Pengaruh Kemitraan Pabrik Gula Karangsuwung Kabupaten Cirebon terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Tebu

PENGARUH KEMITRAAN PABRIK GULA KARANGSUWUNG
KABUPATEN CIREBON TERHADAP TINGKAT
KESEJAHTERAAN PETANI TEBU

RAFI NUGRAHA FEBRIANA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kemitraan Pabrik
Gula Karangsuwung Kabupaten Cirebon terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani
Tebu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013

Rafi Nugraha Febriana
NIM I34090054

ABSTRAK
RAFI NUGRAHA FEBRIANA. Pengaruh Kemitraan Pabrik Gula Karangsuwung
Kabupaten Cirebon terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Tebu. Dibimbing oleh
IVANOVICH AGUSTA.
Kemitraan dalam perkebunan merupakan hubungan yang saling
menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling
memperkuat, dan saling ketergantungan antara perusahaan dengan pekebun.
Namun adanya ketidaksetaraan dan kecenderungan dominasi dalam pola
kemitraan menciptakan ketergantungan salah satu pihak dalam hal ini petani
terhadap perusahaan. Ketergantungan inilah yang menjadikan adanya kontrol
yang kuat terhadap petani sehingga kemandirian petani dalam pengambilan
keputusan usahatani menjadi rendah. Tujuan penelitian ini menganalisis pola
kemitraan yang terjalin antara PG Karangsuwung dengan petani tebu, serta

mengetahui tingkat kemandirian petani mitra dalam berusaha tani dan tingkat
kesejahteraan petani tersebut. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat kemandirian petani tebu mitra memang sebagian besar masih tergolong
rendah, namun apabila dilihat dari tingkat kesejahteraan sebagian besar sudah
tinggi. Hal ini dikarenakan tingkat kemandirian kurang berpengaruh langsung
terhadap tingkat kesejahteraan, terdapat faktor lain yang lebih berpengaruh seperti
luas kepemilikan lahan.
Kata kunci: kemitraan, kemandirian, kesejahteraan

ABSTRACT
RAFI NUGRAHA Febriana. Effect of Sugar Factory Karangsuwung Partnership
Against Welfare Cirebon District Sugarcane Growers. Supervised by
IVANOVICH AGUSTA.
Partnerships in plantation is a mutually beneficial relationship, mutual
respect, mutual responsibility, mutually reinforcing, and interdependence among
firms with planters. However, the trend of inequality and domination in
partnership creates dependency either party in this case the farmers against the
company. Dependency is what makes a strong control of the farmers so that
farmers in decision-making independence of farming is low. The purpose of this
study to analyze the pattern of partnership that exists between PG Karangsuwung

with sugarcane farmers, as well as determine the level of independence of the
partner farmers trying to farm and farmer's welfare. Based on the results of the
study showed that the degree of independence of sugarcane farmers partner does
most of the still relatively low, but when seen from the welfare of the majority of
already high. This is because the degree of independence is less direct effect on
the level of well-being, there are other more influential factors such as the size of
land holdings.
Keywords: partnership, independence, well-being

PENGARUH KEMITRAAN PABRIK GULA KARANGSUWUNG
KABUPATEN CIREBON TERHADAP TINGKAT
KESEJAHTERAAN PETANI TEBU

RAFI NUGRAHA FEBRIANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat


DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Pengaruh Kemitraan Pabrik Gula KarangsU\vung Kabupaten
Cirebon terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Tebu
: Rafi Nugraha Febriana
-:\ama
: 134090054
セ i m@

Disetujui oleh

IV
Dr Ivanovich Agusta, SP M.Si
Pembimbing

Tanggal Lulus:


0 B JUL 2013

7

Judul Skripsi : Pengaruh Kemitraan Pabrik Gula Karangsuwung Kabupaten
Cirebon terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Tebu
Nama
: Rafi Nugraha Febriana
NIM
: I34090054

Disetujui oleh

Dr Ivanovich Agusta, SP M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan
dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah tentang kemitraan
usahatani yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini berjudul Pengaruh
Kemitraan Pabrik Gula Karangsuwung Kabupaten Cirebon Terhadap Tingkat
Kesejahteraan Petani Tebu.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.
Ivanovich Agusta, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Kepada pihak PG Karangsuwung, Ibu Ir. Nina Trisnawati selaku
General Manager, Pak Wisnu Subroto selaku Kepala Bagian Bidang Tanaman,
Pak H. Pramuji dan karyawan PG Karangsuwung bagian tanaman seluruhnya, Pak
H. M. Bajuri, Mas Dede, Mba Rostiana, Mba Ratna, Mba Nindi selaku anggota
dan pengurus K.AB Harum Manis yang telah memberikan informasi tentang
petani. Orang tua tercinta Hermanudin dan Juhriyah, serta kakak tersayang, Billy

Nugraha Ramadhana dan adik tercinta Nizmi Syabrina Putri yang selalu memberi
doa, dukungan, semangat, materi, dan semua pengorbanannya dengan penuh rasa
sayang kepada penulis. Om Iing, Tante Dede, dan Reifan yang sudah menemani
penulis selama penelitian. Sahabat-sahabat terbaik KPM, khususnya Yuli Dwi
Anggraeni, Riezka Riswar, Firda Emiria Utami, Dini Dwiyanti, Nina Lucellia,
Yanitha Rahmasari, Adia Yuniarti, Irma Handasari, Tiara Triutami, Muhammad
Septiadi, Gilang Angga Putra, Elbie Yudha Pratama, Bahari Ilmawan atas saran,
masukan, dan kebersamaan. Teman satu bimbingan, Anggi Lestari Utami dan
Resti Taryania untuk semangat, masukan, saran, candaan, dan kebersamaan dalam
mengerjakan skripsi sehingga kita bisa bersama-sama menyelesaikan skripsi
dengan lancar. Seluruh keluarga besar KPM, khususnya KPM 46 atas dukungan
dan kebersamaan selama ini. Seluruh Crew Majalah Komunitas yang sudah
memberikan pengalaman yang sangat berharga serta semua pihak yang telah
membantu dalam proses penulisan studi pustaka hingga penyelesaian skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Mei 2013

Rafi Nugraha Febriana

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

4

TINJAUAN PUSTAKA

5

Kebijakan dan Peraturan Perundangan Tentang Kemitraan di Perkebunan

5


Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)

