Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi dan Karakterisasi Risiko daging babi bakar batu di Kabupaten Jayawijaya Papua

(1)

DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA

INRIYANTI ASSA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Karakterisasi Risiko Daging Babi Bakar Batu di Kabupaten Jayawijaya Papua adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Inriyanti Assa NRP. B261070011


(3)

INRIYANTI ASSA. Considerable study of epidemiology porcine cysticercosis and risk characterization of pork meat by burning stones at Jayawijaya Regency Papua. Under the supervision of FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN and NYOMAN SADRA DHARMAWAN.

Jayawijaya Regency is a hyperendemic area of human cysticercosis in Indonesia. Disease caused of metacestoda of Taenia solium. Therefore very limited data of porcine cysticercosis are available. This study was divided into three stages, the first to assess the spread of porcine cysticercosis in Jayawijaya Regency, second to characterize the risk of burning stones (barapen), the last was examined the level of knowledge and behavior about the source of tapeworm infection. A total of 111 pigs were tested serologically to detect the presence of circulating parasite antigen using monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Fourty five samples (40.54%) were found positive by MoAb-ELISA, and the highest prevalence occurred from the District of Asolokobal (92.86%), followed by Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.33%), Asologaima (31.82%), Homhom (18.18%), Hubikosi (14.29%), Jibama market (14.29%), and the lowest prevalence from Wamena Kota (5.88%). Free-range pig husbandry system (OR=4.63; P<0.01) and uncooked pork feed (OR=3.65; P<0.05) were important risk factors for porcine cysticercosis. Asolokobal District are highly vulnerable to cycticercosis. Barapen is one of culture in Jayawijaya. The research was conducted to study the relationship between barapen method and infecting humans with cysticercosis/taeniosis. Field observations indicate a barapen is divided into three parts, namely, stone and wood burning, roasting pork and eat together. The highest hot stones temperature is 300 °C and lowest 170 °C. The roasting pork take more an hour with a temperature of 60 to 90 °C. The temperature of the stone (65.66 °C) and pork (83.33 °C) removed from the barapen process were highly. The pork was cooked only spread on the grass. Opportunity to get cysticercosis in Wamena is currently puting the food that cooked on the grass. Health education were done at 41 housewives in Wamena. Overall there is an increasing public knowledge of cysticercosis after the intervention through counseling about cysticercosis is 75.28% to 100%. Differences in knowledge there is very high at the time of education is given between 58.54% and 76.61%. After one week of the results obtained do counseling is an increase in the knowledge that is not too high (36.59%). Behavioral people after an education increase of 21.39%. Health education is conducted continuously to reduce the prevalence of cysticercosis/taeniosis in Jayawijaya. The needed for counseling regarding methods of handling food hygiene, an anthropology approach about pig husbandry system and pattern of cook pork feed.


(4)

INRIYANTI ASSA. Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi dan karakterisasi risiko daging babi bakar batu di Kabupaten Jayawijaya Papua. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN, NYOMAN SADRA DHARMAWAN.

Kabupaten Jayawijaya adalah daerah hiperendemis sistiserkosis. Sistiserkosis yang disebabkan oleh larva T. solium merupakan salah satu zoonosa yang dapat memberikan gejala berat khususnya bila larva terdapat pada otak atau mata. Larva menyebabkan gejala lebih ringan bilamana ditemukan di jaringan subkutan, otot atau organ lain. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penyebaran sistiserkosis pada babi dan mengkarakterisasi risiko daging babi yang dimasak secara bakar batu serta mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang sumber infeksi cacing pita.

Kegiatan penelitian ini terdiri atas tiga bagian besar, yaitu; 1) kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya, 2) karakterisasi risiko sistiserkosis pada daging babi bakar batu, 3) kaji tindak pengetahuan dan perilaku masyarakat Kabupaten Jayawijaya terhadap sistiserkosis.

Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya merupakan penelitian yang menggunakan metode survei yang terdiri tiga tahap, pertama pengambilan serum babi untuk mendapatkan seroprevalensi dan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner, tahap kedua yaitu faktor risiko sistiserkosis pada babi, tahap ketiga pemetaan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya.

Sebanyak 111 serum yang diambil dari delapan distrik dan pasar Jibama. Sampel serum yang diuji untuk melihat adanya antigen sirkulasi parasit dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay. Metode sandwich yang digunakan berasal dari Institute of Tropical Medicine (ITM 2009). Hasil reaksi seropositif tertinggi terdapat di Distrik Asolokobal (92.86%), diikuti Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.3%), Asologaima (31.82%), Homhom (18.18%), Hubikosi (14.29%), pasar Jibama (14.29%) dan prevalensi terendah terdapat di Distrik Wamena Kota sebesar 5.88%.

Tahap selanjutnya yaitu untuk mengetahui faktor risiko sistiserkosis pada babi. Ada enam faktor yang menjadi risiko sistiserkosis yaitu; jenis kelamin babi, cara pemeliharaan babi, struktur kandang, pakan babi, air bersih dekat kandang dan kepemilikan jamban. Cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan (OR=4.63; P<0.01) dan pakan babi yang tidak dimasak (OR=3.65; P<0.05) merupakan faktor risiko yang penting terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi.

Tahap ketiga pemetaan sistiserkosis. Titik koordinat ditentukan saat pengambilan darah babi dari 56 responden peternak dengan menggunakan global


(5)

tiga bagian yaitu; tidak rawan, rawan dan sangat rawan. Distrik yang masuk kategori tidak rawan adalah Distrik Wamena Kota dan Homhom, kategori rawan yaitu Distrik Asologaima dan daerah yang masuk kategori sangat rawan adalah Distrik Asolokobal, diikuti dengan Distrik Kurulu, Bolakme, Musatfak dan Distrik Hubikosi.

Penelitian bagian kedua yaitu mengkarakterisasi risiko sistiserkosis pada daging babi bakar batu. Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu upacara bakar batu dan ketahanan sistiserkus daging babi bakar batu. Hasil observasi lapangan menunjukkan kegiatan upacara bakar batu terbagi atas tiga yaitu; pertama pembakaran batu dan kayu, kedua pemanggangan daging babi beserta hipere, sayuran dan ketiga yaitu makan bersama. Batu yang digunakan adalah batu kali, suhu rata-rata batu saat diletakkan dalam liang bakar batu yaitu 236.16 °C. Babi yang akan dipanggang terlebih dahulu dipanah lalu diletakkan di atas pembakaran sekitar tiga menit dengan tujuan melepaskan bulu babi. Makanan yang telah matang dihamparkan di atas rumput dan siap disantap bersama.

Suhu daging babi selama pemanggangan diukur dengan menggunakan

thermocouple. Pemanggangan bakar batu berlangsung hingga satu setengah jam dengan suhu selama pemanggangan 60-90 °C. Panas batu (65.66 °C) dan daging babi (83.33 °C ) yang dikeluarkan dari tempat pemanggangan tetap masih tinggi.

Penelitian bagian ketiga adalah kaji tindak pengetahuan dan perilaku masyarakat Kabupaten Jayawijaya terhadap sistiserkosis. Desain penelitian terbagi atas dua yaitu, wawancara dan penyuluhan. Tingkat pengetahuan diukur dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan sebelum penyuluhan, sesudah penyuluhan dan satu minggu setelah penyuluhan. Perilaku diukur saat sebelum dilakukan penyuluhan dan satu minggu setelah penyuluhan.

Secara keseluruhan terdapat peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap sistiserkosis setelah dilakukan intervensi melalui penyuluhan mengenai sistiserkosis yaitu, 75.28% sampai dengan 100%. Perbedaan pengetahuan terjadi sangat tinggi pada saat diberikan penyuluhan yaitu, antara 58.54% sampai dengan 76.61%. Setelah satu minggu dilakukan penyuluhan hasil yang diperoleh adalah terjadi peningkatan pengetahuan yang tidak terlalu tinggi yaitu 36.59%. Perilaku masyarakat setelah dilakukan penyuluhan terjadi peningkatan sebesar 21.39%.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA

INRIYANTI ASSA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

Penguji Luar Komisi I. Sidang Tertutup:

1. Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto

(Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB) 2. Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si.

(Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB)

II. Sidang Terbuka:

1. Prof. dr. Ali Gufron Mukti, M.Sc., Ph.D. (Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia) 2. Dr. Zakharias Giay, SKM., M.Kes., MM.


(9)

Kabupaten Jayawijaya Papua Nama Mahasiswa : Inriyanti Assa

Nomor Pokok : B261070011

Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner

Disetujui: Komisi Pembimbing

Ketua

drh. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D.

Anggota

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si.

Anggota

Prof. Dr. drh. Nyoman S. Dharmawan, MS.

Diketahui:

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc., Agr.


(10)

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kasihNya serta kesehatan dan lindungan yang diberikan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Fokus penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah peningkatan kesehatan, perilaku hidup bersih pada masyarakat Papua dalam upaya pencegahan dan menurunkan prevalensi Taenia solium, dengan judul Kajian Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Karakterisasi Risiko Daging Babi Bakar Batu di Kabupaten Jayawijaya.

Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak drh. Fadjar Satrija, MSc, PhD., Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. dan Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. yang sangat berdedikasi untuk memberikan bimbingan, arahan, sejak perencanaan dan berlangsungnya penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini. Bagi penulis sungguh merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan menjadi mahasiswa bimbingan sehingga dapat menyerap ilmu. Jasa serta pengorbanan dari dosen pembimbing kepada penulis sungguh tidak ternilai dan tak mungkin dapat terlupakan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto dan Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si. sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup, serta yang terhormat Prof. dr. Ali Gufron Mukti, M.Sc., Ph.D. dan Dr. Zakharias Giay, SKM, M.Kes., MM. sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka Ujian Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pertanyaan, saran, kritik serta koreksinya sangat berharga dalam menyempurnakan disertasi ini sehingga bobotnya bertambah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. B. Kambuaya, MBA. selaku Rektor Universitas Cenderwasih (periode 2004 sampai 2009) dan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Drs. A.L Rantetampang, M.Kes. yang memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengikuti studi program doktor. Terima kasih yang tulus disampaikan kepada Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana beserta staf, atas kesempatan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan studi S3 di Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih atas biaya yang diberikan selama studi, kepada Program Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional Tahun 2007-2010.

Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Prof. Dr. Pierre Dorny PhD, DVM, Dipl. EVPC (Veterinary Helminthology Department of Biomedical Sciences Institute of Tropical Medicine Antwerpen) atas bantuannya memfasilitasi penelitian untuk pemeriksaan Taenia spp. Ucapan terima kasih kepada Dr. drh. Sri Murtini, M.Si. yang banyak memberikan ide saat penyusunan


(11)

linked immunosorbent (ELISA) di laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Selanjutnya ucapan terima kasih disampaikan kepada drh. Made Putra sebagai Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Jayawijaya Papua, yang telah memberikan bantuan dalam pengambilan serum babi, banyak memberikan kemudahan di lapangan serta mengajarkan penulis untuk bisa mengambil darah babi dan pembuatan serum. Ucapan terima kasih kepada Bapak Agustinus Aronggear selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya, yang telah memberikan ijin dan kerjasama kepada penulis. Penulis ucapkan terima kasih kepada Dwi Ardei Dompas SKM, Rahmat SKM, Agustina Kurisi SKM, Demianus Huby SKM, Jannes STh, Daniel Rumbo-rumbo SKM, Christine, Lukas Logo, Annace Anneke Repi SPd, atas segala bantuan yang telah diberikan saat penulis berada di Wamena.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada drh. Risa Tiuria MS. Ph.D., Dr. drh. Elok B Retnani MS., yang banyak memberikan bantuan kepada penulis. Kepada staf pegawai Laboratorium Helminthologi, Pak Sulaeman, Ibu Irawati, Pak Kosasih dan Staf administrasi Pak Agus Haryanto, Pak Hendra, Ibu Gipra Setiwi yang banyak membantu, penulis ucapkan terima kasih. Secara khusus kepada rekan seperjuangan Dr. drh. Andriani M.Si atas kebersamaan dan dukungannya dalam menempuh pendidikan Pascasarjana.

Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh keluarga besar Assa-Lampah (ayah, ibu, kakak dan adik) atas doa dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Kepada suami tercinta, Bill Jones Cuncun Pangayow, SE., MSi. Ak., penulis ucapkan terima kasih banyak atas kasih sayang, kesabaran, yang tentunya banyak berkorban dan telah memberikan bantuan yang tidak ternilai.

Dalam penulisan disertasi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Kekurangan dalam penelitian maupun penulisan disertasi adalah kesalahan penulis semata. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun untuk perbaikan disertasi. Harapan penulis, disertasi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak, bidang veteriner, kesehatan masyarakat, antropologi kesehatan, pengambil kebijakan dan pengembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2012


(12)

Penulis adalah anak ke-7 dari sembilan bersaudara, ayah bernama Adolf Assa dan ibu Theresia Lampah. Dilahirkan di Manado pada tanggal 9 April 1977. Menyelesaikan pendidikan SD tahun 1989 di SD Negeri 1 Palu, SMP tahun 1992 di SMP Advent dan SMA Negeri 4 Palu. Tahun 2000 menyelesaikan Sarjana Pertanian dengan Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Sam Ratulangi. Pada tahun 2001 terdaftar sebagai mahasiswa Magister Program Studi Entomologi dengan peminatan Toksikologi Lingkungan dari universitas yang sama. Pendidikan strata-2 ini diselesaikan pada tahun 2003. Tahun 2005, penulis ditetapkan sebagai staf pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih, Papua. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor diperoleh pada tahun 2007 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian diantaranya, program penelitian yang didanai Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu; Penelitian Dosen Muda (2006) dengan judul Pengaruh Lingkungan terhadap Penyakit Malaria pada Anak-anak di Kabupaten Jayapura; Hibah Bersaing (2007) yang berjudul Penyebaran dan Prevalensi Penyakit Filariasis di Braso Kabupaten Jayapura, Papua; Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional (2009) dengan judul Pemetaan Penyakit Parasit Sisitserkosis dalam Upaya Menurunkan Prevalensi Taenia solium

di Kabupaten Jayawijaya-Papua; Program Non Goverment Organization dengan UNICEF (2006) yang berjudul Penyakit Malaria pada Ibu Hamil dan Kesehatan Anak di 5 (Lima) Kampung Kabupaten Jayapura; Mass Blood Survey (MBS) Penyakit Malaria dengan Rapid Diagnostik Test di Kabupaten Keerom (Global Fund, 2007); Cakupan Pengobatan ACT (artemisimin combination therapy) Mass Blood Survey Penyakit Malaria di Distrik Sota Kabupaten Merauke (SCHS Uni Eropa 2007). Penulis juga mengikuti beberapa kegiatan pelatihan diantaranya, Pelatihan Vektor Kontrol Penyakit Malaria di BVRP Salatiga (2006); Kapasitas Pengembangan Sistem Kesehatan Provinsi Papua di Yamagata University (2007).


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Sistiserkosis ... 5

Sejarah ... 6

Siklus Hidup ... 6

Morfologi ... 8

Metode Diagnosis ... 8

Gejala Klinis ... 9

Pengendalian dan Pencegahan ... 10

Sistem Informasi Geografis ... 12

Kabupaten Jayawijaya ... 13

Gambaran Umum ... 13

Taeniosis dan sistiserkosis pada manusia ... 17

Kebudayaan ... 18

Tempat Tinggal dan Pola Perkampungan ... 20

KAJIAN EPIDEMIOLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA Abstract ... 24

Abstrak ... 24

Pendahuluan ... 25

Bahan dan Metode ... 26

Hasil dan Pembahasan ... 29

Kesimpulan ... 39

KARAKTERISASI RISIKO SISTISERKOSIS PADA DAGING BABI BAKAR BATU Abstract ... 40

Abstrak ... 40

Pendahuluan ... 41

Bahan dan Metode ... 42

Hasil dan Pembahasan ... 44


(14)

Abstract ... 58

Abstrak ... 58

Pendahuluan ... 59

Bahan dan Metode ... 60

Hasil dan Pembahasan ... 61

Kesimpulan ... 73

PEMBAHASAN UMUM ... 74

KESIMPULAN UMUM ... 81

SARAN ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(15)

Halaman 1 Karakteristik peternak babi yang tersebar di delapan distrik

Kabupaten Jayawijaya ... 30 2 Seroepidemiologi serum babi di Kabupaten Jayawijaya ... 32 3 Nilai crude-odds ratio (OR) faktor jenis kelamin babi, cara

pemeliharaan, struktur kandang, pengolahan pakan, air bersih dan

ketersediaan jamban bagi pemilik babi ... 33 4 Karakteristik responden berdasarkan umur, pendidikan dan

pekerjaan di empat kampung Kabupaten Jayawijaya ... 62 5 Pengetahuan awal responden tentang sistiserkosis/taeniosis dalam

persen ... 63 6 Tingkat pengetahuan responden sebelum dilakukan intervensi

(Pn0) dan setelah dilakukan intervensi (Pn1) ... 64 7 Tingkat pengetahuan responden setelah dilakukan intervensi (Pn1)

dan satu minggu setelah dilakukan intervensi (Pn2) ... 65 8 Persentase peningkatan pengetahuan responden secara keseluruhan 67 9 Perilaku awal responden terhadap sistiserkosis/taeniosis dalam

persen ... 68 10 Tingkat perilaku responden sebelum dilakukan intervensi (Pn0) dan

setelah satu minggu dilakukan intervensi (Pn1) ... 69 11 Perilaku akhir responden terhadap sistiserkosis/taeniosis dalam


(16)

Halaman

1 Siklus hidup Taenia spp ... 7

2 Denah pola perkampungan pada salah satu kelompok di Kurulu ... 23

3 Cara beternak babi yang baik menurut responden ... 31

4 Peranan pemerintah dalam melakukan penyuluhan mengenai cara beternak babi ... 32

5 Tindakan responden pada ternak babi yang mati ... 32

6 Sebaran sistiserkosis di delapan distrik Kabupaten Jayawijaya ... 34

7 Tingkat kerawanan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya ... 35

8 Waktu yang digunakan untuk melaksanakan bakar batu ... 44

9 Kebiasaan mencuci daging dan makanan sebelum bakar batu... . 44

10 Air yang digunakan untuk mencuci daging babi, hipere dan sayuran 45 11 Tempat meletakkan makanan hasil bakar batu... ... 45

12 Cara mengonsumsi makanan dalam prosesi bakar batu ... 46

13 Responden yang mencuci tangan saat konsumsi makanan hasil bakar batu... 46

14 Kegiatan bakar batu ... 47

15 Bagian dasar susunan batu dan kayu ... 47

16 Bagian tengah susunan batu dan kayu ... 48

17 Bagian atas susunan batu dan kayu ... 48

18 Liang pembakaran ... 49

19 Penyiapan daging babi ... 49

20 Penyiapan bahan ... 50

21 Penyiapan bumbu... 50

22 Proses barapen ... 50

23 Makan bersama ... 52

24 Tempat meletakkan makanan... ... 53


(17)

Halaman

1 Titik koordinat ... 100

2 Kuesioner penelitian ... 104

3 Surat publikasi ... 115

4 Naskah publikasi ... 116

5 Surat ijin penelitian ... 133


(18)

Abstract

The aims of this study were to determine the prevalence and risk factors of porcine cysticercosis. The survey was carried out in eight district and Jibama trade, between October 2009 and Juni 2011. A total of 111 pigs were tested serologically. Serum samples were tested for the presence of circulating parasite antigen using monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Fourty five samples (40.54%) were found positive by MoAb-ELISA and the highest prevalence occurred from the District of Asolokobal (92.86%), followed by Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.33%), Asologaima (31.82%), Hom-hom (18.18%), Hubikosi (14.29%), Jibama trade (14.29%), and the lowest prevalence from Wamena Kota is 5.88%. Free-range pig husbandry system (OR=4.63; P<0.01) and uncook pork feed (OR=3.65; P<0.05) were important risk factors for porcine cysticercosis. Asolokobal District are highly vulnerable to cycticercosis. It is therefore necessary to anthropology approach about pig husbandry system and pattern of cook pork feed.

Keywords: risk factor, porcine cysticercosis, prevalence Abstrak

Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko sistiserkosis pada babi. Survei dilakukan pada delapan distrik dan pasar Jibama antara bulan Oktober 2009 dan Juni 2011. Jumlah babi yang diuji serologis adalah 111 ekor. Sampel serum diuji untuk melihat adanya antigen sirkulasi parasit

dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked

immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Reaksi seropositif terjadi pada 45 sampel

(40.54%), distrik dengan prevalensi tertinggi yaitu Asolokobal (92.86%), diikuti Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.33%), Asologaima (31.82%), Hom-hom (18.18%), Hubikosi (14.29%), pasar Jibama (14.29%), dan prevalensi terendah ditemukan di distrik Wamena Kota sebesar 5.88%. Cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan (OR=4.63; P<0.01) dan pakan babi yang tidak dimasak (OR=3.65; P<0.05) merupakan faktor risiko yang penting terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi. Distrik Asolokobal merupakan daerah yang sangat rawan sistiserkosis. Perlu pendekatan antrolopogi mengenai sistem pemeliharaan babi dengan cara dikandangkan dan pola pemberian pakan babi yang dimasak.


(19)

Abstract

Burning stones (barapen) is one of culture in Jayawijaya. The research was conducted to study the relationship between barapen method and infecting humans with cysticercosis/taeniosis. Field observations indicate barapen is divided into three parts, namely, stone and wood burning, roasting pork and eat together. The temperature of hot stones was between 300 °C and 170 °C. The roasting pork take more than an hour with a temperature of 60 to 90 °C. The temperature of the stone and pork removed from the barapen process average of 65.66 °C and 83.33 °C. The pork was cooked only spread on the grass. Opportunity to get cysticercosis/taeniosis in Wamena is currently puting the food that is cooked on the grass. The needed for counseling regarding methods of handling food hygiene.

Keywords: barapen, pork meat, cysticercosis/taeniosis

Abstrak

Bakar batu (barapen) merupakan salah satu kebudayaan di Kabupaten Jayawijaya. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara barapen dan terinfeksinya manusia dengan sistiserkosis. Hasil observasi lapangan menunjukkan barapen terbagi atas tiga bagian yaitu, pembakaran batu dan kayu, pemanggangan daging babi dan makan bersama. Suhu batu yang tertinggi adalah 300 °C dan terendah 170 °C. Pemanggangan daging babi berlangsung hingga satu setengah jam dengan suhu selama pemanggangan 60-90 °C. Suhu batu yang dikeluarkan dari tempat pemanggangan rata-rata 65.66 °C dan daging babi memiliki suhu 83.33 °C. Daging babi yang telah matang hanya dihamparkan di atas rumput. Peluang terkenanya sistiserkosis/taeniosis pada masyarakat Wamena yaitu saat meletakkan makanan yang sudah matang di atas rumput. Perlunya penyuluhan mengenai metode penanganan makanan yang telah matang untuk diletakkan di wadah yang bersih.


