Insentif Dalam Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Kuningan.

INSENTIF DALAM PERLINDUNGAN
LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI KABUPATEN KUNINGAN

DANANG PRAMUDITA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Insentif dalam
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Kuningan
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015

Danang Pramudita
NIM H152120031

RINGKASAN
DANANG PRAMUDITA. Insentif dalam Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan di Kabupaten Kuningan. Dibimbing oleh ARYA HADI
DHARMAWAN dan BABA BARUS.
Permasalahan konversi lahan pertanian terutama lahan sawah di Indonesia
sudah menjadi perhatian sejak tahun 1980an. Sebagian besar magnitude proses
alih fungsi lahan berlangsung, khususnya pada kawasan perbatasan kota-desa dan
perbatasan kawasan budidaya-non budidaya. Dari sudut pandang ekonomi
konversi lahan pertanian disebabkan oleh tarikan permintaan lahan untuk kegiatan
non pertanian dan dorongan petani pemilik lahan. Konversi lahan pertanian,
secara langsung berdampak terhadap kehilangan produksi pertanian, kehilangan
lapangan pekerjaan, dan kerugian investasi infrastruktur irigasi terutama untuk
tanaman padi. Upaya penyelamatan lahan pertanian pangan dilakukan Pemerintah
dengan menerbitkan Undang-Undang No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Terbitnya UU No. 41 tahun 2009
merupakan bentuk kewajiban bagi setiap daerah (kabupaten/kota) di Indonesia
untuk melindungi ketersediaan pangannya. Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa
Barat merupakan salah satu kabupaten yang telah menetapkan luas usulan LP2B
di dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan yang didukung dengan Perda
No. 7 tahun 2015 tentang LP2B yang mengatur mengenai penetapan LP2B,
sosialisasi dan pemberiaan insentif.
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah: (1) mengetahui
karakteristik sosial ekonomi di wilayah yang menjadi usulan lahan pertanian
pangan berkelanjutan di Kabupaten Kuningan; (2) menentukan jenis dan
mekanisme insentif yang dapat dilaksanakan untuk melindungi lahan pertanian
pangan berkelanjutan di Kabupaten Kuningan; dan (3) menentukan konsep
pembiayaan untuk perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di
Kabupaten Kuningan. Data dianalisis dengan menggunakan metode statistik
deskriptif, sistem dinamik dan SWOT.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat sembilan kriteria sosial ekonomi
LP2B di Kabupaten Kuningan, yaitu; tingkat konversi lahan, neraca pangan,
ketimpangan pendapatan usahatani dan non usahatani, jumlah rumah tangga
pertanian, jumlah tenaga kerja pertanian, status kepemilikan lahan, kelompok tani,

kebijakan RTRW dan persepsi petani. Petani mempunyai persepsi positif terhadap
program LP2B, sehingga secara umum upaya perlindungan LP2B dapat
dilaksanakan di lokasi penelitian. Kecamatan Ciawigebang dan Kecamatan
Cilimus yang berdasarkan kriteria fisik lahan luas LP2B lebih besar dari
Kecamatan Cibingbin, dari segi sosial ekonomi kurang mendukung.
Berdasarkan analisis jenis insentif, insentif jaringan irigasi menjadi
prioritas pertama yang diinginkan oleh responden di Kecamatan Cibingbin dan
Kecamatan Ciawigebang, sedangkan di Kecamatan Cilimus insentif prioritas
pertama yang diinginkan petani adalah modal usahatani. Hasil simulasi insentif
LP2B menggunakan model dinamik menunjukkan skenario moderat merupakan
skenario yang memberikan hasil terbaik di ketiga kecamatan. Skenario moderat
terdiri dari kebijakan kenaikan harga gabah, pengurangan pajak, perbaikan irigasi

serta pengurangan subsidi pupuk dan benih. Penerapan skenario ini, juga
meningkatkan tingkat kesejahteraan petani yang ditunjukkan oleh nilai NTP. Pada
penerapan skenario moderat, penghapusan subsidi pupuk dan subsidi benih yang
diimbangi dengan kenaikan harga gabah serta perbaikan irigasi mampu
meningkatkan produksi secara signifikan. Subsidi pupuk dan benih yang dihapus
pada skenario moderat dapat dialokasikan untuk perbaikan infrastrukutur
pertanian

Dari aspek pembiayaan, kebutuhan dana untuk pelaksanaan insentif LP2B
yang paling besar adalah kebutuhan untuk pembangunan irigasi teknis, diikuti
oleh penyediaan modal dan subsidi pupuk. Konsep pembiayaan yang bisa
dilakukan diantaranya adalah transfer fiskal pusat-daerah, transfer fiskal antar
daerah (propinsi ke kabupaten atau antar kabupaten) yang diberikan dalam bentuk
hibah, dana masyarakat dan dana dari pihak swasta. Berdasarkan hasil analisis
SWOT sumber dana untuk pelaksanaan insentif LP2B di Kabupaten Kuningan
masih didominasi sumber dana dari APBN dan APBD I.
Kecamatan Cilimus merupakan prioritas perlindungan utama dalam
pelaksanaan LP2B dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya. Laju konversi
yang tinggi dan kesesuaian kriteria sosial ekonomi yang rendah menjadi informasi
pendukung pelaksanaan prioritas insentif LP2B. Kecamatan Ciawigebang
merupakan prioritas perlindungan kedua dengan penerapan skenario moderat,
sedangkan Kecamatan Cibingbin menjadi prioritas terakhir dengan skenario yang
rendah. Selain penerapan insentif, dari hasil penelitian juga perlu dibuat adanya
disinsentif terutama di Kecamatan Cilimus. Disinsentif ditujukan kepada pihak di
luar petani yaitu pengusaha yang ingin mengkonversi lahan pertanian menjadi
hotel dan perumahan. Disinsentif terhadap pelaku usaha dapat diberikan melalui
pemberian pajak atau retribusi yang tinggi terhadap lahan yang dikonversi,
pengetatan izin dan juga pembatasan pembangunan sarana transportasi dan

fasilitas pendukung kegiatan perekonomian sektor non pertanian. Alternatif
pembiayaan LP2B dapat dilakukan melalui dana transfer antar wilayah (berdasar
pada nilai surplus ekonomi pangan), dana masyarakat serta dana CSR badan
usaha.
Kata Kunci : insentif, konversi lahan, LP2B, sosial ekonomi