6

Ketidaksetaraan Hubungan Dalam Kemitraan

7

Kemandirian

9

Kesejahteraan

10

Kerangka Pemikiran

11


Hipotesis Penelitian

12

Definisi Operasional

12

METODE PENELITIAN

17

Lokasi dan Waktu Penelitian

17

Teknik Pengumpulan Data

18

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

19

GAMBARAN UMUM

23

Gambaran Umum PG Karangsuwung

23

Visi, Misi, dan Goal PG Karangsuwung

24

Struktur Organisasi

25

Sarana Pendukung dan Komponen Utama Pabrik

26

Lahan dan Kepemilikan Tebu

27

Produksi Gula PG Karangsuwung

29

SISTEM KEMITRAAN
Proses Kemitraan Petani dengan PG Karangsuwung

31
31

10

Penyediaan Sarana Produksi Tani

32

Frekuensi Penyuluhan

33

Pelayanan Pasca Panen

34

Sistem Bagi Hasil

35

Permasalahan Rendemen

36

KARAKTERISTIK RESPONDEN

37

Koperasi Agribisnis Harum Manis

37

Karakteristik Individu

37

Aset Rumah Tangga Responden

40

TINGKAT PENYEDIAAN AKSES DAN FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN

42

Tingkat Penyediaan Akses

42

Tingkat Kemandirian

43

Analisis Hubungan Tingkat Penyediaan Akses Dan Tingkat Kemandirian 44
TINGKAT KEMANDIRIAN DAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN

46

Tingkat Kesejahteraan

46

Analisis Hubungan Antara Tingkat Kemandirian dan Tingkat
Kesejahteraan

47

Ikhtisar

48

SIMPULAN DAN SARAN

50

Simpulan

50

Saran

50

DAFTAR PUSTAKA

52

LAMPIRAN

54

RIWAYAT HIDUP

72

DAFTAR TABEL

1.

Peubah dan indikator tingkat kerjasama penyediaan sarana produksi
melalui kemitraan

2.

12

Peubah dan indikator kemandirian petani dalam pengambilan
keputusan usahatani

13

3.

Indikator dan pengukuran keluarga sejahtera BKKBN

14

4.

Prasarana pendukung PG Karangsuwung

26

5.

Komponen utama PG Karangsuwung

27

6.

Penggunaan dan potensi lahan selama sepuluh tahun terakhir

28

7.

Luas kepemilikan lahan kemitraan dan mandiri PG Karangsuwung

28

8.

Performance produksi PG Karangsuwung

29

9.

Jumlah dan persentase responden menurut usia, jenis kelamin, dan
pendidikan terakhir tahun 2013

10. Jumlah dan persentase aset rumah tangga responden

38
41

11. Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap sarana produksi
tani

42

12. Jumlah dan persentase tingkat kemandirian petani dalam pengambilan
keputusan usaha tani

43

13. Persentase hubungan tingkat penyediaan akses dengan tingkat
kemandirian

44

14. Jumlah dan persentase tingkat kesejahteraan responden menurut
indikator keluarga sejahtera BKKBN
15. Persentase hubungan tingkat kemandirian dengan tingkat kesejahteraan

46
47

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran pengaruh kemitraan pabrik gula Karangsuwung
Kabupaten Cirebon terhadap tingkat kesejahteraan petani tebu

11

2. Struktur organisasi PG Karangsuwung

25

3. Grafik produksi gula PG Karangsuwung

29

4. Tampak depan gedung APTRI dan K.AB Harum Manis

37

DAFTAR LAMPIRAN
1. Kerangka sampling petani mitra PG Karangsuwung

54

2. Data responden petani mitra PG Karangsuwung

55

3. Peta PG Karangsuwung

56

4. Contoh hasil pengolahan data

56

5. Kuesioner

58

6. Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013

66

7. Surat pengajuan sewa tanah

67

8. Surat perjanjian kemitraan

68

9. Dokumentasi

69

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Salah satu tujuan diselenggarakannya perkebunan menurut UU No. 18 tahun
2004 adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam
negeri. Untuk itu perkebunan dapat melakukan usaha kemitraan yang lebih lanjut
dijelaskan dalam Pasal 22 ayat 1 dan 2 yaitu kemitraan merupakan hubungan
yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling
memperkuat dan saling ketergantungan antara perusahaan perkebunan dengan
pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan. Polanya dapat berupa
kerja sama penyediaan sarana produksi, kerja sama produksi, pengelolaan dan
pemasaran, transportasi, kerja sama operasional, kepemilikan saham, dan jasa
pendukung lainnya.
Kemitraan antara perkebunan dengan industri sudah terjadi sejak penjajahan
Belanda. Terutama sejak diberlakukannya undang-undang agraria (Agrarische
Wet) tahun 1870, pemilik modal swasta dapat membangun perkebunan besar
karena dapat memperoleh tanah dengan cara sewa jangka panjang yang relatif
murah, yaitu melalui penggunaan hak erfpacht1. Dalam hal perkebunan tebu di
Jawa, tanah diperoleh melalui sewa tanah para petani oleh pabrik gula (PG) untuk
memenuhi bahan baku melalui contract farming. Setelah Indonesia merdeka,
sistem tersebut berlanjut, bahkan sampai nasionalisasi pabrik-pabrik gula tahun
1957-1958. Namun pada tahun 1975, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No
9/1975, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan perubahan struktural
dalam organisasi industri gula. Perubahan yang mendasar adalah bahwa
penanaman tebu yang semula tanggung jawab PG (yang dengan cara menyewa
tanah petani lalu mengelola sendiri perkebunan tebu), diubah menjadi tanggung
jawab petani. Artinya tanaman tebu menjadi tanaman milik rakyat, sedangkan PG
hanya berfungsi sebagai “buruh” pengolah tebu menjadi gula, dan sebagai
penasehat teknis dalam hal budidaya tebu (Tebu Rakyat Intensifikasi atau TRI).
Salah satu tujuan dari perubahan struktural dalam organisasi gula tersebut adalah
agar petani diberikan kesempatan untuk dapat menjadi tuan di tanahnya sendiri
yang diharapkan akan berdampak positif terhadap kesejahteraan petani tebu itu
sendiri (Wiradi 1991).
Secara definitif contrac farming adalah usahatani yang didasari kontrak
antara satu lembaga yang berperan sebagai pengolah dan/atau pemasar hasil-hasil
pertanian dan petani-petani yang berperan sebagai produsen primer hasil-hasil
pertanian tersebut. Menurut Kirk (1987) dalam Bachriadi (1995), menyebutkan
bahwa kemitraan atau contract farming sebagai model inti-satelit. Perusahaan
sebagai inti yang biasanya membeli produk pertanian dapat juga menyediakan
nasehat-nasehat teknis, kredit, serta sarana produksi lainnya secara langsung.
Sedangkan petani sebagai satelit bertugas untuk menyediakan atau menjual
sejumlah hasil pertaniannya. Penyediaan sarana produksi seperti bibit, pupuk,
1

hak kebendaan yang memberikan kewenangan yang paling luas kepada pemegang haknya untuk
menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain (Supriadi 2008).

