Deteksi Antigen Sirkulasi Cysticercus cellulosae dalam Serum Babi dari Distrik Assologaima dan Wamena-Kota Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua

ABSTRACT
MEGASARI KUSUMA. Detection of Circulating Antigen Cysticercus cellulosae
in Porcine Serum from Assologaima and Wamena Kota District of Jayawijaya
Regency, Papua. Under direction of FADJAR SATRIJA and SRI MURTINI.
Cysticercosis is a zoonotic disease that caused by the infiltration of Taenia
solium metacestodes. Cysticercosis is a serious public health problem especially
in tropical countries like Indonesia. The aimed of this research was to determine
cysticercosis by Cysticercus cellulosae antigen detection in porcine serum from
Assologaima and Wamena Kota District. A total of 39 samples of porcine serum
were taken purposively from pig raised in households in Assologaima and
Wamena Kota District. The detection of Cysticercus cellulosae antigen was
obtained with ELISA method. The result of this research showed that 20.5%
(8/39) serum were positive cysticercosis and 88.6% (31/39) were negative
cysticercosis. Serum that positive of cysticercosis from Assologaima District
were 33.3% and 5.9% from Wamena Kota. Relative risk of sow that suffering
cysticercosis were 1.7 times bigger than boar. It can be conclusion that
prevalence of porcine cysticercosis in Assologaima and Wamena Kota District
were 20.5% and the prevalence in sow has 1.7 times higher the boar.

Keywords: porcine, ELISA, cysticercosis, Assologaima, Wamena Kota.


DETEKSI ANTIGEN SIRKULASI Cysticercus cellulosae
DALAM SERUM BABI DARI DISTRIK ASSOLOGAIMA DAN
WAMENA KOTA-KABUPATEN JAYAWIJAYA
PROVINSI PAPUA

MEGASARI KUSUMA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRACT
MEGASARI KUSUMA. Detection of Circulating Antigen Cysticercus cellulosae
in Porcine Serum from Assologaima and Wamena Kota District of Jayawijaya
Regency, Papua. Under direction of FADJAR SATRIJA and SRI MURTINI.
Cysticercosis is a zoonotic disease that caused by the infiltration of Taenia
solium metacestodes. Cysticercosis is a serious public health problem especially
in tropical countries like Indonesia. The aimed of this research was to determine
cysticercosis by Cysticercus cellulosae antigen detection in porcine serum from

Assologaima and Wamena Kota District. A total of 39 samples of porcine serum
were taken purposively from pig raised in households in Assologaima and
Wamena Kota District. The detection of Cysticercus cellulosae antigen was
obtained with ELISA method. The result of this research showed that 20.5%
(8/39) serum were positive cysticercosis and 88.6% (31/39) were negative
cysticercosis. Serum that positive of cysticercosis from Assologaima District
were 33.3% and 5.9% from Wamena Kota. Relative risk of sow that suffering
cysticercosis were 1.7 times bigger than boar. It can be conclusion that
prevalence of porcine cysticercosis in Assologaima and Wamena Kota District
were 20.5% and the prevalence in sow has 1.7 times higher the boar.

Keywords: porcine, ELISA, cysticercosis, Assologaima, Wamena Kota.

RINGKASAN
MEGASARI KUSUMA. Deteksi Antigen Sirkulasi Cysticercus cellulosae dalam
Serum Babi dari Distrik Assologaima dan Wamena Kota-Kabupaten Jayawijaya,
Provinsi Papua. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan SRI MURTINI.
Sistiserkosis merupakan salah satu zoonosis yang disebabkan oleh
metacestoda cacing Taenia solium.
Penyakit ini penting karena dapat

menimbulkan kerugian ekonomi dan bahaya bagi kesehatan masyarakat (public
health). Indonesia termasuk salah satu negara endemis sistiserkosis. Distrik
Assologaima dan Wamena Kota, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua
merupakan dua distrik yang dilaporkan sebagai wilayah endemis zoonosis ini.
Namun, penyakit ini masih kurang mendapat perhatian (neglected disease) dan
informasi mengenai sistiserkosis pada babi masih sedikit dilaporkan. Bertolak
dari hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian
sistiserkosis melalui deteksi keberadaan antigen sirkulasi yang spesifik terhadap
Cysticercus cellulosae dalam serum babi yang berasal dari Distrik Assologaima
dan Wamena Kota.
Penelitian ini memeriksa sebanyak 39 serum contoh yang berasal dari babi
dipelihara secara diumbar. Pengambilan sampel dilaksanakan secara purposif
yaitu babi yang diizinkan untuk diambil darah oleh pemiliknya. Serum contoh
tersebut selanjutnya diperiksa keberadaan antigen sirkulasi Cysticercus cellulosae
di dalamnya menggunakan metode sandwich ELISA yang dikembangkan oleh
Institute of Tropical Medicine Antwerpen, Belgia (ITM 2009). Hasil ELISA yang
diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan metode deskriptif.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebanyak 20.5% (8/39) serum
yang diperiksa, positif mengandung antigen Cysticercus cellulosae dan 88.6%
(31/39) serum tidak mengandung antigen Cysticercus cellulosae. Persentase

serum positif ini tergolong tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan metode
ELISA dalam mendeteksi keberadaan antigen Cysticercus cellulosae sangat
sensitif dan spesifik. Oleh karena itu metode pemeriksaan ini mampu mendeteksi
infeksi sistiserkus pada tingkat infeksi rendah.
Babi dari Distrik Assologaima lebih banyak menderita sistiserkosis
dibandingkan dengan babi dari Distrik Wamena Kota. Berdasarkan kategori
penyebaran penyakit dari pola spasial, Distrik Assologaima tergolong wilayah
endemis sistiserkosis, sedangkan Distrik Wamena Kota tidak termasuk wilayah
endemis. Tingginya kasus sistiserkosis di Assologaima disebabkan karena
buruknya sanitasi lingkungan yang tercermin dari rendahnya jumlah masyarakat
yang memiliki toilet (jamban) sehingga mereka defekasi di sembarang tempat.
Selain keadaan sanitasi, cara mengolah daging babi sebelum dikonsumsi oleh
masyarakat juga merupakan faktor yang mempengaruhi tingginya sistiserkosis
dan taeniasis pada manusia. Menejemen peternakan tidak terlalu berpengaruh
terhadap kejadian sistiserkosis pada babi.
Sebanyak 28.6% (6/21) babi betina dan 16.7% (3/18) jantan menderita
sistiserkosis. Risiko relatif (RR) babi betina untuk menderita sistiserkosis sebesar
1.7 kali lebih besar dibandingkan babi jantan. Perbedaan kasus sistiserkosis pada
babi jantan dan betina ini berkaitan dengan pengaruh hormonal, kecukupan nutrisi
yang dibutuhkan, dan keadaan fisiologis.