SUMMARY
DANANG PRAMUDITA. Incentive on Land Preservation Program in Kuningan
Regency. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and BABA BARUS.
Agricultural land conversion in Indonesia has became a major concern
since 1980s. The magnitudes of land conversion mostly happen in the border of
rural and urban area and border of farm and non farm area. From an economic
perspective agricultural land conversion is caused by the demand for nonagricultural use as well as farmers encouragement to sell the agricultural land.
Land conversion have a great impact to food production, loss of ecological
function, agriculture unemployment, and loss of irrigation infrastructure. Law No.
41 year 2009 about sustainable agricultural land protection (LP2B) is issued by
Government in order to preserve agricultural land from conversion. The issuance
of LP2B law is a mandatory approach to each region in Indonesia to maintain its
food production by protecting agricultural land. Kuningan regency, West Java
Province establish a potential area of LP2B in the Spatial Planning (RTRW)

regulation (Perda) No. 26 year 2011, regulation No. 7 year 2015 about LP2B. The
aims of this research are: (1) to identify socioeconomic characteristics in the area
of land preservation program (LP2B) in Kuningan Regency; (2) to determine the
incentives for LP2B program; and (3) to analyze LP2B funding policies in
Kuningan Regency. Data are analyzed by descriptive statistics, likert scale, system
dynamic and SWOT.
Based on the result, there are nine socioeconomic indicator on land
preservation program (LP2B) in Kuningan regency, namely; land conversion rate,
food balance, disparity between farm and non-farm income, number of agriculture
households, agriculture labor, farmers' groups, spatial planning policies and
farmers perceptions. Farmers have a positive perception on LP2B program, thus
basically LP2B program can be established in study area. Analysis of socioeconomic characteristic on land preservation program (LP2B) give an interesting
information. Ciawigebang and Cilimus Sub-district with a larger area of LP2B
than Cibingbin Sub-distrcit, have a low support of socio economic characteristic.
Meanwhile Cibingbin Sub-district have a high support of socio economic
characteristic.
Incentive in form of irrigation is the main priority which is choosed by the
farmers in Cibingbin and Ciawigebang Sub-distcit. Whereas in Cilimus Subdistrict farmers choose a fincancial incentive as main priority. The dynamic model
simulation of LP2B incentives showed that moderate scenario consist of price
policy, tax reduction, irrigation improvement, with fertilizer and seed subsidy

reduction gives the best results. The scenario also have an impact to farmers
welfare indicated by NTP. Fertilizer and seed subsidy reduction on moderate
scenario were offset by the increase in prices as well as the irrigation
improvement to increase production. The amount of subsidy reduction at
moderate scenario is assumed to be allocated for agriculture infrastructure
improvement.
Funding is one of the main concern in LP2B program, since every step of
program especially incentives need a financial support. The biggest funding
requirements for LP2B incentives in Kuningan Regency is the development of

technical irrigation, followed by the provision of capital and fertilizer subsidy.
Funding concept of LP2B can be made by fiscal transfers from central to local
government, fiscal transfers between regions (provinces to districts or between
districts) in the form of grants, public funds and private sectors. SWOT Analysis
indicate that funding source for implementation LP2B incentive in Kuningan
district are still dominated by funding from national budget (APBN) and regional
budget (APBD I).
Cilimus Sub-district become a high priority in the implementation of LP2B
compared to other Sub-districts. High conversion rate and low socioeconomic
support is a clear information to determine LP2B incentives priority in study area.

Ciawigebang Sub-district is a next priority to protect with application of a
moderate scenario, meanwhile Cibingbin Sub-district is the last priority with low
scenario of incentives. The result confirmed that application of incentives is not
enough to maintain agricultural land, thus government should combine incentives
and disincentives strategy particularly in Cilimus Sub-district. Disincentives are
addressed to parties outside of farmers who want to convert agricultural land into
a hotel and housing. Disincentives can be provided through the high taxes of non
agricultural activities, land use permit tightening, and development restrictions on
transportation facilities and supporting facilities of non-agricultural sectors. Funds
transfer between regions (based on the value of food economiy surplus), CSR
funds from private sector and public funds LP2B financing are the alternatives
fund for LP2B incentives.

Keyword : incentive, land conversion, LP2B, socioeconomic

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

INSENTIF DALAM PERLINDUNGAN
LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN
DI KABUPATEN KUNINGAN

DANANG PRAMUDITA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji Luar Komisi : Dr Ir Setia Hadi, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ialah
perlindungan lahan pertanian, dengan judul Insentif Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Kuningan.
Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulisi mengucapkan rasa terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr selaku ketua komisi
pembimbing dan Bapak Dr Ir Baba Barus, MSc selaku anggota komisi
pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai
dari tahap awal sampai penyelesaian tesis ini
2. Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan masukan dan arahan untuk perbaikan tesis ini.
3. Bapak Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS sebagai ketua Program Studi Ilmu

Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), serta seluruh staff
pengajar di PWD.
4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan
beasiswa kepada penulis
5. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Iwan dari
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kuningan, Bapak
Rosyid dan Bapak Sanusi dari Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Kuningan, serta pegawai di BP4K Kabupaten Kuningan yang telah
membantu selama pengumpulan data.
6. Penulis juga menyampaikan penghargaan kepada petugas BP3K Kecamatan
Cibingbin, Ciawigebang dan Cilimus atas saran, masukan dan bimbingan
selama penelitian. Aparat desa, ketua Kelompok Tani, petani dan masyarakat
di Desa Cibingbin, Desa Citenjo, Desa Geresik, Desa Mekarjaya, Desa
Bandorasa Kulon, dan Desa Lingga Mekar yang telah membantu dalam proses
pengumpulan data.
7. Teman-teman PWD angkatan 2012 khususnya dan seluruh teman-teman PWD
atas doa, dukungan dan bantuan melalui kerjasama yang solid dan kompak
hingga selesainya proses pembelajaran di PWD.
8. Dosen-dosen di Departemen ESL atas bimbingan dan arahannya.
9. Sahabat-sahabatku di Jati’s House, Kang Tono, Dhika, Syauqi, Cesar, Kiki,
Maul, dan Kang Foni atas doa dan dukungannya
Akhirnya ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, mamah,
serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2015

Danang Pramudita

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

vi
vii
viii
1
1
6
10
10
10

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konversi Lahan Pertanian Pangan dan Ketahanan Pangan
Filosofi Perlindungan Lahan Pertanian
Implementasi Undang-Undang No. 41 Tahun 2009
Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Teori Klasik Penggunaan Lahan
Teori Kontemporer dalam Penggunaan Lahan
Model Dinamika Sistem dalam Penentuan Kebijakan
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

11
11
12
13
16
17
17
18
19
22

3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Rancangan Penelitian
Teknik Pengambilan Sampel
Prosedur Analisis Data
Definisi Konseptual
Identifikasi Indikator Sosial Ekonomi untuk Penentuan LP2B di Kabupaten
Kuningan
Mekanisme Insentif untuk Melindungi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
di Kabupaten Kuningan
Analisis Konsep Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan di Kabupaten Kuningan

