Distribusi Teripang Di Daerah Padang Lamun Pulau Wanci, Sulawesi Tenggara.

DISTRIBUSI TERIPANG DI DAERAH PADANG LAMUN
PULAU WANCI, SULAWESI TENGGARA

NUR IKHSAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Distribusi Teripang di
Daerah Padang Lamun Pulau Wanci Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Nur Ikhsan
NIM C551130201

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait

RINGKASAN
NUR IKHSAN. Distribusi Teripang di Daerah Padang Lamun Pulau Wanci,
Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI dan DEDI
SOEDHARMA.
Lamun adalah tumbuhan air yang sebagian besar masyarakat
menganggapnya sebagai tumbuhan yang tidak memiliki arti sehingga
pertumbuhannya di beberapa wilayah di Indonesia masih cukup baik. Diantara
peran lamun adalah sebagai habitat berbagai biota perairan diantaranya teripang.
Teripang adalah penghuni dasar perairan yang telah ditetapkan sebagai hewan
terancam punah karena populasinya yang semakin jarang ditemukan akibat
penangkapan yang dilakukan oleh manusia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui potensi sumberdaya teripang, keterkaitan antara teripang dan

parameter lingkungan perairan, serta distribusi teripang di daerah padang lamun
Pulau Wanci. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember tahun
2014 bertempat di perairan Pulau Wanci, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi
Tenggara. Stasiun pengamatan berada pada daerah lamun yang dibagi menjadi 4
stasiun berdasarkan keberadaan teripang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 7 jenis teripang pada daerah
padang lamun perairan Pulau Wanci yaitu Holothuria scabra, Holothuria atra,
Holothuria pervicax, Holothuria hilla, Stichopus variegatus, Stichopus hermanni,
dan Synapta maculata yang didominasi oleh Holothuria atra dan Synapta
maculata. Parameter lingkungan berupa substrat berpasir memiliki korelasi positif
dengan kepadatan jenis teripang, sedangkan pamater lainnya berupa liat, debu,
suhu, salinitas, pH, dan kecepatan arus memiliki korelasi negatif yang kuat
dengan kepadatan jenis teripang.
Teripang jenis Holothuria hilla, Holothuria scabra, Stichopus hermanni,
dan Stichopus variegatus memiliki distribusi terhadap lamun jenis Thalassia
hemprichii. Teripang jenis Holothuria pervicax memiliki distribusi terhadap
lamun jenis Enhalus acroides dan Thalassia hemprichii. Teripang jenis
Holothuria atra dan Synapta maculata memiliki distribusi terhadap lamun jenis
Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, dan Enhalus acroides.
Kata kunci: lamun, teripang, parameter lingkungan, distribusi, Pulau Wanci.


SUMMARY
NUR IKHSAN. Distribution of Sea cucumber in Seagrass Beds Area in Wanci
Island, Southeast Sulawesi. Supervised by NEVIATY P. ZAMANI and DEDI
SOEDHARMA.
Seagrass is a kinds of marine submerged plants which most people regard it
as a nothing useful due it grows well in around Indonesian coastal waters. One of
its playing role in coastal areas is being a habitat for sea cucumber. Sea cucumber
is a bottom settled organism that is assigned to becoming an endangered animal
because of its population rarely found impacted by catching of fishermen. This
research were proposed to know sea cucumber potential resources, to explore the
linking aspects between sea cucumber and its environmental parameters, and also
to ascertain sea cucumber distribution in the coastal water of Wanci Island. This
research was conducted on October to September 2014 in the coastal waters of
Wanci Island, Wakatobi, South East Sulawesi. Observation locations were on sea
grass beds that divided into four stations according to the sea cucumber existences.
Study resulted there were 7 species of sea cucumbers in the seagrass beds of
Wanci coastal waters such as Holothuria scabra, Holothuria atra, Holothuria
pervicax, Holothuria hilla, Stichopus variegatus, Stichopus hermanni, and
Synapta maculata was dominated by Holothuria atra and Synapta maculata. The

environmental parameter of substrate showed that sandy substrate had a highly
positive correlation to the density types of sea cucumber and others parameters
such as clay and dusty substrates, temperature, salinity and water current had
negative correlation to the sea cucumber density in the study areas.
The species of Holothuria hilla, Holothuria scabra, Stichopus hermanni,
and Stichopus variegatus had well distributed in the seagrass such Thalassia
hemprichii. Holothuria pervicax had distributed in the seagrass such as Enhalus
acroides and Thalassia hemprichii. And sea cucumber Holothuria atra and
Synapta maculata had distributed in to the seagrass of Halodule uninervis,
Cymodocea rotundata, and Enhalus acroides.
Keywords: seagrass, sea cucumber, environmental parameters, distribution, Wanci
Island.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DISTRIBUSI TERIPANG DI DAERAH PADANG LAMUN
PULAU WANCI, SULAWESI TENGGARA

NUR IKHSAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Hawis Madduppa, S.Pi., M.Si


Judul Tesis : Distribusi Teripang di Daerah Padang Lamun Pulau Wanci
Sulawesi Tenggara
Nama
: Nur Ikhsan
NIM
: C551130201
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc
Ketua

Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma DEA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc., Agr

Tanggal Ujian: 31 Agustus 2015

Tanggal Lulus: ...........................

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Distribusi Teripang di Daerah
Padang Lamun Pulau Wanci Sulawesi Tenggara berhasil penulis selesaikan
sebagai sata satu syarat menyelesaikan studi di Program Pascasarjana Program
Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Neviati P. Zamani, M.Sc.
dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma DEA selaku pembimbing serta Dr. Hawis
Madduppa, S.Pi., M.Si selaku penguji yang telah banyak memberi saran dan

masukan dalam penyusunan tesis ini. Penulis juga sangat berterima kasih kepada
seluruh dosen pasca sarjana Ilmu Kelautan atas ilmu yang diberikan selama
penulis menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor dan kepada rekan-rekan kuliah
seangkatan IKL 2013 (Lalang, Riska, Ilham, Albida, Chandrika, Rhojim, Nasir,
Dandy, Dea, Adit, Khairunnisa, Juraij, Reza, Anggita, Dedi, Robba, Kemal,
Yayoy, Syahrial), saudara seperantauan (Tarlan, Hasrun, Neksi, Adi, Wahidin,
Sulfatri, Zibar, Ahmad, Fiar, Fatri, Wira, Nabil, Sadam, Isto, Alam) yang telah
mengispirasi dan menjadi teman diskusi, dan keluarga tercinta (Ayahanda Drs. La
Arta M.Si, Ibunda Dra. Ratna B, Saudara Hidayatullah Ode, dan Saudari Astri
Sari Dewi) yang telah memberikan doa, kasih sayang dan dukungan kepada
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Tesis ini masih belum terlepas dari kesalahan dan kekeliruan dalam
penyusunannya, untuk itu penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran
demi penyempurnaan isi dan tulisan dalam tesis ini.

