Corn Seed Drying Optimization Using Predrying and Air Drying Temperature Treatment.

OPTIMASI PENGERINGAN BENIH JAGUNG DENGAN
PERLAKUAN PRAPENGERINGAN DAN SUHU UDARA
PENGERINGAN

MUHAMMAD ROFIQ

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Optimasi Pengeringan
Benih Jagung dengan Perlakuan Prapengeringan dan Suhu Udara Pengeringan
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Muhammad Rofiq
NIM A251100144

RINGKASAN
MUHAMMAD ROFIQ. Optimasi Pengeringan Benih Jagung dengan Perlakuan
Prapengeringan dan Suhu Udara Pengeringan. Dibimbing oleh MOHAMAD
RAHMAD SUHARTANTO, TATIEK KARTIKA SUHARSI, dan ABDUL
QADIR.
Pengeringan merupakan bagian terpenting dalam proses pengolahan benih
jagung. Proses pengeringan yang terlalu lama dapat menurunkan viabilitas benih.
Kadar air benih yang tinggi menyebabkan inisiasi perkecambahan dan meningkatkan
serangan fungi, akibatnya benih dapat kehilangan viabilitasnya. Laju pengeringan
yang rendah juga menyebabkan turunnya kapasitas produksi, akibatnya biaya
produksi menjadi meningkat.
Salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan laju pengeringan adalah
meningkatkan suhu udara pengeringan. Penggunaan suhu tinggi dalam proses
pengeringan bukan berarti tidak mempunyai resiko. Suhu udara pengeringan yang
tinggi menyebabkan rusaknya senyawa kimia dalam benih, sehingga menurunkan

viabilitas benih. Perlakuan prapengeringan perlu ditambahkan untuk mempertahankan
viabilitas benih. Prapengeringan dapat dilakukan dengan cara menghembuskan udara
suhu kamar menggunakan mesin blower sebelum benih jagung diberikan perlakuan
udara panas.
Kombinasi perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan diduga
cukup efektif untuk meningkatkan laju pengeringan serta mempertahankan viabilitas
benih jagung. Penelitian bertujuan meningkatkan efisiensi pengeringan benih jagung
melalui pengembangan rancangan sistem pengeringan dan melakukan kombinasi
perlakuan prapengeringan dengan suhu udara pengeringan untuk mendapatkan mutu
benih yang maksimum.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2012 di PT
BISI International Tbk., Kediri, Jawa Timur. Penelitian terdiri atas 3 tahap, yaitu:
(1) Perancangan sistem pengeringan, (2) Optimasi pengeringan benih jagung, dan
(3) Analisis ekonomi. Kegiatan pertama terdiri atas 2 tahap, yaitu: pembuatan dan
pengujian mini box dryer.
Optimasi pengeringan benih jagung terdiri atas 2 faktor perlakuan, yaitu:
prapengeringan (0,12, 24, dan 36 jam), dan suhu udara pengeringan (40, 45, 50,
dan 55 °C), menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan. Analisis
mutu fisik dan fisiologis dilakukan untuk mendapatkan perlakuan yang mampu
menghasilkan benih dengan kualitas yang baik. Analisis ekonomi dilakukan untuk

mengetahui perlakuan yang memiliki nilai B/C Ratio paling tinggi.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan prapengeringan
36 jam dan suhu udara pengeringan 50 °C merupakan perlakuan optimum pada
pengeringan benih jagung, karena mampu menghasilkan benih dengan kualitas
baik dan memiliki nilai B/C Ratio paling tinggi.

Kata kunci: B/C Ratio, mutu fisik, mutu fisiologis, perlakuan optimum

SUMMARY
MUHAMMAD ROFIQ. Corn Seed Drying Optimization Using Predrying and Air
Drying Temperature Treatment. Dibimbing oleh MOHAMAD RAHMAD
SUHARTANTO, TATIEK KARTIKA SUHARSI, dan ABDUL QADIR.
Drying is an important operation in corn seed processing. Long duration of
seed drying can reduce seed viability. The high moisture content causes the
initiation of seed germination and increase fungal attacks, thus it will loss seed
viability. Long duration of seed drying also decreases production capacity and
will increase production cost.
One of the efforts to increase drying rate is increase air drying temperature.
But, the high temperature in seed drying will give risk. It will give effect on
chemical composition destruction so it could be decline seed viability.

Maintaining seed viability could be done by using predrying treatment. Predrying
was done by blowing air using blower machine and it applied before ear corn
dried with heated air.
Combination between predrying and air drying temperature were the
effective treatment to increase drying rate and maintain corn seed viability. The
objectives of the research were to increase corn seed drying efficency by develop
design of drying system and combine between predrying treatment with air drying
temperature to get maximum seed quality.
This research was conducted at PT BISI International, Tbk. on June till
October 2012. This research consisted of three phases, 1. Drying system design, 2.
Corn seed drying optimization, and 3. Economic analysis. The first research
consisted of two phases, 1. Mini box dryer assembling, and 2. Mini box dryer testing.
Corn seed drying optimization consisted of periods of predrying (0, 12, 24,
and 36 hours) and temperature level factor (40, 45, 50, and 55 °C), used
randomized complete block design with three replications. Physical and
physiological quality were analyzed to find treatment which produced good seeds.
Economic analysis were used to find treatment which give highest of B/C Ratio.
The result showed that predrying during 36 hours on temperature setting
50 °C was the optimum treatment for corn seed drying, because it had good
germination and had highest B/C Ratio.


Key words: B/C Ratio, optimum treatment, physical quality, physiological quality

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

OPTIMASI PENGERINGAN BENIH JAGUNG DENGAN
PERLAKUAN PRAPENGERINGAN DAN SUHU UDARA
PENGERINGAN

MUHAMMAD ROFIQ

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi:

Dr. Willy Bayuardi, S.P., M.Si.

Judul Tesis : Optimasi Pengeringan Benih Jagung dengan Perlakuan
Prapengeringan dan Suhu Udara Pengeringan
Nama
: Muhammad Rofiq
NIM
: A251100144


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, M.S.
Ketua

Dr. Dra. Tatiek Kartika Suharsi, M.S.
Anggota

Dr. Ir. Abdul Qadir, M.Si.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu dan Teknologi Benih

