bab 12 Demokrasi by Hendar Putranto

BAB 12

DEMOKRASI

Capaian
Pembelajaran

:

Setelah selesai mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pengertian demokrasi, baik pada zaman Yunani klasik,
maupun pada zaman sekarang.
2. Menjelaskan sejumlah persoalan yang dihadapi rezim demokrasi
kontemporer.
3. Menjelaskan konsep demokrasi Pancasila dan implikasinya bagi
hidup berwarganegara.
4. Menjelaskan prediksi masa depan demokrasi berdasarkan
pengamatan atas pola-pola masa lalu dan kini.

Deskripsi Mata
Kuliah


:

Perkuliahan ini membahas:
1. Asal usul dan pengertian demokrasi .
2. Persoalan-persoalan yang dihadapi rezim demokrasi.
3. Masa depan demokrasi di Indonesia.

Lewat pengamatan terhadap fenomena dan peristiwa sehari-hari, kita bisa
menyaksikan di mana-mana orang menulis, berpolemik, berdiskusi, dan berdebat
tentang demokrasi, baik soal hakikat, kegunaan, maupun faktor-faktor yang
mendorong kemajuan maupun menghambat perkembangannya. Sebagian orang
melihatnya dengan pandangan yang optimis, sebagian yang lain melihatnya
dengan pesimis, bahkan apatis. Demokrasi dianggap oleh sebagian besar orang
sebagai jalan politik yang relatif stabil dan aman menuju kebebasan (individu),
kesetaraan (antar-individu sebagai warganegara), dan kesejahteraan. Oleh karena
miskinnya alternatif yang tahan uji, demokrasi liberal, misalnya, dipandang oleh
beberapa pengamat politik sebagai the only feasible form of democracy1. Di
1


Lih. Bohman, 2010: 1-11.

BAB 12 DEMOKRASI

179

saat yang bersamaan, ada klaim yang mengatakan bahwa demokrasi sekarang
mengalami perlemahan2. Demokrasi dianggap tidak mampu menyelesaikan
sejumlah besar persoalan bersama yang muncul dan mendapatkan legitimasi
yang justru persis dibutuhkannya, sehingga berujung pada krisis ekonomi,
merosotnya legitimasi negara di hadapan desakan pasar dan logika kapitalisme
global3, dan juga di bawah tuntutan gerakan fundamentalisme religius, baik di
negara maju seperti Amerika Serikat4, maupun di negara-negara berkembang
seperti Indonesia5.

2

3

4

5

Berdasarkan peringkat (rating) yang dirilis Freedom House yang berjudul Freedom in the World 2011: The
Authoritarian Challenge to Democracy. Freedom House sendiri adalah sebuah organisasi nirlaba atau lembaga
swadaya masyarakat yang berbasis di Amerika Serikat yang mengerjakan riset dan advokasi tentang
demokrasi, kebebasan politis dan hak asasi manusia. Didirikan pada Oktober 1941, beberapa tahun sebelum
pecahnya Perang Dunia II, Wendell Willkie dan Eleanor Roosevelt mendapat kehormatan untuk mengepalainya
(honorary chairpersons). Menyebut diri sebagai “suara jernih bagi demokrasi dan kebabasan di seluruh dunia”
organisasi ini mendapat dukungan inansial dari berbagai sumber Laporan tahunan organisasi ini, yang lebih
dikenal dengan nama Freedom in the World report, menilai tingkat kebebasan politis dan kebebasan sipil di
setiap negara yang ada di dunia (tercatat 195 negara). Freedom in the World report ini sering dijadikan rujukan
oleh ilmuwan politik, para jurnalis, dan para pembuat kebijakan di seluruh dunia. Berdasarkan laporan
tahunan Freedom in the World 2011, kebebasan di seluruh dunia, yang diamati selama tahun 2010, kembali
mengalami penurunan, dalam periode lima tahun berturut-turut. Negara yang mengalami penurunan tingkat
kebebasan terhitung ada 25 negara, sementara hanya ada 11 yang mengalami peningkatan. Penurunan
yang paling mencolok ditemukan di negara-negara yang masuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Negara yang tadinya termasuk kategori “free” berkurang dua buah, dari 89 di tahun sebelumnya, menjadi
87. Jumlah negara yang mempraktikkan demokrasi elektoral merosot dari 123 di tahun 2005 menjadi
115. Rezim otoriter, seperti di Cina, Mesir, Iran, Rusia, dan Venezuela, sebaliknya, malah mengalami “masa
kejayaan,” tanpa ada tentangan yang berarti dari sebagian besar masyarakat dunia yang demokratis. Posisi