(20)

SISTISERKOSIS

Abstract

The purpose of this study was to assess the level of knowledge and behavior the community of Wamena. This research used questionnaire and health education in Hubikosi village, Yiwika, Milima and Isaima. The rate of knowledge during pre health education was 7.62%. After health education and a week later, the results obtained that knowledge about the causes and prevention of cysticercosis/taeniosis in terms of personal hygiene increase (P <0.001). Behavior of the respondents during pre health education were not washing hands after defecation (6.70%) and duration pork cooking take more than an hour (95.83%). After one week, behavior of respondents were washing hands before meals (69.35%, hand washing after defecation (28.57%), defecation at latrine (13.99 %), boiling water (50.30%), wash the pork before cooked (20.16%), duration of burning stones more an hour (100%) and eat pork contained cysts (91.67%). One week after education, the knowledge (36.59%) and behavior (21.39%) increased.

Health education continuously will reduce the prevalence of

cysticercosis/taeniosis in Jayawijaya.

Keywords: knowledge, behavior, education, cysticercosis/taeniosis

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat wamena. Metode yang digunakan yaitu kuesioner serta dilakukannya penyuluhan di Kampung Hubikosi, Yiwika, Milima dan Kampung Isaima. Pengetahuan awal yang diperoleh dari keempat kampung yaitu 7.62%. Tingkat pengetahuan responden setelah dilakukan penyuluhan dan satu minggu sesudahnya, hasil yang diperoleh yaitu pengetahuan mengenai penyebab taeniosis dan cara pencegahan dari segi kebersihan diri (P<0.001). Perilaku awal responden yang terendah adalah tidak mencuci tangan sesudah buang air besar (6.70%) dan yang tertinggi terdapat pada metode memasak daging babi selama satu jam ataupun lebih (95.83%). Perilaku akhir responden terhadap taeniosis/sistiserkosis yaitu cuci tangan sebelum makan (69.35%; P<0.001), mencuci tangan sesudah buang air besar (28.57%), tempat buang air besar (13.99%), memasak air minum (50.30%; P<0.001), mencuci daging babi sebelum dimasak (20.16%), memasak daging babi selama satu jam atau lebih (100%), memakan daging babi yang ada kista/benjolan (91.67%; P<0.001). Setelah dilakukan penyuluhan terjadi peningkatan pengetahuan (36.59%) dan perilaku (21.39%). Pendidikan kesehatan yang dilakukan secara terus menerus dapat menurunkan prevalensi sistiserkosis/taeniosis di Kabupaten Jayawijaya.


(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sistiserkosis solium adalah penyakit zoonosa pada babi yang disebabkan karena babi mengonsumsi pakan yang tercemar telur atau proglotid cacing pita

Taenia solium yang berparasit pada manusia. Selain sebagai inang definitif, manusia juga dapat menderita sistiserkosis bila secara tidak sengaja menelan telur

T. solium. Sistiserkosis pada manusia sangat berbahaya bila menginfeksi otak dan sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) atau menginfeksi mata (okularsistiserkosis). Sistiserkosis merupakan penyakit yang dihubungkan dengan kemiskinan, defekasi sembarangan, serta ternak babi yang hidup berkeliaran tanpa dikandangkan. Prevalensi sistiserkosis di Asia memiliki variasi tinggi tergantung pada ada tidaknya faktor risiko dalam setiap wilayah di negara tersebut. Di Jepang dan Singapura yang memiliki perekonomian kuat, makmur, infrastruktur baik, penyakit ini hampir tidak ada. Di negara yang penduduknya mayoritas muslim, seperti Timur Tengah dan Asia Barat, yang melarang mengonsumsi babi, tidak terdapat sistiserkosis solium (Rajshekhar et al. 2003; Deckers dan Dorny 2010).

Sistiserkosis telah diketahui keberadaannya di Asia lebih dari 40 tahun yang lalu. Penyakit ini kurang mendapat perhatian dan tidak menjadi prioritas utama sebagai penyebab penyakit yang menyerang syaraf dan menyebabkan kerugian ekonomi di negara-negara Asia. Tidak seperti negara-negara Amerika Latin yang telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap sistiserkosis, penyakit ini baru menjadi sorotan di Asia pada tiga dekade terakhir. Akibatnya, aspek epidemiologi sistiserkosis kurang diteliti di negara-negara Asia (Rajshekhar et al.

2003; Ito et al. 2003a; Anantaphruti et al. 2007a).

Di Asia terdapat tiga spesies Taenia yang menginfeksi manusia, yaitu

Taenia solium, T. saginata dan T. asiatica (Ito et al. 2003b; Dharmawan 2004; Okamoto et al. 2007). Babi merupakan inang antara untuk T. solium dan T. asiatica. sementara sapi menjadi inang antara T. saginata. Sistiserkosis pada manusia hanya disebabkan oleh T. solium. Walaupun inang antara T. asiatica


(22)

dengan T. saginata (Puchades dan Fuentes 2000; Anantaphruti et al. 2007b; Ito et al. 2005; Ito et al. 2006; Ito et al. 2007; Okamoto et al. 2007).

Sistiserkosis/taeniosis yang disebabkan oleh T. solium merupakan masalah kesehatan masyarakat di daerah endemik, sehingga diperlukannya ketekunan untuk mempromosikan upaya pengendalian penyakit zoonosa ini melalui pendekatan kebudayaan, sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan. Sistiserkosis dapat menjadi masalah yang serius bila setiap orang melakukan defekasi di sembarang tempat yang menyebabkan penyebaran telur parasit serta kontak antara babi dengan feses manusia. Faktor lainnya yang berhubungan dengan transmisi penyakit adalah tidak adanya pemeriksaan daging babi di rumah potong hewan, konsumsi daging babi yang tidak dimasak sempurna, konsumsi sayuran dan air yang terkontaminasi dengan feses manusia, serta rendahnya tingkat higienis personal sebagai contoh tidak mencuci tangan sebelum makan dan sesudah defekasi (Sarti dan Rajshekhar 2003).

Sarti dan Rajshekhar (2003) mengemukakan, ada lima cara strategis untuk mengendalikan ataupun menurunkan kejadian sistiserkosis/taeniosis, yaitu; (1) pendidikan kesehatan, (2) perbaikan manajemen peternakan babi, (3) pemeriksaan

post mortem di rumah potong hewan, (4) perbaikan sanitasi lingkungan, (5)

penelitian epidemiologi. Menurut Sanchez dan Fairfield (2003), pendidikan kesehatan memiliki peran penting dalam program pencegahan dan pengendalian penyakit. Sebagai langkah awal dalam tindakan pencegahan sistiserkosis, pendidikan kesehatan menjadi satu-satunya faktor utama yang dapat mempromosikan terjadinya perubahan. Pendekatan ini adalah pilihan terbaik jika tidak terdapat rumah potong hewan di suatu wilayah.

Laporan pertama kasus infeksi T. solium di Indonesia terdapat pada warga keturunan etnis Tionghoa yang tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur pada tahun 1940 (Bonne 1940 dalam Suroso et al. 2006). Margono et al. (2006) menyatakan di Indonesia sistiserkosis/taeniosis terdapat di beberapa daerah yaitu Bali, Sumatera Utara, Papua, Nusa Tengara Timur, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Barat. Provinsi yang merupakan daerah endemik yaitu Bali (T. solium dan T. saginata), Sumatera Utara (T. asiatica) dan Papua (T. solium).


(23)

Kasus sistiserkosis pertama di Papua dilaporkan di Paniai daerah Pegunungan Tengah. Pada tahun 1972, beberapa kali ditemukan telur taenia dan proglotid dari T. solium di rumah sakit Enarotali (Paniai) saat dilakukan pemeriksaan rutin (Margono et al. 2006). Sejak saat itu infeksi cacing pita (Taenia

solium) menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius di

Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua.

Survei seroepidemiologi yang dilakukan Salim et al. (2009) memperlihatkan bahwa prevalensi sistiserkosis/taeniosis pada manusia di Kabupaten Jayawijaya cukup tinggi yaitu 20.8% untuk sistiserkosis dan 7% taeniosis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi sistiserkosis dan taeniosis tidak mengalami perubahan sejak dilaporkan 35 tahun yang lalu, saat terjadinya epidemik penyakit sistiserkosis/taeniosis di Papua.

Kabupaten Jayawijaya dengan ibukota Wamena, identik dengan bakar batu. Bakar batu menjadi ciri khas masyarakat Papua memasak daging babi dengan batu. Bakar batu adalah salah satu acara adat terpenting sebagai wujud kegembiraan menyambut kelahiran, kematian atau mengumpulkan prajurit untuk berperang. Bakar batu juga menjadi sarana pemulihan keharmonisan hidup manusia yang terganggu dendam, peperangan dan kematian. Babi yang dimasak secara bakar batu biasanya tidak masak sempurna atau setengah matang (Handali

et al. 1997; Suroso et al. 2006; Wandra et al. 2007b).

Di Kabupaten Jayawijaya penelitian sistiserkosis pada babi yang dilakukan tahun 1998-1999 menunjukkan prevalensi sebesar 70.4% (Margono et al. 2003). Maitindom et al. (2008) melakukan studi pada babi yang dijual di Pasar Jibama, Wamena Kabupaten Jayawijaya tingkat prevalensi mencapai 77.1%. Selama ini, penelitian tentang sistiserkosis/taeniosis di wilayah ini sebagian besar dilakukan pada manusia (Handali et al. 1997; Simanjuntak 2000; Salwati 2001; Margono et al. 2006;Salim et al. 2009). Kajian terhadap sistiserkosis pada babi sebagai inang antara yang menjadi sumber infeksi bagi manusia masih terbatas, sehingga perlu dilakukan kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi, serta karakterisasi risiko pola masak tradisional (bakar batu) yang selama ini dikaitkan dengan penularan sistiserkosis/taeniosis. Dalam penelitian ini dilakukan penyuluhan kesehatan


(24)

untuk meningkatkan perilaku hidup bersih sebagai upaya pengendalian sistiserkosis/taeniosis di Kabupaten Jayawijaya.

Tujuan

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengkaji penularan sistiserkosis pada babi yang dipelihara masyarakat Kabupaten Jayawijaya.

2. Mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan tingkat kejadian sistiserkosis pada babi.

3. Memetakan daerah yang rawan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya 4. Mengkarakterisasi risiko penularan sistiserkus pada daging babi yang

diolah dengan metode tradisional (bakar batu).

5. Mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang sumber infeksi cacing pita.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan dalam pengendalian sistiserkosis/taeniosis dan dapat menemukan metode untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat di Kabupaten Jayawijaya.


(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Sistiserkosis

Sistiserkosis solium adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi larva cacing pita (sistiserkus) Taenia solium dalam tubuh manusia dan babi. Induk semang definitif cacing pita tersebut adalah manusia, sedangkan induk semang antaranya adalah babi dan manusia. Stadium dewasa dari T. solium yang menginfeksi manusia juga menyebabkan penyakit yang dinamakan taeniosis (De Aluja et al. 1999; Garcia-garcia et al. 1999; Eddi et al. 2003; García et al. 2003c; Conlan et al. 2008; Carabin et al. 2009; Asaava et al. 2009).

