Distribusi Tipologi Kepemilikan Rth Dki Jakarta Menggunakan Teknik Remote Sensing Citra Satelit Resolusi Tinggi

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Distribusi Tipologi
Kepemilikan RTH DKI Jakarta Menggunakan Teknik Remote Sensing Citra
Satelit Resolusi Tinggi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2015
Arista Nurbaya
A451130221

ARISTA NURBAYA. Distribusi Tipologi Kepemilikan RTH DKI Jakarta
Menggunakan Teknik Remote Sensing Citra Satelit Resolusi Tinggi. Dibimbing
oleh ALINDA F.M. ZAIN dan RUCHYAT DENI DJAKAPERMANA.
Kedudukan DKI Jakarta sebagai pusat ibukota Negara Indonesia dengan
luas 66,233 ha, menjadikannya sebagai pusat aktivitas ekonomi, politik dan sosial.
Tentu saja hal itu mengakibatkan pembangunan perkotaan yang sangat cepat.
Ruang terbuka dan area pertanian menjadi wilayah paling rentan tehadap
perubahan lahan untuk kegiatan pembangunan tersebut. Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta telah mangadopsi aturan dalam UU no. 26/2007, yaitu penyediaan RTH
30% dengan 20% diantaranya adalah kewajiban menyediakan RTH publik.
Meskipun penambahan RTH telah gencar dilakukan sejak tahun 2001, namun
menurut data tahun 2009, kondisi RTH publik masih jauh dari target yaitu sekitar
9:10 persen (BPLHD, 2015). Dalam upaya pengembangan RTH, perlu adanya
analisis terhadap kondisi RTH saat ini sehingga dapat ditentukan strategi yang
tepat untuk masa yang akan datang. Salah satunya adalah analisis kuantitatif yang
berupa jumlah dan sebaran yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.
Penelitian sebelumnya telah banyak dilakukan untuk menganalisa luas RTH
DKI Jakarta dengan menggunakan data citra satelit resolusi sedang. Namun
kondisi RTH publik di DKI Jakarta, sebagai sebuah kampung yang besar, banyak
yang berupa area sempit dan menyebar. Sehingga dalam penelitian ini
menggunakan citra resolusi tinggi untuk menghasilkan peta sebaran yang lebih
akurat. Metode NDVI digunakan untuk mendeteksi vegetasi dan klasifikasi
terbimbing Maximum Like hood digunakan untuk melengkapi akurasi peta RTH
yang dihasilkan. Peta distribusi RTH berdasarkan tipologi kepemilikan dihasilkan
dengan memanfaatkan integrasi RS dan GIS atas citra satelit yang telah
ditingkatkan resolusinya menggunakan teknik Pan sharpening.
Hasil penelitian ini mendeteksi luas RTH DKI Jakarta tahun 2013 sebesar
14.94%, dengan 53.49% diantaranya berupa tegakan pohon dan bagian lebih hijau

ditunjukkan pada wilayah timur dan selatan Jakarta. Berdasarkan data asset yang
telah diverifikasi, disimpulkan bahwa RTH publik DKI Jakarta 2014 adalah
5.44%, sementara area Privat sekitar 9.5%. Dari data RTH Publik tersebut, sekitar
70% area berhasil diidentifikasikan dan dipetakan. Potensi penambahan RTH
Publik berdasarkan terbentuknya infrastruktur hijau dari koneksi jalur hijau adalah
2,344 ha. Selain itu, hasil olah peta dengan Rencana Kawasan Terbuka Hijau DKI
Jakarta menunjukkan proyeksi penambahan RTH publik adalah 6,683.88 ha.
Kata kunci: Integrasi RS dan GIS, NDVI, Pansharpening, Ruang Hijau Kota,
SPOT:6.

ARISTA NURBAYA. Identification of Green Open Space Ownership Typology
Distribution on Special Capital Region of Jakarta Using Remote Sensing
Technique on High Resolution Satellite Imagery. Supervised by ALINDA FM
ZAIN dan RUCHYAT DENI DJAKAPERMANA
Jakarta as special capital city of Indonesia with 66.233 ha land area has
become the center of economic, politic and social activity. It influences to a fast
growth urban development. Green open spaces and agriculture are the most
vulnerable area because of those land use changes. Jakarta government has
adopted Act 26/2007 for 30% green open space provision which is 20% of its to
be public one. Even though local government has been allocating budget to

increase green open space ownership since 2001, unfortunately there is only 9 to
10 percent of green open space by year 2009 (BPLHD, 2015), and indeed
necessary for more expansion. In order to collate strategy developing and
increasing green open space, it is needed to understand it by analyze current
condition. Quantitative analysis from physic aspect dealing with the quantity and
the distribution wich is to be point of this study interest.
Previouse studies were using middle resolution satellite imagery;
unfortunately in fact that the city as a big kampong has a lot of fragmented green
area and most of them are small patches which would not be easy identified by
those images. Thus, the objective of this study is to produce an accurate green
open space spatial data use high resolution remote sensing image. Greenery
detected using NDVI method and improve its accuracy using Maximum Like
hood Supervised Classification map. The distribution of green open space mapped
using the benefit of RS and GIS integration on higher resolution image by Pan
sharpening technique.
The result of this study shows that green open space of Jakarta year 2013 is
14.94% with 53.49% in tree canopy form. Denser distribution founded over east
and south region. Base on verified data asset, it is concluded that the Jakarta
public green open space is 5.44% while the Private is 9.5%. About 70% of public
one has been identified and mapped to represent the distribution of green open

space ownership base. Additional potency of Public GOS by connecting the
greenways for Green Infrastructure is 2,344 ha. Meanwhile the result of Green
Region Planning map overlay shows that green open space projection area is
6,683.88 ha.
Keywords: RS and GIS Integration, NDVI, Pan sharpening, SPOT:6, Urban
Green Space

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang:Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Arsitektur Lanskap

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Indung Siti Fatimah, MSi

Judul Tesis : Distribusi Tipologi Kepemilikan RTH DKI Jakarta Menggunakan
Teknik Remote Sensing Citra Satelit Resolusi Tinggi
Nama
: Arista Nurbaya
NIM
: A451130221

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Alinda Fitriany Malik Zain, MSi
Ketua

Dr Ir Ruchyat Deni Djakapermana, MEng
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Arsitektur Lanskap

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Nizar Nasrullah, MAgr

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 14 Desember 2015

Tanggal Lulus:

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia:
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang akan dilaksanakan mulai bulan Februari hingga September 2015
ini ialah Distribusi Tipologi Kepemilikan RTH DKI Jakarta Menggunakan Teknik

Remote Sensing Citra Satelit Resolusi Tinggi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Alinda FM Zain, MSi dan
Dr Ir Ruchyat Deni Djakapermana, MEng selaku pembimbing yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh
pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan karya ilmiah khususnya
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi
DKI Jakarta. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ibu, dan
anak:anakku atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2015
Arista Nurbaya

