Analisis ekosistem padang lamun di perairan pulau rambut kepulauan seribu

ANALISIS EKOSISTEM PADANG LAMUN
DI PERAIRAN PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU

DIAN PURNAMASARI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Ekosistem
Padang Lamun di Perairan Pulau Rambut, Kepulauan Seribu adalah benar karya
saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Dian Purnamasari
NIM G34090113

ABSTRAK
DIAN PURNAMASARI. Analisis Ekosistem Padang Lamun di Perairan
Pulau Rambut Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan
SULISTIJORINI.
Lamun merupakan tumbuhan Angiospermae yang hidup di perairan laut
dangkal dengan kedalaman 0.5 – 10 meter atau lebih pada perairan jernih.
Ekosistem padang lamun memiliki peranan utama bagi keberlangsungan
ekosistem pesisir. Penelitian ini bertujuan menganalisis ekosistem vegetasi lamun
serta mengetahui hubungan asosiasi antar jenis lamun di perairan Pulau Rambut
Kepulauan Seribu. Analisis vegetasi dilakukan dengan mengukur kerapatan lamun
menggunakan metode transek linier kuadrat pada 3 stasiun (St.) pangamatan yaitu
St. Barat, St. Timur dan St. Selatan. Keanekaragaman lamun yang berhasil
ditemukan di Pulau Rambut terdiri atas 6 jenis yaitu Cymodocea rotundata,
Cymodocea serulata, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule universis,
dan Enhalus acoroides. Hasil analisis vegetasi lamun menunjukan nilai Indeks

Nilai Penting (INP) tertinggi dimiliki oleh Cymodocea rotundata yaitu ( 112.09%).
Indeks asosiasi Ochiai (80%) termasuk dalam kategori sangat rendah. Nilai
tersebut menunjukan tingkat asosiasi antar jenis lamun di Pulau Rambut
tergolong rendah. Hal ini disebabkan perbedaan karakteristik dari setiap jenis
lamun serta bentuk adaptasinya.
Kata kunci: Indeks Ochiai, INP, lamun, Pulau Rambut.

ABSTRACT
DIAN PURNAMASARI. Analysis of Seagrass Ecosystem in Rambut island
Kepulauan Seribu . Supervised by IBNUL QAYIM and SULISTIJORINI
Seagrass included to Angiospermae which lives in 0.5-10 m of sea depth
and photic zone. The objective of this research was to analyze seagrass vegetation
ecosystem and to discover the association of seagrass species in Rambut island,
Kepulauan Seribu. Vegetation analyze was done by measuring seagrass density
used linier quadrant transect method in three observation stations, West, East, and
South station. Six species that were found in Rambut island including Cymodocea
rotundata, Cymodocea serulata, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis,
Halodule universis and Enhalus acoroides. The highest value of important index
value was found in Cymodocea rotundata, 112.09%. The result of Ochiai
association index was 80% in categorized in very low association. It was caused

by different characteristics and adaptation of every seagrass species.
Keyword : Ochiai index, Rambut Island, seagrass, the important index value.

ANALISIS EKOSISTEM PADANG LAMUN
DI PERAIRAN PULAU RAMBUT KEPULAUAN SERIBU

DIAN PURNAMASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Judul Skripsi : Analisis Ekosistem Padang Lamun di Perairan Pulau Rambut,
Kepulauan Seribu
Nama
: Dian Purnamasari
NIM
: G34090113

Disetujui oleh

Dr Ir Ibnul Qayim
Pembimbing I

Dr Ir Sulistijorini, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul
“Analisis Ekosistem Padang Lamun di Perairan Pulau Rambut, Kepulauan
Seribu” ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Desember 2013 yang
membahas tentang keanekaragaman jenis lamun serta komposisi vegetasinya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ibnul Qayim dan Dr Ir
Sulistijorini, MSi selaku pembimbing yang telah membantu memberi pengarahan
serta bimbingan kepada penulis, Dra Taruni Sri Prawasti, MSi selaku penguji
yang telah memberi saran dan masukan kepada penulis. Terima kasih kepada
pihak BKSDA DKI Jakarta yang telah membantu dan memberi kemudahan
selama penelitian. Terima kasih kepada kedua orang tua serta keluarga atas doa
dan dukungan yang senantiasa diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada keluarga OWA Biologi IPB, sahabat GEMUS,
dan teman-teman Biologi 46 atas doa, dukungan, dan kerja sama yang telah
diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Juli 2014

