Stability Testing and Formulation of Functional Beverages based sea slug (Discodoris sp)

(1)

FORMULASI DAN UJI STABILITAS MINUMAN

FUNGSIONAL BERBAHAN DASAR LINTAH LAUT

(

DISCODORIS

SP.)

ASRI SILVANA NAIU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Formulasi dan Uji Stabilitas Minuman Fungsional Berbahan Dasar Lintah Laut (Discodoris sp.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2010 Asri Silvana Naiu NRP C351080031


(3)

ABSTRACT

Asri Silvana Naiu. Stability Testing and Formulation of Functional Beverages based sea slug (Discodoris sp.). Under direction of Tati Nurhayati dan Nurjanah.

Since long time ago people who live in some seaboards of Indonesia have been exploiting of fresh sea slugs (Discodoris sp.) which provide health benefits for human body. For the purpose, we conducted research about antioxidant activity and formulation on functional foods formulas based sea slugs. At this research, we made six kinds of formula with composition of sea slugs as treatment. We added ginger and citric acid as aroma and taste neutralizers for the sea slugs. They were applied in the same number for all formulas. Dry sea slug powder, dry ginger powder, and citric acid were formulated in a teabag, then the antioxidant activity was tested by applying of DPPH method. Observation based on the temperature and volume of water, and infusing time. The result showed that Formula 3 which contained of 0,24 grams dry sea slug powder that was infused over 20 minutes in 70 ml water of hot water 90 oC had highest antioxidant activity by 46,16%. There was a synergistic effect of antioxidant to Formula 3. Based on the product stability testing by chemical and microbiology measurements showed that the product had shelf-life by 33 days in 20oC storage condition.


(4)

RINGKASAN

Asri Silvana Naiu. Formulasi dan Uji Stabilitas Minuman Fungsional Berbahan Dasar Lintah Laut (Discodoris sp.). Dibimbing oleh Tati Nurhayati dan Nurjanah.

Lintah laut (Discodoris sp.) secara empiris telah dimanfaatkan sebagian orang di pesisir Indonesia untuk menambah stamina dan vitalitas tubuh. Pemanfaatan lintah laut untuk menjadi pangan fungsional yang dapat dikonsumsi secara luas oleh masyarakat masih terbentur pada letak geografis dan cara penyajian. Meskipun serbuk kasar serta ekstrak polar yang bersifat antikolesterolemia dan antioksidan telah dipelajari sebelumnya, namun perlu dilakukan penelitian mengenai formulasi dan uji stabilitas produk untuk memperoleh manfaat dari pangan fungsional berbasis lintah laut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi penyajian minuman fungsional terbaik untuk mendapatkan aktivitas antioksidan tertinggi, membuktikan pengaruh pencampuran bahan-bahan baku terhadap dampak sinergis antioksidan pada minuman fungsional, dan menentukan formula minuman terbaik yang memiliki masa simpan maksimum melalui pengujian stabilitas produk berdasarkan waktu penyimpanan. Hipotesis penelitian ini adalah kondisi penyajian berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan minuman fungsional, konsentrasi dan kombinasi bahan campuran berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan formula minuman, dan masa simpan mempengaruhi karakteristik fisik dan kimia produk minuman fungsional

Penelitian ini dibagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap persiapan contoh, tahap formulasi pangan fungsional, dan tahap uji stabilitas produk. Analisis yang dilakukan meliputi analisis proksimat, analisis organoleptik, dan analisis aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH. Uji stabilitas dilakukan pada formula terpilih meliputi uji aktivitas antioksidan, uji total mikroba/kapang, nilai pH, total asam tertitrasi, dan indeks bias.

Hasil analisis organoleptik menunjukkan bahwa semakin banyak serbuk lintah laut dalam kemasan kantong maka semakin rendah nilai organoleptiknya. Produk formula 1, 2, dan 3 dengan konsentrasi serbuk kering masing-masing 0,19 g, 0,21 g, dan 0,24 g memiliki nilai organoleptik tertinggi di antara enam formula yang dibuat.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata nilai aktivitas antioksidan tertinggi diperoleh pada formula 3 dengan konsentrasi lintah laut sebanyak 0,24 gram. Formula 3 memberikan hasil terbaik dengan rata-rata persentasi penghambatan radikal bebas DPPH sebesar 46,16% pada kondisi volume air celup 70 ml yang bersuhu 90 oC selama 20 menit. Kombinasi antara bahan-bahan dalam formula memberikan dampak sinergis pada aktivitas antioksidan formula 3.

Hasil uji stabilitas pada produk formula 3 menunjukkan bahwa perubahan aktivitas antioksidan memperlihatkan kecenderungan yang sama, yaitu semakin lama waktu penyimpanan, semakin berkurang aktivitas antioksidannya. Produk memiliki masa simpan hingga 112,24 hari jika disimpan pada suhu 20 oC. Berdasarkan pengujian mikrobiologi TPC, masa


(5)

simpan produk pada penyimpanan suhu ruang (30 °C) adalah 24 hari dan pada suhu 20 oC adalah 33,33 hari, sedangkan berdasarkan pengujian total kapang, maka umur simpan produk pada suhu 30 oC yaitu selama 127 hari. Hasil pengamatan terhadap nilai pH menunjukkan bahwa masa simpan pada suhu 30 oC adalah 59 hari. Berdasarkan pengujian total asam tertitrasi selama penyimpanan menunjukkan bahwa konsentrasi TAT tertinggi sebesar 9,216 ml N NaOH/100 ml, di bawah standar yang ditetapkan, yaitu 122,5 ml N NaOH/100 ml. Pengamatan terhadap indeks bias menunjukkan rata-rata nilai yang setara dengan nilai indeks bias air, yaitu 1,333. Perubahan yang tidak signifikan pada nilai indeks bias, menjadikan produk tidak dapat diduga umur simpannya berdasarkan nilai tersebut.

Berdasarkan pengujian stabilitas, maka produk minuman fungsional memiliki umur simpan 24 hari pada penyimpanan suhu ruang, dan dapat bertahan hingga 33 hari jika disimpan pada suhu 20 oC.


(6)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

i

FORMULASI DAN UJI STABILITAS MINUMAN

FUNGSIONAL BERBAHAN DASAR LINTAH LAUT

(

DISCODORIS

SP.)

ASRI SILVANA NAIU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

ii

LEMBAR PENGESAHAN PENELITIAN

Judul Tesis : Formulasi dan Uji Stabilitas Minuman Fungsional Berbahan Dasar Lintah Laut (Discodoris sp.)

Nama : Asri Silvana Naiu

NIM : C351080031

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi., M.Si. Dr.Ir. Nurjanah, M.S. Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Hasil Perairan

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi.,M.Si. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(9)

iii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November2009 hingga Agustus 2010 ini ialah pangan fungsional, dengan judul Formulasi dan Uji Stabilitas Minuman Fungsional Berbahan Dasar Lintah Laut (Discodoris sp.).

Penelitian ini didanai oleh Program Hibah Penelitian Unggulan IPB tahun 2009 atas nama Dr. Ir. Nurjanah, MS.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi.,M.Si dan Ibu Dr.Ir. Nurjanah, MS sebagai dosen pembimbing I dan II yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, dan motivasi kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, suami, anak-anak, dan seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, dan kesabarannya, serta rekan-rekan seangkatan di program studi Teknologi Hasil Perairan atas kebersamaan dan semangatnya.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi yang memerlukan.

Bogor, November 2010


(10)

iv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 17 Agustus 1970 dari ayah Abd. Kadir Naiu (Alm.) dan ibu Hj. Annie Walalangi sebagai putri keenam dari tujuh bersaudara.

Setelah tamat dari SMA Negeri I Manado pada tahun 1989, penulis melanjutkan pendidikannya di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan jurusan Pengolahan Hasil Perikanan. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program magister pada program studi Teknologi Hasil Perairan IPB diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti).

Selama mengikuti program S2, penulis pernah mengikuti seminar-seminar mengenai bioteknologi dan pengolahan produk yang diselenggarakan oleh Balai Besar Riset Bioteknologi dan Pengolahan Produk Kelautan dan Perikanan, baik sebagai peserta maupun sebagai pemakalah.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar sejak tahun 2005 di Fakultas Pertanian jurusan Teknologi Perikanan Universitas Negeri Gorontalo, di Gorontalo.


(11)

v

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Roadmap Kegiatan Penelitian ... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Lintah Laut (Discodoris sp.) dan Komponen Bioaktifnya ... 6

2.2 Antioksidan ... 9

2.3 Tren Pangan Fungsional di Indonesia ... 11

2.4 Karakteristik Bahan-Bahan Campuran ... 13

2.4.1 Jahe (Zingiber officinalle Roscoe) ... 13

2.4.2 Rosella (Hibiscus sabdariffa) ... 14

2.4.3 Asam sitrat ... 15

2.5 Uji Stabilitas Minuman Fungsional ... 16

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 19

3.1 Bahan dan Alat ... 19

3.2 Prosedur Penelitian ... 19

3.2.1 Tahap pengambilan dan preparasi sampel ... 19

3.2.2 Tahap formulasi minuman fungsional ... 20

3.2.3 Tahap pengujian stabilitas terhadap masa simpan produk ... 21

3.3 Analisis ... 23

3.3.1 Analisis proksimat ... 23

3.3.2 Analisis aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1959 diacu dalam Molyneux 2004) ... 24

3.3.3 Uji Organoleptik (SNI 1996) ... 25

3.3.4 Uji stabilitas ... 25

3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30


(12)

vi

4.1.1 Komposisi kimia lintah laut (Discodoris sp.) ... 30

4.1.2 Komposisi kimia jahe (Zingiber officinale) ... 31

4.1.3 Komposisi kimia rosella (Hibiscus sabdariffa) ... 32

4.2 Aktivitas Antioksidan Bahan-Bahan Baku ... 33

4.2.1 Aktivitas antioksidan Discodoris sp ... 33

4.2.2 Aktivitas antioksidan jahe (Zingiber officinale Rosc) ... 35

4.2.3 Aktivitas antioksidan rosella (Hibiscus sabdariffa) ... 36

4.3 Formulasi Awal Minuman Fungsional ... 38

4.3.1 Analisis organoleptik ... 38

4.3.2 Aktivitas antioksidan produk formula awal ... 40

4.4 Reformulasi Minuman Fungsional ... 42

4.4.1 Analisis organoleptik ... 42

4.4.2 Aktivitas antioksidan produk minuman reformula ... 47

4.4.3 Pengaruh sinergisme antioksidan pada formula minuman fungsional ... 53

4.5 Pengujian Stabilitas Produk ... 60

4.5.1 Aktivitas antioksidan ... 60

4.5.2 Nilai pH ... 63

4.5.3 Total Plate Count dan Kapang ... 65

4.5.4 Total asam tertitrasi (TAT) ... 69

4.5.5 Indeks bias ... 71

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 73

5.1 Simpulan ... 73

5.2 Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(13)

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perkembangan jumlah produk suplemen makanan di Indonesia tahun