Dekan Sekolah Pascasarjana


Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian:
14 Juni 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala nikmat karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis
yang berjudul Optimasi Pengeringan Benih Jagung dengan Perlakuan Prapengeringan
dan Suhu Udara Pengeringan tidak dapat terwujud tanpa adanya bantuan dan
kerjasama dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan
dan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Mohamad Rahmad Suhartanto, M.S., Dr. Dra. Tatiek Kartika Suharsi,
M.S., dan Dr. Ir. Abdul Qadir, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan ilmu, masukan, dan arahan dalam penyusunan tesis.
2. Dr. Willy Bayuardi Suwarno, S.P., M.Si. selaku dosen penguji luar komisi

pada ujian akhir tesis atas masukan dan arahannya untuk perbaikan tesis.
3. Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc. selaku dosen penguji perwakilan dari Program
Studi Ilmu dan Teknologi Benih pada ujian akhir tesis atas masukan dan
arahannya untuk perbaikan tesis.
4. Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. selaku ketua mayor Ilmu dan Teknologi
Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah memberikan arahan
dan bimbingan selama penulis melaksanakan studi di Sekolah Pascasarjana
IPB Bogor.
5. Seluruh staf pengajar Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih atas ilmu dan
pengetahuan yang diberikan selama penulis menempuh studi di Sekolah
Pascasarjana IPB Bogor.
6. Segenap manajemen PT. BISI International, Tbk atas dukungan beasiswa,
fasilitas dan dukungan sumber daya lainnya selama penulis menempuh studi
di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
7. Keluarga tercinta, Bapak Soekarman, Ibu Radiyem, istri tercinta Anis Mu’arifah
S.Ei. dan anak-anak tercinta M. Nadzif Afnan Fannani, M. Faqih Al Farizqi
yang telah memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis untuk
menempuh studi dan penelitian.
8. Teman-teman seperjuangan: Taufik, Nizar, Yasin, Purna, Pak Entit, Pak Aziz,
Yustiana, Nancy, Bu Ratih, serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis

sebutkan, terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.
Penulis menyadari tesis ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan masukan dari seluruh pihak. Semoga tesis ini
dapat bermanfaat.

Bogor, Juni 2013
Muhammad Rofiq

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


1  PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1






2  TINJAUAN PUSTAKA
Benih Jagung
Vigor Benih
Pengusangan Cepat
Pengeringan
Laju Pengeringan
Mesin Pengering Tipe Tumpukan
Karakteristik Kipas pada Mesin Blower
Suhu dan Kelembaban Udara
Kerusakan Mekanis

3
3
3
5
7
8
8
9
9
10

3  METODE
Bahan dan Alat
Prosedur Analisis Data

12 
12 
13 

4  HASIL DAN PEMBAHASAN
Perancangan Sistem Pengeringan
Optimasi Pengeringan Benih Jagung
Analisis Ekonomi

20 
20 
22 
30 

5  SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

31 
31 
31 

DAFTAR PUSTAKA

32 

LAMPIRAN

36

RIWAYAT HIDUP

102

DAFTAR TABEL
1 Pengaruh kadar air dan kecepatan putaran mesin terhadap kerusakan
fisik biji kacang-kacangan
2 Persentase biji retak setelah biji kacang-kacangan dikeringkan pada beberapa
taraf kelembaban udara dan suhu udara pengeringan
3 Hasil uji chi-kuadrat (χ2) peubah suhu pada mini box dryer
4 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh perlakuan prapengeringan,
suhu udara pengeringan, serta interaksinya terhadap peubah pengamatan
5 Peubah mutu fisiologis benih pengaruh perlakuan prapengeringan
6 Peubah mutu fisiologis benih pengaruh perlakuan suhu udara pengeringan
7 Spesifikasi persyaratan mutu benih di laboratorium
8 Daya berkecambah benih pengaruh perlakuan pengusangan cepat pada
beberapa taraf waktu pengusangan
9 Vigor daya simpan benih pengaruh perlakuan suhu udara pengeringan
10 Persentase benih retak pengaruh interaksi perlakuan prapengeringan dan
suhu udara pengeringan
11 Persentase benih pecah pengaruh perlakuan suhu udara pengeringan
12 Manfaat, biaya, dan B/C Ratio masing-masing perlakuan

11 
12 
22
23 
24 
25 
26 
26
27
28
29 
30 

 

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur benih jagung
2 Laju pengeringan biji kacang hijau pada berbagai taraf suhu udara
pengeringan dengan kecepatan udara pengeringan 1 m/s (Doymaz 2004a)
3 Alat pengusangan benih
4 Gambar kerja komponen-komponen mini box dryer
5 Gambar kerja 1 set mini box dryer
6 Diagram alir perancangan sistem pengeringan
7 Diagram alir percobaan optimasi pengeringan benih jagung
8 Mesin dan komponen-komponen mini box dryer
9 Rangkaian mini box dryer
10 Pengeringan benih jagung menggunakan mini box dryer
11 Kecambah normal dan kecambah abnormal pada pengujian mutu fisiologis
benih jagung
12 Benih retak di bawah lampu magnifier



13 
14 
14
15 
18
21
21
23
24
29

 

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Data pengamatan suhu dan kelembaban udara ruang pemanas mini box dryer
Perhitungan chi-kuadrat (χ2)
Kebutuhan bahan dan biaya pembuatan (investasi) 1 set mini box dryer
Perhitungan biaya pemeliharaan 1 set mini box dryer (umur ekonomis 20 tahun)
Perhitungan biaya produksi pengeringan benih jagung menggunakan
mini box dryer pada beberapa kombinasi perlakuan prapengeringan dan
suhu udara pengeringan

36 
84 
86
87

90

 

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tahun 2011 konsumsi beras tercatat sebesar 139 kg/kapita/tahun dan jumlah
penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa, berarti konsumsi beras nasional pada
tahun 2011 mencapai 33 juta ton (BPS 2012). Apabila kebiasaan mengkonsumsi
nasi tidak dapat diubah maka akan berdampak besar pada ketahanan pangan nasional.
Jagung merupakan salah satu makanan alternatif pengganti nasi. Jagung
memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Suarni dan Widowati (2007)
melaporkan bahwa kandungan karbohidrat jagung berkisar antara 72-73%, sedangkan
proteinnya berkisar antara 8-11%. Tingginya nutrisi yang terkandung dalam jagung
menjadikan komoditas tersebut layak dijadikan alternatif bahan makanan pokok
pengganti nasi.
Jagung sebagai alternatif bahan makanan pokok pengganti nasi mempunyai
beberapa kendala, salah satunya adalah semakin berkurangnya lahan pertanaman
jagung. Tahun 2009 luasan areal pertanaman jagung mencapai 4 160 659 ha,
selanjutnya tahun 2011 luasan areal pertanaman jagung berkurang menjadi 3 861 433
ha (BPS 2012), maka untuk memenuhi permintaan jagung nasional penurunan
luasan lahan pertanaman jagung harus diimbangi dengan produktivitas hasil yang
tinggi. Produktivitas hasil yang tinggi dapat dicapai dengan penggunaan benih bermutu.
Proses pengeringan yang lambat merupakan salah satu kendala yang dihadapi
produsen benih dalam rangka penyediaan benih jagung yang bermutu. Menurut
Babiker et al. (2010) pengeringan yang lambat dapat mengakibatkan rendahnya
viabilitas benih yang dihasilkan. Kadar air benih yang tinggi menyebabkan inisiasi
perkecambahan serta meningkatkan serangan fungi, sehingga menyebabkan benih
kehilangan viabilitasnya.
Pengeringan yang lambat juga mengakibatkan menurunnya kapasitas produksi
benih, akibatnya pemenuhan kebutuhan benih kepada konsumen menjadi terhambat.
Upaya yang ditempuh untuk meningkatkan laju pengeringan adalah meningkatkan
suhu udara pengeringan. Chakraverty dan Singh (2001) melaporkan bahwa suhu
udara pengeringan di atas 50 °C menyebabkan protein terdenaturasi. Justice dan
Bass (2002) juga menyatakan bahwa suhu udara pengeringan di atas 50 °C dapat
meningkatkan laju evaporasi benih, namun dapat mengakibatkan tekanan kelembaban
menjadi berlebihan sehingga merusak embrio dan menyebabkan benih kehilangan
viabilitasnya.
Perlakuan prapengeringan perlu ditambahkan untuk mempertahankan viabilitas
benih. Prapengeringan dapat dilakukan dengan cara menghembuskan udara suhu
kamar menggunakan mesin blower dan dilakukan sebelum benih jagung diberikan
perlakuan udara panas, sehingga proses evaporasi berlangsung secara bertahap.
Perumusan Masalah
Proses pengeringan yang lambat merupakan salah satu kendala yang dihadapi
produsen benih dalam rangka penyediaan benih jagung bermutu. Tingginya kadar
air benih menyebabkan inisiasi perkecambahan serta meningkatkan serangan fungi,
sehingga mengakibatkan benih kehilangan viabilitasnya. Pengeringan yang lambat