Taenia spp. berukuran panjang, bersegmen, dan bersifat parasitik (famili Taeniidae, subklas Cestoda). Infeksi dengan larva dari Taenia solium, T. saginata,

T. crassiceps, T. ovis, T. taeniaeformis atau T. hydatigena disebut sistiserkosis. Larva dari organisme ini disebut sistiserkus. Pada satu waktu, pernah dipertimbangkan larva cacing pita dan dewasa adalah spesies yang berbeda. Untuk alasan inilah, fase larva seringkali disebut dengan nama berbeda. Fase larva untuk

T. solium disebut dengan Cysticercus cellulosae, fase larva untuk T. saginata

disebut Cysticercus bovis, dan fase larva untuk T. crassiceps disebut Cysticercus longicollis, Taenia hydatigena disebut Cysticercus tenuicollis. T. solium

seringkali ditemukan pada manusia sedangkan keempat spesies lainnya sangat jarang. T. solium adalah spesies taenia yang pada manusia dapat menjadi inang antara maupun inang definitif (Huisa et al. 2005; Boa et al. 2006; Joshi et al. 2007; Myadagsuren et al. 2007; Reyes dan Terrazas 2007; Conlan et al. 2011).

Perkembangan T. solium hampir sama dengan pada inang antaranya (babi atau manusia), kecuali sistiserkus yang dapat tersebar keseluruh hati, otak, dan sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) (Diop et al. 2003; Chung et al. 2005; Li et al. 2007; Sikasunge et al. 2008b; Juarez et al. 2008). Penyakit ini meningkat dengan cepat dan dikenal sebagai masalah kesehatan masyarakat, khususnya pada negara berkembang. Sistiserkosis/taeniosis jarang terjadi di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa Barat, tetapi prevalensinya di Amerika Latin, China dan Afrika nampak relatif tinggi. Neurosistiserkosis dilaporkan terdapat di beberapa wilayah dan menjadi penyebab utama epilepsi (Rai et al. 2000; Zoli et al. 2003; Townes et al. 2004; Guevara-Flores et al. 2008; Krecek et al. 2008; Bett et al. 2009).


(26)

Sejarah

Kasus infeksi cacing pita pertama kali dilaporkan di zaman Mesir kuno dalam Papyrus Ebers yang diperkirakan ditulis sekitar 1550 SM. Penyakit ini mungkin disebabkan oleh parasit Taenia saginata karena menurut Herodotus orang Mesir kuno tidak memakan babi. Cacing pita oleh ilmuwan Yunani seperti Hippocrates (460-375 SM), Aristotle (384-322 SM), dan Threophrastus (372-286 SM) sebagai Helmins plateia yang berarti flatworm atau Tainia/Taenia. (Grove 1990; Bruschi et al. 2006).

Orang Roma seperti Celsus (20 M), Pliny the Elder (23-79 M) dan Galen (129-200 M) mengenal cacing pita dan menamai Lumbricus latus. Lumbricus

adalah kelompok istilah yang berarti cacing dan latus berarti lebar/pita. Cacing ini juga terdapat di berbagai belahan dunia, termasuk di India dan China yang disebut dalam literatur kuno Asia.

Hippocrates, Aristotle dan Galen menganggap cacing pita ini sebagai hewan, tetapi Aetius (550 M) dan Paulus Aegineta (640 AD) mempertimbangkan cacing pita ini sebagai bidang penjelmaan dari lapisan usus. Pada akhir milenium pertama setelah masehi, beberapa penulis Arab seperti Serapion (800 M) mempertimbangkan proglotid cacing pita sebagai cacing yang berbeda. Cacing ini dinamai cucurbitini, karena selain mirip dengan biji labu (spesies Cucurbita), juga biji labu adalah salah satu obat pertama untuk infeksi cacing pita. Banyak penulis Arab tidak mempertimbangkan cacing pita sebagai cacing, tetapi percaya bahwa itu adalah membran yang dibentuk oleh usus untuk memegang cucurbitini, sedangkan yang lainnya, termasuk Ibnu Sina (981-1037 M) mempertimbangkan bahwa cucurbitini (cacing biji labu) dan taenia (cacing raksasa) adalah makhluk yang berbeda. Nama taenia “solium” pertama kali dipublikasi oleh Arnaldo Villanovani (Grove 1990).

Siklus hidup

Terdapat tiga stadium perkembangan cestoda yaitu telur, larva (metacestoda) dan cestoda dewasa (Gambar 1). Telur dan proglotid yang keluar bersama tinja inang definitif dapat bertahan beberapa hari sampai beberapa bulan di lingkungan, apabila termakan inang antara yang sesuai, menetas mengeluarkan


(27)

onchosphere dalam usus inang antara. Oncosphere menembus dinding usus menuju bagian tubuh inang antara, melalui sirkulasi darah atau limfe menuju bagian jaringan organ inang antara menjadi metacestoda (sistiserkus). Sistiserkus dapat bertahan hidup untuk beberapa tahun pada inang antara. Metacestoda ditelan oleh inang definitif yang sesuai maka calon skoleks (protoskoleks) keluar dari kista lalu menempel pada mukosa usus dengan menggunakan batil hisapnya. Pada usus manusia, sistiserkus berkembang selama dua bulan sampai menjadi cestoda dewasa, yang dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun. Cacing pita dewasa menempel pada usus halus dengan menggunakan skoleks. Manusia dapat terinfeksi dengan memakan daging mentah atau setengah matang yang mengandung sistiserkus.

Gambar 1 Siklus hidup Taenia sp


(28)

Morfologi

Panjang cacing dewasa biasanya 2-7 meter. Cacing dewasa menghasilkan proglotid yang mature, menjadi gravid, terlepas dari strobila, dan keluar melalui tinja. Parasit ini berukuran panjang 24 kaki dan berjumlah 507 proglotid. Rata-rata diameter telur Taenia solium adalah 38 μm. Telur cacing Taenia solium berisi embrio yang khas, dengan tiga pasang kait (Noble et al. 1989; Riemann dan Cliver 2006).

Fase dewasa cacing pita Taenia solium pada usus halus manusia dan disusun oleh rantai (strobila) dari segmen (proglotid) yang berisi sistem reproduksi jantan maupun betina. Segmen cacing dewasa yang berisi dengan telur, terlepas dan melewati anus, baik bebas maupun bercampur tinja. Jangka hidup cacing dewasa mencapai 30-40 tahun. Jumlah telur yang keluar dari inang per hari sangat tinggi (500 000 – 1 juta) dan dapat mengkontaminasi lingkungan. Telur taenia dapat bertahan lama di lingkungan pada temperatur yang rendah yaitu 4-5 °C. Masa infektif telur selama empat sampai enam bulan, 33 hari di sungai dan lebih dari 150 hari di permukaan tanah (Riemann dan Cliver 2006).

Metode Diagnosis

Taeniosis dapat didiagnosa dengan adanya proglotid atau telur taenia di feses. Telur dapat juga ditemukan pada adhesive tape preparations yang diambil dari dekat anus. Pada umumnya, spesies cacing pita ditentukan oleh dasar morfologi dari proglotid atau skoleks yang ditemukan. Enzyme-linked immunosorbent assays (ELISAs) dan PCR dapat membedakan telur T. solium dan

T. saginata, morfologi dapat digunakan untuk membedakan proglotidnya (Hubert

et al. 1999; Wilkins et al. 1999; Gonzalez et al. 2000; Verastegui et al. 2003; Dekumyoy et al. 2004; Kara dan Doganay 2005; Yamasaki et al. 2005; Nunes et al. 2006; Mayta et al. 2008; Zheng et al. 2008; Deckers et al. 2009; Gasser et al.

2009; Praet et al. 2010b; Allepuz et al. 2011).

Studi penggambaran termasuk scan computed tomography (CT) digunakan untuk mengidentifikasi sistisersi di dalam otak. Inaktif (calcified) kista pada berbagai bagian dari tubuh termasuk otot dan otak dapat dilihat dengan sinar x. Biopsi dapat digunakan untuk subkutan, dan larva dapat dilihat dengan mata pada


(29)

saat pemeriksaan okular (Molinari et al. 2002; Garcia dan Del Brutto 2003; Lucas

et al. 2003; Rodriguez-Hidalgo et al. 2006; Prestes-Carneiro et al. 2006; Machado

et al. 2007; Atluri et al. 2009).

Uji serologi digunakan untuk mendiagnosa sistiserkosis pada manusia termasuk enzyme-linked immunoelectrotransfer blot (EITB), ELISAs, complement fixation dan hemagglutination. Antibodi dapat ditemukan dalam serum (Goodman

et al. 1999; Hubert et al. 1999; Allan et al. 2003; Villota et al. 2003; Li et al. 2006; Gomes et al. 2007; Deckers et al. 2008b; Morales et al. 2008; Sahu et al. 2009).

Diagnosis klinis neurosistiserkosis didasarkan pada riwayat pasien, penemuan radiografik, dan konfirmasi patologi. Gambar Magnetik Resonance

(MR) juga sangat berguna untuk diagnosis. Lebih jauh, diagnosis terakhir neurosistiserkosis tergantung sepenuhnya pada penemuan histologi (Hellard et al. 1998; Engels et al. 2003; Ishikawa et al. 2007; Prasad et al. 2008; Prasad et al. 2009; Berata et al. 2010).

Di Indonesia, Dharmawan (1995) mendiagnosis serum babi dengan menggunakan metode Sandwich ELISA untuk mendeteksi adanya antigen yang bersirkulasi dalam darah. Selain itu, Salwati (2001) mendeteksi sistiserkosis

dengan menggunakan EITB pada manusia. Arimbawa et al. (2004)

mengemukakan bahwa untuk penderita neurosistiserkosis dapat didiagnosis dengan menggunakan CT scan pada otak.

Gejala Klinis

Taeniosis biasanya asimptomatik, kecuali saat keluarnya proglotid melalui tinja. Gejala abdominal ringan terjadi pada beberapa kasus; hal ini termasuk sakit di bagian abdominal, diare atau sembelit, mual, penurunan atau peningkatan selera makan, dan kehilangan berat badan. Bayi dapat mengalami muntah, diare, demam, penurunan berat badan (Vilhenia et al. 1999). Gejala non spesifik lain seperti insomnia, rasa tidak enak badan dan kegelisahan juga terjadi (Meza et al. 2005).

Gejala sistiserkosis bervariasi tergantung dari lokasi dan jumlah larva. Neurosistiserkosis adalah sistiserkosis yang paling serius. Pada beberapa kasus, gejala tidak terlihat. Pada kasus lainnya, gejala tersebut terjadi secara tiba-tiba,


(30)

sebagai akibat dari kejadian seperti terhalangnya cerebrospinal fluid (CSF) oleh sistiserkosis. Serangan dan sakit kepala kronis adalah gejala yang paling sering terjadi. Tanda lainnya dapat berupa mual, muntah, vertigo, kehilangan keseimbangan dan pusing. Beberapa kasus dari neurosistiserkosis adalah fatal (Alarcon et al. 1992; Bern et al.1999; Bueno et al. 2001; Arimbawa et al. 2004; Mitre et al. 2007; Tran et al. 2007).

Pengendalian dan Pencegahan

Berbagai pedoman surveilans, pencegahan dan pengendalian taeniosis dan sistiserkosis telah dipublikasi oleh badan internasional. Inspeksi tempat pemotongan hewan memiliki beberapa kelemahan. Di beberapa negara, dengan diam-diam memasarkan daging babi tanpa pemeriksaan. Lebih lanjut, keakuratan dari prosedur pemeriksaan daging kurang dari 50% untuk inspeksi rendah sampai menengah. Konsekuensinya, penelitian yang sedang berlangsung dilakukan untuk mengembangkan teknologi pendeteksian secara lebih cepat dan sensitif. Uji immunodiagnostik menjadi perhatian khusus, dan beberapa uji sedang dalam pengembangan (Lekule dan Kyvsgaard 2003; Mukaratirwa et al. 2003; Rimm 2003; Schantz dan Tsang 2003; Somers et al. 2006; Geldhof et al. 2007; Scandrett

et al. 2009; Tsigarida et al. 2009; Assana et al. 2010b; Praet et al. 2010a).