1990-2000 ... 12

2 Formulasi awal produk dalam satu kantong teh celup ... 20

3 Reformulasi produk berdasarkan hasil uji sinergis antioksidan dan organoleptik ... 21

4 Model perlakuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan ... 28

5 Komposisi kimia lintah laut (Discodoris sp.) ... 30

6 Komposisi kimia jahe merah berdasarkan berat kering ... 31

7 Komposisi kimia kelopak bunga rosella kering ... 32

8 Hasil analisis organoleptik pada formulasi awal ... 39


(14)

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Road map penelitian ... 5

2 Lintah laut (Discodoris sp.). ... 7

3 Bagan alir penelitian. ... 22

4 Aktivitas antioksidan serbuk kering Discodoris sp. ... 33

5 Aktivitas antioksidan serbuk kering jahe (Z. officinale Rosc.). ... 35

6 Aktivitas antioksidan serbuk kering rosella (H. sabdariffa). ... 37

7 Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi. ... 37

8 Kenampakan minuman fungsional lintah laut yang diformulasi dengan jahe dan rosella. ... 40

9 Hasil pengujian aktivitas antioksidan formula awal 1 (lintah laut 0,18 g, jahe 0,62 g, rosella 0,85 g) ... 41

10 Hasil pengujian aktivitas antioksidan formula awal 2 (lintah laut 0,198 g, jahe 0,62 g, rosella 0,85 g). ... 41

11 Hasil uji kesukaan panelis terhadap kenampakan. ... 44

12 Hasil uji kesukaan panelis terhadap aroma. ... 45

13 Hasil uji kesukaan panelis terhadap rasa. ... 46

14 Total nilai organoleptik dari semua formula minuman fungsional berbahan dasar lintah laut (Discodoris sp.). ... 47

15 Aktivitas antioksidan Formula 1 pada suhu air, volume air celupan, dan waktu celup yang berbeda. ... 48

16 Aktivitas antioksidan Formula 2 pada suhu air, volume air celupan, dan waktu celup yang berbeda. ... 49

17 Aktivitas antioksidan Formula 3 pada suhu air, volume air celupan, dan waktu celup yang berbeda. ... 50

18 Aktivitas antioksidan formula-formula minuman fungsional. ... 51

19 Aktivitas antioksidan jahe (0,25 g) pada suhu air, volume air celupan, dan waktu celup yang berbeda. ... 53

20 Aktivitas antioksidan asam sitrat (0,02 g) pada suhu, volume air celupan, dan waktu celup yang berbeda. ... 54

21 Aktivitas antioksidan lintah laut (0,19 g) pada suhu, volume air celupan, dan waktu celup yang berbeda. ... 55

22 Aktivitas antioksidan lintah laut (0,21 g) pada suhu, volume air celupan, dan waktu celup yang berbeda. ... 56


(15)

ix

23 Aktivitas antioksidan lintah laut (0,24 g) pada suhu, volume air celupan, dan waktu celup yang berbeda. ... 57 24 Perubahan aktivitas antioksidan selama penyimpanan suhu ruang

(30 oC), suhu 35 oC, dan suhu 45 oC. ... 60 25 Hubungan antara suhu dan laju penurunan aktivitas antioksidan. ... 61 26 Perubahan nilai pH produk formula 3 selama penyimpanan ... 63 27 Hubungan laju peningkatan nilai pH (ln) dengan suhu penyimpanan. .... 64 28 Peningkatan sel mikroba (TPC) selama penyimpanan pada suhu ruang, 35 oC, dan 45 oC. ... 66 29 Perubahan jumlah kapang selama penyimpanan pada suhu ruang,

suhu 35 oC, dan suhu 45 oC. ... 68 30 Penurunan total asam tertitrasi selama penyimpanan pada suhu

ruang, 35 oC, dan 45 oC. ... 69 31 Hubungan laju penurunan total asam tertitrasi (ln) dengan suhu

penyimpanan. ... 70 32 Nilai indeks bias air celupan produk formula 3 selama penyimpanan. .... 71


(16)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Score Sheet Uji Hedonik ... 84

2 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan formula 1 .. 85

3 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan formula 2 .. 86

4 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan formula 3 . 87 5 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut antar perlakuan dan formula ... 88

6 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan jahe ... 89

7 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan asam sitrat . 90 8 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan lintah laut (0,19 g) ... 91

9 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan lintah laut (0,21 g). ... 92

10 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut aktivitas antioksidan lintah laut (0,24 g) ... 93

11 Persamaan regresi linier pada tiga suhu penyimpanan ... 94

12 Aplikasi data hasil regresi pada model Arrhenius ... 95

13 Perhitungan masa simpan mengikuti reaksi ordo 0 ... 96

14 Perhitungan masa simpan menggunakan konsep Q10 ... 97

15 Data pengamatan jumlah TPC dan kapang selama penyimpanan ... 98

16 Perhitungan laju peningkatan jumlah mikroba (TPC) selama penyimpanan ... 99

17 Perhitungan laju peningkatan jumlah mikroba (kapang) selama penyimpanan ... 101

18 Data pengamatan nilai pH selama penyimpanan pada suhu ruang (30 oC), suhu 35 oC, dan 45 oC. ... 102

19 Data nilai rata-rata total asam tertitrasi selama penyimpanan yang dinyatakan dalam ml N NaOH/100 ml ... 103

20 Data nilai rata-rata indeks bias produk formula 3 selama penyimpanan yang dinyatakan dalam oBrix. ... 104


(17)

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha memperoleh komponen aktif dari suatu organisme untuk mengatasi penyakit telah dimulai sejak tahun 1970 dan mengalami kemajuan yang pesat lebih dari tiga dasawarsa ini. Banyak komponen alami dari laut yang telah diisolasi dan dibuat obat untuk mengatasi infeksi jamur, TBC, infeksi cacing, malaria, bakteri, virus, nyeri, kanker dan peradangan. Namun komponen-komponen alami tersebut dalam uji klinis masih sangat terbatas sementara potensi penggalian obat dari laut masih sangat diharapkan. Beberapa komponen alami dari laut dan telah diisolasi, misalnya Briostatin dari bryozoan Bugula neritim yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap sel-sel kanker; Discodermolida, yaitu agen antitumor yang diisolasi dari spons Discodermia spp.; Ecteinascidian-743 yang merupakan turunan alkaloid tetrahidrosoquinon dari tunicata Esteinascidia turbinata untuk mengatasi sarkoma (tumor) pada jaringan halus; Astaxantin, yaitu agen antioksidan yang kuat dari Alga laut dan krustasea sebagai agen kemopreventif (Anonim 2009), Ara-C, yaitu agen antikanker yang diisolasi dari spons Cryptotethia crypta; Ziconotide yang merupakan turunan peptida dari moluska Conus magus sebagai obat analgesik (Wojnar 2008), dan seskuiterpenoid dari lintah laut jenis Dysidea yang mempunyai aktivitas antibakteri dan antifungi (Ciavatta et al. 2007).

Lintah laut (Discodoris sp.) merupakan gastropoda laut yang tidak bercangkang dan biasanya berwarna coklat kehitam-hitaman dengan bintik putih dan garis pada bagian atas badannya. Lintah laut tersebar ke seluruh penjuru dunia dengan jumlah terbesar dengan berbagai macam jenis ditemukan di perairan tropis. Lintah laut merangkak sepanjang dasar atau melekat pada permukaan tanaman, pada batu-batuan berlumpur atau berpasir biasanya dalam air pada daerah pasang surut yang rendah, bergerak lambat, dan menghasilkan lendir untuk mencegah kekeringan (Rumpho et al. 2000).

Hasil penelitian Ibrahim (2001) menunjukkan bahwa lintah laut mengandung steroid yang bersifat anabolik dan androgenik. Witjaksono (2005) melaporkan bahwa fraksi nonpolar dan minyak yang terdapat pada daging


(18)

lintah laut mengandung senyawa fenol, sterol, asam lemak tidak jenuh majemuk dan asam lemak jenuh. Nurjanah (2010) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan lintah laut pada penelitian pendahuluan sebesar 86% dan penelitian lanjutan memperoleh aktivitas antioksidan sebesar 69,04-92,96% dengan rendemen 4,3-5,9%. Berdasarkan hasil ekstraksi dalam penelitian yang dilakukan oleh Andriyanti (2009), diketahui bahwa fraksi polar dari lintah laut mengandung senyawa-senyawa kimia protein, karbohidrat dan gula pereduksi. Selain itu juga mengandung komponen-komponen bioaktif, seperti alkaloid dan flavonoid yang terdeteksi cukup kuat serta fenol hidrokuinon yang terdeteksi pada ekstrak akuabides. Cavas et al. (2005) menunjukkan bahwa Oxynoe olivacea dan Lobiger serradifalci dari kelas gastropoda lain, memiliki aktivitas enzim antioksidan, yaitu superoxide dismutase (SOD), katalase (CAT), dan glutatione peroxidase (GSH-Px). Ibrahim (2001) menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat Bajo di Buton telah memanfaatkan lintah laut ini sebagai bahan aprodisiaka dan untuk menjaga stamina tubuh nelayan.

Penelitian yang memanfaatkan lintah laut sebagai basis dalam formulasi minuman fungsional belum pernah dilakukan, baru sampai pada tahap uji khasiat yang dilakukan oleh Nurjanah (2010). Penelitian ini diharapkan dapat melanjutkan mata rantai penelitian yang telah dilakukan khususnya untuk mendapatkan formulasi minuman berbasis antioksidan dari lintah laut yang selain memiliki sifat fungsional juga memiliki mutu organoleptik yang dapat diterima.

Pengembangan formulasi minuman menjadi penting untuk keperluan pabrikasi sehingga dapat menghasilkan pangan fungsional yang bisa diterima oleh masyarakat dari segi sensorinya. Pencampuran rempah-rempah dalam formulasi minuman dapat dilakukan selain untuk memperoleh suatu kombinasi antioksidan dengan aktivitas yang lebih tinggi, juga dapat memberikan rasa dengan nilai sensori yang lebih tinggi pula. Jahe dan bunga rosella merupakan salah satu rempah dan tumbuhan yang dapat ditambahkan dalam formulasi minuman. Selain dapat menghilangkan rasa anyir dari lintah laut, keduanya telah terbukti memiliki sifat fungsional lainnya yang salah satunya adalah memiliki aktivitas antioksidan. Namun, sebelum dibuat formulasi perlu


(19)

dilakukan pengujian untuk melihat pengaruh antioksidan dalam masing-masing bahan bila dicampur, besifat sinergis atau antagonis.