Kesimpulan dari penelitian ini adalah prevalensi sistiserkosis yang
disebabkan oleh Cysticercus cellulosae pada babi di Distrik Assologaima dan
Wamena Kota sebesar 20.5%. Babi betina memiliki risiko menderita sistiserkosis
1.7 kali lebih besar daripada babi jantan.

Kata kunci : babi, ELISA, sistiserkosis, Assologaima, Wamena Kota

DETEKSI ANTIGEN SIRKULASI Cysticercus cellulosae
DALAM SERUM BABI DARI DISTRIK ASSOLOGAIMA DAN
WAMENA KOTA-KABUPATEN JAYAWIJAYA
PROVINSI PAPUA

MEGASARI KUSUMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Deteksi Antigen Sirkulasi
Cysticercus cellulosae dalam Serum Babi dari Distrik Assologaima dan Wamena
Kota-Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2011

Megasari Kusuma
B04070086

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,
atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

Judul Skripsi

Nama
NIM

: Deteksi Antigen Sirkulasi Cysticercus cellulosae dalam
Serum Babi dari Distrik Assologaima dan Wamena-Kota
Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua
: Megasari Kusuma
: B04070086


Disetujui

drh. H. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph. D
Ketua

Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M. Si
Anggota

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus

:

PRAKATA
Puji syukur penulis munajatkan kepada Allah SWT atas segala kemudahan

yang di karunian-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Deteksi Antigen
Sirkulasi Cysticercus Cellulosae dalam Serum Babi dari Distrik Assologaima dan
Wamena Kota Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua” ini berhasil diselesaikan
dengan baik dan lancar.
Penyelesaian penelitian dan penulisan tugas akhir ini tidak lepas dari
dukungan dan bantuan banyak pihak. Terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Bapak, Ibu, adik-adik, serta seluruh keluarga atas doa, kasih sayang,
perhatian, dan motivasi yang selalu diberikan.
2. drh. H. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph.D. dan Dr. drh. Hj. Sri Murtini, M.Si.
selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, kesabaran, arahan,
dan nasihatnya.
3. Prof. Dr. Pierre Dorny selaku pengembang bahan dan protokol metode
ELISA yang digunakan dalam penelitian ini atas segala bantuannya.
4. Prof. Dr. drh. Retno Damayanti S, MS; Dr. drh. Elok Budi Retnani, MS; Dr.
drh. Yusuf Ridwan, M.Si.; Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si; Dr. drh.
Chairun Nisa’, M.Si. PA. Vet; drh. Yudi, M.Si; dan drh. Okti Nadia Poetri,
M.Si. atas bimbingannya.
5. Ibu Inriyanti Assa, SP, M.Si. selaku rekan sepenelitian atas segala kerja sama
dan kesabarannya selama penelitian.
6. Mbak Ical, Mbak Laras, Mbak Gita, Farid, Tiwi, Suriya, Adi, Risma, Retno,

Chacha, Yasmin, Aidel, Bu End, Sike, dan Sheila atas segala bantuan dan
motivasinya.
7. drh. Dewi Ratih Anggraini, drh. Ita Krissanti, drh. Agustin Zaharia dan staf
Laboratorium Imunologi dan Laboratorium Parasitologi, Departemen IPHK
FKH IPB atas segala bantuannya.
8. Penghuni Wisma Bisma 2 atas segala dukungan dan doanya.
9. Giannuzi’ers atas segala kebersamaan dan kekompakannya.
10. Saudara-saudaraku di Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka dan Kelurga
Organisasi Mahasiswa Daerah Lare Blambangan atas pengalaman hidup dan
rasa persaudaraan yang tak pernah luntur hingga saat ini.
11. Anggota Siaga dan KOPASKA atas doanya.
Penulis berharap karya tulis ini dapat memberikan sumbangan untuk ilmu
pengetahuan dan bermanfaat di kemudian hari.

Bogor, November 2011
Megasari Kusuma

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Situbondo pada tanggal 30 Juni 1989 dari pasangan
Bapak Drs. Nurhidayat Yuliadi dan Ibu Retno Setyowati. Penulis merupakan

putri pertama dari tiga bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Besuki
pada tahun 2001. Pendidikan sekolah menengah pertama diselesaikan di SMP
Negeri 1 Situbondo.

Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Glagah

Banyuwangi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB.

Penulis memilih mayor Fakultas Kedokteran

Hewan.
Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor, penulis aktif menjadi Dewan Pengurus Gedung Asrama A2 sebagai Ketua
Lorong 9 pada tahun 2007-2008, sebagai anggota Himpunan Minat Profesi
(HIMRPO) Satwa Liar (SATLI) dan Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan
Indonesia (IMAKAHI) pada tahun 2008-2009.

Penulis juga aktif di Unit

Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pramuka IPB sebagai Ketua Racana Putri 20092010, Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Lare Blambangan sebagai Ketua
Bidang Humas 2009-2010.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......……..………………………………………………. xii
DAFTAR GAMBAR……..………………………………………………....

xii

DAFTAR LAMPIRAN ..…………………………………………………… xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang .….………………………………………………………
Tujuan .…………..………………………………………………………
Manfaat ..………...………………………………………………………

1
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Taenia solium
1. Klasifikasi dan Morfologi ………..….……………………………
2. Siklus Hidup …………………...…………………………………
3. Sistiserkosis dan Taeniasis …….…………………………………
4. Metode Deteksi Sistiserkosis ….………………………………….
Kondisi Umum Masyarakat Distrik Assologaima dan Wamena Kota ...…...
Kondisi Sistiserkosis dan Taeniasis di Distrik Assologaima dan
Wamena Kota……………………………………………………………….

5
7
9
11
13
14

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian …….……………………………………….
Metode …………………….……………………………………………….

16
16

HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………

21

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan …………………………………………………………………...
Saran ……………………………………………………….……………….

29
29

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….…………..

30

LAMPIRAN ……………………………………………………………….

35

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Daerah asal dan jumlah babi yang dilakukan pemeriksaan serologis .....

17

2

Persentase status serum berdasarkan distrik asal babi ……...………….

20

3

Kejadian sistiserkosis pada babi yang disembelih dan diperjualbelikan

4

di Pasar Jibaman Kabupaten Jayawijaya ………………….……………

20

Persentase sistem perkandangan dan peternakan babi yang dimikili

24

masyarakat lokal ………………………………………………………..
5

Keadaan sanitasi peternakan babi ………………………………………

24

6

Pola mengolah daging babi oleh masyarakat lokal ……………………

26

7

Persentase serum positif berdasarkan jenis kelamin babi …..………….

26

DAFTAR GAMBAR

1

Halaman
7
Morfologi Taenia solium ……………………………………………….

2

Siklus hudup Taenia solium ……………………………………………

8

3

Infiltrasi Cysticercus cellulosae pada organ tubuh …………………………..