Indonesia sendiri dalam Freedom in the World report 2011, relatif stabil berada di rating 2.5 (masih termasuk
“free country” namun sudah di ambang “partly free country”) bersama negara Botswana, El Salvador, Guyana,
India, Jamaica, Mali, Montenegro, dan Peru
Lih. Dahl, 1998: 173. Dahl mengatakan, Democracy and market-capitalism are locked in a persistent conlict in
which each modiies and limits the other. Lih.juga Dieter Plehwe, Bernhard Walpen and Gisela Neunhöfer. Tim
editor. 2006. Neoliberal Hegemony: A Global Critique. London dan New York: Routledge. Bdk. Antonio, Robert J.
“The Cultural Construction of Neoliberal Globalization.” dalam Ritzer, George. Editor. The Blackwell Companion
to Globalization. Malden (MA - USA), Oxford (UK), Victoria (Australia): Blackwell Publishing, hlm. 67 - 83. Bdk.
juga, Sandel, Michael J. 2012. What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Markets. New York: Farrar, Straus dan
Giroux; Lih. Klein, 2007 dan Knezevic, 2003.
Lih. Giroux, 2005: 309 - 317.
Lih. Herry-Priyono, B. “Three challenges facing presidential aspirants,” The Jakarta Post, Kamis, 22 Desember
2011 (edisi khusus, hlm. 11). Bdk. Ismail Hasani & Bonar Tigor Naipospos. Tim editor. 2010. The Faces of ISLAM
‘Defenders’: Religion Radicalism and Its Implications on Assurance of Religious/Beliefs Freedom in Jabodetabek
and West Java. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara.

180

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVICS)


Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah demokrasi jenis pemerintahan
yang diinginkan oleh mayoritas orang di dunia ini? Jika benar, pesona macam
apa yang masih bisa ditebarkan oleh demokrasi? Apa sajakah keunggulankeunggulannya dibandingkan jenis pemerintahan yang lain (otoriter, misalnya)?
Bagaimana dengan kelemahan-kelemahan dan persoalan-persoalan yang
dihadapinya hingga sekarang? Seberapa jauh kelemahan dan persoalan tersebut
dapat diantisipasi dan dicari jalan keluarnya? Bagaimana masa depan demokrasi
pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya?

[gambar “We want democracy”; sumber: http://pmiisoshum.iles.wordpress.com/2011/04/iran-protest-wewant-democracy1a.jpg]

Demikianlah sederet pertanyaan yang akan mengawali dan memandu
pembahasan kita tentang demokrasi, terutama dalam bingkai besar pembahasan
tentang Etika Politik dan Kewarganegaraan. Pembahasan ini, meskipun disadari
terbatas dalam cakupan dan kedalaman, diharapkan dapat berfungsi sebagai
pengantar dan katalisator diskusi menyangkut tema demokrasi.

BAB 12 DEMOKRASI

181


Asal-usul, Pengertian, dan Hakikat Demokrasi
Secara umum, orang memahami demokrasi sebagai “pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, untuk rakyat.” Secara etimologis (asal-usul kata), demokrasi berasal
dari khazanah bahasa, pengetahuan dan praksis politis Yunani kuno, δημοκρατία,
yang berasal dari dua kata yang lebih dasar, yaitu δῆμος / demos (rakyat) dan
kratos (kekuasaan). Dengan demikian, demokrasi secara haraiah berarti “rakyat
yang memegang kekuasaan” (the people hold power).
Rakyat dalam stratiikasi sosial kemasyarakatan Yunani kuno --termasuk
mereka yang berada di kelas akar rumput, seperti tukang, petani, penjaga-memiliki kesamaan politis dan kontrol terhadap kekuasaan dan pemerintahan,
dengan tetap memperhatikan dan menghormati kaidah hukum dan lembagalembaga yang ada6. Demokrasi yang dipraktikkan di Yunani kuno adalah
demokrasi yang berbasis polis atau city-states (terutama di kota Athena)7 dan
bukan demokrasi berbasis negara atau state-democracy8. Selain itu, mengingat
jumlah penduduk yang belum terlalu besar, jenis demokrasi yang dipraktikkan
adalah demokrasi langsung (direct democracy), dan bukan demokrasi representatif
seperti yang sekarang dipraktekkan di negara-negara besar, misalnya Amerika
Serikat dan Indonesia. Yang dimaksud dengan demokrasi langsung adalah jenis
pemerintahan yang rakyatnya secara aktual memerintah diri mereka sendiri,
artinya mereka semua memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan. Sementara, dalam demokrasi tidak langsung (misalnya demokrasi


