MENUJU KEBEBASAN BERFIKIR; Sebuah refleksi bersama

MENUJU KEBEBASAN BERFIKIR; Sebuah refleksi bersama
Oleh : Katri Hadinoto
Di usianya yang sudah dibilang dewasa bagi IMM dalam pergulatannya dengan
pergerakan Mahasiswa dan masyarakat, mengharuskan kepada semua elemen yang
ada didalammnya untuk terus tanpa henti dalam menyejajarkan antara wilayah
yang dimensinya berbeda akan tetapi saling mengikat,menguatkan dan
berkesinambungan, yaitu pencerahan-pengkayaan fikir (refleksi) dengan dimensi
praksis gerakan (aksi). Mengapa demikian ? karena selama ini IMM secara
epistimologis telah mendasarkan dirinya pada sebuah paradigma gerakan yang
berdimensi integralistik, yang tidak merasa cukup-kalau tidak boleh dikatakan puashanya memprioritaskan pada satu dimensi dengan meniadakan yang lain,
melainkan selalu memadukan keduanya dalam bingkai terminologi ilmu amaliah
dan amal ilmiah. Namun perlu disadari lebih lanjut bahwa apa yang telah dilakukan
selama ini akan sia-sia dan tidak mendatangkan keberkahan dari Allah, apabila
tanpa dilandasi dengan semangat keImanan (ihlas-ridlo). KH.A. Dahlan pernah
mengajarkan pada para santrinya tentang arti penting iman-ilmu-amal, yang
berbunyi :”Pada hakekatnya setiap insan pasti akan mati, kecuali meraka yang
berilmu. Orang yang berilmu akan bingung, kecuali mereka yang beramal. Orang
yang beramal akan sia-sia, kecuali mereka yang ihlas.” Maka sudah sepantasnya,
seandainya kemudian seluruh gerak dan aktifitas IMM, merupakan implementasi
atas pemahaman terminologi iman-ilmu-amal, yang diajarkan beliau.
Tulisan ini muncul, dengan harapan tidak semakin menenggelamkan nalarkritis

aktifis-IMM, untuk selalu “secara konsisten” melakukan dekonstruksi paradigma
gerakan (refleksi-aksi), dalam rangka ijtihad pembaharuan pada konteks situasinya
dan pergumulan dengan tema-tema zaman. Demikian juga tidak bermaksud
membatasi ruang gerak aktifis-IMM untuk mengekspresikan diri (pikiran-bahasa),
mencari dan menangkap tema-tema zaman tersebut, karena penulis sadar bahwa
dalam sebuah tata nilai kebenaran manusia meniscayakan adanya absolutisme
konteks dan mengesahkan keberadaan relatifisme konteks. Namun akan menjadi
harapan bersama manakala tulisan ini kita maknai sebagai pemicu akselerasi
pencerahan kembali ruh perjuangan kita, karena saat ini aktifis-IMM sedang
mengalami kejumudan berfikir dan stagnasi dalam bergerak. Maka disini akan kita
coba untuk melihat kembali sejauh mana aktifitas yang dilakukan IMM pada konteks
gerakan intelektual.
Antonio gramsci dalam pokok pembahasannya seputar keterlibatan komunitas
intelektual dalam upaya melakukan counter hegemoni atas bentuk hegemoni
penguasa (Mussolini), dan membebaskan kaum tertindas (mustadh’afin) oleh
kesewenang-wenangan kaum penindas (mustakbirin), membagi intelektual dalam
dua wilayah yang berbeda yaitu intelektual tradisional (teori) dan intelektual
organic (mendialogkan dengan realitas sosial). Secara gamblang diuraikan gramsci
selanjutnya bahwa intelektual organic adalah intelektual yang secara sadar dan