10

4

Skema model ELISA pendeteksi antigen ………………………………

13

5

Persentase kepemilikan toilet masyarakat lokal ………………………………

23

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Nilai absorbansi serum contoh …………………………………………

36

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sistiserkosis merupakan salah satu penyakit parasitik yang berdampak
penting terhadap kesehatan masyarakat (public health) dan perekonomian.
Namun, penyakit ini kurang mendapat perhatian (neglected disease) di berbagai
negara berkembang. Berdasarkan tinjauan terhadap aspek kesehatan masyarakat,
penyakit ini penting untuk diperhatikan sebab termasuk dalam kategori
“foodborne zoonosis” yaitu penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia
atau sebaliknya melalui pangan.

Dampak ekonomis yang ditimbulkan oleh

zoonosis ini berupa kerugian yang dialami oleh peternak babi akibat pengafkiran
daging (Zoli et al. 2003).
Babi merupakan inang antara dari Taenia solium dan sumber infeksi
Cysticercus cellulosae bagi manusia.

Sistiserkosis pada babi biasanya tidak

menunjukkan gejala klinis dan gangguan kesehatan, sedangkan infeksi
Cystisercus cellulosae pada manusia akan menimbulkan gangguan kesehatan yang
fatal. Hal ini disebabkan karena selain menginfiltrasi otot dan jaringan penunjang,
Cysticercus cellulosae juga dapat berada di organ tubuh penting seperti otak,
mata, jantung, dan hati (Garcia et al. 2003). Gejala klinis yang muncul dari
sistiserkosis pada manusia berupa nodul di subkutan, gangguan penglihatan,
gangguan saraf, sakit kepala hebat, dan epilepsi (neurocysticercosis).
Sistiserkosis ini berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat sehingga
perlu dilakukan pengendalian penyakit ini baik pada manusia dan babi. Salah satu
bentuk langkah awal dari upaya pengendalian sistiserkosis adalah deteksi dini
terhadap keberadaan Cysticercus cellulosae pada babi. Tujuan dari langkah ini
salah satunya adalah mencegah babi yang menderita sistiserkosis dikonsumsi oleh
manusia.

Namun, pelaksanaan deteksi dini sistiserkosis pada babi banyak

menemui kesulitan karena penyakit ini pada inang antaranya berjalan tanpa gejala
klinis (asimtomatis).
OIE (2008) telah menetapkan metode pemeriksaan konvensional untuk
mendeteksi sistiserkosis pada babi berupa palpasi lidah (tongue palpation) dan

2

pemeriksaan postmortem (meat inspection). Pemeriksaan palpasi lidah digunakan
untuk mendeteksi keberadaan sistiserkus pada babi hidup.

Pemeriksaan

postmortem digunakan untuk mendeteksi keberadaan sistiserkus pada daging babi
sebelum dipasarkan.
Deteksi sistiserkosis pada babi melalui palpasi lidah dan pemeriksaan
postmortem meskipun telah memenuhi kriteria yang ditetapkan OIE (2008), tetapi
teknik ini memiliki sensitifitas rendah. Sensitifitas yang rendah ini menyebabkan
infeksi Cysticercus cellulosae dalam jumlah sedikit (infeksi rendah) tidak mampu
dideteksi oleh kedua metode tersebut. Hal ini memiliki risiko fatal karena daging
babi yang mengandung sistiserkus dapat lolos untuk dikonsumsi manusia.
Termakannya Cysticercus cellulosae tersebut menjadikan siklus hidup Taenia
solium dapat berjalan sehingga zoonosis ini tidak dapat dikendalikan.
Menyikapi kekurangan dari kedua metode konvensional tersebut, maka
dikembangkanlah metode pemeriksaan serologis.

Gold standard dari metode

pemeriksaan serologis terhadap sistiserkosis adalah immunoblotting (Sato et al.
2003). Metode ini memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi yaitu 98% dan 100%
dalam mendeteksi sistiserkosis pada manusia (Deckers & Dorny 2010). Dengan
kemampuan yang dimiliki metode immunobloting tersebut, maka metode ini
mampu mendeteksi sistiserkosis walaupun saat infeksi rendah. Hasil uji yang
diperoleh juga bebas dari kemungkinan reaksi silang akibat infeksi agen lainnya.
Namun, metode ini tidak praktis untuk dilakukan dan harga yang dibutuhkan
dalam sekali pengujian sangat mahal.
Metode serologis lain yang berhasil dikembangkan untuk deteksi dini
sistiserkosis pada babi adalah enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).
ELISA digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen Cysticercus cellulosae
atau antibodi anti-Cysticercus cellulosae. ELISA yang mendeteksi keberadaan
antibodi anti-Cysticercus cellulosae adalah model yang pertama kali digunakan
untuk deteksi dini sistiserkosis.

Namun, model ELISA ini tidak mampu

membedakan infeksi akibat sistiserkus mati dari yang hidup sehingga
kemungkinan bias dari hasil pemeriksaan sangat besar (Harrison et al. 1986;
Geerts et al. 1992 diacu di dalam Dorny et al. 2000). Kekurangan dari model uji
tersebut selanjutnya disempurnakan dengan dikembangkannya model ELISA yang

3

mendeteksi keberadaan antigen Cysticercus cellulosae.

Model ELISA ini

dianggap memberikan hasil pemeriksaan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan
oleh model ini mampu membedakan antara infeksi yang disebabkan oleh
sistiserkus yang mati dari hidup.

Metode ini juga dapat digunakan sebagai

pengujian keberhasilan pengobatan sistiserkosis (Harrison et al. 1989; Garcia et
al. 1997 diacu di dalam Dorny et al. 2003).
Kasus taeniasis dan sistiserkosis banyak terjadi di Meksiko, Asia, Eropa
Timur, Amerika Tengah dan Selatan, serta Afrika.

Assana et al.

(2001)

melaporkan bahwa telah ditemukan sebesar 30.9% dari 264 babi yang berasal dari
Mayo-Danay dan Mayo-Kebbi, Kamerun yang diperiksa, positif mengandung
antigen sirkulasi Cysticercus cellulosae dalam serumnya. Benua Asia memiliki
beberapa negara endemis sistiserkosis dan taeniasis antara lain adalah India,
Nepal, China, Thailand, Korea, Taiwan, dan Indonesia (Rajshekar et al. 2003).
Negara-negara tersebut menjadi negara endemis zoonosis ini karena memiliki
daerah-daerah dengan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan
siklus hidup Taenia solium berjalan (Flisser et al. 2003). Menurut Wandra et al.
(2007), Indonesia memiliki tiga provinsi endemis zoonosis ini, ketiga provinsi
tersebut yaitu Papua, Bali, dan Sumatera Utara.

Provinsi Papua merupakan

wilayah dengan kasus sistiserkosis dan taeniasis tertinggi dibandingkan kedua
provinsi lainnya (Margono et al. 2001; Rajshekhar et al. 2003).
Provinsi Papua memiliki dua kabupaten endemis sistiserkosis dan taeniasis
yaitu Kabupaten Paniai dan Jayawijaya (Salim et al. 2009). Pernyataan tersebut
didukung oleh hasil penelitian dari Wandra et al. (2007) yang menyebutkan
bahwa antara tahun 1998-1999 telah ditemukan kasus sistiserkosis pada babi yang
berasal dari Kabupaten Jayawiyaya sebesar 8.5% sampai 70.4%.