Bogor, Oktober 2015

Nur Ikhsan

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

xi

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian

1
1
4
4
4

2 METODE PENELITIAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Analisis Data

5
5
6
6
6

9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter Lingkungan Perairan
Kerapatan Jenis Lamun
Kepadatan Jenis Teripang
Keterkaitan antara Teripang dan Parameter Lingkungan Perairan
Distribusi Teripang di Daerah Padang Lamun

10
10
13
15
20
22

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

25
25
25

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

40

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Posisi pengambilan sampel tiap stasiun pengamatan
Parameter lingkungan perairan (± SE) pada tiap stasiun pengamatan
Jenis lamun yang ditemukan pada tiap stasiun pengamatan
Jenis teripang yang ditemukan pada tiap stasiun pengamatan
Data tangkapan teripang nelayan Wakatobi
Matriks korelasi antara teripang dan param eter lingkungan

7
10
13
15
19
21

DAFTAR GAMBAR
1 Skema kerangka penelitian
2 Peta lokasi penelitian
3 Contoh skematik penempatan transek pada stasiun pengukuran lamun
dan teripang
4 Transek plot pengambilan contoh lamun
5 Transek plot pengambilan contoh teripang
6 Kerapatan jenis lamun tiap stasiun pengamatan
7 Kerapatan jenis teripang tiap stasiun pengamatan
8 Analisis komponen utama (PCA), korelasi antara teripang dan
parameter lingkungan perairan
9 Analisis koresponden (CA), distribusi teripang di daerah padang lamun

3
6
7
8
8
13
16
20
22

DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis teripang yang ditemukan di daerah padang lamun Pulau Wanci
2 Morfologi lamun
3 Hasil perhitungan parameter lingkungan, kerapatan jenis lamun, dan
kepadatan jenis teripang
4 Lokasi penelitian
5 Transek pengambilan sampel lamun dan teripang

30
31
35
37
38

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lamun adalah tumbuhan akuatik yang telah beradaptasi untuk bisa bertahan
hidup dalam lingkungan perairan. Tumbuhan ini memiliki kedekatan lebih besar
dengan tumbuhan darat dibanding tumbuhan laut lainnya seperti alga (Waycott et al.
2006). Hal ini karena lamun memiliki akar, rhizoma, batang, dan daun seperti halnya
tumbuhan (rerumputan) darat pada umumnya (Larkum et al. 2006). Lamun tumbuh
subur di laut dan muara perairan dangkal di seluruh dunia (Bjork, et al. 2008), seperti
daerah pasang surut, estuari, di depan formasi hutan bakau dan sering juga ditemui di
terumbu karang (Nontji 2007). Umumnya tumbuh pada habitat berpasir, berlumpur
dan berkoral (Kiswara 1992). Kadang-kadang lamun membentuk komunitas yang
lebat hingga merupakan padang lamun (seagrass bed) yang cukup luas (Nontji 2007).
Kurang lebih ada 58 jenis lamun di seluruh dunia (Azkab 2006) dimana dari
keseluruhan jenis tersebut, 12 jenis terdapat di Indonesia (Nontji 2007).
Banyak orang yang memandang lamun sebagai tumbuhan yang tidak memiliki
arti. Padahal kenyataannya lamun memiliki peran yang begitu besar. Secara ekonomi
misalnya dimanfaatkan sebagai atap rumbia, pupuk, makanan ternak dan sebagai
bahan obat-obatan. Secara fisik mampu melindungi pantai dari hempasan ombak
(Bos et al. 2007) sehingga mengurangi terjadinya erosi pantai (Peterson et al. 2004).
Padang lamun juga berperan dalam penyerapan karbon sehingga mampu
mengurangi pemanasan global (Duarte et al. 2005). Hasil penyerapan karbon tersebut
disimpan dalam bentuk biomassa terutama pada bagian bawah substrat karena dapat
tersimpan dalam waktu yang lebih lama dibanding pada bagian atas substrat (Kiswara
dan Ulumuddin 2009).
Beberapa jenis lamun seperti Thalassia hemprichii
mengandung senyawa bioaktif diantaranya sebagai anti bakteri, anti fungi, anti
protozoa, dan bahan obat-obatan (Laksmi et al. 2006). Secara ekologi berperan
sebagai tempat memijah (Unsworth et al. 2009), tempat berlindung (Giovanneti et al.
2006; Curtis dan Vincent 2005), dan mencari makan berbagai organisme perairan
(Vonk et al. 2008; Azis et al. 2006). Salah satu biota laut yang memanfaatkan lamun
sebagai habitat adalah teripang.
Teripang adalah kelompok hewan invertebrata laut (tak bertulang belakang)
dari filum Echinodermata kelas Holothurioidea (Purcel et al. 2012). Teripang dikenal
dengan sebutan Trepang (yang berasal dari bahasa Indonesia) dan Beche-de-mer
(yang berasal dari bahasa Perancis) dalam dunia perdagangan, sedangkan dalam
dunia sains dikenal dengan sebutan Sea Cucumbers karena bentuknya seperti timun
yang hidup di laut atau dikenal dengan sebutan Holothurians karena tergolong ke
dalam kelas Holothuroidea (Purwati 2005). Teripang termasuk dalam kategori hewan
laut yang mendiami dasar perairan. Hewan ini masuk ke dalam kategori Appendix II
CITES (Convention on The International Trade in Endangered Species) karena
populasinya yang terus menurun setiap tahun di seluruh dunia (Purwati 2005),
sehingga telah berkembang wacana internasional untuk melarang atau membatasi
eksploitasi teripang (Yusron 2007). Ada sekitar 1.200 jenis teripang di dunia (Conand
1989), dimana di Indonesia terdapat 53 jenis, meliputi genus Holothuria, Actinopyga,
Bohadschia, Labiodemas, Thelonata dan Stichopus (Yusron 2007).

