Combination of Ultraviolet and High Pulsed Electric Field Method towards Physical, Chemical and Microbiological Quality of Goat’s Milk Recontaminated by Salmonella Typhimurium ATCC 14028

(1)

0

APLIKASI KOMBINASI METODE ULTRAVIOLET DAN HIGH

PULSED ELECTRIC FIELD TERHADAP KUALITAS FISIK,

KIMIA DAN MIKROBIOLOGIS SUSU KAMBING YANG

DIREKONTAMINASI Salmonella Typhimurium

ATCC 14028

SKRIPSI

MUHAMMAD SARWAR KHAN

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(2)

i RINGKASAN

Muhammad Sarwar Khan. D14070281. 2012. Aplikasi Kombinasi Metode Ultraviolet dan High Pulsed Electric Field terhadap Kualitas Fisik, Kimia dan Mikrobiologis Susu Kambing yang Direkontaminasi Salmonella Typhimurium ATCC 14028. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Budi Hariono, M.Si

Susu merupakan pangan yang sempurna karena mengandung hampir semua nutrien yang dibutuhkan oleh manusia. Susu kambing memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan susu sapi. Susu kambing tidak menyebabkan alergi, mengandung lebih banyak medium chain triglycerides yang terbukti secara ilmiah

dapat mengurangi deposisi kolesterol dalam darah, juga mengandung lebih banyak asam amino esensial. Susu kambing juga merupakan salah satu komoditas yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber susu di Indonesia, untuk mengurangi kebutuhan impor susu nasional.

Kandungan nutrien yang tinggi dalam susu, didukung oleh pH yang mendekati normal dan nilai aw (aktivitas air) yang tinggi membuat komoditas

tersebut juga menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri pembusuk. Salah satu bakteri pembusuk yang sering mengontaminasi susu dan produk olahannya adalah

Salmonella Typhimurium. Kontaminasi Salmonella sp. pada produk pangan dapat

menyebabkan salmonellosis bagi orang yang mengonsumsinya. Bakteri tersebut merupakan bakteri patogen berbahaya sehingga Badan Standarisasi Nasional Indonesia (BSN) mensyaratkan bakteri tersebut tidak terkandung dalam susu segar.

Metode termal umum digunakan untuk meminimalkan kontaminasi mikroorganisme pada susu. Pasteurisasi (pemanasan dibawah titik didih susu) dan sterilisasi (pemanasan diatas titik didih susu) terbukti efektif dalam menekan jumlah total mikroorganisme pada susu, namun metode tersebut memiliki kelemahan, yaitu menurunkan kualitas fisik, kimia dan sensori susu segar. Kondisi tersebut membuat para peneliti terus mengembangkan metode pengawetan susu tanpa panas atau dikenal dengan pasteurisasi nontermal.

Metode Iradiasi Ultraviolet (UV) dan High Pulsed Electric Field (HPEF)

merupakan dua metode pasteurisasi nontermal yang sedang dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi terbaik antara dosis UV dan frekuensi HPEF untuk menekan jumlah total bakteri pada susu kambing segar dan

Salmonella Typhimurium pada susu kambing yang direkontaminasi dengan bakteri

tersebut, tanpa memengaruhi kualitas fisik, kimia, mikrobiologis susu kambing segar. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kombinasi antara UV dosis 6,75 kGy (3 reaktor) dan HPEF frekuensi 15 Hz tidak memengaruhi (P>0,05) kualitas fisik susu kambing segar yang meliputi berat jenis, titik beku, pH, konduktivitas, kalor spesifik, dan viskositas. Kualitas kimia susu kambing segar yang meliputi kadar air, bahan kering tanpa lemak, kadar protein, kadar lemak, dan kadar laktosa juga tidak didapatkan dipengaruhi (P>0,05) oleh perlakuan tersebut.

Bilangan peroksida susu kambing segar, yang mengindikasikan adanya oksidasi lemak, tidak berubah sebelum dan setelah perlakuan kombinasi UV dan


(3)

ii HPEF. Hasil penelitian ini, melalui elektroforesis menemukan adanya denaturasi protein susu kambing segar di tingkat molekul yang memiliki efek menguntungkan karena meningkatkan daya cerna protein susu kambing. Denaturasi tersebut tidak memengaruhi persentase kadar protein susu kambing secara nyata (P>0,05).

Metode kombinasi UV dan HPEF berhasil menurunkan 0,49 log siklus total bakteri pada susu kambing segar. Metode tersebut juga berhasil menurunkan sebanyak 47,8% populasi Salmonella Typhimurium ATCC 14028 yang

direkontaminasikan ke dalam susu kambing.


(4)

iii ABSTRACT

Combination of Ultraviolet and High Pulsed Electric Field Method towards Physical, Chemical and Microbiological Quality of Goat’s Milk

Recontaminated by Salmonella Typhimurium ATCC 14028 Khan, M. S., R. R. A. Maheswari, B. Hariono

Milk is a perfect food because it contains all nutrients needed for human growth.

Goat‟s milk has some superiority compared to cow‟s milk such as does not cause

allergic, contains more medium chain triglycerides and essential amino acids. The high nutrients in milk supported with an almost neutral pH and high aw (water

activity) makes it not only advantageous for human, but also for pathogenic bacteria such as Salmonella Typhimurium. Heat treatment such as pasteurization is the

effective way to minimize microbial contamination in milk, but the method causes changes towards physical, chemical and sensorial quality of fresh milk. Therefore, non thermal treatment has been developed to inactivate microorganism as well as maintaining the fresh like of milk. Combination of Ultraviolet Irradiation and High Pulsed Electric Field is being developed in this occasion for that purpose. This research aimed to obtain the best combination of both method to reduce total plate

count of fresh goat‟s milk and Salmonella Typhimurium recontaminated on goat‟s

milk. The result showed that combination of UV and HPEF method was successfully reduce 0.49 log cycle of the total plate count and 47.8% of Salmonella Typhimurium

ATCC 14028 without giving a significant impact (P>0.05) on physical and chemical

quality of fresh goat‟s milk. Peroxide number of milk did not change after treatment. Protein denaturation on molecular level was observed, which gives an advantage to

increase the protein‟s bioavailability.


(5)

iv

APLIKASI KOMBINASI METODE ULTRAVIOLET DAN HIGH

PULSED ELECTRIC FIELD TERHADAP KUALITAS FISIK,

KIMIA DAN MIKROBIOLOGIS SUSU KAMBING YANG

DIREKONTAMINASI Salmonella Typhimurium

ATCC 14028

MUHAMMAD SARWAR KHAN D14070281

LEMBAR PEESAHAN

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(6)

v Judul : Aplikasi Kombinasi Metode Ultraviolet dan High Pulsed Electric Field

terhadap Kualitas Fisik, Kimia dan Mikrobiologis Susu Kambing yang Direkontaminasi Salmonella Typhimurium ATCC 14028

Nama : Muhammad Sarwar Khan NIM : D14070281

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

(Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA) (Dr. Ir. Budi Hariono, M.Si) NIP. 19620504198703 2 002 NIP. 19660519 199202 1 001

Mengetahui Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP. 19591212198603 1 004


(7)

vi RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1989 di DKI Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara dari Aly Akbar dan Salmah Begum. Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan di SMA Negeri 2 Kota Sukabumi. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2007.

Penulis terlibat aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) International Association of Students in Agriculture and Related Sciences (IAAS) dan menjadi Local Exchange Coordinator pada tahun 2009. Penulis juga terlibat aktif sebagai

anggota IPB Debating Club dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi

Peternakan (Himaproter), serta berbagai kegiatan kepanitiaan tingkat universitas, nasional maupun internasional.

Penulis pernah menjadi delegasi IPB tingkat internasional dalam acara The 1st International Agriculture Student Symposium (IASS), 2009 di Universiti Putra

Malaysia, Malaysia; The 3rd International Symposium on Strategies for Sustainability in Food Production, Agriculture and the Environment in Asia, 2009 di Niigata University, Jepang; International Satellite Seminar, 2011 di Niigata University,

Jepang dan The 18th Tri University International Joint Seminar and Symposium,

2011 di JiangSu University, China. Penulis juga pernah menjadi delegasi IPB tingkat

nasional dalam acara Presidential Lecturer featuring Bill Gates, 2007 serta

kontingen Institut Pertanian Bogor pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) XXIV, 2011 di Universitas Hassanudin, Makassar. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum Mata Kuliah Dasar-dasar Teknologi Hasil Ternak, dan Teknik Pengolahan Susu di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.


(8)

vii KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena atas hidayah dan rahmatNya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul Aplikasi Kombinasi Metode Ultraviolet dan High Pulsed Electric Field terhadap Kualitas fisik, Kimia dan Mikrobiologis Susu Kambing yang Direkontaminasi Salmonella Typhimurium ATCC 14028 adalah karya tulis ilmiah yang bertujuan untuk mencari alternatif metode pengawetan susu kambing segar nontermal yang dapat memertahankan fresh-like susu kambing. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa metode High Pulsed Electric Field mampu menurunkan populasi bakteri Salmonella Typhimurium yang

direkontaminasi dalam susu kambing, namun treatment chamber yang digunakan

statis, sehingga hanya sedikit sampel susu yang dapat diberi perlakuan. Penelitian lanjutan diperlukan untuk optimasi metode, sehingga pengombinasian dengan UV diperlukan untuk meningkatkan efektivitas penurunan populasi bakteri uji. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kualitas fisik, kimia dan mikrobiologis susu kambing segar dan susu kambing yang direkontaminasi Salmonella Typhimurium yang diberi

perlakuan kombinasi UV dan HPEF. Karya kecil ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pengawetan susu yang dapat diaplikasikan pada tingkat petani dan peternak.

Hasil dari penelitian ini merupakan salah satu wujud nyata dari ide mahasiswa dalam mengamalkan Tridarma perguruan tinggi sebagai salah satu pondasi penting suatu negara untuk mengabdi dan mencari solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa. Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Segala kebaikan yang ada pada karya ini sesungguhnya berasal dari Allah SWT dan segala kekurangannya berasal dari ketidaksempurnaan penulis.