Kasus

sistiserkosis pada manusia di kabupaten tersebut yang dilaporkan pada tahun
2000-2002 adalah sebesar 4.9% sampai 33.3%. Kabupaten Jayawijaya memiliki
empat distrik endemis sistiserkosis dan taeniasis antara lain yaitu Assologaima,
Wamena Kota, Kurulu, dan Hubikosi. Beberapa penelitian terdahulu melaporkan
bahwa Assologaima dan Wamena Kota merupakan wilayah dengan kasus
sistiserkosis tertinggi baik pada manusia dan babi, dibandingkan dua distrik
lainnya.

4

Kejadian di atas, menggambarkan tingginya kasus sistiserkosis di kedua
distrik tersebut. Keadaan ini akan mengakibatkan masalah serius bila zoonosis ini
tidak dikendalikan dengan tepat. Langkah awal dari pengendalian sistiserkosis
adalah deteksi dini pada babi yang dipelihara oleh masyarakat di Distrik
Assologaima dan Wamena Kota. Kepentingan dari tindakan ini adalah untuk
mendapatkan informasi kejadian sistiserkosis pada babi.
selanjutnya

digunakan

sebagai

dasar

penentuan

Informasi tersebut

tindakan

pengendalian

sistiserkosis selanjutnya di kedua distrik endemis tersebut. Upaya deteksi dini
tersebut selain menuntut hasil pengujian yang akurat, cepat, dan sensitif juga
aplikatif untuk dilaksanakan di Distrik Assologaima dan Wamena Kota yang
memiliki keterbatasan dalam fasilitas laboratorium pemeriksaan kesehatan. Studi
mengenai deteksi dini sistiserkosis menggunakan model ELISA yang mendeteksi
keberadaan antigen Cysticercus cellulosae

merupakan salah satu metode

pemeriksaan yang direkomendasikan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Tujuan
Penelitian ini dilaksanakan untuk menguji keberadaan antigen sirkulasi
Cysticercus cellulosae dalam serum babi yang berasal dari Distrik Assologaima
dan Wamena Kota serta menentukan pola penyebaran penyakit tersebut
berdasarkan wilayah dan jenis kelamin babi dari serum contoh yang diperiksa.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk
melaksanakan upaya pengendalian sistiserkosis dan taeniasis baik pada manusia
maupun babi di Distrik Assologaima dan Wamena Kota.

5

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Taenia solium
Klasifikasi dan Morfologi
Taenia solium merupakan cacing pita (cestoda) yang hidup dalam usus
manusia. Cacing ini dikenal dengan istilah “human pork tapeworm”. Menurut
Soulsby (1986), taksonomi dari cacing ini adalah:
Kelas

: Eucestoda

Ordo

: Cyclophyllidea

Famili

: Taeniidae

Genus

: Taenia

Spesies : Taenia solium.

Taenia solium di dalam usus halus manusia dapat tumbuh hingga mencapai
panjang dua sampai delapan meter. Tubuh cacing ini terdiri atas tiga bagian yaitu
skoleks, leher, dan strobila.

Skoleks merupakan organ tubuh cestoda yang

berfungsi untuk melekat pada dinding usus. Skoleks merupakan anggota tubuh
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies dalam genus Taenia.
Morfologi skoleks Taenia solium terdiri atas sebuah rostelum dan empat buah
batil hisap (sucker) (Gambar 1a). Rostelum dan sucker tersebut dikelilingi oleh
sebaris kait panjang (180 µm) dan kait pendek (130 µm) di mana setiap barisnya
tersusun atas 22-32 kait (Bogitsh et al. 2005).
Stobila merupakan bagian tubuh berupa serangkaian proglotida yang berada
di belakang leher. Strobila Taenia solium tersusun atas 800 sampai 1000 segmen
(proglotida).

Berdasarkan perkembangan organ reproduksinya, proglotida

tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu proglotida muda, dewasa, dan gravid
(mature).

Proglotida muda terletak setelah leher, selanjutnya diikuti oleh

proglotida dewasa, dan proglotida gravid berada di bagian belakang.
Cacing ini tergolong sebagai hemaprodit yaitu individu yang berkelamin
ganda (jantan dan betina). Kedua organ kelamin tersebut berada pada setiap
segmennya. Organ kelamin jantan dari cacing ini terdiri dari testis, vas efferens,
dan kantong cirrus. Organ kelamin betina dari cacing ini terdiri dari ovarium,

6

tuba fallopii, uterus, saluran vitelin, kelenjar mehlis dan vitelin, seminal
receptacle, serta vagina. Pada proglotida muda, organ kelamin belum tampak
dengan jelas karena belum berkembang dengan sempurna. Kedua organ kelamin
ini akan tampak dan berkembang pada proglotida dewasa (Gambar 1b) dan akan
hilang saat menjadi proglotida gravid. Proglotida gravid hanya berisi uterus yang
memiliki 7 sampai 12 cabang yang penuh dengan telur infektif (Gambar 1c).
Diperkirakan satu proglotida mengandung telur infektif sebanyak 50-60x103.
Telur Taenia solium memiliki ciri morfologi yaitu berbentuk bulat dengan ukuran
31-43 µm. Telur ini memiliki selubung tebal dan di dalamnya berisi larva yang
memiliki enam kait (onkosfer) (Choidini et al. 2001).
Taenia solium di dalam inang antaranya berupa metacestoda yang disebut
Cysticercus cellulosae. Cysticercus cellulosae dikenal pula dengan istilah pork
measles, beberasan (Bali), Manis-manisan (Tapanuli), Banasom (Toraja).
Sistiserkus ini memiliki ciri morfologi yaitu berupa gelembung ellipsoid yang
berukuran 6-10 x 5-10 mm (Gambar 1d). Stuktur tubuh Cysticercus cellulosae
terdiri dari kulit luar, cairan antara, dan lapisan kecambah.

Kulit luar yang

melapisi sistiserkus ini berupa lapisan kutikula, sedangkan cairan antara berupa
plasma darah dari inangnya. Lapisan kecambah berupa skoleks yang dilengkapi
dua baris kait (Noble & Noble 1989; Kusumamiharja 1992).
Taenia

solium

tidak memiliki

organ pencernaan sehingga untuk

memperoleh nutrisi yang dibutuhkannya cacing ini mengambil dari inangnya.
Bagian tubuh cacing ini yang digunakan untuk mengambil nutrisi inang adalah
tegumen.