6 Lih. Morris, 1998. Bdk. Hansen, 1991.
7 Seperti dicatat Hansen, 1991: 55, “Classical Greece was divided into some 750 poleis or ‘city-states’ .. Most of
them were tiny, with an average territory of less than 100 square km and a citizen population of fewer than
1000 adult males; not more than a couple of hundred were larger than that, and even a powerful city-state
such as Corinth only covered 900 square km, with a population in the classical period of about 10,000 - 15,000
adult male citizens. Athens was in population the largest of all the poleis in Greece itself, and in territory the
second largest next to Lakedaimon. The size of the population as a whole is unknown, but it can be deduced
from the evidence that there were some 60,000 male citizens when Perikles was the leader of Athens in the
ifth century and about 30,000 when Demosthenes was its leader against Philip of Macedon a hundred years
later.”
8 Pembedaan antara polis dengan (modern) state merupakan kajian yang menarik dan membutuhkan
ruang tersendiri. Mengikuti Hansen, 1991: 58, negara modern harus memuat tiga unsur pokok berikut,
yaitu: 1) adanya wilayah, 2) adanya orang atau rakyat yang diperintah atau dipimpin, dan 3) adanya badan
pemerintahan yang melaksanakan (exercise) kedaulatan territorial dalam wilayah tertentu dan memiliki
otoritas terhadap para individu yang menyusun ‘rakyat.’ Jadi, pengertian negara dalam terminologi Hansen
adalah “a government with the sole right to exercise a given legal order within a given area over a given
population.”

182


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVICS)

representatif ), partisipasi rakyat “hanya” sampai pada memilih para pengambil
keputusan (misalnya, memilih Presiden dan Wakil Presiden serta memilih anggota
legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah).
Dalam sejarahnya, setelah era demokrasi polis Athena berakhir9, demokrasi
langsung masih dipraktikkan di beberapa kota di Eropa selama Abad Pertengahan,
seperti di Swiss, Jerman, Perancis, Italia, dan juga di Mexico di bawah Toltecs dan
Chichimecans (1000 - 1300), di Afrika sebelah selatan Sahara dan di timur Niger,
ada tujuh city-states bernama Hausa (1450 - 1804)10. Akan tetapi, seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk secara signiikan yang membuat pengaturan
dan pengelolaannya lebih problematis, jenis demokrasi representatif seperti yang
diusulkan Rousseau, Kant, Sieyes, Paine dan Condorcet-lah yang dijadikan pilihan
yang lebih masuk akal dan mungkin dilakukan11.
Menurut ilsuf sosial dan pendidikan Amerika, John Dewey dalam bukunya
Democracy and Education, untuk membentuk suatu entitas politis yang demokratis,
haruslah ada “kesamaan yang mengikat di balik kemajemukan.” Ada dua kriteria
penting yang perlu diperhatikan dan dipenuhi agar entitas politis demokratis
tersebut dapat terwujud12. Pertama, selain mengakui adanya kepentingan
bersama yang dibagikan (shared common interest), kepentingan bersama tersebut

haruslah bersifat saling menguntungkan (mutualistis). Kepentingan bersama
yang saling dibagikan dan saling menguntungkan ini akan menjadi faktor kunci
dalam kontrol sosial masyarakat. Kedua, interaksi yang bebas antar-kelompokkelompok sosial sekaligus perubahan kebiasaan (habit) sosial --perubahan yang
terjadi berkat situasi-situasi baru yang dihasilkan lewat variasi perjumpaanperjumpaan antar kelompok. Dewey menegaskan bahwa dua karakter inilah yang
paling tepat menggambarkan masyarakat yang terbentuk secara demokratis
(democratically constituted society). Bagaimana agar “kepentingan bersama yang
dibagikan dan saling menguntungkan’” tersebut semakin lama menjadi semakin
luas cakupannya dan semakin dalam diterima serta dihayati lintas kelompok
dalam masyarakat? Dewey menyarankan agar setiap anggota dalam kelompok
harus memiliki kesempatan yang sama (equable opportunity) untuk menerima dan
9
10
11

12

Karena diserang dan diduduki orang-orang Makedonia pada tahun 322 / 321 SM (Lih. Hansen, 1991: 3)
Lih. Hansen, 1991: 57.
Lih. Urbinati, 2006, dalam Henning, 2007. Urbinati berargumen bahwa demokrasi representatif bukanlah
demokrasi yang bersifat aristokratis atau pengganti yang defektif untuk demokrasi langsung, namun justru

sebuah cara bagi demokrasi untuk terus menerus membaharui diri dan berkembang.
Untuk detil argumentasi dan kekayaan wawasan Dewey tentang pokok ini, lih. bab VII “The Democratic
Conception in Education” dari buku yang sama, yang bisa diakses di http://www.ilt.columbia.edu/
publications/Projects/digitexts/dewey/d_e/chapter07.html