2
Teripang dapat hidup pada berbagai macam habitat, seperti pada daerah rataan
terumb u, pertumbuhan algae, dan padang lamun (Aziz 1995; Yusron 2009).
Teripang juga memiliki banyak manfaat. Secara ekonomi sebagai bahan makanan
yang mengandung nutrisi tinggi dan sebagai bahan obat-obatan yang berkhasiat
dalam penyembuhan penyakit (Cui et al. 2007). Secara ekologi hewan ini berperan
dalam menyuburkan substrat karena memiliki kebiasaan mengaduk sedimen untuk
mendapatkan makanan berupa bahan organik yang terkandung di dalamnya. Aktifitas
tersebut menyebabkan terjadinya proses oksigenisasi pada lapisan atas sedimen
sehingga dapat mencegah penumpukan bahan organik pada substrat. Disamping itu,
berperan dalam menjernihkan perairan karena tergolong hewan filter feeder (Michio
et al. 2003). Teripang juga berperan sebagai penyumbang pangan dalam bentuk telurtelur, larva dan juwana teripang, bagi biota laut pemangsa di sekitarnya (Yusron
2007).
Pulau Wanci merupakan ibukota Kabupaten Wakatobi yang lebih maju dari
pulau lainnya yang ada di Wakatobi sehingga menarik untuk melakukan riset di
wilayah tersebut karena diduga tekanan yang ditimbulkan bagi biota perairan lebih
besar. Menurut hasil kajian Coremap (2001) terdapat 9 jenis lamun di perairan
Wakatobi dari 12 jenis lamun yang ada di Indonesia. Umumnya masyarakat setempat
belum memanfaatkan lamun menjadi hal yg berguna sehingga kondisi lamunnya
masih cukup baik dan menguntungkan bagi biota penghuninya.
Informasi mengenai kehadiran teripang pada daerah padang lamun masih
sangat kurang. Umumnya, penelitian teripang di seluruh Indonesia membahas tentang
keanekaragaman teripang dan belum ada yang lebih memfokuskan pada teripang
yang hidup di daerah padang lamun. Beberapa penelitian terkait teripang yang pernah
dilakukan adalah keanekaragaman jenis teripang (Holothuroidea) di Perairan
Minahasa Utara Sulawesi Utara (Yusron 2009), sumberdaya teripang di Pulau-Pulau
Derawan, Kalimantan Timur (Darsono 2002) dan sumberdaya teripang
(Holothuroidea) di Perairan Pulau Moti, Maluku Utara (Yusron 2007). Adapun di
perairan Wakatobi khususnya Pulau Wanci, informasi tentang lamun dan potensi
sumberdaya teripang juga belum ada. Sebagian besar penelitian yang dilakukan di
daerah tersebut terkait terumbu karang. Ekosistem lamun berikut organisme yang
hidup di dalamnya, seperti teripang, juga memiliki peranan yang tidak kalah
pentingnya dengan terumbu karang dan mangrove. Dalam rangka melengkapi
informasi tentang potensi teripang pada perairan Wakatobi maka dilakukan penelitian
tentang distribusi teripang di daerah padang lamun Pulau Wanci Kepulauan Wakatobi
Sulawesi Tenggara.

3

Kepadatan Penduduk dan
Pembangunan yang Pesat

Perubahan Lingkungan
Perairan

Tekanan Habitat Teripang

Pengumpulan Data

Parameter Lingkungan:
• Suhu, Salinitas, Kecepatan
Arus, Nitrat, Fosfat, DO
• Fraksi Substrat

• Kerapatan Lamun
• Kepadatan Teripang

DISTRIBUSI TERIPANG DI DAERAH PADANG LAMUN PULAU
WANCI SULAWESI TENGGARA
Gambar 1 Skema kerangka penelitian

4
Perumusan Masalah
Teripang merupakan hewan bentos yang hidup di dasar perairan dan tergolong
sebagai pemakan detritus. Salah satu habitat hewan ini adalah pada ekosistem padang
lamun. Melalui sistem perakaran dan batangnya yang kokoh, lamun berperan sebagai
tempat berlindung bagi teripang dari hempasan ombak. Selain itu daun lamun dapat
menghasilkan serasah yang dapat dimanfaatkan oleh teripang sebagai makanan.
Lamun dan teripang yang ada di Indonesia terdiri dari berbagai jenis. Tiap jenis
lamun pasti mempunyai peran atau daya tarik yang berbeda terhadap jenis teripang
tertentu. Menurut Nontji (2007) terdapat 12 jenis lamun di Indonesia, dimana dari
keseluruhan jenis tersebut, 9 jenis terdapat di Wakatobi. Selanjutnya, Yusron (2007)
menjelaskan, terdapat 53 jenis teripang di Indonesia, dimana di perairan Wakatobi
khususnya yang hidup di daerah padang lamun belum pernah dilaporkan.
Pulau Wanci merupakan ibukota Kabupaten Wakatobi yang pembangunannya
semakin pesat dan penduduknya semakin tinggi dibanding pulau-pulau lainnya yang
ada di wilayah Kabupaten Wakatobi. Hal tersebut diduga dapat menyebabkan
terjadinya perubahan lingkungan yang akan mengancam habitat teripang. Pulau
Wanci juga merupakan bagian dari Taman Nasional Laut yang potensi sumberdaya
hayatinya, khususnya teripang penting untuk diketahui. Sejauh ini belum ada
penelitian yang mengkaji potensi sumberdaya teripang dan distribusinya di daerah
padang lamun.
Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang ingin dijawab adalah:
1. Bagaimana potensi teripang di daerah padang lamun perairan Pulau Wanci?
2. Bagaimana pengaruh parameter lingkungan perairan terhadap kepadatan teripang
di daerah padang lamun perairan Pulau Wanci?
3. Bagaimana distribusi teripang terhadap jenis lamun di perairan Pulau Wanci?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi sumberdaya teripang,
keterkaitan antara teripang dan parameter lingkungan perairan, serta distribusi
teripang di daerah padang lamun perairan Pulau Wanci.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengelolaan teripang di
Kepulauan Wakatobi dan menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya.

5

2 METODE PENELITIAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu kabupaten baru di Provinsi
Sulawesi Tenggara. Wakatobi merupakan singkatan dari nama 4 pulau besar yang
ada di kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-Wangi atau Wanci (156,5 km²), Pulau
Kaledupa (64,8 km²), Pulau Tomia (52,4 km²), dan Pulau Binongko (98,7 km²).
Semula Wakatobi merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Buton, kemudian
berdasarkan UU No. 29 tahun 2003, kecamatan Wakatobi ditetapkan menjadi
kabupaten tersendiri. Secara geografis Kepulauan Wakatobi terletak antara
123˚15’00”–124˚45’00”BT dan 05˚15’00”LS. Kepulauan Wakatobi terletak di
pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Sebelah utara dibatasi dengan Laut Banda
dan Pulau Buton. Sebelah Selatan dibatasi oleh laut Flores, sebelah Timur dibatasi
oleh Laut Banda, dan sebelah Barat dibatasi oleh Pulau Buton dan Laut Flores
(Coremap II-LIPI 2007).
Penduduk Wakatobi diperkirakan telah mencapai ± 100.000 jiwa yang tersebar
dalam 64 desa di 7 kecamatan. Berbagai macam etnis penduduk mendiami Wakatobi.
Etnis asli yang berasal dari Wakatobi jumlahnya mencapai sembilan, yaitu Etnis
Wanci, Mandati, Liya, Kapota (Pulau Wanci), Etnis Kaledupa (Pulau Kaledupa),
Etnis Waha, Tongano dan Timur (Pulau Tomia) dan Etnis Mbeda-beda (Pulau
Binongko). Selain itu terdapat juga etnis pendatang, yaitu Etnis Bajo dan Cia-Cia
yang berasal dari Etnis Buton, lalu ada juga Etnis Bugis dan Jawa (Salam 2011).
Sebagian besar masyarakat Wakatobi berprofesi sebagai nelayan dengan
memanfaatkan sumberdaya laut untuk pendapatan dan mata pencahariannya. Sisanya
berdagang, berlayar dan ada juga petani sederhana yang hanya berkebun singkong
dan jagung, mengingat kondisi tanah di Kepulauan Wakatobi adalah berupa karang
yang berbatu (Salam, 2011).
Kawasan Wakatobi telah ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996. Kawasan
tersebut memiliki luas 1.390.000 hektar yang dibagi menjadi 5 zona, yaitu 1) Zona
Inti; Pulau Aname, Pulau Kantole, Pulau Runduma, Pulau Cowo-cowo dan Pulau
Moromaho, 2) Zona Pelindung; Pulau Ndaa, Karang Koromaho, Karang Koko, 3)
Zona Pemanfaatan; Pulau Hoga, Pulau Tomia, Pulau Tolandono, Pulau Tokobao dan
Pulau Lintea, 4) Zona Pemanfaatan Tradisional; Pulau Kambodi, Pulau Timau, Pulau
Kompo Nuone, Pulau Kaledupa, Pulau Binongko dan Pulau Wangi-Wangi), dan 5)
Zona Rehabilitasi; Karang Kaledupa dan Karang Kapota (Coremap II-LIPI 2007).
Pulau Wanci merupakan pulau terbesar diantara pulau yang ada di Kabupaten
Kepulauan Wakatobi. Pada rataan Pulau Wanci sendiri terdiri dari beberapa pulau
antara lain Pulau Kapota, Pulau Oroho dan Pulau Sumanga (Coremap 2001).