Tegumen merupakan lapisan luar tubuh cacing yang terdiri dari

karbohidrat makromolekul (glucocalyx). Fungsi lain dari tegumen yaitu sebagai
pelindung diri dari enzim pencernaan yang disekresikan oleh inang, menyerap
nutrisi, dan secara berkala melakukan pergantian kulit (moulting) yang bertujuan
untuk melindungi diri dari sistem tanggap kebal inangnya.
Zat-zat sisa metabolisme dari Taenia solium dewasa dan metacestodanya
disebut dengan eskretori/sekretori (E/S). E/S tersebut terdiri dari glukosa, protein
terlarut, asam laktat, urea, dan amoniak. Organ ekskresi yang berfungsi untuk
membuang E/S keluar tubuh cacing ini terdiri dari collecting canal dan flame cell.
Mekanisme pengeluaran E/S dari dalam tubuh cacing ini diawali dengan

7

menampung E/S terlebih dahulu di dalam collecting canal. Organ ini terletak
pada dorsal tubuh dan ventral tubuh. Saat collecting canal telah penuh berisi E/S,
metabolit tersebut selanjutnya disalurkan keluar tubuh oleh flame cell (Bogitsh et
al. 2005).

Gambar 1 Morfologi Taenia solium: skoleks (a); proglotida dewasa dengan organ
kelamin yang berkembang (tanda panah hitam menunjukkan lubang
genital) (b); proglotida gravid yang berisi penuh telur infektif (c);
Cysticercus cellulosae (d) (Bogitsh et al. 2005).

Siklus Hidup
Perjalanan siklus hidup Taenia solium memerlukan dua vertebrata sebagai
induk semangnya. Kedua induk semang tersebut berperan sebagai inang antara
dan inang definitif. Babi merupakan inang antara dari Taenia solium dan manusia
bertindak sebagai inang definitifnya. Namun, anjing dan manusia dapat menjadi
inang antara dari cacing ini akibat autoinfeksi dan kontaminasi lingkungan
(Subahar et al. 2005).
Siklus hidup Taenia solium berawal dari tertelannya telur infektif cacing ini
oleh inang antaranya (Gambar 2). Telur tersebut selanjutnya akan pecah di dalam

8

lambung inang antaranya akibat bereaksi dengan asam lambung. Onkosfer yang
telah menetas selanjutnya melakukan penetrasi ke dalam pembuluh darah dan ikut
mengalir bersama darah ke seluruh organ. Onkosfer tersebut akan berkembang
menjadi sistiserkus setelah mencapai otot, jaringan subkutan, otak, hati, jantung,
dan mata (Sciutto et al. 2007).
Siklus hidup Taenia solium akan berlanjut jika manusia sebagai inang
definitifnya memakan daging babi yang mengandung sistiserkus tanpa proses
pemasakan sempurna yaitu pemanasan lebih dari 60 °C. Sistiserkus selanjutnya
mengadakan invaginasi pada dinding usus halus manusia dan berkembang
menjadi cacing dewasa.

Cacing dewasa ini mulai melepaskan proglotida

gravidnya dua bulan setelah infeksi (Garcia et al. 2003). Telur infektif yang
terkandung dalam penderita taeniasis inilah yang menjadi pencemar lingkungan
(Subahar et al. 2005).

Gambar 2 Siklus hidup Taenia solium (CDC 2011).

9

Sistiserkosis dan Taeniasis
Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Taenia solium. Sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infiltrasi
Cysticercus cellulosae pada inang antaranya yaitu manusia dan babi. Taeniasis
merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari Taenia solium dewasa
pada manusia sebagai inang definitifnya. Kedua penyakit tersebut merupakan
efek yang ditimbulkan oleh perjalanan hidup Taenia solium dan digolongkan
sebagai siklozoonosis. Siklozoonosis merupakan zoonosis akibat siklus hidup
agen yang memerlukan dua vertebrata sebagai inangnya.
Menurut Ngurah (1987), gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh
sistiserkosis lebih fatal dibandingkan dengan taeniasis. Hal ini disebabkan oleh
gejala klinis yang muncul pada penderita taeniasis lebih ringan daripada
sistiserkosis.

Gejala klinis taeniasis hanya berupa mual, nyeri di daerah

epigastrium, menurunnya napsu makan, diare atau terkadang konstipasi, anemia,
dan gejala yang asimtomatik sedangkan gejala klinis dari sistiserkosis tergantung
lokasi infiltrasi sistiserkus. Gejala klinis dari infiltasi sistiserkus di otot dan
subkutan berupa kekejangan otot, benjolan, dan kelemahan otot, sedangkan
infiltrasi sistiserkus di mata berupa gangguan pengelihatan. Sakit kepala hebat,
paralisis, dan epilepsi merupakan gejala dari infiltrasi sistiserkus di otak (Gambar
3a).

Kalsifikasi merupakan efek peradangan yang timbul akibat infiltrasi

sistiserkus yang mati. Biasanya kalsifikasi yang timbul ini tidak menimbulkan
gejala apapun selama satu tahun, selanjutnya efek buruk akan muncul setelah lima
sampai sepuluh tahun kemudian (Bogisth et al. 2005).
Infiltrasi Cysticercus cellulosae pada babi biasanya ditemukan di otot lurik
yang aktif bergerak.

Tempat predileksi dari infiltrasi sistiserkosis pada babi

berada di lidah, musculus masseter (otot pipi), leher, jantung, musculus
intercostae (otot antar tulang rusuk), dan musculus brachiocephalicus (otot bahu).
Infiltrasi sistiserkus pada otot jantung biasanya akan menimbulkan kematian pada
babi (Gambar 3b). Kematian ini terjadi akibat gangguan kontraksi otot jantung
sehingga proses pemompaan darah tidak berjalan dengan baik.

10

Gambar 3 Infiltrasi Cysticercus cellulosae pada organ tubuh: otak manusia (tanda
panah hitam menunjukkan gilus otak, lingkaran merah menunjukkan
Cysticercus cellulosae) (a) dan otot jantung babi (tanda panah putih
menunjukkan Cysticercus cellulosae) (b) (Garcia et al. 2003; Zoli et
al. 2003)
Sistiserkosis dan taeniasis sangat berkaitan erat dengan sanitasi lingkungan,
menejemen peternakan, dan cara mengkonsumsi daging babi (Flisser et al. 2003).
Bagian dari sanitasi lingkungan yang berkaitan erat dengan kejadian sistiserkosis
adalah kepemilikan toilet dan kebiasaan defekasi masyarakat.