22
22
23
23
24
29

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak dan Administrasi Wilayah
Kondisi Biofisik Wilayah
Kependudukan dan Ketenagakerjaan
Penggunaan Lahan dan Produksi Padi

47
47
48
49
51

5 KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PADA WILAYAH
PENGEMBANGAN LP2B DI KABUPATEN KUNINGAN
Kriteria Faktual Perlindungan LP2B di Kabupaten Kuningan
Kriteria Persepsi dalam Perlindungan LP2B di Kabupaten Kuningan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani dalam Perlindungan LP2B
Kesesuaian Kriteria Aktual dan Persepsi Petani dalam Perlindungan LP2B

52
52
64
66
68

31
37
43

6 INSENTIF PERLINDUNGAN LP2B DI KABUPATEN KUNINGAN
Jenis Insentif yang diterima Petani
Persepsi Petani terhadap Jenis Insentif LP2B
Model Insentif Perlindungan LP2B

70
70
71
73

7 SIMULASI DAN ANALISIS MODEL INSENTIF LP2B
Simulasi dan Analisis Model Tanpa Intervensi Parameter
Simulasi dan Analisis Model dengan Intervensi Parameter

77
78
80

8 PEMBIAYAAN INSENTIF LP2B
Kebutuhan Dana Untuk Pelaksanaan Insentif LP2B
Sumber Dana untuk Pembiayaan Insentif LP2B
Kebijakan Pembiayaan Insentif LP2B di Kabupaten Kuningan

89
89
91
97

9 KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LP2B DI KABUPATEN KUNINGAN
Prioritas Wilayah Perlindungan LP2B
Pemberian Disinsentif dalam Perlindungan LP2B
Pelaksanaan Program LP2B pada Beberapa Karakterstik Wilayah

104
104
105
106

10 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

107
107
107

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

108
113
152

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Luas penggunaan tanah sawah di Indonesia
Luas sawah dan produksi padi di Kabupaten Kuningan
Indikator ketersediaan pangan di beberapa daerah di Jawa Barat
Luas sawah irigasi teknis di beberapa kabupaten di Jawa Barat
tahun 2001-2011
Realisasi belanja daerah menurut jenis pengeluaran di Kabupaten Kuningan,
tahun 2007-2011
Kriteria untuk penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan
Indikator penentuan lokasi penelitian
Komposisi Rumah Tangga Petani (RTP) pada kecamatan terpilih
Responden dari lembaga di lokasi penelitian
Metode dan prosedur analisis data
Kriteria penentuan kesesuaian lokasi LP2B berdasarkan aspek
sosial ekonomi
Proses pemodelan dinamika sistem dalam perlindungan lahan pertanian
pangan berkelanjutan
Parameter model insentif perlindungan LP2B
Penilaian bobot faktor strategis internal
Penilaian bobot faktor strategis eksternal
Matriks internal factor evaluation
Matriks eksternal factor evaluation

1
7
7
8
9
14
23
24
24
26
36
38
39
45
45
46
46

18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44

Matriks SWOT
Informasi demografi Kabupaten Kuningan tahun 2008-2012
Jumlah tenaga kerja per sektor di Kabupaten Kuningan tahun 2013
Luas wilayah menurut penggunaan di Kabupaten Kuningan tahun 2013
Produksi Padi di Kabupaten Kuningan Tahun 2006-2013
Luas sawah di lokasi penelitian tahun 2005-2013
Rata-rata luas lahan sawah dan non sawah petani di lokasi penelitian
Neraca pangan di lokasi penelitian tahun 2008 - 2013
Ketimpangan pendapatan pertanian dan non pertanian
Kelompok tani berdasarkan kelas kemampuan kelompok di lokasi penelitian
Perkembangan rumah tangga pertanian tanaman pangan di lokasi penelitian
Luas lahan sawah optimum di lokasi penelitian
Tenaga kerja pertanian di lokasi penelitian tahun 2012
Rencana tata ruang wilayah tahun 2011-2030 di lokasi penelitian
Hasil analisis skor persepsi petani
Persentase respon petani terhadap konversi lahan
Hasil analisis logit faktor yang mempengaruhi persepsi petani
Hasil analisis kesesusian lokasi LP2B berdasarkan aspek sosial ekonomi
Jenis bantuan yang diberikan di lokasi penelitian tahun 2011 - 2013
Hasil uji validasi output
Asumsi yang digunakan pada berbagai skenario insentif LP2B
Kebutuhan dana insentif LP2B
Potensi pendanaan insentif LP2B
Matriks IFE pembiayaan insentif LP2B
Matriks EFE pembiayaan insentif LP2B
Matriks SWOT strategi pembiayaan insentif LP2B di Kabupaten Kuningan
Kebijakan perlindungan LP2B di lokasi penelitian

47
50
50
51
52
53
55
56
57
59
59
60
61
63
64
65
66
69
70
77
84
90
91
100
100
103
104

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Kerangka Pemikiran
Peta lahan pertanian pangan berkelanjutan
Kerangka analisis data
Model besar insentif perlindungan LP2B
Sub model ketersediaan pangan dan insentif perlindungan LP2B
Sub model pendapatan petani insentif perlindungan LP2B
Piramida penduduk Kabupaten Kuningan 2012
Bantuan yang diterima petani di lokasi penelitian
Jenis Insentif yang diinginkan petani di lokasi penelitian
Validasi struktur terhadap faktor konversi lahan
Validasi output model secara visual
Perilaku subsistem ketersediaan pangan dan kesejahteraan petani di
Kecamatan Cibingbin
13 Perilaku subsistem ketersediaan pangan dan kesejahteraan petani di
Kecamatan Ciawigebang dan Kecamatan Cilimus
14 Hasil penerapan skenario insentif LP2B di Kecamatan Cibingbin
15 Hasil penerapan skenario insentif LP2B di Kecamatan Ciawigebang

21
22
25
40
41
42
49
71
72
75
76
76
79
85
87

16
17
18
19
20

Hasil penerapan skenario insentif LP2B di Kecamatan Cilimus
Skema pendanaan transfer dari APBN
Skema pendanaan transfer antar daerah
Skema pendanaan dari masyarakat
Skema pendanaan dari badan usaha