6
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Wanci, Kabupaten Wakatobi,
Provinsi Sulawesi Tenggara pada bulan Oktober-Desember 2014.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lamun, teripang, sampel air,
substrat, dan alkohol. Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku
identifikasi lamun (McKenzie et al. 2001), buku identifikasi teripang (Purcell et al.
2012), meteran gulung, transek kuadrat, wadah sampel, pipa paralon, kertas label, tali
rafia, bola pingpong, stopwatch, kamera bawah air, Global Positioning System (GPS),
termometer, refraktometer, pH indikator, DO meter, dan alat tulis menulis.
Prosedur Penelitian
Penentuan Stasiun Penelitian
Stasiun pengamatan dibagi menjadi 4 stasiun berdasarkan keberadaan lamun
dan teripang. Stasiun 1 berada pada kawasan dengan sedikit penduduk, Stasiun 2
berada diantara pemukiman penduduk (padat penduduk), Stasiun 3 berada pada
kawasan yang dekat dengan pelabuhan dan padat dengan penduduk perkotaan, dan
Stasiun 4 berada disalah satu tempat wisata dan berhadapan dengan laut lepas.
Pembagian stasiun tersebut dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada perbedaan
sebaran jenis teripang pada lokasi yang berbeda atau tidak.

7
Pada tahapan pengambilan sampel, tiap stasiun dibagi menjadi 3 sub stasiun,
pada tiap sub stasiun tersebut dibentangkan transek garis sepanjang 200 m secara
tegak lurus terhadap garis pantai menuju laut. Selanjutnya di sepanjang transek garis
dipasang 6 transek plot/kuadrat berukuran 50 cm x 50 cm (0,25 m2) untuk
pengukuran lamun (McKeinzie et al. 2001) dan 6 transek kuadrat berukuran 5 m x 5
m (25 m2) untuk pengukuran teripang. Jarak antara transek kuadrat satu dengan
lainnya adalah 20 m dan jarak antara transek garis satu dengan lainnya adalah 25 m
(Gambar 3).

Gambar 3 Contoh skematik penempatan transek pada stasiun pengukuran
lamun dan teripang
Keempat stasiun tersebut dirinci pada Tabel 1.
Tabel 1 Posisi pengambilan sampel tiap stasiun pengamatan
Stasiun
Posisi
Letak Geografis
1
Perairan pantai Desa Numana, 123˚32’58,20” BT dan 5˚21’11,94” LS
Kecamatan Wangi-Wangi
Selatan
2
Diantara rumah gantung
123˚32’37,68” BT dan 5˚20’56,20” LS
masyarakat bajo, Desa Mola
Utara, Kecamatan WangiWangi Selatan
3
Dekat Pelabuhan Panjang
123˚32’14,53” BT dan 5˚20’14,82” LS
Wanci, Kecamatan WangiWangi Selatan
4
Perairan pantai Desa
123˚33’39,53” BT dan 5˚15’0,90” LS
Waelumu, Kecamatan WangiWangi

8
Parameter Lingkungan Perairan
Dalam rangka mengetahui kondisi perairan yang sesuai bagi kehidupan lamun
dan teripang maka dilakukan pengukuran parameter lingkungan perairan. berupa
suhu, salinitas, pH, kecepatan arus, oksigen terlarut (DO), nitrat, fosfat, dan fraksi
substrat (pasir, debu, liat). Pengukuran suhu, salinitas, pH, dan kecepatan arus
dilakukan langsung dilokasi penelitian (in situ), sedangkan pengukuran oksigen
terlarut, nitrat, fosfat, dan fraksi substrat dilakukan di laboratorium, dengan cara
mengambil sampel air dan substrat pada tiap stasiun pengamatan kemudian dianalisis
di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo
Kendari. Pengambilan data parameter lingkungan dilakukan sebanyak 3 kali dalam
setiap stasiun. Pengambilan data pertama, kedua, dan ketiga secara berturut dilakukan
pada meteran 0 sub stasiun 1, meteran 120 sub stasiun 2, dan meteran 200 sub stasiun
3.
Pengambilan Contoh Lamun
Pengamatan lamun dilakukan pada tiap transek plot pada tiap stasiun
pengamatan, dengan cara menghitung jumlah tegakan lamun dan mencatat jenis
lamun yang ditemukan. Pengamatan lamun menggunakan transek garis yang
dikombinasikan dengan transek kuadrat 50 cm x 50 cm. Adapun identifikasi jenis
lamun dilakukan dengan bantuan buku identifikasi lamun yang mengacu pada
McKenzie et al. (2001).

Gambar 4 Transek plot pengambilan contoh lamun
Pengambilan Contoh Teripang
Pengamatan teripang menggunakan transek kuadrat berukuran 5 m x 5 m
dimana di dalam transek tersebut terdapat transek 50 cm x 50 cm yang digunakan
untuk pengukuran lamun, sehingga pengamatan teripang dilakukan bersamaan
dengan pengamatan lamun. Pengamatan tersebut dilakukan dengan cara mencatat
jumlah teripang yang ditemukan dalam transek kuadrat dan mengidentifikasi jenis
teripang yang ditemukan dengan melihat bentuk morfologi dan warna tubuhnya
berdasarkan Purcell et al. (2012) dan www.starfish.ch tentang teripang.