2
juga menyebabkan turunnya kapasitas produksi, akibatnya pemenuhan kebutuhan
benih kepada konsumen menjadi terhambat dan menyebabkan meningkatnya biaya
produksi.
Salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan laju pengeringan adalah
meningkatkan suhu udara pengeringan. Suhu tinggi pada proses pengeringan dapat
meningkatkan laju pengeringan, sehingga proses pengeringan dapat berlangsung
lebih cepat. Suhu tinggi pada proses pengeringan juga mempunyai resiko.
Benih dengan kadar air tinggi apabila langsung dikeringkan dengan suhu tinggi
menyebabkan senyawa-senyawa kimia di dalam benih menjadi rusak, akibatnya
viabilitas benih menjadi rendah.
Perlakuan prapengeringan perlu ditambahkan, sehingga proses evaporasi
berlangsung secara bertahap. Manfaat lain perlakuan prapengeringan adalah dapat
menghemat biaya produksi. Proses evaporasi selama perlakuan prapengeringan
menyebabkan turunnya kadar air benih, sehingga penggunaan mesin pemanas
lebih singkat dan konsumsi bahan bakar dapat lebih dihemat.
Kombinasi perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan diduga
cukup efektif untuk meningkatkan laju pengeringan serta mempertahankan viabilitas
benih jagung. Perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui kombinasi yang
optimum antara perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan, sehingga
proses pengeringan berjalan efektif dan efisien.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah meningkatkan efisiensi pengeringan benih jagung
melalui pengembangan rancangan sistem pengeringan dan melakukan kombinasi
perlakuan prapengeringan dengan suhu udara pengeringan untuk mendapatkan
mutu benih yang maksimum.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan alternatif metode pengeringan
benih jagung, sehingga proses pengeringan berjalan efektif dan efisien.
Ruang Lingkup Penelitian
Benih jagung yang digunakan dalam percobaan pengeringan adalah benih
jagung yang masih terdapat pada tongkol jagung, sehingga percobaan pengeringan
yang dilakukan masih berupa pengeringan tongkol jagung. Percobaan dilakukan
menggunakan 4 set mini box dryer.
Benih jagung yang digunakan dalam percobaan adalah benih jagung varietas
BISI 222, dengan kadar air awal berkisar 30-33% dan dikeringkan sampai kadar
air 11-12%. Benih jagung yang digunakan dalam percobaan merupakan benih
jagung yang dipanen pada bulan Juni 2012 dan diperoleh dari lahan pertanian di
desa Sawentar, Blitar, Jawa Timur.
Penelitian menganalisis pengaruh perlakuan prapengeringan dan suhu udara
pengeringan terhadap mutu fisik dan fisiologis benih jagung, serta menganalisis
kelayakannya apabila perlakuan pengeringan tersebut dikembangkan. Metode
analisis kelayakan menggunakan analisis B/C Ratio.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Benih Jagung
Secara struktural biji jagung yang telah matang terdiri atas 4 bagian utama,
yaitu: perikarp, embrio, endosperma (cadangan makanan), dan tip cap. Perikarp
merupakan lapisan pembungkus biji yang berubah cepat selama proses pembentukan
biji, berfungsi menjaga embrio dari organisme pengganggu dan mencegah kehilangan
air.
Inglett (1987) menyatakan bahwa Embrio merupakan miniatur tanaman
yang terdiri atas: plumula, radikula, scutellum, dan koleoptil. Bewley dan Black
(1985) juga menyatakan bahwa embrio terbentuk dari penggabungan gamet jantan
dan gamet betina. Endosperma terbentuk dari perpaduan antara satu sel generatif
jantan dan dua inti polar. Endosperma berperan sebagai cadangan makanan. Tip cap
adalah bagian yang menghubungkan biji dengan janggel. Struktur benih jagung
disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur benih jagung
Benih jagung memiliki lapisan aleuron yang terbentuk pada saat benih
mencapai periode pemasakan biji. Lapisan aleuron terletak diantara kulit biji
dengan endosperma (Bewley dan Black 1985).
Justice dan Bass (2002) menyatakan bahwa embrio benih jagung lebih
terlindung dibandingkan dengan embrio benih kacang-kacangan. Cadangan makanan
pada jagung disimpan pada endosperma, sedangkan pada kacang-kacangan disimpan
pada kedua kotiledon atau keping biji.
Jagung tergolong tanaman serealia yang mengandung karbohidrat. Karbohidrat
bersifat higroskopis, sehingga mudah menyerap dan menahan air dari lingkungannya
(Justice dan Bass 2002). Kandungan asam lemak yang dimiliki benih jagung (oleat
dan linoleat) mudah teroksidasi baik secara spontan maupun enzimatis, sehingga
dapat menurunkan viabilitas benih (Copeland dan Mc Donald 2001).
Vigor Benih
Vigor benih merupakan kemampuan benih untuk tumbuh normal dalam
kondisi optimum maupun suboptimum (Sadjad et al. 1999). Vigor adalah karakter
benih yang ditunjukkan melalui kecepatan dan keseragaman pertumbuhan benih,