Pengendalian yang efektif akan selalu menjadi capaian yang terbaik dengan meminimalkan faktor risiko. Pemerintah sebaiknya mengambil langkah yaitu semua daging sapi dan babi yang dipasarkan harus melakukan prosedur pemeriksaan daging. Manajemen peternakan harus menjaga agar hewan ternak tidak dapat memakan feses manusia. Sewaktu-waktu jika memungkinkan, pekerja peternakan selayaknya diperiksa. Penggunaan tempat kotoran dan air pembuangan untuk maksud peternakan harus menerima perhatian khusus. Sebagai contoh, hewan ternak tidak terkena kontak langsung dengan aliran air yang membawa air pembuangan dan sisa pembuangan kotoran. Legislator juga diperlukan untuk mengatur penggunaan pertanian dari pembuangan kotoran, khususnya pada tempat penggembalaan dan padang rumput (Martin et al. 1987; Gonzalez et al.

2001; Cabaret et al. 2002; Joshi et al. 2003; Nash 2003; Jackson dan Miller 2006; Kebede 2008; Sikasunge et al. 2009; Assana et al. 2010a).


(31)

Pada berbagai negara dimana inspeksi tidak berjalan dengan baik, sangat direkomendasikan bagi konsumen untuk memasak daging babi paling rendah dengan suhu 60 °C. Pengendalian sistiserkosis daging babi di negara berkembang diutamakan. Penghambat pada perubahan adalah kemiskinan, tradisi dan berbagai kepentingan. Word Health Organization dan Pan American Health Organization

telah mengembangkan dua strategi alternatif untuk pengendalian infeksi T. solium

pada manusia yaitu intervensi yang komprehensif jangka panjang dan intervensi jangka pendek berdasarkan pada pengobatan massal infeksi cacing dewasa (pada usus) dan terjadinya penyebaran telur. Strategi pertama termasuk peraturan yang cukup baik, sistem modernisasi produksi daging babi, peningkatan efisiensi dan pemenuhan inspeksi daging, ketentuan fasilitas sanitasi yang cukup, dan pemakaian pengukuran untuk mengidentifikasi dan mengobati penderita cacing pita. Untuk strategi yang kedua yaitu program mengidentifikasi telur dan pengobatan kepada semua penderita telah dikembangkan. Prospek pemberantasan

T. solium dianggap baik bila dapat memutuskan siklus hidup dengan

meningkatkan sanitasi, mengandangkan babi, dan inspeksi daging yang ketat dan teliti (Eichenberger et al. 2011).

Strategi lain untuk mengendalikan sistiserkosis pada daging babi yaitu vaksinasi untuk babi (Lightowlers 2010; Fonseca-Coronado et al. 2011). Antigen homolog dari sistisersi mampu untuk mengindusi tingkat tinggi dari kekebalan protektif (71%) untuk melawan infeksi yang datang. Usaha lain yang dicapai pada identifikasi antigen protektif yaitu vaksin yang digunakan dapat dihasilkan dan tidak bergantung pada kompleksitas masalah (Noble et al. 1989; Molinari et al. 1997; Taylor et al. 2001; Toledo et al. 2001; Lightowlers 2003; Sato et al. 2007; Sciutto et al. 2007; Verastegui et al. 2007; Morales et al. 2008; Rupa et al. 2008; Sikasunge et al. 2008a; Morales et al. 2011).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas sistiserkosis/taeniosis di Indonesia. Salah satunya adalah dengan membuat petunjuk pemberantasan sistiserkosis/taeniosis di Indonesia (Kandun 2000). Beberapa pencegahan yang harus dilakukan adalah:

1. Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita Taeniosis


(32)

2. Pemakaian jamban keluarga, sehingga tinja manusia tidak termakan oleh babi dan tidak mencemari tanah atau rumput

3. Memelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau

dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran

4. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di rumah potong hewan, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas peternakan)

5. Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging. Hal ini penting di daerah yang banyak memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Papua

6. Menghilangkan kebiasaan makan makanan yang mengandung daging

setengah matang atau mentah

7. Memasak daging sampai matang (diatas 57 °C dalam waktu cukup lama) atau membekukan dibawah 10 °C selama 5 hari. Pendekatan ini ada yang dapat diterima, tetapi dapat pula tidak dikerjakan, karena perubahan yang bertentangan dengan adat istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.

Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografi (SIG) merupakan sebuah sistem informasi yang berbasis spasial. Pada bidang kesehatan masyarakat, analisis spasial dengan SIG dapat digunakan untuk: 1) Pengendalian penyakit (pemetaan vektor, kasus penyakit; identifikasi jarak, kluster kasus/sumber penyakit), 2) Perencanaan program kesehatan, 3) Monitoring dan evaluasi program kesehatan.

SIG mengintegrasikan berbagai macam data seperti data satelit, foto udara, peta digital, dan data lainnya sehingga akan membentuk informasi baru berupa peta tematik. Langkah awal yang harus disiapkan dalam membuat peta tematik adalah menyiapkan data spasial yang bisa menunjukkan lokasi suatu daerah. Untuk mendapatkan data spasial, kita dapat menggunakan global positioning system (GPS), yaitu suatu sistem navigasi berbasis satelit yang memberitahukan


(33)

posisi pasti dari suatu lokasi di bumi (Staubach et al. 2001; Jaya 2002; Allepuz et al. 2009; Martinez-Hernandez et al. 2009; Michelet et al. 2010).

Setelah mendapatkan data spasial dari GPS, maka data tersebut dapat diolah menggunakan program SIG seperti Epimap, Quantum GIS, ArcView, dsb. Hingga akhirnya bisa menghasilkan suatu peta lengkap dengan titik – titik lokasi yang sedang diteliti.

Kabupaten Jayawijaya

Gambaran umum lokasi penelitian

Kabupaten Jayawijaya yang beribukota di Wamena, terletak antara 138° 30’- 139° 40’ bujur timur dan 3° 45’- 4° 20’ lintang selatan. Memiliki luas wilayah 8496 Km². Sebelah utara kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Yalimo, dan Kabupaten Tolikara, di sebelah selatan kabupaten ini adalah Kabupaten Nduga dan Kabupaten Yahukimo, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Yalimo, sebelah barat adalah Kabupaten Nduga dan Kabupaten Lanny Jaya. Kabupaten ini memiliki 11 distrik /kecamatan. Distrik-distrik tersebut yaitu: Wamena kota, Asolokobal, Walelagama, Hubikosi, Pelebaga, Asologaima, Musatfak, Kurulu, Bolakme, Wollo, dan Yalengga. Dari 11 distrik di Kabupaten Jayawijaya, Distrik Kurulu memiliki wilayah terluas yaitu sekitar 15.54% dan Distrik Wollo sebagai distrik yang terkecil wilayahnya, yaitu hanya 7.42% dari keseluruhan wilayah Kabupaten Jayawijaya. Distrik Bolakme merupakan distrik yang paling jauh jarak tempuhnya dari ibukota kabupaten (Wamena), hampir mencapai 46 Km. Sedangkan distrik yang terdekat dengan Wamena adalah Distrik Asolokobal dan Distrik Pelebaga, sekitar sembilan kilometer dari Wamena (BPS 2010).

Berdasarkan hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah V Jayapura, Balai Wamena Tahun 2009, dilaporkan bahwa suhu udara rata-rata di wilayah Kabupaten Jayawijaya selama tahun 2009 mencapai 19.40 °C dengan kelembaban udara rata-rata diperkirakan sekitar 79%, dapat dipastikan bahwa di daerah Kabupaten Jayawijaya termasuk kategori daerah dingin. Ini juga dapat dilihat dari nilai suhu minimum Kabupaten Jayawijaya mencapai 14.80 °C


(34)

sementara suhu maksimum hanya sekitar 26.0 °C. Selanjutnya curah hujan rata-rata yang terjadi yaitu sekitar 204.9 mm, dimana curah hujan tertinggi tahun 2009 terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 320.9 mm dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni yakni sebesar 144.3 mm. Banyaknya hari hujan rata-rata di Kabupaten Jayawijaya yaitu 23 hari, namun pernah juga hampir mencapai satu bulan, yaitu pada bulan Maret 2009 hingga 29 hari hujan. Hal ini bisa saja terjadi karena kondisi topografi yang bergunung-gunung dan masih banyak perbukitan sehingga sulit membedakan musim secara jelas.

Persentase penduduk miskin di Kabupaten Jayawijaya cenderung mengalami penurunan dari 50.62% pada tahun 2006 menjadi 35.97% pada tahun 2008. Meskipun demikian, persentase penduduk miskin masih tergolong tinggi sehingga pemerintah masih harus tetap berusaha untuk menurunkan angka kemiskinan khususnya di Kabupaten Jayawijaya.

Air merupakan kebutuhan hidup yang sangat penting bagi manusia, terutama untuk kebutuhan minum dan memasak. Berdasarkan kelayakan pemakaian air minum, rumah tangga yang menggunakan air minum yang layak pakai mengalami peningkatan dari 52.48% pada tahun 2007 menjadi 56.54% pada tahun 2008. Fasilitas sanitasi yang layak adalah fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan yaitu tempat buang air besar yang dilengkapi dengan leher angsa dan tangki septik. Sebagian besar masyarakat di Kabupaten Jayawijaya belum menggunakan tangki septik sebagai tempat pembuangan tinja (7.45%). Masyarakat masih belum memahami arti pentingnya kesehatan, hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase rumah tangga yang masih menggunakan kebun sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu sebesar 84.04%, dan masih ada yang menggunakan kolam/sawah (0.19%) dan lubang tanah (8.15%).

Pada tahun 2009 Kabupaten Jayawijaya memiliki 162 sekolah dengan perincian 15 sekolah taman kanak-kanak, 105 sekolah dasar, 25 sekolah menengah pertama (SMP) dan 17 sekolah menengah atas (SMA). Dari 17 SLTA, 12 diantaranya merupakan SMA Umum dan sisanya merupakan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Seluruh SD yang ada di Kabupaten Jayawijaya sudah beroperasi semuanya. Untuk tingkat SD, seluruh distrik memiliki SD dengan jumlah yang bervariasi. Distrik yang memiliki jumlah SD paling sedikit


(35)

yaitu Distrik Wollo dan Yalengga, masing-masing sebanyak empat dan tiga SD, sedangkan yang memiliki sekolah dasar terbanyak adalah Distrik Wamena, yaitu sebanyak 19 SD. Untuk pendidikan Sekolah Dasar, rasio murid terhadap guru yakni 22.85, artinya, rata-rata satu orang guru mengajar 23 siswa. Sedangkan ratio murid terhadap guru di tingkat SMP sebesar 32.57, tingkat SMA sebesar 36.47, dan tingkat SMK sebesar 88.82. Hal ini menunjukkan bahwa di tingkat SMK masih kekurangan tenaga pengajar karena rata-rata satu orang guru di SMK mengajar sebanyak 89 siswa.