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii


DAFTAR LAMPIRAN

ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Ruang Terbuka Hijau
Penginderaan Jarak Jauh
GIS (Geographic Information System)
SPOT – 6
Deteksi RTH Menggunakan Indeks Vegetasi
Klasifikasi Tutupan Lahan

4
4
7
8
8
9
11

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Teknik Pengumpulan Data
Prosedur Analisis Data


12
12
13
14
14

4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Fisik
Kondisi Sosial
Kondisi Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap RTH
Kondisi Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau

20
20
21
22
23

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Distribusi dan Kondisi RTH DKI Jakarta 2013
Distribusi RTH Publik dan Privat DKI Jakarta 2014
Potensi Penambahan RTH Publik DKI Jakarta

29
29
35
43

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

47
47
47

7 DAFTAR PUSTAKA

48

LAMPIRAN

53

RIWAYAT HIDUP

87

Tipologi Kepemilikan RTH
Spesifikasi SPOT:6
Alat Penelitian
Data yang diperlukan
Kepadatan Penduduk Menurut Wilayah DKI Jakarta 2014
Tabel Rekapitulasi Obyek RTH dalam Pengelolaan Dinas Pertamanan
dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta
7 Hasil Pengklasan Vegetasi DKI Jakarta 2013
8 Data Aset dan hasil identifikasi RTH DKI Jakarta 2014
9 Sebaran RTH tiap Kota Administrasi DKI Jakarta
10 Tabel Estimasi Luas RTH Tambahan untuk Infrastruktur Hijau RTH
Jalur Hijau
11 Proyeksi Penambahan berdasarkan Peta Rencana Kawasan RTH
1
2
3
4
5
6

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Diagram Alur Kerangka Pikir
Tipologi RTH
Sistem Orbit SPOT:6 /:7
Kurva karakteristik pantulan untuk vegetasi, tanah dan air
Ilustrasi perbedaan pantulan cahaya visible dan infra merah dekat
terhadap kondisi klororfil daun sehat (kiri) dan kurang sehat (kanan)
Lokasi Penelitian
Tahapan Penelitian
MONAS – citra SPOT:6 (a) Multispektral 3:1:2, res. 6m ; (b) Brovey
Transform 3:1:2, res. 1.5m
MONAS – citra SPOT:6 (a) Standard True Color; (b) Artificial Natural
Color
Diagram Alur Analisa Data
Pembangunan DKI Jakarta dan Sekitarnya 1972 – 2014
Peta Penggunaan Lahan DKI Jakarta 2009
Grafik Pembebasan Lahan untuk RTH Publik
Bagan Struktur RTH DKI Jakarta
RTH Taman Kota – Taman Menteng
RTH Taman Lingkungan – Taman Langsat
RTH Taman Refungsi – Taman Semanggi sisi barat
RTH Taman Interaktif – Taman Spathodea
RTH Taman Bangunan – Taman Balaikota
RTH Taman Pemakaman – TPU Pondok Rangon
RTH Jalur Hijau Jalan – Jl. Jend Sudirman (kiri), Jl. Jatibaru (kanan)
RTH Jalur Hijau Penyempurna – Fly over Cideng (kiri), Fly over
Jatibaru (kanan)
RTH Jalur Hijau Tepian Air – Banjir Kanal Barat
RTH Hutan Kota – HK Situ Rawa Dongkal

6
9
13
13
21
28
31
37
42
44
46

3
5
9
10
11
13
15
18
18
19
22
22
23
24
26
26
26
26
27
27
27
27
28
28

25
26
27
28
29
30
31

(a)DN 0.1868 – vegetasi (b) DN 0.1818:area terbangun
Peta Tutupan Vegetasi DKI Jakarta 2013 Menggunakan metode NDVI
Peta Tutupan Lahan DKI Jakarta 2013 Menggunakan Metode MLC
Peta Ruang Terbuka Hijau DKI Jakarta 2013
Peta Distribusi RTH Publik dan Privat DKI Jakarta 2014
Matriks Analisis Hasil Idntifikasi RTH Publik
Peta Proyeksi RTH Publik DKI Jakarta

1
2

Data survei lapang dalam penentuan klasifikasi dominasi vegetasi ............... 53
Data Area of Interest (AOI) untuk klasifikasi tutupan lahan dengan
metode Supervised Classifiation : Maximum Likehood ................................ 55
Perhitungan uji separabilitas dan uji akurasi Kappa terhadap klasifikasi
tutupan lahan................................................................................................ 57
Peta hasil deliniasi RTH Jalur Hijau Jalan .................................................... 58
Peta hasil deliniasi RTH Kehutanan ............................................................. 59
Peta hasil deliniasi RTH Olah Raga.............................................................. 60
Peta hasil deliniasi RTH Pemakaman ........................................................... 61
Peta hasil deliniasi RTH Taman Interaktif .................................................... 62
Peta hasil deliniasi RTH Taman Kota ........................................................... 63
Peta hasil deliniasi RTH Taman Lingkungan ................................................ 64
Peta hasil deliniasi RTH Taman Rekreasi ..................................................... 65
Peta hasil deliniasi RTH Tepian Air ............................................................. 66
Peta hasil deliniasi RTH Jalur Hijau JLTT ................................................... 67
Peta hasil deliniasi RTH Fungsi Lainnya (Sempadan KAI)........................... 68
Peta Rencana Kawasan Terbuka Hijau (Perda DKI No. 1/2012) ................... 69
Peta RTH Publik dan Proyeksinya di Wilayah Jakarta Barat......................... 70
Peta RTH Publik dan Proyeksinya di Wilayah Jakarta Pusat......................... 71
Peta RTH Publik dan Proyeksinya di Wilayah Jakarta Timur ....................... 72
Peta RTH Publik dan Proyeksinya di Wilayah Jakarta Selatan...................... 73
Peta RTH Publik dan Proyeksinya di Wilayah Jakarta Utara ........................ 74
Tabel Hasil Identifikasi RTH Publik ............................................................ 75