Bogor, Agustus 2012


(9)

viii DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Susu Kambing ... 3

Salmonella Typhimurium ... 4

Pasteurisasi Nontermal ... 5

High Pulsed Electric Field (HPEF) ... 5

Iradiasi Ultraviolet ... 8

MATERI DAN METODE ... 10

Lokasi dan Waktu ... 10

Materi ... 10

Prosedur ... 11

Optimasi Aplikasi Metode Ultraviolet ... 11

Penyegaran Kultur Bakteri ... 11

Pewarnaan Gram ... 11

Perhitungan Populasi S. Typhimurium ATCC 14028 ... 12

Aplikasi Kombinasi UV dan HPEF pada Susu Kambing Segar ... 12

Persiapan Susu Kambing yang Direkontaminasi S. Typhimurium ... 12

Aplikasi Kombinasi UV dan HPEF pada Susu Kambing yang Direkontaminasi S. Typhimurium ATCC 14028 ... 13

Uji Kualitas Fisik Susu Kambing ... 13

Uji Kualitas Kimia Susu Kambing ... 13

Uji Kualitas Mikrobiologis Susu Kambing ... 16

Bagan Alir Penelitian ... 17


(10)

ix

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Karakteristik Bakteri Salmonella Typhimurium ATCC 14028 ... 19

Optimasi Dosis Metode Ultraviolet ... 20

Pengaruh Aplikasi Dosis atau Jumlah Reaktor Ultraviolet yang Berbeda terhadap Kualitas Fisik Susu Kambing Segar ... 21

Berat Jenis ... 22

Titik Beku ... 22

Nilai pH ... 22

Konduktivitas ... 23

Kalor Spesifik ... 23

Viskositas ... 24

Pengaruh Aplikasi Dosis atau Jumlah Reaktor Ultraviolet Berbeda terhadap Kualitas Kimia Susu Kambing Segar ... 24

Kadar Air ... 24

Kadar Protein ... 25

Kadar Lemak ... 25

Kadar Laktosa ... 26

Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) ... 27

Pengaruh Aplikasi Dosis atau Jumlah Reaktor Ultraviolet Berbeda terhadap Kualitas Mikrobiologis Susu Kambing Segar ... 27

Dosis Ultraviolet Terbaik ... 29

Pengaruh Aplikasi Kombinasi Ultraviolet Dosis 6,75 dan HPEF Frekuensi Berbeda terhadap Kualitas Fisik Susu Kambing Segar ... 30

Pengaruh Aplikasi Kombinasi Ultraviolet Dosis 6,75 kGy dan HPEF Frekuensi Berbeda terhadap Kualitas Kimia Susu Kambing Segar ... 31

Pengaruh Aplikasi Kombinasi Ultraviolet Dosis 6,75 kGy dan HPEF Frekuensi Berbeda terhadap Kualitas Mikrobiologis Susu Kambing Segar ... 32

Pengaruh Aplikasi Kombinasi Ultraviolet Dosis 6,75 kGy dan HPEF Frekuensi 15 Hz terhadap Nilai Bilangan Peroksida Susu Kambing Segar ... 34

Elektroforesis Protein Susu Kambing Segar yang Diberi Perlakuan Ultraviolet Dosis 6,75 kGy dan HPEF Frekuensi Berbeda ... 35

Pengaruh Aplikasi Kombinasi Ultraviolet dan HPEF terhadap Reduksi Salmonella Typhimurium ATCC 14028 pada Susu Kambing ... 37

KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

Kesimpulan ... 40

Saran ... 40

UCAPAN TERIMA KASIH ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 43 LAMPIRAN ... 468


(11)

(12)

xi DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Klasifikasi Kualitas Susu Kambing Segar Berdasarkan Beberapa

Parameter ... 3 2. Pengaruh Dosis UV Berbeda terhadap Kualitas Fisik Susu Kambing

Segar ... 21 3. Pengaruh Dosis UV Berbeda terhadap Kualitas Kimia Susu Kambing

Segar ... 24 4. Pengaruh Aplikasi Kombinasi UV dan HPEF terhadap Kualitas Fisik

Susu Kambing Segar ... 31 5. Pengaruh Aplikasi Kombinasi UV dan HPEF terhadap Kualitas Kimia

Susu Kambing Segar ... 31 6. Bilangan Peroksida Susu Kambing ... 34


(13)

xii DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Salmonella Typhimurium ... 4

2. Elektroporasi Membran Sel ... 6

3. Kerusakan Elektrik Sel ... 7

4. Visualisasi DNA Sebelum dan Sesudah Terkena Sinar Ultraviolet ... 8

5. Diagram Alir Penelitian ... 17

6. Karakteristik Bakteri Uji Salmonella Typhimurium ATCC 14028 ... 19

7. Koloni S. Typhimurium pada Media SSA ... 20

8. Skematik Reaktor Ultraviolet ... 21

9. Penurunan Jumlah Total Bakteri pada Susu Kambing Segar ... 27

10. Persentase Reduksi Total Bakteri pada Susu Kambing Segar ... 28

11. Skematik Kombinasi UV dan HPEF ... 30

12. Grafik Penurunan Jumlah Total Bakteri pada Susu Kambing ... 32

13. Pita Protein Susu Kambing Hasil Elektroforesis ... 36


(14)

xiii DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Nilai BJ Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan Ultraviolet ... 47 2. Nilai Titik Beku Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Ultraviolet ... 47 3. Nilai pH Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan Ultraviolet ... 47 4. Nilai Konduktivitas Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Ultraviolet ... 47 5. Nilai Kalor Spesifik Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Ultraviolet ... 47 6. Nilai Viskositas Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Ultraviolet ... 47 7. Nilai Kadar Air Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Ultraviolet ... 48 8. Nilai Kadar Lemak Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Ultraviolet ... 48 9. Nilai Kadar Laktosa Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Ultraviolet ... 48 10. Nilai Kadar Protein Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Ultraviolet ... 48 11. Nilai Kadar BKTL Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Ultraviolet ... 48 12. Nilai BJ Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan Kombinasi UV

dan HPEF ... 49 13. Kadar BKTL Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan Kombinasi

UV dan HPEF ... 49 14. Kadar Lemak Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan Kombinasi

UV dan HPEF ... 49 15. Kadar Protein Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan Kombinasi

UV dan HPEF ... 49 16. Kadar Laktosa Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Kombinasi UV dan HPEF... 49 17. Nilai pH Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan Kombinasi UV

dan HPEF ... 50 18. Nilai Konduktivitas Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Kombinasi UV dan HPEF... 50 19. Nilai Viskositas Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan


(15)

xiv 20. Nilai Kalor Spesifik Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Kombinasi UV dan HPEF... 50 21. Nilai Titik Beku Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Kombinasi UV dan HPEF... 50 22. Nilai Kadar Air Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan

Kombinasi UV dan HPEF... 51 23. Analisis Ragam Rataan Nilai BJ Susu Kambing Sebelum dan Setelah

Perlakuan UV ... 51 24. Analisis Ragam Rataan Nilai Titik Beku Susu Kambing Sebelum dan

Setelah Perlakuan UV ... 51 25. Analisis Ragam Rataan Nilai Konduktivitas Susu Kambing Sebelum

dan Setelah Perlakuan UV ... 51 26. Analisis Ragam Rataan Nilai pH Susu Kambing Sebelum dan Setelah

Perlakuan UV ... 51 27. Analisis Ragam Rataan Nilai Konduktivitas Susu Kambing Sebelum

dan Setelah Perlakuan UV ... 52 28. Analisis Ragam Rataan Nilai Viskositas Susu Kambing Sebelum dan

Setelah Perlakuan UV ... 52 29. Analisis Ragam Rataan Kadar Air Susu Kambing Sebelum dan Setelah

Perlakuan UV ... 52 30. Analisis Ragam Rataan Kadar Lemak Susu Kambing Sebelum dan

Setelah Perlakuan UV ... 52 31. Analisis Ragam Rataan Bahan Kering Tanpa Lemak Susu Kambing

Sebelum dan Setelah Perlakuan UV ... 52 32. Analisis Ragam Rataan Kadar Laktosa Susu Kambing Sebelum dan

Setelah Perlakuan UV ... 53 33. Analisis Ragam Rataan Kadar Protein Susu Kambing Sebelum dan

Setelah Perlakuan UV ... 53 34. Analisis Ragam Rataan Nilai pH Susu Kambing Sebelum dan Setelah

Perlakuan Kombinasi UV dan HPEF ... 53 35. Analisis Ragam Rataan Nilai Konduktivitas Susu Kambing Sebelum

dan Setelah Perlakuan Kombinasi UV dan HPEF ... 53 36. Analisis Ragam Rataan Nilai BJ Susu Kambing Sebelum dan Setelah

Perlakuan Kombinasi UV dan HPEF ... 53 37. Analisis Ragam Rataan Kadar Lemak Susu Kambing Sebelum dan

Setelah Perlakuan Kombinasi UV dan HPEF ... 54 38. Analisis Ragam Rataan Kadar Protein Susu Kambing Sebelum dan

Setelah Perlakuan Kombinasi UV dan HPEF ... 54 39. Analisis Ragam Rataan Bahan Kering Tanpa Lemak Susu Kambing


(16)

xv 40. Analisis Ragam Rataan Kadar Air Susu Kambing Sebelum dan Setelah

Perlakuan Kombinasi UV dan HPEF ... 54

41. Analisis Ragam Rataan Kadar Laktosa Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan Kombinasi UV dan HPEF ... 54

42. Analisis Ragam Rataan Nilai Kalor Spesifik Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan Kombinasi UV dan HPEF ... 55

43. Analisis Ragam Rataan Nilai Titik Beku Susu Kambing Sebelum dan Setelah Perlakuan Kombinasi UV dan HPEF ... 55

44. Jumlah Total Bakteri Susu Kambing Segar yang Diberi Perlakuan Dosis UV Berbeda (Ulangan Pertama) ... 55

45. Jumlah Total Bakteri Susu Kambing Segar yang Diberi Perlakuan Dosis UV Berbeda (Ulangan Kedua) ... 55

46. Jumlah Total Bakteri Susu Kambing Segar yang Diberi Perlakuan Dosis UV Berbeda (Ulangan Ketiga) ... 56

47. Gambar Instalasi Reaktor Ultraviolet ... 56

48. Gambar Instalasi Ultraviolet Kombinasi High Pulsed Electric Field ... 56

49. Perhitungan Dosis Ultraviolet ... 57

50. Reduksi Salmonella Typhimurium yang Direkontaminasi ke dalam Susu Kambing (Ulangan Pertama) ... 57

51. Reduksi Salmonella Typhimurium yang Direkontaminasi ke dalam Susu Kambing (Ulangan Kedua) ... 58

52. Reduksi Salmonella Typhimurium yang Direkontaminasi ke dalam Susu Kambing (Ulangan Ketiga) ... 58


(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu merupakan pangan yang hampir sempurna, karena mengandung hampir semua nutrien yang dibutuhkan bagi pertumbuhan manusia. Susu merupakan pangan pertama dan satu-satunya yang bisa diberikan kepada bayi yang baru dilahirkan. Seiring dengan berkembangnya domestikasi hewan-hewan ternak penghasil susu, saat ini susu juga diolah untuk dikonsumsi oleh orang dewasa.

Susu yang paling umum dikonsumsi di Indonesia adalah susu sapi. Tingginya permintaan akan susu sapi mengharuskan pemerintah Indonesia mengimpor sebanyak 70% dari permintaan nasional. Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan pengembangan ternak sumber susu lain untuk mengurangi impor tersebut. Salah satu jenis susu yang berpotensi untuk dikembangkan adalah susu kambing. Menurut Food and Agricultural Organization (FAO) (2001) produksi susu kambing dunia

meningkat hingga 58% pada dua dekade yang lalu (1980-1999) yang menunjukkan potensi susu kambing sebagai salah satu alternatif untuk memenuhi konsumsi susu sapi, khususnya di Indonesia.

Susu kambing memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan susu sapi, salah satunya adalah tidak menyebabkan alergi, bahkan dapat membantu penyembuhan alergi. Susu kambing juga mampu menurunkan total kolesterol dan fraksi low density lipoprotein (LDL) karena mengandung lebih banyak medium chain triglyceride (MCT) dibandingkan dengan susu sapi. Kandungan asam amino esensial

pada susu kambing juga lebih tinggi dari susu sapi, selain itu κ-kasein, -kasein, dan

αs2-kasein terkandung lebih banyak dibandingkan susu sapi.

Tingginya kandungan nutrien pada susu, didukung oleh pH yang mendekati normal dan kadar aw (water activity) yang tinggi membuat susu bukan hanya baik

bagi manusia, namun juga bagi bakteri pembusuk. Salah satu bakteri pembusuk yang umum mengontaminasi susu adalah Salmonella sp. Bakteri ini dianggap berbahaya,

sehingga Badan Standarisasi Nasional Indonesia dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) Susu Segar mengharuskan bakteri tersebut tidak terkandung pada susu segar.