1.2 Perumusan Masalah

Pemanfaatan lintah laut segar di beberapa daerah pesisir di Indonesia sebagai bahan aprodisiaka yang berkhasiat bagi tubuh sudah dilakukan sejak lama. Bagi sebagian besar masyarakat tidaklah mudah untuk menerima lintah laut sebagai makanan sehari-hari karena dapat menimbulkan rasa jijik saat mengkonsumsinya dalam bentuk segar. Zat aktif yang terdapat dalam lintah laut melalui beberapa penelitian sebelumnya terdeteksi mengandung aktivitas antioksidan yang jika dikonsumsi dapat berpengaruh baik pada tubuh, karena dapat menangkal radikal-radikal bebas. Radikal bebas yang terdapat dalam tubuh dapat memicu terjadinya berbagai penyakit, seperti tumor, kanker, peningkatan kadar kolesterol dalam darah dan penyakit jantung.

Untuk memberikan kepraktisan dalam mengonsumsi lintah laut, maka perlu dibuat suatu jenis sediaan dalam bentuk minuman fungsional. Serbuk kering lintah laut, jahe, rosella, dan atau pemberi rasa asam lainnya dicampur dalam suatu formulasi kemudian dikemas menyerupai teh celup. Penggunaan bahan-bahan campuran tersebut diduga dapat mempengaruhi nilai sensoris dan kestabilan antioksidan dalam minuman fungsional yang akan dibuat. Oleh karena itu perlu dicari suatu formulasi gabungan yang tepat untuk mendapatkan suplemen yang memenuhi standar karakteristik pangan fungsional dengan masa simpan yang lama.

1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan :

1. Menentukan kondisi penyajian minuman fungsional terbaik untuk mendapatkan aktivitas antioksidan tertinggi,

2. Menentukan konsentrasi dan pencampuran bahan-bahan baku terhadap dampak sinergis antioksidan pada minuman fungsional,

3. Menentukan formula minuman terbaik yang memiliki masa simpan maksimum melalui pengujian stabilitas produk berdasarkan waktu penyimpanan.


(20)

1.4 Hipotesis

Berdasarkan tujuan dari penelitian ini, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut :

a) Kondisi penyajian berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan minuman fungsional,

b) Konsentrasi dan kombinasi bahan campuran berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan formula minuman,

c) Masa simpan mempengaruhi karakteristik fisik dan kimia produk minuman

fungsional.

1.5 Roadmap Kegiatan Penelitian

Penelitian-penelitian mengenai lintah laut sebelumnya telah diteliti baik menyangkut struktur anatomi dan fisiologisnya maupun komponen bioaktif yang terkandung di dalamnya. Roadmap kegiatan penelitian khususnya terhadap lintah laut Discodoris sp. dapat dilihat pada Gambar 1.


(21)

Sampel lintah laut (Discodoris sp.)

Bubuk kering

uji aktivitas antioksidan uji proksimat DPPH dan NBT

Formulasi minuman fungsional (dengan jahe dan rosella)

uji stabilitas selama masa simpan uji organoleptik *aktivitas antioksidan

*uji kimia

*uji mikrobiologi Produk minuman fungsional

Gambar 1 Road map penelitian

Ekstrak minyak T LC Steroid

Uji pada ayam

Ibrahim 2001 Bubuk Kering Ekstrak fraksi polar

Fitokimia uji aktivitas antioksidan (DPPH)

Andriyanti 2009 Uji proksimat

Minyak ekstrak kering kloroform TLC

GC

Witjaksono 2005 Tepung kering

Ekstrak metanol - Uji khasiat antikolesterol dan anti aterogenik

- Uji efek toksikopatologis TLC

Uji aktivitas anti- Fraksinasi Oksidan (NBT) Uji aktivitas antioksidan

Isolasi kolom


(22)

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lintah Laut (Discodoris sp.) dan Komponen Bioaktifnya

Lintah laut (Discodoris sp.) merupakan spesies yang termasuk dalam ordo nudibranchia yang dikenal memiliki corak dan warna yang beraneka ragam. Nudibranch dicirikan dengan tubuhnya yang tidak memiliki cangkang, dan termasuk dalam golongan karnivora yang memangsa sponge dan invertebrata bertubuh lunak. Selain metabolit-metabolit yang diperoleh dari mangsanya, nudibranch juga menghasilkan sendiri komponen-komponen tersebut (Grkovic et al. 2005). Racun dalam tubuh mangsanya tidak membahayakan hewan ini, melainkan dapat digunakan sebagai suatu alat pertahanan terhadap musuh. Sedikit dari hewan ini menghasilkan sendiri racunnya, namun lebih banyak berasal dari makanan yang dimakannya. Spesis yang memakan racun sponge, akan mengubah dan menyimpan komponen racun tersebut dalam tubuhnya dan mengeluarkannya melalui sel-sel kulit dan kelenjar saat mereka diserang (Holland 2009).

Klasifikasi lintah laut secara sistematik menurut Rudman (1999) diacu dalam Witjaksono (2005), adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animal

Phylum : Moluska

Kelas : Gastropoda Sub kelas : Opistobranchia

Ordo : Nudibranchia

Sub ordo : Doridina Famili : Dorodidae Genus : Discodoris sp.

Lintah laut (Discodoris sp.) memiliki ukuran tubuh yang kecil hingga medium berbentuk bulat panjang. Mulutnya dilengkapi dengan tentakel-tentakel kecil berbentuk jari (Sachidhanandam et al. 2000). Tubuh Discodoris sp. berwarna coklat kehitam-hitaman dengan bintik putih dan garis pada bagian atas badannya dan tanpa dilindungi oleh lapisan pelindung. Biasanya terdapat di perairan dangkal berpasir serta terumbu karang hingga di dasar laut kelam


(23)

lebih dari satu kilometer dalamnya. Hewan ini berkembang baik di perairan hangat maupun dingin dan bahkan di sekeliling cerobong-cerobong vulkanis yang menyembur di laut dalam (Holland 2009). Hewan ini hidup dan menempel rapat pada batu-batuan yang berlumpur atau berpasir dan menghasilkan lendir (mucus) untuk mencegah kekeringan. Bagian bawahnya dapat bergerak dan menempel pada substrat sehingga gerakannya lambat (Rudman 1999 diacu dalam Witjaksono 2005). Lintah laut (Discodoris sp.) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2 Lintah laut (Discodoris sp.).

Beberapa komponen bioaktif yang telah diteliti dari lintah laut dari ordo Nudibranch diantaranya adalah diterpenoid yang berperan sebagai pertahanan pada saat metabolisme stress (Cavagnin 2003). Jenis Dysidea menghasilkan seskuiterpenoid yang mempunyai aktivitas antibakteri dan antifungi (Ciavatta et al. 2007). Uji fitokimia pada ekstrak metanol dari jenis Discodoris mendapatkan kelompok alkaloid, steroid, asam amino, saponin, dan fenol yang diduga berperan sebagai antioksidan (Nurjanah et al. 2010). Alkaloid adalah senyawa alami amina baik pada tanaman, hewan ataupun jamur dan merupakan produk yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder. Senyawa ini berperan dalam sistem saraf pusat dan merupakan komponen pertahanan dalam tubuh, selain itu juga dapat bersifat sebagai antimalaria (Sirait 2007). Flavonoid dan beberapa golongan fenol dapat digunakan untuk mengurangi


(24)

risiko beberapa penyakit kronis dengan kemampuannya sebagai antioksidan, antiinflamasi, detoksifikasi karsinogen, antikolesterol, dan antiproliferasi (Chen dan Blumberg 2008). Flavonoid juga dapat menghambat secara efektif kerja beberapa enzim, yaitu xanthin oksidase, siklooksigenase dan lipooksigenasi (Hoorn et al. 2002) sehingga dapat mengurangi pembentukan radikal superoksida yang dapat menyebabkan peradangan (Bodamyali et al. 2002)

Spesies lain dari kelompok nudibranch, Elysia chlorotica telah diuji untuk mendapatkan komponen antikanker yang juga berfungsi sebagai pertahanan terhadap predator. Beberapa spesies yang memakan hewan ini mensintesis dan mengakumulasi racun metabolit sekunder yang dihasilkannya di dalam mucus kemudian mengeluarkannya dalam jumlah yang besar sebagai pertahanan diri pada saat diserang. Komponen antikanker yang terdeteksi merupakan depsipeptida siklik yang dinamakan kahalalide F. Metabolit-metabolit yang bersifat antikanker yang dihasilkan oleh lintah laut kemungkinan besar memiliki mekanisme pertahanan terhadap predator atau sebagai anti predator (Rumpho et al. 2000).

Kelompok nudibranch lainnya, Discodoris indecora menunjukkan kemampuannya berkamuflase yang sempurna terhadap mangsanya, spons Ircinia variabilis. Bentuk dan warna hewan ini sangat mirip dengan spons yang tersebar luas diperairan dangkal di Laut Mediterania. Discodoris indecora menunjukkan sifat mempertahankan diri saat mendapatkan gangguan dengan mengeluarkan lendir putih yang banyak yang terdiri atas sejumlah besar palinurin dan variabilin. Kebanyakan hewan dapat memindahkan metabolit-metabolit spons dari dalam kelenjar pencernaan ke kelenjar mantelnya (Marin et al. 1997).

Beberapa produk kimia alami telah diteliti dari spesies-spesies Dendrodoris denisoni, Ceratosoma amoena, Tambja verconis dan T. morose. D. denisoni dapat mensintesis cinnamolida dan olepupuane (de novo). Genus Tambja dikenal karena kemampuannya memisahkan alkaloid Tambjamin dari tubuh mangsanya, bryozoan Bugula dentate. Namun dalam penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa tidak semua komponen Tambjamin ada pada bryozoan. Dengan demikian maka kedua spesies dari genus Tambja di atas


(25)

tidak hanya dapat memisahkan metabolit sekunder dari mangsanya saja, namun secara struktural juga dapat memodifikasi komponen-komponen tersebut dan mengeluarkannya untuk mempertahankan diri dari predator (Grkovic et al. 2005).

Nurjanah (2010) dalam penelitiannya dapat membuktikan bahwa uji khasiat serbuk kering Discodoris sp. yang telah dilakukan pada kelinci New Zealand White selama 12 minggu sebanyak 4% dari pakan dapat menurunkan kadar kolesterol total, trigliserida, LDL, dan meningkatkan HDL, sehingga lintah laut ini juga berpotensi selain sebagai antioksidan juga sebagai antikolesterolemia.

2.2 Antioksidan

Antioksidan adalah semua zat atau senyawa yang dapat mencegah terjadinya otooksidasi yang biasanya terjadi pada bahan yang mengandung lemak. Otooksidasi lipida diawali oleh adanya radikal bebas; hidroperoksida dihasilkan dari otooksidasi yang terurai menghasilkan radikal bebas yang merupakan awal dari reaksi-reaksi oksidasi selanjutnya. Pada awalnya konsentrasi radikal bebas sangat kecil dan oksidasi berjalan lambat. Secara bertahap, konsentrasi hidroperoksida dan produk-produk oksidasi lainnya meningkat, konsentrasi radikal bebas terbentuk selama peningkatan proses penguraian sehingga kecepatan oksidasi meningkat secara eksponensial (Rahman 2007). Lebih jelas lagi disebutkan bahwa antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan radikal bebas. Antioksidan juga dapat menghambat dekomposisi hidroperoksida lemak.