Dian Purnamasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar belakang


1

Tujuan Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Tempat

2

Bahan

2

Alat


2

Identifikasi Jenis Lamun

3

Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Analisis Vegetasi Lamun

5

Parameter Lingkungan di Pulau Rambut


4

Sebaran Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Rambut

6

Sebaran Vegetasi Lamun di setiap Stasiun Pengamatan

7

Analisis Indeks Ochiai

9

SIMPULAN DAN SARAN

10

DAFTAR PUSTAKA


10

LAMPIRAN

12

RIWAYAT HIDUP

13

DAFTAR TABEL
Hasil pengukuran parameter lingkungan di Pulau Rambut
Data keberadaan lamun di setiap stasiun pengamatan
Persentase nilai indeks asosiasi antara 6 jenis lamun di Pulau Rambut

5
6
9


DAFTAR GAMBAR
Sebaran stasiun pengamatan komunitas lamun di Pulau Rambut
Sebaran vegetasi lamun di Pulau Rambut
Sebaran lamun di setiap stasiun pengamatan

3
7
7

DAFTAR LAMPIRAN
Keanekaragaman jenis lamun di Pulau Rambut

12

PENDAHULUAN
Latar belakang
Pulau Rambut merupakan salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Secara
geografis Pulau Rambut terletak pada 106. 5° 41’30” BT dan 5.5° 58’ 30” LS
dengan luas 90 ha yang terdiri atas 45 ha daratan dan 45 ha perairan (BKSDA
2012). Sebagai bagian dari kawasan Kepulauan Seribu, pergerakan angin serta
pasang surut air laut di Pulau Rambut dipengaruhi oleh angin muson Barat dan
muson Timur sama halnya dengan kawasan Kepulauan Seribu lainnya. Kondisi
perairan Kepulauan Seribu memiliki tipe pasang surut tunggal, yaitu dalam satu
hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut dengan kedudukan air
tertinggi dan terendah adalah 0.6 dan 0.5 m di bawah duduk tengah
(BPLHD2012). Perairan Pulau Rambut memiliki topografi yang berbeda pada
setiap sisinya. Kedalaman perairan mencapai 12 m dengan panjang bibir pantai
hingga ke tubir berkisar 50–70 m (BKSDA DKI 2012). Kondisi daratan di Pulau
Rambut sangat beragam sehingga menyebabkan terjadinya berbagai jenis vegetasi
mulai dari hutan pantai, hutan mangrove dan hutan campuran (heterogen). Selain
itu terdapat pula padang lamun pada perairan Pulau Rambut.
Lamun merupakan tumbuhan Agiospermae yang hidup di perairan laut
dangkal dengan kedalaman 0.5 – 10 m atau lebih pada perairan jernih (Azkab
2000). Lamun memiliki struktur tubuh mulai dari akar, daun, bunga hingga biji.
Lamun beradaptasi penuh untuk dapat hidup pada lingkungan laut. Salah satu
bentuk adaptasi lamun untuk dapat bertahan pada lingkungannya adalah memiliki
akar rimpang (rhizome) yang membuat lamun mampu bertahan meskipun dengan
arus laut yang cukup kencang. Selain itu lamun memiliki kemampuan untuk
melakukan polinasi di bawah air yang dikenal dengan hidrophilus (Tangke 2010).
Sebanyak 12 jenis lamun dilaporkan berada di Indonesia, tahun 2006 ditemukan 1
jenis baru yaitu Halophila sulawesii sehingga kini terdapat 13 jenis lamun di
perairan Indonesia. Lamun biasanya terdapat dalam jumlah yang melimpah di
alam dan sering membentuk padang yang lebat dan luas di perairan tropik.
Vegetasi lamun dapat terdiri atas satu jenis lamun atau tersusun oleh beberapa
jenis lamun (vegetasi campuran) (Fachrul 2011). Dalam ekosistem, lamun
bertindak sebagai produsen (Arifin dan Jompa 2005). Lamun berperan sebagai
sumber bahan organik bagi biota laut lain yang hidup berdampingan dengan
lamun seperti bulu babi (Hesdianti 2012), selain itu beberapa jenis biota laut lain
yang berasosiasi dengan padang lamun yaitu moluska dan Echinodermata
(Supriyadi 2009). Lamun juga digunakan sebagai tempat berlindung dan tempat
asuhan bagi berbagai jenis biota seperti ikan (Peristiwady 2009) serta tempat
penyaringan sedimen-sedimen.
Peranan lamun sebagai sumber bahan organik, tempat berlindung dan
tempat asuhan berbagai jenis biota laut menyebabkan analisis ekosistem padang
lamun menjadi penting untuk diketahui. Pulau Rambut menjadi salah satu
kawasan konservasi daratan yang sangat dijaga kelestariannya. Namun perhatian
terhadap perairannya masih sangat kurang. Oleh sebab itu penelitian mengenai
keragaman jenis lamun di Pulau Rambut perlu dilakukan.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan untuk menganalisis ekosistem padang lamun yang
meliputi keanekaragaman lamun, analisis faktor lingkungan serta asosiasi antar
jenis di perairan Pulau Rambut Kepulauan Seribu.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan mulai Februari-Desember 2013 bertempat di
perairan Pulau Rambut, Kepulauan Seribu, Jakarta. Identifikasi sampel dilakukan
di Laboratorium Terpadu, Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