2

teknologi, serta materi-materi pelatihan yang biasanya diberikan oleh pabrik
membuat pola kemitraan menjadi tidak setara dan cenderung mendominasi.
Apabila melihat kepentingan-kepentingan setiap aktor dalam usaha tani
kontrak, tampak bahwa petani berada pada posisi terjepit di tengah struktur
hubungan produksi. Para petani yang hanya memiliki kepentingan untuk keluar
dari kesulitan-kesulitan klasik mereka harus berhadapan untuk keluar dengan
sejumlah kepentingan ekonomi,sosial, dan politik yang lebih besar dari sekedar
sebuah usaha produksi. Di tingkat mikro, kemitraan membuat petani-petani berada
dalam situasi tergantung kepada pihak inti (perusahaan). Ketergantungan ini
terjadi akibat situasi dan struktur pasar yang menekan petani. Jelas, tanpa bantuan
dari pihak pemberi kontrak, petani-petani tersebut sulit untuk masuk dan
menembus pasar global. Namun dengan bantuan yang diterimanya, umumnya
mereka terjebak di dalam pasar yang monopsonis dan monopolis. Kedua bentuk
pasar ini sangat mungkin terjadi dalam kemitraan karena sifat dominan pihak
pemberi kontrak. Sifat dominan ini kemudian akan menciptakan ketergantungan
petani yang pada gilirannya malah akan memperkokoh dominasi pihak pemberi
kontrak. Akhirnya, pihak pemberi kontrak semakin bertambah kuat dan terusmenerus mendominasi petani dengan menciptakan beberapa sistem yang bisa
memperkokoh posisinya. Diciptakanlah sistem-sistem yang membuat petani terusmenerus tergantung secara teknologi, finansial, dan pasar terhadap mereka.
Bahkan jika diperlukan metode dan sistem kekerasan juga diterapkan agar sistem
dominasi ini tetap terwujud. Dengan demikian, dalam hubungan kontrak ini
sesungguhnya terjadi kemudian adalah suatu model penguasaan ekonomi bahkan
juga sosial-budaya, yang dapat memberikan jaminan atau peningkatan keuntungan
bagi pihak yang lebih memiliki kekuasaan. Keadaan dominasi inilah yang
membuat petani menjadi tergantung kepada pihak pabrik. Ketergantungan ini
menjadikan adanya kontrol yang kuat terhadap petani sehingga kemandirian
petani dalam pengambilan keputusan usahatani sangat rendah. Ketika petani
sudah memutuskan untuk melakukan kemitraan maka kemampuan dan kebebasan
mereka untuk menentukan pilihan yang diinginkan menjadi satu hal yang
mustahil. Mulai dari proses awal menanam hingga panen dan pemasaran,
semuanya dikontrol oleh pihak pabrik demi memenuhi kualitas dan kuantitas hasil
produksi yang diinginkan oleh pabrik pada saat awal proses kontrak.
Lebih jauh lagi ketika pola kemitraan ini berjalan terus-menerus, sehingga
petani tidak dapat meminimalkan ketergantungannya pada pihak pabrik, membuat
posisi dan kontrol pabrik menjadi lebih kuat. Dampaknya posisi tawar petani
menjadi rendah dan penentuan harga hasil produksi ditentukan secara sepihak.
Pada akhirnya petani tidak dapat menuntut keuntungan dari transfer materi
berlebih kepada pihak pabrik yang membuat tingkat kesejahteraan petani tidak
dapat tercapai sesuai dengan tujuan formal program TRI.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini akan melihat
sejauhmana sistem pertanian kontrak meningkatkan kesejahteraan petani
tebu.

3

Perumusan Masalah
Perubahan struktur dalam organisasi gula berdasarkan Instruksi Presiden
(Inpres) No 9/1975 membuka petani untuk menjadi tuan di tanahnya sendiri.
Penanaman tebu yang semula tanggung jawab PG (yang dengan cara menyewa
tanah petani lalu mengelola sendiri perkebunan tebu), diubah menjadi tanggung
jawab petani. Artinya tanaman tebu menjadi tanaman milik rakyat, sedangkan PG
hanya berfungsi sebagai “buruh” pengolah tebu menjadi gula, dan sebagai
penasehat teknis dalam hal budidaya tebu (Tebu Rakyat Intensifikasi atau TRI)
sehingga diharapkan akan berdampak positif terhadap kesejahteraan petani itu
sendiri. Namun ternyata perubahan mendasar tersebut membuat petani berada
pada posisi terjepit di tengah struktur hubungan produksi. Para petani yang hanya
memiliki kepentingan untuk keluar dari kesulitan-kesulitan klasik mereka harus
berhadapan untuk keluar dengan sejumlah kepentingan ekonomi,sosial, dan
politik yang lebih besar dari sekedar sebuah usaha produksi. Di tingkat mikro,
kemitraan membuat petani-petani berada dalam situasi tergantung kepada pihak
inti (perusahaan). Ketergantungan ini terjadi akibat situasi dan struktur pasar yang
menekan petani. Jelas, tanpa bantuan dari pihak pemberi kontrak, petani-petani
tersebut sulit untuk masuk dan menembus pasar global. Namun dengan bantuan
yang diterimanya, umumnya mereka terjebak di dalam pasar yang monopsonis
dan monopolis. Kedua bentuk pasar ini sangat mungkin terjadi dalam kemitraan
karena sifat dominan pihak pemberi kontrak. Sifat dominan ini kemudian akan
menciptakan ketergantungan petani yang pada gilirannya malah akan
memperkokoh dominasi pihak pemberi kontrak. Akhirnya, pihak pemberi kontrak
semakin bertambah kuat dan terus-menerus mendominasi petani dengan
menciptakan beberapa sistem yang bisa memperkokoh posisinya. Diciptakanlah
sistem-sistem yang membuat petani terus-menerus tergantung secara teknologi,
finansial, dan pasar terhadap mereka.
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang dikaji dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Sejauhmana kerjasama penyediaan sarana produksi dalam kemitraan
meningkatkan kemandirian usaha petani tebu?
2. Sejauhmana kemandirian usaha meningkatkan kesejahteraan petani tebu?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji pola kemitraan yang
terjadi antara PG dengan petani tebu dalam pemenuhan bahan baku gula serta
keterkaitannya dengan kemandirian petani dan kesejahteraan petani tebu. Secara
spesifik, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis pola kemitraan antara PG dengan petani tebu.
2. Menganalisis pengaruh tingkat kerjasama penyediaan sarana produksi
dalam kemitraan terhadap tingkat kemandirian petani.
3. Menganalisis pengaruh tingkat kemandirian terhadap tingkat
kesejahteraan petani tebu.