Penggunaan senyawa antioksidan berkembang dengan pesat baik untuk makanan maupun pengobatan. Antioksidan merupakan komponen yang dapat mencegah dan menghambat oksidasi lipida atau molekul lain melalui penghambatan awal atau penggandaan reaksi rantai oksidatif (Javanmardi et al. 2003). Sedikitnya ada empat sumber antioksidan yang umum yaitu (1) enzim, yang terdiri atas superoksida dismutase, glutatione peroksidase, dan katalase; (2) molekul besar, yaitu albumin, ceruloplasmin, ferritin; (3) molekul-molekul kecil, yaitu asam askorbat, glutatione, asam urat, tokoferol, karotenoid, (poli)fenol; dan (4) beberapa hormon, yaitu estrogen, angiotensin, melatonin,


(26)

dan sebagainya (Prior et al., 2005). Antioksidan buatan, yaitu butylhydroxy anisole (BHA), butylhydroxy toluene (BHT) dan butylhydroquinone (BHQ) telah digunakan secara luas untuk memperlambat oksidasi lipida namun dewasa ini antioksidan-antioksidan tersebut ditengarai memberikan dampak buruk bagi kesehatan.

Berbagai sistem antioksidan telah berkembang untuk melindungi radikal bebas dan mencegah kerusakan struktur biologi yang penting, seperti membran lipida, protein, dan DNA. Kapasitas antioksidan adalah sebuah konsep yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan keseluruhan jaringan untuk menghambat proses yang dimediasi oleh radikal bebas dan mengurangi kerentanan jaringan terhadap kerusakan oksidatif.

Setiap orbit yang mengelilingi inti atom ditempati oleh sepasang elektron. Jika satu molekul kehilangan satu buah elektron, maka molekul menjadi sebuah radikal bebas yang bersifat tidak stabil dan oleh karenanya menjadi sangat reaktif. Radikal bebas kemudian bereaksi dengan molekul apa saja yang ada di sekelilingnya, dan mengubah molekul tersebut menjadi sebuah radikal bebas yang kemudian dapat mengawali terjadinya reaksi yang lain. Secara teori, sebuah radikal bebas dapat menyebabkan sejumlah reaksi yang tak berkesudahan. Reaksi ini dapat dihentikan melalui reaksi radikal bebas dengan radikal bebas lain yang membentuk ikatan kovalen molekul atau melalui reaksi antara radikal bebas dengan antioksidan, enzim antioksidan, atau gabungan keduanya.

Pertahanan antioksidan yang tidak cukup efisien akan meningkatkan pembentukan radikal bebas dalam tubuh sehingga kemungkinan besar juga meningkatkan kerusakan yang biasa disebut dengan oxidative stress/ kerusakan oksidatif. Jika terjadi kerusakan oksidatif yang ringan, maka jaringan tubuh meresponnya dengan meningkatkan pertahanan antioksidan, namun jika kerusakan oksidatifnya berat maka dapat menyebabkan kerusakan sel dan kematian sel. Fakta yang berkembang menunjukkan bahwa kerusakan oksidatif terlibat dalam perkembangan berbagai macam penyakit, yaitu jantung koroner, kanker, Parkinson dan kelainan neurodegenerative lainnya, radang perut, dan penyakit paru-paru (Mason 2007).


(27)

2.3 Tren Pangan Fungsional di Indonesia

Pengembangan pangan fungsional di Indonesia berawal dari pangan tradisional yang dianggap dan diyakini bermanfaat bagi peningkatan kesehatan dan terapi penyakit. Pangan tradisional adalah makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu dengan citarasa khas yang diterima oleh masyarakat tersebut. Bagi masyarakat Indonesia umumnya amat diyakini khasiat aneka pangan tradisional, seperti tempe, bawang putih, madu, kunyit, jahe, kencur, temulawak, asam jawa, sambiloto, daun herbal, daun teh, daun beluntas, cincau dan aneka herbal lainnya. Jamu sebagai racikan aneka herbal berkhasiat sangat popular di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa (Ardiansyah 2005).

Saat ini pasar pangan fungsional di Indonesia lebih banyak ditujukan kepada anak-anak, pria dan wanita usia muda. Asam lemak esensial, seperti omega 3 dan omega 6 serta kalsium menjadi komponen pangan fungsional utama yang dipromosikan pada produk-produk pangan fungsional yang ditujukan kepada anak-anak sebagai target konsumen. Produk pangan fungsional untuk kalangan dewasa lebih difokuskan sebagai produk pangan untuk meningkatkan stamina dengan penambahan komponen, seperti zat besi, kalsium dan komponen bioaktif lain dari ginseng, jahe, dan yohimbi (Hardinsyah 2004).

Sejalan dengan perkembangan pangan fungsional di Indonesia maka pemerintah melalui Badan POM telah membuat suatu regulasi pangan fungsional. Definisi pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmuan dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur, dan citarasa yang dapat diterima oleh konsumen, tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya. Meskipun mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak


(28)

berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (BPOM 2005).

Kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi makanan sebagai sumber zat gizi serta untuk menjaga kesehatan semakin meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Pada tahun 1997, konsumen Amerika Serikat (AS) membelanjakan US$ 12,70 miliar untuk suplemen pangan dan angka tersebut meningkat 13%/tahun (Aarts 1998 diacu dalam Witwer 1999). Di Indonesia, kecenderungan tersebut telah dimanfaatkan oleh industri farmasi dan makanan untuk mempromosikan produk-produknya melalui pencantuman klaim kesehatan pada label produk maupun iklannya. Berdasarkan data Badan POM, produk suplemen makanan meningkat cukup pesat dalam dasawarsa terakhir, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan jumlah produk suplemen makanan di Indonesia tahun 1990-2000

Tahun Produksi Produk impor Total (jenis) dalam negeri 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 8 15 23 75 114 55 86 152 102 90 117 28 84 129 190 397 155 410 579 246 72 109 36 99 152 265 511 210 496 731 348 162 226

Total 837 2.399 3.236

Sumber: Badan POM diacu Sampoerno dan Fardiaz (2001)

Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Bila fungsi obat terhadap penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional lebih bersifat pencegahan terhadap penyakit. Berbagai jenis pangan fungsional telah beredar di pasaran, mulai dari produk susu probiotik tradisional (yoghurt, kefir dan


(29)

coumiss) sampai produk susu rendah lemak siap dikonsumsi yang mengandung serat larut. Demikian juga dengan produk yang mengandung ekstrak serat yang bersifat larut yang berfungsi menurunkan kolesterol dan mencegah obesitas. Jenis minuman, telah tersedia berbagai minuman yang berkhasiat menyehatkan tubuh yang mengandung komponen aktif rempah-rempah, seperti kunyit asam, minuman sari jahe, sari temu lawak, beras kencur, serbat, dan bandrek.

Kelompok senyawa yang dianggap mempunyai fungsi fisiologis tertentu di dalam pangan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat gizi dasar (karbohidrat, protein dan lemak) yang terkandung dalam pangan yang bersangkutan, yaitu : (1) serat pangan (dietary fiber), (2) oligosakarida, (3) gula alkohol (polyol), (4) asam lemak tidak jenuh jamak (Polyunsaturated fatty acid = PUFA), (5) peptida dan protein tertentu, (6) glikosida dan isoprenoid, (7) polifenol dan isoflavon, (8) Kolin dan lesitin, (9) bakteri asam laktat, (10) phytosterol, serta (11) vitamin dan mineral tertentu.

2.4 Karakteristik Bahan-Bahan Campuran

Formulasi minuman fungsional berbahan dasar lintah laut (Discodoris sp.) dilakukan dengan menambah bahan-bahan lain, yang selain dapat meningkatkan citarasa juga dapat berfungsi sebagai penambah kesehatan. Bahan-bahan yang dicampur dalam formulasi minuman fungsional ini adalah jahe dan kelopak bunga rosella.

2.4.1 Jahe (Zingiber officinalle Roscoe)

Jahe merupakan tanaman rumput-rumputan yang hidup merumpun, berbatang semu, tegak atau condong dengan ketinggian antara 30-100 cm (Purseglove et al. 1981). Seluruh batangnya tertutup oleh kelopak daun yang melingkari batang, bunganya berbentuk mayang kuning kehijauan dengan bibir bunga berwarna ungu.

Bagian jahe yang banyak digunakan manusia adalah rimpangnya. Rimpang jahe merupakan batang yang tumbuh dalam tanah dan dipanen setelah berumur 9-11 bulan. Waktu pemanenan jahe tergantung pada tujuan penggunaannya. Jahe yang digunakan sebagai bahan baku permen, manisan dan selai dipanen pada saat muda agar tidak terlalu keras, umumnya berumur


(30)

3-4 bulan (Farrel 1990). Rimpang yang akan digunakan sebagai bumbu atau untuk ekstraksi minyak atsiri dan oleoresin dipanen setelah tua karena kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya lebih tinggi, biasanya berumur 8-10 bulan (Purseglove et al. 1981).

Dua komponen utama yang terdapat pada jahe adalah minyak atsiri dan oleoresin yang berada di dalam sel-sel minyak pada jaringan korteks dekat permukaan kulit. Minyak atsiri jahe merupakan komponen pemberi aroma yang khas, bersifat mudah menguap pada suhu kamar tanpa mengalami dekomposisi dan diperoleh melalui penyulingan uap, pengepresan maupun ekstraksi menggunakan pelarut organik (Ketaren 1988). Konsistensi minyak atsiri jahe adalah cairan kental berwarna hijau sampai kuning, berbau harum tetapi tidak memiliki komponen-komponen pembentuk rasa pedas dan hangat khas jahe (Purseglove et al. 1981). Oleoresin merupakan campuran minyak atsiri pembawa aroma dan sejenis damar pembawa rasa (Rismunandar 1988). Oleoresin jahe lebih banyak mengandung komponen non volatil yang mempunyai titik didih lebih tinggi daripada komponen volatil minyak atsiri. Komponen non volatil itu merupakan zat pembentuk rasa pedas jahe dan memiliki sifat organoleptik seperti rempah-rempah aslinya. Oleh karena itu, oleoresin tetap memberikan rasa walaupun sebagian minyak atsirinya telah menguap (Cripps 1973).

2.4.2 Rosella (Hibiscus sabdariffa)

Rosella merupakan tumbuhan perdu yang berasal dari India dengan tinggi mencapai 3 m. Berbatang bulat, tegak, percabangan simpodial, memiliki kambium, dan berwarna merah. Daunnya tunggal berbentuk bulat, seperti telur dengan tipe daun menjari. Ujung daunnya tumpul dan pangkalnya berlekuk. Panjang daun rosella sekitar 6-15 cm dan lebar 5-8 cm. Panjang tangkai daun 4-7 cm dengan penampang bulat dan berwarna hijau (Maryani dan Kristiana 2005). Rosella memiliki bunga tunggal yang tumbuh di ketiak daun. Kelopak berbunga berwarna merah, berbulu, terdiri atas 8 hingga 11 daun kelopak dan pangkalnya berlekatan. Mahkota bunganya berwarna kuning berbentuk corong dan setiap bunga terdiri atas 5 daun mahkota yang panjangnya 3-5 cm.