Pemanasan merupakan cara yang paling umum untuk mengurangi kontaminasi mikroba pada susu. Metode tersebut sangat efektif, namun memiliki kelemahan yaitu mengurangi kualitas nutrisi dan sensori susu segar. Pasteurisasi atau


(18)

2

Ultra High Temperature dapat mengakibatkan pemisahan ikatan kalsium terhadap

kasein, juga menyebabkan denaturasi protein whey sehingga menggumpal dan

menurunkan sifat fungsionalnya. Perlakuan pemanasan tersebut juga akan menyebabkan warna alami susu berubah menjadi kecoklatan akibat dari reaksi Maillard pada laktosa dan protein susu.

Metode pengawetan susu tanpa panas atau pasteurisasi nontermal terus dikembangkan untuk meningkatkan masa simpan susu sekaligus memertahankan kualitas nutrisi dan sensori susu segar. Salah satu metode pasteurisasi nontermal yang sedang berkembang adalah High Pulsed Electric Field (HPEF). Rostini (2010)

membuktikan metode HPEF dengan frekuensi 15 Hz selama 120 menit dalam

treatment chamber dengan kapasitas 30 ml mampu menurunkan 1 log siklus Salmonella Typhimurium yang direkontaminasi pada susu kambing. Pengembangan

metode HPEF menjadi metode kontinyu diperlukan untuk peningkatan volume susu yang diberi perlakuan, namun akan terjadi penurunan waktu perlakuannya yang berakibat pada penurunan reduksi mikroba sehingga diperlukan kombinasi metode HPEF dengan pasteurisasi nontermal lain. Metode ultraviolet (UV) sudah banyak dikembangkan untuk sterilisasi air minum. Kombinasi antara metode HPEF dan UV dalam sistem kontinyu diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif pasteurisasi nontermal susu kambing.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan kombinasi terbaik antara dosis ultraviolet dan frekuensi HPEF serta mempelajari pengaruh kombinasi perlakuan tersebut terhadap kualitas fisik dan kimia susu kambing segar. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengamati bilangan peroksida dan elektroforesis protein susu kambing segar yang diberi perlakuan kombinasi UV dan HPEF, serta mempelajari pengaruh perlakuan tersebut terhadap kualitas mikrobiologis susu kambing segar dan susu kambing yang direkontaminasi Salmonella Typhimurium


(19)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Susu Kambing

Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sehat dan bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa memengaruhi kemurniannya (Badan Standarisasi Nasional/BSN, 1998). Menurut Thai Agricultural Standard (2008) susu kambing

segar merupakan susu segar yang diperoleh dari induk kambing (Capra spp.) tidak

kurang dari tiga hari setelah kelahiran dan pada susu tidak dikurangi dan tidak ditambahkan komponen lain serta tidak boleh mengalami suatu proses perlakuan kecuali pendinginan dan tidak mengandung kolostrum. Klasifikasi susu kambing segar menurut Thai Agricultural Standard (2008) ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Kualitas Susu Kambing Segar Berdasarkan Beberapa Parameter

Parameter Premium Baik Sedang

Total Bakteri (cfu/ml) < 5 x 104 5 x 104– 105 105– 2 x 105 Sel somatik (sel/ml) < 7 x 105 7 x 105– 106 106– 1,5 x 106

Protein (%) > 3,70 3,40 – 3,70 3,10 – 3,40

Lemak (%) > 4,00 3,50 – 4,00 3,25 – 3,50

Bahan kering (%) > 13,00 12,00 – 13,00 11,70 – 12,00 Sumber: Thai Agricultural Standard (2008)

Kandungan jenis protein pada susu kambing tidak jauh berbeda dari susu sapi yaitu meliputi α-kasein, -kasein, κ-kasein, -laktoglobulin, dan α-laktalbumin (Jordana et al., 1998) namun susu kambing memiliki enam asam amino esensial

dengan persentase lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi. Asam-asam amino tersebut adalah teronina (+9%), isoleusina (+4%), lisina (+11%), sistina (+53%), tirosina (+13%) dan valina (+9%) (Posati dan Orr, 1976) serta kandungan κ-kasein, -kasein, dan αs2-kasein dalam susu kambing adalah lebih banyak dibandingkan susu

sapi (Park, 2006).

Susu kambing memiliki kandungan komponen asam lemak yang lebih tinggi dari susu sapi. Asam lemak butirat (C4:0), kaproat (C6:0), kaprilat (C8:0), kaprat (C10:0), laurat (C12:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), linoleat (C18:2) lebih


(20)

4 tinggi dari susu sapi, sedangkan asam lemak stearat (C18:0) dan asam oleat (C18:1) lebih rendah dari susu sapi (Jenness, 1980). Asam lemak kaprat, kaprilat dan asam-asam lemak rantai pendek hingga sedang (Medium Chain Triglyceride) terkandung dalam jumlah lebih tinggi di dalam susu kambing dan sudah umum digunakan untuk berbagai macam terapi penyakit dikarenakan uniknya kemampuan metabolik susu kambing yang dapat memberikan energi secara langsung tanpa disimpan dalam jaringan adiposa. Hal tersebut juga didukung oleh kemampuan susu kambing dalam menurunkan serum kolesterol sehingga mampu mencegah dan membatasi deposisi kolesterol (Haenlein, 2004).

Salmonella Typhimurium

Menurut Fardiaz (1992) Salmonella Typhimurium memiliki bentuk batang

dan bersifat motil dengan flagel peritrikus. Salmonella tidak membentuk spora, tidak

berkapsul, dan bersifat motil (kecuali S. pullorum dan S. gallinarum). S.

Typhimurium mempunyai ukuran panjang 2-3 µm lebar 0,6-0,7 µm dan mampu tumbuh pada kondisi anaerobik maupun aerobik (Gambar 1). Bakteri ini tumbuh pada kisaran suhu 2-47 oC dengan kisaran pH 3,6-9,5 (dengan pH optimum untuk pertumbuhan 6,5-7,5). Nilai aw optimum untuk pertumbuhan adalah 0,94-0,99.

Bakteri ini merupakan bakteri patogen berbahaya, selain dapat menyebabkan gejala gastrointestinal, juga dapat menyebabkan demam tifus.


(21)

5 Menurut Jay et al. (2005), Salmonella terdapat di saluran usus hewan

(burung, reptil, hama tanaman) dan manusia, juga terdapat di bagian tubuh lain serta di udara termasuk udara yang tercemar. Hasil studi di rumah pemotongan babi, ditemukan Salmonella pada limpa, hati, empedu, sendi, dan feses. Salmonella pada

makanan ditemukan pada kacang-kacangan, salad dressing, mayonaise, susu, dan

makanan lainnya. Supradi dan Sukamto (1999) menyebutkan bahwa makanan yang sering terkontaminasi Salmonella adalah telur dan hasil olahannya, ikan dan hasil

olahannya, daging ayam, daging sapi, serta susu dan hasil olahannya seperti es krim dan keju.

Menurut Oxoid (2009), media SSA (Salmonella and Shigella Agar) merupakan media selektif untuk mengisolasi spesies Shigella dan Salmonella. Bakteri yang tidak

memfermentasi laktosa seperti Salmonella tumbuh dengan ciri koloni yang tidak

berwarna, namun memproduksi H2S yang menyebabkan warna di bagian tengah

koloni Salmonella yang tumbuh di media tersebut berwarna hitam. Tiosulfat yang

berkombinasi dengan besi digunakan sebagai indikator terbentuknya sulfida yang diindikasikan dengan menghitamnya bagian tengah koloni. Menurut Blackburn dan McClure (2003), Salmonella memiliki sifat katalase positif, oksidase negatif, tidak

memproduksi asam dari laktosa, memproduksi gas dari glukosa, memproduksi urease, dan memproduksi hidrogen sulfit dari TSI agar.

Pasteurisasi Nontermal

Teknologi pasteurisasi nontermal terus dikembangkan untuk menginaktivasi mikroorganisme dengan tetap memertahankan kualitas sensori susu segar. Teknologi pasteurisasi nontermal tersebut diberi nama sesuai dengan parameter proses utama dalam menginaktivasi mikroorganisme (Lado dan Yousef, 2002). Pasteurisai nontermal yang telah dikembangkan antara lain radiasi ion (Farkas, 1998), prosesing tekanan tinggi (Hoover et al., 1989), iradiasi (Hashisaka et al., 1990), pulsa listrik

tegangan tinggi (Qin et al., 1996), dan iradiasi ultraviolet (Kuo, 1997). High Pulsed Electric Field (HPEF)

Metode medan pulsa listrik tegangan tinggi adalah metode nontermal dalam pengawetan makanan yang menggunakan kuat medan listrik untuk menginaktivasi mikroba dengan pengaruh minimal atau sedikit terhadap kualitas bahan pangan


(22)

6 (Ramaswamy et al., 2009). Arus listrik dialirkan melalui tahanan dan selanjutnya

tersimpan di kapasitor. Ketika saklar terhubung maka muatan listrik tegangan tinggi akan melewati bahan pangan yang akan diproses sehingga akan terbentuk medan listrik tegangan tinggi dengan frekuensi sesuai dengan waktu yang ditentukan pada saklar (Castro et al., 1993).

Barbosa-Cánovas et al. (1999) mengatakan, bahwa inaktivasi mikroorganisme

dengan medan pulsa listrik dipengaruhi oleh (a) kondisi perlakuan, waktu perlakuan, kekuatan medan listrik, suhu, bentuk dan lebar pulsa; (b) jenis, konsentrasi dan tingkat pertumbuhan mikroba dan (c) media perlakuan. Castro et al. (1993)

menyatakan bahwa, inaktivasi mikroorganisme dengan medan pulsa listrik disebabkan oleh ketidakstabilan membran sel atau elektroporasi. Elektroporasi (Gambar 2) adalah peristiwa destabilisasi membran sel karena adanya pengaruh medan pulsa tegangan listrik sesaat. Menurut Vega-Mercado (1996) destabilisasi dinding sel diawali dari terjadinya gejala meningkatnya permeabilitas dinding sel akibat pengaruh medan pulsa tegangan listrik sesaat yang diikuti oleh penggelembungan dinding sel dan akhirnya mengakibatkan kerapuhan membran sel.

Gambar 2. Elektroporasi Membran Sel Sumber: Barbosa-Cánovas et al. (1999)

Zimmermann (1986) menjelaskan mekanisme inaktivasi mikroba yang

disebabkan pengaruh medan listrik dalam teori „electrical breakdown(Gambar 3). Teori „electrical breakdownmenjelaskan, bahwa membran sel dapat diumpamakan

sebagai sebuah kapasitor yang terisi oleh larutan dielektrikum. Pada kondisi normal

beda potensial diantara celah tersebut adalah V‟, dengan adanya pengaruh medan Pecahnya membran

arus air

air permulaan pori

medan listrik


(23)

7 listrik sebesar E maka beda potensial antara keduanya meningkat. Hal ini akan mengakibatkan ketebalan dinding sel berkurang. Kerusakan membran sel akan terjadi apabila beda potensial antara keduanya mencapai titik kritis sebesar Vc, yang dapat terjadi bila terdapat intervensi pengaruh medan listrik yang mencukupi sebesar E. Pada tahap ini kerusakan dinding sel masih bersifat dapat pulih, akan tetapi dengan terus bertambahnya pengaruh medan listrik maka, kerusakan permanen akan terjadi. Menurut Qin et al. (1996) metode HPEF menggunakan kuat intensitas

sebesar 5 – 55 kV/cm.

