitas. Penelitian ini terdiri atas 2 percobaan.
Percobaan 1 terdiri atas 2 sub percobaan, yaitu Percobaan 1a terkait respon
anatomi akar genotipe hotong toleran dan peka terhadap cekaman salinitas, dan
Percobaan 1b terkait respon genotipe hotong toleran dan peka cekaman salinitas
terhadap aplikasi etilen eksogen. Percobaan 2, Isolasi gen SiNAC065 terkait
respon tanaman terhadap cekaman salinitas pada hotong. Perbandingan respon
antara genotipe toleran dan peka terhadap cekaman salinitas diharapkan dapat
mengidentifikasi karakter penting, baik morfologi, anatomi, fisiologi dan
molekuler pada kondisi cekaman tersebut. Alur kegiatan penelitian disajikan pada
Gambar 1.
4
Genotipe hotong koleksi
BALITSEREAL
Percobaan 1. Mekanisme toleransi tanaman
hotong [Setaria italica (L.) Beauv] terhadap
cekaman salinitas
Percobaan 1a. Respon anatomi akar
genotipe hotong toleran dan peka
cekaman salinitas.
(Konsentrasi NaCl 0, 60, 120 mM)
Percobaan 1b. Respon genotipe hotong
toleran dan peka cekaman salinitas terhadap
regulator etilen eksogen.
(Kontrol, Regulator etilen: 12 ppm etephon,
Inhibitor aksi etilen: 0.6 µM AgNO3)
Percobaan 2. Isolasi gen SiNAC065
pada empat genotipe hotong
terkait cekaman salinitas
-
Isolasi DNA
Amplifikasi gen target
Sub-cloning ke pMD20
Sekuensing
Analisis sekuen
Respon anatomi akar hotong dan fragmen
gen SiNAC065 pada empat genotipe hotong
Gambar 1 Diagram alir tahap penelitian respon akar terhadap cekaman salinitas dan
isolasi gen SiNAC065 pada empat genotipe hotong [Setaria italica (L.)
Beauv].
5
TINJAUAN PUSTAKA
Hotong (Setaria italica L. Beauv)
Hotong atau foxtail millet (Setaria italica L. Beauv) menempati urutan
keenam sebagai serealia utama dan dikonsumsi sepertiga penduduk dunia yang
hidup di daerah kering dan semi-kering (McDonough et al. 2000). Rata-rata
produktivitas hotong di dunia 0.8-0.9 ton ha-1 (FAO 2014). Hotong merupakan
salah satu jenis spesies millet yang paling banyak dibudidayakan dalam urutan
produksi di seluruh dunia selain pearl millet (Pennisetum glaucum), proso millet
(Panicum miliaceum), dan finger millet (Eleusine coracana) (Baker 2003).
Hotong tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, diantaranya adalah Pulau Buru,
Enrengkang (Sulawesi Selatan), Pulau Rote dan Pulau Sumba (Alamendah 2015;
Nurmala 2003).
Hotong termasuk dalam famili Graminae (Poaceae) (Hubbard 1915) yang
merupakan tanaman semusim penghasil karbohidrat (Andoko 2001). Biji hotong
merupakan bagian yang dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat. Sulistiyowati
(2015) melaporkan bahwa biji hotong memiliki panjang 0.58-0.76 mm, diameter
biji 0.73-1.22 mm, dengan kisaran bobot 100 butir 0.09-0.28 g. Menurut Zhang et
al. (2011), biji hotong terdiri atas 3 bagian yaitu: (1) kulit buah luar; (2) kulit buah
dalam; dan (3) kulit biji luar, yang terdiri atas kulit ari dan kulit biji dalam
(Gambar 2). Biji hotong memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi yaitu
72.8% (Cheng dan Dong 2010), dengan indeks glikemik yang rendah (Jali et al.