(31)

Rosella tumbuh baik pada daerah tropik atau subtropik yang hangat dengan ketinggian 0-900 m di atas permukaan laut. Curah hujan yang diperlukan selama pertumbuhan adalah 182 cm/tahun. Pada 4-5 bulan setelah tanam, tanaman ini memerlukan banyak sinar matahari untuk mencegah munculnya bunga prematur yang dapat menyebabkan kualitasnya menjadi buruk. Rosella dapat langsung diolah setelah dipanen atau dikeringkan agar lebih awet dalam penyimpanannya. Rasio pengeringan rosella umumnya 10:1, artinya dari setiap 10 kg kelopak segar akan menghasilkan 1 kg kelopak kering (Maryani dan Kristiana 2005).

Tee et al. (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa jumlah senyawa aktif rosela berupa senyawa fenolik yang dapat berfungsi sebagai senyawa antioksidan mencapai 2,96 mg/g kelopak bunga kering. Ekstrak rosella menunjukkan sifat antioksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan

BHA atau pun α-tocoferol. Ekstrak sebanyak 200 ppm dapat mengurangi

komponen diene terkonyugasi lebih dari 85%. Rosella merupakan sumber antioksidan alami yang dapat melindungi tubuh dari kerusakan radikal bebas dan peroksidasi lemak. Efek proteksi ini disebabkan oleh asam askorbat,

β-caroten, dan komponen fenolik khususnya antosianin.

Menurut Fasoyiro et al. (2005) rosella merupakan sumber penting untuk vitamin, mineral dan komponen bioaktif, seperti asam organik, fitosterol, dan polifenol dan beberapa diantaranya memiliki sifat antioksidan. Warna merah pada kelopak bunga rosella disebabkan oleh pigmen antosianin yang mengandung delfinindin-3-sambubiosida, sianidin-3-sambubiosida dan delfinidin-3-glukosa. Sementara kandungan terbesar dalam ekstrak air rosella ialah asam sitrat, asam askorbat dan asam malat (Blunden et al. 2005).

2.4.3 Asam sitrat

Asam sitrat merupakan intermedier dari asam organik yang secara alami terdapat dalam berbagai jenis buah dan sayuran. Asam sitrat mudah larut dalam air, spritus, dan etanol, tidak berbau, berasa sangat asam, jika dipanaskan akan meleleh kemudian terurai yang selanjutnya terbakar sampai menjadi arang. Secara luas asam sitrat digunakan sebagai asidulan, pengatur pH, pemantap rasa, pengawet, dan bersinergis antioksidan dalam sistim pangan, seperti


(32)

minuman ringan, jelly, selai, permen, serta sayuran dan buah-buahan yang

dikalengkan (Gu’rsoy 2002).

Asam sitrat disebut juga dengan asam 2-hidroksi-1,2,3-propanatri-karboksilat, merupakan asam dengan molekul polifungsional, yaitu satu gugus hidroksil dan tiga gugus karboksilat (Rukmana 2003). Pada suhu kamar, asam sitrat berbentuk kristal dan berwarna putih. Serbuk putih kristal dapat berupa anhidrous (bebas air) atau bentuk monohidrat yang mengandung satu molekul air untuk setiap molekul asam sitrat. Bentuk anhidrous asam sitrat mengkristal dalam air panas, sedangkan bentuk monohidrat didapatkan dari kristalisasi asam sitrat dalam air dingin. Bentuk monohidrat tersebut dapat diubah menjadi bentuk anhidrous dengan pemanasan di atas 70 oC.

Asam sitrat dapat diekstrak dari sumbernya dengan mengendapkan sitrat dari larutannya dengan penambahan Ca(OH)2 membentuk endapan kalsium

sitrat. Sitrat dari endapan dipisahkan lagi dengan kolom yang berisi resin penukar kation (Rohim 1999). Filtrat kemudian dipekatkan dan kadar sitrat ditentukan dengan HPLC (Rohn dan Hess 1999). Asam sitrat juga dapat diperoleh melalui fermentasi glukosa dengan penambahan kapang Aspergillus niger (Ali et al. 2002).

FDA USA mengklasifikasikan asam sitrat ke dalam GRAS (Generally Recognized as Safe) sebagai zat aditif yang aman digunakan. Pengujian in vivo pada tikus menunjukkan toksisitas akut yang rendah, yaitu dosis kematian sebesar 3000 mg/kg bb. Asam sitrat juga tidak bersifat karsinogenik, namun hanya memberikan pengaruh iritasi pada kulit dan mata, juga dalam pernafasan jika terhirup dalam jumlah yang banyak (FDA 1973).

2.5 Uji Stabilitas Minuman Fungsional

Bagi semua produk, untuk memperoleh penerimaan dari konsumen maka kandungan nutrisi serta kualitasnya harus tetap konsisten mulai dari waktu proses, penyimpanan dan distribusi sampai saatnya produk dikonsumsi. Selama ini industri farmasi dan makanan telah memiliki pedoman penentuan stabilitas produk jaminan label, namun tidak demikian bagi nutraceutical, pangan fungsional maupun food supplement atau makanan tambahan. Maka untuk menjaga atau mempertahankan penerimaan konsumen dan menghindari


(33)

tuntutan pemerintah dan undang-undang, maka baik nutraceutical, pangan fungsional maupun makanan tambahan ini juga harus dievaluasi stabilitasnya termasuk penentuan daya tahan produk serta jaminan keakuratan seperti yang tercantum pada label. Manfaat fisiologis yang dicapai adalah produk tersebut dikonsumsi dan komponen bioaktif tetap ada pada konsentrasi yang dibutuhkan. Jika kondisi ini tidak tercapai maka nutraceutical maupun pangan fungsional kehilangan khasiatnya (Shi 2007).

Produk dapat kehilangan daya tahannya dengan berbagai cara. Pertumbuhan mikroba dalam produk dapat menurunkan sensori penerimaannya melalui kerusakan atau menimbulkan risiko kesehatan. Perubahan fisik seperti pengerasan pada buah kering dan melembutnya sereal merupakan mekanisme lain dari hilangnya daya tahan produk. Akhirnya reaksi kimia dapat terjadi selama pengolahan dan penyimpanan menghasilkan perubahan-perubahan, seperti tidak diterimanya perubahan warna, hilangnya nutrisi, dan perubahan rasa. Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai uang, daya tumbuh, dan kepercayaan (Rahayu et al. 2003).

Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Penggunaan indikator mutu dalam menentukan umur simpan produk siap masak atau siap saji bergantung pada kondisi saat percobaan penentuan umur simpan tersebut dilakukan (Kusnandar 2004). Hasil percobaan penentuan umur simpan hendaknya dapat memberikan informasi tentang umur simpan pada kondisi ideal, umur simpan pada kondisi tidak ideal, dan umur simpan pada kondisi distribusi dan penyimpanan normal dan penggunaan oleh konsumen. Suhu normal untuk penyimpanan, yaitu suhu yang tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan mutu produk. Suhu ekstrim atau tidak normal akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi 2004).

Data yang diperlukan untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori,


(34)

analisis kimia dan fisik, serta pengamatan kandungan mikroba (Koswara 2004). Penentuan umur simpan dengan menggunakan faktor organoleptik dapat menggunakan parameter sensori (warna, flavor, aroma, rasa, dan tekstur) terhadap sampel dengan skala 0−10, yang mengindikasikan tingkat kesegaran suatu produk (Gelman et al. 1990).


(35)

19

3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat

Bahan baku lintah laut (Discodoris sp.) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari perairan Pantai Pulau Belitung, Bangka Belitung. Bahan-bahan tambahan untuk formulasi meliputi kelopak bunga rosella, jahe dan asam sitrat. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis proksimat adalah akuades, alkohol, NaOH 40%, H3BO3 2%, HCl 0,1 N, dan Indikator Brom Cresol

Green-Metyl Red; analisis aktivitas antioksidan adalah DPPH, dan metanol p.a; analisis mikrobiologi adalah PCA, PDA, dan asam tartarat 10%; analisis asam tertitrasi adalah NaOH 0,1%, dan indikator fenolftalein.

Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah, inkubator, otoklaf, hand refractometer, spektrofotometer model UV-VIS RIS UV 2500, neraca analitik, pH meter Orion Benchinp model 410 A, tanur, seperangkat alat Soxhlet, labu Kjeldahl, alat-alat gelas, dan alat-alat uji organoleptik.

3.2 Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap pengambilan dan preparasi sampel, tahap formulasi minuman fungsional, dan tahap pengujian stabilitas terhadap masa simpan. Tahap formulasi diawali dengan percobaan trial and error untuk mengetahui batas penerimaan dari segi organoleptik. Pada tahap ini juga dilakukan pengujian pendahuluan terhadap aktivitas antioksidan dari masing-masing bahan serta pencampuran antar dua bahan dan keseluruhan bahan baku untuk melihat efek sinergis/antagonis dari antioksidan.

3.2.1 Tahap pengambilan dan preparasi sampel

Contoh lintah laut (Discodoris sp.) diambil di perairan P. Belitung dalam keadaan hidup kemudian dimatikan. Contoh dicuci sampai bersih dengan air tawar kemudian dikeluarkan jeroannya dan dijemur hingga kering, lalu, dikemas dalam kemasan plastik. Sampel disimpan dalam lemari pendingin pada suhu freezer hingga digunakan.

Contoh jahe segar dicuci dengan air dan dikupas kulitnya, selanjutnya diiris tipis-tipis dan dikeringkan dalam oven bersuhu 50 oC selama satu hari


(36)

kemudian digiling hingga halus. Bubuk jahe kering disimpan dalam wadah terutup dan disimpan dalam freezer hingga digunakan. Rosella kering digiling sampai halus, diayak, dan disimpan dalam freezer hingga digunakan. Pemberi rasa asam, berupa asam sitrat digunakan sebagai pengganti rosela.

Analisis yang dilakukan pada tahap ini yaitu: (1) analisis proksimat terhadap masing-masing bahan kering meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein (AOAC 1995), serta (2) analisis aktivitas antioksidan terhadap masing-masing bahan kering menggunakan metode DPPH (Diphenyl picrylhidrazyl) (Blois 1959 diacu dalam Molyneux 2004).

3.2.2 Tahap formulasi minuman fungsional

Pada tahap ini dilakukan formulasi minuman. Formulasi didasarkan pada hasil percobaan trial and error terhadap karakteristik mutu organoleptik dari minuman fungsional ini. Berdasarkan percobaan, maka penyajian minuman adalah berbentuk minuman teh celup yang dikemas dalam kantong teh celup.