88
93
94
96
97

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Neraca pangan di Kecamatan Cibingbin
114
Neraca pangan di Kecamatan Ciawigebang
114
Neraca pangan di Kecamatan Cilimus
114
Laju konversi lahan di lokasi penelitian
115
Hasil penerapan skenario insentif LP2B di Kecamatan Cibingbin
115
Hasil penerapan skenario insentif LP2B di Kecamatan Ciawigebang
116
Hasil penerapan skenario insentif LP2B di Kecamatan Cilimus
116
Pendapatan usahatani, ketimpangan pendapatan dan luas optimum sawah
117
Hasil perhitungan skala likert
126
Hasil wawancara bobot dan rating key person faktor internal analisis SWOT 130
Hasil wawancara bobot dan rating key person faktor eksternal analisis SWOT131
Peta rencana pola ruang Kabupaten Kuningan 2011-2031
133
Diagram alir model umum perlindungan LP2B
133
Diagram alir sub model insentif alsintan perlindungan LP2B
134
Diagram alir sub model insentif sarana produksi dan infrastruktur
perlindungan LP2B
135
16 Persamaan model insentif perlindungan LP2B
136
17 Dokumentasi di lokasi penelitian
141
18 Kuesioner penelitian
142

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Permasalahan konversi lahan pertanian terutama lahan sawah di Indonesia
sudah menjadi perhatian sejak tahun 1980an. Selama periode ledakan ekonomi
1980-1990, pembangunan pusat-pusat pertumbuhan berlangsung secara masif.
Dalam periode tersebut, pembangunan perkotaan di Indonesia ditandai dengan
perubahan penggunaan lahan pertanian primer menjadi industri, perumahan, dan
penggunaan lain pada daerah kota dan sekitarnya (Firman 2004). Kondisi ini
sejalan dengan yang dikemukakan oleh Rustiadi (2001) bahwa sebagian besar
magnitude proses alih fungsi lahan berlangsung, khususnya pada kawasan
perbatasan kota-desa dan perbatasan kawasan budidaya-non budidaya. Pasca
krisis moneter dan seiring dengan berjalannya proses otonomi daerah proses
konversi lahan pertanian tidak hanya terjadi di sekitar daerah perkotaan tapi
meluas ke wilayah lainnya dengan skala konversi yang lebih luas. Konversi lahan
pertanian dipengaruhi oleh banyak faktor yang cenderung kompleks. Menurut
Irawan (2005) dari sudut pandang ekonomi konversi lahan pertanian disebabkan
oleh tarikan permintaan lahan untuk kegiatan non pertanian dan dorongan petani
pemilik lahan. Perilaku permintaan dan penawaran lahan tidak terlepas dari
kebijakan pembangunan ekonomi, sosial, dan sarana publik sehingga fenomena
konversi lahan tidak terlepas pula dari kebijakan yang ditempuh pemerintah.
Tabel 1 Luas penggunaan tanah sawah di Indonesia
Luas Penggunaan Tanah Sawah (Ha)
No

Pulau

Sebelum
1980

1980

1990

2000

2009

19902009

1

Sumatera

1.501.315

1.504.860

2.274.411

2.273.713

2.398.716

124.305

2

Jawa

3.656.108

3.616.795

3.558.184

3.504.016

3.444.579

-113.605

3

70.776

72.725

100.934

97.989

76.003

-24.931

4

Bali
Nusa
Tenggara

351.864

368.259

354.117

351.745

285.852

-68,265

5

Kalimantan

288.056

898.470

1.305.137

1.003.410

937.607

-367.530

6

Sulawesi

726.345

763.560

796.296

832.187

886.501

90.205

7

Maluku

4.727

7.417

19.359

33.307

21.763

2.404

8

Papua
Indonesia

8.288
6.607.477

30.286
7.262.372

73.316
8.481.754

61.158
8.157.526

55.840
8.106.860

-17.476
-374.894

Sumber: BPN 2010

Konversi lahan merupakan konsekuensi yang dihadapi oleh negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia. Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia mencatat dari tahun 1990 hingga 2009 rata-rata 18.745 hektar sawah
per tahun terkonversi ke penggunaan lain (Tabel 1). Nilai tersebut diperoleh dari
hasil pengurangan luas lahan sawah yang dikonversi dengan memperhatikan
jumlah sawah baru yang berhasil dicetak. Tanda negatif pada Tabel 1
menunjukkan pengurangan luas sawah (konversi) sementara tanda positif
menunjukkan penambahan luas sawah. Penurunan luas penggunaan sawah
terbesar terjadi di Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa, sedangkan penambahan

2

sawah terbesar berada di Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi. Proses ini terjadi
sebagai dampak dari peningkatan aktivitas ekonomi dalam pemanfaatan sumber
daya dan akibat diberlakukannya hukum pasar (ekonomi klasik). Hukum pasar
memicu adanya pergeseran aktivitas pada lahan dari aktivitas yang menghasilkan
keuntungan rendah (land rent) menuju aktivitas-aktivitas dengan land rent yang
lebih tinggi (Rustiadi 2001). Posisi pertanian dalam menghasilkan rente lahan
cenderung kalah dengan sektor lain seperti industri, perumahan, dan jasa. Land
rent pertanian nilainya 1:500 untuk kawasan industri dan 1:622 untuk kawasan
perumahan (Nasoetion dan Winoto 1996), kondisi ini menyebabkan aktivitas alih
fungsi lahan menjadi tidak terkendali terutama pada wilayah sekitar perkotaan.
Lebih lanjut Rustiadi (2001) menyatakan kondisi ini disebabkan distorsi pada nilai
lahan yang ditentukan oleh expected value-nya, serta harga pasar yang berlaku
tidak menyertakan ekseternalitas positif dari lahan pertanian (environment rent).
Menurut Irawan (2005) peluang konversi lahan pertanian lebih besar pada
lahan sawah dibanding lahan kering karena tiga faktor, yaitu; 1) pembangunan
kegiatan non pertanian seperti perumahan dan industri lebih mudah dilakukan
pada lahan sawah yang lebih datar dibanding lahan kering, 2) pembangunan masa
lalu terfokus pada upaya peningkatan produksi padi, maka infrastruktur ekonomi
lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah lahan kering, dan 3) daerah
persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah
perkotaan yang relatif padat penduduk dibanding daerah lahan kering yang
sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan. Konversi lahan
pertanian, secara langsung berdampak terhadap kehilangan produksi pertanian,
kehilangan lapangan pekerjaan, dan kerugian investasi dalam infrastruktur irigasi
terutama untuk tanaman padi. Selain dampak langsung, hilangnya lahan pertanian
juga menyebabkan hilangnya fungsi ekologis lahan pertanian untuk menstabilkan
suhu, mencegah erosi dan banjir, serta menyajikan pemandangan yang menarik
(Firman 1999). Konversi lahan pertanian berdampak kumulatif terhadap produksi
pangan dibandingkan dengan dampak teknis produksi (serangan hama dan
penyakit, kekeringan) yang sifatnya sementara (Irawan 2005). Kehilangan
produksi pangan merupakan ancaman serius terhadap ketersediaan pangan yang
berdampak terhadap ketahanan pangan di Indonesia. Stabilisasi hasil produksi
pangan perlu dilakukan melalui proses terintegrasi dari hulu ke hilir. Lahan
sebagai input utama dalam proses produksi pertanian harus menjadi basis dalam
pengendalian produksi pangan.
Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 41 tahun 2009 sebagai
upaya penyelamatan lahan pertanian pangan untuk keperluan Kemandirian,
Keamanan dan Ketahanan Pangan. Perlindungan lahan pertanian melalui
Undang-Undang (UU) No. 41 tahun 2009 dilakukan dengan mengidentifikasi
lahan pertanian yang ada, baik yang beririgasi teknis maupun tidak beririgasi,
serta lahan potensial untuk produksi pertanian. Setelah diinventarisasi, lahan
tersebut ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan
Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) baik di dalam maupun
di luar Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B). Penetapan KP2B
menjadi bagian integral Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, sedangkan
LP2B dan LC2B diintegrasikan dalam Rencana Tata Ruang rinci. Pelaksanaan
UU No. 41 tahun 2009 didukung dengan produk turunannya berupa PP No 1
tahun 2011 tentang Penetapan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan

3
Berkelanjutan; PP No 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan; PP No. 25 tahun 2012 tentang Sistem Informasi
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; serta PP No. 30 Tahun 2012 tentang
Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Sebelum muncul UU No. 41 tahun 2009 sebenarnya pemerintah telah
secara eksplisit melakukan perlindungan terhadap lahan pertanian melalui UUPA
No 50 tahun 1960, UU No 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman, UU
No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, serta peraturan presiden dan peraturan
pemerintah lainnya. Fakta di lapangan menunjukkan pengendalian konversi lahan
sawah melalui pendekatan yuridis belum maksimal dalam mengatasi
permasalahan konversi lahan. Laju konversi lahan sawah masih cukup besar
bahkan merambah ke lahan sawah dengan irigasi teknis yang sangat potensial
untuk produksi padi sawah (Irawan 2008). Pelaksanaan UU No. 41 tahun 2009
terkendala dengan tumpang tindihnya aturan dari UU yang lain. Dalam UU
pemerintah daerah (UU No 23 tahun 2014) daerah mempunyai kewenangan dalam
menetapkan fungsi wilayahnya. Pertanian merupakan urusan pilihan bagi
pemerintah kabupaten/kota di dalam UU No. 23 tahun 2014. Kondisi ini
memperbesar peluang daerah mengabaikan sektor pertanian. Menurut Irawan
(2008) fokus terhadap kemajuan daerah yang dilihat dari pertumbuhan ekonomi
dan pendapatan asli daerah (PAD) menyebabkan daerah berlomba-lomba
meningkatkan investasi di sektor non pertanian karena dapat menghasilkan PAD
lebih besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Konsekuensinya
jika terjadi permintaan konversi lahan pertanian untuk dimanfaatkan oleh
pembangunan sektor pertanian maka pemerintahan daerah cenderung kurang
mempertimbangkan larangan konversi lahan yang berlaku.
Program perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang
diamanatkan dalam UU No. 41 tahun 2009 merupakan program yang bersifat
wajib (mandatory) dan diintegrasikan dengan perda RTRW. Pemerintah
kabupaten/kota menjadi perintis upaya penyelamatan lahan pertanian pangan
melalui penetapan luasan lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam RTRW.
Berdasar data Kementerian Pekerjaan Umum, sampai September 2013 dokumen
RTRW kabupaten/kota di Indonesia yang telah diperdakan mencapai 62,5% (312
kabupaten/kota) dari sekitar 500 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dari jumlah
tersebut baru 69 kabupaten kota (13,8%) yang telah menetapkan luas LP2B di
dalam Perda Tata Ruangnya. Tantangan dalam penerapan program perlindungan
lahan pertanian pangan yang bersifat mandatory dan komprehensif ialah tingginya
biaya pelaksanaan serta prosesnya yang cukup kompleks. Seperti diungkapkan
Furuseth and Pierce (1982) dalam proses perlindungan lahan pangan secara
mandatory, komponen pembiayaan yang utama adalah proses pendefinisian dan
identifikasi sumber daya lahan yang harus dilindungi serta penciptaan sistem
administrasi untuk menjamin kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dan
diawasi. Lebih lanjut Furuseth dan Pierce (1982) juga mengungkapkan sifat
paksaan (coercion) bagi pemerintah dan individu untuk terlibat dalam pelaksanaan
program serta komposisi kebijakan yang tepat (insentif langsung dan tidak
langsung) berpengaruh terhadap efektifitas program perlindungan lahan pertanian
pangan yang dilaksanakan.