BAB 12 DEMOKRASI

183

mengambil nilai-nilai yang berharga dari anggota kelompok yang lain. Dengan
kata lain, harus terjadi variasi pengalaman dan kerja bersama dalam jumlah yang
cukup besar.
Jika Dewey menyoroti “kesamaan yang mengikat di balik kemajemukan”
sebagai prasyarat metaisis dari perwujudan ideal masyarakat yang demokratis,
maka Joseph Schumpeter dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy
justru menegaskan hal yang sebaliknya. Menurutnya, titik berangkat pendeinisian
demokrasi haruslah dimulai dari pemahaman bahwa demokrasi adalah sebuah
metode politik. Maksudnya, sebuah tipe pengaturan kelembagaan untuk
sampai pada keputusan-keputusan politis (baik yang sifatnya legislatif maupun
administratif ). Demokrasi yang dipahami sebagai sebuah metode politik tidak

bisa menjadi tujuan pada dirinya sendiri dan tidak tergantung pada pelbagai
keputusan yang dihasilkannya dalam kondisi-kondisi historis tertentu.
Metode (yang berasal dari kata Yunani klasik, μέθοδος) berarti jalan atau
cara untuk memperoleh suatu pengetahuan atau untuk mencapai kebenaran
tertentu. Oleh sebab itu, jika demokrasi dipahami sebagai metode politik, maka
sifatnya tidaklah mutlak dan permanen. Demokrasi yang pernah dipahami dan
dipraktekkan pada zaman Yunani kuno ribuan tahun yang lalu, tentu berbeda
secara kualitatif dengan praktik demokrasi pada zaman revolusi Perancis (1789
- 1799) atau pada saat Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776), atau
pada saat Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Bung Hatta
pasca proklamasi kemerdekaan. Perbedaan yang lahir dari pelbagai penafsiran
demokrasi sebagai metode politik sudah barang tentu akan “disesuaikan” dengan
atau diadaptasi seturut konteks zaman, ruang, kebutuhan, interaksi antar individu
dan kelompok, kerangka nilai dan tradisi, serta para pelaku sejarah (historical
agency) yang terlibat. Hal ini justru memperkaya wajah demokrasi, bukan?
Menurut karakteristik demokrasi sebagaimana dicatat oleh beberapa
pengamat dan pemikir tentang demokrasi. Di antaranya adalah Robert A. Dahl
(Profesor ilmu politik dari Yale University, USA), yang menggariskan tujuh syarat
yang secara niscaya dan memadai harus ada dalam sebuah demokrasi yang ideal,

13

Dahl, Robert A. 1983. Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs. Control. Yale (USA): Yale University Press,
sebagaimana dibaca oleh Andi Faisal Bakti, “Demokrasi, Tata Kelola Pemerintahan, dan Masyarakat Madani di
Indonesia” dalam Bakti, Andi Faisal, dkk. Tim Editor. 2012. Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi. Tangerang
Selatan: Churia Press, hlm. 4. Membaca dan memahami karya Robert A. Dahl tentang demokrasi, tentu
saja tidak terlepas dari paradigma demokrasi liberal, bukan demokrasi dalam pengertian sosialis. Namun
hubungan yang erat antara kapitalisme dan demokrasi liberal memunculkan isu tentang kesamaan substantif
vs. kesamaan kesempatan. Untuk lengkapnya, lihat tulisan Manley, John F. “Neo-Pluralism: A Class Analysis of
Pluralism I and Pluralism II” dalam Dahl, Robert A., Ian Shapiro, dan José Antonio Cheibub. Tim Editor. 2003.
The Democracy Sourcebook. Cambridge, Massachusetts (USA) dan London (UK): The MIT Press, hlm. 381 - 392.

184

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVICS)

yaitu13:
1. kontrol atas kekuasaan ada pada pemimpin yang dipilih rakyat secara teliti
dan jujur,
2. pemimpin pilihan rakyat ini tidak boleh melakukan pemaksaan,
3. semua orang dewasa berhak memilih pejabat,
4. semua orang dewasa berhak dipilih,
5. rakyat mempunyai hak bebas untuk menyampaikan pandangan kritis tanpa
ancaman dan hukuman,
6. rakyat mempunyai hak memperoleh informasi yang dilindungi hukum, dan
7. rakyat bebas membentuk lembaga dan partai politik.
Terkait dengan poin kelima dan keenam di atas, dipandang perlu untuk
menghadirkan dan melegitimasi keberadaan sebuah lembaga yang mengemban
amanah untuk menyampaikan pandangan kritis (terhadap kekuasaan) tanpa
ancaman dan hukuman sekaligus menjadi wadah serta wahana bagi rakyat untuk
memperoleh informasi yang dilindungi hukum. Dari sinilah muncul lembaga
pers14, yang didaulat sebagai pilar keempat demokrasi15 atau sering juga disebut
the Fourth Estate16 (setelah eksekutif, legislatifdan yudikatif ).
Sementara itu, ciri-ciri atau kriteria sebuah rezim kekuasaan yang menjalankan
proses pemerintahan yang demokratis menurut Robert A. Dahl17 adalah sebagai