Komposisi dari bahan-bahan utama, serta teknik pembuatan yang mencakup suhu air celupan, volume air, dan lama celupan merupakan perlakuan dalam penelitian ini. Formulasi awal yang dilakukan sebanyak enam jenis (perlakuan) seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Formulasi awal produk dalam satu kantong teh celup Formula Bahan Utama (%) Bahan-Bahan Pembantu (%)

Bubuk Discodoris sp Bubuk jahe Bubuk rosella

1 7,0 23 32

2 7,5 23 32

3 8,0 23 33

4 8,5 23 32

5 9,0 23 32

6 10,0 23 32

Semua produk dari perlakuan formulasi kemudian disterilisasi di bawah UV selama 1x24 jam. Analisis yang dilakukan meliputi: (1) analisis aktivitas antioksidan terhadap air celupan dari masing-masing bahan, (2) analisis organoleptik menggunakan pengujian hedonik, dan (3) analisis aktivitas antioksidan terhadap formula minuman yang masuk dalam batas penerimaan berdasarkan uji organoleptik. Pengujian aktivitas antioksidan formula langsung


(37)

diambil dari air celupan masing-masing formula. Selain itu dilakukan pula pengujian antar dua bahan untuk melihat bahan-bahan campuran manakah yang lebih baik pengaruh sinergis/antagonis antioksidannya. Aktivitas antioksidan air celupan diamati pada suhu air, volume air, serta lama celup yang berbeda.

Berdasarkan hasil pengujian terhadap sifat sinergis antioksidan pada air celupan formula awal yang menunjukkan hasil negatif, maka dilakukan reformulasi seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Reformulasi produk berdasarkan hasil uji sinergis antioksidan dan organoleptik

Formula Bahan Utama (g) Bahan-Bahan Pembantu (g) Bubuk Discodoris sp. Bubuk jahe Asam sitrat

1 0,19 0,25 0,02

2 0.21 0,25 0,02

3 0,24 0,25 0,02

4 0,26 0,25 0,02

5 0,27 0,25 0,02

6 0,28 0,25 0,02

3.2.3 Tahap pengujian stabilitas terhadap masa simpan produk

Pada tahap ini, produk yang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi di antara perlakuan yang diterima secara organoleptik, dilanjutkan pengujiannya untuk melihat stabilitas produk terhadap waktu. Pengujian masa simpan dilakukan dengan percepatan waktu atau model akselerasi menggunakan metode Arrhenius. Selama masa penyimpanan, produk disimpan pada tiga kondisi suhu yang berbeda, yaitu suhu ruang, suhu 35 oC, dan suhu 45 oC. Pengamatan dilakukan pada lima titik waktu dengan periode yang berbeda pada setiap suhu. Frekwensi pengamatan pada suhu ruang setiap 7 hari, pada suhu 35 oC setiap 5 hari, dan pada suhu 45 oC setiap 3 hari sekali.

Uji stabilitas yang dilakukan pada setiap pengamatan meliputi: (1) uji aktivitas antioksidan dari formula terpilih, (2) uji total mikroba/kapang, (3) Nilai pH, (4) total asam tertitrasi, dan (5) indeks bias. Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.


(38)

Gambar 3 Bagan alir penelitian. Analisis organoleptik.

Analisis aktivitas antioksidan pada air celupan

Analisis organoleptik.

Analisis aktivitas antioksidan pada air celupan

Lintah laut

(Discodorissp)

Jahe segar

Pemisahan daging dan jeroan)

Pencucian daging/mantel

Pencucian Pengeringan

Penggilingan

Bubuk kering

TAHAP KEDUA Formulasi minuman fungsional

TAHAP PERTAMA Preparasi bahan baku

1.Analisis proksimat : kadar air, abu, protein, lemak

2.Analisis antioksidan metode DPPH

Perlakuan 6 formula

Pengayakan

Reformulasi-mengganti rosella dgn as.sitrat

Formula terbaik Rosela kering

Pengemasan

TAHAP KETIGA Pengujian stabilitas produk

Penyimpanan pada suhu ruang, 45oC, dan 55oC

(model akselerasi)

Pengujian stabilitas: asam tertitrasi, indeks bias, pH, TPC/ Kapang, dan aktivitas antioksidan.

Formula dengan masa simpan terbaik

Produk minuman fungsional


(39)

3.3 Analisis

Analisis-analisis dalam penelitian ini dilakukan untuk mengamati karakteristik kimia yang meliputi analisis proksimat dan uji stabilitas produk, uji mikrobiologi, mutu organoleptik, dan aktivitas antioksidan dari bahan baku dan produk jadi.

3.3.1 Analisis proksimat (a) Kadar air (AOAC 1995)

Sebanyak 1 gram sampel (A) ditempatkan dalam cawan porselin dan dimasukkan dalam oven pada suhu 105 oC hingga beratnya konstan, lalu ditimbang (B). Kadar air dihitung dengan rumus :

Bobot sampel akhir (B)

Kadar air = x 100

Bobot sampel awal (A) (b) Kadar abu (AOAC 1995)

Sebanyak 1 gram sampel kering ditempatkan dalam wadah porselin dan dibakar sampai tidak berasap. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600 °C lalu ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus :

Bobot abu

Kadar abu = x 100

Bobot sampel kering (c) Kadar lemak kasar (AOAC 1995)

Sebanyak 2 gram sampel kering disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk thimble, lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Selanjutnya dilakukan ekstraksi selama 6 jam menguunakan pelarut lemak berupa heksana sebanyak 150 ml. lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam. Kadar lemak dihitung dengan rumus :

Bobot lemak terekstrak

Kadar lemak = x 100

Bobot sampel kering (d) Kadar protein kasar (AOAC 1995)

Sebanyak 5 gram sampel kering ditempatkan dalam labu Kjeldahl 100 ml dan ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Selanjutnya


(40)

larutan jernih. Setelah dingin ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40% lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indicator Brom Cresol Green-Methyl Red

berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilasi dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Dengan metode ini diperoleh kadar Nitrogen total yang dihitung dengan rumus :

(S-B) x N HCl x 14

% N = x 100

W x 1000 x FP

Keterangan : S = volume titran sampel (ml); B= volume titran blanko (ml); w = bobot sampel kering (mg). Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen dengan Faktor Perkalian (untuk berbagai bahan pangan berkisar 5,18-6,38).

3.3.2 Analisis aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1959 diacu dalam Molyneux 2004)

Aktivitas antioksidan yang diukur pada bubuk kering Discodoris sp., jahe, dan rosela dilakukan dengan menimbang bahan-bahan kering tersebut masing-masing sebanyak 0,25 gram kemudian dilarutkan dalam 50 ml metanol. Dari larutan yang terbentuk diencerkan lagi untuk mendapatkan konsentrasi 100, 200, 400, 1000, 2000, dan 4000 ppm. Larutan pereaksi DPPH yang digunakan, dibuat dengan melarutkan DPPH seberat 0,0197 gram dalam 50 ml metanol p.a untuk memperoleh konsentrasi 1 mM. Larutan dibuat segar dan dijaga pada suhu rendah serta terlindung dari cahaya. Sebanyak 4 ml larutan uji direaksikan dengan 1 ml larutan DPPH dalam tabung reaksi. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 37

o

C selama 30 menit. Kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Larutan standard dibuat dengan mencampur 4 ml metanol p.a dengan 1 ml DPPH. Aktivitas antioksidan masing-masing sampel dinyatakan dengan persentase penghambatan radikal bebas yang dihitung dengan rumus :


(41)

absorbansi blanko - absorbansi sampel

% inhibisi DPPH = x 100%

absorbansi blanko 3.3.3 Uji Organoleptik (SNI 1996)

Uji organoleptik merupakan uji dengan menggunakan indera manusia sebagai instrumennya. Uji ini sering digunakan untuk menilai mutu komoditas hasil pertanian dan makanan (Soekarto 1990). Ada beberapa cara pengujian organoleptik seperti uji pembedaan dan uji pemilihan/penerimaan. Dalam penelitian ini akan dilakukan uji penerimaan dimana setiap panelis diharuskan mengemukakan tanggapan pribadinya terhadap produk yang disajikan. Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui apakah produk minuman dari campuran lintah laut, jahe dan rosella ini disukai atau tidak. Uji penerimaan yang dilakukan adalah uji hedonik dengan menggunakan 30 orang panelis yang semi terlatih. Lembar penilaian uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 1.

Uji hedonik disebut juga uji kesukaan dan dilakukan pada 6 formula minuman. Pada uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya terhadap warna, rasa dan aroma minuman. Tanggapan tersebut dapat berupa kesan suka atau ketidaksukaan dan panelis juga dapat mengemukakan tingkat kesukaannya (skala hedonik). Skala ini dapat direntang atau diciutkan menurut skala yang dikehendaki. Pada uji hedonik produk minuman ini, skala hedonik yang digunakan adalah 1- 7 dimana angka 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, dan 7 = sangat suka. Data yang diperoleh ditabulasikan dan dianalisis dengan metode nonparametrik Kruskal-Wallis dan uji lanjut BNT.

3.3.4 Uji stabilitas (a) Nilai pH

Setiap formula minuman yang masuk dalam batas penerimaan secara organoleptik diukur nilai pH. Sebelum pengukuran, pH-meter distandarisasi menggunakan buffer standar pH 4 dan pH 7.

(b) Indeks bias

Sebanyak 2 tetes sampel diteteskan pada hand refractometre. Indeks bias dinyatakan dalam o Brix.


(42)

(c) Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al. 1989)

Pengujian total asam pada formula terpilih dilakukan dengan cara menempatkan 10 g sampel dalam 250 ml labu takar, kemudian sebanyak 75 ml akuades ditambakan. Larutan kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 N yang sudah distandarisasi dengan asam oksalat hingga indicator fenolftalein 0,1% menunjukkan titik akhir titrasi yaitu berwarna merah muda/pink. Hasilnya dinyatakan sebagai ml NaOH 0,1 N per kg bahan.

V1 x N x P

T A = x 100

Volume sampel (ml) Keterangan :

TA = total asam (ml N NaOH / 100 ml sampel) V1 = jumlah larutan NaOH yang digunakan (ml)

N = normalitas NaOH hasil standarisasi dengan asam oksalat P = faktor pengenceran

(d) Pengujian Mikrobiologi (Maturin dan Peeler 2001) Uji Jumlah Total Bakteri (Total Plate Count)

Sebanyak 1 ml sampel diambil dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan pengencer. Selanjutnya dilakukan pengocokan hingga homogen dengan vortex. Pengenceran dan pemupukan dilakukan hingga tingkat pengenceran 10-2. Dari tiap-tiap pengenceran, dipipet secara aseptis 1 ml untuk dimasukkan ke dalam cawan petri steril (pemupukan) secara duplo dan ditambahkan media PCA (Plate Count Agar) steril sebanyak 15-20 ml.

Segera setelah penuangan, cawan petri digerakkan di atas meja secara hati-hati untuk menyebarkan sel-sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakan melingkar atau angka delapan. Setelah medium membeku cawan petri diinkubasikan dengan posisi terbalik pada incubator suhu 37 oC selama 2 hari (48 jam). Perhitungan jumlah total mikroba dilakukan dengan Standard Plate Count (SPC) metode Harrigan.