Gambar 3. Kerusakan Elektrik Sel Sumber: Barbosa-Cánovas et al. (1999)

Aplikasi HPEF untuk Pengawetan Susu. Stefani (2009) melaporkan bahwa terdapat penurunan sebesar 1,65 log cfu/ml total mikroba pada susu sapi segar yang diberi perlakuan HPEF. Serrano et al. (2005) melaporkan bahwa susu sapi segar

yang diberi perlakuan High-Intensity Pulsed Electric Field dengan 35,5 kV selama

300 µs mampu menurunkan satu log siklus dan 1000 µs mampu menurunkan dua log siklus total mikroba tanpa memengaruhi nilai pH, total asam tertitrasi dan asam lemak bebas. Perlakuan tersebut juga tidak menyebabkan adanya proteolisis dan lipolisis pada susu sapi segar. Smith et al. (2002) melakukan pasteurisasi nontermal

pada susu sapi skim dengan mengombinasikan pulsed electric field (80 kV, 50 pulsa)

dengan agen antimikroba nisin dan lisozim yang hasilnya adalah mampu menurunkan populasi mikroba hingga 7 log cfu/ml.

Penelitian tentang HPEF juga dilakukan oleh Rostini (2010) yang mendapatkan bahwa metode HPEF dengan frekuensi 15 Hz selama 120 menit mampu menurunkan 1 log cfu/ml Salmonella Typhimurium yang direkontaminasi pada susu kambing

sebanyak ±6 log cfu/ml tanpa mengakibatkan perubahan suhu yang nyata selama sitoplasma

m e d i


(24)

8 proses berlangsung. Penelitian Saldaña (2009) dengan pulsed electric field sebesar 30

kV mampu menurunkan 3 – 4 log cfu/ml lima strain Salmonella Typhimurium

dengan frekuensi 1 Hz pada media dengan pH 4,0 dan 7,0. Iradiasi Ultraviolet

Cahaya ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 100 sampai 400 nm, dengan UV-A (315 – 400 nm) dapat mengakibatkan perubahan warna pada kulit

menjadi hitam yang disebut dengan “tanning”, UV-B (280 – 315 nm) menyebabkan

kulit terbakar dan sering digunakan untuk penyinaran penyakit kanker, UV-C (200 –

280 nm) yang disebut wilayah germisidal yang efektif untuk inaktivasi bakteri dan virus, serta UV-vakum (100 – 200 nm) yang dapat diserap oleh semua bahan dan dapat diteruskan hanya pada kondisi vakum. Sinar UV menginaktivasi mikroorganisme dengan cara merusak asam nukleat (DNA atau RNA) dan menghambat mikroorganisme untuk melakukan replikasi (Koutchma et al., 2009).

Visualisasi kerusakan DNA akibat dari iradiasi ultraviolet dapat dilihat pada Gambar 4. Iradiasi ultraviolet adalah salah satu proses pengawetan bahan pangan tanpa panas yang dapat menginaktivasi mikroorganisme (Sastry et al. 2000). Pengaruh utama

dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme terdapat pada UV-C, dengan radiasi mencapai 1000 J/m2 yaitu mampu menginaktivasi bakteri, jamur dan virus hingga 4 log siklus.

Gambar 4. Visualisasi DNA Sebelum dan Sesudah Terkena Sinar Ultraviolet

DNA sebelum UV DNA setelah UV

254 nm energi UV

Gula Fosfat Pirimidin


(25)

9 Mekanisme kematian sel disebabkan oleh terserapnya sinar UV oleh DNA/RNA. UV-C sering digunakan secara komersial untuk disinfektan partikel penyaring udara dan untuk dekontaminasi permukaan setelah pembersihan. Karena memiliki sifat kedalaman penetrasi yang sangat rendah, maka UV lebih cocok digunakan untuk perlakuan permukaan. Penggunaan UV diijinkan di beberapa negara untuk aplikasi pada produk makanan, tetapi dapat dengan mudah menyebabkan perubahan warna dan off flavor (cita rasa yang menyimpang) jika

penggunaan dosis dan lama perlakuan tidak tepat (Anon, 1998).

Aplikasi Iradiasi Ultraviolet untuk Pengawetan Susu. Iradiasi UV berhasil diterapkan untuk pasteurisasi susu kambing (Lodi et al. 1996) yang mampu

mereduksi total bakteri antara 50% - 60%, dan bakteri coliform 80% - 90%. Matak et al. (2004), memberikan perlakuan sebanyak 12 kali sirkulasi melewati lampu UV

dengan dosis 15,8 ± 1,6 mJ/cm2 dengan waktu perlakuan 18 detik menghasilkan rata-rata kadar lemak dan kadar protein berturut-turut sebesar 4,1 ± 0,09% dan 2,9 ± 0,03%. Krishnamurthy et al. (2004) pada produk susu sapi yang diinokulasi dengan

bakteri Staphylococcus aureus dengan perlakuan dosis 5,6 J/cm2 dengan volume,

jarak sampel dari UV dan waktu perlakuan berturut-turut sebesar 30 ml, 8 cm dan 180 detik menghasilkan inaktivasi S. aureus sebesar 8,55 log siklus. Menurut Heiss

dan Radtke (1968), susu merupakan salah satu bahan pangan yang mudah mengalami penyimpangan sifat sensori aroma (off flavor) setelah beberapa jam mengalami penyinaran.


(26)

10 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Bagian Teknologi Hasil Ternak, Laboratorium Ilmu Produksi Perah, Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sampel susu kambing segar diperoleh dari peternakan kambing perah di wilayah, Ciampea, Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret hingga Desember 2011.

Materi

Bahan-bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah susu kambing segar yang didapat dari pemerahan di pagi hari dan kultur bakteri Salmonella

Typhimurium ATCC 14028 koleksi Bagian Teknologi Hasil Ternak. Media dan bahan-bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini diantaranya Plate Count Agar

(PCA), Salmonella and Shigella Agar (SSA), Nutrient Broth (NB), Buffered Peptone Water (BPW), kristal violet, safranin, lugol iodin, etanol 96%, etanol 70%, akuades,

akuades bebas CO2, asam asetat glasial, kloroform, kristal kalium iodida, natrium

tiosulfat 0,02 N, larutan kanji, akrilamid 30%, (pewarna elektroforesis) bis, Amonium Peroksodisulfat (APS), glisin 0,192 M, Tris buffer 0,025 M, Tris buffer 1,4 M, HCl, SDS 0,1%, mercapto, gliserol, bromfenol biru, TEMED, metanol 50%, asam asetat 12%, formalin 0,05%, akuabides, Na2S2O3, AgNO3, dan Na2CO3.

Peralatan utama yang digunakan adalah seperangkat alat UV dengan dosis masing-masing reaktor 2,25 kGy yang terdiri atas tiga reaktor UV dengan dosis total 6,75 kGy, seperangkat alat HPEF sistem kontinyu yang pembangkit tegangan tingginya berasal dari koil mobil dengan kuat medan listrik 31,67 kV/cm (Lampiran 48). Pada alat HPEF tersebut, terdapat treatment chamber yang terdiri atas dua elektroda stainless steel yang dipisahkan oleh insulator akrilik. Elektroda berukuran panjang 60

mm dan lebar 15 mm. Peralatan lainnya yang digunakan adalah cawan petri, pembakar bunsen, laminar air flow, vortex mixer, pipet mikro dan tip, magnetic stirrer, labu erlenmeyer, botol schott, milkotester (mini master), pH meter,


(27)

11 Prosedur

Penelitian ini terdiri atas dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri atas optimasi metode ultraviolet, penyegaran kultur bakteri, pewarnaan Gram, dan estimasi populasi Salmonella

Typhimurium. Penelitian utama terdiri atas persiapan susu kambing rekontaminasi, aplikasi kombinasi UV dan HPEF pada susu kambing segar, aplikasi kombinasi UV dan HPEF pada susu kambing rekontaminasi, serta uji fisik, kimia, mikrobiologis, bilangan peroksida dan elektroforesis molekul protein susu kambing.

Optimasi Aplikasi Metode Ultraviolet

Sebanyak 1000 ml sampel susu kambing segar dihomogenkan dan diambil sebanyak ±50 ml untuk pengujian kualitas fisik, kimia dan mikrobiologis (total plate count). Sisa sampel susu kambing dimasukkan ke dalam separating funnel dan dialirkan

melalui reaktor UV dengan empat taraf perlakuan dosis berbeda, yaitu 0 kGy (kontrol), 2,25 kGy (1 reaktor), 4,50 kGy (2 reaktor), dan 6,75 kGy (3 reaktor). Sampel susu kambing diambil dari masing-masing perlakuan sebanyak ±50 ml untuk pengujian kualitas fisik, kimia dan mikrobiologisnya. Taraf perlakuan dosis UV dengan penurunan jumlah total bakteri terbaik dan tidak memengaruhi kualitas fisik dan kimia susu kambing, akan diambil untuk dikombinasikan dengan perlakuan High Pulsed Electric Field (HPEF).

Penyegaran Kultur Bakteri

Penyegaran kultur bakteri Salmonella Typhimurium ATCC 14028 bertujuan untuk

mendapatkan bakteri uji dengan umur 24 jam. Sebanyak 1 ml bakteri S.

Typhimurium yang sebelumnya telah ditumbuhkan dalam media Nutrient Broth

(NB) diambil dan diinokulasikan ke dalam 9 ml NB steril, kemudian diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 37 °C.

Pewarnaan Gram (Fardiaz, 1989)

Pewarnaan Gram diperlukan untuk pemeriksaan keseragaman bakteri uji yang akan digunakan. Sampel bakteri dari koloni yang homogen dibuat preparat pada gelas objek kemudian difiksasi dengan pembakar bunsen. Olesan bakteri ditetesi dengan kristal violet dan didiamkan selama satu menit, kemudian dibilas dengan akuades. Setelah kering, preparat tersebut ditetesi dengan lugol iodin dan didiamkan selama


(28)

12 dua menit, kemudian dibilas dengan akuades dan dikeringudarakan. Preparat dicuci dengan etanol 96% tetes demi tetes selama 30 detik, kemudian segera dicuci dengan akuades dan dikeringkan. Selanjutnya preparat ditetesi dengan safranin selama 30 detik lalu dibilas akuades. Preparat dikeringkan lalu diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali dengan bantuan minyak imersi. Bakteri Gram negatif akan berwarna merah, sedangkan bakteri Gram positif akan berwarna biru atau ungu. Perhitungan Populasi S. Typhimurium

Perhitungan populasi S. Typhimurium diperlukan untuk penentuan jumlah S.

Typhimurium yang akan direkontaminasikan ke dalam susu kambing sehingga dicapai populasi 105 per ml susu kambing. Sebanyak 1 ml kultur S. Typhimurium

umur 24 jam yang telah ditumbuhkan pada NB diukur nilai optical density-nya (OD)

dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Sebanyak 1 ml S.

Typimurium yang sama, dihitung jumlah populasinya dengan cara dipupukkan dalam media Salmonella and Shigella Agar (SSA) yang diinkubasi selama 24 jam pada

suhu 37 °C. Standarisasi populasi S. Typhimurium yang direkontaminasi dilakukan

melalui nilai OD kultur.

