Ekologi pohon pelawan (Tristaniopis merguensis Griff.) sebagai inang jamur pelawan di Kabupaten Bangka Tengah

EKOLOGI POHON PELAWAN (Tristaniopsis merguensis Griff.)
SEBAGAI INANG JAMUR PELAWAN DI KABUPATEN
BANGKA TENGAH

NOVI YARLI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekologi Pohon Pelawan
(Tristaniopsis merguensis Griff.) sebagai Inang Jamur Pelawan Di Kabupaten
Bangka Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Juli 2011
Novi Yarli
NRP G353090121

ABSTRACT
NOVI YARLI. Ecology of “Pelawan Tree” (Tristaniopsis merguensis Griff.) as a
Host of “Pelawan Fungi” in Central Bangka Regency. Under direction
TRIADIATI, IBNUL QAYIM, and DIAN AKBARINI.
Tristaniopsis merguensis Griff (Myrtaceae) is known as pelawan tudak,
pelawan bukit, or pelawan in Indonesia, and have high economic value. There
were edible fungi where growth very closed to pelawan rooting system. The aims
of this study were to determine species compotition of pelawan forest, population
structure of pelawan tree in pelawan forest, vegetation characters that support
pelawan fungi growth, and abiotic factors of pelawan forest that support pelawan
fungi growth. The study was conducted in Trubus, Namang, and Air Pasir forest,
Central Bangka. The samples analysis consists of vegetation, litterfall,
microclimate, local climate, and topsoil. The result showed that species
composition in Air Pasir forest was higher than those Trubus and Namang forest.
Population structure of pelawan tree in Air Pasir forest was increasing structure,
whereas, in Namang forest was decreasing structure. There were only saplings of

pelawan tree in Trubus forest. Pelawan fungi growth has a positive correlation
with density, frequency, dominance, diversity, richness and evenness of seedlings,
saplings, and litterfall dry weight. Based on climate periodic curve, that light
intensity and wind speed influenced local climate which support pelawan fungi
growth. Pelawan fungi growth was also influenced by humidity and
microtemperature. It can be concluded that the conservation of natural habitat of
pelawan tree is important to maintain the continuity of the pelawan fungi growth.
Key words: Tristaniopsis merguensis Griff., pelawan fungi, pelawan tree, climate
periodic curve.

RINGKASAN
NOVI YARLI. Ekologi Pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff. ) sebagai
Inang Jamur Pelawan di Kabupaten Bangka Tengah. Dibimbing oleh
TRIADIATI, IBNUL QAYIM, dan DIAN AKBARINI.
Pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) merupakan salah satu
spesies dari famili Myrtaceae, yang dimanfaatkan mayarakat Pulau Bangka
sebagai bahan bangunan, bahan pembuat kapal, ajir perkebunan lada, dan kayu
api. Pada sistem perakaran T. merguensis terdapat jamur edibel yang dikenal
masyarakat setempat dengan nama jamur pelawan. Jamur pelawan mempunyai
nilai ekonomi tinggi. Informasi tentang lingkungan biotik (karakteristik vegetasi)

sebuah komunitas dan komponen abiotik lain yang mendukung pertumbuhan dan
perkembangan T. merguensis, sekaligus mendukung pertumbuhan jamur pelawan
belum diketahui.
Penelitian ini bertujuan untuk : 1) menentukan komposisi spesies dan
struktur hutan pelawan, 2) menentukan struktur populasi T. merguensis, 3)
menentukan karakter komunitas vegetasi hutan pelawan yang mendukung
pertumbuhan jamur pelawan, 4) menentukan karakter lingkungan abiotik
ekosistem hutan pelawan yang mendukung pertumbuhan jamur pelawan, di
Kabupaten Bangka Tengah.
Penelitian dilakukan di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan
Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air Pasir pada bulan
Juli – Agustus 2010. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
Quadrat. Penempatan plot mengikuti jalur transek sepanjang 100 m secara
purposive. Plot dibangun berbentuk bujur sangkar bersarang dengan ukuran 20 m
x 20 m untuk fase pohon, 10 m x 10 m untuk fase tiang, 5 m x 5 m untuk fase
sapihan, dan 2 m x 2 m untuk fase semai. Pada tiap lokasi dilakukan 3 kali
pengulangan. Serasah lantai hutan diambil sampai batas lapisan atas tanah dengan
luasan 50 cm x 50 cm di sekitar pohon T. merguensis yang ada atau pernah ada
jamur pelawan untuk diukur berat kering, kadar C dan N-nya. Sampel tanah
diambil pada lapisan topsoil pada kedalaman 10 cm untuk dianalisis sifat fisik dan

kimianya. Data iklim yang diukur mencakup iklim mikro dan iklim lokal yang
diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Pangkal Pinang
Spesies tumbuhan bawah terbanyak ditemukan adalah di Hutan Tanaman
Pelawan Desa Trubus, yaitu sejumlah 7 spesies dalam 7 famili. Sedangkan di
Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir
masing-masingnya sejumlah 4 spesies dalam 4 famili. Spesies pohon terbanyak
ditemukan di Hutan Dusun Air Pasir yaitu sejumlah 39 spesies dalam 23 famili.
Pada Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang tercatat 33 spesies pohon
dalam 14 famili. Spesies pohon yang terdapat pada Hutan Tanaman Pelawan Desa
Trubus adalah 9 spesies dalam 8 famili. Berdasarkan analisis cluster, kesamaan
komposisi spesies dari Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dengan
Hutan Dusun Air Pasir adalah lebih besar dibandingkan dengan kemiripan kedua
hutan alam pelawan ini dengan Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus.
T. merguensis termasuk dalam lima spesies pohon yang memiliki Indeks
Nilai Penting (INP) tertinggi di tiap lokasi penelitian. Tinggi T. merguensis

berkisar antara 4 m – 18 m (stratum tajuk C) dengan pola sebaran mengelompok
untuk setiap fase pertumbuhan di hutan alam pelawan. Struktur populasi
T. merguensis di Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang adalah menurun,
sedangkan di Hutan Dusun Air Pasir populasinya mengikuti struktur populasi

muda atau tumbuh.
Loading plot parameter kuantitatif komunitas hutan pelawan dengan
kehadiran jamur pelawan memperlihatkan bahwa karakter vegetasi yang
mendukung pertumbuhan jamur pelawan adalah hutan yang memiliki kerapatan,
frekuensi, dominansi, keanekaragaman, kekayaan dan kemerataan spesies pohon
yang relatif tinggi. Besarnya volume serasah yang ada di hutan alam pelawan turut
mempengaruhi pertumbuhan jamur pelawan.
Iklim mikro antara lokasi yang memiliki sejarah pertumbuhan jamur
pelawan (Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air
Pasir) berbeda nyata (p < 0,05) dengan Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus
yang tidak pernah ada riwayat pertumbuhan jamur pelawan. Suhu (27°C) dan
intensitas cahaya matahari (< 1000 lux) di habitat jamur pelawan lebih rendah
dibandingkan dengan hutan pelawan yang tidak pernah dijumpai jamur pelawan.
Sebaliknya kelembaban udara (85% - 95%) lebih tinggi di habitat jamur pelawan
dibandingkan dengan hutan pelawan yang tidak pernah dijumpai jamur pelawan.
Kombinasi sinar matahari dan kecepatan angin lokal yang berkontribusi
dalam menyediakan energi dan bahan baku fotosintesis, merupakan faktor yang
penting bagi T. merguensis untuk menghasilkan fotosintat, yang nantinya dalam
jumlah yang optimal akan dimanfaatkan oleh jamur pelawan untuk tumbuh.
Guna menjaga kelangsungan siklus hidup jamur pelawan, ekosistem hutan