Defekasi di

sembarang tempat merupakan cara penyebaran telur infektif Taenia solium pada
lingkungan. Penderita taeniasis dalam kondisi ini berperan sebagai pencemar
lingkungan sekitarnya.
Memelihara babi secara tidak dikandangkan (diumbar) merupakan tindakan
yang memudahkan transmisi telur infektif Tenia solium dari lingkungan menuju
inang antaranya. Babi yang diumbar mempunyai kesempatan berkontak dengan
feses penderita taeniasis lebih besar daripada babi yang dipelihara secara intensif.
Cara masyarakat dalam mengkonsumsi daging babi adalah hal yang sangat
penting dalam penyebaran zoonosis ini. Hal ini tergambar dari tingginya kasus
taeniasis di Bali akibat kebiasaan masyarakat Bali mengkonsumsi daging babi
mentah dalam setiap perayaan upacara adat (Sutisna et al. 1999).
Prevalensi kedua penyakit ini dapat diturunkan melalui beberapa langkah
pengendalian terhadap siklus hidup dari Taenia solium. Upaya pengendalian yang
dapat dilakukan yaitu deteksi dini secara berkala pada peternakan babi,
penyuluhan, pengobatan pada penderita taeniasis dan babi penderita sistiserkosis,

11

vaksinasi, dan perbaikan sanitasi lingkungan (Gonzalez et al. 2003; Ngowi et al.
2008). Pengobatan yang dapat dilakukan terhadap babi penderita sistiserkosis
adalah pemberian oxfendazole dengan dosis 3-4.5 mg/kg bb (Plumb & Pharm
1999). Pencegahan sistiserkosis pada babi dapat dilakukan melalui vaksinasi.
Tipe vaksin yang dapat diberikan untuk vaksinasi tersebut adalah synthetic
peptide-based vaccine (Deckers et al. 2008).

Metode Deteksi Sistiserkosis
Sistiserkosis pada manusia menimbulkan efek buruk baik terhadap
kesehatan, produktivitas kinerja seseorang, dan keselamatan jiwa. Penyakit ini
pada manusia menunjukkan gejala klinis yang terlihat berupa nodul di subkutan,
gangguan penglihatan, gangguan saraf, sakit kepala hebat, dan epilepsi
(neurocysticercosis).

Penderita sistiserkosis juga akan mengalami penurunan

produktivitas kinerjanya karena dapat menimbulkan kebutaan. Zoonosis ini juga
mengancam keselamatan jiwa penderitanya. Penderita neurocysticercosis sering
kali ditemukan meninggal akibat tenggelam, mengalami luka bakar, dan
meninggal akibat terbakar. Sistiserkosis pada babi biasanya berjalan asimtomatik
dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan, sehingga banyak kasus sistiserkosis
pada babi yang tidak teramati.
OIE (2008) telah menetapkan bahwa metode pemeriksaan standar untuk
mendeteksi keberadaan sistiserkus pada babi adalah palpasi lidah dan pemeriksaan
postmortem. Pemeriksaan palpasi lidah digunakan untuk mendeteksi sistiserkus
pada babi hidup.

Pemeriksaan postmortem digunakan untuk mendeteksi

sistiserkus pada daging babi sebelum dipasarkan. Selain metode pemeriksaan
sistiserkosis standar yang ditetapkan oleh OIE tersebut, keberadaan Cysticercosis
cellulosae dapat dideteksi menggunakan teknik immunodiagnostik.

Teknik

immunodiagnostik tersebut berupa enzyme linked immunosorbent assay (ELISA),
enzyme linked immuno-electrotransfer blot, antigen spesifik IgM dalam cairan
selebrospinal (celebro spinal fluid), dan complement fixation test (CFT) (Ansari et
al. 2003).
Pada tahun 1997-1998 Ito et al. berhasil mengembangkan ELISA untuk
mendeteksi keberadaan Cysticercus cellulosae melalui pemeriksaan antibodi anti-

12

Cysticercus cellulosae pada serum (Sato et al. 2003). Prinsip kerja dari teknik
ELISA adalah mendeteksi adanya ikatan spesifik antara antibodi dan antigen atau
sebaliknya. Burgess (1995) menyatakan bahwa ELISA memiliki variasi model uji
yang beragam. ELISA dan metode pemeriksaan sistiserkosis konvensional bila
dibandingkan dari segi sensitifitas dan spesifisitas ujinya, maka ELISA dianggap
lebih baik.

Menurut Dorny et al.

(2004), teknik palpasi lidah memiliki

sensitivitas sebesar 16.1% dan spesifisitas sebesar 100%, pemeriksaan
postmortem memiliki sensitivitas sebesar 38.7% dan spesifisitas sebesar 100%,
model ELISA yang mendeteksi antibodi memiliki sensitivitas sebesar 45.2% dan
spesifisitas sebesar 88.2%, model ELISA yang mendeteksi antigen memiliki
sensitivitas sebesar 64.5% dan spesifisitas sebesar 91.2%.

Hal di atas

menunjukkan bahwa model ELISA yang mendeteksi antigen memiliki tingkat
sensitivitas dan spesifisitas yang terbaik dibandingkan teknik diagnosis lainnya.
Model ini juga dapat membedakan sistiserkus yang mati dari hidup. Kelebihan
tersebut memberikan hasil pengujian yang tidak bias dan menggambarkan infeksi
yang sebenarnya (Dorny et al. 2000).
Gambar 4 menunjukkan tahapan kerja dari model ELISA pendeteksi antigen
yang dikembangkan oleh ITM Antwerpen, Belgia.

Model ELISA ini

menggunakan antibodi penangkap dan pendeteksi berupa monoklonal antibodi.
Monoklonal antibodi merupakan antibodi spesifik yang memilki satu jenis
paratop (bagian dari antibodi yang berikatan dengan epitop dari antigen).
Keadaan ini merupakan kelebihan dari monoklonal antibodi karena sifatnya akan
lebih spesifik dalam mengikat antigen yang dideteksinya (Burgess 1995).
Monoklonal antibodi yang dikembangkan oleh ITM Antwerpen, Belgia
merupakan monoklonal antibodi anti-Cysticercus bovis. Namun, monoklonal ini
bersifat genus spesifik sehingga dapat mendeteksi antigen dari sistiserkus lain
misalnya Cysticercus cellulosae, Cysticercus tenuicollis dan metacestoda dari
Taenia asiatica. Sifat genus spesifik ini dapat memberikan keuntungan dan juga
kerugian untuk diagnosis sistiserkosis. Keuntungan dari sifat ini yaitu dengan
menggunakan satu monoklonal antibodi dapat mendeteksi sistiserkosis yang
disebabkan oleh berbagai spesies dari genus Taenia.

Kerugian dari sifat

monoklonal antibodi ini ditemui apabila digunakan untuk mengetahui spesies

13

penyebab sistiserkosis di daerah yang endemis lebih dari satu spesies anggota dari
genus Taenia.

Gambar 4 Skema model ELISA pendeteksi antigen (ITM 2009).

Kondisi Umum Masyarakat Distrik Assologaima dan Wamena Kota
Babi merupakan hewan yang memiliki makna penting bagi kehidupan sukusuku di Distrik Assologaima dan Wamena Kota. Ditinjau dari segi antropologi,
beternak babi bagi kehidupan masyarakat di kedua distrik tersebut merupakan
bagian dari budaya lokal yang disebut ”Kebudayaan Beternak Babi”. Berdasarkan
aspek ekonomi, babi merupakan hewan yang istimewa karena memiliki harga
yang lebih tinggi dibandingkan dengan hewan lainnya. Babi juga memegang
peranan sebagai barang yang digunakan untuk menyelesaikan segala masalah
adat, mas kawin, dan digunakan dalam setiap upaca adat sebagai hidangannya.
Ternak babi sangat penting peranannya dalam kehidupan masyarakat di kedua
distrik tersebut (Sokoy 2005).
Masyarakat Distrik Assologaima dan Wamena Kota umumnya memelihara
babi dengan cara diumbar saat siang hari dan mengandangkannya pada malam
hari.