4

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai pola
kemitraan antara PG dengan petani tebu dalam memenuhi kebutuhan bahan baku
tebu serta pengaruhnya terhadap tingkat kemandirian usaha tani dan kesejahteraan
petani tebu. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis
sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu:
1. Akademisi, dimana penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi
bagi peneliti yang ingin mengkaji lebih lanjut mengenai pengaruh pola
kemitraan PG dan petani tebu terhadap tingkat kesejahteraan, khususnya
diukur berdasarkan tingkat pendapatan.
2. Masyarakat dan Industri Gula, dimana penelitian ini diharapkan dapat
memberi hubungan yang saling menguntungkan, khususnya PG dan
petani tebu yang merupakan aktor yang menjalankan pola kemitraan.
3. Pemerintah, dimana penelitian ini dihaparkan dapat memberikan
masukan atau dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengambil
kebijakan (pemerintah) dalam perencanaan, mengambil keputusan dan
membuat kebijakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan mengenai pustaka rujukan yang diambil dari beberapa
sumber seperti buku, peraturan pemerintah maupun hasil penelitian. Bab ini juga
menjelaskan mengenai kerangka pemikiran yang diikuti oleh hipotesis penelitian,
dan definisi operasional. Berikut ini penjelasan masing-masing bagian tersebut.
Kebijakan dan Peraturan Perundangan Tentang Kemitraan di Perkebunan
Perkebunan memiliki potensi yang sangat besar dalam pembangunan
perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat. Oleh karena itu untuk menjamin keberlanjutannya serta meningkatkan
fungsi dan perannya maka perkebunan sebagai salah satu bentuk pengelolaan
sumber daya alam perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional,
dan bertanggung jawab. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2004 Pasal 3, tujuan diselenggarakannya perkebunan adalah: (1)
meningkatkan pendapatan masyarakat, (2) meningkatkan penerimaan negara, (3)
meningkatkan penerimaan devisa negara, (4) menyediakan lapangan kerja, (5)
meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing, (6) memenuhi
kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, dan (7)
mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Pada UU No 18 Tahun 2004 Pasal 3 bahwa salah satu tujuan
diselenggarakannya perkebunan adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan
bahan baku industri dalam negeri. Maka perusahaan perkebunan dapat melakukan
kemitraan dengan perusahaan agroindustri2, hal tersebut tertuang pada Pasal 22
ayat (1) perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling
menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat
dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar
perkebunan. Ayat (2) kemitraan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana produksi, kerja sama
produksi, pengelolaan dan pemasaran, transportasi, kerja sama operasional,
kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya. Serta ayat (3) yang berisi
ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan usaha perkebunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
Kemitraan yang terjalin antara perkebunan dengan perusahaan agroindustri
memiliki beberapa jenis dan pola tertentu. Untuk itu berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/OT.210/10/1997 bahwa kemitraan usaha
pertanian dapat dilakukan dengan pola:
1. Inti-Plasma
Pola ini merupakan hubungan antara petani, kelompok tani atau kelompok
mitra sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha. Perusahaan
inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen,
menampung dan mengolah serta memasarkan hasil produksi. Kelompok mitra

2

suatu kegiatan industri yang memanfaatkan produk primer dari hasil pertanian sebagai bahan
bakunya untuk diolah sedemikian rupa sehingga menjadi produk baru, baik yang bersifat setengah
jadi maupun final yang dapat segera dikonsumsi (Sutalaksana 1993).

6

2.

3.

4.

5.

bertugas memenuhi kebutuhan perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang
telah disepakati.
Sub Kontrak
Pola subkontrak merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha
dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan
perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Pola subkontak ditandai
adanya kesepakatan tentang kontak bersama yang mencakup; volume, harga,
mutu, dan waktu.
Dagang Umum
Pola kemitraan dagang umum merupakan hubungan usaha dalam pemasaran
hasil produksi, Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah pihak pemasaran
dengan kelompok usaha pemasok komoditas yang diperlukan oleh pihak
pemasaran tersebut.
Keagenan
Bentuk kemitraan yang terdiri dari pihak perusahaan mitra dan kelompok
mitra atau pengusaha kecil mitra. Pihak perusahaan mitra (perusahaan besar)
memberi hak khusus kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang dan
jasa perusahaan yang dipasok oleh pengusaha besar mitra. Perusahaan besar
bertanggungjawab atas mutu dan volume produk, sedangkan usaha kecil
mitranya berkewajiban memasarkan produk dan jasa.
Kerjasama Operasional Agribisnis (KAO)
Pola kemitraan KOA merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh
kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan lahan,
sarana dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya,
modal, manajemen dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau
membudidaya suatu komoditas pertanian.
Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)

Pola kemitraan antara perkebunan dengan industri sudah terjadi sejak
Penjajahan Belanda. Terutama sejak diberlakukannya undang-undang agraria
(Agrarische Wet) tahun 1870, pemilik modal swasta dapat membangun
perkebunan besar karena dapat memperoleh tanah dengan cara sewa jangka
panjang yang relatif murah, yaitu melalui penggunaan hak erfpacht. Dalam hal
perkebunan tebu di Jawa, tanah diperoleh melalui sewa tanah para petani oleh
pabrik gula (PG) untuk memenuhi bahan baku. Setelah Indonesia merdeka, sistem
tersebut berlanjut, bahkan sampai sesudah nasionalisasi pabrik-pabrik gula tahun
1957-1958. Namun pada tahun 1975, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No
9/1975, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan perubahan struktural
dalam organisasi industri gula program Tebu Rakyat Intensifikasi atau TRI.
Perubahan yang mendasar adalah bahwa penanaman tebu yang semula tanggung
jawab PG (yang dengan cara menyewa tanah petani lalu mengelola sendiri
perkebunan tebu), diubah menjadi tanggung jawab petani. Artinya tanaman tebu
menjadi tanaman milik rakyat, sedangkan PG hanya berfungsi sebagai “buruh”
pengolah tebu menjadi gula, dan sebagai penasehat teknis dalam hal budidaya
tebu. Salah satu tujuan dari perubahan struktural dalam organisasi gula tersebut
adalah agar petani diberikan kesempatan untuk dapat menjadi tuan di tanahnya