Bahan
Bahan yang digunakan adalah sampel lamun yang berasal dari perairan
Pulau Rambut, Kepulauan Seribu.
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu GPS, meteran, masker selam,
botol sampling, bingkai transek (pipa 50 x 50 cm), kamera digital Nikon,
termometer, pH meter, saringan, dan digital 4in1.
Prosedur Penelitian
Penentuan Stasiun Penelitian
Stasiun (St.) penelitian ditentukan berdasarkan area Pulau Rambut yang
memiliki lamun yaitu bagian Barat, Selatan, dan Timur (Gambar 1).
Keanekaragaman lamun di Pulau Rambut diamati dengan cara membuat transek
kuadrat untuk pengambilan data. Titik awal pengambilan data dilakukan pada
vegetasi lamun yang terdekat dengan garis pantai yang kemudian disebar di setiap
bagian pulau dengan jumlah total 30 plot.

3

Gambar 1 Sebaran stasiun pengamatan komunitas lamun di Pulau Rambut
(Sumber: google map)
Pemetaan Sebaran Lamun dan Pengambilan Sampel Lamun
Sebaran lamun di dapat dengan menghitung kerapatan menggunakan
metode transek. Setiap transek kuadrat dibuat berukuran 50 cm x 50 cm. Setiap
plot di letakan menyebar pada tiga sisi pulau dengan jarak setiap plot sejauh 10 m.
Dalam tiap plot dihitung jumlah masing-masing individu lamun untuk mengetahui
nilai kerapatan, tutupan, dan frekuensinya (Fachrul 2012).
Identifikasi Jenis Lamun
Lamun yang telah dikoleksi kemudian diidentifikasi mengacu pada buku
identifikasi lamun Indonesia (Phillips dan Menez 1988).
Analisis Data
Analisis data yang dilakukan adalah menghitung nilai kerapatan jenis
lamun. Penentuan nilai ini dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:
K =

K = Kerapatan individu
n = Jumlah total individu jenis i
A = Luas total habitat

Kerapatan relatif dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:

4
KR =

KR =Kerapatan relatif
K = Kerapatan individu
K = Jumlah Kerapatan seluruh jenis

Pengukuran frekuensi kemunculan suatu jenis lamun diperoleh dengan
menggunakan rumus:
F = Frekuensi jenis keF =
P = Jumlah petak contoh ditemukannya jenis
P = Jumlah petak yang diamati

Frekuensi relatif dapat diperoleh dengan menggunakan rumus :
FR =

FR = Frekuensi relatif
F = Frekuensi jenis keF = Jumlah total frekuensi seluruh jenis

Untuk mengetahui nilai penutupan dari suatu jenis lamun dapat diperoleh
dengan menggunakan rumus:
P =

Luas total penutupan ke –
P = Penutupan jenis ke-i
Luas total pengambilan sampel

Penutupan relatif lamun diperoleh dengan menggunakan rumus :
PR =

PR= Penutupan relatif jenis ke-i
Pi = Penutupan jenis ke-i
P = Jumlah total penutupan seluruh jenis

Dan pengukuran indeks nilai penting (INP) dapat diperoleh dengan menggunakan
rumus :
INP = KR + Fr + PR

INP = Indeks nilai penting
KR = Kerapatan relatif
FR = Frekuensi relatif
PR = Penututupan relatif
(Fachrul 2012).

Pengukuran indeks asosiasi menggunakan metode Ludwig dan Reynold (1998)
yaitu Indeks Ochiai dengan rumus :

a = Jenis A dan B hadir
b = Jenis A hadir, jenis B tidak hadir
c = Jenis A tidak hadir, jenis B hadir

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Vegetasi Lamun
Parameter Lingkungan di Pulau Rambut
Parameter fisika dan kimia air sangat berperan terhadap kelangsungan hidup
biota perairan. Kisaran hasil pengukuran parameter lingkungan perairan di Pulau
Rambut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1Hasil pengukuran parameter lingkungan perairan di Pulau Rambut
Parameter
Suhu (ºC)
pH
RH (%)
Kec. Angin (m/s)
Kedalaman (m)