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

29
30
32
34
40
43
45

! "#
Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, sebagai pusat
pemerintahan dan pusat ekonomi, pusat keuangan dan jasa, serta sebagai tempat
kedudukan hampir keseluruhan perangkat pemerintahan tingkat nasional,
perwakilan negara:negara asing, pusat:pusat perusahaan multi nasional dan
gerbang utama wisatawan manca Negara. Jakarta berkembang pesat dan terus
menuju mega:urbanisasi, menjadi konsentrasi populasi perkotaan yang paling
besar di Indonesia ( Firman 2009). Seperti halnya sebagian besar kota:kota di Asia
dengan karakteristik pengembangan wilayahnya menuju kota metropolitan,
mengakibatkan hilangnya batas:batas kota dan berkembang menyebar ke semua
arah (Firman 2009).
Pembangunan perkotaan ditandai dengan banyaknya aktifitas ekonomi dan
penggunaan lahan dengan land rent tertinggi, menyebabkan pergeseran
penggunaan lahan yang bersifat irreversible (Rustiadi et al. 2011). Lahan
pertanian dan ruang terbuka hijau (RTH) adalah yang paling rentan terhadap
perubahan lahan (Malaque et al. 2007). Selama periode 1972:1997 terjadi
pengurangan RTH DKI Jakarta sebesar 23% (Zain 2002). Perubahan penggunaan
lahan dan tutupan lahan menjadi area terbangun berpengaruh penting terhadap
penurunan kualitas lingkungan. Tutupan lahan berupa lahan terbangun
meningkatkan suhu perkotaan dan berpengaruh pada perubahan iklim (Gill et al.
2007). Sementara diketahui bahwa RTH memegang peran penting dalam menjaga
kualitas lingkungan hidup di perkotaan. RTH memberikan naungan, menurunkan
suhu karena proses evaporasi, meresapkan dan menyimpan air hujan ke tanah
(Whitford et al. 2001). RTH berperan penting sebagai mitigasi efek perubahan
iklim (Gill et al. 2007), memberikan layanan ekosistem yang berharga,
mengurangi resiko bencana dan melindungi biodiversitas perkotaan
(Govindarajulu 2014).
UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang telah mengatur ketentuan
penyediaan 30% RTH, dari segi tipologi kepemilikan terbagi atas Publik dan
Privat. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban menyediakan RTH Publik sebesar
20%, sedangkan RTH Privat sebesar 10%. Dalam upaya penyediaan RTH,
diperlukan strategi dengan analisis yang melibatkan aspek fisik, kualitas, fungsi,
ekologi, lingkungan dan juga ekonomi (GK 2008). Hal yang paling penting dalam
aspek fisik adalah kuantitas RTH yang dapat berbentuk data spasial. Oleh karena
itu, penelitian ini menjadi penting dilaksanakan karena memberikan analisis yang
sesuai untuk menghasilkan data spasial berupa distribusi RTH berdasarkan
tipologi kepemilikan. Dalam memperoleh data spasial RTH untuk cakupan
wilayah digunakan teknik pengideraan jarak jauh (Remote Sensing / RS). RS
mampu mendeteksi dalam cakupan yang luas, dapat melakukan pengukuran
vegetasi dan sangat sesuai untuk deteksi perubahan lahan (Lawley 2015). Selain
itu juga memanfaatkan GIS (Geographic Information System), yang digunakan
untuk analisis jaringan RTH perkotaan (Combera et al. 2008).
Penelitian tentang RTH DKI Jakarta yang dilakukan sebelumnya, umumnya
menggunakan citra satelit resolusi sedang (Suwargana dan Susanto 2005; Fracillia

2
2007; Febrianti dan Sofan 2014). Dengan mempertimbangkan kondisi pemukiman
dan bangunan di Jakarta telah sedemikian padat, mengakibatkan ruang:ruang
terbuka hijau di lingkungan pemukiman menjadi tersebar dan kondisinya terpisah
oleh area terbangun dengan luasan yang tidak terlalu besar, maka dalam penelitian
ini dilakukan deteksi RTH DKI Jakarta menggunakan citra satelit SPOT:6 yang
memiliki resolusi spasial tinggi dengan memanfaatkan integrasi RS dan GIS.
Dengan melakukan integrasi RS dan GIS dapat meningkatkan efisiensi keluaran
serta akurasi pemetaan sebagai masukan pada proses perencanaan dan
pengelolaan wilayah (Danoedoro 2012). Integrasi RS dan GIS telah banyak
digunakan untuk studi lingkungan sumberdaya dan perkotaan (Weng 2010).
$%$& "

&

'

Rumusan masalah terkait dasar pemikiran bahwa permasalahan aktual
tentang berkurangnya RTH di DKI Jakarta, yang keberadaannya sangat penting
untuk menjaga kualitas lingkungan. Dalam rangka usaha revitalisasi RTH, maka
dirasa perlu untuk mengetahui distribusi spasial RTH saat ini berdasarkan tipologi
kepemilikan. Aspek utama dalam kajian ini adalah bagaimana mengolah citra
resolusi tinggi dengan metode yang tepat untuk keperluan identifikasi distribusi
RTH DKI Jakarta. Hal lain yang tidak kalah penting adalah memperoleh data
RTH yang akurat dan lengkap sebagai dasar identifikasi sehingga menghasilkan
peta distribusi RTH yang representatif. Dengan adanya pemetaan distribusi RTH
berdasarkan tipologi kepemilikan yang akurat dapat digunakan untuk analisis
potensi dan menjadi landasan dalam menentukan strategi penambahan RTH DKI
Jakarta. Gambar 1 menunjukkan bagan alur kerangka pemikiran dari penelitian
ini.
$($ "

" )) "

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendeteksi luasan RTH DKI Jakarta tahun 2013 menggunakan teknik remote
sensing citra satelit resolusi tinggi.
2. Mengidentifikasi distribusi spasial RTH Publik dan Privat DKI Jakarta.
3. Menganalisis potensi penambahan RTH berdasarkan peta distribusi tipologi
kepemilikan RTH DKI Jakarta.
"*

" )) "

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi spasial distribusi
RTH Privat dan Publik yang akurat dan alternatif potensi penambahan RTH
publik. Secara implikasi praktis, dapat memberikan masukan kepada Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dalam menentukan strategi dan kebijakan penambahan
RTH di Jakarta. Metode dan analisis yang digunakan pada penelitian ini
diharapkan juga dapat memberi manfaat untuk diadopsi dan diaplikasikan untuk
maksud serupa di kota atau daerah lain di Indonesia.

3
Luasan RTH DKI Jakarta
UU No. 26 Th 2007
Tidak diketahui distribusi
tipologi kepemilikan
RTRW DKI 2030
Kebijakan penambahan RTH DKI

Kajian Distribusi Tipologi RTH DKI
Jakarta
REMOTE SENSING
Data Asset Pemerintah

Publik

Privat

Distribusi RTH berdasarkan tipologi
kepemilikan
Potensi Penambahan RTH
berdasarkan tipologi kepemilikan

Gambar 1 Diagram Alur Kerangka Pikir
$ "# )"#!$+

" )) "

Ruang lingkup penelitian ini memberi batasan terhadap wilayah penelitian
dan batasan materi kajian. Lokasi penelitian dilakukan pada wilayah DKI daratan
meliputi 5 wilayah kota administrasi yaitu Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta
Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat dengan luas total 645.80 km2. Sedangkan
batasan materi kajian yang menjadi acuan analisis data data pembahasan
penelitian ini adalah :
1. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
2. Permen PU No.5/PRT/M/2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
3. Penentuan obyek RTH Publik didasarkan pada data asset tabulasi yang
diperoleh dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tidak dilakukan verifikasi
keabsahan bukti kepemilikan asset tersebut hingga aspek legal hukum yaitu
sertifikat kepemilikan. Data asset yang diperoleh diasumsikan telah valid
sesuai prosedur pencatatan data kepemilikan internal pemerintah provinsi.
4. Arahan rekomendasi potensi penambahan RTH Publik dibatasi pada sistesis
hasil analisis sebelumnya.