Uji Kapang/Khamir

Sebanyak 1 ml sampel diambil dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan pengencer. Selanjutnya dilakukan pengocokan hingga homogen dengan vortex. Pengenceran dan pemupukan dilakukan hingga tingkat pengenceran 10-2. Dari


(43)

tiap-tiap pengenceran, dipipet secara aseptis 1 ml untuk dimasukkan ke dalam cawan petri steril (pemupukan) secara duplo dan ditambahkan media PDA (Potato Dextrose Agar) cair yang telah ditambah asam tartarat steril 10% sebanyak 15-20 ml.

Segera setelah penuangan, cawan petri digerakkan di atas meja secara hati-hati untuk menyebarkan sel-sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakan melingkar atau angka delapan. Setelah medium membeku cawan petri diinkubasikan dengan posisi terbalik pada incubator suhu 30 oC selama 2 hari (48 jam). Perhitungan jumlah kapang dan khamir dilakukan dengan metode Harrigan. 3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Untuk melihat pengaruh komposisi bahan baku dan teknik pembuatan minuman formulasi terhadap aktivitas antiosidan menggunakan Rancangan Percobaan Faktorial dengan 3 faktor serta 3 ulangan. Pemilihan model Faktorial ini berdasarkan pada efektifitas dan efisiensi waktu pengujian, serta ketelitian pengamatan terhadap pengaruh-pengaruh faktor perlakuan dalam percobaan. Pada percobaan faktorial dapat diketahui pengaruh bersama (interaksi) terhadap data hasil percobaan sehingga pengujian terhadap pengaruh interaksi ini dapat menjadi dasar dalam membuat rekomendasi atau saran tentang apakah faktor-faktor utama harus diterapkan bersama atau tidak untuk mendapatkan hasil yang lebih baik (Steel dan Torie 1980). Persamaan untuk Rancangan Faktorial digambarkan sebagai berikut:

Yijkℓ =µ + Ai + Bj + ABij + Ck + ACik + BCjk + ABCijk + €ℓ (ijk)

Keterangan:

Y = aktivitas antioksidan

A,B,C = berturut-turut adalah faktor suhu air, volume air, dan lama celup i = taraf suhu

j = taraf volume k = taraf lama celup

ℓ = ulangan

Model perlakuan untuk pengamatan aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Tabel 4.


(44)

Tabel 4 Model perlakuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan suhu air celup (A) volume air (B) lama celup (C)

C1 C2 C3

A1 B1 A1B1C1 A1B1C2 A1B1C3

B2

B3

A2 B1 A2B1C1

B2

B3 A2B3C3

A3 B1 A3B1C1

B2

B3 A3B3C3

Analisis lanjutan menggunakan metode Uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Uji ini untuk mengetahui beda pengaruh masing-masing faktor perlakuan maupun interaksinya terhadap aktivitas antioksidan.

Pengujian nilai organoleptik yang mencakup penerimaan terhadap kenampakan, rasa, dan aroma setiap formula dari panelis, menggunakan uji non parametrik Kruskal-Wallis. Uji nonparametrik ini merupakan alternatif bagi uji F untuk pengujian kesamaan beberapa nilai tengah dalam analisis ragam untuk menghindar dari asumsi bahwa contoh diambil dari populasi normal (Walpole 1995). Uji Kruskal-Wallis memiliki formula:

k = banyaknya contoh

n = jumlah panelis tiap contoh R = rata-rata penilaian

Untuk melihat apakah perbedaan konsentrasi lintah laut memiliki pengaruh yang sama atau tidak terhadap nilai organoleptik, dibandingkan dengan tabel chi- square. Uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) dilakukan untuk melihat sejauh mana perbedaan antar perlakuan.

Semua data pengamatan aktivitas antioksidan dan nilai organoleptik ditabulasikan dan diolah secara statistik menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0.


(45)

Data pengamatan dari uji stabilitas dianalisis menggunakan teknik regresi linier, dan dibantu dengan metode Arrhenius untuk menduga umur simpan produk (Arpah 2001). Model Arrhenius adalah:

k = konstanta penurunan mutu

ko = konstanta (tidak bergantung pada suhu)

E = energi aktivasi


(46)

30

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Kimia Bahan-Bahan Baku

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lintah laut jenis Discodoris sp. yang berasal dari Pantai Pulau Belitung, sedangkan bahan baku tambahan adalah jahe merah (Zingiber officinale) dan kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa) yang masing-masing dibeli dari pasar tradisional dan super market Giant, Bogor. Karakterisasi dilakukan terhadap masing-masing bahan baku, yang meliputi analisis proksimat untuk mengetahui kandungan gizinya. 4.1.1 Komposisi kimia lintah laut (Discodoris sp.)

Lintah laut yang diambil langsung dimatikan dan dipisahkan dari jeroannya kemudian dikeringkan. Tujuan dari pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan sehingga lebih awet dan mudah dalam pengangkutan karena volume dan beratnya menjadi lebih kecil.

Pengujian komposisi kimia lintah laut tanpa jeroan ini dihitung berdasarkan berat kering bahan, dan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi kimia lintah laut (Discodoris sp.)

Komponen kimia Nilai (%)

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

8,82 9,81 62,17 2,24 16,96

Berdasarkan hasil pengujian maka mantel lintah laut kering mengandung protein yang cukup tinggi yang mencapai 62,17%. Jika dibandingkan dengan lintah laut yang berasal dari P. Buton dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah (2008) terhadap lintah laut kering yang utuh, menunjukkan hasil yang cukup berbeda (49,60%). Hal ini mungkin disebabkan karena kadar air dalam penelitian tersebut masih cukup tinggi, yaitu 15,25%. Namun bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andriyanti (2009) menunjukkan nilai yang


(47)

hampir sama untuk lintah laut kering tanpa jeroan, yaitu kadar air 10,45% dan kadar protein 59,11%.

Kadar abu menunjukkan nilai yang cukup tinggi, yaitu 9,81%, demikian pula Nurjanah (2008) dengan nilai kadar abu 11,74% dan 11,97% (Andriyanti, 2009). Hal ini disebabkan oleh habitat lintah laut khususnya jenis Discodoris sp. yang hidup menempel pada batu-batu karang dan pasir berlumpur di perairan pantai. Holland (2009) menyatakan bahwa lintah laut biasanya terdapat di perairan dangkal berpasir serta terumbu karang hingga di dasar laut kelam lebih dari satu kilometer dalamnya.

Rendahnya kadar lemak dalam penelitian ini (2,24%) dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Nurjanah (2008) yang memperoleh nilai 4,58% mungkin disebabkan oleh organ jeroan yang tidak ikut diuji. Seperti yang dinyatakan oleh Almatsier (2006) bahwa lemak pada tubuh umumnya disimpan sebesar 45% di sekeliling organ dan rongga perut.

4.1.2 Komposisi kimia jahe (Zingiber officinale)

Jahe yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis jahe merah, dan bagian jahe yang dianalisis proksimat adalah rimpang atau yang disebut juga dengan rhizoma. Rimpang jahe dicuci dan dikeringkan dalam oven bersuhu 50 oC selama 24 jam kemudian dihaluskan hingga berbentuk bubuk kering. Hasil analisis proksimat dari rimpang jahe merah dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi kimia jahe merah berdasarkan berat kering

Komponen kimia Nilai (%)

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat

8,52 5,49 10,08 3,54 72,37

Berdasarkan hasil analisis proksimat pada jahe merah kering maka komponen terbesar adalah karbohidrat yang mencapai 72,37%. Menurut Purseglove et al. (1981), karbohidrat pada jahe terutama dari pati berkisar antara


(48)

40-60%, sedangkan Farrel (1985) menyatakan bahwa karbohidrat pada jahe adalah 70,8%.

Selain karbohidrat, rimpang jahe mengandung beberapa komponen kimia lain, yaitu air, abu, protein, minyak atsiri dan oleoresin. Jumlah masing-masing komponen berbeda-beda pada jahe dari berbagai daerah penghasil, yang tergantung pada iklim, curah hujan, varietas jahe, dan keadaan tanah (Koswara 1995). Selain itu, komposisi kimia rimpang jahe juga dipengaruhi antara lain oleh umur panen rimpang, perlakuan masa tanam, perlakuan pasca panen, ekosistem tempat tanaman jahe ditanam serta pengolahan rimpang (Rismunandar 1988). 4.1.3 Komposisi kimia rosella (Hibiscus sabdariffa)

Bunga rosella dalam penelitian ini adalah H. sabdariffa var. sabdariffa yang memiliki ciri kelopak bunga berwarna merah. Bagian tanaman rosella yang diambil untuk dianalisis proksimat adalah kelopak bunga yang telah mengalami proses pengeringan. Hasil analisis diperlihatkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Komposisi kimia kelopak bunga rosella kering

Komponen kimia Nilai (%)

Air Abu Protein Lemak

12,38 6,64 7,08 1,00

Berdasarkan hasil analisis maka kadar air untuk rosella kering ini masih cukup tinggi, yaitu 12,38%. Hal ini mungkin disebabkan beberapa hal, antara lain karena waktu proses pengeringan yang terlalu cepat, suhu udara yang tidak cukup memadai untuk mengeringkan bahan, dan proses penarikan kembali uap air setelah dikeringkan selama berada di display penjualan. Seperti yang dinyatakan oleh Syarief dan Halid (1992) bahwa komoditas pertanian baik sebelum maupun sesudah diolah bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap air dari udara sekeliling, dan juga sebaliknya dapat melepaskan sebagian air yang terkandung ke udara.


(49)

4.2 Aktivitas Antioksidan Bahan-Bahan Baku

Adanya komponen yang bersifat antioksidan dalam bahan baku dapat diketahui melalui pengujian aktivitas antioksidan. Dalam penelitian ini semua bahan yang digunakan dalam formulasi diuji aktivitas antioksidannya menggunakan metode DPPH (Diphenyl pycrylhydrazyl).

4.2.1 Aktivitas antioksidan Discodoris sp

Hasil pengujian aktivitas antioksidan pada serbuk kering Discodoris sp. dengan pelarut metanol menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi, semakin tinggi reaksi penghambatan radikal bebas DPPH oleh komponen-komponen antioksidan yang terkandung dalam serbuk kering tersebut. Nilai-nilai penghambatan radikal bebas DPPH dari masing-masing konsentrasi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Aktivitas antioksidan serbuk kering Discodoris sp.