alam pelawan harus dipertahankan dan dijaga oleh semua pihak, sebab sistem
hutan tanaman belum mampu mendukung pertumbuhan jamur pelawan.
Kata kunci: Tristaniopsis merguensis Griff., jamur pelawan, pohon pelawan,
kurva periodik iklim.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

EKOLOGI POHON PELAWAN (Tristaniopsis merguensis Griff.)
SEBAGAI INANG JAMUR PELAWAN DI KABUPATEN
BANGKA TENGAH

NOVI YARLI


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc.

Judul Tesis
Nama
NIM

: Ekologi Pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.)
sebagai Inang Jamur Pelawan di Kabupaten Bangka Tengah.
: Novi Yarli

: G353090121

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Dra. Triadiati, M. Si.
Ketua

Dian Akbarini, S. Si, M. Si.
Anggota

Dr. Ir. Ibnul Qayim.
Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Miftahudin, M. Si.

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

Tanggal Ujian: 20 Juni 2011

Tanggal Lulus

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala hidayahNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2010 ini ialah ekologi tumbuhan,
dengan judul Ekologi Pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff.) Sebagai
Inang Jamur Pelawan di Kabupaten Bangka Tengah. Penelitian ini didanai oleh
Departemen Agama Republik Indonesia melalui program beasiswa utusan daerah
(BUD Depag)
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Dra. Triadiati, M. Si., Bapak
Dr. Ir. Ibnul Qayim, dan Ibu Dian Akbarini, S. Si, M. Si. selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan kepada penulis.


Selain itu juga

penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu, dan teman-teman di Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung yang telah membantu dan memfasilitasi selama penelitian ini
berlangsung.
Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua
pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2011

Novi Yarli

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Payakumbuh pada tanggal 20 Nopember 1983 dari
ayah Dahnia Achyar dan Ibu Ely Darmis. Penulis merupakan putri bungsu dari
enam bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari MAN 2 Payakumbuh dan pada tahun yang
sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Negeri Padang melalui jalur Ujian

Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih program studi Pendidikan
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada tahun
2006.
Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister pada mayor Biologi
Tumbuhan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Institut Pertanian
Bogor diperoleh pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh
dari Departemen Agama Republik Indonesia melalui program Beasiswa Utusan
Daerah. Tahun 2005 – 2007 penulis bekerja sebagai staff tata usaha MAN 1
Payakumbuh. Tahun 2007 sampai sekarang penulis adalah guru Biologi di MTsN
Payakumbuh.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………………..

i

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….

ii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………...

iii

PENDAHULUAN
Latar Belakang …………………………………………………………….

1

Tujuan Penelitian…………………………………………………………..

2

Manfaat Penelitian…………………………………………………………

2

TINJAUAN PUSTAKA
Tristaniopsis merguensis Griff……………………………………………

3

Mikoriza …….…………………………………………………………….

6

Analisis Vegetasi …………………………………………………………

7

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………………..

10

Alat dan Bahan…………………………………………………………….

10

Data Penelitian…………………………………………………………….

11

HASIL
Komposisi Spesies dan Struktur Hutan Pelawan…………………………..

20

Struktur Populasi T. merguensis di Hutan Pelawan………………………..

30

Karakter Komuninas Vegetasi Hutan Pelawan yang Mendukung
Pertumbuhan Jamur Pelawan………………………………………………. 32
Karakter Lingkungan Abiotik Hutan Pelawan yang Mendukung
Pertumbuhan Jamur Pelawan………………………………………………

36

PEMBAHASAN
Komposisi Spesies dan Struktur Hutan Pelawan………………….……….. 40
Struktur Populasi T. merguensis di Hutan Pelawan………………………..

42

Karakter Komuninas Vegetasi Hutan Pelawan yang Mendukung 43
Pertumbuhan Jamur Pelawan……………………………………………….
Karakter Lingkungan Abiotik Hutan Pelawan yang Mendukung
Pertumbuhan Jamur Pelawan………………………………………………

45

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan…………………………………………………………………… 51
Saran………………………………………………………………………..

52

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………

53

LAMPIRAN…………………………………………………………………… 61

i

DAFTAR TABEL

Halaman
1

Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam N
petak contoh……………………………………………………………

16

2

Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies………………………….

17

3

Spesies tumbuhan bawah dan pohon di Hutan Tanaman Pelawan Desa
Trubus…………………………………………………………………..

4

Spesies tumbuhan bawah dan pohon di Hutan Kawasan Lindung
Kalung Desa Namang…………………………………………………

5

21

Spesies tumbuhan bawah dan pohon fase semai dan pancang di Hutan
Dusun Air Pasir…………………………………………………………

6

Spesies pohon fase tiang di Hutan Dusun Air Pasir……………………

7

Nilai indeks keanekaragaman, kekayaan, dan kemerataan spesies untuk
jenis tumbuhan bawah dan pohon di lokasi penelitian………………….

8

20

22
23
24

Indek kesamaan dan ketidaksamaan spesies Sorensen di lokasi
penelitian………………………………………………………………..

25

9

Karakter ekologi populasi T. merguensis di Kab. Bangka tengah………

31

10

Nilai Indeks Dispersi (Iδ) T. merguensis…………………………………..

31

11

Nilai Varian Ratio (VR) di lokasi penelitian untuk jenis pohon setiap
fase pertumbuhan……………………………………………………….

32

12

Karakter kuantitatif komunitas vegetasi hutan pelawan……………….

33

13

Hasil analisis serasah di lokasi penelitian……………………………..

35

14

Iklim mikro di lokasi penelitian (Juli-Agustus 2010)…………………

36

ii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Morfologi T. merguensis……………………………………………………...

4

2

Jamur pelawan…………………………………………………………..

7

3

Lokasi penelitian ………………………………………………….........

10

4

Skema plot bersarang ………………………………………………….

12

5

Skema alur penelitian …………………………………………………

19

6

Jumlah spesies dan famili di lokasi penelitian………………………….

23

7

Dendrogram keanekaragaman spesies berdasarkan Indeks Kesamaan
Sorensen di lokasi penelitian……………………………………………

26

8

Profil vegetasi Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus…………………

27

9

Profil vegetasi Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang……….