Gambar 5 Transek plot pengambilan contoh teripang

9
Data Sekunder
Pengambilan data sekunder dilakukan untuk menunjang data penelitian. Data
sekunder yang dikumpulkan berupa data tangkapan teripang nelayan Wakatobi yang
diambil dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Wakatobi.
Analisis Data
Kerapatan Jenis Lamun
Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu atau tegakan lamun dalam
suatu unit area yang dihitung berdasarkan English et al. (1997) sebagai berikut:

dimana:
= kerapatan jenis ke-i (ind/m²)
ni = jumlah total individu jenis ke-i (ind)
A = luas area total pengambilan contoh (m²)
Kepadatan JenisTeripang
Kepadatan teripang dihitung mengacu pada English et al. (1997) sebagai
berikut:

dimana:
= kepadatan individu jenis ke-i (individu / m²)
= jumlah individu jenis ke-i yang diperoleh
A = luas total area pengambilan contoh
Hubungan antara Teripang dan Parameter Lingkungan
Keterkaitan antara teripang dan parameter lingkungan dianalisis dengan
menggunakan Principal Component Analysis (PCA) dengan bantuan software
ExcelStat-Pro 7.5.2 dengan cara memasukkan variabel terikat dan variabel bebas dari
data teripang dan parameter lingkungan yang diamati. Variabel terikat terdiri dari
kepadatan jenis teripag dan variabel bebas terdiri dari paramater lingkungan.
Distribusi Teripang di Daerah Padang Lamun
Distribusi teripang di daerah padang lamun dianalisis dengan menggunakan
Coresponden Analysis (CA) dengan bantuan software ExcelStat-Pro 7.5.2. Variabel
terikat terdiri dari jenis teripang dan variabel bebas terdiri dari jenis lamun.

10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Paramater Lingkungan Perairan
Hasil pengukuran parameter limgkungan perairan Pulau Wanci dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2 Parameter lingkungan perairan (± SE) pada tiap stasiun pengamatan
Parameter

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Suhu (˚C)
29,67 ± 0,76
30,33 ± 0,76
30,67 ± 0,37
Salinitas (ppt)
28,67 ± 0,37
29,33 ± 0,37
30,33 ± 0,37
pH
6,83 ± 0,19
7 ± 0,33
7,33 ± 0,19
DO (mg/l)
5,90 ± 0,58
5,30 ± 0,26
5,87 ± 0,69
Nitrat (mg/l)
0,027 ± 0,0005
0,030 ± 0,0026
0,029 ± 0,0010
Fosfat (mg/l)
0,016 ± 0,0005
0,013 ± 0,0031
0,015 ± 0,0006
Arus (m/det)
0,046 ± 0,0005
0,044 ± 0,0003
0,051 ± 0,0009
Pasir (%)
86,63 ± 0,79
86,42 ± 6,77
91,79 ± 3,64
Debu (%)
0,18 ± 0,01
0,19 ± 0,08
1,18 ± 1,18
Liat (%)
13,18 ± 0,78
13,39 ± 6,70
7,02 ± 4,55
Keterangan: Baku mutu berdasarkan KepMen LH No. 51 tahun 2004

Stasiun 4
31 ± 0,66
31 ± 0,66
7,5 ± 0,46
7,67 ± 0,15
0,034 ± 0,0029
0,018 ± 0,0027
0,059 ± 0,0011
87,77 ± 4,24
6,72 ± 6,01
5,51 ± 3,32

Baku
Mutu
≤ 32

≤ 34
≤ 8,5
>5
≥ 0,008
≥ 0,015

Suhu

Suhu merupakan salah satu parameter fisik perairan yang mempengaruhi
kehidupan organisme perairan. Organisme perairan mempunyai toleransi yang
berbeda-beda terhadap suhu. Menurut Supriharyono (2009), suhu dapat
mempengaruhi fotosintesis karena proses pengambilan unsur hara sangat tergantung
pada suhu air. Nontji (2007) juga menjelaskan, hewan yang hidup di zona pasangsurut dan sering mengalami kekeringan mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap
perubahan suhu.
Berdasarkan hasil pengukuran, terlihat bahwa suhu yang ditemukan pada tiap
stasiun pengamatan (Tabel 2) masih tergolong optimum atau sesuai untuk kehidupan
lamun dan teripang.
Salinitas
Salinitas juga merupakan parameter fisik perairan yang penting bagi kehidupan
organisme perairan. Menurut Odum (1996) secara langsung, perubahan salinitas
dapat mempengaruhi penyebaran organisme perairan dan secara tidak langsung,
dapat merubah komposisi organisme dalam suatu perairan.
Dari hasil pengukuran, dapat dijelaskan bahwa salinitas yang ditemukan pada
tiap stasiun pengamatan (Tabel 2) masih tergolong optimum untuk kehidupan lamun
dan teripang.
pH

pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan.
Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan
hidup organisme yang hidup di dalamnya. Menurut Effendi (2003) pH
menggambarkan keberadaan ion hidrogen yang terdapat pada suatu perairan. pH
perairan biasanya akan mengalami penurunan ketika suhu rendah akibat kurangnya
intensitas matahari, sehingga proses fotosintesis oleh tumbuhan air akan berkurang.

11
Berdasarkan hasil pengamatan, nilai pH yang ditemukan pada tiap stasiun
(Tabel 2) masih tergolong optimum bagi kehidupan lamun dan teripang.
Kecepatan Arus
Arus merupakan faktor pembatas yang penting bagi organisme perairan.
Pergerakan arus dibituhkan oleh organisme akuatik sebagai pembawa makanan
berupa bahan organik dan sebagai pembersih terhadap endapan lumpur atau pasir
yang dapat mengendap pada tubuh organisme akuatik yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan.
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa kecepatan arus yang terukur di lokasi
penelitian berkisar antara 0,044-0,059 m/det. Kecepatan arus pada Stasiun 1, Stasiun
2, dan Stasiun 3 tergolong rendah (Tabel 2). Adapun kecapatan arus tertinggi berada
pada Stasiun 4. Rendahnya kecepatan arus pada lokasi pengamatan disebabkan pada
wilayah tersebut berhadapan dengan Pulau Kapota yang langsung berhadapan dengan
ke tiga stasiun tersebut, sedangkan tingginya kecepatan arus pada Stasiun 4
disebabkan pada wilayah tersebut langsung berhadapan dengan laut lepas. Secara
keseluruhan, kecepatan arus tersebut masih sesuai bagi kehidupan lamun dan
teripang. Martoyo et al. (2006) menjelaskan bahwa organisme teripang mampu hidup
pada perairan dengan tingkat kecepatan arusnya berkisar antara 0,30-0,50 m/det.
Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas yang amat penting bagi
kehidupan organisme perairan. organisme perairan memiliki kisaran tertentu yang
sesuai bagi kehidupannya. Menurut Effendi (2003) oksigen terlarut berkurang dengan
semakin meningkatnya suhu, salinitas dan ketinggian perairan.
Berdasarkan hasil pengamatan kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian
berkisar antara 5,30-7,67 mg/l, berdasarkan KepMen LH No. 51 tahun 2004, kisaran
tersebut masih optimum bagi kehidupan lamun dan teripang.
Nitrat dan fosfat
Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan
nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrogen mudah larut dalam air
dan bersifat stabil. Adapun fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan
oleh tumbuhan dan juga merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi
dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik
serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Effendi 2003).
Nitrat di perairan diduga berasal dari limbah domestik. Semakin tinggi
kandungan nitrat di perairan maka semakin tinggi pula kandungan bahan organiknya.
Adapun fosfat yang tinggi diduga berasal dari limpasan air atau dari daratan yang
mengandung bahan organik.
Hasil pengukuran nitrat dan fosfat pada setiap stasiun pengamatan (Tabel 2)
masih tergolong optimum bagi kehidupan lamun dan teripang. Effendi (2003)
menjelaskan bahwa kandungan nitrat pada perairan alami biasanya jarang yang
melebihi 0,1 mg/l.