4

$ "#
"#

,$!

)( $

) " %$%
Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut Undang:Undang Nomor 26 Tahun
2007 adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya
lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam. Lebih khusus, definisi RTH di perkotaan
dijabarkan dalam Permendagri Nomor 1 tahun 2007 yaitu bagian dari ruang
terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna
mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Istilah RTH
perkotaan menurut Bernett et al. (2004) didefinisikan secara umum sebagai
vegetasi perkotaan bukan hanya taman dan ruang terbuka tetapi temasuk juga jalur
hijau jalan, taman perumahan dan semua jenis vegetasi yang ditemukan di
lingkungan kota. RTH adalah bagian dari ruang:ruang terbuka (open spaces) suatu
wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik,
introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang
dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan,
kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut (LPL 2005).
Keberadaan RTH dalam konsep ruang kota selain dikaitkan dengan
permasalahan utama perkotaan yang perlu dicari solusinya juga dikaitkan dengan
pencapaian tujuan akhir dari suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan,
kenyamanan, serta kesehatan warga dan kotanya. Menurut Peraturan Menteri PU
No. 5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang
Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan bahwa tujuan penyelenggaraan RTH adalah
(i) menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air; (ii) menciptakan
aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan
lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat; (iii)
meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman
lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.
RTH memiliki fungsi penting dalam menjaga kualitas lingkungan hidup di
suatu wilayah khususnya perkotaan. Semakin padat hunian dan tingkat populasi
yang tinggi maka semakin tinggi pula kebutuhan akan RTH khususnya untuk
anak:anak dan usia lanjut guna mendukung kesehatan fisik dan mental mereka
(Byrne & Sipe 2010). Dalam segi ekologi, RTH berfungsi memperbaiki iklim
perkotaan, meredakan efek pulau bahang dan mengurangi kerusakan lingkungan
(Choi et al. 2012). Kombinasi dari rumput, tanaman perdu dan pohon pada
struktur RTH memiliki kemampuan paling efektif untuk menurunkan suhu di
perkotaan (Zhang et al. 2014).
Dari sisi kepentingan sosial, RTH dapat menyeimbangkan gaya hidup yang
sehat. Berkurangnya tutupan pohon kota atau RTH pada area tertentu dalam kota
memicu ketimpangan kualitas hidup yang dapat menjurus pada ketidaksetaraan
aspek sosial dalam hal:hak memperoleh lingkungan yang baik untuk seluruh
penduduk kota (Heynen et al. 2006). Sedangkan dari segi estetika, RTH dapat
memberikan karakterstik pada daerah hunian tersebut bahkan dapat membangun
ciri khas kota (Balogh & Takacs 2011). Hijaunya kota tidak hanya meningkatkan

5
kualitas estetika kota namun yang lebih penting adalah jasa lingkungan yang
diberikan untuk kualitas lingkungan perkotaan (Dachlan 2013). Karenanya,
perencanaan untuk pengembangan RTH kota adalah dengan memanfaatkan
potensi kebutuhan ekologi dan sosial pada area yang ada secara maksimal
(Govindarajulu 2014).
)+- -#) $ "#
,$!
)( $
Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan
yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas
pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan
hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pekarangan. Ruang terbuka hijau
diklasifikasi berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur
vegetasinya (Fandeli 2004). Menurut Permen PU No. 5/PRT/M/2008 tipologi
atau penggolongan Ruang Terbuka Hijau dibagi berdasarkan aspek fisik, fungsi,
struktur dan kepemilikan. Tipologi RTH ditampilkan pada Gambar 2.

\
Sumber : Permen PU No. 5/PRT/M/2008

Gambar 2 Tipologi RTH
Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami berupa habitat liar
alami, kawasan lindung dan taman:taman nasional serta RTH non alami atau
binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur:jaur hijau jalan.
Dilihat dari fungsi RTH dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika, dan
ekonomi. Secara ekologi RTH dapat menurunkan tingkat pencemaran udara,
meningkatkan kandungan air tanah. Fungsi sosial budaya dapat diperoleh dari
manfaat RTH dalam menurunkan tingkat stres masyarakat dan konservasi situs
alami sejarah. Secara ekonomi, RTH dapat meningkatkan pendapatan masyarakat
dan meningkatkan jumlah wisatawan. Dan dalam segi estetika RTH dapat
meningkatkan kerapian dan keteraturan kota, meningkatkan kenyamanan kota dan
meningkatkan keindahan kota (LPL 2005).
Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok,
memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti hirarki dan
struktur ruang perkotaan. Dari segi kepemilikan, RTH dibedakan ke dalam RTH
Publik dan RTH Privat (Tabel 1). RTH Privat, adalah RTH milik institusi tertentu
atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas antara lain
berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami

6
tumbuhan. RTH Publik, adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah
daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara
umum (Permen PU No. 5/PRT/M/2008). Kedua jenis tipologi kepemilikan RTH,
baik RTH Publik maupun RTH Privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu
fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi sosial budaya,
estetika, dan ekonomi. Kombinasi yang sesuai antara fungsi:fungsi RTH tersebut
dapat memenuhi kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan sebuah kota.
Tabel 1 Tipologi Kepemilikan RTH
No Jenis RTH
RTH Publik
1. RTH Pekarangan
a. Pekarangan rumah tinggal
b. Halaman perkantoran, pertokoan dan tempat
usaha
c. Taman atap bangunan
2
RTH Taman dan Hutan Kota
a. Taman RT
b. Taman RW
c. Taman Kelurahan
d. Taman Kecamatan
e. Taman Kota
f. Hutan Kota
g. Sabuk Hijau (Green belt)
3
RTH Jalur Hijau Jalan
a. Pulau jalan dan median jalan
b. Jalur pejalan kaki
c. Ruang di bawah jalan layang
4
RTH Fungsi Tertentu
a. RTH sempadan rel kereta api
b. Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi
c. RTH sempadan sungai
d. RTH sempadan pantai
e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air
f. Pemakaman

RTH Privat

Sumber : Permen PU No. 5/PRT/M/2008
Catatan: Taman Lingkungan yang merupakan RTH Privat adalah taman lingkungan yang dimiliki
oleh orang perseorangan/masyarakat/swasta yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas

Jenis RTH yang termasuk dalam cakupan tipologi kepemilikan adalah RTH
Pekarangan, RTH Taman dan Hutan Kota, RTH Jalur Hijau Jalan dan RTH
Fungsi Tertentu. RTH Pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi
untuk berbagai aktivitas. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien
dasar bangunan (KDB) di kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam Perda
mengenai RTRW di masing:masing kota. RTH Taman adalah taman yang
ditujukan untuk melayani penduduk satu kota atau bagian wilayah kota. RTH
Hutan Kota adalah area dengan vegetasi minimal 100 pohon atau yang tidak
mempunyai pola bentuk tertentu dengan luas minimal 2500 m atau 90%:100%
berupa RTH dan jika berbentuk jalur lebar minimal 30m. RTH Jalur Hijau adalah
RTH dengan penempatan tanaman antara 20–30% dari ruang milik jalan (rumija)
sesuai dengan klas jalan. RTH Fungsi Tertentu adalah jalur hijau antara lain RTH
sempadan rel kereta api, RTH jaringan listrik tegangan tinggi, RTH sempadan

7
sungai, RTH sempadan pantai, RTH sempadan danau, RTH pengamanan sumber
air baku/mata air.
"#)".

"

!

$'

Teknik penginderaan berkembang pesat dalam teknologi informasi sebagai
sarana pendukung bagi pendalaman studi yang memerlukan data mengenai bentuk
dan keadaan muka bumi secara luas. Istilah penginderaan jauh merupakan
terjemahan dari Remote Sensing, didefinisikan sebagai ilmu dan seni pengukuran
untuk mendapatkan informasi suatu obyek atau fenomena, menggunakan suatu
alat perekaman dari suatu kejauhan, dimana pengukuran dilakukan tanpa
melakukan kontak langsung secara fisik dengan obyek atau fenomena yang diukur
/ diamati (ASP 1983 dalam Jaya 2014)
Teknologi penginderaan jauh sangat berguna dan dibutuhkan untuk
pemetaan, inventarisasi, pemantauan, evaluasi hingga pembuatan model untuk
pengelolaan suatu wilayah secara cepat, akurat dan efektif. Selain itu juga dapat
dipergunakan untuk mengantisipasi kecepatan perubahan yang terjadi yang dapat
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Penginderaan jarak jauh yang
berkembang saat ini memiliki keunggulan, antara lain (Jaya 2014):
1. Mampu memberikan data yang unik yang tidakbisa diperoleh dengan sarana
lain;
2. Mempermudah pekerjaan lapangan; dan
3. Mampu memberikan data yang lengkap dalam waktu yang relatif singkat dan
dengan biaya yang relatif murah.
Sistem penginderaan jauh ada dua jenis, yaitu sistem dengan bentuk data
fotografik dan sistem dengan data numerik. Pengenalan objek di permukaan bumi
didasarkan pada nilai reflektan energi elektromagnetik yang dipancarkan oleh
suatu objek yang direkam oleh sensor. Menurut Lillesand dan Kiefer (2004) di
permukaan bumi terdapat tiga obyek utama yaitu vegetasi, tanah, dan air dimana
tiap:tiap obyek ini memancarkan energi eletromagnetik dengan panjang
gelombang tertentu. Sifat:sifat inilah akhirnya digunakan sistem penginderaan
jauh untuk mengenali obyek:obyek atau tipe:tipe penutup lahan yang ada di
permukaan bumi.
Berdasarkan perkembangan teknologi platform dan sensor, penginderaan
jauh dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu (Jaya 2014) :
1. Penginderaan jauh pesawat (Airborne Remote Sensing, ARS), mencakup foto
udara, Airborne Multi Spectral Scanner – MSS dan Side-looking Airborne
Radar – SLAR
2. Penginderaan jauh satelit (Satelite Remote Sensing – SRS), meliputi MSS, TM,
SPOT, MESST, JERS:1, ERS:1, RADARSAT, IRS dan lain:lain.
Salah satu karakeristik keuntungan utama dari data citra yang diperoleh dari
sensor pesawat atau satelit adalah format digital. Sehingga secara spasial data
dapat diatur sesuai elemen citra atau piksel dan secara radiometri dapat dihitung
levelnya. Dengan bentuk digital maka data dengan mudah diolah menggunakan
berbagai sarana (Richard dan Jia 2005)

8
/
GIS dapat diartikan dalam berbagai cara, sebagai obyek maupun subyek.
Karenanya tidak heran jika definisinya sering menyesuaikan penggunaannya.
Dalam awal kemunculannya GIS didefinisikan sebagai sepuah software yang
terintegrasi yang khusus dirancang untuk penggunaan data geografi yang dapat
menangani berbagai masalah data secara komprehensif termasuk masukan data,
penyimpanan, pemanggilan data dan keluaran dengan berbagai deskripsi dan
proses analisis (Calkins dan Tomlinson 1977 dalam Weng 2010). GIS adalah
sistem untuk mendukung keputusan yang berhubungan dengan integrase dari data
spasial dalam memecahkan masalah lingkungan (Cowen 1988 dalam Maguire
1991). DoE (1987) dalam Josimovic dan Krunic (2008) mendefinisikan GIS
sebagai sebuah sistem yang menangkap, menyimpan, memeriksa, melakukan
manipulasi, menganilis dan menampilkan data spasial dengan referensi Bumi.
Tiga hal yang membedakan GIS dengan sistem informasi lainnya yaitu peta,
database, dan analisis spasial (Maguire 1991). Dia mendeskripsikan GIS sebagai
kesatuan yang terintegrasi antara perangkat keras, perangkat lunak, data dan
pengguna yang mengoperasikan. Burrough & Mc Donnell (1998) menjelaskan
semua aspek dalam GIS berhubungan dengan pengguna baik dalam hal presepsi,
pengukuran, model data, struktur data dan file sehingga membetuk database untuk
kemudian memanggilnya menjadi presentasi. Bahkan langkah pertama yang
paling penting adalah pengguna dalam mengobservasi dan mengartikan fenomena
awal yang nantinya akan mempengaruhi analisis selanjutnya. Sehingga berhasil
atau tidaknya GIS tidak hanya bergantung pada teknologi tetapi lebih kepada
kesesuaian pada penggunaannya. GIS kini tidak lagi hanya terbatas digunakan
pada alat untuk pemetaan, namun telah berkembang pada aplikasi komputer,
teknologi dan metode akademik secara luas yang berhubungan dengan
penggunaan informasi geospasial (Bohner et al. 2005).
01
SPOT (Systeme Probatoire de l’Observation de la Tere) adalah proyek
kerjasama antara Perancis, Swedia dan Belgia dibawah koordinasi CNES (Centre
National d’Etude Spatiales), badan ruang angkasa Perancis (Danoedoro 2012).
Penggunaan citra SPOT termasuk penginderaan jauh pasif yaitu system yang
menggunakan sumber energi yang telah ada dalam hal ini reflektansi energi
matahari dan/atau radiasi dari sumber obyek langsung (Jaya 2014). SPOT:6
adalah satelit SPOT generasi terakhir yang dilengkapi dengan system teknologi
lebih baik dan lebih maju dalam hal peningkatan reaktivitas dan kapasitas akuisisi
serta penyederhanaan akses data (Prabowo dan Sambodo 2014). Satelit SPOT:6
dirancang sebagai satelit kembar dengan SPOT:7, namun peluncuran SPOT:6
lebih awal daripada SPOT:7. Disebut kembar karena memiliki spesifikasi dan
karakteristik yang sama.
SPOT:6 dibuat oleh perusahaan Astrium, telah diluncurkan pada tanggal
9 September 2012 di sebuah peluncur PSLV dari pusat Antariksa Satish Dhawan
di India. SPOT:7 diluncurkan pada bulan Juni 2014 (Soubirane et al. 2015) untuk
sistem orbit membentuk konstelasi (Gambar 3) guna meningkatkan kapasitas
akuisisi harian (ASTRIUM 2013). Satelit SPOT:6 mengorbit bumi dengan orbit