Aplikasi Kombinasi UV dan HPEF pada Susu Kambing Segar

Sebanyak 1000 ml sampel susu kambing segar dihomogenkan dan diambil sebanyak ±50 ml untuk pengujian kualitas fisik, kimia dan mikrobiologis (jumlah total bakteri). Sisa sampel susu kambing dimasukkan ke dalam separating funnel dan

diberi perlakuan dosis UV sesuai dengan hasil penelitian pendahuluan dan dikombinasikan dengan metode HPEF dengan taraf perlakuan frekuensi 0 (kontrol), 10, 15, dan 20 Hz. Setiap taraf perlakuan frekuensi diambil sebanyak ±50 ml sampel susu untuk pengujian kembali kualitas fisik, kimia dan mikrobiologis (jumlah total bakteri). Taraf perlakuan frekuensi dengan penurunan jumlah total bakteri terbanyak dan tidak memengaruhi kualitas fisik dan kimia susu kambing, terpilih untuk tahap perlakuan kombinasi UV dan HPEF pada susu kambing yang direkontaminasi S.

Typhimurium.

Persiapan Susu Kambing yang Direkontaminasi S. Typhimurium

Sebanyak 1000 ml susu kambing segar disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 115 °C selama 3 menit. Setelah susu kambing steril didinginkan, lalu direkontaminasikan


(29)

13 dengan bakteri kultur uji Salmonella Typhimurium berumur 24 jam yang

ditumbuhkan pada media NB dan dengan distandarisasi pada populasi 105 cfu/ml susu kambing. Sampel susu kambing yang telah direkontaminasi diambil sebanyak ±5 ml untuk dihitung jumlah populasi awal S. Typhimurium sebelum diberi

perlakuan, sebagai verifikasi.

Aplikasi Kombinasi UV dan HPEF pada Susu Kambing yang Direkontaminasi

S. Typhimurium

Susu kambing yang telah direkontaminasi bakteri uji S. Typhimurium dimasukkan ke

dalam separating funnel. Susu dialirkan melewati reaktor ultraviolet sesuai dengan

hasil penelitian pendahuluan dan dilanjutkan dengan perlakuan HPEF mengacu hasil aplikasi kombinasi UV dan HPEF pada susu kambing segar.

Uji Kualitas Fisik Susu Kambing

Nilai pH (AOAC, 2007). Nilai pH yang diamati adalah nilai pH susu kambing segar sebelum dan setelah mendapat perlakuan dosis UV, juga nilai pH susu kambing segar sebelum dan setelah perlakuan kombinasi UV dan HPEF. Kalibrasi pH meter dilakukan terlebih dahulu dengan buffer pH 4 dan 7. Pengukuran dilakukan dengan cara pencelupan elektroda pH meter ke dalam sampel susu kambing dan skala dibaca setelah angka yang ditampilkan stabil.

Berat Jenis Susu Kambing Segar (SNI 01-2782-1998). Sebanyak 250 ml susu kambing bersuhu antara 21-30 °C dimasukkan ke dalam gelas ukur dengan perlahan tanpa ada pembentukan buih. Laktodensimeter dicelupkan perlahan-lahan dan nilai berat jenis dapat dibaca pada skala yang tertera pada laktodensimeter. Angka yang tertera pada laktodensimeter disetarakan pada suhu 27,5 °C.

Uji Kualitas Kimia Susu Kambing

Komposisi kimia susu kambing diukur dengan alat milkotester (mini master). Alat milkotester diatur untuk pengujian susu kambing/domba. Sampel susu kambing dihomogenkan dan diambil sebanyak ±20 ml, lalu pipa milkotester dicelupkan, kemudian alat pengatur milkotester diputar sehingga sampel susu kambing memasuki alat untuk dianalisis. Milkotester akan memberikan sinyal yang menunjukkan bahwa alat tersebut telah selesai menguji komposisi kimia susu. Setelah hasil pengujian


(30)

14 terhadap parameter kualitas susu dicatat, sampel susu dapat dikeluarkan kembali dengan memutar alat pengatur milkotester ke posisi semula. Hasil analisis komposisi kimia susu kambing yang ditampilkan di layar milkotester, meliputi kadar protein, kadar lemak, kadar laktosa, kadar garam, bahan kering tanpa lemak, titik beku, dan berat jenis.

Bilangan Peroksida (SNI-3555-1998). Pengujian bilangan peroksida bertujuan untuk mengetahui tingkat oksidasi lemak susu kambing akibat perlakuan UV. Lemak susu kambing diekstrak dengan metode maserasi heksana. Sebanyak 0,3 – 5,0 g sampel lemak susu kambing dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan 20 ml asam asetat glasial, 25 ml etanol 95% dan 55 ml kloroform. Sebanyak 1 g kristal kalium iodida ditambahkan kemudian disimpan di tempat gelap selama 30 menit dan ditambahkan 50 ml akuades bebas CO2. Semua campuran tersebut dititrasi

dengan larutan standar natrium tiosulfat 0,02 N dengan larutan kanji digunakan sebagai indikatornya. Penetapan blanko dilakukan dan bilangan peroksida dalam sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

V1 = volume natrium tiosulfat 0,02 N yang terpakai untuk mentitrasi sampel (ml)

V0 = volume natrium tiosulfat 0,02 N yang terpakai untuk mentitrasi blanko (ml)

T = normalitas natrium tiosulfat yang digunakan m = bobot sampel yang digunakan.

Elektroforesis (Laemmli, 1970). Elektroforesis bertujuan untuk mengetahui keberadaan fraksi-fraksi molekul protein susu kambing. Metode tersebut terdiri atas dua tahap yaitu pembuatan gel, running, pemisahan, dan pewarnaan.

Pembuatan Gel. Pembuatan gel diawali dengan pembuatan larutan stok SDS-PAGE. Larutan A yaitu larutan stok akrilamid dibuat dengan komposisi 75 g akrilamid 30% b/v, 2 g bis dan 250 ml H2O. Larutan A ini diletakkan di dalam botol gelap dan

disimpan pada suhu 4 °C. Bahan pembuat gel yang digunakan adalah amonium peroksodisulfat (APS) sebanyak 1 g yang dilarutkan dalam 10 ml H2O. Bufer


(31)

15 ditambahkan HCl hingga dicapai pH 8,3 kemudian ditambahkan 2 g SDS 0,1% b/v dan ditepatkan volumenya hingga 2 liter. Larutan B yaitu stok bufer gel pemisah dibuat dengan komposisi 1 g SDS dan 45,5 g tris bufer 1,4 M, kedua campuran ini dilarutkan dan ditepatkan pHnya hingga 8,8 menggunakan HCl, dan ditambahkan akuades hingga volumenya 250 ml. Stok bufer gel pengumpul yang digunakan terdiri atas 15,1 g Tris bufer 1,4 M dan dilarutkan dengan HCl hingga pH 6,8, kemudian ditambahkan 1 g SDS dan ditepatkan volumenya hingga 250 ml. Persiapan dilanjutkan dengan pembuatan stok (double strength) buffer sampel yang terdiri atas 2 ml mercapto, 4 ml gliserol, 0,3 g tris bufer, 2 ml bromfenol biru (0,1% b/v dalam air). Campuran tersebut dilarutkan dengan akuades pada volume kurang dari 20 ml, ditambahkan HCl hingga pH menjadi 6,8, kemudian ditambahkan 0,92 g SDS dan ditepatkan volumenya hingga 20 ml. Gel dibuat dengan cara mengombinasikan larutan stok yang telah dibuat sebelumnya. Kombinasi larutan dalam pembuatan gel meliputi 6,25 ml larutan stok akrilamid, 4,1 ml bufer gel pemisah, 4,4 ml akuades, 0,15 ml SDS 10% (b/v), 10 ml APS 10% (b/v) dan 25 ml TEMED.

Pewarnaan. Larutan pewarna yang digunakan adalah silver staining (pewarna

perak). Bahan pembuat pewarna perak ini terdiri atas fixation solution (larutan

fiksasi), washing solution (larutan pencuci), sensitizing solution (larutan pemeka)

untuk membuat lebih sensitif, staining solution (larutan pewarna) dan developing solution (larutan pengembang) untuk memunculkan pita protein. Larutan fiksasi

terdiri atas 125 ml metanol 50%, 30 ml asam asetat 12%, 0,125 ml formalin 0,05%, dan dilarutkan dengan 95 ml akuabides, kemudian disimpan pada suhu ruang. Larutan pencuci terdiri atas 100 ml etanol 20% dan 400 ml akuabides, disimpan pada suhu ruang. Sensitizing solution (larutan pemeka) yang digunakan adalah 0,05 g

Na2S2O3 yang dilarutkan dalam 250 ml akuabides, disimpan pada suhu ruang.

Larutan pewarna terdiri atas 0,1 g AgNO3 dilarutkan dengan 50 ml akuabides dan

ditambahkan 38 ml formalin, kemudian disimpan pada suhu 4 °C. Larutan pengembang terdiri atas 3 g Na2CO3, 25 ml formalin, 1 ml Na2S2O3 dan dilarutkan

dalam 50 ml akuabides. Khusus untuk larutan pewarna dan larutan pengembang harus dalam keadaan segar. Pembuatan gel yang telah selesai dilakukan, dilanjutkan dengan pewarnaan. Gel direndam dalam larutan fiksasi selama dua jam sambil diagitasi pelan-pelan dan didiamkan sampai 24 jam. Gel kemudian dicuci dengan


(32)

16 larutan pencuci selama 20 menit tanpa diagitasi, pencucian ini diulang hingga 3 kali. Gel dibilas dengan akuabides selama 10 detik, lalu direndam dalam larutan pemeka selama satu menit, dan dibilas kembali dengan akuabides sampai tiga kali dengan masing-masing pembilasan selama 20 detik. Gel direndam dalam AgNO3 0,1% dan

diinkubasi di dalam lemari pendingin selama 20 menit. Gel dicuci kembali dengan akuabides selama 20 detik dan diulang dua kali. Gel dipindahkan ke wadah lain dan dicuci kembali dengan akuabides selama 10 detik. Gel direndam dalam larutan pengembang hingga pewarnaan cukup. Gel diangkat dan didiamkan selama 5 menit, kemudian dicuci kembali dengan akuabides. Hasil dari gel yang telah selesai mendapatkan perlakuan pewarnaan kemudian dipindai.

Uji Kualitas Mikrobiologis Susu Kambing

Perhitungan Jumlah Total Bakteri pada Susu Kambing Segar (SNI 01-3141-1998). Sebanyak 1 ml sampel susu segar dipipet kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml Buffered Peptone Water (BPW) sebagai pengenceran

sepersepuluh (P-1). Pengenceran desimal selanjutnya dilakukan dengan memipet sebanyak 1 ml dari tabung P-1 untuk diencerkan lagi ke dalam 9 ml BPW sehingga didapatkan pengenceran seperseratus (P-2). Pengenceran yang sama terus dilakukan hingga diperoleh P-7. Pemupukan dilakukan terhadap pengenceran P-5, P-6, dan P-7 secara duplo dengan cara dipipetkan sebanyak masing-masing 1 ml ke dalam cawan petri steril dan dipupukkan dengan media Plate Count Agar (PCA) steril dengan

suhu sekitar 37-40 °C sebanyak 12-15 ml. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cara cawan petri digerakkan membentuk angka delapan sebanyak enam kali. Setelah agar mengeras, cawan petri diletakkan dalam inkubator dengan posisi terbalik pada suhu 37±1 °C selama 24 jam. Koloni mikroba yang terbentuk dihitung berdasarkan

Standard Plate Count (SPC).