4
kemampuan benih untuk tumbuh normal pada kondisi suboptimum, dan viabilitasnya
tetap tinggi setelah disimpan (ISTA 2010).
Vigor benih merupakan karakter kuantitatif yang dikendalikan oleh gen-gen
(Qun et al. 2007). Soltani et al. (2001), diacu dalam Qun et al. (2007) melaporkan
bahwa genotipe benih berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah, berat kering
kecambah normal, dan keserempakan tumbuh.
Menurut Copeland dan Mc Donald (2001) dan Qun et al. (2007) vigor benih
ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu: komposisi genetik benih, lingkungan selama
perkembangan benih, dan lingkungan penyimpanan benih. TeKrony dan Hunter
(1995) juga menyatakan bahwa genotipe benih jagung berpengaruh nyata terhadap
vigor benih.
Keadaan suboptimum (misalnya: kekeringan, rendahnya kandungan unsur
hara dalam tanah, dan suhu ekstrim di lingkungan) yang tidak menguntungkan di
lapangan dapat menambah segi kelemahan benih dan mengakibatkan turunnya
persentase perkecambahan serta lemahnya pertumbuhan selanjutnya (Sadjad 1993).
Vigor benih dicerminkan oleh dua informasi tentang viabilitas, masing-masing
kekuatan tumbuh dan daya simpan benih (Mugnisjah 1990).
Vigor daya simpan adalah suatu parameter vigor benih yang ditunjukkan
dengan kemampuan benih untuk disimpan dalam keadaan suboptimum (misalnya:
fluktuasi suhu dan kelembaban udara ruang simpan yang tinggi). Benih yang
memiliki vigor daya simpan tinggi mampu disimpan untuk periode simpan yang
normal dalam keadaan suboptimum dan akan lebih panjang daya simpannya jika
disimpan dalam ruang simpan dengan kondisi yang optimum (Sadjad et al. 1999).
Lestari dan Mariska (2006) menyatakan bahwa mekanisme vigor benih di
penyimpanan berkaitan dengan kemampuan benih mengatur cadangan makanan
agar tetap tinggi dan enzim-enzim tidak mengalami kerusakan.
Vigor kekuatan tumbuh merupakan vigor benih pada periode III (periode
kritikal) dimana benih mampu tumbuh di lapang untuk menjadi tanaman normal
dan berproduksi normal pada kondisi suboptimum atau mampu berproduksi di
atas normal pada kondisi optimum (Sadjad et al. 1999). Lestari dan Mariska
(2006) menambahkan bahwa mekanisme terbentuknya kekuatan tumbuh benih
dalam menghadapi kondisi kekeringan adalah mengatur proses metabolisme di
dalam benih dengan membentuk senyawa prolin dan akar lebih panjang.
Menurut Sadjad et al. (1999) vigor kekuatan tumbuh dapat dinyatakan dalam
tiga tolok ukur yaitu kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh, dan vigor spesifik.
Kecepatan tumbuh diperhitungkan sebagai akumulasi kecepatan tumbuh setiap
hari dalam unit tolok ukur persentase per hari. Benih vigor menunjukkan nilai
kecepatan tumbuh yang tinggi, karena mampu berkecambah cepat pada waktu
yang relatif lebih singkat. Benih yang kurang vigor akan berkecambah normal
untuk jangka waktu yang lebih lama.
Kecepatan tumbuh diukur dengan jumlah tambahan perkecambahan setiap
hari atau etmal dalam kurun waktu perkecambahan pada kondisi optimum. Unit
peubah kecepatan tumbuh adalah % per hari atau % per etmal. Secara teoritis,
kecepatan tumbuh maksimal adalah 50% per etmal apabila benih tumbuh normal
100% sesudah dua etmal (Sadjad 1993).
Ilyas (1986) melaporkan bahwa peubah kecepatan tumbuh benih berkorelasi
paling erat dengan produksi kedelai per hektar dibandingkan daya berkecambah,
keserempakan tumbuh, tinggi bibit, tinggi tanaman, dan jumlah buku produktif.

5
Sadjad et al. (1999) juga menyatakan kecepatan tumbuh benih lebih berpengaruh
terhadap vigor kekuatan tumbuh, karena pertumbuhan vegetatif berikutnya
menunjukkan lebih berdampak oleh kecepatan tumbuh benih daripada tolok ukur lain.
Hasil penelitian Saenong (1986) pada benih jagung dan kedelai menunjukkan
bahwa benih jagung dan kedelai yang dipanen dalam variasi umur dari 76 hari
sampai 111 hari untuk jagung dan 101 hari untuk kedelai menunjukkan pola
kenaikan nilai kecepatan tumbuh benih, sehingga kecepatan tumbuh benih juga
dapat diaplikasikan untuk perkiraan tercapainya masak fisiologis.
Benih bervigor tinggi akan menunjukkan keragaan yang baik di lapangan
(Qun et al. 2007). Benih yang memiliki vigor rendah akan berakibat terjadinya
kemunduran yang cepat selama penyimpanan benih. Semakin sempitnya keadaan
lingkungan dimana benih dapat tumbuh, maka akan mengakibatkan kecepatan
berkecambah benih menurun, kepekaan akan serangan hama dan penyakit meningkat,
serta meningkatnya jumlah kecambah abnormal dan rendahnya produksi tanaman
(Sadjad 1993).
Qun et al. (2007) menambahkan bahwa sintesis protein embrio cenderung
lebih rendah pada benih yang vigornya rendah. Sattler et al. (2004) juga menyatakan
bahwa apabila vitamin E di dalam benih terdegradasi, maka menyebabkan daya
simpan benih menjadi rendah.
Pengujian vigor benih lebih mencerminkan keragaan benih di lapang daripada
uji daya berkecambah, dikarenakan uji daya berkecambah meniadakan kondisi
suboptimum yang terjadi di lapang (Qun et al. 2007). Metode uji vigor benih
dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: uji pada kondisi cekaman, uji
biokimia, dan uji pertumbuhan serta evaluasi kecambah. Uji vigor yang termasuk
biokimia adalah uji konduktivitas listrik. Metode pengusangan cepat (AAT) termasuk
dalam uji kondisi cekaman (Venter 2000).
Metode uji vigor benih dapat diterapkan setelah memenuhi beberapa syarat
diantaranya metode tersebut harus murah, mudah dilakukan, tepat guna, bersifat
obyektif, dapat dikembangkan dan berkorelasi dengan pertumbuhan benih di
lapang (Copeland dan Mc Donald 2001).
Pengusangan Cepat pada Benih
Pengusangan cepat merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
pengujian vigor benih. Pengusangan cepat adalah percepatan laju kerusakan benih
dengan perlakuan suhu dan kelembaban udara tinggi (95%), sehingga kadar air
meningkat dan menyebabkan kemunduran benih lebih cepat (ISTA 2010).
Sadjad et al. (1999) menyatakan bahwa simulasi daya simpan dilakukan
dengan cara merekayasa faktor fisik kondisi simpan secara nyata (ekonik) maupun
tidak nyata (simbolik). Daya simpan benih ortodoks menurun akibat suhu dan
kelembaban nisbi udara yang tinggi, sehingga untuk mengetahui daya simpannya
dilakukan rekayasa pengusangan cepat, yaitu dengan meninggikan kedua faktor
tersebut secara ekstrim, sehingga terjadi devigorasi secara cepat.
Suhu yang tinggi selama proses pengusangan dapat meningkatkan proses
metabolisme benih, sedangkan kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan kadar
air benih sehingga mengakibatkan aktivitas enzim hidrolitik dan respirasi benih
meningkat. Justice dan Bass (2002) menyebutkan bahwa semakin lama proses