Sebagian besar babi tersebut dikandangkan di dalam honai bersama

14

pemiliknya, Kondisi ini menyebabkan keadaan sanitasi di dalam tempat tinggal
menjadi buruk. Babi-babi tersebut biasanya diberi pakan oleh pemiliknya saat
pagi hari sebelum diumbar. Pakan yang diberikan peternak setempat kepada babi
yang mereka pelihara berupa ubi jalar (Ipomoea batatas) berkualitas rendah
(Balitnak 2008).
Bakar Batu adalah tradisi lokal yang dimiliki oleh masyarakat Papua untuk
memasak daging babi dalam setiap pelaksanaan upacara adat setempat. Tradisi
ini dilakukan dengan memasak daging babi dan bahan makanan lain seperti ubi
jalar dan sayuran dalam tumpukan batu panas selama satu jam yang dimasukkan
dalam galian tanah sedalam satu meter. Makanan yang telah matang selanjutnya
dihidangkan di atas tanah dengan beralaskan dedaunan dan rumput-rumputan
untuk dimakan bersama-sama. Cara penyajian ini memiliki resiko terjadinya
pencemaran telur Taenia solium infektif dari tanah dan alas makan tersebut
(Maitindom 2008).
Distrik Assologaima dan Wamena Kota termasuk dalam wilayah Kabupaten
Jayawijaya. Distrik merupakan istilah untuk kecamatan yang ada di Provinsi
Papua dan Papua Barat karena adanya Undang-Undang Otonomi Daerah Khusus
mulai tahun 2008.

Kondisi sanitasi di Kabupaten Jayawijaya secara umum

termasuk kedua distrik tersebut tergolong buruk. Menurut laporan dari Dinas
Kesehatan Provinsi Papua yang dikutip dalam Maitindom (2008), sebagian besar
(98.0%) penduduk Kabupaten Jayawijaya tidak memiliki fasilitas/sarana sanitasi
seperti air bersih, jamban keluarga, tempat pembuangan sampah, dan saluran
pembuangan air limbah (SPAL).

Kabupaten Jayawijaya juga tidak memiliki

Rumah Potong Hewan (RPH) sehingga pengawasan terhadap keamanan produk
daging babi juga kurang terlaksana.

Kondisi taeniasis dan sistiserkosis di Distrik Assologaima dan Wamena Kota
Distrik Assologaima dan Wamena Kota merupakan dua wilayah di
Kabupaten Jayawijaya yang termasuk daerah endemis taeniasis dan sistiserkosis.
Keadaan ini diketahui dari penelitian sebelumnya yang banyak melaporkan kasus
sistiserkosis dan taeniasis pada manusia di kedua wilayah tersebut. Penelitianpenelitian tersebut menyebutkan bahwa penduduk di kedua distrik tersebut banyak

15

yang menderita neurocysticercosis. Laporan mengenai sistiserkosis pada babi
yang berasal dari Distrik Assologaima dan Wamena Kota masih jarang
dilaporkan.
Kasus epilepsi yang diderita oleh penduduk Distrik Assologaima telah
dilaporkan mengalami peningkatan antara tahun 1992-1995 yaitu sebesar 0.28%
sampai 0.83%. Margono et al. (2001) telah memeriksa penderita epilepsi dan
babi yang dimilikinya menggunakan teknik immunobloting untuk mendeteksi
keberadaan Cysticercus cellulosae agar penyakit tersebut dapat dipastikan agen
penyebabnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa 14 orang dan satu ekor
babi positif sistiserkosis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 19921995 di Distrik Assologaima terdapat 14 warga penderita neurocysticercosis dan
seekor babi penderita sistiserkosis.
Pada tahun 2005 Subahar et al. melakukan penelitian tentang penyebaran
kasus taeniasis dan sistiserkosis pada penduduk Distrik Wamena Kota dan
Assologaima. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut yaitu sebesar 68.4%
(26/38) penduduk Distrik Wamena Kota dan 35.5% (18/51) penduduk
Assologaima memiliki antibodi anti-sistiserkosis. Penduduk yang positif tersebut
selanjutnya menjalani pemeriksaan lanjutan menggunakan teknik ELISAkoproantigen.

Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa tiga orang

penduduk Distrik Assologaima positif mengandung antigen Taenia solium dalam
fesesnya, sedangkan pada penduduk Distrik Wamena Kota tidak ditemukan hasil
positif. Hasil tersebut menunjukkan tidak semua penderita sistiserkosis menderita
taeniasis.
Pada tahun 2008 Maitindom melakukan penelitian mengenai sistiserkosis
pada babi yang berasal dari beberapa Distrik di Kabupaten Jayawijaya. Penelitian
tersebut dilakukan terhadap babi yang disembelih dan diperjualbelikan di Pasar
Jibaman Kabupaten Jayawijaya menggunakan metode pemeriksaan postmortem.
Hasil yang dilaporkan dari penelitian tersebut yaitu sebanyak 77% babi yang
diperiksa positif mengandung Cysticercus cellulosae dalam dagingnya. Hal di
atas menunjukkan bahwa kasus sistiserkosis baik pada manusia dan babi di
Distrik Assologaima dan Wamena Kota sangat tinggi.

16

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2011 bertempat di
Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, serta
Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Metode
1. Koleksi Serum Contoh
Tahap koleksi serum contoh dalam penelitian ini dilakukan pada bulan
Oktober 2009 sampai Juni 2011. Tahap koleksi ini dilaksanakan oleh tim peneliti
mahasiswa Pascasarjana Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Institut
Pertanian Bogor. Serum contoh yang dikoleksi diambil secara purposif yaitu
berasal dari babi yang diizinkan oleh pemiliknya untuk diambil darahnya dan
dipelihara secara diumbar.
Dalam penelitian ini diperiksa sebanyak 39 serum contoh yang terdiri atas
26 serum yang dikoleksi pada tahun 2009 dan 13 serum pada tahun 2010. Serum
tersebut diperoleh dari babi asal Distrik Assologaima dan Wamena Kota (Tabel
1). Babi tersebut terdiri atas 18 ekor jantan dan 21 ekor betina. Serum kontrol
positif yang digunakan dalam penelitian ini dikoleksi dari babi yang dalam
pemeriksaan postmortem ditemukan adanya sistiserkus dalam dagingnya. Babi
tersebut berasal dari peternakan rakyat di Kabupaten Jayawijaya. Serum kontrol
negatif yang digunakan dalam penelitian ini dikoleksi dari babi yang berasal dari
peternakan di Jawa Tengah.
Pembuatan serum dilakukan dengan cara mengambil darah babi melalui
vena jugularis menggunakan spuit 5 mL. Darah yang telah diambil tersebut
selanjutnya diinkubasi dalam suhu ruang selama satu jam dengan posisi mendatar.
Darah tersebut kemudian diinkubasikan kembali selama 24 jam dalam suhu 4 °C.
Serum yang terbentuk selanjutnya dipanen dengan meletakkannya dalam tabung

17

mikro berukuran 1.5 mL. Penyimpanan serum dilakukan dalam suhu -18 °C
hingga akan digunakan.