Perhitungan Jumlah Bakteri Salmonella Typhimurium (SNI 01-3141-1998).

Sebanyak 1 ml sampel susu kambing rekontaminasi diambil menggunakan pipet mikro kemudian dimasukkan ke dalam 9 ml Buffered Peptone Water (BPW) sebagai

pengenceran sepersepuluh (P-1). Pengenceran desimal selanjutnya dilakukan dengan memipet sebanyak 1 ml dari tabung P-1 untuk diencerkan lagi ke dalam 9 ml BPW sehingga didapatkan pengenceran seperseratus (P-2). Pengenceran tersebut terus


(33)

17 dilakukan hingga diperoleh P-5. Pemupukan dilakukan terhadap pengenceran P-3, P-4, dan P-5 secara duplo dengan cara dipipetkan sebanyak masing-masing 1 ml ke dalam cawan petri steril dan dipupukkan dengan media Salmonella and Shigella Agar

(SSA) steril dengan suhu sekitar 37-40 °C sebanyak 12-15 ml. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cara cawan petri digerakkan membentuk angka delapan sebanyak enam kali. Setelah agar mengeras, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37±1 °C selama 24 jam. Koloni mikroba yang terbentuk dihitung berdasarkan Standard Plate Count (SPC).

Bagan Alir Penelitian

1. Optimasi Metode Ultraviolet

Susu kambing segar Pengujian kualitas fisik, kimia dan mikrobiologis (TPC)

Diberi perlakuan UV dengan dosis berbeda 2,25 kGy (1 reaktor); 4,50 kGy (2 reaktor); 6,75 kGy (3 reaktor); kontrol: 0 kGy

Pengujian kualitas fisik, kimia dan mikrobiologis (TPC)

Hasil terpilih dikombinasikan dengan metode HPEF

2. Penentuan Frekuensi HPEF

Susu kambing segar Pengujian kualitas fisik, kimia dan mikrobiologis (TPC)

Perlakuan UV dengan dosis terpilih Perlakuan HPEF dengan frekuensi

berbeda 10, 15, 20 Hz; kontrol: 0 Hz

Pengujian kualitas fisik, kimia dan mikrobiologis (TPC), serta

bilangan peroksida dan elektroforesis protein susu Hasil terpilih digunakan pada penelitian utama

3. Penelitian Utama

Susu kambing segar Disterilisasi menggunakan autoklaf (115 °C selama 3 menit)

Pengujian mikrobiologis (jumlah bakteri

Salmonella Typhimurium)

Direkontaminasi dengan Salmonella

Typhimurium hingga populasi mencapai 105 cfu/ml susu kambing

Penentuan kemampuan reduksi populasi S. Typhimurum dengan

metode kombinasi UV dan HPEF

Diberi perlakuan kombinasi UV dan HPEF sesuai dengan hasil

penelitian pendahuluan Gambar 5. Diagram Alir Penelitian


(34)

18 Rancangan dan Analisis Data

Rancangan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk data parametrik dan Kruskal Wallis untuk data nonparametrik. Taraf perlakuan pada penelitian pendahuluan terdiri atas empat taraf dosis UV yang berbeda, yaitu 0 kGy (kontrol), 2,25 kGy (1 reaktor), 4,50 kGy (2 reaktor), dan 6,75 kGy (3 reaktor). Taraf perlakuan pada penelitian utama terdiri atas empat taraf frekuensi, yaitu 0 (kontrol), 10, 15, dan 20 Hz. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali.

Analisis Data

Analisis data diawali dengan pengujian asumsi. Apabila data memenuhi uji asumsi, maka dianalisis ragam dengan ANOVA. Apabila data tidak memenuhi uji asumsi, maka data ditransformasi terlebih dahulu dan apabila masih tidak memenuhi uji asumsi, maka dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis. Data yang diperoleh diuji pada selang kepercayaan 95% dengan perangkat lunak Statistix 8.0. Model matematik dari rancangan acak lengkap tersebut menurut Steel and Torrie (1995) adalah:

Yij= μ + Pi+ εij

Keterangan:

Yij : peubah respon akibat pengaruh perlakuan dosis UV atau kombinasi dosis

UV dan frekuensi HPEF

μ : rataan umum

Pi : pengaruh dosis UV atau kombinasi dosis UV dan frekuensi HPEF εij : galat percobaan

sedangkan model matematik dari uji Kruskal Wallis menurut Casella (2008) sebagai berikut:

Keterangan:

n1 : jumlah pengamatan dalam sampel ke-i

n : ∑ni


(35)

19 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bakteri Salmonella Typhimurium ATCC 14028

Sebelum direkontaminasikan ke dalam susu kambing yang telah disterilisasi, bakteri Salmonella Typhimurium ATCC 14028 diperiksa terlebih dahulu

karakteristiknya melalui pengamatan terhadap pewarnaan Gram untuk melihat keseragaman bakteri dan ketiadaan kontaminan. Karakteristik S. Typhimurium dapat

dilihat pada Gambar 6. Bakteri S. Typhimurium pada pewarnaan Gram menunjukkan

sel-sel bakteri yang berwarna merah, hal tersebut karena S. Typhimurium merupakan

bakteri Gram negatif. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa bakteri Gram negatif memiliki lapisan peptidoglikan pada dinding sel yang tipis (5%-20%) sehingga ketika dilakukan uji pewarnaan Gram tahap pencucian dengan alkohol, lemak akan terekstraksi dari dinding sel dan pori-pori akan membesar yang menyebabkan kompleks warna basa kristal violet tercuci dan keluar dari dinding sel bakteri. Pewarnaan selanjutnya dengan pewarna safranin menyebabkan sel bakteri berwarna merah karena menyerap warna tersebut.

Gambar 6. Karakteristik Bakteri Uji Salmonella Typhimurium ATCC 14028

Pengamatan terhadap morfologi menunjukkan bahwa S. Typhimurium

memiliki bentuk batang yang seragam tanpa adanya kontaminan. Karakteristik S.

Typhimurium tersebut sesuai dengan penrnyataan D‟Aoust (2000) yang menyebutkan bahwa Salmonella Typhimurium merupakan bakteri Gram negatif,


(36)

20 fakultatif anaerob, berbentuk batang, tidak membentuk spora dan memiliki flagella peritrikus sehingga bersifat motil. Bakteri ini memiliki diameter 0,7 - 1,5 µm dengan panjang 2 - 5 µm. Suhu maksimum pertumbuhannya adalah 45 °C, sedangkan suhu optimum pertumbuhannya adalah 35 - 37 °C.

Gambar 7. Koloni S. Typhimurium pada Media SSA

Koloni Salmonella Typhimurium yang ditumbuhkan dalam tumbuh pada

media Salmonella Shigella Agar (SSA) dapat dilihat pada Gambar 7. Bakteri tersebut

tidak memfermentasi laktosa, membentuk koloni yang tidak berwarna dan menghasilkan H2S yang menyebabkan warna hitam pada bagian tengah koloni.

Warna hitam pada bagian tengah koloni tersebut diakibatkan oleh tiosulfat yang berkombinasi dengan besi (Fe) sebagai indikator terbentuknya sulfida (Oxoid, 2009).

Optimasi Dosis Metode Ultraviolet

Optimasi metode ultraviolet (UV) bertujuan untuk mendapatkan dosis UV terbaik dalam menginaktivasi total mikroba pada susu kambing segar dengan tetap memertahankan kualitas fisik dan kimianya untuk dikombinasikan dengan metode

High Pulsed Electric Field (HPEF). Aplikasi dosis ultraviolet terdiri atas 0 kGy

(kontrol), 2,25 kGy (1 reaktor UV), 4,50 kGy (2 reaktor UV) dan 6,75 kGy (3 reaktor UV). Gambar skematik reaktor UV yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 8.


(37)

21 Gambar 8. Skematik Reaktor Ultraviolet

Keterangan: 1 = separating funnel; 2 = reaktor UV; 3 = tabung quartz; 4 = lampu UV; 5 = kran;

6 = selang silikon food grade; 7 = Erlenmeyer (tempat sampel susu kambing) Pengaruh Aplikasi Dosis atau Jumlah Reaktor Ultraviolet yang Berbeda

terhadap Kualitas Fisik Susu Kambing Segar

Kualitas fisik susu merupakan parameter penting untuk menunjukkan kualitas susu kambing segar dan sangat menentukan untuk pengolahan susu. Pengujian kualitas fisik pada penelitian ini meliputi berat jenis, titik beku, pH, konduktivitas, kalor spesifik, dan viskositas. Pengaruh perlakuan dosis UV yang berbeda terhadap kualitas fisik susu kambing segar ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh Dosis UV Berbeda terhadap Kualitas Fisik Susu Kambing Segar Kualitas Fisik Kontrol

Dosis 2,25 kGy (1 Reaktor)

Dosis 4,5 kGy (2 Reaktor)

Dosis 6,75 kGy (3 Reaktor) Berat Jenis (kg l-1) 1,030 ± 0,00 1,030 ± 0,00 1,030 ± 0,00 1,030 ± 0,00 Titik Beku (°C) -0,49 ± 0,00 -0,48 ± 0.00 -0,48 ± 0,00 -0,48 ± 0,00 pH 6,52 ± 0,05 6,54 ± 0,04 6,55 ± 0,03 6,58 ± 0,10 Konduktivitas

(ohm-1 km-1) 4,61 ± 0,14 4,59 ± 0,14 4,59 ± 0,14 4,67 ± 0,69 Kalor Spesifik (kJ

kg-1 K-1) 3,78 ± 0,01 3,79 ± 0,01 3,79 ± 0,00 3,79 ± 0,01 Viskositas (cP) 2,08 ± 0,02 2,34 ± 0,30 2,29 ± 0,29 2,03 ± 0,09

7

Reaktor UV 3 Reaktor UV 2


(38)

22 Berat Jenis

Berat jenis susu kambing sangat berhubungan erat dengan kandungan bahan kering pada susu. Hasil pengujian pada penelitian ini menunjukkan bahwa BJ susu kambing adalah 1,030 kg l-1. Komponen terbesar susu adalah air, namun berat jenis susu lebih besar dari satu kg l-1 (berat jenis air) karena dipengaruhi oleh komponen berat kering yang terkandung. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa berat jenis susu kambing tidak dipengaruhi oleh perlakuan dosis UV yang diberikan (P>0,05). Hal ini berarti, bahan pada proses pasteurisasi nontermal tidak terjadi kehilangan air yang biasa ditemukan pada proses pasteurisasi termal akibat penguapan. Proses penguapan menyebabkan peningkatan konsentrasi bahan kering yang dapat mengubah berat jenis. Berat jenis susu kambing yang didapat dari penelitian ini adalah 1,030 kg l-1. Nilai tersebut memenuhi standar Thai Agricultural Standard

(2008) bagi susu kambing yaitu minimal 1,028 kg l-1. Titik Beku

Susu memiliki titik beku yang konstan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa titik beku susu kambing berkisar antara -0,48 °C s.d -0,49 °C. Titik beku susu berhubungan erat dengan kandungan bahan kering susu, terutama kadar laktosa dan natrium, selain juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator pemalsuan susu (penambahan air). Perlakuan dosis atau jumlah reaktor UV tidak memengaruhi titik beku susu kambing secara nyata (P>0,05). Hal tersebut berarti perlakuan pasteurisasi nontermal tidak mengakibatkan perubahan pada kandungan bahan kering susu kambing terutama laktosa dan natrium. Kandungan bahan kering susu kambing tidak berubah akibat perlakuan pasteurisasi nontermal, karena tidak terjadi peningkatan suhu susu yang memungkinkan adanya penguapan sebagian kadar air, yang memengaruhi kadar bahan kering.