6
respirasi berlangsung, maka semakin banyak pula cadangan makanan benih yang
digunakan.
Perombakan cadangan makanan benih menyebabkan terjadinya serangkaian
proses metabolisme, sehingga dapat menurunkan viabilitas benih. Belo dan Suwarno
(2012) juga menyatakan bahwa kondisi udara yang lembab dan panas mengakibatkan
proses metabolisme benih berjalan cepat, sehingga menyebabkan berkurangnya
energi, akibatnya deteriorasi benih menjadi lebih cepat.
Demir dan Mavi (2010) menyatakan bahwa benih mengalami kerusakan
akibat perlakuan kelembaban udara yang tinggi karena benih adalah makhluk
hidup yang apabila disimpan pada kondisi suboptimum (suhu dan kelembaban
udara tinggi) terjadi proses katabolisme yaitu peroksidasi lipid yang mengakibatkan
kerusakan membran serta menghasilkan produk sampingan yang beracun sehingga
menyebabkan benih mengalami penurunan vigor. Degradasi membran menyebabkan
(1) hilangnya kontrol permeabilitas membran, ditunjukkan meningkatnya nilai DHL
(Daya Hantar Listrik), (2) hilangnya energi yang dibutuhkan pada proses biosintesis
dan kecepatan respirasi bertambah, (3) cadangan makanan di embrio habis, (4)
viabilitas dan vigor benih menurun, (5) kehilangan resistensi pada kondisi stres
lingkungan, dan (6) mempercepat proses deteriorasi benih (Addai dan Katanka 2006).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan kelembaban
udara yang tinggi dapat menurunkan viabilitas benih dengan cepat, sehingga dapat
digunakan untuk menduga vigor daya simpan benih. Peng et al. (2011) melaporkan
bahwa kondisi pengusangan cepat untuk benih gandum yang optimal adalah suhu
55 °C dan kelembaban udara 90%. Ashraf dan Habib (2011) menyatakan bahwa
suhu 41 °C dan kelembaban udara 100% merupakan kondisi yang optimum pada
pengusangan benih Fraxinus excelsior.
Pengusangan cepat juga dapat dilakukan secara kimiawi dengan cara merendam
benih dalam cairan etanol atau metanol. Hasil penelitian Belo dan Suwarno (2012)
menunjukkan bahwa benih padi yang direndam dalam larutan etanol 96% selama
4.0 menit daya berkecambahnya turun menjadi 60%, sedangkan apabila direndam
selama 4.4 menit daya berkecambahnya turun menjadi 50%. Farooq et al. (2006)
juga melaporkan bahwa benih padi varietas Super-Basmati yang direndam dalam
larutan etanol selama 48 jam akan mengalami kematian, meskipun kadar etanolnya
sangat rendah, yaitu: 1% hingga 15%.
Pengusangan cepat secara kimiawi juga dapat dilakukan menggunakan uap
etanol. Belo dan Suwarno (2012) melaporkan bahwa padi gogo (varietas Wairarem,
Batutegi, dan Limboto) dapat mempertahankan daya berkecambah dan indeks
vigornya relatif paling lama, dengan waktu pengusangan 2.4 jam sampai 4.8 jam
dan 0.8 jam sampai 4.8 jam dalam deraan uap etanol, dibandingkan padi sawah
(varietas Membramo dan Inpari-1) 3.2 jam dan padi rawa (varietas Seilalan, Inpara1 dan Batanghari) 1.6 jam sampai 3.2 jam.
Pian (1981) menyatakan bahwa perlakuan benih dengan uap etanol dapat
meningkatkan kandungan etanol dalam benih yang mengakibatkan perubahan sifat
molekul makro yang berpengaruh terhadap enzim, membran sel, mitokondria dan
organel lainnya yang berperan dalam perkecambahan benih.
Benih jagung yang dimundurkan secara cepat dengan perlakuan uap etanol
menunjukkan peningkatan kadar alkohol dalam benih, dan berpengaruh sangat
nyata terhadap mundurnya viabilitas benih. Manfaat dari pengusangan cepat benih

7
secara kimia adalah waktu yang digunakan lebih cepat dan cendawan tidak mampu
berkembang (Pian 1981).
Pengeringan
Pengeringan adalah proses pengeluaran air dari suatu bahan pertanian menuju
kadar air kesetimbangan dengan udara sekeliling atau pada tingkat kadar air dimana
mutu bahan pertanian dapat dijaga dari serangan jamur, aktivitas serangga dan
enzim (Henderson dan Perry 1976). Surki et al. (2010) menyatakan bahwa terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pengeringan, yaitu: suhu udara,
kelembaban udara, dan kecepatan udara pengeringan.
Justice dan Bass (2002) menambahkan bahwa syarat pengeringan benih
adalah evaporasi uap air dari permukaan benih harus diikuti oleh perpindahan uap
air dari bagian dalam ke permukaan benihnya. Surki et al. (2010) mengemukakan
bahwa kurangnya kecepatan aliran udara pada proses pengeringan akan mengakibatkan
lingkungan menjadi jenuh, sehingga air yang berada di dalam benih tidak dapat
keluar.
Summer dan Williams (2009) juga menyatakan bahwa dalam pengeringan,
udara memiliki dua fungsi, yaitu sebagai medium pemanas dan sebagai medium
pembawa air. Henderson dan Pabis (1961) menjelaskan bahwa mekanisme
pengeringan sering diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan
terdiri atas air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan bahan dan
yang pertama kali mengalami penguapan.
Menurut Henderson dan Perry (1976) proses pengeringan terdiri atas dua
periode yaitu periode pengeringan dengan laju tetap/konstan dan periode dengan
laju menurun. Periode pengeringan dengan laju tetap merupakan periode perpindahan
massa air yang berasal dari permukaan bahan.
Perpindahan massa air terjadi karena perbedaan tekanan uap air antara
permukaan bahan dengan udara pengering. Perpindahan massa air akan terus
berlangsung sampai air bebas pada permukaan telah hilang. Pengeringan dengan
laju menurun akan berlangsung setelah pengeringan laju konstan selesai (Henderson
dan Perry 1976).
Proses hilangnya uap air juga dapat dijelaskan bahwa dengan tingginya
suhu udara di sekitar bahan akan mengakibatkan gaya dorong antara permukaan
bahan dengan udara ruang pengering semakin meningkat. Semakin besar perbedaan
suhu antara udara ruang pengering dengan permukaan bahan, maka semakin
tinggi gaya dorong yang terjadi, sehingga mengakibatkan penguapan kadar air
dari bahan (Irawati 2008). Migrasi air dan uap terjadi karena perbedaan konsentrasi
atau tekanan uap pada bagian dalam dengan bagian luar biji (Thahir 1986).
Pengeringan dengan laju menurun akan berhenti hingga tercapai kadar air
kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan merupakan kadar air terendah yang dapat
dicapai pada suhu dan kelembaban tertentu (Henderson dan Perry 1976).
Syaiful (2007) mengemukakan bahwa pengeringan terjadi melalui penguapan
cairan dengan pemberian panas ke bahan basah yang akan dikeringkan. Sumber
panas pada proses pengeringan dapat disediakan melalui konveksi (pengering
langsung), konduksi (pengering sentuh atau tak langsung), dan radiasi. Seluruh
cara pengeringan, kecuali dielektrik, menyediakan panas pada objek yang dikeringkan