Di Kabupaten Jayawijaya terdapat satu rumah sakit umum daerah (RSUD), 12 puskesmas dan 24 buah puskesmas pembantu. RSUD hanya terdapat di Distrik Wamena sedangkan Puskesmas terdapat di semua distrik. Berdasarkan data yang bersumber dari Dinas Kesehatan dan Sosial Kabupaten Jayawijaya, terdapat 13 dokter umum, lima dokter gigi, 49 bidan, dua apoteker dan 120 perawat. Jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk adalah infeksi saluran pernafaan atas yaitu sebanyak 10 932 kasus, diikuti oleh penyakit malaria klinis 3007 kasus, disentri basiler 2224 kasus dan disentri amuba 1427 kasus. Jumlah posyandu di Kabupaten Jayawijaya cenderung mengalami peningkatan dari 97 unit (2007) menjadi 111 unit pada tahun 2009. Kelahiran balita sebagian besar masih dibantu oleh keluarga dan dukun, baik kelahiran pertama maupun terakhir. Angka kematian bayi per 1000 kelahiran selama periode 2004-2007 cenderung mengalami penurunan dari 45 menjadi 34. Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Jayawijaya terdapat 175 kasus untuk laki-laki dan 116 kasus untuk perempuan.

Umbi-umbian merupakan salah satu makanan pokok penduduk Jayawijaya sehingga tidak mengherankan jika tanaman pangan ini cukup banyak ditanam di Kabupaten Jayawijaya. Berbagai macam tanaman sayuran banyak ditanam di daerah Jayawijaya karena iklimnya cocok untuk pertumbuhan tanaman sayur-sayuran. Produksi tanaman pangan terbesar tahun 2009 adalah ubi jalar yaitu sebesar 134 414 ton, disusul produksi sayuran 3476 ton dan padi sawah sebesar 2490 ton dengan produktivitas 20.80 ton/ha. Dari beberapa jenis sayuran yang ditanam, tomat merupakan tanaman yang paling besar produksinya, yaitu 750.38 ton dengan produkstivitas 72.49 ton/ha. Sedangkan buah-buahan dengan produksi


(36)

terbesar adalah pisang sebanyak 254.71 ton dengan produktivitas 126.08 ton/ha. Kopi, tembakau, buah merah merupakan tanaman perkebunan yang diusahakan di Kabupaten Jayawijaya. Luas areal tanaman kopi mengalami peningkatan dari 900 Ha pada 2008 menjadi 1775 Ha pada tahun 2009. Hampir semua distrik di Kabupaten Jayawijaya terdapat perkebunan kopi dan salah satu distrik yang paling banyak mengusahakannya adalah Distrik Asologaima.

Populasi ternak babi masih menduduki jumlah yang paling banyak diusahakan oleh penduduk Jayawijaya. Jenis ternak besar yang diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Jayawijaya antara lain sapi (4237 ekor), kerbau (110 ekor), dan kuda (26 ekor), sedangkan ternak kecil, antara lain kambing (1137 ekor), babi (45 862 ekor), dan kelinci (3697 ekor). Ternak unggas yang banyak diusahakan adalah ayam buras (27 745 ekor) dan itik (507 ekor). Produksi daging babi merupakan produksi yang terbesar yaitu sebanyak 454 857 Kg sedangkan produksi terkecil adalah kerbau yaitu sebanyak 1406 Kg. Produksi ayam buras sebanyak 17 687 Kg dan itik 249 Kg (BPS 2010).


(37)

Taeniosis dan sistiserkosis pada manusia di Papua

Papua dahulu dikenal dengan nama Irian jaya. Kasus pertama dilaporkan terjadi tahun 1972 di Kecamatan Paniai, Kabupaten Nabire (sebelum pemekaran kabupaten tahun 1999). Pasien yang berobat di rumah sakit Enarotali (dahulu adalah ibukota kecamatan, saat ini ibukota kabupaten), diambil 170 sampel feses dan terdeteksi telur Taenia spp. sebesar 9%, pengambilan kedua (bukan pasien) dari 74 sampel diperoleh 8% positif untuk telur taenia. Kedua kelompok pengambilan sampel tadi adalah masyarakat Ekari (Kapauku). Kelompok ketiga, suku Moni yang tinggal di lembah Dogindora, tidak ditemukan cacing taenia (Margono et al. 2006).

Selama enam bulan (1972-1973), di rumah sakit Enarotali terdapat 13 kasus, termasuk delapan pria dan lima wanita dari umur 16-40 tahun didiagnosa sistiserkosis. Observasi medis menunjukkan tiga orang pasien memiliki nodul dengan jumlah nodul berkisar antara satu sampai 20, yang mendapat serangan epilepsi sebanyak dua orang pasien.

Survei yang dilakukan pada tahun 1983 di Kampung Dukopu, Desa Hubikosi Kecamatan Wamena, ditemukan 11 orang (10.8%) dari 102 orang penduduk yang menunjukkan gejala sindroma cacing pita dan 10 orang dari jumlah tersebut mengalami kejang-kejang dan dua diantaranya mempunyai nodul, sedangkan seorang hanya mempunyai nodul tanpa gejala kejang (Gunawan et al.

1976).

Tahun 1991, laporan Puskesmas Assologaima, dari 13 334 penduduk di enam kampung ditemukan empat kasus epilepsi dan 217 kasus luka bakar (1.6%), tahun 1995 meningkat menjadi 145 kasus epilepsi (0.83%), 452 kasus luka bakar (2.58%) dari 17 493 penduduk dan 50% kasus epilepsi menderita taeniosis dan sistiserkosis. Tahun 1993, terjadi peristiwa kematian tokoh gereja katolik akibat tenggelam di sungai saat serangan epilepsi sehingga dilakukan survei sistiserkosis/taeniosis dan cacing usus lainnya di delapan Paroki (Gereja Katolik) di seluruh Lembah Baliem. Survei terhadap 537 orang dewasa ditemukan 48% pernah mengalami epilepsi dan 26.5% merupakan penderita sistiserkosis (Simanjuntak 2000; Subahar et al. 2005; Wandra et al. 2007b).


(38)

Serangan epilepsi pada penderita sistiserkosis di Jayawijaya biasa terjadi pada waktu malam hari. Kondisi ini sering mengakibatkan terjadinya luka bakar karena penderita terguling ke dalam perapian yang terletak di tengah honai (rumah adat). Survei dari tahun 1973-1976 tercatat 257 kasus luka bakar dalam honai di Desa Obano dan pada tahun 1991-1995 ditemukan 1120 kasus luka bakar di Distrik Assologaima yang berpenduduk 15939 jiwa (Wandra et al. 2007b).

Kebudayaan

Masyarakat Kabupaten Jayawijaya terdiri dari beberapa suku yang mempunyai kebiasaan dan adat yang berbeda. Suku yang besar adalah suku Dani, Lani dan Yali. Nama Dani dipakai pemerintah untuk menyebut seluruh penduduk Lembah Besar Balim, yang juga nama sebuah klen (suku). Walaupun demikian, di lembah-lembah yang berada di bagian barat, Dani juga merupakan nama dari bahasa mereka. Orang Moni, tetangga sebelah barat orang Dani kadang-kadang menyebut mereka orang Ndani, atau Lani. Namun orang Dani sendiri sebagai satu kesatuan manusia, menyebut dirinya sendiri dengan nama perkampungannya atau kadang-kadang dengan nama dari gabungan perkampungan tempat tinggal mereka. Beberapa orang yang berpandangan luas menyebut dirinya nit akhuni Balimmege, yang artinya kami manusia Balim (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario 1994).

Sebagian besar orang Dani berambut keriting, berkulit cokelat tua, dengan tinggi badan rata-rata 1.60 meter, tetapi ada pula yang tingginya mencapai 1.70 meter. Mata pencarian hidup orang Dani yang utama adalah bercocok tanam. Cara bercocok tanam orang Dani adalah dengan berpindah-pindah. Tanah digarap selama beberapa musim, dan apabila tanah itu telah kehabisan zat-zatnya, tanah itu ditinggalkan kemudian dibuka sebidang tanah yang baru. Di samping bercocok tanam berpindah-pindah, orang Dani juga memelihara babi. Binatang ini dapat dimiliki secara pribadi oleh pria maupun wanita, tetapi yang biasanya memelihara babi adalah wanita dan anak-anak. Pada waktu pagi babi diberi makan ubi, tetapi sepanjang hari sampai sore binatang-binatang itu dibiarkan berkeliaran di desa atau di kebun untuk mencari makanannya sendiri. Babi jantan seringkali dikebiri agar tumbuh menjadi besar, dan hanya sedikit saja yang dipelihara untuk pejantan.


(39)

Orang Dani umumnya mengonsumsi daging babi pada waktu mereka mengadakan pesta, berkenaan dengan upacara-upacara sepanjang daur hidup individu (kelahiran, inisiasi, perkawinan dan sebagainya), pembakaran jenazah, dan pada pesta-pesta babi. Selain sebagai bahan pangan, babi juga dimiliki untuk menambah gengsi. Orang-orang yang mempunyai kedudukan penting atau orang yang berpengaruh tentu memiliki banyak babi. Babi juga merupakan barang berharga untuk keperluan-keperluan yang bersifat ekonomi dan sosial, dan dapat dipakai untuk membeli tanah, kapak besi, tetapi juga untuk meredakan suatu permusuhan, membalas jasa, maupun sebagai unsur mas kawin (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario 1994).

Suatu hal yang sangat menarik adalah orang Dani merupakan contoh hidup dari sekelompok manusia yang masih hidup dengan sistem peralatan gaya neolitik. Alat-alat batu yang dipakai orang Dani adalah kapak batu berbentuk bujur sangkar yang diasah sampai licin. Alat rumah tangga orang Dani adalah berbagai bentuk pisau batu serta alat-alat lain yang terbuat dari tulang yang berfungsi sebagai sendok, jarum dan sebagainya. Dalam kebudayaan tradisionalnya orang Dani tidak mengenal periuk belanga, sebagai wadah mereka membuat piring dari kayu, benda cair biasanya ditempatkan dalam kulit buah labu yang sudah dikeringkan lalu mereka gunakan sebagai mangkuk. Untuk menyimpan barang-barang berharga, tembakau dan pinang, mereka membuat tas-tas anyaman. Orang Dani membuat kantung jaring atau tas-tas yang dirajut dari tali serat kulit kayu (su-ebe/noken) untuk mengangkut barang-barang, yang mereka bawa di punggung, yang kadang-kadang menggelantung hingga ke pantat, dengan melingkarkan talinya di dahi, sehingga berat bebannya ditanggung oleh kepala. Kantung-kantung seperti itu dapat dipakai untuk mengangkut berbagai hasil kebun, anak babi, bahkan bayi sekali pun. Menganyam kantung seperti itu adalah pekerjaan wanita (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994).

Senjata terpenting orang Dani adalah busur sepanjang 1.40-1.60 meter yang disebut sikhe. Anak panah ada berbagai bentuk, yang masing-masing mempunyai sebutan dan fungsinya sendiri-sendiri: ada yang khusus untuk berperang, ada yang dipakai untuk memanah burung, dan ada yang digunakan untuk memanah babi. Senjata orang Dani yang lain adalah tombak panjang (sege). Pakaian pria Dani


(40)

sehari-hari hanya sebuah penutup alat kelamin (holim) yang berasal dari kulit labu. Buah labu dibiarkan tumbuh menjadi panjang dengan menggantungkan batu di ujungnya. Anak laki-laki baru memakainya setelah berumur lima tahun. Wanita biasanya memakai sali yang terbuat dari beberapa lapis jerami yang diikatkan di pinggang untuk menutupi bagian depan dan belakang tubuhnya. Pakaian lain yang khusus dipakai oleh wanita yang telah menikah adalah penutup alat kelamin yang juga dibuat dari jerami, lebih tipis yang terbuat dari tali serat kulit kayu (yokal), yang hanya dipakai di bagian depan saja.