Nilai pH

Nilai pH susu kambing merupakan salah satu parameter yang penting. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai pH susu kambing kontrol dan nilai pH susu kambing yang diberi perlakuan dosis atau jumlah reaktor UV (P>0,05). Nilai pH susu dipengaruhi oleh mineral-mineral, protein (asam-asam amino) dan juga lemak (asam-asam lemak) yang terkandung


(39)

23 dalam susu. Nilai pH yang didapatkan berada pada kisaran 6,52 s.d 6,58 dan masih memenuhi ketentuan Thai Agricultural Standard (2008) yaitu pH susu kambing

berkisar antara 6,5 s.d 6,8.

Perubahan pada mineral, lemak dan protein dapat terjadi karena perlakuan termal. Aplikasi UV tidak menyebabkan peningkatan suhu pada susu sehingga tidak mengakibatkan perubahan pada komponen-komponen tersebut.

Konduktivitas

Nilai konduktivitas spesifik susu digunakan untuk mendeteksi mastitis subklinis dan pemalsuan. Konduktivitas susu akan berubah jika konsentrasi substrat dalam cairan berubah dan juga dipengaruhi oleh konsentrasi dan pengenceran endapan koloidal kalsium fosfat. Hasil pengujian sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai konduktivitas susu kambing segar sebelum dan sesudah perlakuan (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dosis atau reaktor UV tidak menyebabkan perubahan konsentrasi substrat dalam susu kambing yang dapat mengubah nilai konduktivitas susu kambing. Nilai konduktivitas yang didapat dari hasil penelitian ini adalah 4,59 ohm-1 km-1 s.d 4,67 ohm-1 km-1. Nilai tersebut masih berada pada kisaran yang disaratkan oleh Fox dan McSweeney (1998) yaitu sebesar 4,0 ohm-1 km-1 s.d 5,5 ohm-1 km-1.

Kalor Spesifik

Nilai kalor spesifik berkaitan erat dengan jumlah total solid, terutama kandungan lemak, walaupun terputus saat pemanasan pada 70-80 °C. Pada saat lemak meleleh, energi dari kalor spesifik akan diserap untuk menyediakan kalor laten untuk peleburan lemak susu.

Hasil sidik ragam pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara kalor spesifik susu kambing segar dan susu kambing yang diberi perlakuan UV hingga dosis tertinggi sebesar 6,75 kGy (P>0,05). Hal ini berarti perlakuan UV pada susu kambing tidak memengaruhi jumlah total solid dan kandungan lemak sehingga tidak mengubah nilai kalor spesifik. Nilai kalor spesifik yang didapat pada penelitian ini berkisar antara 3,78 kJ kg-1 K-1 hingga 3,79 kJ kg-1 K-1. Nilai tersebut lebih rendah dari pernyataan Fox dan McSweeney (1998) yaitu


(40)

24 sebesar 3,931 kJ kg-1 K-1. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan oleh perbedaan kandungan bahan kering yang terkandung dalam susu, terutama kadar lemak.

Viskositas

Nilai viskositas susu kambing segar dan susu kambing yang diberi perlakuan UV hingga dosis tertinggi, 6,75 kGy, tidak berbeda. Nilai viskositas yang didapat berada pada kisaran 2,03 cP s.d 2,34 cP. Viskositas susu dipengaruhi oleh komposisi dan konsentrasi partikel padatan di dalam larutan, pH dan suhu (Fox dan McSweeney, 1998). Nilai pH dan suhu susu kambing yang diberi perlakuan dosis UV pada dosis yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan dengan kontrol, sehingga tidak berpengaruh pula terhadap viskositasnya.

Pengaruh Aplikasi Dosis atau Jumlah Reaktor Ultraviolet Berbeda terhadap Kualitas Kimia Susu Kambing Segar

Kualitas kimia susu kambing segar merupakan parameter penting yang menunjukkan nilai nutrisi dalam susu segar ataupun bagi hasil produk akhir. Hasil pengujian kualitas kimia susu kambing segar yang diberi perlakuan ultraviolet (UV) ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Dosis UV Berbeda terhadap Kualitas Kimia Susu Kambing Segar Peubah Kontrol Dosis 2,25 kGy

(1 Reaktor)

Dosis 4,50 kGy (2 Reaktor)

Dosis 6,75 kGy (3 Reaktor) Kadar air (%) 83,38 ± 0,52 84,55 ± 0,47 84,62 ± 0,39 84,53 ± 0,39 BKTL (%) 9,73 ± 0,16 9,61 ± 0,03 9,57 ± 0,03 9,60 ± 0,04 Protein (%) 5,28 ± 0,10 5,21 ± 0,04 5,19 ± 0,03 5,22 ± 0,03 Lemak (%) 5,90 ± 0,40 5,85 ± 0,46 5,82 ± 0,40 5,88 ± 0,40 Laktosa (%) 3,54 ± 0,05 3,49 ± 0,03 3.48 ± 0,03 3,47 ± 0,03 Kadar Air

Kadar air susu kambing hasil penelitian ini berkisar antara 83,38% s.d 84,62%. Hasil pengujian sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang nyata (P>0,05) antara kadar air susu kambing segar sebelum dan setelah mendapat perlakuan UV hingga dosis teringgi 6,75 kGy. Kadar air dalam susu kambing tidak mengalami perubahan selama pemberian perlakuan dosis UV,


(41)

25 karena proses tersebut tidak mengakibatkan perubahan suhu susu kambing yang memungkinkan terjadinya penguapan sebagian kadar air susu kambing.

Rerata kandungan air susu kambing (84,27%) yang lebih rendah dari susu sapi (86%) berimplikasi pada kandungan bahan kering yang tinggi yaitu berada pada kisaran 15,38% s.d 16,62%. Kandungan bahan kering susu kambing tersebut berada di atas standar kandungan bahan kering susu kambing segar kualitas premium yang ditetapkan oleh Thai Agricultural Standard (2008), yaitu minimal 13%.

Kadar Protein

Protein merupakan salah satu komponen utama susu dengan kandungan 30-36 g l-1. Protein susu terdiri atas fraksi kasein dan whey. Kasein terdiri atas 80% dari

protein total sedangkan whey adalah 20%. Kasein pada susu disebut sebagai kasein

misel yang terkandung dengan kalsium fosfat yang terhidrasi (Fennema, 1996). Protein merupakan salah satu komponen penting susu karena berfungsi sebagai salah satu sumber energi utama dan memiliki nilai biologis yang tinggi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak dijumpai adanya perbedaan nyata pada kandungan protein susu kambing sebelum dan setelah diberi perlakuan ultraviolet hingga dosis 6,75 kGy (P>0,05). Perubahan pada komponen protein dapat terjadi karena panas, asam dan enzim proteolitik. Menurut Fennema (1996), perlakuan panas akan mengakibatkan koagulasi protein whey yang mengakibatkan penurunan sifat

fungsionalnya. Pemberian perlakuan UV tidak menyebabkan peningkatan suhu atau perubahan nilai pH susu kambing, sehingga kandungan protein susu kambing segar dapat dipertahankan.

Kadar protein susu kambing yang di dapatkan berkisar antara 5,19% s.d 5,28%. Nilai tersebut jauh berada di atas nilai yang disyaratkan oleh Thai Agricultural Standard (2008) untuk susu kambing kualitas premium yaitu minimal

3,7%.

Kadar Lemak

Lemak merupakan salah satu komponen utama sumber energi dari susu. Menurut Fennema (1996), susu mengandung lemak dengan komponen yang paling kompleks. Komponen utama dari lemak susu adalah triasilgliserol (trigliserida)


(42)

26 dengan jumlah 96% s.d 98% dari total komponen lemak dengan asam lemak butirat sebagai komponen utama asam lemak susu (85%).

Lemak merupakan komponen susu yang paling dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pakan. Lemak susu juga merupakan salah satu kompenen utama penentu harga susu sehingga kandungannya sangat penting. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada perubahan kandungan lemak sebelum dan setelah perlakuan UV hingga dosis 6,75 kGy (P>0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa metode UV mampu memertahankan kualitas lemak susu kambing segar. Kerusakan lemak susu dapat disebabkan oleh panas atau tekanan tinggi. Perlakuan dosis UV tidak menyebabkan perubahan pada suhu dan tekanan susu, sehingga kadar lemak susu kambing segar dapat dipertahankan.

Kadar lemak susu kambing yang didapat dari hasil penelitian ini berada di kisaran 5,82% s.d 5,9%. Nilai tersebut berada di atas nilai yang disyaratkan oleh Thai Agricultural Standard (2008) untuk susu kambing kualitas premium yaitu minimal

4%.

Kadar Laktosa

Laktosa merupakan karbohidrat utama yang terkandung dalam susu yang

terdiri atas laktosa α dan . Laktosa merupakan salah satu komponen yang berkontribusi terhadap rasa susu (Fennema, 1996). Laktosa merupakan disakarida gabungan antara glukosa dan galaktosa. Kandungan laktosa pada susu kambing segar tidak dipengaruhi oleh perlakuan UV hingga dosis 6,75 kGy (P>0,05). Perlakuan panas dapat menyebabkan isomerisasi pada kadar laktosa, yaitu perubahan struktur laktosa. Perubahan struktur laktosa tersebut dapat menyebabkan kekurangan pada produk olahan susu, yaitu tekstur berpasir, pada es krim atau produk olahan susu lainnya. Kadar laktosa yang didapat dari hasil penelitian ini berada di bawah standar dari Thai Agricultural Standard (2008) yaitu minimal 4,2%. Kadar laktosa sangat

dipengaruhi oleh musim, tingkat laktasi, peningkatan kadar lemak, protein, bahan kering tanpa lemak, dan mineral yang menyebabkan kadar laktosa menjadi rendah (Hanlein, 2004). Kadar lemak, protein, dan bahan kering tanpa lemak yang didapat pada penelitian ini tergolong tinggi, karena berada di atas standar yang ada. Tingginya kandungan bahan kering tersebut menyebabkan kadar laktosa menjadi rendah


(43)

27 Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL)

Bahan kering tanpa lemak ditunjukkan oleh komponen selain air dan lemak yang terkandung dalam susu. Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa bahan kering susu kambing tidak dipengaruhi oleh perlakuan UV dengan dosis yang berbeda yaitu maksimal 6,75 kGy (P>0,05). Kandungan tersebut tidak berubah, karena kadar air, kadar protein, dan kadar laktosa susu kambing tidak berubah, sehingga kandungan BKTLnya juga tidak berubah. Kandungan bahan kering tanpa lemak susu kambing kualitas premium menurut Thai Agricultural Standard (2008)

adalah minimal 9%. Kandungan BKTL susu kambing yang diperoleh berada di atara 9,57 s.d 9,73% yang relatif lebih tinggi dibandingkan standar tersebut..