8
sehingga panas harus berdifusi ke dalam padatan dengan cara konduksi. Cairan
harus bergerak ke atas bahan sebelum diangkut keluar oleh udara pembawa.
Laju Pengeringan
Laju pengeringan adalah banyaknya massa air yang dapat dikeluarkan dari
bahan per satuan waktu. Laju penurunan kadar air sangat cepat pada awal proses
karena kandungan air bahan masih tinggi, akibatnya perbedaan antara kadar air
bahan dengan kadar air pada saat kadar air setimbang sangat besar, sehingga
perbedaan tekanan uap pada permukaan bahan dengan tekanan uap air pada ruang
semakin besar, akibatnya laju transfer massa akan semakin cepat (Falade et al.
2006; Irawati et al. 2008; Ndukwu 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya laju pengeringan adalah
kadar air awal bahan, suhu udara pengeringan, kecepatan udara pengeringan,
kelembaban udara, dan lama waktu pengeringan (Chakraverty dan Singh 2001;
Madamba dan Yabes 2004). Hasil penelitian Seifi dan Alimardani (2010) pada
biji jagung menunjukkan bahwa besar kecilnya air yang diuapkan dari dalam biji
sangat dipengaruhi oleh porositas biji. Jumlah air yang diuapkan pada biji dengan
porositas rendah lebih sedikit daripada jumlah air yang diuapkan pada biji dengan
porositas tinggi.
Doymaz (2004a) juga melaporkan bahwa peningkatan suhu udara pengeringan
menyebabkan meningkatnya laju pengeringan biji kacang hijau. Suhu udara tinggi
mengakibatkan massa air yang diuapkan semakin banyak, sehingga pengeringan
lebih cepat. Laju pengeringan biji kacang hijau pada berbagai taraf suhu udara
pengeringan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Laju pengeringan biji kacang hijau pada berbagai taraf suhu udara
pengeringan dengan kecepatan udara pengeringan 1 m/s (Doymaz
2004a)
Mesin Pengering Tipe Tumpukan
Pengeringan tipe tumpukan terdiri atas 2 jenis, yaitu: dapat dipindah-pindahkan,
dan tidak dapat dipindah-pindahkan. Mesin pengering tipe tumpukan yang dapat

9
dipindahkan terkadang disertai alat pemanas. Mesin pengering tumpukan dapat
berupa gerbong yang dirancang khusus, sehingga memungkinkan udara yang telah
dipanaskan dapat naik ke atas melalui tumpukan benih. Mesin pengering tipe
tumpukan yang tidak dapat dipindahkan biasanya berupa bin, drum lajur, atau
drum berputar (Justice dan Bass 2002).
Reay dan Baker (1985) menyatakan bahwa pengering tipe tumpukan
memiliki beberapa keuntungan, yaitu: konstruksinya sederhana, biaya perawatan
dan pembuatannya relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan tipe-tipe pengering
yang lain. Beberapa contoh mesin pengering tipe tumpukan yaitu: Batch Fluidized
Bed Dryers, Well-Mixed Fluidized Bed Dryers, Internally Heated Fluidized Bed
Dryers, Vibrated Fluidized Bed Dryers, dan Fluidized Bed Dryers Granulator.
Karakteristik Kipas pada Mesin Blower
Berdasarkan karakteristik alur dan pola aliran udara yang melewati kipas,
secara garis besar kipas pada mesin blower dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu:
sentrifugal dan aksial. Kipas sentrifugal menggunakan perputaran impeller untuk
meningkatkan kecepatan aliran udara. Pergerakan udara dari pusat impeller ke ujung
baling-baling menghasilkan energi kinetik. Energi kinetik akan menaikkan tekanan
statik berupa aliran udara yang pelan sebelum dilepaskan (Henderson et al. 1997).
Kipas sentrifugal paling umum digunakan oleh industri, karena selain dapat
menghasilkan tekanan tinggi, efisiensinya juga tinggi dan dapat dioperasikan lebih
jauh untuk berbagai kondisi dengan tujuan tertentu (Niam 2011). Loewer et. al.
(1994) menyatakan bahwa kinerja kipas sentrifugal tergantung pada diameter kipas,
kecepatan dan jenis bilah kipas (melengkung ke depan atau ke belakang).
Pengoperasian kipas sentrifugal lebih aman, namun biaya investasinya lebih mahal
daripada kipas aksial.
Kipas aksial sesuai dengan namanya menggerakkan aliran udara melalui
sumbu kipas. Loewer et. al. (1994) menambahkan bahwa kipas aksial terdiri atas
beberapa bilah lebar yang melekat pada pusat kipas. Udara akan tertekan karena
adanya gaya angkat aerodinamik yang dihasilkan dari baling-baling kipas seperti
pada propeller dan sayap pesawat terbang. Keuntungan dari kipas aksial adalah
aliran yang dihasilkan lebih seragam, biaya rendah, dan ringan (Henderson et al.
1997).
Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu udara pengeringan mempengaruhi laju penguapan air bahan dan mutu
pengeringan. Jumlah massa air pada biji yang dapat diuapkan sangat dipengaruhi
oleh kadar air biji, kelembaban udara, dan suhu udara pengeringan (Summer dan
Williams 2009). Semakin tinggi suhu udara pengeringan, maka jumlah uap air
yang diuapkan akan semakin besar, sehingga waktu pengeringan menjadi lebih
singkat (Madamba dan Yabes 2004; Falade et al. 2006).
Doymaz (2004b) menyatakan bahwa kadar air bahan akan turun secara cepat
seiring dengan meningkatnya suhu udara pengeringan. Kaleemullah dan Kailappan
(2005) menyatakan bahwa peningkatan suhu udara pengeringan mengakibatkan
kelembaban udara menjadi rendah, sehingga menyebabkan perpindahan massa air