Pada waktu pesta, baik pria maupun wanita memakai perhiasan kalung kerang, kalung manik-manik, atau kalung tulang burung. Lengan dan kaki memakai gelang-gelang anyaman rotan. Pakaian resmi untuk pria memerlukan lebih banyak perhiasan daripada wanita, karena mereka juga memakai jambul warna-warni dari bulu-bulu burung, sedang hidungnya diberi tusuk hidung dari tulang atau taring babi. Pada waktu pesta kaum pria juga mencemongkan dahinya dengan arang, sementara akhir-akhir ini mereka juga gemar memakai bahan kimia yang terdapat dalam batu batere untuk membuat dahi mereka hitam mengkilat (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994).

Tempat tinggal dan pola perkampungan

Tempat pemukiman orang Dani terpencar-pencar dalam bentuk perkampungan-perkampungan permanen yang dinamakan osili/usilimo, letaknya mempunyai dua pola yaitu di tempat yang tinggi di atas bukit atau lembah. Antara satu kampung dengan kampung lainnya pada umumnya berjarak beberapa kilometer, bahkan ada yang terpisah beberapa puluh kilometer dari kampung-kampung lainnya. Setiap osili terdiri atas beberapa O-ugul (hamlet), yang biasanya dipagari sekelilingnya dengan menggunakan belahan-belahan kayu yang sangat rapat seperti dinding, sehingga tidak dapat dimasuki kecuali melalui gerbang yang tersedia. Masing-masing o-ugul terdiri atas satu atau beberapa

honae/pilamo (rumah laki-laki) dan sejumlah ebe-ae (rumah perempuan atau rumah keluarga). Setiap o-ugul biasanya mempunyai satu bangunan dapur yang dipergunakan oleh semua anggota keluarga. Bangunan-bangunan honae maupun


(41)

Honae selalu berada dekat pintu gerbang o-ugul dan agak menyendiri dari bangunan-bangunan lainnya dan bangunan itu tidak boleh dimasuki oleh wanita dan anak-anak karena hanya diperuntukkan bagi laki-laki yang sudah dewasa (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994).

Suatu keluarga tidak selalu tinggal bersama dalam satu rumah sebagai suatu kesatuan sosial yang tampak dengan jelas. Dalam satu desa Dani warga pria tinggal bersama dalam suatu rumah yang khusus, sedang para warga wanita tinggal dalam rumah khusus yang lain. Rumah bagi pria disebut

belai/honae/pilamo, dan berbentuk bundar rendah. Kerangkanya terbuat dari

batang-batang kayu yang kasar, yang dilapisi dengan dua deret papan kayu yang juga sangat kasar buatannya. Atapnya berbentuk payung dibuat dari ikatan-ikatan rumput yang disusun berlapis-lapis setebal kira-kira 15 cm. Pintu masuk sangat kecil dan rendah, sehingga orang harus membungkuk untuk masuk ke dalam

honae. Loteng yang terbuat dari papan tersusun rapi di atas kerangka balok.

Loteng yang ditopang oleh empat tiang yang dipancangkan di tengah, ruangan bawah itu merupakan ruang tidur. Dalam ruangan terdapat tempat perapian yang dibuat di antara keempat tiang penopang loteng. Lantai ruangan itu dilapisi rumput kering (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994).

Rumah untuk wanita adalah ebe-ae, yang juga terbuat dari bahan-bahan yang sama seperti honae, namun ukurannya lebih kecil. Ebe-ae adalah tempat para wanita dan anak-anak makan dan tidur. Walaupun demikian mereka sering kali juga makan di dapur. Suami mereka karena itu juga sering datang ke ebe-ae

untuk makan bersama keluarga inti mereka, untuk mengobrol atau untuk menggauli isteri mereka. Namun mereka jarang tidur bersama semalam suntuk. Sanggama antara suami dan isteri seringkali juga dilakukan di tempat yang sepi di kebun atau di hutan. Suatu ebe-ae biasanya dihuni oleh sebanyak empat sampai delapan orang.

Selain rumah pria, rumah wanita dan dapur, dalam suatu perkampungan Dani masih ada satu bangunan yang sangat penting, yakni kandang babi. Bentuk kandang babi ini sama dengan dapur dan terbuat dari bahan-bahan yang sama pula, namun ruangannya dibagi-bagi menjadi kotak-kotak, yang masing-masing diisi oleh seekor babi dewasa.


(42)

Pengelompokan yang terkecil dalam masyarakat Dani adalah o-ugul, yang terdiri dari satu atau beberapa keluarga luas mengelompok menjadi satu

compund/hamlet. Meskipun garis keturunan dihitung berdasarkan garis laki-laki tetapi dalam o-ugul tidak harus laki-laki bersaudara kandung bersama isteri-isteri dan anak-anak mereka yang sengaja tinggal melainkan bisa juga anak-anak perempuan yang sudah kawin bersama suami mereka ikut bergabung di dalamnya. Sehingga dalam suatu o-ugul bisa terdapat warga dari beberapa klen (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994).

Setiap klen yang ada dalam suku Dani dipimpin oleh seorang kepala klen yang disebut gain yang populer dewasa ini sering disebut dengan istilah kepala suku. Gain sangat dihormati dan disegani dalam masyarakat karena orang yang menduduki jabatan itu biasanya adalah mereka yang mempunyai prestasi dan reputasi dalam hal keberanian, ketangkasan, kebijaksanaan dan kekayaan. Gain

yang sangat menonjol prestasi dan reputasinya menjadi pemimpin dari konfederasi-konfederasi klen (dlabukako), yang pada masa lalu ketika sering terjadi perang antar kelompok berfungsi sebagai persekutuan perang yang menghimpun tenaga untuk melakukan pertempuran melawan pihak musuh. Pada masa lalu bilamana satu suku berselisih dengan suku lain yang berlainan konfederasi maka biasanya akan menimbulkan perang antar konfederasi yang akan menelan korban jiwa. Sebelum jatuh korban yang berimbang pada kedua belah pihak, maka tidak ada usaha untuk menghentikan perang. Hal ini sering menyebabkan banyak korban jiwa kalau terjadi perang. Satu konfederasi ada yang mencakup hanya lima atau enam klen tetapi ada juga yang mencakup sepuluh suku, dibawah koordinasi seorang gain yang terkemuka yang disebut gain tok atau disebut juga kepala suku besar. Sebagai contoh, ukumyarik yang menjadi gain tok

dari dlabukako Aso-lopagal; silo yang menjadi gain tok dari dlabukako Gosi-loka

(dlabukako Aso-lopagal mencakup tujuh suku, sedangkan dlabukako Gosi-loka

mencakup sepuluh suku). Biasanya antara tiga sampai lima tahun sekali diadakan suatu pesta besar dalam setiap dlabukako yang disebut ebe-ako, yang dimaksudkan untuk memelihara hubungan antara suku-suku yang menjadi anggotanya. Pesta tersebut yang sering juga disebut dengan istilah pesta babi


(43)

merupakan pesta untuk perkawinan dari puluhan pasangan pengantin dari warga suku-suku yang tergabung dalam dlabukako yang bersangkutan (Koentjaraningrat 1992; Depdikbud 1993; Susanto-Sunario1994).

ϓ ϓ ϓ ϓ

ϓ ϓ

ϓ ϓ

Gambar 2 Denah pola perkampungan pada salah satu kelompok di Kurulu.

Keterangan gambar

1 Rumah laki-laki dewasa (honae/pilamo), selalu lurus menghadap pintu pagar

2 Rumah wanita dan anak-anak yang belum menerima inisiasi (ebe-ae) 3 Dapur bersama dan tempat anak laki-laki yang belum dewasa (lese) 4 Kandang babi (debula)

ϓ Tanaman pekarangan (pisang, labu, tembakau, dll) Pagar luar (sili)

1

2 2 2 4


(44)

PENDAHULUAN

Penyakit sistiserkosis/taeniosis termasuk penyakit tropis yang sering terabaikan (neglected disease) (Pouedet et al. 2002; Anantaphruti et al. 2007a; Ito

et al. 2007b; Okamoto et al. 2007; Hotez dan Brown 2009). Sistiserkosis adalah penyakit/infeksi yang terjadi pada jaringan lunak disebabkan oleh larva dari spesies cacing Taenia yaitu Taenia solium (Prischich et al. 2008; Praet et al. 2010c; Ragunathan et al. 2010). Taeniosis adalah suatu infeksi pada saluran pencernaan oleh cacing Taenia dewasa (Gandahusada et al. 1998; Cabaret et al.

2002; Ito et al. 2006; Anantaphruti et al. 2007b; Praet et al. 2009). Cacing pita pada manusia bersifat parasitik dan menjadi masalah yang serius bagi kesehatan masyarakat di Indonesia yaitu T. solium, T. saginata dan T. asiatica (Margono et al. 2006; Suroso et al. 2006). Tiga provinsi di Indonesia yang merupakan endemis sistiserkosis/taeniosis adalah Bali T. solium dan T. saginata, Sumatera Utara T. asiatica, dan Papua T. solium.

Survei yang dilakukan di Bali pada empat desa di empat kecamatan (Kecamatan Gianyar, Badung, Denpasar, Karang Asem) pada tahun 2002-2004, tingkat prevalensi taeniosis T. saginata berkisar antara 1.1-27.5%. Tingkat prevalensi taeniosis T. saginata meningkat secara cepat di Gianyar, tahun 2002 sebesar 25.6% dan tahun 2005 menjadi 23.8%, dibandingkan dengan survei sebelumnya pada tahun 1977 (2.1%) dan tahun 1999 (1.3%) (Wandra et al. 2006; Ito et al. 2007a). Tingkat prevalensi di Pulau Samosir Sumatera Utara, selama tahun 1972-1990 dilaporkan berkisar antara 1.9-20.7%. Survei epidemiologi yang dilakukan kembali tahun 2003-2006 pada 240 penduduk lokal menunjukkan bahwa 2.5% terinfeksi dengan T. asiatica, yakni 3.4% tahun 2003 dan 2.2% tahun 2005 (Wandra et al. 2007a). Di Papua, dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua dari 356 orang yang diperiksa, empat orang didiagnosis taeniosis dan 124 orang menderita sistiserkosis (Dinkes 2004). Pada tahun 2005 dilaporkan bahwa dari 38 orang yang diperiksa, 12 orang didiagnosis terinfeksi taeniosis (Dinkes 2005). Survei seroepidemiologi yang dilakukan Salim et al. (2009) melaporkan bahwa prevalensi sistiserkosis/taeniosis di Kabupaten Jayawijaya, Papua cukup tinggi yaitu 20.8% untuk sistiserkosis dan 7% taeniosis. Penelitian sebaran prevalensi sistiserkosis yang dilakukan pada ternak babi di Jayawijaya berkisar


(45)

8.5% sampai 70.4% (1998-1999) dan pada anjing dari 10.9% sampai 33.3% (1999-2000) (Margono et al. 2006; Suroso et al. 2006).

Selama ini, penelitian tentang sistiserkosis/taeniosis di Papua sebagian besar dilakukan pada manusia (Margono 1989; Simanjuntak 2000; Subahar et al. 2005; Wandra et al. 2007b; Salim et al. 2009). Kajian terhadap sistiserkosis pada babi sebagai inang antara yang menjadi sumber infeksi bagi manusia masih terbatas. Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui prevalensi sistiserkosis pada babi, mengidentifikasi faktor risiko dan memetakan sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya.