28

10

Profil vegetasi Hutan Dusun Air Pasir………………………………….

29

11

Struktur populasi T. merguensis di lokasi penelitian………………….

30

12

Dendrogram parameter kuantitatif analisis komunitas hutan pelawan…

33

13

Interaksi pertumbuhan jamur pelawan dengan komponen kuantitatif
analisis komunitas………………………………………………………

34

14

Interaksi pertumbuhan jamur pelawan dengan komponen serasah…….

35

15

Kurva periodik iklim lokal…………………………………………….

37

16

Interaksi pertumbuhan jamur pelawan dengan komponen tanah………

39

iii

DAFTRA LAMPIRAN

Halaman
1

Data klimatologi Kab. Bangka Tengah tahun 2008 – 2010……………..

61

2

Hasil analisis tanah di lokasi penelitian………………………………….

62

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tumbuhan merupakan kekayaan alam yang memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia. Hal ini terlihat dari banyaknya spesies tumbuhan yang
dimanfaatkan sebagai bahan pangan, sandang, papan, obat-obatan, dan lain
sebagainya. Salah satu spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat
Indonesia, khususnya di Pulau Bangka adalah pohon pelawan (Tristaniopsis
merguensis). T. merguensis ini dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, rangka
kapal, kayu api, dan tajar pada perkebunan lada oleh penduduk setempat.
T. merguensis merupakan salah satu spesies dari famili Myrtaceae
(Lawrence 1955). T. merguensis tidak tersebar secara merata sebagaimana
layaknya penyebaran anggota Myrtaceae lainnya. T. merguensis memiliki wilayah
sebaran di selatan Myanmar, selatan Thailand, Malaysia, Sumatera, Kepulauan
Riau, kepulauan Bangka Belitung, Jawa Barat, dan Kalimantan (Sosef &
Prawirohatmodjo 1998).
Pada sistem perakaran T. merguensis tumbuh jamur edibel yang dikenal
masyarakat Bangka dengan nama jamur pelawan. Harga jual jamur pelawan ini
berkisar Rp 400.000,- hingga Rp 800.000,- bahkan pernah mencapai Rp
1.000.000,- / kg berat kering pada bulan Desember 2010 – Januari 2011. Jamur
pelawan ini ditemukan tumbuh pada sistem perakaran pohon T. merguensis yang
berada pada fase pohon, tiang, maupun pancang. Selain sebagai inang utama dari
jamur pelawan, nektar bunga T. merguensis juga merupakan makanan utama bagi
lebah penghasil madu pahit yang dipercaya masyarakat Bangka dapat
menyembuhkan banyak penyakit (Zaiwan 27 Juli 2010, komunikasi pribadi).
Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada lahan bekas tambang timah yang
direvegetasi oleh PT Koba Tin di Kab. Bangka Tengah, T. merguensis baru
ditemui pada areal yang sudah direvegetasi selama 16 tahun (Novera 2008). Hal
ini mengindikasikan bahwa T. merguensis membutuhkan lingkungan spesifik
untuk dapat tumbuh. Keberadaan spesies tumbuhan pada suatu daerah sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Kondisi lingkungan abiotik dan biotik dapat
menjadi suatu faktor pembatas bagi tumbuhan untuk menempati suatu daerah
(Polunin 1990).

2

Informasi tentang lingkungan biotik dan abiotik suatu ekosistem yang
mendukung

pertumbuhan

dan

perkembangan

T.

merguensis,

sekaligus

mendukung pertumbuhan jamur pelawan belum diketahui. Dengan adanya jamur
pelawan yang bernilai ekonomi tinggi dan lebah madu pahit yang tidak terlepas
dari T. merguensis, menjadikan ekologi dari spesies ini perlu dikaji lebih lanjut.
Penelitian berbasis satu spesies merupakan prioritas riset konservasi karena
dapat memberikan dasar ilmiah untuk perlindungan, pengelolaan, propagasi, dan
introduksi spesies yang mulai terancam punah (Given 1994). Sebagai manusia
yang memiliki tanggung jawab moral dan etika untuk peduli serta memelihara
kehidupan di bumi, seyogyanya mengetahui ekologi tumbuhan karena merupakan
landasan dalam kegiatan konservasi secara terarah dan terpadu.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menentukan komposisi spesies dan struktur hutan pelawan di Kabupaten
Bangka Tengah.
2. Menentukan struktur populasi T. merguensis di Kabupaten Bangka Tengah.
3. Menentukan karakter komunitas vegetasi hutan pelawan yang mendukung
pertumbuhan jamur pelawan.
4. Menentukan karakter lingkungan abiotik ekosistem hutan pelawan yang
mendukung pertumbuhan jamur pelawan.

Manfaat Penelitian.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar ilmiah dalam kegiatan
konservasi T. merguensis guna menyelamatkan spesies ini dari kepunahan yang
mungkin terjadi pada masa yang akan datang, sekaligus memberi informasi awal
yang mendukung budidaya jamur pelawan guna meningkatkan taraf ekonomi
masyarakat.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Tristaniopsis merguensis Griff.
1) Nomenklatur dan Nama lokal.
T. merguensis pertama kali dideskripsikan oleh Griffit pada tahun 1812
dengan spesimen yang berasal dari Burma (Hooker & Jackson 1960). Griffit
menyebutnya dengan Tristania merguensis. Tahun 1982 dilakukan revisi
terhadap genus Tristania, dan Tristania merguensis berubah menjadi
Tristaniopsis merguensis (Wilson & Waterhouse 1982). Terdapat beberapa
sinonim untuk spesies ini yaitu: Tristania merguensis, Tristania backhuizenni
Back, Tristania maingayi, Tristania subauriculata dengan beberapa nama
lokal yaitu pelawan tudak (Belitung), pelawan bukit (Malaysia), nyakamaung (Myanmar), kha nang (Thailand) (Sosef & Prawirohatmodjo 1998).
2) Deskripsi
T. merguensis merupakan spesies pohon dengan batang berwarna merah
dan bagian kulit luar mengelupas (Gambar 1a). Duduk daun berseling, jarang
berhadapan. Ujung daun tumpul sampai membulat. Pangkal daun meruncing
ke arah tangkai daun. Tangkai daun bersayap. Panjang daun antara 10 cm –
15 cm dan lebar 3 cm – 5 cm (Gambar 1b). Permukaan daun kasar, tidak
berambut. Bunga majemuk, padat, putih (Gambar 1c). Ibu tangkai bunga di
ketiak daun, berambut. Kelopak berbentuk tabung menyatu dengan bagian
lobus yang tajam, berambut. Mahkota 5 berlekatan. Benang sari banyak,
berhadapan dengan mahkota, 5 kelompok. Ovari tenggelam atau setengah
tenggelam, 3 ruang. Buah kapsul dengan 3 lokus. Biji bersayap (Gambar 1d
dan e) (Ridley 1922).