4

Saat ini perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagian besar
berada pada tahapan identifikasi untuk usulan LP2B. Sebagian besar proses
identifikasi LP2B baru pada tahapan penetapan luasan LP2B di kabupaten/kota
dan belum menetapkan secara jelas posisi ruang dari LP2B yang akan dilindungi.
Kementerian Pertanian (Kementan) sudah membangun peta sawah aktual
berdasarkan informasi luas dan jenis lahan sawah secara tabular yang dilengkapi
dengan informasi intensitas pertanaman dan produktivitas, kondisi jaringan irigasi
per-wilayah administrasi kecamatan, kabupaten, provinsi dan pusat (Pusdatin
Kementan 2013). Meskipun data berbasis citra sudah tersedia, pengembangan
model spasial lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan menggunakan data
spasial masih perlu dilengkapi. Data penggunaan lahan terkait dengan sosial dan
ekonomi diperlukan untuk menjamin suatu lahan akan dilindungi khususnya oleh
pemilik lahan dan merupakan kebutuhan masyarakat (Barus et al. 2012). Lebih
rinci (Barus et al. 2012) menyatakan data yang terkait dengan persepsi petani
membantu menjelaskan harapan pemilik/pengelola lahan dari sisi budaya,
ekonomi dan lingkungan. Data produktivitas usahatani, indeks pertanaman, biaya
pengolahan, tenaga kerja, pemupukan dan lain-lain diperlukan untuk
penghitungan penerimaan usahatani. Selain itu data demografi juga dipakai untuk
menentukan status defisit dan surplus pangan di lokasi.
Indikator dari aspek sosial dan ekonomi dalam perlindungan lahan pangan
berkelanjutan termasuk ke dalam aspek institusional. Aspek institusional
merupakan aspek yang lebih kompleks dalam penanganannya. Seperti
dikemukakan Lichtenberg and Ding (2008), rintangan terbesar dalam
perlindungan lahan pangan bukan pada aspek fisik melainkan institusional.
Kegagalan dalam mengatur aspek institusional berpengaruh terhadap permintaan
dan penawaran lahan untuk dikonversi. Penyelesaian masalah ini perlu didukung
keinginan petani untuk mempertahankan lahan dan diimbangi dengan insentif
yang tepat agar lahan tidak dikonversi ke penggunaan di luar pertanian. Pada
aspek ekonomi, Lichtenberg and Ding (2008) menyatakan kurangnya infrastruktur
pasar dan kelembagaan menyebabkan masalah besar dalam merealisasikan
pendapatan potensial dari spesialisasi regional pada produksi pangan yang dapat
menghalangi proses investasi pertanian di banyak daerah. Instrumen yuridis yang
selama ini dikembangkan oleh pemerintah belum menerapkan sangsi yang jelas,
dan tidak didukung dengan instrumen ekonomi dan sosial (Irawan 2008).
Pengaturan secara institusional terkait dengan mekanisme insentif yang akan
ditetapkan dalam pengelolaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pemberian
insentif dalam program LP2B bertujuan untuk (1) mendorong perwujudan lahan
pertanian pangan berkelanjutan (LP2B); (2) meningkatkan upaya pengendalian
alih fungsi LP2B; (3) meningkatkan pemberdayaan, pendapatan, dan
kesejahteraan bagi petani; (4) memberikan kepastian hak atas tanah bagi petani;
dan (5) meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka
pemanfaatan dan pengembangan LP2B sesuai dengan tata ruang. Selain
pemberian insentif terhadap LP2B, UU dan PP terkait LP2B mengatur pencabutan
insentif bagi petani yang mengalihfungsikan lahan pertanian pangannya, serta
memberikan sanksi administratif dan hukum bagi pihak yang melakukan alih
fungsi LP2B. Proses alihfungsi LP2B untuk kepentingan umum mensyaratkan
adanya lahan pengganti dan juga ganti rugi terhadap investasi insfrastruktur
pertanian yang telah dibangun.

5
Pembiayaan program LP2B diatur melalui PP No. 30 tahun 2012. Dalam
PP No. 30 tahun 2012 disebutkan pembiayaan LP2B mencakup kegiatan
perencanaan dan penetapan; pengembangan; penelitian; pemanfaatan; pembinaan;
pengendalian; pengawasan; sistem informasi; serta perlindungan dan
pemberdayaan Petani. Berdasar PP No. 30 tahun 2012, sumber Pembiayaan untuk
kegiatan LP2B berasal dari anggaran Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/Kota, badan usaha maupun masyarakat yang diperoleh
dalam rangka penyelenggaraan perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan. Pelaksanaa insentif untuk mendukung LP2B membutuhkan
pembiayaan yang cukup besar. Insentif diberikan secara langsung dan tidak
langsung kepada petani. Selain pemberian bantuan saprodi dan modal yang
sifatnya langsung, insentif dalam bentuk infrastruktur seperti irigasi, jalan
usahatani, dan pabrik pengolahan menjadi faktor yang mendukung proses
usahatani. Sawah yang ditetapkan menjadi LP2B diantaranya merupakan lahan
sawah dengan irigasi teknis. Pada satu sisi pemerintah daerah menganggap
jaringan irigasi merupakan kewenangan pusat, karena dibangun menggunakan
anggaran negara (APBN). Dalam konteks otonomi daerah dikhawatirkan
pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi menjadi terlantar karena subsidi
pemeliharaan jaringan irigasi dari pemeritah pusat perlahan berkurang. Sedangkan
PAD untuk pemeliharaan jaringan irigasi saat ini belum memungkinkan atau
rendah (Husodo, 2004). Pemerintah pusat menganggap setelah otonomi daerah,
kegiatan operation dan maintenance seharusnya menjadi kewenangan daerah.
Daerah seharusnya mampu mengalokasikan dana secukupnya untuk memelihara
dan mempertahankan lahan sawah produktif, sebagai salah satu penopang sistem
produksi beras dan ketahanan pangan secara umum. Berdasar UU No 7 tahun
2004 tentang sumber daya air, kabupaten/kota mempunyai kewajiban melakukan
pemeliharaan dan operasional jaringan irigasi tersier yang jumlahnya cukup
banyak. Selain pemeliharaan jaringan irigasi, infrastruktur dan prasarana produksi
pertanian lainnya seperti jalan usahatani juga memiliki kendala dalam operasional
dan pemeliharaan. Tanggung jawab yang besar, biaya yang tidak sedikit dengan
anggaran terbatas menjadi tantangan kabupaten/kota dalam mendukung
terwujudnya lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Selain dari aspek teknis produksi, perlindungan pasca panen dilakukan
melalui beberapa mekanisme salah satunya penetapan harga dasar gabah oleh
pemerintah, meskipun kebijakan ini masih menghadapi kendala dalam
pelaksanaannya. Harga gabah di tingkat petani dengan cepat mempengaruhi harga
beras konsumen, sementara perubahan harga beras di tingkat konsumen tidak
berpengaruh secara cepat terhadap harga gabah petani. Ketika harga beras
melonjak tinggi, petani tidak banyak menerima manfaat dari kenaikan harga
beras. Dampak dari tidak sejahteranya petani menyebabkan peningkatan peluang
alih fungsi lahan, karena lahan sebagai aset yang dimiliki merupakan alternatif
petani memperoleh uang dalam kondisi terdesak. Lebih lanjut Simatupang dan
Irawan. (2002) menyebutkan beberapa kelemahan dan keterbatasan yang
menyebabkan instrumen kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian tidak
efektif. Petani sebagai pemilik lahan dan pemain dalam kelembagaan lokal tidak
banyak terlibat secara aktif dalam berbagai upaya pengendalian alih fungsi.
Komitmen, perbaikan sistem koordinasi dan pengembangan kompetensi lembagalembaga formal belum terbangun dengan baik.