10
dari bahan ke lingkungan menjadi lebih besar, akibatnya laju pengeringan menjadi
lebih cepat.
Tujuan utama proses pengeringan adalah mempertahankan viabilitas benih.
Copeland dan Mc. Donald (2001) melaporkan bahwa perlakuan suhu udara
pengeringan di atas 60 °C saat kadar air benih jagung masih di atas 24%
mengakibatkan benih kehilangan viabilitasnya.
Chakraverty dan Singh (2001) menambahkan bahwa perlakuan suhu tinggi
selama proses pengeringan akan mengakibatkan kerusakan senyawa-senyawa kimia
yang terdapat dalam benih, yaitu: (1) Protein mengalami denaturasi dan koagulasi
pada suhu di atas 50 °C, (2) Pengeringan dengan suhu di atas 60 °C mengakibatkan
kualitas pati menjadi rusak, (3) Perlakuan panas dengan suhu di atas 70 °C akan
mengakibatkan lemak mengalami dekomposisi. Aktivitas enzimatik di dalam lemak
akan aktif pada kisaran suhu 40-45 °C dan akan berhenti pada kisaran suhu 80-100 °C.
Kelembaban udara mempengaruhi kemampuan udara untuk memindahkan
uap air. Secara umum, kelembaban udara adalah ukuran kandungan air di udara.
Kelembaban udara dapat dinyatakan dalam dua pengertian yaitu kelembaban
relatif dan kelembaban mutlak. Kelembaban mutlak adalah massa uap air dalam
tiap satuan massa udara kering. Kelembaban udara relatif adalah perbandingan
kelembaban udara tertentu dengan kelembaban udara jenuh pada kondisi dan
tekanan yang sama (Taib dan Wiraatmadja 1988, diacu dalam Hutasoit 2010).
Kelembaban relatif menentukan kemampuan udara pengering untuk
menampung uap air bahan. Semakin rendah kelembaban relatif, maka makin
banyak uap air yang diserap udara pengering, demikian juga sebaliknya (Taib dan
Wiraatmadja 1988, diacu dalam Hutasoit 2010).
Hasil penelitian Summer dan Williams (2009) pada pengeringan biji jagung
dengan suhu 38 °C menunjukkan bahwa udara pengering dengan kelembaban
udara 50% lebih banyak menyerap uap air biji jagung daripada udara pengering
dengan kelembaban udara 75%. Brooker et al. (1974) menyatakan bahwa
kelembaban udara dan suhu pengeringan akan menentukan tekanan uap jenuh.
Perbedaan tekanan uap air pada udara pengering dan permukaan bahan akan
mempengaruhi laju pengeringan. Proses pengeringan yang baik memerlukan
kelembaban udara yang rendah sesuai dengan kondisi bahan yang akan dikeringkan.
Kerusakan Mekanis
Kerusakan mekanis pada benih dapat terjadi pada saat prapanen, selama panen,
dan setelah panen. Kerusakan mekanis benih dapat berupa retaknya kulit benih, pecah,
serta patahnya kotiledon dan poros embrio. Akibat yang ditimbulkan dari kerusakan
mekanisk yaitu: (1) akibat langsung, hasil benturan atau luka sehingga benih tidak
mampu berkecambah, (2) akibat tersembunyi, berupa kemunduran benih, (3) akibat
tidak langsung, pecahnya kulit benih menyebabkan pengaruh kimia dan fumigasi
menjadi kurang baik (Copeland dan Mc. Donald 2001; Shahbazi et al. 2011).
Baryeh (2002) melaporkan bahwa kerusakan fisik pada biji akan meningkat
seiring dengan meningkatnya kecepatan putaran mesin perontok. Hasil penelitian
Khazaei (2008) pada biji kacang-kacangan menunjukkan bahwa kerusakan fisik
biji dipengaruhi oleh kecepatan putaran mesin perontok dan kadar air biji. Apabila
kecepatan mesin perontok naik dari 5 m/s menjadi 12 m/s, maka kerusakan fisik
biji akan meningkat sebesar 10.95 kali. Setiap kecepatan mesin perontok naik 1

11
m/s (pada kecepatan 5 m/s menjadi 7.5 m/s), maka persentase kerusakan biji naik
8%. Pengaruh kecepatan mesin perontok dan kadar air terhadap kerusakan fisik
biji disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh kadar air dan kecepatan putaran mesin terhadap kerusakan fisik
biji kacang-kacangan
Peubah pengamatan
Kerusakan fisik (%)
Kadar air (%)
5
27.50a
10
24.75ab
15
18.92c
20
21.67bc
Kecepatan putaran mesin (m/s)
5
3.25d
7.5
19.08c
10
32.83b
12
37.50a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata (P = 0,01). Sumber:
Khazaei (2008)

Sosnowski (2006), diacu dalam Khazaei (2008) melaporkan bahwa kerusakan
biji kacang-kacangan meningkat 35% apabila kecepatan putaran mesin meningkat
dari 7 m/s menjadi 27 m/s. Penelitian Shahbazi (2012) pada benih gandum
menunjukkan bahwa peningkatan kecepatan putaran mesin dari 10 m/s menjadi 40
m/s mengakibatkan kerusakan fisik benih meningkat dari 0.48% menjadi 47.59%.
Pengaruh kadar air terhadap kerusakan fisik biji yaitu semakin rendah kadar
air biji, maka kerusakan fisik yang ditimbulkan semakin besar. Hasil penelitian
Khazaei (2008) pada biji kacang-kacangan juga menunjukkan bahwa kerusakan
fisik biji terbesar dihasilkan pada biji yang dikeringkan sampai kadar air 5%,
sedangkan kerusakan minimum dihasilkan pada biji yang dikeringkan sampai
kadar air 20%. Peningkatan kadar air dari 5% menjadi 15% menyebabkan persentase
kerusakan fisik biji turun 1.4 kali (Tabel 1).
Hasil penelitian Shreekant et al. (2001) pada benih kedelai menunjukkan
bahwa benih dengan kadar air 12% mempunyai persentase kerusakan fisik lebih kecil
daripada benih dengan kadar air 11% dan 10 %. Sosnowski (2006), diacu dalam
Khazaei (2008) juga menambahkan bahwa biji dengan kadar air 15% mempunyai
persentase kerusakan fisik lebih besar daripada biji dengan kadar air 20%.
Otten et al. (1984) melaporkan bahwa timbulnya biji retak selama proses
pengeringan lebih disebabkan karena kelembaban udara yang rendah selama proses
pengeringan. Persentase biji retak yang dihasilkan pada pengeringan dengan
kelembaban udara 30% adalah kurang dari 4% (pada beberapa taraf suhu udara
pengeringan), sedangkan pengeringan dengan kelembaban udara 20% dan 10%
masing-masing menghasilkan persentase biji retak lebih dari 5% dan 14% (pada
beberapa taraf suhu udara pengeringan). Persentase biji retak selengkapnya
disajikan pada Tabel 2.

12
Tabel 2. Persentase biji retak setelah biji kacang-kacangan dikeringkan pada beberapa
taraf kelembaban udara dan suhu udara pengeringan
Suhu udara pengeringan (°C)
Kelembaban udara (%)
40
50
60
10
17.2
19.3
14.2
20
8.4
9.5
7.0
30
3.6
3.8
3.6
Sumber: Otten et al. (1984)

Faktor-faktor internal benih yang mempengaruhi tingkat kerusakan fisik
benih adalah: densitas benih, bentuk benih, ukuran benih, dan ketebalan perikarp
(Simic et al. 2004; Shahbazi 2012). Bewley dan Black (1985) menyatakan bahwa
benih berukuran kecil cenderung bebas dari kerusakan mekanis dan benih yang
berbentuk bulat mengalami kerusakan mekanis yang lebih kecil dibandingkan benih
yang berbentuk lonjong.
Justice dan Bass (2002) mengemukakan bahwa kerusakan karena benturan
dan pengeringan atau penyimpanan yang tidak tepat bisa nampak pada pengamatan
sekilas, namun bisa juga tidak. Benih dapat menjadi retak-retak di dalamnya karena
mengalami benturan, terlampau kering, atau terkena panas yang tinggi.
Surki et al. (2010) menjelaskan bahwa peningkatan persentase benih retak
sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu pengeringan dan suhu udara pengeringan.
Madamba dan Yabes (2004) juga menyatakan bahwa persentase biji retak sangat
dipengaruhi oleh laju pengeringan. Pengeringan yang berlangsung cepat dapat
meningkatkan persentase biji retak.