4

(a)

(b)

(d)

(c)

(e)
Gambar 1 Morfologi T. merguensis. (a) batang, (b) daun, (c) bunga, (d) buah, (e)
buah yang pecah saat kering.

5

3) Klasifikasi
Klasifikasi dari T. merguensis menurut The International Plant Names
Index (IPNI) (http://data.gbif.org 2010) adalah sebagai berikut:
Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Myrtales

Famili

: Myrtaceae

Genus

: Tristaniopsis

Spesies

: T. merguensis (Griff.) Peter G. Wilson & J.T. Waterhouse

4) Persebaran
T. merguensis tersebar di selatan Myanmar, selatan Thailand, Malaysia,
Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Barat dan
Kalimantan (Sosef & Prawirohatmodjo 1998). Tristaniopsis dapat tumbuh
pada daerah dataran rendah, pegunungan sampai dengan ketinggian 1300
mdpl., juga terdapat di sepanjang aliran sungai dan daerah berbatu.
5) Pertumbuhan dan Perkembangan
Tidak banyak informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan
T. merguensis, baik dari periode germinasi maupun fase dewasanya. Namun
pada umumnya karakteristik Tristaniopsis perbanyakannya adalah dengan
biji.
6) Pemanfaatan
T. merguensis ini sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat
sebagai kayu bakar karena menghasilkan api yang bagus, panas lebih lama
dan abu yang sedikit. Kayu T. merguensis sangat kuat (Muslich & Sumarni
2008), sehingga masyarakat memanfaatkannya sebagai bahan bangunan dan
bahan pembuat kapal. Petani lada juga memanfaatkan batang T. merguensis
ini sebagai tajar dari tanaman lada mereka.
Selain itu, nektar bunga T. merguensis merupakan makanan bagi lebah
yang menghasilkan madu pahit. Selama ini masyarakat mengambil madu
pahit dari sarang lebah madu yang ada pada T. merguensis maupun pohon
lain yang ada di sekitarnya.

6

T. merguensis merupakan inang jamur edible pelawan yang tumbuh di
sekitar sistem perakaran pohon tersebut. Diduga jamur pelawan merupakan
mikoriza yang membutuhkan T. merguensis sebagai inangnya. Selama ini
jamur pelawan hanya muncul satu kali sampai dua kali dalam setahun, sesaat
setelah terjadinya musim panas yang cukup lama, menjelang datangnya
musim hujan (Triadiati 24 Februari 2010, komunikasi pribadi).
Mikoriza
Mikoriza merupakan salah satu bentuk interaksi mutualistik antara jamur
atau cendawan dengan akar tumbuhan yang menginfeksi dan mengkoloni akar
tumbuhan tersebut namun tidak menimbulkan nekrosis (Agarwal & Sah 2009).
Mikoriza dapat dibedakan atas dua macam yaitu: 1) Ektomikoriza, jamur atau
cendawan yang berkembang di permukaan luar akar dan di antara sel-sel kortek
akar; 2) Endomikoriza, jamur atau cendawan yang berkembang di dalam akar di
antara dan di dalam sel kortek akar (Smith & Read 1997).
Asosiasi simbiotik antara mikoriza dan akar tanaman tersebar luas di
lingkungan alam dan dapat memberikan berbagai manfaat bagi tanaman inang,
diantaranya: memperbaiki nutrisi berupa hara, meningkatkan ketahanan terhadap
hama, meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan, toleransi terhadap logam
berat dan perbaikan struktur tanah (Setiadi

2003; Yano & Takaki 2005;

Gosling et al.

2006). Tanaman yang dikolonisasi oleh mikoriza memperlihatkan respon positif
terhadap pemberian fosfor anorganik (Antunes et al. 2007). Tanaman yang
diinokulasi dengan mikoriza umumnya memiliki sistem perakaran yang lebih luas,
karena hifa cendawan lebih panjang dan dapat menyebar secara cepat di dalam
tanah (Liu et al. 2000).
Mikoriza mempunyai potensi yang baik dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan benih maupun anakan tumbuhan tingkat tinggi melalui penyerapan
hara immobil (Yu et al. 2005) dan peningkatan ketahanan terhadap kekeringan
(Lee et al. 2008). Saat ini penelitian ektomikoriza telah meluas sampai pada
kajian pupuk hayati, bahkan sampai pada ektomikoriza jamur pelawan pada akar
pohon T. merguensis yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

7

Sistem perakaran
T. merguensis

Gambar 2 Jamur pelawan
Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi adalah cara memperlajari susunan dan bentuk vegetasi
atau masyarakat tumbuhan (Soerianegara & Indrawan 2005). Berdasarkan analisis
vegetasi dapat ditentukan beberapa besaran yang akan memberikan gambaran
tentang keseluruhan kondisi hutan (Indriyanto 2006) diantaranya:
1. Kerapatan dan kerapatan relatif.
Kerapatan adalah nilai yang menunjukkan jumlah individu dari spesiesspesies yang menjadi anggota suatu komunitas tumbuhan dalam luasan
tertentu. Sementara kerapatan relatif menunjukkan persentase dari jumlah
individu spesies tersebut dalam komunitasnya.
2. Frekuensi dan frekuensi relatif.
Frekuensi adalah besaran yang menyatakan derajat penyebaran spesies dalam
komunitasnya. Frekuensi relatif memperlihatkan persentase dari frekuensi
spesies tersebut dalam komunitasnya.
3. Luas penutupan atau dominansi dan dominansi relatif.
Dominansi adalah besaran yang digunakan untuk menyatakan derajat
penguasaan ruang atau tempat tumbuh, berapa luas areal yang ditumbuhi oleh
spesies tumbuhan.
4. Indeks Nilai Penting (INP).
Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai
untuk menyatakan tingkat penguasaan spesies tertentu dalam suatu
komunitas.

8

INP untuk spesies tumbuhan bawah dan anakan pohon merupakan
penjumlahan dari kerapatan relatif dan frekuensi relatif. Sedangkan INP
untuk pohon fase dewasa adalah penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi
relatif, dan dominansi relatif.
5. Indeks kesamaan komunitas
Merupakan suatu koefisien untuk mengetahui kesamaan spesies tumbuhan di
dua lokasi yang berbeda. Krebs (1989) mengelompokkan indeks kesamaan
komunitas kedalam empat kategori, yaitu≥75%
:
(sangat tinggi), 50

-75%

(tinggi), 25-50% (sedang), dan ≤ 25% (rendah).
Nilai

lain

yang

menggambarkan

suatu

ekosistem

adalah

nilai

keanekaragaman (Diversity), kekayaan (Richness), dan kemerataan spesies
tumbuhan (Eveness) (Ludwig & Reynolds 1988).
Menurut Barbour et al. (1987) Indeks Keanekaragaman Shanon dapat
dikelompokkan menjadi 4, yaitu : H > 2 (rendah), 2 < H < 3 (sedang), 3 < H < 4
(tinggi), dan H > 4 (sangat tinggi). Kemerataan dari persebaran spesies berkisar
antara 0 – 1. Semakin nilai mendekati 1 berarti kemerataan akan menjadi
maksimum dan homogen. Nilai kemerataan spesies akan maksimum jika semua
spesies mempunyai jumlah individu yang sama pada setiap satuan sampel.
Struktur hutan dapat dilihat dari stratifikasi atau pelapisan tajuk. Stratifikasi
atau pelapisan tajuk merupakan susunan tumbuhan secara vertikal dalam suatu
komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Menurut Soerianegara dan Indrawan
(2005), stratifikasi disebabkan oleh:
1.