7

sendiri yang diharapkan akan berdampak positif terhadap kesejahteraan petani
tebu itu sendiri (Wiradi 1991).
Tujuh belas tahun lebih program TRI dijalankan di Jawa, namun hasilnya
belum menggembirakan petani-petani pesertanya. Swasembada gula memang
berhasil dicapai pada tahun ke-18 pelaksanaan program tetapi petani kecil yang
turut serta di dalam program belum terangkat ke arah kesejahteraan secara
ekonomis. Adanya sewa-menyewa lahan, peserta fiktif, dan penolakan petani
untuk terlibat dalam program ini menunjukkan bahwa sebagian petani
menganggap program ini tidak menguntungkan. Terlebih lagi bagi petani-petani
berlahan sempit. Padahal ketika lahan-lahan mereka sudah masuk dalam cakupan
wilayah kerja program tidak ada satu hal pun yang dapat dipertahankan kecuali
terlibat dalam program. Dengan kata lain, program TRI banyak memaksa petani
untuk menanam tebu, tidak ada kebebasan berproduksi di sana.
TRI yang salah satu tujan awalnya ingin menghilangkan sewa-menyewa
lahan ternyata malah menciptakan pola sewa-menyewa lahan baru dan
memunculkan fenomena penguasaan tanah secara luas pada satu pihak, yaitu
cukong-cukong. Cukong-cukong dan petani berlahan luas memang bisa membuat
guliran program TRI menjadi bisnis menguntungkan karena dengan lahan yang
relatif luas mereka dapat mengefisienkan proses produksi. Satu hal yang tidak bisa
dilakukan oleh petani-petani berlahan sempit karena secara ekonomis biaya
produksi yang harus dikeluarkan menjadi tidak seimbang dengan hasil yang
dicapai (Bachriadi 1995).
Ketidaksetaraan Hubungan Dalam Kemitraan
Menurut Kirk (1987) dalam Bachriadi (1995), menyebutkan bahwa
kemitraan atau contract farming sebagai model inti-satelit. Perusahaan sebagai
inti yang biasanya membeli produk pertanian dapat juga menyediakan nasehatnasehat teknis, kredit, serta sarana produksi lainnya secara langsung. Sedangkan
petani sebagai satelit yang bertugas untuk menyediakan atau menjual sejumlah
hasil pertaniannya dalam batasan-batasan tertentu (harga, mutu, dan jumlah) yang
kerap tidak bisa disetarakan dengan jumlah tenaga yang harus mereka keluarkan.
Pada banyak kasus, petani tidak terlibat di pasar bebas untuk kelebihan-kelebihan
komoditi yang mereka miliki karena akses untuk terlibat di pasar bebas tersebut
tidak mereka miliki.
Apabila melihat kepentingan-kepentingan setiap aktor dalam usaha tani
kontrak, tampak bahwa petani berada pada posisi terjepit di tengah struktur
hubungan produksi. Para petani yang hanya memiliki kepentingan untuk keluar
dari kesulitan-kesulitan klasik mereka harus berhadapan untuk keluar dengan
sejumlah kepentingan ekonomi, sosial, dan politik yang lebih besar dari sekedar
sebuah usaha produksi. Di tingkat mikro, kemitraan membuat petani-petani berada
dalam situasi tergantung kepada pihak inti (perusahaan). Ketergantungan ini
terjadi akibat situasi dan struktur pasar yang menekan petani. Jelas, tanpa bantuan
dari pihak pemberi kontrak, petani-petani tersebut sulit untuk masuk dan
menembus pasar global. Namun dengan bantuan yang diterimanya, umumnya
mereka terjebak di dalam pasar yang monopsonis dan monopolis. Kedua bentuk
pasar ini sangat mungkin terjadi dalam kemitraan karena sifat dominan pihak

8

pemberi kontrak. Sifat dominan ini kemudian akan menciptakan ketergantungan
petani yang pada gilirannya malah akan memperkokoh dominasi pihak pemberi
kontrak. Akhirnya, pihak pemberi kontrak semakin bertambah kuat dan terusmenerus mendominasi petani dengan menciptakan beberapa sistem yang bisa
memperkokoh posisinya. Diciptakanlah sistem-sistem yang membuat petani terusmenerus tergantung secara teknologi, finansial, dan pasar terhadap mereka.
Bahkan jika diperlukan metode dan sistem kekerasan juga diterapkan agar sistem
dominasi ini tetap terwujud. Dengan demikian, dalam hubungan kontrak ini
sesungguhnya terjadi kemudian adalah suatu model penguasaan ekonomi bahkan
juga sosial-budaya, yang dapat memberikan jaminan atau peningkatan keuntungan
bagi pihak yang lebih memiliki kekuasaan.
Menurut Dos Sandos (1971) dalam Bachriadi (1995) menyatakan bahwa
secara umum yang menjadi ciri model hubungan inti-satelit adalah pasar
monopolistik serta menunjukkan hubungan tidak sederajat atau adanya dominasi.
Di samping adanya aliran surplus yang mengalir lebih besar ke pihak inti akibat
ketergantungan dan dominasi tadi.
Struktur pasar monopsonik-monopolistik ini juga akan menyebabkan posisi
tawar petani lebih rendah dibanding pihak inti. Ketergantungan petani akan
bantuan teknologi dan pemasaran yang sangat tinggi kepada pihak pemberi
kontrak secara kondusif untuk memunculkan struktur pasar semacam ini. Secara
psikologis pun sulit bagi mereka untuk membebaskan diri dari struktur tersebut,
kecuali jika ingin kembali ke kesulitan-kesulitan masa lalu. Akibatnya, tentu saja
posisi tawar-menawar mereka sangat rendah di hadapan pihak pemberi kontrak.
Bagi pihak pemberi kontrak yang pasti mengerti bahwa organisasi petani yang
independen dapat membuat posisi tawar-menawar petani lebih kuat, tentunya
sedapat mungkin berusaha menguasai dan menyetir organisasi ini menjadi salah
satu strategi mereka untuk tetap bisa memindahkan bagian terbesar surplus ke
tangan mereka. Bahkan kalau dapat, menutup kemungkinan bagi petani untuk
mengorganisasi diri.
Ketidaksetaraan mungkin juga muncul ketika memperhitungkan persoalan
tenaga kerja yang terlibat dalam usaha tani kontrak. Melalui pembelian borongan,
pihak pemberi kontrak tidak mau tahu berapa banyak tenaga kerja yang tercurah
dalam usaha-usaha produksi tersebut. Mereka hanya peduli pada kewajiban petani
untuk menyediakan sejumlah produk dengan kuantitas dan kualitas yang telah
ditentukan dan kewajiban untuk membayar hasil produksi sesuai dengan
perjanjian. Dalam situasi semacam ini, mungkin saja petani harus melibatkan
tenaga kerja di luar dirinya agar dapat memenuhi permintaan. Tidak jarang
mereka harus membayar buruh-buruh yang mereka pekerjakan atau
mengeksploitir anggota keluarganya sebagai buruh tanpa upah. Padahal kontrak
usaha ini hanya terjadi antara seorang petani selaku individu atau kepala keluarga,
bukan keluarga petani, dan pihak pemberi kontrak.
Ketika musim panen datang, kualitas tebu dapat terlihat dari rendemen3.
Rendemen dipengeruhi oleh faktor petani dalam teknik budidaya tanaman tebu
yang benar (on farm) dan PG dalam melakukan teknik pengolahan tebu menjadi
gula bermutu tinggi dengan pengukuran rendemen yang benar (on farm). Untuk
menganalisa kedua faktor ini, diperlukan analisa rendemen dengan benar dan
3