6

Perumusan Masalah
Furuseth dan Pierce (1982) menjelaskan tiga trade off yang menjadi
perhatian utama dalam upaya perlindungan lahan pertanian pangan. Isu pertama
terkait kepemilikan barang privat dan barang publik. Pada konteks ini, lahan
pertanian pangan di Indonesia secara riil dimiliki oleh individu-individu baik
petani atau bukan, sementara pangan yang dihasilkan secara langsung
berpengaruh terhadap kepentingan orang banyak. Isu kedua mengenai perspektif
saat ini dan perspektif yang akan datang. Nilai lahan yang digunakan untuk
pertanian cenderung dilihat pada nilai saat ini, sementara untuk penggunaan lain
seperti industri dan perumahan cenderung dilihat secara over-expected. Isu
terakhir mencakup masalah pertimbangan keadilan dan efisiensi dalam
penggunaan lahan. Ketiga hal ini sifatnya kompleks dengan didasarkan pada
banyak asumsi, diantaranya kenaikan produktivitas tanaman pangan, ketersediaan
lahan cadangan pertanian, serta perubahan permintaan dan harga makanan dan
energi. Upaya perlindungan lahan pangan berkelanjutan merupakan proses
terintegrasi yang menggabungkan aspek fisik, sosial, ekonomi, budaya dan
ekologi. Terbitnya UU No. 41 tahun 2009 merupakan bentuk kewajiban bagi
setiap daerah (kabupaten/kota) di Indonesia untuk melindungi ketersediaan
pangannya. Secara riil ada daerah yang kelebihan produksi pangan (beras), dan
ada daerah yang kekurangan produksi pangan sehingga lahan pertanian pangan
perlu dilindungi untuk menjaga stabilitas pangan secara nasional.
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu
kabupaten yang telah menetapkan luas LP2B di dalam Perda Tata Ruangnya.
Perda No. 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten
Kuningan menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) kurang lebih
seluas 11.706 hektar, yang tersebar di 32 kecamatan. Kondisi ini sejalan dengan
tujuan dari UU No. 41 tahun 2009 yang mengintegrasikan perlindungan LP2B
dengan perda RTRW kabupaten/kota. Luasan lahan pangan berkelanjutan dalam
perda RTRW diharapkan dapat menjaga ketersediaan pangan minimal ditingkatan
wilayahnya dengan harapan dapat membantu stabilitas ketersediaan pangan pada
skala nasional. Luasan LP2B dalam RTRW Kabupaten Kuningan masih dilakukan
proses revisi karena luasan lahan pertanian di Kabupaten Kuningan secara
potensial masih cukup besar. Proses penetapan LP2B di Kabupaten Kuningan juga
didukung dengan Perda No. 7 tahun 2015 tentang LP2B yang mengatur mengenai
penetapan LP2B, sosialisasi dan pemberiaan insentif. Pemerintah Kabupaten
Kuningan masih terus melakukan proses inventarisasi untuk lahan sawah. Dari
data sementara hasil inventarisasi tahun 2013, usulan LP2B Kabupaten Kuningan
di 32 kecamatan diperoleh luas LP2B sebesar 20.248,60 hektar dan LCP2B
1.397,41 hektar (Disperta Kabupaten Kuningan 2013).
Penetapan LP2B di Kabupaten Kuningan sesuai dengan dinamika
perkembangan sektor pertanian di Kabupaten Kuningan, terutama komoditas
tanaman pangan padi. Berdasar Tabel 2, rata-rata kenaikan produktivitas padi
sebesar 0,21 kwt/ha/tahun sejalan dengan peningkatan luas panen sebesar 408,28
hektar/tahun. Kenaikan luas panen dan produksi tidak berbanding lurus dengan
luasan lahan sawah di Kabupaten Kuningan. Terjadi konversi lahan sawah sebesar
0,21% (71 hektar/tahun) untuk semua jenis lahan sawah. Tren konversi lahan

7
sawah secara keseluruhan berbeda dengan tren luas lahan sawah dengan irigasi
teknis yang luasnya mengalami peningkatan 4,79% (178,43 hektar)/tahun.
Tabel 2 Luas sawah dan produksi padi di Kabupaten Kuningan
Tahun Luas Sawah Irigasi
Luas Sawah
Luas Panen
Teknis (Ha)
(Ha)
(Ha)
2004
4.361
29.550
60.017
2005
4.702
29.550
63.585
2006
4.337
29.374
57.305
2007
4.176
29.070
59.117
2008
5.951
29.078
55.711
2009
5.357
29.117
60.281
2010
5.609
29.035
65.687
2011
5.610
29.053
62.875
Sumber : BPS Kabupaten Kuningan berbagai terbitan (diolah)

Produktivitas
(Kwt/Ha)
59,30
55,61
55,88
56,88
58,84
59,69
60,07
60,81

Penetapan LP2B di Kabupaten Kuningan merupakan kebijakan yang
dilakukan untuk meminimalisir proses konversi lahan sawah dan mempertahankan
produksi pangan. Pertanian sebagai salah satu basis pembangunan ekonomi
Kabupaten Kuningan yang merupakan wilayah konservasi dan agropolitan akan
berperan penting tidak hanya terhadap pendapatan petani tetapi keberlanjutan
wilayah dari aspek pangan secara umum. Keputusan untuk mengembangkan
kawasan produksi pangan melalui penetapan LP2B tidak lepas dari trade off,
karena dengan demikian kesempatan untuk mengembangkan sector lain (industri
dan jasa) yang berkaitan dengan konversi lahan pertanian akan terbatas.
Tabel 3 Indikator ketersediaan pangan di beberapa daerah di Jawa Barat
Kabupaten/Kota

Kuningan
Cirebon
Majalengka
Indramayu
Subang

Produksi
Total
Serealia
Pokok 20092011 (ton)*
279.919,67
303.155,88
443.075,11
800.338,40
618.189,72

Total
Penduduk
2010 (Jiwa)

1.035.589,00
2.067.196,00
1.166.473,00
1.663.737,00
1.465.157,00

Produksi
Rasio Konsumsi
Bersih
Normatif
Serealia per
terhadap Produksi
Kapita per
Bersih
Hari (gram)
741
0,41
402
0,75
1.041
0,29
1.318
0,23
1.156
0,26

*Produksi total serealia merupakan gabungan sumber karbohidrat utama (padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu)

Sumber : Data Food Security and Vulnerabilty Analyisis. Badan Ketahanan Pangan 2014.