3 METODE
Penelitian terdiri atas 3 tahap, yaitu: (1) Perancangan sistem pengeringan,
(2) Optimasi pengeringan benih jagung, dan (3) Analisis ekonomi. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2012 di PT BISI International
Tbk., Kediri, Jawa Timur.
Bahan dan Alat
Perancangan Sistem Pengeringan
Bahan dan peralatan yang digunakan pada perancangan sistem pengeringan
terlampir pada Lampiran 3. Perancangan sistem pengeringan dilaksanakan di
Departemen Electrical & Engineering, PT BISI International, Tbk., Kediri, Jawa
Timur.
Optimasi Pengeringan Benih Jagung
Bahan-bahan yang digunakan terdiri atas: benih jagung hibrida varietas BISI
222 dan minyak solar. Benih jagung yang digunakan dalam percobaan adalah

13
benih jaguung yang masih
m
terdaapat pada tongkol
t
jaguung, sehinggga pengeringan
yang dilakkukan masihh dalam benntuk tongko
ol jagung.
Peraalatan-peralaatan yang digunakan
d
terdiri
t
atas:: 4 set minii box dryerr, alat
pengukur kadar air (m
merk: Dickkey John, tip
pe: Mini GAC),
G
data logger suhu
u dan
kelembabaan udara (m
merk: Testo, tipe 174 H),
H dan term
mometer diigital. Perco
obaan
optimasi pengeringaan benih jaagung dilak
ksanakan di
d Departem
men Field Crop
Processingg, PT BISI Internationaal, Tbk., Keediri, Jawa Timur.
T
Perkecam
mbahan dan
n Pengusan
ngan Benih
h
Bahan-bahan yaang digunakkan terdiri atas:
a
benih jagung
j
hibriida varietass BISI
222, kertaas CD, plasttik, kantongg kasa, dan kertas labell. Peralatan yang digun
nakan
terdiri ataas: alat penngecambah benih, alatt pengusanggan benih, dan termom
meter
digital. Kegiatan pengeecambahan dan
d pengusaangan benih dilaksanakaan di Departtemen
Field Croop Quality Control, PT
T BISI Inteernational, Tbk., Kediiri, Jawa Timur.
T
Alat penguusangan bennih disajikaan pada Gam
mbar 3.

Gambar 3. Alat peng
gusangan benih

Proosedur Ana
alisis Data
Perancan
ngan Sistem
m Pengeringgan
Secaara umum tujuan
t
peranncangan sisstem pengerringan adalaah menghassilkan
sistem penngeringan (mini box drryer) yang mampu
m
mennghasilkan suhu 40, 45
5, 50,
dan 55 °C
C serta meempunyai flleksibilitas tinggi padaa proses penngeringan benih.
b
Fleksibilitaas diartikan bahwa sisteem pengerin
ngan benih yang dihasilkan diharaapkan
dapat mem
mberikan kem
mudahan dallam pengopeerasian, peraawatan, sertaa dapat digun
nakan
pada berbaagai macam
m komoditi pertanian. Perancangan
P
n sistem penngeringan terdiri
t
atas 2 kegiiatan, yaitu: pembuatann dan pengu
ujian mini box
b dryer.
Pembuatann mini box dryer
d
Jum
mlah mini boxx dryer yanng digunakan
n pada perccobaan optim
masi pengerringan
benih jaguung sebanyyak 4 set. Pembuatan
P
4 set mini box dryer dimulai deengan
pembuatann beberapa komponen, yaitu: 8 un
nit bak penggering (dimeensi: 1 m x 1 m x

14
1.2 m),
m 4 unit saluran udaara dan 8 unit pipa aerasi.
a
Gam
mbar kerja kkomponenkompponen mini box dryer disajikan
d
paada Gambarr 4.

(b)
(a)
(c)
Gambaar 4. Gambbar kerja komponen-ko
omponen miini box dryeer
(a) bakk pengeringg, (b) saluran
n udara, (c) pipa aerasii
Kom
mponen-kom
mponen terssebut selanjuutnya dirangkai sehinggga terbentuuk 4 set
mini box dryer. Satu
S set minni box dryerr terdiri atas: 1 unit messin pemanas (merk:
Konggskilde, tipee: SOL 100)), 1 unit mesin blower (merk:
(
Kongskilde, tipee: HVL
55), 2 unit bak pengering,
p
2 unit pipa aerasi,
a
dan 1 unit saluraan udara. G
Gambar
kerjaa 1 set mini box
b dryer disajikan padaa Gambar 5..

m box drryer
Gambar 5. Gambar kerja 1 set mini

Penggujian mini box
b dryer
Pengujiann mini box dryer
d
bertujuuan untuk menghasilka
m
an unit minii box dryer
denggan suhu 40,, 45, 50, dann 55 °C. Penngujian dilak
kukan denggan cara menngeringkan
benihh jagung seebanyak 6000 kg pada masing-mas
m
sing mini boox dryer. Pengamatan
suhuu udara dalaam ruang pemanas
p
dillakukan settiap 3 jam, sehingga total waktu
yangg diperlukann adalah 21 jam.
j

15
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan uji chi-kuadrat (χ2)
dengan taraf nyata 5%. Fauzy (2008) menyatakan bahwa uji χ2 dilakukan untuk
menguji apakah frekuensi yang diobservasi konsisten dengan frekuensi teoritisnya.
Apabila konsisten, maka tidak terdapat perbedaan nyata antara frekuensi yang
diobservasi dengan frekuensi teoritisnya, atau dengan kata lain hipotesis nolnya
dapat diterima. Sebaliknya apabila tidak ada konsistensi, maka hipotesis nolnya
ditolak. Diagram alir kegiatan perancangan sistem pengeringan disajikan pada
Gambar 6.

Gambar 6. Diagram alir perancangan sistem pengeringan

Optimasi pengeringan benih jagung
Percobaan disusun dengan Rancangan Acak Kelompok dua faktor. Faktor
pertama adalah prapengeringan, terdiri atas 4 taraf yaitu: 0, 12, 24, dan 36 jam.
Faktor kedua adalah suhu udara pengeringan, terdiri atas 4 taraf yaitu: 40, 45, 50,
dan 55 °C. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga
didapatkan 48 unit satuan percobaan.
Percobaan diawali dengan proses sortasi benih jagung. Proses sortasi dilakukan
dengan tujuan untuk memisahkan benih jagung (calon benih) dari kotoran, benih
muda, busuk, jamur, varietas lain, serta abnor