Rendemen adalah kandungan air gula yang terdapat pada batang tebu yang telah dipanen
(Mirsawan et al. 2005)

9

transparan (Ismail 2001). Hal ini membutuhkan kerjasama dan kepercayaan antara
PG dengan petani tebu yang dibangun melalui kemitraan. Namun biasanya nilai
rendemen yang dihasilkan pada tanaman tebu tidak diberikan kepada petani,
sehingga petani tidak tahu menahu tentang nilai rendemen yang dihasilkan dari
total tanaman tebu yang telah mereka budidaya. Ketidaktransparanan ini
menyebabkan petani tidak dapat menuntut hak mereka dari transfer materi
berlebih kepada pihak PG. Akibatnya pendapatan mereka tidak sesuai dengan
nilai rendemen yang dihasilkan.
Kemandirian
Kemandirian secara harfiah diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri
sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Konsep kemandirian menurut Saragih
(2005) adalah mampu berusaha sendiri, kreatif, kerja keras, dan competitiviness.
Kemandirian merupakan perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan
potensi dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dicirikan oleh
kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik. Menurut Mukhtar
(2003), kemandirian adalah suatu kondisi ketika suatu individu mampu
meminimalkan ketergantungannya pada individu lain. Kemandirian disebut pula
dengan kesejajaran atau bahkan keunggulan jika dibandingkan dengan pihak lain.
Menurut tesis Priana (2004) mengenai “Identifikasi Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Tingkat Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha
Agroforestri” menunjukkan bahwa masyarakat dikatakan berdaya dalam usaha
agroforestri apabila telah dapat menolong dirinya sendiri dalam mengidentifikasi
masalah dan mencari jalan keluar penyelesaiannya, dengan kata lain masyarakat
yang mandiri. Aspek kemandirian merupakan hal terpenting yang harus
diperhatikan dan dibina untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Kemandirian dalam konteks usaha tani menurut tesis Priana (2004) dapat
diukur berdasarkan tiga aspek yaitu tingkat kemandirian dalam permodalan,
kemandirian dalam proses produksi, dan kemandirian dalam pemasaran hasil.
Kemandirian permodalan dapat dilihat dari kemampuan dan kebebasan petani
untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan penyediaan modal yang
digunakan untuk usahataninya dan pengelolaan keuangan usahanya seperti tingkat
ketergantungan modal dari pihak luar, pihak yang memutuskan besar kecil modal
yang akan digunakan, dan pengelolaan keuangan.
Kemandirian dalam proses produksi dapat dilihat dari kemampuan dan
kebebasan petani untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan proses
produksi usahataninya seperti pertimbangan petani dalam menentukan jenis
komoditi dan jenis teknologi yang digunakan, ketergantungan terhadap tenaga
luar keluarga, dan kemampuan untuk meningkatkan hasil produksi. Sedangkan
kemandirian dalam pemasaran hasil dan produksi dapat dilihat dari kemampuan
dan kebebasan petani untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan
pemasaran hasil produksi usahataninya seperti mampu memilih pasar yang
menguntungkan, pihak yang menentukan harga, dan usaha untuk meningkatkan
penerimaan dari kegiatan pemasaran.

10

Kesejahteraan
Menurut Sukirni (1985) dalam Sunarti (2006) terdapat beragam pengertian
mengenai kesejahteraan karena lebih bersifat subyektif dimana setiap orang
dengan pedoman, tujuan, dan cara hidupnya yang berbeda-beda akan memberikan
nilai yang berbeda pula tentang kesejahteraan dan faktor-faktor yang menentukan
tingkat kesejahteraan. Program pembangunan keluarga sejahtera sudah dilakukan
oleh BKKBN sejak dahulu dan semakin mendapat pijakan yang kuat dengan
diundangkannya UU No 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Ruang lingkup kesejahteraan dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Kesejahteraan Ekonomi
Kesejahteraan ekonomi sebagai tingkat terpenuhinya input secara finansial oleh
keluarga. Input yang dimaksud berupa pendapatan, nilai aset keluarga, maupun
pengeluaran. Sementara indikator output memberikan gambaran manfaat
langsung dari investasi tersebut pada tingkat individu, keluarga, dan penduduk.
2. Kesejahteraan Sosial
Beberapa komponen dari kesejahteraan sosial diantaranya adalah penghargaan
(self esteem) dan dukungan sosial.
3. Kesejahteraan Psikologi
Terdapat tiga dimensi kesejahteraan psikologi dalam kaitannya dengan peran
orang tua yaitu: suasana hati, tingkat kepuasan, dan arti hidup.
Keluarga sejahtera menurut BKKBN (2005) dibagi menjadi 5 tahap yakni
pra sejahtera (PS), keluarga sejahtera I (KS I), keluarga sejahtera II (KS II),
keluarga sejahtera III (KS III), dan keluarga sejahtera III plus (KS III plus).
1. Keluarga PS I adalah keluarga yang belum memenuhi kebutuhan dasarnya
secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang,
papan, dan kesehatan.
2. KS I adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara
minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologinya, seperti
kebutuhan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan
lingkungan tempat tinggal dan transportasi.
3. KS II adalah keluarga yang selain dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimalnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologinya, tetapi belum
dapat memenuhi kebutuhan pengembangan seperti kebutuhan untuk menabung
dan memperoleh informasi.
4. KS III adalah keluarga-keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimum dan sosial psikologinya, dapat memenuhi kebutuhan
pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di
lingkungan desa atau wilayahnya.
5. KS III Plus adalah keluarga-keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya, kebutuhan sosial psikologisnya, kebutuhan pengembangannya,
serta secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif
mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat.

11

Kerangka Pemikiran
Penyediaan sarana produksi tani seperti bibit, pupuk, teknologi, serta
materi-materi pelatihan, dan kredit yang dikelola oleh pabrik membuat pola
kemitraan menjadi tidak setara dan cenderung mendominasi. Keadaan dominasi
inilah yang membuat petani menjadi tergantung kepada pihak pabrik.
Ketergantungan ini menjadikan adanya kontrol yang kuat terhadap petani
sehingga kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani sangat
rendah. Ketika petani sudah memutuskan untuk melakukan kemitraan maka
kemampuan dan kebebasan mereka untuk menentukan pilihan yang diinginkan
menjadi satu hal yang mustahil. Mulai dari proses awal menanam hingga panen
dan pemasaran, semuanya dikontrol oleh pihak pabrik demi memenuhi kualitas
dan kuantitas hasil produksi yang diinginkan oleh pabrik pada saat awal proses
kontrak.
Lebih jauh lagi ketika pola kemitraan ini berjalan terus-menerus, sehingga
petani tidak dapat meminimalkan ketergantungannya pada pihak pabrik, membuat
posisi dan kontrol pabrik menjadi lebih kuat. Dampaknya posisi tawar petani
menjadi rendah dan penentuan harga hasil produksi ditentukan secara sepihak.
Pada akhirnya petani tidak dapat menuntut keuntungan dari transfer materi
berlebih kepada pihak pabrik yang membuat tingkat kesejahteraan petani tidak
dapat tercapai sesuai dengan tujuan formal program TRI.