St. Barat
30-32
8-8.2
47-67.8
0-1.8
0.39-1.45

St. Selatan
30-31
8-8.4
68.30-76.50
0.5-2.4
0.865-1.40

St. Timur
30-31
8-8.4
46.3-69.7
0-2.4
0.94-2.5

Kisaran Optimal
28-38 (Nontji 1993)
7.5-8.0 (Supriadi 2007)
-

Suhu merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan lamun. Suhu
berperan dalam proses fotosintesis yaitu untuk mempercepat laju fotosintesis.
Laju fotosintesis dapat meningkat dengan penambahan suhu, biasanya berasal dari
penambahan intensitas cahaya. Selain itu suhu juga berperan dalam reaksi kimia
dalam tubuh lamun yang berfungsi untuk mengontrol kerja enzimatik dalam
proses fotosistesis (Suryadana 2012). Berdasarkan data pada saat penelitian hasil
pengukuran suhu perairan Pulau Rambut 30-32 °C. Suhu ini cukup optimal untuk
pertumbuhan lamun, sesuai dengan penelitian BPLHD (2012) bahwa suhu
pertumbuhan lamun di Indonesia berkisar antara 20-30 oC.
Derajat keasaman (pH) perairan sangat dipengaruhi oleh dekomposisi
tanah dan dasar perairan, serta keadaan lingkungan di sekitar perairan tersebut
(Zulkifli dan Efriyeldi 2003). Berdasarkan data BPLHD (2001) perairan Pulau
Rambut memiliki nilai pH 8.22. Menurut Supriadi (2007) pH perairan optimum
untuk kehidupan lamun berkisar 7.5-8.0. Sedangkan menurut BPLHD (2011) pH
perairan optimum untuk kehidupan lamun berkisar antara 7-8.5. Pada penelitian
pH yang diperoleh berkisar antara 8-8.4. Data ini menunjukan bahwa keadaan
lingkungan perairan Pulau Rambut tidak mengalami perubahan kualitas air laut
yang tinggi selama kurun waktu tersebut dan Pulau Rambut memiliki status
perairan yang layak untuk kehidupan lamun dan biota laut lain.
Kedalaman perairan juga memengaruhi pertumbuhan lamun. Fluktuasi
kedalaman suatu perairan berpengaruh terhadap nilai tekanan perairan, suhu air,
kecerahan, nutrisi dan sebagainya (Hartati et al. 2012). Umumnya habitat lamun
berada pada kedalaman 0.5-10 m. Pada perairan dengan kualitas air laut yang
bagus, terutama dengan nilai kekeruhan < 5 NTU, lamun masih dapat ditemukan
hingga kedalaman 30 m (KLH 2004; Tangke 2010). Berdasarkan hasil penelitian,
Pulau Rambut memiliki kedalaman yang beragam di setiap stasiun pengamatan.
St. Barat memiliki perairan terdangkal dari ketiga stasiun pengamatan, hingga
jarak 50 m tegak lurus garis pantai kedalamannya berkisar 1.45 m. Pada St.
Selatan kedalamnya berkisar 1.4 m dengan jarak dari pantai sejauh 13 m,
sedangkan pada St. Timur dengan jarak 50 m dari pemecah ombak memiliki