12
Fraksi Substrat
Kehidupan lamun sangat erat kaitannya dengan substrat. Beberapa jenis lamun
menyukai habitat substrat tertentu. Nybakken (1992) juga menjelaskan bahwa ada
korelasi antara substrat dan hewan makrozobenthos, dimana makrozobentos seperti
teripang sangat bergantung terhadap kondisi substrat untuk keberlangsungan
hidupnya sehingga kondisi substrat suatu perairan juga akan mempengaruhi
penyebaran hewan tersebut.
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa pada seluruh lokasi penelitian didominasi
oleh substrat berpasir, sedangkan liat dan debu hanya sebagian kecil (Tabel 4).
Kondisi substrat tersebut sangat sesuai untuk kehidupan teripang dan beberapa jenis
lamun.
Hampir semua jenis lamun yang ditemui di Indonesia mampu hidup pada
substrat berpasir. Kiswara (1992) menjelaskan bahwa Cymodocea rotundata tumbuh
pada dasar pasir di dekat pantai yang terbuka saat surut dan jauh dari pantai yang
selalu tergenang air, yang tumbuh bersama-sama Thalassia hemprichii. Enhalus
acoroides tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan pasir berkoral yang selalu tergenang
air, yang tumbuh bersama-sama Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium,
Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, dan Halophila ovalis. Halophila ovalis
tumbuh pada dasar substrat keras, pasir dan lumpur di daerah terbuka di sepanjang
batas pasang surut yang tumbuh bersama-sama Halodule uninervis, Halodule
pinifolia, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata Thalassia hemprichii, dan
Enhalus acoroides. Thalassia hemprichii tumbuh dominan pada dasar pasir ataupun
puing karang mati dan dapat tumbuh pada dasar lumpur serta tumbuh bersama-sama
Halophila ovalis, Halodule uninervis, dan Cymodocea serrulata.
Beberapa spesies teripang memiliki pilihan terhadap ukuran butir tertentu untuk
mendapatkan makanan yang dibutuhkan. Slater dan Jeffs (2010) menjelaskan bahwa
karakteristik substrat adalah salah satu komponen penting yang mempengaruhi
preferensi habitat teripang. Menurut Dissanayake dan Stefansson (2012), ukuran butir
sedimen diperlukan untuk lebih mempertahankan tingkat bahan organik serta ruang
yang diperlukan dalam sedimen.
Teripang mendepositkan makanan berupa sedimen dalam jumlah besar.
Aktifitas tersebut dilakukan untuk mengasimilasi bakteri, jamur, dan bahan organik
yang terkandung di dalamnya (Yokoyama 2013). Melalui selektifitas partikel yang
kaya akan bahan organik, teripang memusatkan bahan organik dari sedimen di dalam
usus mereka, sehingga menghasilkan feses atau kotoran yang kaya akan bahan
organik (Hudson et al. 2005).
Menurut Purcell et al. (2012) Holothuria scabra biasa ditemukan pada substrat
pasir berlumpur. Selanjutnya Azis (1995) menjelaskan bahwa Holothuria atra
menyukai substrat pasir halus. Holothuria pervicax menyukai substrat lunak yang
terdapat di daerah lepas pantai, zona awal dari ekosistem terumbu karang, dan pada
daerah padang lamun. Teripang jenis Holothuria atra, dan Stichopus variegatus dapat
menempati bermacam-macam tipe substrat.

13
Kerapatan Jenis Lamun
Beberapa jenis lamun yang ditemukan pada lokasi pengamatan disajikan
Tabel 3.
Tabel 3 Jenis lamun yang ditemukan pada tiap stasiun pengamatan
Stasiun
Famili
Spesies
1
2
3
Potamogetonaceae
Cymodocea rotundata
+
+
+
Halodule uninervis
+
+
+
Syiringodium isoetofilium
Thalasodendron ciliatum
Hydrocharitaceae
Thalassia hemprichii
+
+
+
Enhalus acoroides
+
+
+
Halophila ovalis
+
+
5
5
4
Total Jenis Lamun

pada

Keterangan:
+ = ditemukan pada lokasi penelitian
- = tidak ditemukan pada lokasi penelitian

4
+
+
+
+
+
5

Hasil perhitungan kerapatan jenis lamun pada lokasi pengamatan disajikan pada
Gambar 6.
1400

Kerapatan jenis (ind/m²)

1200
1000
800
600
400
200
0

CR TH HU HO EA CR TH HU HO EA CR TH HU EA CR TH HU TC SI
St. 1

Ketetangan:
CR = Cymodocea rotundata
TH = Thalassia hemprichii
SI = Syiringodium isoetifolium

St. 2
St. 3
Jenis lamun tiap stasiun
HU = Halodule uninervis
HO = Halophila ovalis

St. 4

EA = Enhalus acoroides
TC = Thalasodendron ciliatum

Gambar 6 Kerapatan jenis lamun tiap stasiun pengamatan

Jumlah jenis lamun yang ada di perairan Pulau Wanci tergolong tinggi. Dari 12
jenis lamun yang ada di Indonesia, ditemukan 7 jenis lamun (Tabel 3) yaitu
Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, Thalassodendron ciliatum, Syringodium