Berdasar Tabel 3, rasio konsumsi normatif terhadap produksi bersih
Kabupaten Kuningan dibandingkan dengan beberapa wilayah di daerah pantura
Jawa Barat nilainya relatif tidak berbeda jauh kecuali dengan Kabupaten Cirebon.
Nilai rasio konsumsi terhadap produksi yang baik berada di bawah satu,
menunjukkan bahwa konsumsi pangan karbohidrat lebih kecil daripada jumlah
yang diproduksi. Secara implisit nilai rasio konsumsi normatif terhadap produksi
menunjukkan adanya surplus produksi pangan. Kabupaten Kuningan merupakan
salah satu wilayah yang potensial untuk menyumbang produksi pangan bagi
wilayah lain karena status neraca pangannya yang surplus. Meskipun secara posisi
di Jawa Barat rata-rata produksi padi di Kabupaten Kuningan selama tahun

8

2000-2009 berada pada peringkat ke-14 sebagai penyumbang produksi padi bagi
Jawa Barat, namun produksi padi di Kabupaten Kuningan selalu mengalami
surplus.
Perkembangan pembangunan nasional yang pesat di sekitar jalan pantura
Jawa Barat yang merupakan lumbung padi Jawa Barat dan Nasional berpotensi
mengganggu produksi pangan akibat konversi lahan. Lahan irigasi teknis di
Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang mengalami luas konversi tahunan
yang relatif besar (Tabel 4). Tanda minus pada Tabel 4 menunjukkan ada
pengurangan lahan sawah, sedangkan tanda positif menunjukkan ada penambahan
luas sawah. Daerah-daerah yang produksi padinya lebih rendah tetapi surplus
seperti Kabupaten Kuningan, minimal dapat menjadi stabilisator produksi pangan
di tingkat lokal dan regional.
Tabel 4 Luas sawah irigasi teknis di beberapa kabupaten di Jawa Barat tahun
2001-2011
Daerah
Rata-Rata Luas
Rata-Rata Laju
Rata-Rata Luas
Sawah (Ha/tahun)
Konversi
Konversi (Ha/tahun)
(%/tahun)
Kuningan
4.909,36
1,27
94,40
Cirebon
35.071,09
0,32
93,30
Indramayu
71.277,91
-0,94
-886,30
Majalengka
17.556,45
0,32
55,20
Subang
58.007,36
-0,37
-241,00
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat berbagai terbitan (diolah)
Secara zonasi, UU No. 41 tahun 2009 menetapkan kawasan pertanian
pangan yang perlu dilindungi, maka instrumen pendukung perlu dipersiapkan
dengan baik. Petani sebagai produsen pangan harus mendapatkan imbalan balas
jasa yang sesuai ketika dapat mempertahankan lahan pertaniannya dan menjaga
ketersediaan pangan penduduk. Proses inventarisasi LP2B yang dilakukan di
Kabupaten Kuningan baru terkait dengan karakteristik fisik, seperti kesuburan,
produktivitas serta sarana prasarana pendukung seperti irigasi. Berdasar UU No.
41 tahun 2009, proses penetapan LP2B perlu disesuaikan dengan indikator sosial
ekonomi wilayah yang akan ditetapkan. Irawan (2008) menjelaskan perlindungan
lahan pertanian dengan basis administrasi kecamatan seharusnya
mempertimbangkan beberapa ciri, yaitu; 1) merupakan sentra produksi pangan
dengan sumbangan cukup besar terhadap produksi pangan wilayah, 2)
ketergantungan masyarakat setempat terhadap kegiatan pertanian sebagai sumber
pendapatan relatif tinggi, dan 3) memiliki fungsi lingkungan yang relatif tinggi
Indikator sosial ekonomi terkait perlindungan LP2B merupakan salah satu dasar
penentuan insentif LP2B dan sebagai input dalam pembuatan sistem informasi
lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Persepsi petani mengenai perlindungan LP2B perlu dianalisis karena
merupakan informasi dasar yang menunjukkan kesediaan petani untuk
mempertahankan lahan sawahnya. Pemberian insentif dalam perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan perlu dilakukan berdasar indikator fisik
(kesuburan lahan, prasarana sarana pertanian) dan indikator sosial ekonomi karena
selama ini banyak terjadi konversi pada lahan sawah dengan kesuburan dan
prasarana sarana pertanian yang baik sebagai akibat kendala ekonomi yang

9
dihadapi petani. Pemberian insentif untuk lahan yang ditetapkan tentu
membutuhkan pembiayaan. Pembiayaan LP2B dapat dilaksanakan melalui dana
pemerintah (APBN dan APBD), badan usaha dan masyarakat. Pembiayaan LP2B
hendaknya tidak mengandalkan dana pemerintah, karena keterbatasan dana dan
prioritas program pembangunan. Kabupaten Kuningan sendiri memiliki
keterbatasan dalam alokasi belanja daerah. Berdasar Tabel 5, proporsi kenaikan
belanja pegawai selama lima tahun terakhir (71,35%) lebih besar dari proporsi
kenaikan belanja modal (69,20%) dan sangat jauh jika dibandingkan dengan
kenaikan proporsi bagi hasil dan bantuan keuangan kepada pemerintah desa yang
hanya naik 13,60%. Perlindungan LP2B membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Keterbatasan anggaran pemerintah harus diminimalisir dengan alternatif
pembiayaan melalui kerjasama dengan badan usaha maupun masyarakat. Sumber
dan mekanisme pembiayaan yang tepat akan membantu proses perlindungan
LP2B berjalan baik.
Tabel 5 Realisasi belanja daerah menurut jenis pengeluaran di Kabupaten
Kuningan, tahun 2007-2011
Tahun

Belanja
Pegawai
(xRp.000.000)

Belanja
Bantuan
Sosial
(xRp.000.000)

Bagi Hasil
Belanja
dan Bantuan Barang dan
Keuangan
Jasa
Pemerintahan (xRp.000.000)
Desa

Belanja
Modal
(xRp.000.000)

(xRp.000.000)

2007
2008
2009
2010
2011

493.971
530.305
620.196
768.097
846.431

11.551
13.323
7.801
8.394
12.811

28.816
31.422
32.377
33.274
32.730

140.174
140.047
130.798
143.488
171.446

111.644
74.213
46.070
127.191
188.900

Sumber : Kuningan Dalam Angka 2009 & 2012 (diolah)

Mekanisme insentif yang disusun perlu mempertimbangkan kendalakendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program LP2B. Pihak yang dilibatkan
tidak hanya pemerintah dan petani, tetapi masyarakat perlu ambil bagian dalam
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, karena secara pasti dampak
penurunan produksi pangan di tingkat petani akan berpengaruh terhadap
ketersediaan pangan yang dapat dikonsumsi masyarakat. Kebijakan yang tepat
pada tingkatan daerah dan pusat dalam membentuk aspek institusional
pengelolaan lahan pangan berkelanjutan dapat menjadi insentif bagi petani untuk
tetap berproduksi dan mempertahankan lahannya dari penggunaan lain di luar
pertanian. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka dirumuskan
beberapa pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu; 1) Berdasar usulan LP2B di
Kabupaten Kuningan, bagaimana karakteristik sosial ekonomi di wilayah yang
menjadi prioritas perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan?; 2)
Bagaimana jenis dan mekanisme insentif