6
kedalaman berkisar 2.5 m. Hal ini menunjukan bahwa Pulau Rambut memiliki
lokasi yang sesuai untuk pertumbuhan lamun.
Kecepatan angin memiliki peran memengaruhi kecepatan arus perairan
BPLHD (2011). Arus perairan dapat membawa unsur hara dan bahan organik
yang berguna sebagai nutrisi bagi lamun (Muchtar 2012). Kecepatan angin di
Pulau Rambut berkisar antara 0-2.4 m/s. Nilai ini cukup rendah sehingga tidak
berpengaruh besar terhadap pergerakan arus perairan Pulau Rambut.
Sebaran Lamun di Perairan Pulau Rambut
Vegetasi lamun di Pulau Rambut merupakan vegetasi campuran, yaitu
ditemukan lebih dari satu jenis lamun yang hidup berdampingan di perairan
tersebut. Lamun yang ditemukan di lokasi penelitian berjumlah 6 jenis yaitu
Cymodocea rotundata, Cymodocea serulata, Halophila ovalis, Halodule universis,
Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides (Tabel 2). Jumlah ini tergolong
rendah jika dibandingkan dengan temuan lamun di Pulau Pramuka yang
berjumlah 7 jenis (Feryatun et al.2012). Keenam jenis lamun yang ditemukan di
perairan Pulau Rambut, C. rotundata merupakan jenis lamun yang paling sering
ditemukan. Lamun C. rotundata berhasil ditemukan di setiap stasiun pengamatan
karena memiliki karakteristik magnozosterid, yaitu tipe lamun yang dapat
ditemukan di berbagai substrat dan mampu hidup hingga kedalaman 10-12 m atau
lebih pada perairan yang jernih (Azkab 2000). Lamun C. rotundata merupakan
lamun yang biasa hidup berasosiasi antara lain dengan H. ovalis, Halodule
pinifolia, E. acoroides, dan C. serulata (Kiswara 1992).
Jenis lamun yang jarang ditemukan adalah E. acoroides dan H. universis.
Lamun E. acoroides hanya ditemukan di St. Timur sedangkan H. universis hanya
ditemukan di St. Barat. St. Timur Pulau Rambut memiliki perairan cukup dalam
dan jernih sehingga memungkinkan E. acoroides untuk tumbuh. Lamun E.
acoroides merupakan jenis lamun yang dapat memiliki daun hingga panjang 1 m.
Kondisi perairan Pulau Rambut yang dangkal seperti St. Barat menjadi faktor
pembatas pertumbuhan E. acoroides. Lamun H. universis memiliki daun yang
sempit memanjang, lamun jenis ini sedikit rapuh. Keberadaan H. universis di
Pulau Rambut ditemukan pada St. Barat yang memiliki karakteristik perairan yang
tenang, dangkal dengan substrat pasir berlumpur. Keadaan perairan yang dangkal
membuat tingginya tingkat kecerahan dan adanya substrat pasir berlumpur
memungkinkan berbagai jenis lamun tumbuh subur salah satunya H. universis
(Arifin dan Jompa 2005).
Tabel 2 Data keberadaan lamun di setiap stasiun pengamatan
Jenis
C. rotundata
C. serulata
H. ovalis
H. universis
T. hemprichii
E. acoroides
Keterangan :
+
Ada
- Tidak ada

Stasiun Barat
+
+
+
+
+
-

Stasiun Selatan
+
+
-

Stasiun Timur
+
+
+
+

7

Persentase

Kondisi ekosistem lamun di Pulau Rambut diketahui dengan menghitung
nilai dari kerapatan, frekuensi, penutupan dan INP suatu jenis lamun (Gambar 2).
Pengukuran kerapatan jenis dilakukan untuk mengetahui jumlah total individu
lamun di suatu unit area.
120%

Cymodocea rotundata

100%

Cymodocea serulata

80%

Halophila ovalis

60%

Halodule universis
Thalasia hemprichii

40%

Enhalus acoroides

20%
0%
KR =
FR =

KR
FR
Kerapatan relatif
Frekuensi relatif

PR
PR =
INP =

INP
Penutupan relatif
Indeks nilai penting

Gambar 2 Sebaran vegetasi lamun di Pulau Rambut
Kerapatan relatif tertinggi dimiliki oleh C. serulata (49.49%), sedangkan
nilai terendah dimiliki oleh E. acoroides (0.31%). Lamun C. rotundata memiliki
nilai frekuensi relatif tertinggi (40%) sedangkan E. acoroides dan Halodule
universis memiliki frekuensi relatif terendah (2.40%). Hal ini menunjukan bahwa
C. rotundata memiliki kemunculan yang tinggi dan dapat diindikasikan memiliki
daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh baik pada berbagai jenis tipe
substrat (Amri 2012). Nilai penutupan relatif lamun tertinggi di Pulau Rambut
dimiliki oleh C. rotundata (39.68%) dan terendah dimiliki oleh E. acoroides dan
H. universis (2.38%). Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi dimiliki oleh C.
rotundata (112.09%), sedangkan nilai INP terendah dimiliki oleh E. acoroides
(5.09%).
Sebaran Lamun di Setiap Stasiun Pengamatan
Pengukuran vegetasi lamun disetiap stasiun pengamatan meliputi
pengukuran nilai kerapatan, frekuensi, penutupan dan INP. Hal ini dilakukan agar
dapat membedakan vegetasi lamun di setiap stasiun pengamatan. Sebaran individu
lamun di setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.

Persentase

250%

Cymodocea rotundata

200%

Cymodocea serulata

150%

Halophila ovalis

100%

Halodule universis

50%

Thalasia hemprichii
Enhalus acoroides

0%
KR FR PR INP KR FR PR INP KR FR PR INP KR =Kerapatan relatif
PR =Penutupan relatif
Stasiun Barat Stasiun Selatan Stasiun Timur FR =Frekuensi relatif
INP =Indeks nilai penting