14
15

16

17

Lih. O’Mahony, 1974: 47-58.
Untuk analisis yang menarik dan mencerahkan mengenai paradoks media (dalam hal ini: pers) sebagai
pilar keempat demokrasi, khususnya dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru, dalam tarikan pelbagai
kepentingan; di satu sisi pers menyampaikan “kepentingan publik” sehingga seyogianya harus objektif dan
bebas dari bias-bias wartawan maupun pemilik pers tersebut; namun di sisi lain pers juga juga dipengaruhi
logika kepentingan bisnis institusi media yang mendanai eksistensinya. Lihat Nyarwi, 2008.
Pengertian The Fourth Estate (atau fourth estate) menurut Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Fourth_
Estate; diakses pada 4 September 2012 pukul 21:58 WIB ) adalah “a societal or political force or institution
whose inluence is not consistently or oicially recognized. “Fourth Estate” most commonly refers to the news
media; especially print journalism or “The Press.”
Lih. Dahl, 1998: 37. Bandingkan dengan pembacaan Daniel Hutagalung atas karya Dahl, Democracy and Its
Critics (1989) dalam “Batas dan Kemungkinan Demokrasi: Gagasan Poliarkhi Robert Dahl” yang bisa diakses
di http://dhutag.wordpress.com/2010/07/10/batas-dan-kemungkinan-demokrasi-gagasan-poliarkhi-robertdahl/

BAB 12 DEMOKRASI

185

Sumber gambar: http://dhowell.com/images/estates.jpg

berikut:
1. Partisipasi yang efektif.
Sebelum suatu kebijakan diadopsi oleh sebuah perkumpulan (dalam hal ini,
misalnya, negara), semua anggota harus memiliki kesempatan yang sama
dan efektif untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka kepada
anggota lain tentang yang seharusnya ada dalam kebijakan tersebut.
2.

Kesamaan dalam hak memilih (voting equality).
Ketika momen pengambilan keputusan menyangkut kebijakan tiba, setiap
anggota harus memiliki kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan
suaranya (vote), dan semua suara yang masuk harus dianggap sama.

3.

Pemahaman yang tercerahkan (enlightened understanding).
Dalam batasan waktu yang masuk akal, setiap anggota harus memiliki
kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari sejumlah kebijakan
alternatif yang relevan dan juga dampak-dampaknya yang mungkin.

4.

Kontrol terhadap jalannya perencanaan serta pelaksanaan kekuasaan (control
of the agenda).
Para anggota harus memiliki kesempatan yang eksklusif untuk menentukan
bagaimana dan materi apa yang dimasukkan ke dalam agenda. Proses

186

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVICS)

demokratis yang disyaratkan oleh kriteria yang disebutkan di atas tidak
pernah ditentukan sebelumnya. Kebijakan yang diambil oleh perkumpulan
selalu bersifat terbuka untuk diubah oleh para anggotanya, jika memang
mereka memilih demikian18.
5.

Penyertaan orang dewasa (inclusion of adults).
Semua, atau sebagian besar, warga tetap yang sudah dewasa seharusnya
memiliki hak penuh sebagai warga negara yang sudah termaktub dalam
empat kriteria pertama tadi. Sebelum paruh pertama abad ke-20 berakhir,
kriteria kelima ini tidak dapat diterima di semua negara yang mengklaim
sudah menganut prinsip demokrasi. Contoh: orang kulit hitam di Amerika
Serikat belum boleh ikut memilih dalam Pemilu, sebelum tahun 1960.
Perempuan di New Zealand baru mendapatkan hak memilihnya atau sufrage
pada 1893, Australia pada 1902, Finlandia pada 1906, Norwegia pada 1913,
Denmark dan Islandia pada 1915, Amerika Serikat serta Inggris baru sekitar
tahun 1920-an. Untuk negara-negara di Amerika Latin, 1929 di Ekuador, 1932
di Brazil, 1939 di El Salvador, 1942 di Republik Dominika, 1945 di Guatemala,
dan 1946 di Argentina. Di kawasan Asia Pasiik, Filipina pada 1937, Jepang
1945, Cina 1947, dan di Indonesia pada 195519.