Tingkat Kerjasama
Penyediaan Akses
Dalam Kemitraan
- Tingkat Penyediaan
Sarana Produksi
- Frekuensi
Pelatihan/Penyuluhan
- Tingkat Pelayanan
Pasca Panen

Tingkat Kemandirian
Petani Dalam Pengambilan
Keputusan Usahatani
- Tingkat Kemandirian
dalam Pemenuhan Sarana
Produksi
- Tingkat Kemandirian
dalam Pengambilan
Keputusan Budidaya
- Tingkat Kemandirian
dalam Pengambilan
Keputusan Penanganan
Hasil
- Tingkat Kemandirian
dalam Pengambilan
Keputusan Pemasaran

Tingkat Kesejahteraan
Keluarga BKKBN
- Pra Sejahtera
- Keluarga Sejahtera 1
- Keluarga Sejahtera 2
- Keluarga Sejahtera 3
- Keluarga Sejahtera 3
Plus

Keterangan :
: berhubungan
Gambar 1 Kerangka pemikiran pengaruh kemitraan pabrik gula Karangsuwung
Kabupaten Cirebon terhadap tingkat kesejahteraan petani tebu

12

Hipotesis Penelitian
Dari kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:
1. Diduga terdapat hubungan antara tingkat kerjasama penyediaan sarana
produksi dalam kemitraan dengan tingkat kemandirian petani tebu.
2. Diduga terdapat hubungan antara tingkat kemandirian dengan tingkat
kesejahteraan petani tebu.
Definisi Operasional
Berikut ini adalah definisi operasional dari berbagai variabel yang
dianalisis:
1. Kemitraan adalah hubungan saling menguntungkan, saling menghargai,
saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan
antara perusahaan dan petani.
Tabel 1 Peubah dan indikator tingkat kerjasama penyediaan sarana produksi
melalui kemitraan
No
Parameter
Indikator
1
Tingkat Penyediaan - Penyediaan alat
Sarana Produksi
dan bahan produksi

2

Frekuensi
Pelatihan/
Penyuluhan

- Frekuensi interaksi
petani dengan
penyuluh

3

Tingkat Pelayanan - Informasi
Pasca Panen
rendemen
- Bantuan biaya
tebang angkut
- Waktu pembayaran
hasil panen

Pengukuran
- Pemenuhan Modal
- Pemenuhan Bibit
- Pemenuhan Pupuk
- Pemenuhan
Teknologi
- Jumlah interaksi
petani dengan
penyuluh (kali per
musim)
- Transparansi
informasi rendemen
kepada petani
- Pemenuhan biaya
tebang angkut
- Jangka waktu
pembayaran hasil
panen

Variabel ini diukur dengan menggunakan dua belas pertanyaan pada
kuesioner dengan skala ordinal “Ya” (2) dan “Tidak” (1). Dikategorikan
menjadi rendah sedang, dan tinggi dengan akumulasi skor sebagai
berikut:
Rendah
(1) skor: 12-16
Sedang
(2) skor: 17-20
Tinggi
(3) skor: 21-24

13

2. Tingkat kemandirian adalah kemampuan petani dalam mengambil
keputusan dari setiap pilihan yang ada untuk menentukan yang terbaik
bagi usahataninya sendiri.
Tabel 2
No
1

2

Peubah dan indikator kemandirian petani dalam pengambilan
keputusan usahatani
Parameter

Tingkat
Kemandirian dalam
Pemenuhan Sarana
Produksi
Tingkat
Kemandirian dalam
Pengambilan
Keputusan
Budidaya

3

- Tingkat
Kemandirian
dalam
Pengambilan
Keputusan
Penanganan Hasil

4

Tingkat
Kemandirian dalam
Pengambilan
Keputusan
Pemasaran

Indikator
- Pemenuhan alat
dan bahan untuk
produksi
- Penentuan saat
tanam
- Pengolahan tanah
- Pemilihan
komoditas yang
ditanam
- Penentuan saat
panen
- Pelaksanaan panen
- Hasil Panen
Langsung Dijual
- Hasil Panen diolah
sebelum dijual:
Untuk bahan baku,
Untuk bahan jadi.
- Menjual hasil
panen sesuai
dengan harga yang
berlaku
- Menjual hasil
panen pada saat
harga sesuai
dengan yang
diinginkan

Pengukuran
- Pemenuhan bibit
- Pemenuhan pupuk
- Pemenuhan modal
- Pemenuhan teknologi
- Kesesuaian dengan
anjuran
- Komoditas yang
diusahakan: mengikuti
anjuran pabrik, anjuran
petani lain, sesuai
dengan komoditas yang
diminta pasar.
- Tanpa pengolahan
- Hasil panen diolah
sebelum dijual: hasil
panen diolah menjadi
bahan baku, hasil panen
diolah menjadi barang
jadi.
- Menjual hasil panen
sesuai dengan harga
yang berlaku
- Menjual hasil panen
pada saat harga sesuai
dengan yang diinginkan

Variabel ini diukur dengan menggunakan sembilan pertanyaan pada
kuesioner dengan skala ordinal “Ya” (1) dan “Tidak” (2). Dikategorikan
menjadi rendah sedang, dan tinggi dengan akumulasi skor sebagai
berikut:
Rendah
(1) skor: 9-11
Sedang
(2) skor: 12-14
Tinggi
(3) skor: 15-18

14

3. Keluarga sejahtera menurut BKKBN dibagi menjadi 5 tahap yakni pra
sejahtera (PS), keluarga sejahtera I (KS I), keluarga sejahtera II (KS II),
keluarga sejahtera III (KS III), dan keluarga sejahtera III plus (KS III
plus).
Tabel 3 Indikator dan pengukuran keluarga sejahtera BKKBN
No