Persaingan.
Persaingan terjadi akibat adanya kompetisi yang berlangsung dalam suatu
masyarakat tumbuhan atau spesies pohon yang ada. Akibat kompetisi ini akan
muncul pohon yang mampu bersaing, memiliki pertumbuhan yang kuat, dan
menjadi spesies dominan dari spesies lain. Individu yang dominan tersebut
akan mencirikan vegetasi hutan yang bersangkutan.

2.

Sifat toleransi spesies.
Sifat toleransi ini sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Spesies
yang toleran mendapatkan kesempatan ruang tumbuh dengan radiasi sinar

9

matahari yang penuh. Sedangkan spesies yang intoleran akan mendapatkan
naungan dari spesies yang toleran.

Soerianegara dan Indrawan (2005) menyatakan bahwa stratifikasi tajuk
dalam hutan hujan tropis dipisahkan oleh lima stratum, yaitu:
1.

Stratum A, merupakan lapisan teratas terdiri dari pohon dengan tinggi lebih
dari 30 m.

2.

Stratum B, terdiri dari pohon dengan tinggi 18-30 m.

3.

Stratum C, terdiri dari pohon-pohon yang mempunyai tinggi 4-18 m.

4. Stratum D, terdiri dari lapisan perdu dan semak yang mempunyai tinggi
1-4 m, termasuk di dalamnya adalah pohon muda, palma kecil, herba
besar dan paku-pakuan besar.
5. Stratum E, terdiri dari lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah atau
lapisan lapangan yang mempunyai tinggi 0-1 m.

Individu-individu dalam populasi dan komunitas dapat menyebar menurut
tiga pola, yaitu: acak, seragam, dan mengelompok (Ludwig & Reynolds 1988;
Krebs 1989; Odum 1994).

Pola sebaran merupakan bentuk apresisasi dari

interaksi yang terjadi dalam suatu komunitas, yang biasa disebut dengan asosiasi.
Hampir semua spesies tumbuhan berada dalam asosiasi yang kompleks untuk
melengkapi fase-fase dalam siklus hidupnya (Widyatmoko 2001).
Asosiasi yang terjadi pada komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan dapat
berupa asosiasi negatif dan positif. Asosiasi negatif yang dapat terjadi pada
masyarakat tumbuhan adalah kompetisi, amensalisme, ataupun parasitisme;
sedangkan bentuk positif adalah komensalisme, protokooperasi, dan mutualisme
(Setiadi & Tjondronegoro 1989).

10

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman
Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan
Dusun Air Pasir Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Studi herbarium dilakukan di Herbarium Bogoriense LIPI Cibinong.
Analisis tanah dan serasah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3 Lokasi penelitian ( )
Alat dan Bahan
Objek utama dalam penelitian ini adalah T. merguensis. Peralatan yang
digunakan antara lain :
1. Perlengkapan pencatatan data lingkungan : Global Position System (GPS),
lightmeter, altimeter, clinometer, termohigrograf, dan kamera.
2. Peralatan sampling tanah : ring sampel, pisau, sekop, kertas label.

11

3. Perlengkapan sampling vegetasi: peta lokasi, meteran, kompas, tali plastik,
kertas label, dan tally sheet.
4. Perlengkapan untuk pembuatan herbarium, serta buku identifikasi tumbuhan.

Data Penelitian
1) Jenis data
a. Data primer, berupa data ekologi vegetasi, serasah dan data lingkungan
abiotik (tanah dan iklim mikro).
b. Data sekunder, berupa data klimatologi yang diperoleh dari Badan
Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Pangkal Pinang.
2) Pengumpulan data
a. Penentuan lokasi penelitian.
Hutan yang dijadikan lokasi penelitian adalah hutan yang memiliki
populasi T. merguensis serta riwayat pertumbuhan jamur pelawan.
Sedangkan sebagai kontrol negatif adalah hutan yang ada populasi
T. merguensis namun tidak memiliki riwayat pertumbuhan jamur pelawan.
Riwayat pertumbuhan jamur pelawan di lokasi penelitian diperoleh dari
komunikasi pribadi dengan penduduk sekitar hutan. Hutan yang memiliki
populasi T. merguensis dan riwayat pertumbuhan jamur pelawan adalah
Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air
Pasir. Kontrol negatif dari penelitian ini adalah Hutan Tanaman Pelawan
Desa Trubus.
b. Analisis vegetasi.
Data ekologi populasi dan komunitas T. merguensis didapatkan melalui
analisis

vegetasi

menggunakan

metode

Quadrat.

Petak

contoh

ditempatkan pada jalur transek sepanjang 100 m secara purposive di tiga
lokasi penelitian.
Petak contoh yang dibangun berbentuk bujur sangkar bersarang dengan
ukuran 20 m x 20 m untuk fase pohon (diameter batang setinggi dada /
diameter breast hight (dbh) > 20 cm), 10 m x 10 m untuk fase tiang (20
cm < dbh < 10 cm), 5 m x 5 m untuk fase sapihan (10 cm < dbh 2 cm), dan
2 m x 2 m untuk fase semai (dbh < 2 cm) serta untuk spesies tumbuhan

12

bawah (Krebs 1989). Dalam satu unit analisis vegetasi dibuat lima petak
contoh (Gambar 4). Penempatan plot sejalur dilakukan karena luasan
Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus yang relatif sempit, sehingga tidak
memungkinkan untuk dilakukan penempatan plot secara acak. Penempatan
plot pada dua lokasi lain mengikuti penempatan plot di Hutan Tanaman
Pelawan Desa Trubus.
Satu unit analisis vegetasi ukuran plot 20 m x 50 m sampai dengan 100 m
dipercaya sudah memadai untuk hutan yang ada di daerah tropis
(Loumonier 1997).

20 m

100 m
Gambar 4 Skema plot bersarang
Keterangan:

= Petak contoh ukuran 2 m x 2 m, untuk tumbuhan bawah dan
semai.
= Petak contoh ukuran 5 m x 5 m, untuk pancang.
= Petak contoh ukuran 10 m x 10 m, untuk tiang.
= Petak contoh ukuran 20 m x 20 m, untuk pohon.