Pertanyaan berikutnya: apakah demokrasi hanya berwujud satu wajah
saja, atau, dalam bahasa yang lebih populer, one size its all?20 Adakah tahapantahapan perkembangan jenis demokrasi dari versi yang lebih sederhana dan

18

19
20

Control of the agenda sebagaimana dimaksud Dahl di atas bisa juga dibahasakan dengan istilah “deliberasi.”
Dalam proses demokratis, yang dimaksud dengan prinsip deliberasi adalah momen di mana para warga
negara berpartisipasi dan berkomunikasi secara bebas dalam menentukan keputusan-keputusan politis
mereka. Dengan kata lain, proses demokratis mensyaratkan berbagai ikhtiar untuk menjaga dan merawat
komunikasi yang partisipatoris antar berbagai kelompok masyarakat lewat pelbagai kesempatan dan ruangruang yang berbeda, mulai dari town meetings sampai ke works councils. (lih. Janoski, Thomas dan Brian Gran.
2002. “Political Citizenship: Foundations of Rights”. Dalam Isin dan Turner, 2002: 20)
Lih. http://teacher.scholastic.com/activities/sufrage/history.htm
Lih. Tonkin, Alan. 2005. Diferent Values: Diferent Democracy: Difering Values Systems Require Difering Types
of Democracy (bisa dilihat di http://www.humanemergencemiddleeast.org/diferent-values-diferentdemocracy-alan-tonkin.php.) Bdk. dengan graik stratiied democracy yang dibuat Don Beck dalam http://
www.integratedsociopsychology.net/Democracy/DonBeck%27s%27StratifiedDemocracy%27.html.
Problematika yang diajukan Tonkin dan Beck dimulai dari keyakinan yang cukup sederhana, yaitu “democracy
is not a one its all solution to the problems of the world.” Keyakinan ini tentu saja bukan tanpa dasar
pengalaman dan pengamatan empiris. Sekurang-kurangnya ada 3 kasus besar berskala internasional yang
mendasari keyakinan Tonkin dan Beck, yaitu (1) Kasus intervensi militer yang dipelopori Amerika Serikat dalam
perang antara Irak dan Kuwait yang dikenal sebagai Gulf War (awal Agustus 1990), (2) invasi tentara NATO
yang dipimpin Amerika Serikat ke negara Afghanistan (dikenal dengan nama Operation Enduring Freedom,

BAB 12 DEMOKRASI

187

sesuai untuk pengaturan serta pengelolaan masyarakat yang juga relatif lebih
sederhana, menuju ke jenis demokrasi yang makin berkembang kompleksitasnya
untuk mengatur sekaligus mengelola masyarakat yang lebih kompleks dan

[gambar “stratiied democracy”; sumber: http://www.humanemergencemiddleeast.org/images/StratiiedDemocracy.gif ]

dimulai pada 7 Oktober 2001) sebagai reaksi terhadap tindakan teroris 11 September 2001 atau yang lebih
dikenal dengan istilah 9/11 atau September 11 attacks, dan 3) invasi Amerika Serikat dan sekutunya (Inggris,
Australia dan Polandia) ke Irak pada tahun 2003 (19 Maret s/d – 1 Mei 2003) yang lebih dikenal dengan istilah
Perang Irak atau Operation Iraqi Freedom, untuk menggulingkan rezim pemerintahan Saddam Hussein yang
dianggap membahayakan keamanan internasional dengan menyimpan dan merencanakan peluncuran
senjata pemusnah massal (nuklir, kimiawi dan biologis), yang belakangan terbukti tidak beralasan [lih. http://
en.wikipedia.org/wiki/2003_invasion_of_Iraq#cite_note-msnbc1-23]. 3 peristiwa besar dan kontroversial ini,
yang menuai gelombang protes dari seluruh penjuru dunia, menjadi prototype dari muncul dan semakin
terartikulasikannya keyakinan Tonkin dan Beck akan perlunya membuat sebuah distingsi demokrasi yang
dapat dipertanggungjawabkan dan diaplikasikan secara global, tanpa terkondisikan hanya pada satu jenis
demokrasi saja, misalnya: demokrasi liberal - konstitusional.

188

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVICS)

berlapis? Ternyata ada. Berikut adalah gambaran demokrasi yang terstratiikasi,
artinya tersusun dari lapisan-lapisan serta tahapan-tahapan, yang dimulai dari
versi demokrasi versi yang lebih sederhana dan mendasar (basic), hingga versi
demokrasi yang lebih canggih dan kompleks. Merujuk pada penjelasan yang
disampaikan Alan Tonkin tentang gambar berikut ini, ketika para pemimpin dunia
Barat yang sudah maju berbicara tentang demokrasi, mereka cenderung merujuk
pada demokrasi konstitusional yang didasarkan pada sistem multi-partai, derajat
keterwakilan yang fair, terutama di Dewan Legislatif, serta pemilihan umum yang
terawasi dengan jujur-adil-transparan. Negara-negara yang mempraktikkan
demokrasi semacam ini biasanya berada di kerangka nilai berwarna Biru/Oranye/
Hijau/Kuning Tua. Akan tetapi, di sejumlah negara berkembang, tata laksana
konstitusional bisa amat bervariasi, dengan kerangka nilai yang tersebar dari
Ungu/Merah/Biru/Oranye/Hijau. Dalam kasus-kasus semacam ini, demokrasi bisa
berarti lain dari yang sudah dipraktikkan di negara-negara maju (Dunia Pertama),
sehingga untuk negara-negara yang masih tergolong dalam kategori warna
Ungu/Merah/Biru (Dunia Ketiga) diperlukan sejumlah modiikasi sistem dan tata
laksana konstitusional agar pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi menjadi lebih
efektif di negara tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, kita sudah mendapatkan gambaran yang
memadai untuk memahami pengertian demokrasi dalam pentas perpolitikan dan
kewarganegaraan dunia sejak zaman klasik Yunani kuno, hingga zaman sekarang,
dilengkapi dengan sejumlah unsur dan kriteria proses demokratis menurut Robert
A. Dahl dan juga jenis-jenis serta tahapan demokrasi yang mengakomodasi
kerangka nilai yang berbeda-beda.