Tabel 1 Daerah asal dan jumlah babi yang dilakukan pemeriksaan serologis
No.

Daerah asal (Distrik)

Jenis Kelamin

Jumlah

Jantan

(ekor)

Betina

Tidak
diketahui

1.

Assologaima

22

7

15

-

2.

Wamena Kota

17

11

6

-

Jumlah Total

39

18

21

0

2. Protokol ELISA
Penelitian ini dilakukan dengan metode sandwich ELISA untuk mendeteksi
Cysticercus cellulosae yang dikembangkan oleh Institute of Tropical Medicine
Antwerpen, Belgia (ITM 2009). Metode ini menggunakan antibodi monoklonal
sebagai bahan pendeteksi keberadaan antigen Cysticercus cellulosae dalam serum
contoh.

Tingkat spesifitas dari metode ini adalah 98.7% dan tingkat

sensitifitasnya adalah 92.3% (Van Kerckhoven et al. 1998, diacu dalam Dorny el
al. 2000).

Metode ini terdiri dari delapan tahap, yaitu pre-treatment serum,

coating sumuran cawan, blocking, peletakan serum contoh (sampel), pemberian
antibodi pendeteksi, konjugat, substrat, stop solution, dan pembacaan nilai
absorbansi.
Pre-treatment serum dilakukan dengan mencampurkan 75 µL serum dan 75
µL larutan TCA (tricloroacetic acid 5% dalam akuabides) dalam tabung mikro.
Campuran tersebut dikocok menggunakan vortex dan diinkubasi selama 20 menit
pada suhu ruang.

Setelah diinkubasi, campuran tersebut kembali dikocok

menggunakan vortex dan disentrifus selama sembilan menit dalam kecepatan 12
000 g. Supernatan yang diperoleh selanjutnya diambil menggunakan pipet mikro
dan dicampurkan dengan larutan karbonat/bikarbonat pH 10 sebanyak 75 µL di
dalam tabung mikro. Campuran tersebut kemudian disimpan dalam suhu 4 °C
sampai akan digunakan.

Setelah tahap pre-treatment dilakukan, selanjutnya

dilakukan pembuatan pola peletakan sampel.

18

Coating dilakukan dengan melapisi sumuran cawan dengan antibodi
penangkap dalam konsentrasi 5 µg/mL coating buffer karbonat/bikarbonat pH 9.8.
Antibodi penangkap yang digunakan dalam penelitian ini berupa antibodi
monoklonal anti Taenia saginata (kode produksi: B158C11A10) hasil produksi
Institute of Tropicaledicine Antwerpen, Belgia. Antibodi penangkap sebanyak
100 µL dimasukkan ke dalam masing-masing sumur kecuali sumur A1 dan B1.
Sumur A1 dan B1 merupakan sumur kontrol untuk substrat buffer, kedua sumur
ini hanya diisi dengan 100 µL coating buffer. Inkubasi dilakukan di dalam shaker
inkubator selama 30 menit pada suhu 37 °C. Setelah inkubasi selesai, dilakukan
pencucian dengan PBS Tween-20 0.05% (buffer pencuci) sebanyak satu kali
menggunakan pipet mikro multi channel.
Blocking dilakukan dengan tujuan untuk menutup permukaan sumur yang
tidak dilekati oleh antibodi penangkap. Tahap ini dilakukan dengan cara
memasukkan 100 µL larutan blocking berupa New Born Calf Serum 1% di dalam
buffer pencuci pada setiap sumur.

Cawan tersebut diinkubasi dalam shaker

inkubator selama 15 menit pada suhu 37 °C.
Pemasukan sampel dilakukan dengan memasukkan serum contoh yang
telah dipre-treatment sebanyak 100 µL ke dalam masing-masing sumur sesuai
dengan pola. Cawan tersebut diinkubasi dalam shaker inkubator pada suhu 37 °C
selama 15 menit. Tiap-tiap sumur dalam cawan kemudian dicuci sebanyak lima
kali menggunakan buffer pencuci.
Pemberian antibodi pendeteksi. Antibodi pendeteksi yang digunakan
dalam penelitian ini berupa antibodi monoklonal anti Taenia saginata yang telah
dikonjugasikan dengan biotin (kode produksi: B158C11A10) produksi Institute of
Tropical Medicine Antwerpen, Belgia. Sebanyak 100 µL antibodi pendeteksi
dengan konsentrasi 1.25 µg/ mL larutan blocking dimasukkan ke dalam setiap
sumur kecuali sumur A1 dan B1. Sumur A1 dan B1 hanya diisi dengan larutan
blocking sebanyak 100 µL. Selanjutnya cawan tersebut diinkubasikan di dalam
shaker inkubator pada suhu 37 °C selama 15 menit.

Pencucian dilakukan

sebanyak lima kali dengan buffer pencuci setelah inkubasi selesai.
Pemberian konjugat.

Konjugat yang digunakan berupa streptavidin

(1/10000 µl larutan blocking) sebanyak 100 µL pada semua sumur kecuali sumur

19

A1 dan B1. Kedua sumur ini diisi dengan 100 µL larutan blocking. Cawan
tersebut diinkubasikan dalam shaker inkubator selama 15 menit pada suhu 37 °C.
Selanjutnya dilakukan pencucian sebanyak lima kali dengan buffer pencuci.
Pemberian substrat. Substrat yang digunakan berupa ortho phenil diamine
(OPD) yang dibuat dengan cara melarutkan 1 tablet OPD dalam 10 mL akuabides
dengan ditambahkan H2O2 sebanyak 2.5 µL. Tahap ini dilakukan dengan cara
meletakkan 100 µL substrat ke dalam setiap sumur dan dilaksanakan dalam
kondisi ruangan gelap. Cawan tersebut diinkubasi pada suhu 30 °C selama 15
menit di dalam inkubator.
Pemberian stop solution. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menghentikan
reaksi pada sumur. Larutan stop solution yang digunakan berupa asam kuat yaitu
H2SO4.

Tahap ini dilakukan dengan cara menambahkan 50 µL larutan stop

solution pada setiap sumur.
Pembacaan nilai absorbansi dilakukan dengan menggunakan ELISA
reader dengan panjang gelombang 492 nm dan 655 nm. Penghitungan rataan
nilai absorbansi dari masing-masing serum contoh dilakukan setelah diperoleh
data nilai absorbansi dari hasil pembacaan. Penentuan nilai cut of