Data vegetasi yang dicatat adalah nama spesies dan famili, diameter
batang setinggi dada, tinggi batang bebas cabang, tinggi total tumbuhan,
diameter tajuk, dan posisi tumbuhan pada sebuah petak contoh (x, y). Data
dianalisis dan dituangkan dalam bentuk profil vegetasi suatu komunitas
T. merguensis.
Herbarium dibuat untuk spesies tumbuhan yang pada saat analisis
vegetasi tidak diketahui nama spesies ataupun familinya. Pembuatan
herbarium

dilakukan

dengan

cara

standar

sesuai

dengan

yang

dikemukakan oleh Djarwaningsih et al. (2002).
c. Pengambilan contoh serasah.
Serasah lantai hutan diambil sampai lapisan atas tanah dengan luasan
50 cm x 50 cm (Kavvadias et al. 2001) di sekitar pohon T. merguensis.
Contoh serasah diambil pada tiga titik yang dianggap mewakili kondisi
serasah di setiap lokasi penelitian, yang kemudian dikompositkan untuk di
analisis lebih lanjut.

13

d. Pengukuran iklim mikro.
Iklim mikro yang diukur adalah suhu, kelembaban udara, dan intensitas
cahaya matahari yang ada di bawah tajuk pohon pelawan. Pengukuran
dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan di setiap lokasi pengamatan.
e. Pengambilan contoh tanah.
Contoh tanah diambil pada lapisan topsoil di sekitar perakaran pohon
pelawan. Contoh tanah diambil pada tiga titik yang dianggap mewakili
kondisi tanah di setiap lokasi penelitian, yang kemudian dikompositkan
untuk dianalisis sifat fisik dan kimianya.
f. Data sekunder berupa kondisi iklim tahunan diperoleh dari Badan
Klimatologi dan Geofisika, stasiun klimatologi terdekat dengan lokasi
penelitian, yaitu Stasiun Klimatologi Pangkal Pinang
3) Analisis data
a. Komposisi spesies.
Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif
(DR), dan indeks nilai penting (INP) spesies tumbuhan dihitung
menggunakan formula (Cox 1996), sebagai berikut:

Kerapatan

Jumlah individu suatu spesies
= ---------------------------------Luas petak contoh

Kerapatan suatu spesies
Kerapatan relatif = ---------------------------------- x 100%
Kerapatan seluruh spesies

Frekuensi

Jumlah petak ditemukan suatu spesies
= ------------------------------------------Jumlah seluruh petak

Frekuensi suatu spesies
Frekuensi relatif = ---------------------------------- x 100%
Frekuensi seluruh spesies

Dominansi

Luas bidang dasar suatu spesies
= --------------------------------Luas petak contoh

14

Dominansi suatu spesies
Dominansi relatif = ---------------------------------- x 100%
Dominansi seluruh spesies
Dominansi dan dominansi relatif hanya dihitung untuk spesies pohon fase
pertumbuhan pancang, tiang, dan pohon (Soerianegara & Indrawan 2005).
Indeks Nilai Penting (INP) untuk kategori tumbuhan bawah dan fase semai
adalah penjumlahan antara kerapatan relatif, frekuensi relatif. Sedangkan
INP untuk kategori pancang, tiang dan pohon adalah penjumlahan antara
kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif.
b. Keanekaragaman tumbuhan
Nilai keanekaragaman spesies tumbuhan dihitung berdasarkan
indeks kekayaan, indeks keanekaragaman, dan indeks kemerataan dengan
formula (Ludwig & Reynolds 1988), sebagai berikut:


Kekayaan spesies dihitung menggunakan indeks Margalef (R'), sebagai
berikut:
R' = ( S - 1) / ln N
R' merupakan indeks Margalef, S adalah jumlah spesies yang teramati,
dan N adalah jumlah total individu yang teramati.

 Keanekaragaman spesies dihitung menurut indeks Shannon (H'),
sebagai berikut:
H' = - ∑ [ ni/N] ln [ni/N]
H' menyatakan indeks keanekaragaman Shannon, ni adalah jumlah
individu spesies ke-i, dan N adalah total jumlah individu semua spesies
yang ditemukan.
 Kemerataan spesies dihitung dengan menggunakan Indeks Pielou (E),
sebagai berikut:
E = H' / ln (S)
E

merupakan

indeks

kemerataan

Pielou,

H'

adalah

keanekaragaman Shannon, dan S adalah jumlah spesies.

indeks

15

c. Nilai kemiripan komunitas
Nilai kemiripan dari komunitas-komunitas yang dibandingkan
dihitung dengan menggunakan indeksǿrensen
S
(Ludwig & Reynolds
1988), dengan formula sebagai berikut:
S = 2 C / (A + B)
S adalah nilai kemiripan, C adalah jumlah nilai penting terkecil untuk
masing-masing tegakan yang diamati, A adalah jumlah nilai penting dari
tegakan pertama, dan B adalah jumlah nilai penting dari tegakan kedua.
d. Pola sebaran
Pola penyebaran ditentukan berdasarkan perbandingan keragaman
dengan nilai rata-rata hitung individu spesies ke-i (Ludwig & Reynolds
1988)

Keterangan : X = Rata-rata jumlah individu spesies ke-i
Xi = Jumlah individu ke-I dalam tiap kuadrat
n = Jumlah kuadrat
Id = Indeks penyebaran
Jika : Id > 1, maka pola penyebaran spesies ke-i adalah mengelompok.
Id < 1, maka pola penyebaran spesies ke-i adalah teratur/merata.
Id = 1, maka pola penyebaran spesies ke-i adalah acak.

e. Asosiasi interspesies.
Pola asosiasi antara T. merguensis dengan spesies tumbuhan lainnya
di lokasi penelitian diuji berdasarkan data kehadiran dan ketidakhadiran
(data biner) pada petak contoh yang diuji. Pengujian pola asosiasi
interspesifik ditentukan dari indeks Jaccard berdasarkan metode spesies
berpasangan untuk multispesies. Kehadiran spesies yang diuji dinyatakan
dengan 1, sedangkan ketidakhadirannya dinyatakan dengan 0 (Tabel 1).

16

Tabel 1 Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam
N petak contoh.
Spesies
1
2
3


S
Total SU

1
1
1
0


0
T1

Petak contoh
2
….
1
0
1


1
T2

(N)
0
1
1


1
TN

Total
Spesies
n1
n2
n3


Ns

Asosiasi secara simultan menggunakan Variance Ratio (VR)
diturunkan dari null association model. Indeks asosiasi VR diturunkan
dari data kehadiran dan ketidakhadiran (Tabel 1). Hipotesis nol (Ho) yang
dibangun adalah T. merguensis merupakan spesies independen; tidak ada
asosiasi dengan spesies lain. Hipotesis ini diuji dengan uji statistik chisquare (χ²)
Varian sampel total dihitung untuk keterdapatan S spesies dalam
sampel, dengan persamaan sebagai berikut :

Keterangan: δT² = varian sampel total
pi = ni/N
Selanjutnya dilakukan pendugaan varian jumlah spesies total dengan
persamaan :

Keterangan: ST² = varian jumlah spesies
t = tara-rata jumlah spesies per petak contoh.
Kemudian VR (indeks asosiasi antar seluruh spesies) dihitung dengan
rumus:

Bila : VR = 1, maka tidak ada asosiasi
VR > 1, menunjukkan asosiasi positif.
VR < 1, menunjukkan asosiasi negatif.