Persoalan-persoalan yang Dihadapi Rezim Demokrasi
1) Tirani mayoritas terhadap minoritas
Dalam kerangka teori ilsafat politik klasik, dikenal pandangan mayoritarianisme.
Pandangan ini merujuk pada keberadaan sekelompok mayoritas dalam sebuah
populasi yang ‘“iutamakan” (primacy) dalam masyarakat, tentu saja ‘“diutamakan”
dalam batas-batas tertentu. Kelompok mayoritas ini biasanya digolongkan dalam
kategori agama, bahasa, kelas sosial ataupun sejumlah faktor pembeda lain yang
disepakati. Selain itu, kelompok mayoritas ini juga memiliki hak untuk membuat
keputusan, aturan, kebijakan, yang memengaruhi seluruh masyarakat. Dalam
versi peyoratifnya, mayoritarianisme sering disebut sebagai oklokrasi (diambil dari
bahasa Yunani οχλοκρατία atau okhlokratía; dicetuskan pertama kali oleh sejarawan
Yunani kuno, Polybius [200 – 118 SM] dalam traktat sejarahnya, Histories) atau
BAB 12 DEMOKRASI

189

pemerintahan oleh kawanan atau massa. Oklokrasi merupakan “versi tercemar
dari demokrasi”, di mana unsur pencemarnya adalah (1) demagogi (strategi untuk
memperoleh kekuasaan politik dengan melibatkan dan memainkan prasangka,
emosi, ketakutan, kesenangan dan harapan orang banyak dengan cara retorika
dan propaganda yang didasarkan pada tema nasionalis, religius maupun populis),
(2) tirani mayoritas, dan (3) pemerintahan yang didasarkan pada perasaan alihalih akal budi.
Pada zaman Yunani kuno, oklokrasi dianggap sebagai salah satu dari tiga
bentuk pemerintahan yang “buruk,” yang dilawankan dengan tiga bentuk
pemerintahan yang “baik.” Kata “buruk” dan “baik” di sini diterapkan pada jenis
pemerintahan yang bertindak demi kepentingan seluruh komunitas atau
rakyatnya (disebut “baik”) atau demi kepentingan segelintir orang atau kelompok
tertentu dengan mengabaikan pertimbangan keadilan (disebut “buruk”).

Kartun ilustrasi tirani mayoritas dalam rezim demokrasi;
sumber: http://ilipspagnoli.iles.wordpress.com/2009/12/tyranny-of-the-majority-cartoon.jpg

Dalam versi yang lebih modern, oklokrasi lebih sering disebut dengan
istilah mobokrasi (mobocracy) atau pemerintahan oleh gerombolan. Ancaman
mobokrasi dalam sebuah rezim demokrasi biasanya ditangkal dengan penegakan
hukum yang berpihak pada serta melindungi kaum minoritas maupun individu
terhadap demagogi maupun kekacauan moral. Meskipun pada dasarnya hukum
serta aturan dalam sebuah rezim demokrasi dibuat atau dibatalkan oleh mayoritas
suara (dalam parlemen atau lembaga legislatif ), dengan menggunakan sistem
pemungutan suara (voting), namun aturan hukum perlindungan terhadap kaum
minoritas bukanlah hal yang sepele.
Sementara itu, dalam kaitan dengan “tirani mayoritas”, pada pertengahan
abad ke-19, seorang ilsuf politik dari Inggris, John Stuart Mill (1806 – 1873)
pernah memperingatkan pemerintahnya soal embrio yang dapat merongrong
190