mampu menghubungkan teori dengan realitas sosial yang ada. Intelektual yang
memiliki kemampuan sebagai organisator(memobilisasi massa) yang sadar
terhadap identitas yang diwakili dan mewakili. Sementara intelektual tradisional
adalah intelektual yang hanya berkutat pada dataran teoritik semata tanpa mampu
membumikian torinya untuk didialogkan dengan realitas sosial. Terlepas dari
konteks sejarah pada saat gramsci merumuskan idea-idea revolusionernya, distingsi
tentang intelektual tradisional dan intelektual organic tetap relevan untuk dijadikan
dasar analisis pada konteks zaman dan komunitas kita saat ini (IMM). Jadi dengan
demikian secara implisit, dalam perspektif gramscian, IMM adalah salah satu dari
sekian banyak komunitas intelektual yang dicita-citakan gramsci mampu
membangun kesadaran pada tingkat basis massa masyarakat dan melakukan
counter hegemoni terhadap struktur sosial yang menindas. Pertanyaannya
kemudian adalah pada wilayah mana IMM sejatinya memposisikan dirinya sebagai
komunitas intelektual ?
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, sekiranya perlu kita lakukan maping terlebih
dahulu atas peran-peran yang dimainkann IMM pada wilayah empiris, yaitu IMM
sebagai entitas independen (lembaga) selanjutnya disebut dalam peranya sebagai
komunitas pemikir dan individu-individu didalammnya yang selanjutnya disebut
dalam perannya sebagai pelaku (subjek) pemikir. Pertama; sebagai pemikir
(komunitas), selama ini kita leham melakukan berbagai macam aktifitas sebagai

bentuk wacana proses penyadaran terhadap massa masyarakat terhadap adanya
berbagai macam bentuk penindasan baik yang dilakukan individu (penguasa)
maupun sistem (kekuasaan). Pada dataran inilah selama ini juga IMM memposisikan
dirinya sebagai komunitas yang tidak pernah terjamah akan adanya praktekpraktek penindasan, baik sebagai komunitas penindas maupun tertindas, sehingga
seolah-olah akan mampu”tanpa optimisme” memberikan jawaban atas segala
persoalan yang terjadi. Bentuk tawaran-kalau tidak boleh dikatakan jawaban-yang
telah menjadi terminologi yang tak terbantahkan selama ini antara lain:
Keperpihakan terhadap kaum du’afa dan mustadh’afin serta melakukan revolusi
sistem yang tiranik, melawan dan melakukan pemberontakan terhadap kaum
penindas adalah jalan termudah menuju surga Allah, dsb. Terminologi semacam
inilah yang selalu menjadi jargon (paradigma) gerakan IMM, yang sekaligus menjadi
materi-materi doctrinal spirit perjuangan bagi kader-kadernya. Paradigma yang
dimiliki dan tidak mampu dikritisi oleh individu-individunya semacam inilah yang
sebenarnya akan mendatangkan preseden buruk untuk keberlangsungan komunitas
intelektual kedepan. Karena secara teoritik paradigma tersebut dirumuskan oleh
kaum elit yang sama sekali tanpa pernah melibatkan dan merasakan pahitnya
penindasan. Maka boleh dikatakan kalau sebenarnya paradigma yang dimiliki IMM
hanyalah sebuah retorika semata, karena terjadi bias pada dataran praksis. Artinya
paradigma yang diusung tersebut pada wilayah praksisi tidak memiliki
keperpihakan yang jelas, antara kaum tertindas dan kaum penindas. Dalam

pruralisme borjuis-Nur khalik ridwan- mengatakan bahwa,”posisi kelas sosial
sesorang (kelompok) mempengaruhi idiologi yang diperjuangkan.” Kalau pada

tingkat toeritis paradigma gerakan IMM dirumuskan oleh kaum elit, maka jelas
bahwa produk yang dihasilkannya pun sejatinya mempunyai keperpihakan kepada
idiologi kaum yang diwakilinya secara implisit, meskipun dibuat dengan redaksi
yang seolah-olah memihak kepada idiologi kelompok lain.
Oleh karena itu perlu kiranya diuji kembali paradigma gerakan IMM yang diusung
dengan perspektif yang objektif-empirik, pada esensi pembebasan itu sendiri. Boleh
jadi yang dilakukan bukannya sebuah pembebasan terhadap kaum tertindas
melainkan gejala praktek masifikasi hegemoni kaum penindas, artinya sadar atau
tidak komunitas kita telah menjadi “komunitas penindas” juga. Sehingga
pertanyaan yang muncul kemudian adalah; bagaimana mungkin IMM dikatakan
komunitas pembebas kaum lemah, manakala yang kita bangun selama ini adalah
komunitas pemikir yang exsklusif-elitis, yang membiasakan gaya hidup hedonisborjuis, yang bersikap layaknya penguasa lalim-hegemonik? Maka sudah barang
tentu produk pemikiran (paradigma gerakan) yang dihasilkan mempunyai
keperpihkan kepada posisi kelas sosial yang diwakili (elitis-borjuis-hegemonik).
Karena realitasnya adalah komunitas elit-borjuis-hegemonik yang selama ini
menindas dan mempunyai potensi untuk terus menindas.
Kedua; sebagai subjek pemikir. Kayaknya sudah mendarah daging pada masingmasing individu yang saat ini bergumul dengan komunitas intelektual (IMM),