9
sun-synchronous dengan periode orbit 98.79 menit selama 26 hari, yaitu pada
pukul 10.00 waktu setempat dengan arah orbit descending node. Jika SPOT:6
bekerja sendirian maka dibutuhkan waktu 1:3 hari untuk merekam obyek di
pemukaan bumi sesuai koordinat lintang obyek tersebut (ASTRIUM 2013). Satelit
ini mampu melihat obyek pada kondisi standar dengan incident angle 30o dan bisa
dimaksimalkan sampai 45o sejauh 1500 km tegak lurus arah azimuth (Prabowo
dan Sambodo 2014). Satelit SPOT 6 adalah sebuah satelit citra optik mampu
memberikan citra bumi dengan resolusi 1,5 meter dan 6 meter pankromatik
multispektral (Biru, Hijau, Merah, Near-IR) dan menawarkan produk:produk citra
untuk penggunaan di pertahanan, pertanian, penggundulan hutan, lingkungan
pemantauan, pengawasan pesisir, engineering, minyak, gas dan pertambangan
industri. Penggunaan citra SPOT:6 dapat menghasilkan peta hingga skala
1:25.000 (Soubirane et al. 2015). Spesifikasi dari SPOT:6 ditampilkan pada
Tabel 2.

Sumber : http://www.astrium:geo.com

Gambar 3 Sistem Orbit SPOT:6 /:7
Tabel 2 Spesifikasi SPOT:6
Spesifikasi Sensor Satelit SPOT:6
Citra Multispektral
B1 . Blue (0.455 m – 0.525 m)
B2 . Green (0.530 m – 0.590 m)
B3 . Red (0.625 m – 0.695 m)
B4 . Near-Infrared (0.760 m – 0.890 m )
Resolusi (GSD)
Panchromatic – 1.5 m
Multispektral– 6.0m (B,G,R,NIR)
Imaging Swath
60 KM pada Nadir
Sumber : http:// www.astrium:geo.com

!&)

"##$" ! " ". !& 2 #

&)

Sesuai dengan definisi yang telah dikemukaan sebelumnya bahwa tumbuhan
atau vegetasi merupakan unsur utama dari RTH. Untuk memperoleh luasan RTH
dalan area yang luas dapat digunakan teknik penginderaan jarak jauh
memanfaatkan citra satelit. Teknik analisis citra digital diperlukan untuk dapat

10
menginterpretasikan citra satelit dengan tepat. Analisis dapat diartikan sebagai
kegiatan penguraian dan atau penelaahan serta hubungan antar kompenen data
(nilai kecerahan dan nilai digital). Kegiatan analisis ini dapat dilakukan setelah
dilaksanakan kegiatan pengolahan citra.
Metode pengukuran vegetasi menggunakan citra satelit memanfaatkan
reflektansi dari fitur lanskap. Vegetasi memiliki ciri khas spektral yang unik
sehingga dapat dianalisa dengan berbagai cara untuk mendapatkan indeks yang
mewakili kondisi dari vegetasi. Secara grafis, karakteristik reflektansi atau
pantulan spektral dari gelombang cahaya visible (khususnya band merah) dan
inframerah disajikan pada gambar 4.

Sumber : Lillesand dan Kiefer (2004)

Gambar 4 Kurva karakteristik pantulan untuk vegetasi, tanah dan air
Jika biomassa vegetasi meningkat, maka reflektansi dari inframerah dekat akan
meningkat, sebaliknya pada gelombang cahaya visible akan menurun.
Peningkatan kelembaban tanah sepanjang garis tanah (soil line) akan menurunkan
reflektansi baik di daerah gelombang cahaya visible maupun inframerah dekat.
Untuk menghitung kepadatan tumbuhan pada suatu wilayah, maka
sebelumnya harus ditentukan dahulu warna unik (panjang gelombang) dari cahaya
visible dan infra merah dekat yang dipantulkan tumbuhan. Jika diurai, maka
cahaya matahari terdiri dari beberapa gelombang cahaya yang berbeda. Ketika
cahaya matahari mengenai suatu obyek, maka gelombang cahaya tertentu dari
spektrum ini diserap sedangkan gelombang cahaya tertentu lainnya akan
dipantulkan. Warna atau pigment daun pada tumbuhan, klorofil, sangat kuat
menyerap cahaya visible (dengan panjang gelombang dari 0.4 sampai 0.7 µm)
yang digunakan untuk proses fotositesis. Struktur sel dari daun, pada sisi lain akan
memantulkan dengan kuat cahaya inframerah dekat (panjang gelombang dari 0.7
sampai 1.1 µm).
Semakin banyak daun dan semakin tebal daun pada tumbuhan maka
panjang gelombang cahaya akan sangat berpengaruh pada hasil pantulannya. Jika
terdapat lebih banyak dipantulkan dari radiasi panjang gelombang inframerah
dekat daripada panjang gelombang visible, maka tumbuhan pada area tersebut
dapat dikatakan padat dan mungkin berupa hutan. Jika terdapat perbedaan yang
sangat kecil antara kecerahan panjang gelombang visible dan inframerah dekat
yang dipantulkan, maka tumbuhan mungkin jarang atau tipis dapat berupa padang

11
rumput, tundra, atau padang pasir. Gambar 5 mengilustrasikan perbedaan pantulan
cahaya visible dan infra merah dekat terhadap kondisi klororfil daun dari
tumbuhan yang sehat dan tumbuhan yang kurang sehat.