Berdasarkan hasil pengujian, maka persentasi penghambatan radikal bebas DPPH tertinggi yaitu 83,29% dapat dicapai pada konsentrasi 4000 ppm. Konsentrasi yang cukup tinggi ini disebabkan karena bahan yang diuji masih berbentuk serbuk kering tanpa diekstrak, sehingga masih sangat banyak dipengaruhi oleh komponen-komponen lain yang menjadi pengotor dalam pengujian ini. Adapun yang menjadi pertimbangan untuk menguji aktivitas antioksidan pada serbuk kering tanpa ekstrak ini didasarkan pada tujuan penelitian, yaitu membuat formula dari serbuk kering Discodoris sp. Selain itu,

6.24 3.42 11.17

41.05

50.7

83.29

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

100 200 400 1000 2000 4000

A

kti

v

itas

ant

iok

si

d

an

(%

)


(50)

penelitian yang menguji aktivitas antioksidan ekstrak lintah laut dari berbagai pelarut telah dilakukan oleh Nurjanah (2008) yang menggunakan pelarut polar menghasilkan aktivitas antioksidan sebesar 69,04%-70,43%, dan dari pelarut non polar dengan nilai 14,08-16,90%. Pengujian yang dilakukan oleh Andriyanti (2009) menunjukkan bahwa ekstrak kasar lintah laut dari pelarut polar etanol, metanol, dan akuabides dapat menghambat radikal bebas pada konsentrasi sebesar 4000 ppm.

Komponen-komponen antioksidan merupakan salah satu produk metabolit sekunder yang diproduksi oleh organisme. Tidak seperti metabolit primer yang merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, metabolit sekunder lebih berfungsi sebagai alat pertahanan tubuh yang berperan penting dalam meningkatkan kelangsungan hidup organisme. Wojnar (2008) dalam tesisnya mengenai Nudibranch menyatakan bahwa karena ketiadaan cangkang yang dapat melindungi tubuhnya, maka nudibranch sangat mudah untuk dimangsa. Namun dengan keterbatasan yang dimilikinya, menjadikan organisme ini mampu mengembangkan sejumlah strategi pertahanan dirinya yang diimbangi oleh beberapa adaptasi tingkah laku, anatomi dan fisiologisnya, sedangkan pertahanan kimia dari nudibranch, yaitu melalui metabolit sekunder yang dihasilkan.

Keberadaan senyawa yang bersifat antioksidan dalam serbuk kering Discodoris sp. diduga dapat berasal dari makanannya ataupun secara de novo disintesis oleh Discodoris sp. itu sendiri. Grkovic et al. (2005) menyatakan bahwa lintah laut adalah organisme yang kaya akan komponen-komponen alam yang bersifat cytotoxic, antimikroba, antifungal, neurotoxic, dan antimitotik yang membuat organisme ini tidak dimangsa oleh organisme lain. Produk-produk pertahanan alami yang disebut juga dengan metabolit sekunder ini dapat berasal dari makanan yang dimangsanya ataupun secara de novo disintesis dalam tubuhnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Molo et al. (2008) terungkap bahwa lintah laut Syphonota geographica mengandung flavonoid apigenin, genkwanin, dan chrisoeriol, dimana komponen-komponen ini juga terdapat pada ilalang laut Halophila stipulacea yang merupakan mangsa dari S. geographica. Pengujian fitokimia yang dilakukan oleh Andriyanti (2009) terungkap bahwa ekstrak akuabides Discodoris sp. mengandung fenol hidrokuinon, peptida,


(51)

alkaloid, dan flavonoid. Adanya flavonoid mungkin disebabkan oleh makanan yang dimangsa mengandung komponen-komponen flavonoid. Secara in vitro, flavonoid telah terbukti mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Seperti yang dinyatakan oleh Robak dan Gryglewsky (1988) bahwa flavonoid sebagai antioksidan, dapat menghambat penggumpalan keeping-keping sel darah, merangsang produksi nitrit oksida yang dapat melebarkan pembuluh darah, dan juga dapat menghambat pertumbuhan sel kanker. Disamping berpotensi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas (free radical scavenger), flavonoid juga memiliki beberapa sifat seperti hepatoprotektif, antitrombotik, antiinflamasi, dan antivirus.

4.2.2 Aktivitas antioksidan jahe (Zingiber officinale Rosc)

Hasil pengujian aktivitas antioksidan pada serbuk kering jahe merah menunjukkan peningkatan aktivitas seiring dengan meningkatnya konsentrasi. Gambar 5 menunjukkan bahwa konsentrasi 100 ppm menunjukkan persentasi penghambatan radikal bebas DPPH yang paling kecil, yaitu 14,59% dan semakin meningkat hingga 90,14% pada konsentrasi 4000 ppm.

Gambar 5 Aktivitas antioksidan serbuk kering jahe (Z. officinale Rosc.). Aktivitas antioksidan yang cukup tinggi pada jahe merah ditunjukkan oleh nilai konsentrasi serbuk yang relatif rendah, yaitu di bawah 400 ppm dalam mencapai 50% aktivitas penghambatan radikal bebas DPPH. Nilai aktivitas ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan para peneliti sebelumnya, karena pada pengujian ini hanya

14.59

26.46

59.76

83.8 91.75 90.14

0 20 40 60 80 100

100 200 400 1000 2000 4000

A

kt

iv

itas

an

tiok

si

d

an

(

%

)


(1)

Lampiran 16 Perhitungan laju peningkatan jumlah mikroba (TPC) selama penyimpanan

Berdasarkan data jumlah mikroba pada Lampiran 16, dan dengan menggunakan model perhitungan reaksi ordo satu dari persamaan Arrhenius, maka laju peningkatan bakteri dapat dihitung sebagai berikut:

atau

Keterangan:

LnC = Ln jumlah bakteri akhir pengamatan LnCo= Ln jumlah bakteri awal pengamatan k = laju peningkatan bakteri

t = masa simpan

k Suhu ruang = = -0,338/hari

k suhu 35 oC = = -0,412/hari

k suhu 45 oC = = -0,561/hari

Berdasarkan nilai-nilai k di atas, maka nilai k pada penyimpanan suhu yang lain dapat dihitung dengan meregresikan nilai-nilai k tersebut dengan suhu (oKelvin) untuk mendapatkan hubungan antara laju perubahan mutu dengan suhu penyimpanan, Selanjutnya Ln k dan 1/T diplotkan dalam sebuah grafik untuk mendapatkan model persamaan yang akan diterapkan dalam rumus Arrhenius:

atau – ,

Suhu

penyimpanan 1/T k Ln k Model persamaan

30oC 0,00330 0,338 -1,084 y = -3154,x + 9,327

ln k=ln 9,327,e,-3154(1/T) k= 11237,37,e,-3154(1/T)

35oC 0,00324 0,412 -0,886


(2)

Jika standar untuk TPC dalam produk makanan telah ditetapkan sebesar 5x105, maka masa simpan produk untuk tiap suhu tersebut dapat diduga, yaitu:

suhu ruang: = 24,66 hari

suhu 35 oC: = 20,23 hari

suhu 45 oC: = 14,86 hari

Untuk menentukan masa simpan pada suhu 20 oC, dihitung nilai k berdasarkan model persamaan k= 11237,37,e,-3154(1/T) = x = 0,25/hari,

Selanjutnya perhitungan menggunakan ordo satu,sehingga masa simpan produk pada suhu 20 oC adalah 33,33 hari.


(3)

Lampiran 17 Perhitungan laju peningkatan jumlah mikroba (kapang) selama penyimpanan

Berdasarkan data jumlah mikroba pada Lampiran 16, dan dengan menggunakan teknik regresi linier, maka laju peningkatan jumlah kapang (k) pada setiap suhu penyimpanan dapat dihitung melalui persamaan-persamaannya sebagai berikut:

Suhu ruang (30oC) : – (k=0,785), r = 0,97

Suhu 35oC

Suhu 45oC : (k=6,233), r = 0,81

Dengan menggunakan model Arrhenius, maka diperoleh nilai k (laju peningkatan mikroba (kapang) untuk semua suhu yaitu :

Perhitungan masa simpan pada suhu 30 oC, yaitu dengan mengikuti reaksi ordo 0 :

Jika standar jumlah kapang dalam produk adalah , maka dapat dicari masa simpan untuk suhu penyimpanan 30 oC, yaitu

=

127,39hari,

Dan dengan menggunakan konsep Q10 (Lampiran 15), maka masa simpan untuk

suhu 20 oC dapat diduga dengan mengetahui terlebih dahulu nilai k, = 0,136/hari

Q10 =

=

=

5,77

Masa simpan pada suhu 20 oC adalah 5,77 x 127,39 = 735 hari, Suhu

penyimpanan 1/T k Ln k Model persamaan

30oC 0,00330 0,785 -0,242 y = -13489x + 44,05

ln k=ln 44,05,e,-13489(1/T) k= ,e,-13489(1/T)

35oC 0,00324 0 0


(4)

Lampiran 18 Data pengamatan nilai pH selama penyimpanan pada suhu ruang (30 oC), suhu 35 oC, dan 45 oC,

Waktu dan Suhu penyimpanan

hari ke- suhu ruang 30 °C hari ke- Suhu 35 °C hari ke- Suhu 45 °C

0 4,41 0 4,41 0 4,41

7 4,62 5 4,51 3 4,43

14 4,67 10 4,83 6 4,45

21 4,68 15 4,85 10 4,63

28 4,76 20 4,87 14 4,65

Suhu ruang (30oC) : (k=0,010), r = 0,91

Suhu 35oC (k=0,025), r = 0,92

Suhu 45oC : (k=0,019), r = 0,94

Dengan menggunakan model Arrhenius, maka laju peningkatan nilai pH pada produk formula 3 mengikuti persamaan:


(5)

Lampiran 19 Data nilai rata-rata total asam tertitrasi selama penyimpanan yang dinyatakan dalam ml N NaOH/100 ml

Waktu dan suhu penyimpanan

Hari ke- 30 oC Hari ke- 35 oC Hari ke- 45 oC

0 9,216 0 9,216 0 9,216

7 9,118 5 8,824 3 8,824

14 9,019 10 8,235 6 8,529

21 8,824 15 7,843 10 8,529

28 8,431 20 7,451 14 7,843

Berdasarkan perhitungan dengan teknik regresi linier maka, diperoleh model persamaan pada setiap suhu, yaitu :

Suhu ruang (30 oC) : (k=0,026), r = 0,902

Suhu 35 oC (k=0,090), r = 0,994

Suhu 45 oC : (k=0,086), r = 0,913

Jika diplotkan ke dalam model Arrhenius (lampiran 12 dan 13), maka rata-rata laju penurunan total asam tertitrasi (k) mengikuti persamaan :


(6)

Lampiran 20 Data nilai rata-rata indeks bias produk formula 3 selama penyimpanan yang dinyatakan dalam oBrix,

Berdasarkan data-data di atas, maka diperoleh persamaan-persamaan linier sebagai berikut :

Suhu ruang (30 oC) : (k= ), r = 0,49

Suhu 35 oC (k= ), r = 0,05

Suhu 45 oC : (k= ), r = 0,86

Waktu dan suhu penyimpanan

Hari ke- 30 oC Hari ke- 35 oC Hari ke- 45 oC

0 1,3330 0 1,3330 0 1,3330

7 1,3330 5 1,3326 3 1,3328

14 1,3328 10 1,3329 6 1,3329

21 1,3326 15 1,3326 10 1,3328