17

Untuk menguji

adanya penyimpangan nilai

1, maka dilakukan

penghitungan nilai statistik W, dihitung dengan rumus :
W = (N)(VR)
Jika nilai W terletak pada batas χ² dengan probabilitas 90% maka hipotesis
bahwa tidak ada asosiasi spesies diterima.
Selanjutnya spesies lain yang memiliki INP ≥ 10% (Botanri 2010) akan
diuji asosiasinya dengan chi-square (p = 0,05 ; df =1) spesies berpasangan
dari tabel kontingensi 2 x 2 (Tabel 2). Hipotesis nol (Ho) yang dibangun
adalah bahwa T. merguensis merupakan spesies independen; tidak ada
asosiasi dengan spesies lain.
Pasangan yang memiliki nilai signifikan diuji tingkat asosiasinya
menggunakan indeks Jaccard (Ludwig & Reynolds 1988)

Keterangan:
J = Indeks Jaccard
a = Jumlah plot ditemukannya T. merguensis dan spesies B
b = Jumlah plot ditemukannya T. merguensis tetapi tidak spesies B
c = Jumlah plot ditemukannya spesies B tetapi tidak T. merguensis

Tabel 2. Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies
Spesies B
ada
Tidak ada
ada

a

b

m=a+b

tidak ada

c

d

n=c+d

r=a+c

s=b+d

T. merguensis

Keterangan :
a = Jumlah plot ditemukannya T. merguensis dan spesies B
b = Jumlah plot ditemukannya T. merguensis tetapi tidak spesies B
c = Jumlah plot ditemukannya spesies B tetapi tidak T. merguensis
d = Jumlah plot tidak ditemukannya kedua spesies tersebut.

18

f. Analisis sifat tanah meliputi sifat fisik dan kimia tanah di Laboratorium
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB.
g. Kemiripan komposisi spesies tumbuhan dan parameter kuantitatif
komunitas lainnya dari tiap lokasi pengamatan dituangkan dalam bentuk
dendrogram yang dihasilkan oleh analisis cluster.
h. Persamaan dan perbedaan iklim mikro dihitung dengan metode analisis
sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% (p ≤ 0,05). Uji lanjut
menggunakan uji Duncan (DMRT).
i. Kurva periodik komponen iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah
hujan, kecepatan angin, dan lama penyinaran) tahun 2008 dan 2009 dibuat
untuk melihat kondisi iklim pada saat jamur Pelawan tumbuh. Sedangkan
kurva periodik iklim tahun 2010 digunakan sebagai pembanding, karena
selama tahun 2010 jamur Pelawan tidak tumbuh. Kurva periodik dibuat
sesuai dengan metode yang dikemukakan oleh Little dan Hills (1977).
Pembuatan kurva periodik diperlukan 2 nilai P yang dinamai PU 1 (∑U 1 Y)
dan PV 1 (∑V 1 Y), dimana :
Y adalah iklim bulanan, U 1 adalah cos CX, V 1 adalah sin CX, (X
adalah bulan, dimana Januari adalah bulan ke-0, Februari adalah
bulan ke-1, dan seterusnya, C = 1/12 x 360°.
Kurva periodik membutuhkan PU 1 dan PV 1 untuk kurva first degree, serta
PU 2 dan PV 2 untuk kurva second degree.
Persamaan kurva first degree adalah :
Ŷ 1 = a o + a 1 cos CX + b 1 sin CX
Keterangan: a o = ∑ Y/n
a 1 = 2 PU 1 /n
b 1 = 2 PV 1 /n
Persamaan kurva second degree adalah :
Ŷ 2 = a o + a 1 cos CX + b 1 sin CX + a 2 cos 2CX + b 2 sin 2CX
Keterangan: a 2 = 2 PU 2 /n
b 1 = 2 PV 2 /n

19

Kurva periodik yang digambarkan adalah hasil dari perhitungan second
degree dengan sumbu X adalah bulan, dan sumbu Y adalah deviasi ratarata.
j. Karakteristik ekologi vegetasi dan komponen lingkungan abiotik yang
mendukung pertumbuhan T. merguensis dan jamur Pelawan diperlihatkan
oleh loading plot hasil analisis komponen utama (Principal Component
Analisis, PCA).
Secara ringkas, alur dari penelitian yang dilaksanakan dapat dilihat pada
Gambar 5 berikut:
Alur Penelitian
T. merguensis

ANALISIS

ANALISIS FAKTOR

VEGETASI

LINGKUNGAN

INP, R, H’, E,
Asosiasi, dll

EDAFIK
Sifat fisika
Sifat kimia

Jamur
pelawan

KLIMATIK
Curah hujan, kelembaban,
suhu, intensitas cahaya, dll

PREFERENSI HABITAT
Faktor lingkungan yang mendukung
penyebaran
T.mergeuensis sekaligus sebagai
inang jamur pelawan

Gambar 5 Skema alur penelitian. (
pribadi

) dilakukan analisis, (

) komunikasi

20

HASIL
Komposisi Spesies dan Struktur Hutan Pelawan
Komposisi spesies dari dua hutan pelawan yang diteliti yaitu Hutan
Kawasan Lindung Kalung Desa Namang dan Hutan Dusun Air Pasir disusun oleh
beberapa spesies pohon yang sama. Berbeda halnya dengan Hutan Tanaman
Pelawan Desa Trubus yang hanya ditanami pohon pelawan, walaupun ada
beberapa spesies lain dengan Indeks Nilai Penting (INP) yang sangat kecil.
Komposisi spesies tumbuhan dan pola sebarannya di Hutan Tanaman Pelawan
Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun
Air Pasir tersaji pada Tabel 3 – 6.
Tabel 3 Spesies tumbuhan bawah dan pohon di Hutan Tanaman Pelawan Desa
Trubus.
No
1
2
3
4
5
6
7

No
1

No
1
2
3
4
5
6
7
8

Tumbuhan bawah
Spesies
Alpinia galanga
Asystasia nemorum
Chromolaena odorata
Gleichenia linearis
Imperata cylindrica
Melastoma malabatricum
Mimosa pudica
Jumlah
Spesies pohon fase semai
Spesies
Callophyllum nodosum
Jumlah
Spesies pohon fase pancang
Spesies
Alstonia sp.
Bridellia tomentosa
Connarus sp.
Criptocarya crassinervia
Prunus arborea
Symplocos adenophylla
Syzygium grande
Tristaniopsis merguensis
Jumlah

Famili
Zingiberaceae
Acanthaceae
Asteraceae
Gleicheniaceae
Poaceae
Melastomataceae
Fabaceae