Sumber : http://earthobservatory.nasa.gov/Features/MeasuringVegetation

Gambar 5 Ilustrasi perbedaan pantulan cahaya visible dan infra merah dekat
terhadap kondisi klororfil daun sehat (kiri) dan kurang sehat (kanan)
Dengan menggunakan panjang gelombang dan kecerahan dari cahaya
visible dan inframerah dekat yang dipantulkan oleh permukaan tanah, ilmuwan
dapat memperoleh algoritma yang disebut “ Indeks Vegetasi “ untuk menghitung
konsentrasi dari vegetasi berdaun hijau. Jadi, Indeks Vegetasi adalah suatu indeks
yang dibentuk menggunakan operasi sederhana yaitu pengurangan dan rasio
antara band inframerah dekat dengan band merah. Citra rasio umumnya citra yang
diturunkan dari rasio band penyerap dengan band pemantul spektral dari suatu
material, oleh karena itu rasio akan menghasilkan informasi yang terkait dengan
komposisi vegetasi dari suatu obyek.
&)*)! &) $ $+ "

' "

Definisi tutupan lahan berperan penting dalam penentuan legenda peta,
karena sering tercampur dengan penggunaan lahan. Tutupan lahan didefinisikan
sebagai tutupan fisik atau biofisik yang ditangkap menutupi permukaan bumi
(Bartalev 2007). Sedangkan penggunaan lahan dicirikan dengan pengaturan,
aktifitas dan perlakukan manusia pada tipe tutupan lahan untuk memproduksi,
mengubah atau menjaganya. Dalam menentukan jenis tutupan lahan dilakukan
proses klasifikasi sehingga setiap klas dapat menggambarkan suatu entitas dengan
ciri:ciri tertentu. Prosedur klasifikasi citra bertujuan untuk melakukan kategorisasi
secara otomatis dari semua piksel citra ke dalam klas penutupan lahan. Klasifikasi
secara kuantitatif (segmentasi) diartikan sebagai proses pengelompokan piksel ke
dalam klas:klas yang ditetapkan berdasarkan peubah:peubah yang digunakan.
Berdasarkan teknik pendekatannya, klasifikasi dibedakan menjadi tidak

12
terbimbing (unsupervised classification) dan terbimbing (supervised
classification).
Pada unsupervised classification hanya sebagian kecil saja yang ditetapkan
atau didesain oleh analis. Klasifikasi sering disebut juga clustering, yaitu teknik
identifikasi untuk mengelompokkan (piksel) ke dalam suatu klas atau klaster yang
benar dalam suatu set kategori yang disusun. Dalam prosesnya, yang mempunyai
kemiripan akan dikelompokkan dalam satu kluster. Klaster yang dibentuk
terkadang mengandung gap. Calon:calon klaster ditentukan secara acak oleh
komputer, kemudian dilakukan iterasi untuk mengelompokkan piksel:piksel baru
untuk membentuk klas berdasarkan kemiripan DN. Campur tangan analis adalah
pemberian label dan mengevaluasi perlu digabung atau tidak klaster tersebut.
Metode penggambarannya antara lain Nearest neighbour methode : Single
Linkage, metode tetangga terdekat, Furthest neighbour method : Complete linkage
method, metode tetangga terjauh dan metode rata:rata, jarak rata:rata antara
klaster terdekat.
Sedangkan supervised classification adalah klasifikasi yang dilakukan
dengan arahan analis (supervised). Kriteria pengelompokan klas ditetapkan
berdasarkan penciri klas (class signature) yang diperoleh analis melalui
pembuatan training area. Penciri klas ini berdasarkan pada AOI (area of interest)
yang dibuat pada gambar feature space untuk citra yang diklasifikasi. Pemilihan
training area harus dilakukan secara teliti, karena kesalahan peletakan training
area akan menyebabkan kesalahan hasil klasifikasi.Terdapat beberapa metode
umum yang digunakan dalam klasifikasi terbimbing, antara lain : metode
kemungkinan maksimum (Maximum Likehood Method), metode Jarak Minimum
(Minimum Distance), metode multilevelslice (Parallelepiped) dan metode
Decision:tree (Knowledge Classification)

3
4 ! $ . " -! &)

" )) "

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah DKI Jakarta (Gambar 7), yang berada
pada posisi geografis antara 106.22’42” dan 106.58’18” Bujur Timur, serta antara
5.19’12” dan 6.23’54” Lintang Selatan dengan wilayah daratan mencakup 662.33
km2. Lokasi penelitian dilakukan pada wilayah DKI daratan meliputi 5 wilayah
kota administrasi yaitu Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan
dan Jakarta Barat dengan luas total 645.80 km2. Proses pengumpulan data dan
survei dilaksanakan pada bulan Maret – September 2015.

13

Sumber : Perda DKI Jakarta No.1/2012

Gambar 6 Lokasi Penelitian
. "

' "

Penelitian ini menggunakan peralatan dalam bentuk perangkat keras
maupun lunak (Tabel 3). Perangkat keras digunakan pada saat melakukan survei
lapang atau ground thruth, sedangkan perangkat lunak digunakan untuk
pengolahan data citra. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk data
citra dan asset ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 3 Alat Penelitian
Alat
"#! ! & 5
Kamera digital
"#! $" !5&-*
GPS (aplikasi)
Quantum:GIS
ArcMap 10.2
Erdas 9.2
Google Street View

Kegunaan
/
Pengambilan data visual obyek penelitian
/
Konfirmasi posisi koordinat obyek
Pengolahan data citra
Pengolahan data citra
Pengolahan data citra
Konfirmasi data visual obyek

Tabel 4 Data yang diperlukan
Jenis Data
Citra SPOT:6
Batas Administrasi
DKI Jakarta
Jalur Sungai
Jalur Jalan Utama
Peta Rencana
Wilayah RTH

Bentuk Data
Sumber
Soft copy format JP2, akuisisi LAPAN qq Dinas Pertamanan dan
bulan Agustus 2013
Pemakaman (DPP) DKI Jakarta
Soft copy format .shp, 2012
Bappeda DKI Jakarta
Soft copy format .shp, 2012
Soft copy format .shp, 2012
Soft copy format .shp, 2012

Bappeda DKI Jakarta
Bappeda DKI Jakarta
RTRW DKI Jakarta 2030.

14
Lanjutan – Tabel 4
Jenis Data
Peta Jaringan Sutet

Bentuk Data
Soft copy format .jpg, 2014

Peta Plotting RTH
Data RTH DKI
Jakarta
Data RTH
Kehutanan dan
Pertanian

Soft copy format .shp, 2013
Soft copy format .xls, 2014
Hard copy

Sumber
Bappeda DKI Jakarta
RDTR DKI Jakarta, Bappeda DKI
Jakarta
DPP DKI Jakarta
DPP DKI Jakarta dan Sudin
Dinas Kelautan, Pertanian dan
Ketahanan Pangan DKI Jakarta

!")!