terlepas dari perannya sebagai subjek pemikir aktif maupun pasif.terbangunnya
image sebagai subjek pemikir tidak dapat dipisahkan dengan semangat liberalisasi
pemikiran dan radikalisasi kader. Sehingga dengan sendirinya ada tanggung jawab
secara moral untuk berproses menjadi ada (to exist) bersama bumi. Terminology
yang dipakai adalah “proses individuasi”, sehingga diharapkan terbentuknya
individu-individu yang pilih tanding (kesolehan individu) yang dapat mensinergikan
cita-cita komunitas intelektual (IMM) dengan tindakan keseharian.
Bergaining positon yang dicitrakan oleh komunitas intelektual diatas, tidak dapat
dipisahkan dari proses individuasi yang dilakukan oleh sang actor intelektual. Pada
proses individuasi inilah sebenarnya juga telah terjadi praktek-praktek penindasan.
Praktek penindasan yang semacam apa, yang terjadi pada proses individuasi
tersebut ? sebelum kita uraikan lebih jauh, perlu disepakati bahwa kalau benar
terjadi praktek penindasan, maka telah terjadi juga proses penegasian
(pengingkaran) terhadap paradigma gerakan komunitas intelektual (IMM), sebagai
gerakan yang tidak pernah tunduk dan akan bangkit melawan bentuk ketidakadilan,
namun yang terjadi adalah menundukkan dan melanggengkan praktek
ketidakadilan.
Bentuk penindasan tersebut adalah adanya hegemoni wacana yang dilakukan oleh
subjek pemikir yang memonopoli dan mendominasi secara kuat untuk terus
menancapkan pikiran-pikirannya. Karena menurut gramsci bahwa watak kekuasaan

mirip dengan monopoli pengetahuan. Secara empirik, sekilas akan terlihat proses
transformasi wacana, shearing idea dan perdebatan, namun sejatinya hanyalah

apologetic semata. Karena pada saat itu juga tengah terjadi praktek pengkerdilan
dan pemandulan dalan berfikir. Kekritisan kita sesunggunya telah didesign
sedemikian rupa, sehingga tidak pernah bisa keluar ataupun melewati sebuah hole
of discourses (lingkaran wacana) dan lingkaran pemikiran yang dibuat oleh masingmasing dari kita. Sehingga nalar kritis subjek pemikir benar-benar mandul dan
kerdil, karena hanya mampu berfikir sebagaimana berfikirnya orang lain, jadi subjek
pemikir tidak pernah ada untuk dirinya tapi ada dari orang lain.
Terjadinya monopoli dan dominasi wacana oleh masing-masing dari kita, lagi-lagi
mengesahkan adanya praktek penindasan. Kita adalah penindas terhadap kita
dalam komunitas inteltual (IMM) ini yang tidak sadar, sehingga mustahil akan
menjadi pelaku pembebas sedangkan kita adalahpelaku penindas dan tertindas
(esoteris).(distingsi penindas dan tertindas dapat dilihat pada”pendidikan kaum
tertindas”. Paulo freire).
Imanuel Kant, peletak pertama dasar faham kritisme mengomentari bahwa, pada
komunitas yang berjalan damai dan selaras, sejatinya mengisaratkan adanya
praktek-praktek penindasan, depedensi (kemapanan) serta pembodohan. Maka
bukan tidak mungkin komunitas intelektual (IMM) kita yang getol-getol
menyuarakan keadilan,humanisasi oleh individu-individunya, ternyata merupakan

sistem yang membuka peluang bagi individu-individunya untuk melakukan
penindasan terhadap sesame.
Maka kalau dikembalikan pada distingsi gramsci tentang intelektual tradisionalis
dan intelektual organic, maka akan terjawab, dimanakah posisi komunitas
intelektual (IMM) dan actor inteltual (aktifis IMM) berada ? mari kita kaji bersama.
Salam perjuangan. . . . .