Gambar 3 Sebaran lamun di setiap stasiun pengamatan

8
Stasiun Barat
Berdasarkan hasil perhitungan, di St. Barat nilai kerapatan relatif tertinggi
dimiliki C. rotundata (50%) dan nilai kerapatan relatif terendah dimiliki H. ovalis
(1.44%). Nilai frekuensi relatif tertinggi dimiliki oleh C. rotundata (50.36%) dan
nilai terendah dimiliki H. universis (5.10%). Nilai penutupan relatif tertinggi
dimiliki oleh C. rotundata (50.36%) dan terendah dimiliki oleh Halodule
universis (5.10%). Nilai INP tertinggi didapatkan pada jenis lamun C. rotundata
(150.72%) dan terendah dimiliki oleh Halodule universis (14.82%) (Gambar 3).
Keadaan lamun di stasiun ini tergolong paling baik dibandingkan dengan
stasiun lainnya. Sebanyak 6 jenis lamun yang ditemukan di Pulau Rambut, 5
diantaranya ditemukan pada St. Barat yaitu C. rotundata, C. serulata, H. ovalis,
Halodule universis, dan T. hemprichii. St. Barat memiliki karakteristik ekologi
perairan dangkal dan tenang tanpa adanya aktivitas antropogenik seperti nelayan
atau wisatawan. Kondisi lingkungan ini sangat mendukung keberadaan lamun
karena adanya aktivitas antropogenik merupakan ancaman bagi kelangsungan
pertumbuhan lamun (Azkab 2000; Sakkarudin 2011). Pesisir St. Barat banyak
ditumbuhi oleh mangrove yaitu centigi yang hidup berbatasan langsung antara
daratan dan perairan. Biota laut selain lamun yang ditemukan melimpah di
perairan ini antara lain adalah kelomang, kepiting, slug, kerang, alga, cacing laut,
udang-udangan, serta ikan-ikan kecil. Hal ini sesuai dengan Azkab (2000) yang
mengatakan bahwa lamun berfungsi sebagai sumber bahan makanan organisme
lain. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya luka yang muncul di permukaan daun
lamun akibat dimakan oleh slug yang hidup menempel di permukaan daun.
Lamun juga merupakan tempat asuhan sehingga banyak biota laut yang hidup
berlindung di sekitar padang lamun.
Stasiun Selatan
St. Selatan memiliki perairan yang cukup dalam dibandingkan dengan St.
Barat. Di lokasi ini hanya terdiri atas 2 jenis lamun yaitu C. rotundata dan T.
hemprichii. Dengan nilai kerapatan relatif tertinggi dimiliki oleh T. hemprichii
(73.66%) dan terendah dimiliki oleh C. rotundata (26.33%). Nilai frekuensi relatif
tertinggi pada T. hemprichii (80%) dan terendah C. rotundata sebesar (20%).
Penutupan relatif pada St. Selatan tertinggi dimiliki oleh T. hemprichii (80%) dan
terendah pada C. rotundata (20%) dan nilai INP tertinggi pada T. hemprichii
(233.66%) dan terendah pada C. rotundata (66.33%). Lamun T. hemprichii
merupakan jenis yang dominan pada St. Selatan. Rendahnya keragaman lamun
pada lokasi ini kemungkinan disebabkan karena aktivitas manusia pada stasiun ini
tergolong tinggi (Sudiarta 2011). St. Selatan merupakan jalur masuk bagi kapal
polisi hutan maupun kapal nelayan untuk singgah di Pulau Rambut. Lalu-lalang
kapal yang keluar masuk pulau menyebabkan perairan ini menjadi keruh sehingga
tidak mendukung untuk kehidupan lamun dan membuat keragaman jenis lamun
pada lokasi ini rendah karena diperlukan adaptasi lebih untuk mampu memperoleh
cahaya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Tangke (2010) bahwa kedalaman
serta cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan lamun sehingga
mempengaruhi pola distribusi dari suatu jenis lamun. Biota laut yang ditemukan
di lokasi ini yaitu ikan kecil, ubur-ubur, slug, alga (Padina sp.), kelomang dan
teripang.