"#$%+$ "

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
pustaka, survei, asistensi dengan stakeholder, dan unduh data. Studi pustaka
dilakukan untuk menggali referensi metode analisis yang tepat sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini. Survei atau ground thruth dilakukan
dalam rangka identifikasi lokasi obyek dan konfirmasi hasil analisis data.
Asistensi dengan stakeholder, dalam hal ini dinas teknis yang berhubungan
dengan pengelolaan RTH DKI Jakarta, dilakukan untuk membantu proses
identifikasi dan deliniasi RTH Publik dan memperoleh pandangan pimpinan
terhadap kondisi dan arah pengembangan RTH DKI Jakarta. Untuk memperoleh
data citra sebagai bahan utama penelitian ini dilakukan dengan mengunduh dari
pihak Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta. Data asset yang akan
digunakan dalam menentukan luas dan distribusi RTH menurut tipologi
kepemilikan diperoleh dari dinas teknis Pemprov DKI Jakarta.
-& .$

" )&)&

Penelitian ini dimulai dengan penentuan area vegetasi yang diturunkan dari
data penginderaan jauh dalam hal ini data SPOT:6. Citra SPOT:6 yang memiliki
resolusi spasial 6.0/1.5 sesuai dengan kebutuhan identifikasi area RTH DKI
Jakarta yang sebagian berupa area yang tidak terlalu luas dan banyak diantaranya
dengan rata:rata kurang dari 100m2, oleh karena itu perlu citra dengan resolusi
spasial < 10m. Tahapan penelitian ini secara keseluruhan ditunjukkan dalam
Gambar 8. Tahap pertama adalah deteksi RTH DKI Jakarta 2013. Pada tahap ini
menggunakan data masukan berupa Citra SPOT–6 yang diolah dengan
menggunakan metode Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) untuk
menghasilkan area hijaun serta klasifikasi vegetasi DKI Jakarta. Sementara itu,
dilakukan pula klasifikasi tutupan lahan menggunakan metode Maximum
Likehood Classification (MLC) yang digunakan pada proses overlay untuk
menghasilkan keluaran peta RTH DKI Jakarta 2013.
Tahap kedua adalah identifikasi RTH Publik dan Privat. Pada tahap ini
masukan masih berupa citra SPOT:6 yang telah diperbaiki resolusi spasial dan
spektralnya sehingga memudahkan pada proses intrepertasi dan deliniasi obyek
RTH Publik. Sedangkan RTH Privat diperoleh dari hasil overlay dengan peta
RTH yang telah dihasilkan dari tahap pertama.

15
Tahap akhir dari penelitian ini adalah analisis potensi penambahan RTH
Publik DKI Jakarta. Pada tahap ini menggunakan peta sebaran RTH Publik/Privat
dari tahap kedua sebagai bahan analisis penambahan RTH Publik. Hasil analisis
ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi terhadap kebijakan penambahan
luasan RTH di DKI Jakarta.

Gambar 7 Tahapan Penelitian
" )&)& )& ),$&) . "

-".)&)

!

3

!&) $ $+ " 2 # &)6 Pada Citra dilakukan pemulihan citra (image
restoration) meliputi koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Selanjutnya
dilakukan pemotongan citra menggunakan peta administrasi DKI Jakarta
(daratan). Sebaran vegetasi yang diasumsikan sebagai RTH menggunakan
perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). NDVI merupakan
perhitungan citra yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan untuk
mengetahui pembagian dari daerah vegetasi. NDVI berhubungan dengan FAPAR
(Fraction of Absorbed Photosynthetically Active Radiation) (Myneni & Williams
1994) dan sensitif terhadap aktifitas fotosintesa oleh klorofil (Gamon et al. 1995),
sehingga perhitungan RTH lebih baik menggunakan metode indeks vegetasi
(Febrianti & Sofan 2014). Nilai NDVI diperoleh dengan melakukan ekstraksi
terhadap kanal 3 dan 4 dari citra SPOT:6 dengan menerapkan rumus berikut yang
akan memiliki nilai berkisar antara :1.0 sampai dengan +1.0.


Nilai lebih besar dari pada 0.1 menandakan peningkatan derajat kehijauan
dan intensitas dari vegetasi. Pada beberapa penelitian, permukaan vegetasi yang
memiliki rentang nilai 0,1 menunjukkan padang rumput dan semak belukar, dan
nilai lebih tinggi hingga 0,8 menunjukkan hutan hujan tropis. Namun dalam
penelitian ini, nilai treshhold dari jenis:jenis pengklasan vegetasi akan disesuaikan
dengan kondisi lapangan dengan melakukan ground thruth. Pemeriksaan lapang
(ground thruth) adalah proses yang dilakukan untuk mengkonfirmasi informasi
yang telah diinterpretasi pada citra. Selain menggunakan metode ground thruth,

16
validasi juga dilakukan dengan memanfaatkan citra dengan resolusi lebih tinggi
(Vancutsem et al. 2009) dan fasilitas Google Street View citra tahun 2013 yang
tersedia di https://www.google.com/maps/streetview/. Dengan demikian nilai
piksel atau DN yang telah diklasifikasikan sebagai vegetasi dapat dievaluasi
sehingga analisis vegetasi menggunakan NDVI memperoleh hasil dengan akurasi
yang baik.
&)*)! &) 2 # &)6 Hasil klasifikasi vegetasi berdasarkan metode NDVI
akan menunjukkan tingkat kepadatan vegetasi yang dapat diasumsikan sebagai
jenis dominasi vegetasi. Nilai pembagian dari threshold NDVI didasarkan pada
klasifikasi dominasi vegetasi. Dari hasil pengklasan RTH tersebut dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) klas yaitu:
1. Vegetasi padat yang diasumsikan sebagai tegakan pohon/hutan kota,
2. Vegetasi sedang, diasumsikan sebagai tanaman perdu/taman kota/taman
interaktif/ ladang/pekarangan,
3. Vegetasi jarang, diasumsikan sebagai rumput/semak/pemakaman.
. " )*)! &) $ & "
6 Dalam Permen PU No. 5/PRT/M/2008, sawah
tidak didefinisikan sebagai RTH kecuali yang yang telah ada sebelumnya (existing)
dan melalui peraturan yang berketetapan hukum, dipertahankan keberadaannya.
Sedangkan hasil peta NDVI tidak dapat membedakan antara vegetasi rumput dan
persawahan. Oleh karena itu perlu memisahkan luasan sawah dari peta NDVI
untuk menghasilkan peta RTH DKI Jakarta 2013. Luasan sawah diperoleh dengan
melakukan klasifikasi tutupan lahan menggunakan metode klasifikasi terbimbing
Maximum Likehood Classification (MLC). Cara kerja dari algoritma ini adalah
memperhitungkan peluang suatu piksel untuk dikategorikan dalam satu klas
tutupan lahan. Keputusan satu piksel untuk dimasukkan dalam klas tertentu
membutuhkan informasi statistik berupa nilai rata:ra