14
isoetifolium (famili Potamogetonaceae), Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides,
dan Halophila ovalis (famili Hydrocharitaceae). Dari hasil pengamatan juga terlihat
bahwa lamun jenis Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii, dan Halodule
uninervis merupakan jenis lamun yang umum ditemukan di setiap stasiun
pengamatan.
Berdasarkan hasil pengamatan, terlihat bahwa lamun jenis Thalassia hemprichii
dan Halodule uninervis (Gambar 6) memiliki kerapatan tertinggi dibanding jenis
lainnya. Tingginya kerapatan lamun jenis Thalassia hemprichii berkaitan dengan
kemampuan adaptasinya yang tinggi terhadap semua tipe substrat. Hal ini didukung
oleh pernyataan den Hartog (1970) bahwa Thalassia hemprichii hidup dalam semua
jenis substrat, bervariasi dari pecahan karang hingga substrat lunak. Short dan Coles
(2001) juga menjelaskan bahwa Thalassia hemprichii sering diasosiasikan dengan
terumbu karang dan umum ditemukan pada substrat berupa patahan karang dan biasa
membentuk padang lamun yang padat. Spesies ini biasa ditemukan mendominasi
pada substrat berlumpur, terutama terutama ketika surut.
Keberadaan Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata (Tabel 3) di tiap
stasiun juga disebabkan oleh kondisi substrat yang sesuai, dimana pada seluruh
stasiun pengamatan didominasi oleh substrat berpasir. Hal ini sejalan dengan laporan
Tomascik et al. (1997) bahwa Halodule uninervis lebih banyak hidup pada pasir
halus hingga kasar di zona intertidal dan subtidal, dan Cymodocea rotundata hidup
pada daerah dangkal yang tertutup pasir karang dan mempunyai toleransi yang tinggi
pada daerah terbuka (tidak terendam air).
Enhalus acoroides, walaupun mampu beradaptasi terhadap berbagai tipe
substrat, jenis ini memiliki kerapatan dan penutupan yang relatif lebih rendah.
Kondisi ini berkaitan dengan kedalaman dan topografi perairan Pulau Wanci secara
keseluruhan yang landai sehingga lebih banyak area padang lamun yang terbuka saat
surut, akibatnya jenis ini hanya tersebar pada padang lamun yang saat surut masih
terendam air. Menurut Short dan Coles (2001), Enhalus acoroides merupakan jenis
lamun yang biasa ditemukan di perairan yang lebih dalam pada substrat berlumpur
dan penyebarannya terbatas pada daerah intertidal dan perairan dangkal.
Lamun jenis Halophila ovalis, Thalassodendron ciliatum, dan Syringodium
isoetifolium memiliki nilai kerapatan terendah di keempat stasiun penelitian. Hal ini
disebabkan, Thalassodendron ciliatum dan Syringodium isoetifolium banyak tumbuh
di perairan yang lebih dalam terutama di dekat tubir sedangkan pendataan lamun
dilakukan dari bibir pantai ke arah laut sehingga peluang terdatanya lebih kecil
karena topografi pantai Pulau Wanci umumnya landai dengan panjang ± 300-500 m
dari arah pantai menuju tubir.
Short dan Coles (2001) menjelaskan bahwa Syringodium isoetifolium
penyebarannya terbatas hanya ditemukan di perairan dalam. Thalassodendron
ciliatum merupakan spesies lamun yang tidak lazim ditemukan. Hanya ditemukan
pada substrat pasir berkarang. Biasa terdapat di tepian karang dengan gelombang arus
yang cukup tinggi karena memiliki batang dan sistem perakaran yang kuat.
Rendahnya kerapatan lamun jenis Syringodium isoetifolium juga disebabkan
toleransinya yang sempit terhadap kekeringan. Philips dan Menez (1998)
menjelaskan, lamun jenis Syringodium isoetifolium hanya mampu mentoleransi
kekeringan dalam waktu singkat.
Rendahnya kerapatan lamun jenis Halophila ovalis disebabkan lamun jenis ini
memiliki penyebaran yang sempit, hanya terbatas di dekat daratan dengan substrat

15
berpasir, dibandingkan lamun jenis lain yang memiliki penyebaran yang lebih luas.
Hal ini sesuai pernyataan Nienhuis et al. (1989) bahwa Halophila ovalis sering
terlihat sebagai jenis pembuka yang mendiami substrat pasir. Short dan Coles (2001)
juga menjelaskan bahwa Halophila dan Halodule merupakan spesies pionir yang
biasa ditemukan di pesisir pantai. Menurut Philips dan Menez (1988) kedua jenis
lamun tersebut utamanya menempati substrat yang lembab.
Lamun jenis Halophila ovalis merupakan kategori lamun yang berukuran
paling kecil diantara jenis lamun lainnya. Kondisi tersebut memberi keuntungan
untuk dapat bertahan hidup pada daerah intertidal atau tepian pantai yang selalu
terpapar cahaya matahari ketika surut dibanding jenis lamun lainnya, karena
bentuknya yang kecil menyebabkan spesies tersebut tetap terendam air saat surut.
Terkadang pada daerah intertidal juga ditemui lamun jenis Enhalus acoroides,
Cymodocea rotundata, dan Thalassia hemprichii. Bjork et al. (1999) menjelaskan
bahwa keberadaan lamun berukuran besar di daerah intertidal berhubungan dengan
karakter morfologis yang dimilikinya sehingga mampu mentolerir kondisi kekeringan
atau meminimumkan tekanan akibat kekeringan.
Lamun jenis Thalassodendron ciliatum hanya ditemukan pada Stasiun 4 karena
wilayah tersebut berhadapan dengan laut lepas, dimana kondisi tersebut sangat cocok
untuk kehidupannya. Short dan Coles (2001) menjelaskan Thalassodendron ciliatum
merupakan spesies lamun yang tidak lazim ditemukan. Hanya ditemukan pada
substrat pasir berkarang. Biasa terdapat di tepian karang dengan gelombang arus yang
cukup tinggi karena memiliki batang dan sistem perakaran yang kuat.
Kepadatan Jenis Teripang
Beberapa jenis teripang yang ditemukan pada lokasi pengamatan disajikan pada
Tabel 4.
Tabel 4 Jenis teripang yang ditemukan pada tiap stasiun pengamatan
Stasiun
Famili
Spesies
1
2
3
4
Holothuriidae
Holothuria atra
+
+
+
+
Holothuria scabra
+
x
x
x
Holothuria pervicax
+
x
x
x
Holothuria hilla
+
x
x
x
Stichopodidae
Stichopus variegatus
+
+
x
x
Stichopus hermanni
+
x
x
+
Synaptidae
Synapta maculata
+
+
x
+
7
3
1
3
Total Jenis Teripang

Keterangan:
x = tidak ditemukan pada lokasi penelitian

16

0,40
0,30
0,20

St. 1

St. 2

St. 3

S. maculata

S. hermanni

H. atra

H. atra

S. maculata

S. variegatus

H. atra

S. maculata

S. hermanni

S. variegatus

H. hilla

H. pervicax

0,00

H. scabra

0,10

H. atra

Kepadatan Jenis (ind/m2)

0,50

St. 4

Jenis teripang tiap stasiun

Gambar 7 Kepadatan jenis teripang tiap stasiun pengamatan
Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan 7 jenis teripang pada daerah padang
lamun. Ketujuh jenis teripang tersebut tergolong dalam 3 famili (Tabel 4). Famili
Holothuriidae terdiri dari jenis Holothuria atra, Holothuria scabra, Holothuria
pervicax, dan Holothuria hilla. Famili Stichopodidae terdiri dari Stichopus variegatus
dan Stichopus hermanni. Famili Synaptidae terdiri dari Synapta maculata.
Menurut Azis (1995) jenis teripang yang termasuk ke dalam kategori utama
adalah Teripang pasir (Holothuria scabra), Teripang hitam (Holothuria atra),
Teripang susu (Holothuria nobilis), Teripang perut merah (Holothuria edulis) dan
Teripang nanas (Thelenota ananas). Adapun yang termasuk ke dalam kategori
bernilai ekonomi sedang adalah Teripang lotong (Actinopyga lecanopra) dan
Teripang bilalo (Actinopyga mauritiana) yang termasuk ke dalam marga Actinopyga.
Jenis-jenis lainnya termasuk ke dalam kategori rendah.
Berbeda dengan penjelasan Darsono (2002), bahwa Holothuria atra termasuk
ketegori rendah. hal ini diperkuat dengan kondisi di lapangan dimana di Kepulauan
Wakatobi menggolongkan teripang tersebut sebagai teripang yang tidak bernilai
ekonomis. Dari keseluruhan jenis teripang yang ditemukan di daerah padang lamun
hanya satu jenis yang tergolong kategori utama yaitu Holothuria scabra.
Kepadatan jenis tertinggi diwakili oleh Holothuria atra dan Synapta maculata
(Gambar 7). Tingginya kepadatan kedua jenis teripang tersebut disebabkan keduanya
dianggap tidak memiliki nilai ekonomis oleh masyarakat setempat sehingga tidak
menjadi target penangkapan. Purwati et al. (2008) menjelaskan, diantara faktor
penyebab rendahnya kepadatan teripang di suatu wilayah adalah akibat faktor alam
yaitu daya dukung lingkungan dan cara hidup yang soliter. Lee et al. (2008) juga
menjelaskan bahwa densitas alami teripang sangat berhubungan dengan daya dukung
lingkungannya.
Purcell et al. (2009) menjelaskan bahwa Holothuria atra adalah spesies yang
paling banyak dalam setiap penelitian. Kelimpahannya biasanya mencapai 2,5 ind/25