Pengaruh Aplikasi Dosis atau Jumlah Reaktor Ultraviolet Berbeda terhadap Kualitas Mikrobiologis Susu Kambing Segar

Pengujian kualitas mikrobiologis susu kambing yang diberi perlakuan UV adalah jumlah total bakteri (total plate count). Jumlah total bakteri pada susu kambing kontrol yang digunakan adalah 5,99 log cfu/ml dan masih berada berada di bawah jumlah cemaran maksimal bakteri yang disyaratkan oleh Standar Nasional Indonesia, yaitu 6 log cfu/ml (SNI, 2011). Jumlah bakteri tersebut menurun setelah diberi perlakuan UV dan berbanding lurus dengan persentase penurunan jumlah total bakteri seiring dengan penambahan dosis UV yang diberikan. Grafik penurunan jumlah total bakteri dapat dilihat pada Gambar 9. dan grafik persentase penurunan jumlah total bakteri disajikan pada Gambar 10.

Gambar 9. Penurunan Jumlah Total Bakteri pada Susu Kambing Segar

5,99 5,98

5,95

5,63

5,5 5,6 5,7 5,8 5,9 6 6,1

Dosis 0 kGy (Kontrol)

Dosis 2,25 kGy (1 Reaktor)

Dosis 4,50 kGy (2 Reaktor)

Dosis 6,75 kGy (3 Reaktor) Dosis UV

P

opulasi (log c

fu/ml


(44)

28 Gambar 10. Persentase Reduksi Total Bakteri pada Susu Kambing Segar

Jumlah total bakteri menurun sebanyak 13,91% setelah pemberian perlakuan UV dosis 2,25 kGy (1 reaktor), 40,32% pada dosis 4,50 kGy (2 reaktor) dan 68,55% pada dosis 6,75 kGy (3 reaktor) dari jumlah awal 5,99 log cfu/ml menjadi 5,63 log cfu/ml susu kambing. Semakin lama susu terpapar oleh sinar UV, maka dosis UV juga bertambah. Hal ini menunjukkan bahwa sinar UV yang digunakan mampu menginaktivasi mikroorganisme yang terkandung pada susu kambing segar. Menurut Sastry et al. (2000) iradiasi ultraviolet adalah salah satu

proses pengawetan bahan pangan tanpa panas yang dapat menginaktivasi mikroorganisme. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Lodi et al.(1996)

yang mampu mereduksi jumlah total bakteri hingga 50% - 60% pada susu kambing segar yang diberi perlakuan UV.

Menurut Keklik dan Demirci (2009), inaktivasi mikroorganisme akibat dari paparan sinar UV dapat dikategorikan menjadi tiga mekanisme, yaitu (1) efek kimia, yaitu terjadi perubahan kimia di dalam DNA dan RNA yang menyebabkan inaktivasi mikroorganisme karena kegagalan replikasi, (b) efek panas, yaitu dapat menghasilkan tekanan panas yang disebabkan oleh perbedaan penyerapan sinar UV oleh mikroorganisme dan permukaan media, kondisi ini menyebabkan penyerapan air pada sel bakteri yang mengakibatkan ketidakseimbangan tekanan osmotik sehingga sitoplasma rusak dan menghasilkan sel yang rapuh/mudah pecah, dan (c)

13,91

40,32

68,55

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Dosis 2,25 kGy

(1 Reaktor) Dosis 4,50 kGy (2 Reaktor) Dosis 6,75 kGy (3 Reaktor)

P

erse

ntase

R

eduksi

(

%

)


(1)

56 Lampiran 46. Jumlah Total Bakteri Susu Kambing Segar yang Diberi Perlakuan

Dosis UV Berbeda (Ulangan Ketiga)

Pengamatan P-3 Rerata P-4 Rerata P-5 Rerata

Kontrol 48 43 45,5 26 11 18,5 6 0 3

2,25 kGy 160 43 101,5 33 27 30 2 8 5

4,50 kGy 48 31 39,5 67 11 39 6 23 14,5

6,75 kGy 130 tbud 130 5 tbud 5 2 1 1,5

Keterangan: tbud = terlalu banyak untuk dihitung

Lampiran 47. Gambar Instalasi Reaktor Ultraviolet


(2)

57 Lampiran 49. Perhitungan Dosis Ultraviolet

p (cm) 10

l (cm) 23,5

r (cm) 0,5

I (w cm-2) 0,14

U reaktor (cm3) 230

Debit Air (cc s-1) 4,3

t (detik) 53,49

Dosis (w s cm-2) 7,42

Efisiensi Lampu (25%) 1,81

Dosis (J cm-2) 1,81

Debit Susu (L s-1) 0,0043 Dosis per Volume (J L-1) 2325,58 Berat Jenis (kg L-1) 1,029

Dosis (J kg-1) 2266,65

Dosis (Gy per Reaktor) 2266,65 Dosis (kGy untuk Reaktor Tiga) 6,80

Lampiran 50. Reduksi Salmonella Typhimurium yang Direkontaminasi ke dalam

Susu Kambing (Ulangan Pertama)

Pengenceran Kontrol UV Dosis 6,75 kGy + HPEF 15 Hz

P-6 6 0

P-6 6 4

P-5 7 7

P-5 15 12

P-4 92 51


(3)

58 Lampiran 51. Reduksi Salmonella Typhimurium yang Direkontaminasi ke dalam

Susu Kambing (Ulangan Kedua)

Pengenceran Kontrol UV Dosis 6,75 kGy + HPEF 15 Hz

P-5 5 0

P-5 4 4

P-4 24 35

P-4 58 27

P-3 307 151

P-3 246 106

Lampiran 52. Reduksi Salmonella Typhimurium yang Direkontaminasi ke dalam

Susu Kambing (Ulangan Ketiga)

Pengenceran Kontrol UV Dosis 6,75 kGy + HPEF 15 Hz

P-5 3 5

P-5 3 5

P-4 28 8

P-4 25 15

P-3 230 120


(4)

i RINGKASAN

Muhammad Sarwar Khan. D14070281. 2012. Aplikasi Kombinasi Metode Ultraviolet dan High Pulsed Electric Field terhadap Kualitas Fisik, Kimia dan Mikrobiologis Susu Kambing yang Direkontaminasi Salmonella Typhimurium ATCC 14028. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Budi Hariono, M.Si

Susu merupakan pangan yang sempurna karena mengandung hampir semua nutrien yang dibutuhkan oleh manusia. Susu kambing memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan susu sapi. Susu kambing tidak menyebabkan alergi, mengandung lebih banyak medium chain triglycerides yang terbukti secara ilmiah

dapat mengurangi deposisi kolesterol dalam darah, juga mengandung lebih banyak asam amino esensial. Susu kambing juga merupakan salah satu komoditas yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai salah satu sumber susu di Indonesia, untuk mengurangi kebutuhan impor susu nasional.

Kandungan nutrien yang tinggi dalam susu, didukung oleh pH yang mendekati normal dan nilai aw (aktivitas air) yang tinggi membuat komoditas tersebut juga menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri pembusuk. Salah satu bakteri pembusuk yang sering mengontaminasi susu dan produk olahannya adalah

Salmonella Typhimurium. Kontaminasi Salmonella sp. pada produk pangan dapat

menyebabkan salmonellosis bagi orang yang mengonsumsinya. Bakteri tersebut merupakan bakteri patogen berbahaya sehingga Badan Standarisasi Nasional Indonesia (BSN) mensyaratkan bakteri tersebut tidak terkandung dalam susu segar.

Metode termal umum digunakan untuk meminimalkan kontaminasi mikroorganisme pada susu. Pasteurisasi (pemanasan dibawah titik didih susu) dan sterilisasi (pemanasan diatas titik didih susu) terbukti efektif dalam menekan jumlah total mikroorganisme pada susu, namun metode tersebut memiliki kelemahan, yaitu menurunkan kualitas fisik, kimia dan sensori susu segar. Kondisi tersebut membuat para peneliti terus mengembangkan metode pengawetan susu tanpa panas atau dikenal dengan pasteurisasi nontermal.

Metode Iradiasi Ultraviolet (UV) dan High Pulsed Electric Field (HPEF)

merupakan dua metode pasteurisasi nontermal yang sedang dikembangkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi terbaik antara dosis UV dan frekuensi HPEF untuk menekan jumlah total bakteri pada susu kambing segar dan

Salmonella Typhimurium pada susu kambing yang direkontaminasi dengan bakteri

tersebut, tanpa memengaruhi kualitas fisik, kimia, mikrobiologis susu kambing segar. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kombinasi antara UV dosis 6,75 kGy (3 reaktor) dan HPEF frekuensi 15 Hz tidak memengaruhi (P>0,05) kualitas fisik susu kambing segar yang meliputi berat jenis, titik beku, pH, konduktivitas, kalor spesifik, dan viskositas. Kualitas kimia susu kambing segar yang meliputi kadar air, bahan kering tanpa lemak, kadar protein, kadar lemak, dan kadar laktosa juga tidak didapatkan dipengaruhi (P>0,05) oleh perlakuan tersebut.

Bilangan peroksida susu kambing segar, yang mengindikasikan adanya oksidasi lemak, tidak berubah sebelum dan setelah perlakuan kombinasi UV dan


(5)

ii HPEF. Hasil penelitian ini, melalui elektroforesis menemukan adanya denaturasi protein susu kambing segar di tingkat molekul yang memiliki efek menguntungkan karena meningkatkan daya cerna protein susu kambing. Denaturasi tersebut tidak memengaruhi persentase kadar protein susu kambing secara nyata (P>0,05).

Metode kombinasi UV dan HPEF berhasil menurunkan 0,49 log siklus total bakteri pada susu kambing segar. Metode tersebut juga berhasil menurunkan sebanyak 47,8% populasi Salmonella Typhimurium ATCC 14028 yang

direkontaminasikan ke dalam susu kambing.


(6)

iii ABSTRACT

Combination of Ultraviolet and High Pulsed Electric Field Method towards Physical, Chemical and Microbiological Quality of Goat’s Milk

Recontaminated by Salmonella Typhimurium ATCC 14028 Khan, M. S., R. R. A. Maheswari, B. Hariono

Milk is a perfect food because it contains all nutrients needed for human growth.

Goat‟s milk has some superiority compared to cow‟s milk such as does not cause

allergic, contains more medium chain triglycerides and essential amino acids. The high nutrients in milk supported with an almost neutral pH and high aw (water activity) makes it not only advantageous for human, but also for pathogenic bacteria such as Salmonella Typhimurium. Heat treatment such as pasteurization is the

effective way to minimize microbial contamination in milk, but the method causes changes towards physical, chemical and sensorial quality of fresh milk. Therefore, non thermal treatment has been developed to inactivate microorganism as well as maintaining the fresh like of milk. Combination of Ultraviolet Irradiation and High Pulsed Electric Field is being developed in this occasion for that purpose. This research aimed to obtain the best combination of both method to reduce total plate

count of fresh goat‟s milk and Salmonella Typhimurium recontaminated on goat‟s

milk. The result showed that combination of UV and HPEF method was successfully reduce 0.49 log cycle of the total plate count and 47.8% of Salmonella Typhimurium

ATCC 14028 without giving a significant impact (P>0.05) on physical and chemical

quality of fresh goat‟s milk. Peroxide number of milk did not change after treatment. Protein denaturation on molecular level was observed, which gives an advantage to

increase the protein‟s bioavailability.