9
Stasiun Timur
St. Timur memiliki perairan yang cukup dalam dan gelombang laut atau
ombak yang cukup tinggi. Hal ini membuat di sepanjang perairan bagian Timur
dibangun pemecah ombak yang berfungsi menahan abrasi. Pada lokasi ini berhasil
ditemukan 4 jenis lamun yaitu C. rotundata, C. serulata, H. ovalis, dan E.
acoroides. Nilai kerapatan relatif tertinggi pada stasiun ini dimiliki oleh C.
serulata (81.92%) dan terendah pada E. acoroides (0.75%). Nilai Frekuensi relatif
tertinggi didapat oleh C. serulata (46.40%) dan terendah E. acoroides (6.40%).
Penutupan relatif tertinggi dimiliki oleh C. rotundata (46.40%) dan terendah
dimiliki E. acoroides (6.40%) dan nilai INP tertinggi pada St. Timur dimiliki oleh
C. serulata (174.72%) dan terendah dimiliki oleh E. acoroides (13.55%).
Keberadaan lamun pada lokasi ini tidak membentuk hamparan lamun
melainkan saling berjauhan dan bergerombol. Hal ini disebabkan karena bagian
dasar lautnya tidak datar melainkan banyak cekungan yang disebabkan oleh
kencangnya arus ombak di lokasi ini. Keberadaan lamun ditemukan bukan pada
bagian cekungan melainkan pada bagian yang tinggi. Hal ini sesuai dengan
(Azkab 2000) bahwa vegetasi lamun dapat memperlambat gerakan air yang
disebabkan oleh arus dan ombak serta menyebabkan perairan di sekitarnya tenang,
sehingga bagian yang ditumbuhi lamun tidak mudah tergerus oleh ombak. Pada St.
Timur banyak terdapat ikan-ikan karang hal ini membuat lokasi ini menjadi
tempat memancing bagi para nelayan. Biota laut yang ditemukan di lokasi ini
antara lain ikan karang, kelomang, slug, Padina sp., Borgesenia sp., dan teripang.
Analisis Indeks Ochiai
Hasil analisis asosiasi antar jenis lamun di Pulau Rambut dengan
menggunakan Indeks Asosiasi Ochiai (Ludwig dan Reynold 1998) mendapatkan
hasil berkisar 0-0.41. Nilai ini menunjukan rendah dan sangat rendahnya asosiasi
antar lamun di Pulau Rambut (Tabel 3).
Tabel 3 Persentase nilai indeks asosiasi antara 6 jenis lamun di Pulau Rambut
No
1
2
3
4

Indeks Asosiasi
0.75-1.00
0.49-0.74
0.23-0.48
≤ 0.22

Kategori
Sangat tinggi
Tinggi
Rendah
Sangat rendah

Kombinasi
0
0
4
11

Persentase (%)
26.66 %
73.33 %

Kategori indeks asosiasi rendah ditunjukan dengan kisaran nilai 0.23-0.48
yaitu berjumlah 4 kombinasi. Kategori indeks asosiasi sangat rendah ditunjukan
dengan nilai ≤ 0.22 yang berjumlah 11 kombinasi. Persentase keberadaan lamun
di Pulau Rambut tertinggi termasuk kategori sangat rendah (73.33 %). Hal ini
menunjukan bahwa lamun di Pulau Rambut tidak berasosiasi dengan baik.
Rendahnya persentase nilai indeks asosiasi antar lamun disebabkan oleh
perbedaan karakteristik dan bentuk adaptasi setiap jenis lamun.

10

SIMPULAN
Komunitas lamun di perairan Pulau Rambut tergolong komunitas
campuran yang terdiri atas 6 jenis yaitu C. rotundata, C. serulata, T. hemprichii,
H. ovalis, H. universis dan E. acoroides. Nilai kerapatan tertinggi diperoleh oleh
C. serulata (49.49%). Nilai INP tertinggi diperoleh oleh C. rotundata ( 112.09%)
hal ini menunjukan bahwa C. rotundata memiliki peranan ekologi yang tinggi
pada komunitasnya. Pulau Rambut memiliki status perairan yang baik untuk
kehidupan lamun dengan kedalaman yang dangkal mulai 0.39 m hingga 2.5 m.
dan parameter kimia pH air sebesar 8.0 - 8.4. Derajat asosiasi antar jenis lamun di
Pulau Rambut sebesar 26.66% menunjukkan kategori rendah, sedangkan sebesar
73.33% menunjukkan kategori sangat rendah.

DAFTAR PUSTAKA
[BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam. 2012. Suaka Margasatwa Pulau
Rambut. Jakarta (ID): BKSDA DKI Jakarta.
[BPLHD] Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah. 2011. SLHD Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2011 [internet]. [diacu 2013
Desember 12]. Tersedia dari: http://www.bplhd.jakarta.go.id
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut
[internet]. [diacu 2014 Juli 10]. Tersedia dari: http://www.menlh.go.id
Amri K. 2012. Sinekologi padang lamun akibat tekanan antropogenik: studi kasus
Pulau Barranglompo dan Bonebatang Kepulauan Spermonde Sulawesi
Selatan [disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Arifin, Jompa J. 2005. Studi kondisi potensi ekosistem padang lamun sebagai
daerah asuhan biota laut. JIIPPI 2 : 73-79.
Azkab MH. 2000. Struktur dan fungsi padang lamun. Jurnal Oseana 3: 9-17.
Fachrul MF. 2012. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID) : Bumi Aksara.
Feryatun F, Hendarto B, Widyorini N. 2012. Kerapatan dan distribusi lamun
(seagrass) berdasarkan zona kegiatan yang berbeda di perairan Pulau
Pramuka Kepulauan Seribu. Journal of Management of Aquatic
Resources: 1-7.
Hartati R, Djunaedi A, Hariyadi, Mujiyanto. 2012. Struktur komunitas padang
lamun di perairan Pulau Kumbang, Kepulauan Karimunjawa. Ilmu
Kelautan 17: 217-225.
Hesdianti E. 2011. Interaksi landak laut dan lamun di Pulau Barrang Lompo,
Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan [skripsi]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
Kiswara W. 1992. Vegetasi lamun di rataan terumbu karang Pulau Pari, PulauPulau Seribu, Jakarta. Jurnal Nasional, Oseanologi di Indonesia 25: 31-49.
Ludwig TJ, Reynolds JF. 1998. Statistical Ecology: A Primary of Methods and
Computing. New York (US) : Wiley Press.