17
m2. Bentuk normal ditemukan pada rataan terumbu dan laguna perairan dangkal.
Bentuk besar ditemukan di air yang lebih dalam terutama di dekat terumbu karang
dan laguna.
Adapaun teripang jenis Synapta maculata memiliki bentuk tubuh yang
menyerupai ular dan sangat lunak sehingga masyarakat tidak memanfaatkannya
karena ketika merasa terancam, hewan ini dapat mengkerutkan dirinya menjadi
sangat kecil dan memotong dirinya menjadi beberapa bagian atau ketika diangkat dari
laut oleh manusia maka tubuhnya dengan mudah akan terputus.
Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa seluruh jenis teripang yang
ditemukan dapat dijumpai di Stasiun 1 (Tabel 4). Hal ini karena daerah tersebut
dihuni oleh sedikit penduduk sehingga tekanan antropogenik yang ditimbulkan juga
masih sangat sedikit, menyebabkan penyebaran teripang di daerah tersebut masih
cukup baik.
Pada Stasiun 2 hanya ditemukan 3 jenis teripang yaitu Holothuria atra,
Stichopus variegatus, dan Synapta maculata (Tabel 4) yang didominasi oleh
Holothuria atra dan Synapta maculata. Ketiga jenis teripang tersebut bukan
merupakan target perburuan masyarakat setempat. Hal ini disebabkan karena pada
daerah tersebut berdekatan dengan rumah penduduk bajo yang mata pencaharian
utamanya mengandalkan hasil-hasil laut termasuk teripang. Umumnya nelayan bajo
akan memanfaatkan sumberdaya laut yang berada didekat pemukimannya dan akan
melakukan penangkapan ke wilayah yang lebih jauh setelah sumberdaya laut di dekat
pemukimannya berkurang.
Pada Stasiun 3 hanya ditemukan 1 jenis teripang yaitu Holothuria atra (Tabel
4) dengan jumlah individu yang paling sedikit dibanding wilayah lainnya. Hal ini
disebabkan wilayah tersebut berdekatan dengan pelabuhan utama Pulau Wanci yang
menjadi pusat transportasi pelayaran dari Pulau Wanci ke wilayah lainnya. Aktifitas
perkapalan di daerah tersebut menghasilkan limbah minyak dan sampah plastik yang
dapat mencemari perairan, dimana secara tidak langsung dapat mengancam
keberadaan teripang dan lamun yang menjadi habitat teripang sehingga jika
habitatnya rusak maka teripang juga akan mati atau berpindah ke wilayah yang lebih
aman.
Selain itu, kegiatan penimbunan untuk pembuatan pelabuhan sebelum jembatan
tersebut beroperasi seperti saat sekarang, dapat membunuh teripang secara langsung
akibat tertimbun dari bongkahan pasir dan secara tidak langsung mempengaruhi
keberadaan teripang dan lamun yang menjadi habitatnya akibat kekeruhan yang
ditimbulkan. Daerah tersebut juga dihuni oleh penduduk perkotaan Pulau Wanci
dengan perumahan yang cukup padat. Penduduk yang berada di sekitar pelabuhan
juga ikut andil dalam kelangkaan teripang di daerah tersebut karena biasanya mereka
melakukan penangkapan hewan-hewan bentos termasuk teripang yang berada di
sekitar pelabuhan dan secara langsung membuang sampah di wilayah tersebut.
Pada Stasiun 4 ditemukan 3 jenis teripang yaitu Holothuria atra, Stichopus
hermanni, dan Synapta maculata (Tabel 4) yang didominasi oleh Holothuria atra.
Wilayah tersebut berhadapan langsung dengan laut lepas sehingga memiliki kondisi
arus dan substrat berkoral, serta merupakan salah satu tempat wisata di Pulau Wanci.
Selain akibat tidak menjadi terget perburuan masyarakat, ketiga jenis teripang
tersebut diduga lebih toleran atau menyukai kondisi lingkungan perairan yang lebih
berarus dan bersubstrat lebih kasar.

18
Secara keseluruhan terlihat bahwa Holothuria atra ditemukan pada seluruh
stasiun pengamatan dan paling mendominasi dibandinng jenis teripang lainnya (Tabel
4). Uthicke (2001) menjelaskan bahwa Holothuria atra adalah spesies teripang paling
melimpah dan distribusinya sangat luas disebagian besar wilayah Indo-Pasifik.
Synapta maculata merupakan spesies kedua yang paling sering ditemukan,
dimana spesies ini ditemukan pada tiga stasiun pengamatan selain Stasiun 3,
sedangkan teripang jenis lainnya hanya ditemukan pada stasiun tertentu, seperti
Holothuria scabra dan Holothuria pervicax yang hanya ditemukan pada Stasiun 1.
Sedikitnya jumlah Holothuria scabra disebabkan hewan ini merupakan salah satu
jenis teripang yang bernilai ekonimis tinggi yang menjadi target utama perburuan
sehingga populasinya sudah sangat berkurang. Selain akibat penangkapan berlebih,
rendahnya jumlah individu Holothuria scabra kemungkinan disebabkan oleh
kebiasaannya dalam membenamkan diri dalam substrat sehingga tidak terdeteksi saat
pengamatan.
Holothuria pervicax adalah jenis teripang yang biasanya hidup di sekitar karang
mati, sehingga peluang terambilnya pada saat penelitian sangat kecil. Hal ini sesuai
pernyataan Azis (1995) bahwa apabila di padang lamun didapatkan koloni karang
mati, kemungkinan didapatkan juga teripang jenis Holothuria pervicax. Jenis teripang
lainnya yang hidup di bawah koloni karang mati adalah Holothuria hilla.
Stichopus variegatus hanya ditemukan pada Stasiun 1 dan Stasiun 2. Hal ini
diduga pada wilayah tersebut terdapat banyak patahan karang yang menjadi
habitatnya. Ke