BAHAN DAN METODE Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei yang terdiri tiga tahap, yaitu (1) pengambilan darah babi dan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner untuk mendapatkan seroprevalensi dan faktor risiko, (2) penentuan titik koordinat, (3) pengujian serum darah di laboratorium menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai Juni 2011 di delapan Distrik dan satu daerah pasar yaitu Pasar Jibama yang terletak di Wamena Kota, Kabupaten Jayawijaya. Pengujian laboratorium dilakukan pada bulan Juli 2011 di Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

Pengambilan serum babi

Sebanyak 111 serum babi diambil di Distrik Kurulu, Musatfak, Asolokobal, Assologaima, Hubikosi, Hom-hom, Bolakme, Wamena Kota, dan Pasar Jibama. Darah babi diambil dari vena jugularis dengan menggunakan syringe 5 ml, kemudian didiamkan selama enam jam. Serum yang terbentuk dipipet lalu dimasukkan ke dalam microtube dan disimpan dalam freezer (-4 °C). Selanjutnya,


(46)

serum tersebut dibawa ke Bogor dan disimpan pada suhu -20 °C sebelum dianalisis dengan ELISA.

Pengambilan data menggunakan kuesioner

Unit penarikan contoh pada survei ini adalah pemilik babi. Sebanyak 56 responden diwawancarai dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner atas karakteristik responden, manajemen peternakan, sanitasi lingkungan. Pertanyaan dalam kuesioner bersifat tertutup dan terbuka.

Penentuan titik koordinat

Titik koordinat ditentukan dengan menggunakan global positioning system

(GPS76CSx garmin) pada 56 responden peternak babi. Peta dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta rupa bumi Indonesia (RBI) tahun 1999.

Perlakuan serum

Serum yang dikumpulkan dari lapangan diberi label lalu dilakukan

pretreatment. Serum yang diuji terdiri atas tiga kelompok, yaitu (1) sebanyak 111 serum yang diambil dari delapan distrik dan Pasar Jibama di Kabupaten Jayawijaya, (2) serum kontrol positif yang diperoleh dari Distrik Bolakme di Kabupaten Jayawijaya yang mengandung sistiserkus dalam daging, (3) serum kontrol negatif, diambil dari babi yang berasal dari Jawa Tengah yang tidak mengandung sistiserkus dalam dagingnya.

Sebanyak 75 µl serum sampel dan 75 µl Trichloroacetic acid (TCA 5% dalam akuabides) dicampurkan dalam tabung mikro. Campuran tersebut di vortex

dan diinkubasi selama 20 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasi, campuran tersebut kembali dihomogenkan lalu di sentrifus selama 9 menit dengan kecepatan 12.000 g pada suhu 4 °C. Sebanyak 75 µl supernatan diambil menggunakan mikro pipet dan dicampur dengan 75 µl neutralization buffer. Campuran tersebut kemudian disimpan dalam suhu 4 °C selama seminggu.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayawijaya. 2008. Jayawijaya dalam angka tahun 2007/2008. Wamena: BPS Kabupaten Jayawijaya

Boone I, Thys E, Marcotty T, De Borchgrave J, Ducheyne E, Dorny P. 2007. Distribution and risk factors of bovine cysticercosis in Belgian dairy and mixed herds. Preventive Vet Med 82 : 1-11

[Dinkes] Dinas Kesehatan. 2004. Laporan tahunan sub dinas pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan Provinsi Papua. Jayapura: Dinkes [Dinkes] Dinas Kesehatan. 2005. Laporan tahunan sub dinas pemberantasan

penyakit dan penyehatan lingkungan Provinsi Papua. Jayapura: Dinkes Dharmawan NS, Damriyasa IM, Kapti IN, Sutisna P, Okamoto M, Ito A. 2009.

Experimental infection of Taenia saginata eggs in Bali Cattle: Distribution and Density of Cysticercus bovis. J Vet 10(4) : 178-183

Dorny P, Phiri IK, Vercruysse J, Gabriel S, Willingham III AL, Brandt J, Victor B, Speybroeck N, Berkvens D. 2004. A Bayesian approach for estimating values for prevalence and diagnostic test characteristics of porcine cysticercosis. Int J Parasitol 34 : 569-576

Dorny P, Vercammen F, Brandt J, Vansteenkiste W, Berkvens D, Geerts S. 2000. Sero-epidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Belgian cattle. Vet Parasitol 88 : 43-49

[EFSA] European Food Safety Authority. 2004. Opinion of the scientific panel on biological hazards on the “Risk assessment of a revised inspection of slaughter animals in areas with low prevalence of Cysticercus”. EFSA J 176 : 1-24

Flisser A, Sarti E, Lightowlers M, Schantz P. 2003. Neurocysticercosis: regional status, epidemiology, impact and control in the Americas. Acta Tropica 87 : 43-51

Flisser A, Rodriguez-Canul R, Willingham III AL. 2006. Control of the taeniosis/cysticercosis complex: future developments. Vet Parasitol 139 : 283-292

Garcia HH, Araoz R, Gilman RH, Valdez J, Gonzalez AE, Gavidia C, Bravo ML, Tsang VCW. 1998. Increased prevalence of cysticercosis and taeniasis among professional fried pork vendors and the general population of a village in the peruvian highlands. Am J Trop Med Hyg 59(6) : 902-905 Garcia HH, Gilman RH, Gonzalez AE, Verastegui M, Rodriquez S, Ga Vidia C,

Tsang VCW, Falcon N, Lescano AG, Moulton LH, Bernal T, Tovar M. 2003. Hyperendemic human and porcine Taenia solium infection in Peru. Am. J Trop Med Hig 68(3) : 268-275


(2)

Garcia HH, Gonzalez AE, Del Brutto OH, Tsang VCW, Llanos-Zavalaga F, Gonzalez G, Romero J, Gilman RH. 2007. Strategies for the elimination of taeniasis/cysticercosis. J Neurolog Sci 262 : 153-157

[ITM] Institute of Tropical Medicine, Departement of Animal Health. 2009. Detection of viable metacestodes of Taenia spp. in human, porcine and bovine serum samples with the use of a monoclonal antibody-based sandwich ELISA. Belgium: Antwerpen (Antwerp)

Kirkwood BR, Sterne JAC. 2003. Essential Medical Statistics. Ed ke-2. Blackwell Publishing Company

Le CT. 2003. Introductory biostatistic. New Jersey: J Wiley pp 446-459

Lescano AG, Garcia HH, Gilman RH, Guezala MC, Tsang VCW, Gavidia CM, Rodriguez S, Moulton LH, Green JA, Gonzalez AE. 2007. Swine cysticercosis hotspots surrounding Taenia solium tapeworm carriers. Am J Trop Med Hyg 76(2) : 376-383

Margono SS, Wandra T, Swasono MF, Murni S, Craig PS, Ito A. 2006. Taeniasis/cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. JParasitol Int 55 : S143-S148

Ngowi HA, Kassuku AA, Maeda GEM, Boa ME Carabin H, Willingham III AL. 2004. Risk factors for the prevalence of porcine cysticercosis in Mbulu District, Tanzania. Vet Parasitol 120 : 275-283

Phiri IK, Ngowi H, Afonso S, Matenga E, Boa M, Mukaratirwa S, Githigia S, Saimo M, Sikasunge C, Maingi N, Lubega GW, Kassuku A, Michael L, Siziya S, Krecek RC, Noormahomed E, Vilhena M, Dorny P, Willingham III AL. 2003. The emergence of Taenia solium cysticercosis in Eastern and Southern Afrika as a serious agricultural problem and public health risk. Acta Tropica 87 : 13-23

Pondja A, Neves L, Mlangwa J, Afonso S, Fafetine J, Willingham AL, Thamsborg S, Johansen MV. 2007. Epidemiological survey of porcine cysticercosis in Angonia district, Mozambique. [Research report].

Praet N, Speybroeck N, Manzanedo R, Berkvens D, Nforninwe DN, Zoli A, Quet F, Preux PM, Carabin H, Greets S. 2009. The disease burden of Taenia solium cysticercosis in Cameroon. Plos Negl Trop Dis 3(3) : e406.

Rajshekhar V, Joshi DD, Doanh NQ, Van De N, Xiaonong Z. 2003. Taenia solium taeniosis/cysticercosis in Asia: epidemiology impact and issues. Acta Tropica 87 : 53-60

Rodriguez-Hidalgo R, Benitez-Ortiz W, Dorny P, Geerts S, Geysen D, Ron-Roman J, Proano-Perez F, Chavez-Larrea MA, Barrionuevo-Samaniego M, Celi-Erazo M, Vizcaino-Ordonez L, Brandt J. 2003. Taeniosis-cysticercosis in man and animals in the Sierra of Northern Ecuador. Vet Parasitol 118 : 51-60


(3)

Sakai H, Barbosa JrHVB, Silva EM, Schlabitz FO, Noronha RP, Nonaka N, Franke CR, Ueno H. 2001. Short report: seroprevalence of Taenia solium cysticercosis in pigs in Bahia State, Northeastern Brazil. Am J Trop Med Hyg 64 : 268-269

Salim L, Ang A, Handali S, Tsang VCW, 2009. Seroepidemiologi survey of cysticercosis-taeniosis in four central highland district of Papua, Indonesia. Am J Trop Med Hyg 80 : 384-388

Sato MO, Sako Y, Nakao M, Yamasaki H, Nakaya K, Ito A. 2006. Evaluation of purified Taenia solium glycoproteins and recombinant antigens in the serologic detection of human and swine cysticercosis. J Infect Diseases 194 : 1783-1790

Sikasunge CS, Phiri IK, Phiri AM, Dorny P, Siziya S, Willingham III AL. 2007. Risk factors associated with porcine cysticercosis in selected districts of Eastern and Southern provinces of Zambia. Vet Parasitol 143 : 59-66

Simanjuntak GM, 2000. Studi taeniosis/cysticercosis di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya. [Research report]. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan Sokal RR, Rohlf FJ, 1981. Biometry, Ed ke-2. New York: Freedman and

Company

Subahar R, Hamid A, Purba W, Widarso, Ito A, Margono SS. 2005. Taeniasis/sistiserkosis di antara anggota keluarga di beberapa desa, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Makara Kesehatan 9(1) : 9-14

Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A. 2006. Challenges for control of taeniasis/cysticercosis in Indonesia. Parasitol Int 55 : S161-S165

Wandra T, Margono SS, Gafar MS, Saragih JM, Sutisna P, Dharmawan NS, Sudewi AAR, Depary AA, Yulfi H, Darlan DM, Samad I, Okamoto M, Sato MO, Yamasaki H, Nakaya K, Craig PS, Ito A. 2007. Review: Taeniasis/cysticercosis in Indonesia, 1996-2006. Southeast Asian J Trop Med Public Health 38 : 140-143

Wandra T, Sutisna P, Dharmawan NS, Margona SS, Sudewi R, Suroso T, Craig PS, Ito A. 2006. High prevalence of Taenia saginata taeniasis and status of Taenia solium cysticercosis in Bali, Indonesia, 2002-2004. Trans R SocTrop Med Hyg 100 : 346-353


(4)

(5)

Lampiran 6 Simulasi bakar batu

Gambar 1 Suhu daging ayam dalam liang pembakaran. A. Awal prosesi bakar batu. B. Pembongkaran bakar batu

Gambar 2 Perbandingan suhu prosesi bakar batu dalam liang pembakaran dan permukaan

0 20 40 60 80 100 120

1 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 153 Suhu daging

bagian dalam ( C)

Waktu Pemanasan (menit)

0 20 40 60 80 100 120

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 Suhu ( C)

Thermocouple ditancapkan di dada ayam Thermocouple ditancapkan di atas daun pisang


(6)

Gambar 3 Suhu daging ayam saat dikeluarkan dari liang pembakaran

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Suhu ( C)