KR
0,04
1,86
14,09
0,36
81,44
1,23
0,99
100,00

FR
2,63
10,53
18,42
7,89
34,21
15,79
10,53
100,00

DR
-

INP
2,67
12,39
32,51
8,25
115,65
17,02
11,52
200,00

Pola sebaran
Acak
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok

Famili
Clusiaceae

KR
100,00
100,00

FR
100,00
100,00

DR
-

INP
200,00
200,00

Pola sebaran
Mengelompok

Famili
Apocynaceae
Euphorbiaceae
Connaraceae
Lauraceae
Rosaceae
Simplocaceae
Myrtaceae
Myrtaceae

KR
1,89
3,77
1,89
1,89
1,89
1,89
3,77
83,02
100,00

FR
4,00
4,00
4,00
4,00
4,00
16,00
8,00
56,00
100,00

DR
0,82
1,57
0,44
0,72
0,29
0,49
1,71
93,95
100,00

INP
6,71
9,34
6,33
6,61
6,18
18,38
13,48
232,97
300,00

Pola sebaran
Mengelompok
Mengelompok
Acak
Acak
Acak
Acak
Teratur
Teratur

KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP =
Indeks Nilai Penting

21

Tabel 4

Spesies tumbuhan bawah dan pohon di Hutan Kawasan Lindung Kalung
Desa Namang.

Tumuhan bawah
Spesies
Bromheadia finlaysoniana
Gleichenia linearis
Nepenthes raflessiana
Stenochlaena palustris
Jumlah
Spesies pohon fase semai
No
Spesies
1
Callophyllum nodosum
2
Callophyllum soulattri
3
Chionanthus ramiflorus
4
Cratoxilum glaucum
5
Criptocarya crassinervia
6
Gaertnera vaginans
7
Ghordonia sp.
8
Harpulia cupanioides
9
Lithocarpus elegans
10
Meliosma sumatrana
11
Prunus arborea
12
Pternandra azurea
13
Pternandra rostrata
14
Syzygium barringtonioides
15
Syzygium caudatilimbum
16
Syzygium chrysanthum
17
Syzygium grande.
18
Syzygium longiflorum
19
Syzygium muelleri
20
Syzygium pyrifolium
21
Syzygium zeylanicum
22
Timonius flafescens
23
Tristaniopsis merguensis
24
Urophillum sp.
25
Vatica chartacea
Jumlah
Spesies pohon fase pancang
No
Spesies
1
Arthophyllum diversifolium
2
Callophyllum nodosum
3
Callophyllum soulattri
4
Chionanthus ramiflorus
5
Cratoxilum glaucum
6
Criptocarya crassinervia
7
Elaeocarpus sp.
8
Gaertnera vaginans
9
Garcinia parfivolia
10
Garcinia riedeliana
11
Ghordonia sp.
12
Ilex sp.
13
Litsea rubiginosa
14
Pternandra azurea
15
Pternandra rostrata
16
Syzygium barringtonioides
17
Syzygium caudatilimbum
18
Syzygium chrysanthum
19
Syzygium grande
20
Syzygium longiflorum
21
Syzygium muelleri
22
Syzygium pyrifolium
23
Syzygium sp.
24
Syzygium zeilanicum
25
Timonius flafescens
26
Tristaniopsis merguensis
27
Urophillum sp.
28
Vatica chartacea
Jumlah
No
1
2
3
4

Famili
Orchidaceae
Gleicheniaceae
Nepentheceae
Blechnaceae

KR
39,26
27,61
9,20
23,93
100,00

FR
19,05
9,52
19,05
52,38
100,00

Famili
Clusiaceae
Clusiaceae
Oleaceae
Clusiaceae
Lauraceae
Rubiaceae
Theaceae
Sapindaceae
Fagaceae
Clusiaceae
Rosaceae
Melastomataceae
Melastomataceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Rubiaceae
Myrtaceae
Rubiaceae
Dipterocarpaceae

KR
2,72
27,17
1,63
1,09
0,54
2,17
1,09
0,54
0,54
5,43
1,09
0,54
18,48
1,63
2,17
2,17
5,98
10,33
1,63
2,72
0,54
3,80
2,17
1,63
2,17
100,00

FR
4,29
17,14
1,43
1,43
2,86
2,86
1,43
1,43
1,43
4,29
1,43
1,43
8,57
10,00
1,43
1,43
4,29
10,00
2,86
7,14
1,43
5,71
2,86
1,43
1,43
100,00

Famili
Araliaceae
Clusiaceae
Clusiaceae
Oleaceae
Clusiaceae
Lauraceae
Elaeocarpaceae
Rubiaceae
Clusiaceae
Clusiaceae
Theaceae
Aquifoliaceae
Lauraceae
Melastomataceae
Melastomataceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Rubiaceae
Myrtaceae
Rubiaceae
Dipterocarpaceae

KR
0,72
1,81
7,97
0,36
2,17
0,72
0,72
2,54
1,09
1,81
3,99
2,17
1,45
1,81
5,43
5,07
0,36
2,54
3,62
11,59
5,80
14,49
0,36
0,36
0,36
15,94
0,36
4,35
100,00

FR
1,74
3,48
8,70
0,87
4,35
1,74
1,74
2,61
1,74
2,61
5,22
4,35
2,61
1,74
6,09
4,35
0,87
3,48
5,22
7,83
4,35
7,83
0,87
0,87
0,87
9,57
0,87
3,48
100,00

DR
-

INP
58,31
37,13
28,25
76,31
200,00

Pola sebaran
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok

DR
-

INP
7,00
44,32
3,06
2,52
3,40
5,03
2,52
1,97
1,97
9,72
2,52
1,97
27,05
11,63
3,60
3,60
10,26
20,33
4,49
9,86
1,97
9,52
5,03
3,06
3,60
200,00

Pola sebaran
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Acak
Acak
Mengelompok
Mengelompok
Acak
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Acak
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Teratur
Teratur
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok

DR
1,02
2,93
10,62
0,63
1,87
0,78
1,96
2,07
2,26
0,77
4,47
2,00
4,16
0,79
3,77
3,60
0,71
1,20
4,79
5,93
4,06
9,46
1,43
0,24
0,10
23,22
0,16
5,00
100,00

INP
3,48
8,22
27,29
1,87
8,39
3,25
4,42
7,22
5,08
5,19
13,67
8,52
8,22
4,34
15,29
13,02
1,94
7,22
13,63
25,35
14,21
31,78
2,66
1,47
1,33
48,73
1,39
12,83
300,00

Pola sebaran
Teratur
Mengelompok
Mengelompok
Acak
Acak
Teratur
Teratur
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Teratur
Acak
Teratur
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Acak
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Acak
Acak
Acak
Mengelompok
Acak
Mengelompok

KR = Kerapatan Relatif, FR = Frekuensi Relatif, DR = Dominansi Relatif, INP =
Indeks Nilai Penting

22

Tabel 5 Spesies tumbuhan bawah d