2012), kandungan antioksidan (Suma dan Urooj 2012) dan kandungan protein
(Amadou et al. 2013) yang tinggi. Kandungan protein kasar hotong lebih tinggi 12% dibandingkan sorgum, dan kandungan lisin hotong lebih tinggi 21%
dibandingkan jagung dan 36% dibandingkan sorgum (Tirajoh et al. 2012). Selain
karbohidrat dan protein, kandungan nutrisi biji hotong per 100 g adalah vitamin
B1 (37%), B2 (24%), B3 (31%), B5 (17%), B6 (29%), B9 (21%), dan mineral
kalsium (1%), besi (23%), magnesium (32%), fosfor (41%), kalium (4%), dan
seng (18%) (USDA 2015). Hotong juga dilaporkan berpotensi sebagai anti kanker
usus (Shan et al. 2014).
Tanaman ini memiliki batang yang kecil dan tegak, dengan kisaran tinggi
60-120 cm. Sistem perakaran rapat. Daunnya tunggal berbentuk garis, panjang
antara 16-32 cm dan lebar 1.5-2.5 cm dengan bagian ujung daun runcing. Bunga
hotong menyerupai bulir dengan panjang 8-18 cm dan tangkai malai berkisar 2530 cm, tegak atau melengkung. Biji berbentuk oval dengan warna yang bervariasi,
kuning pucat, jingga, merah, hingga cokelat atau hitam (Maim dan Rachie 1971).
Hotong dapat tumbuh hingga ketinggian 2 000 m dpl dengan curah hujan
tahunan yang relatif rendah, yaitu berkisar antara 500-700 mm per tahun (FAO
2014). Penanaman dapat dilakukan dengan cara menyebar benih atau mengubur
dengan kedalaman 4-6 cm untuk memudahkan perkecambahan. Tanaman ini
memiliki siklus hidup yang pendek, dengan waktu berbunga sekitar 56-62 hari
(Maim dan Rachie 1971). Selain itu, hotong memiliki kemampuan untuk
beradaptasi pada berbagai jenis tanah, termasuk lahan marginal tanpa memerlukan
pemeliharaan yang intensif seperti tanaman pangan lainnya (Herodian et al. 2009).
6
Gambar 2 Struktur biji Hotong (Zhang et al. 2011)
Cekaman Salinitas
Salinitas secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana
garam dapat larut dalam jumlah yang berlebihan dan berakibat buruk bagi
pertumbuhan tanaman. Garam-garam yang menyebabkan cekaman pada tanaman
antara lain adalah NaCl, NaSO4, CaCl2, MgSO4, MgCl2 yang terlarut dalam air.
Sebagian ion-ion garam akan terhidrolisis di dalam larutan tanah sehingga dapat
mengubah pH larutan menjadi asam atau basa dan mempengaruhi daya hantar
listrik (Vuorinen et al. 2006). Menurut Follet et al. (1981), tanah salin memiliki
pH < 8.5 dengan daya hantar listrik > 4 mmhos.cm-1.
Follet et al. (1981) mengklasifikasikan tanah menurut salinitas atas tiga
kelompok berdasarkan hasil pengukuran daya hantar listrik sebagai berikut :
1. Tanah salin dengan daya hantar listrik > 4.0 mmhos.cm-1, pH < 8.5 dan
Na-dd < 15% dengan kondisi fisik normal. Kandungan garam larutan
dalam tanah dapat menghambat perkecambahan, penyerapan unsur hara
dan pertumbuhan tanaman.
2. Tanah sodik dengan daya hantar listrik < 4.0 mmhos.cm-1, pH > 8.5 dan
Na-dd > 15% dengan kondisi fisik buruk. Garam yang terlarut dalam tanah
relatif rendah, dan keadaan tanah cenderung terdispersi dan tidak
permeable terhadap air hujan dan air irigasi.
3. Tanah salin sodik dengan daya hantar listrik > 4.0 mmhos.cm-1, pH < 8.5
dan Na-dd > 15% dengan kondisi fisik normal. Keadaan tanah umumnya
terdispersi dengan permeabilitas rendah dan sering tergenang jika diairi.