11
Muchtar M. 2012. Distribusi zat hara fosfat. Nitrat dan silikat di perairan
Kepulauan Natuna. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 2: 304-317.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta (ID): Djambatan.
Odum EP. 1971. Fundamental Ecology Ed ke-3. Philadelphia (US) : W.B.
Sounders Company.
Peristiwady T. 2009. Komunitas ikan di padang lamun Pulau-Pulau Derawan
Kalimantan Timur. Jurnal Lit. Perikanan Indonesia 1: 93-104.
Phillips RC, EG Menez. 1988. Seagrasses. Washington DC (US) : Smithsonian
Institution Press.
Sakkarudin MI. 2011. Komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan luas
penutupan lamun di Perairan Pulau Panjang tahun 1990-2012 [skripsi].
Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Sudiarta IK, Sudiarta IG. 2011. Status kondisi dan identifikasi permasalahan
kerusakan padang lamun di Bali. Jurnal Mitra Bahari 2:104-127.
Supriadi. 2007. Produktivitas lamun Enhalus acoroides (LINN.F) Royle dan
Thalassia hempricii (EHRENB.) Ascherson di Pulau Barrang Lompo,
Makasar [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Supriyadi IH. 2009. Pemetaan lamun dan biota asosiasi untuk identifikasi daerah
perlindungan lamun di teluk Kotania dan Pelitajaya. Jurnal Oseanologi
dan Limnologi di Indonesia 35: 161-178.
Suryadana YP. 2012. Analisis komunitas padang lamun dan kandungan zat hara
di perairan Pulau Barrang Lompo, Kepulauan Spermonde, Sulawesi
Selatan[skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Tangke U. 2010. Ekosistem padang lamun. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan
Perikanan (Agrikan UMMU-Ternate) 3:9-29.
Zulkifli, Efriyeldi. 2003. Kandungan zat hara dalam air poros dan air permukaan
padang lamun Bintan Timur Riau. Jurnal Natur Indonesia 5: 139-144.

12

LAMPIRAN
Lampiran 1Keanekaragaman jenis lamun di Pulau Rambut

daun

akar
Halophila ovalis

Halodule universis

daun

akar
Thalassia hemprichii

Cymodocea serulata

daun

akar

Cymodocea rotundata

Enhalus acoroides
Gambar: Fajar Fajrien

13

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 September 1991 dari ayah
Syamsuddin dan ibu Endang Prihatin. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara.
Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Depok dan pada tahun yang
sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis memilih mayor Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Studi Lapang (SL) di Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Studi Lapang tersebut wajib diikuti oleh
mahasiswa S1 Biologi dan diselenggarakan oleh Departemen Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Pada kegiatan tersebut, penulis
malakukan pengamatan mengenai anatomi daun tumbuhan semak pada kondisi
ternaungi dan terpapar matahari.
Tahun 2012 penulis mengikuti Praktik Lapangan (PL) selama satu bulan di
Taman Safari Indonesia(TSI) Cisarua, Bogor. TSI merupakan taman wisata satwa,
dimana terdapat beragam satwa dari belahan dunia. Dalam Praktik Lapangan
Penulis melakukan Pengamatan mengenai pola diet dan perawatan Tursiops
aduncus atau lumba-lumba. Dalam pekerjaannya, penulis ikut serta dalam
kegiatan pemberian pakan serta dalam perawatan lumba-lumba.
Tahun 2013 penulis menjadi asisten praktikum dalam program studi
Fisiologi Tumbuhan serta Biologi Dasar selama satu semester perkuliahan. Pada
tahun 2010-2012 penulis menjadi anggota pengurus HIMABIO dalam divisi
OWA (Observasi Wahana Alam)