1

2

3

Tingkat Keluarga
Sejahtera
(BKKBN)
Keluarga Pra
Sejahtera

Indikator

Keluarga yang belum
dapat memenuhi
kebutuhan dasar (Basic
Need) secara minimal,
seperti kebutuhan akan
pangan, sandang,
papan, kesehatan, dan
pendidikan
Keluarga Sejahtera Keluarga yang telah
I
dapat memenuhi
kebutuhan dasar secara
minimal, tetapi belum
dapat memenuhi
keseluruhan kebutuhan
sosial-psikologisnya
seperti kebutuhan
ibadah, makan protein
hewani, pakaian, ruang
untuk interaksi
keluarga, dalam
keadaan sehat,
mempunyai
penghasilan, bisa baca
tulis latin, dan keluarga
berencana
Keluarga Sejahtera Keluarga yang telah
II
memenuhi kebutuhan
dasarnya, juga telah
dapat memenuhi seluruh
kebutuhan sosialpsikologisnya, akan
tetapi belum dapat
memenuhi keseluruhan
kebutuhan
pengembangannya
seperti kebutuhan
untuk peningkatan
agama, menabung,

Pengukuran

- Makan 2 kali
sehari atau lebih
- Memiliki pakaian
yang berbeda
untuk di rumah,
sekolah, bekerja,
berpergian
- Semua anak dapat
bersekolah
- Kondisi rumah
dalam keadaan
baik

- Seminggu sekali
makan daging atau
ikan
- Pasangan
usia
subur ber-KB
- Seluruh
anggota
keluarga
dapat
baca tulis

15

berinteraksi dalam
keluarga, ikut
melaksanakan kegiatan
dalam masyarakat dan
mampu memperoleh
informasi
4
Keluarga Sejahtera Keluarga yang telah
III
memenuhi seluruh
kebutuhan dasar, sosialpsikologis, dan
kebutuhan
pengembangan, namun
belum dapat
memberikan
sumbangan yang
maksimal terhadap
masyarakat, seperti
secara teratur
memberikan
sumbangan dalam
bentuk material dan
keuangan untuk
kepentingan sosial
kemasyarakatan serta
berperan serta secara
aktif dengan menjadi
pengurus lemabag
kemsyarakatan atau
yayasan sosial,
keagamaan, kesenian,
olahraga, pendidikan,
dan sebagainya
5
Keluarga Sejahtera Keluarga yang telah
III Plus
mampu memenuhi semua
kebutuhan baik yang
bersifat dasar, sosialpsikologis, maupun yang
bersifat pengembangan,
serta telah dapat pula
memberikan sumbangan
yang nyata dan
berkelanjutan bagi
masyarakat
Sumber: BKKBN 2005

- Sebagian
penghasilan dapat
ditabung
- Mengikuti kegiatan
masyarakat
- Memperoleh
informasi
dari
surat
kabar,
majalah, radio, TV,
internet
- Berupaya
miningkatkan
pengetahuan
agama

- Memberikan
sumbangan materi
untuk
kegiatan
sosial
- Aktif
sebagai
pengurus
organisasi sosial
masyarakat

16

Variabel ini diukur dengan menggunakan dua puluh tiga pertanyaan pada
kuesioner dengan skala ordinal “Ya” (1) dan “Tidak” (0). Dikategorikan
menjadi rendah sedang, dan tinggi dengan akumulasi skor sebagai
berikut:
Pra Sejahtera (1) skor: 0
Sejahtera 1 (2) skor: 1-7
Sejahtera 2 (3) skor: 8-13
Sejahtera 3 (4) skor: 14-21
Sejahtera 3+ (5) skor: ≥22

17

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif yang didukung
dengan pendekatan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan pendekatan
penelitian survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan
kemudian peneliti menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang
pokok (Singarimbun dan Effendi 1989). Penelitian menggunakan metode survai
dapat menjelaskan hubungan kausal antara variabel melalui pengujian hipotesa
yang sudah dirancang peneliti. Hubungan kausal yang dapat diuji dari hipotesa
meliputi hubungan adanya pengaruh kemitraan antara PG dan petani tebu
terhadap kesejahteraan petani tebu itu sendiri. Setiap pengujian hipotesa di atas
diharapkan mampu menjawab keterkaitan antara pengaruh kemitraan dengan
tingkat kesejahteraan petani tebu. Alasan lain dari pemilihan metode penelitian
kuantitatif dengan pendekatan penelitian survai dikarenakan metode ini dapat
menjelaskan tujuan dari penelitian melalui generalisasi objek penelitian untuk
populasi masyarakat yang tidak sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari
Singarimbun dan Effendi (1989) yang menyebutkan bahwa keuntungan utama
dari penggunaan metode penelitian survai yaitu memungkinkan pembuatan
generalisasi untuk populasi yang besar.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian yang mengangkat judul Pengaruh Pola Kemitraan Pabrik Gula
Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Tebu ini dilakukan di PG Karangsuwung,
Kecamatan Karangsembung, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Terletak
127 km dari ibukota provinsi dan 17 km dari ibukota kabupaten (Lampiran 3).
Sebelum menentukan tempat penelitian, peneliti melakukan telaah dokumen
melalui kepustakaan media cetak, internet, dan sumber lainnya untuk
mendapatkan informasi. Waktu penelitian dilakukan selama kurun waktu dua
bulan, yaitu pada Bulan Maret hingga Bulan April 2013. Penelitian yang
dimaksud mencakup waktu semenjak peneliti intensif di lapangan hingga
pengolahan dan analisis data, sedangkan pelaksanaan ujian dilakukan pada bulan
Juli 2013.
Penentuan lokasi ditetapkan secara sengaja atau purposive karena wilayah
Kecamatan Karangsembung dipilih karena merupakan wilayah kerja PG
Karangsuwung yang memiliki area perkebunan tebu yang luas serta memasok
bahan baku gula ke PG Karangsuwung dan pola kemitraan yang terjadi pun sudah
berlangsung lama sejak pabrik gula tersebut didirikan. PG Karangsuwung
merupakan salah satu PG yang terkena dampak dari Program TRI (Tebu Rakyat
Intensifikasi) pada tahun 1975, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 9/1975,
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan perubahan struktural dalam
organisasi industri gula. Inpres tersebut mengatur bahwa penanaman tebu yang
semula tanggung jawab PG (yang dengan cara menyewa tanah petani lalu
mengelola sendiri perkebunan tebu), diubah menjadi tanggung jawab petani.
Artinya tanaman tebu menjadi tanaman milik rakyat, sedangkan PG hanya
berfungsi sebagai “buruh” pengolah tebu menjadi gula, dan sebagai penasehat

18

teknis dalam hal budidaya tebu. Salah satu tujuan dari perubahan struktural dalam
organisasi gula tersebut adalah agar petani diberikan kesempatan untuk dapat
menjadi tuan di tanahnya sendiri yang diharapkan akan berdampak positif
terhadap kesejahteraan petani tebu itu sendiri. Pemilihan lokasi ini dianggap
sesuai dan dapat menjawab tujuan dari penelitian dikarenaka