Cekaman salinitas akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui dua
cara utama yaitu kadar salin yang tinggi dalam tanah mengganggu kemampuan
akar untuk mengambil air, sedangkan konsentrasi garam yang tinggi pada jaringan
tanaman dapat menyebabkan keracunan, sehingga mengakibatkan penghambatan
proses fisiologis dan biokimia pada tanaman seperti serapan hara dan asimilasi
(Munns dan Tester 2008). Kedua efek ini saling berinteraksi mengakibatkan efek
penghambatan pertumbuhan perkembangan dan kelangsungan hidup tanaman.
Salisbury dan Ross (1995) melaporkan salah satu mekanisme adaptasi tanaman
terhadap salinitas adalah melalui pengaturan osmotik dengan cara mensintesis
senyawa-senyawa asam amino prolin, asam amino lain, galaktosil gliserol, dan
asam organik. Salinitas menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang
menghambat pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein serta penambahan
biomassa tanaman (Tuteja 2007). Tanaman yang mengalami cekaman salinitas
umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi
pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara perlahan.
7
Respon Anatomi Akar terhadap Cekaman Salinitas
Akar merupakan organ pokok tanaman yang berperan penting dalam
menjaga kelangsungan penyerapan hara dan air serta bertanggung jawab dalam
menjaga kelangsungan hidup tanaman (Petricka et al. 2012; Giehl et al. 2014).
Akar adalah bagian tanaman yang pertama kali terpapar cekaman salinitas.
Tingkat pertumbuhan akar ditentukan melalui pembelahan, diferensiasi dan
pemanjangan sel (Bennett dan Scheres 2010; Petricka et al. 2012; Giehl et al.
2014). Modifikasi akar merupakan respon yang menentukan toleransi tanaman
terhadap cekaman salinitas. Julkowska et al. (2014) melaporkan bahwa
konsentrasi NaCl di atas 75 mM menyebabkan penurunan panjang akar primer,
panjang akar lateral dan jumlah akar lateral pada 4 genotipe Arabidopsis thaliana,
perubahan arsitektur akar yang terjadi berasosiasi dengan rasio Na+/K+ pada tajuk
tanaman. Selain arsitektur akar, dampak salinitas juga dilaporkan mempengaruhi
anatomi akar. Respon anatomi akar bervariasi, tergantung pada spesies tanaman.
Farhana et al. (2014) melaporkan cekaman salinitas 200 mM menurunkan jumlah
dan diameter metaxylem pada akar jagung (Zea mays). Sebaliknya, jumlah dan
diameter pembuluh xylem (metaxylem) pada akar bibit Kikuyu (Pennisetum
clandestum Hoechst) dilaporkan meningkat pada kondisi salinitas (Muscolo et al.
2004).
Peran Etilen dalam Respon Tanaman terhadap Cekaman Salinitas
Etilen merupakan zat pengatur tumbuh berupa gas dalam suhu ruang
memiliki struktur kimia yang sederhana, dengan rumus molekul C2H4 (Abeles
1973; Cawse et al. 1980). Produksi etilen bergantung pada tipe jaringan, spesies
tumbuhan, dan tingkatan perkembangan (Salisbury dan Ross 1995). Etilen
dibentuk dari metionin melalui 3 proses (McKeon et al. 1995), yaitu 1. ATP
merupakan komponen penting dalam sintesis etilen. ATP dan air akan membuat
metionin kehilangan 3 gugus fosfat. 2. Asam 1-amino siklopropana-1-karboksilat
sintase (ACC-sintase) kemudian memfasilitasi produksi ACC dan SAM (Sadenosil metionin). 3. Oksigen dibutuhkan untuk mengoksidasi ACC dan
memproduksi etilen. Reaksi ini dikatalisasi menggunakan enzim pembentuk
etilen. Etilen dikategorikan sebagai hormon alami untuk penuaan dan pemasakan
dan secara fisiologis sangat aktif dalam konsentrasi sangat rendah (