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVICS)

tegak dan kredibelnya sistem pemerintahan demokrasi. Hal ini terungkap
dalam eseinya yang didaulat sebagai buku pegangan kaum pro-kebebasan
individu (libertarian). Judul esei tersebut, On Liberty. Mill menulis sebagai berikut,
“Seperti jenis tirani lainnya, tirani mayoritas merupakan hal yang ditakuti karena
bekerja lewat tindakan otoritas publik. Akan tetapi, seorang yang berakal sehat
akan melihat bahwa ketika masyarakat itu sendiri menjadi tiran –masyarakat
secara kolektif terlepas dari para individu yang menyusunnya-- maka cara-cara
tiran tersebut tidak lagi terbatas hanya pada tindakan mereka yang menjadi
fungsionaris politiknya. Masyarakat memang dapat dan harus melaksanakan
amanah atau mandatnya sendiri; dan jika masyarakat mengeluarkan amanah
yang keliru, atau amanah yang tidak dapat diganggu gugat, maka masyarakat
tersebut sebenarnya sedang mempraktikkan sejenis tirani sosial yang lebih
mengerikan daripada banyak jenis penindasan politis.” (Mill, 1859: 7)
Mengapa “lebih mengerikan”? Meskipun tirani sosial biasanya luput dari
ganjaran hukuman yang ekstrem, namun ia menutup cukup banyak jalan
untuk melarikan diri; [tirani sosial] merangsek masuk lebih jauh ke dalam hidup
setiap orang, bahkan memperbudak jiwa itu sendiri. Dengan demikian, tidaklah
cukup hanya melindungi diri dari tirani sosial tersebut; perlu juga adanya suatu
perlindungan terhadap tirani pendapat dan perasaan yang dominan, terhadap
kecenderungan masyarakat untuk memaksakan ide-ide dan praktik-praktiknya
sebagai aturan tingkah laku bagi mereka yang berbeda pendapat dan perasaan
dengannya, selain lewat hukuman sipil belaka; (perlindungan terhadap upayaupaya masyarakat) untuk menghalang-halangi perkembangan dan pembentukan
individualitas yang tidak selaras dengan cara-cara (yang dianut masyarakat) dan
mengarahkan secara paksa semua jenis karakter menjadi persis seperti model
yang diinginkannya. Perlu ada batasan menyangkut campur-tangan opini kolektif
(masyarakat) terhadap kebebasan individu; menemukan batasan tersebut, serta
mempertahankannya terhadap penyabotan, adalah hal yang tak tergantikan
untuk menjamin syarat suatu kehidupan manusia yang baik sebagai bentuk
proteksi terhadap despotisme politis.”
Menyambung kritik terhadap ide “tirani mayoritas” versi Mills, pantas dikutip
kembali di sini pemikiran Herbert Marcuse (1898 – 1979), seorang pemikir kritis
dari Mazhab Frankfurt, Jerman. Lahir, tumbuh dan survive melewati periode dua
perang dunia dan perang dingin Amerika vs. Soviet, Marcuse mengambil posisi
kritis terhadap status quo pada zamannya. Dalam eseinya Repressive Tolerance,
Marcuse meratapi hilangnya substansi toleransi dalam dunia politik kontemporer,
khususnya di negara-negara maju. Yang dimaksud Marcuse dengan substansi
toleransi dalam rezim demokrasi adalah perlindungan terhadap perbedaan

BAB 12 DEMOKRASI

191

dan ketidaksetujuan (dissent)21. Dikatakan olehnya bahwa musuh terbesar dari
“toleransi terhadap ketidaksetujuan” adalah kaum mayoritas yang lahir bukan
dari “rahim” berpikir dan berpendapat secara bebas melainkan dari administrasi
opini publik yang monopolistik dan oligopolistik. Artinya, mayoritas tipe ini
adalah mayoritas yang melestarikan dirinya sendiri dengan cara mengamankan
kepentingan-kepentingan sempit yang membuatnya menjadi mayoritas. Inilah
mayoritas yang berstruktur tertutup yang membenci perubahan selain perubahan
dalam sistem yang sudah dibuatnya sendiri (untuk melanggengkan dirinya), yang
tidak bisa dipercaya sebagai “penjaga kepentingan bersama.” Jenis toleransi yang
dikembangkan oleh mayoritas seperti ini adalah toleransi semu atau pura-pura.

Gambar: intoleransi yang tidak bisa ditoleransi; sumber: http://www.peacewithpurpose.org/uploads/8/2/1/6/
8216786/5062640_orig.jpg

2) Kurangnya simpati dan rasa solidaritas pemimpin terhadap warga negara
Negeri kita, Indonesia, adalah negeri yang sarat bencana, baik itu bencana alam,
maupun bencana sosial kemanusiaan. Masih segar dalam ingatan kita selama dua
dekade terakhir ini, bertubi-tubi bencana alam menghantam negeri kita, seperti
gempa bumi, yang diiringi tsunami, banjir besar, longsor, gunung meletus, dan
itu terjadi semua terjadi hampir merata, baik di pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi,

21

Dalam versi demokrasi yang lebih kontemporer, jenis demokrasi yang mendukung perlindungan terhadap
disensus (dissent) adalah demokrasi disensus (lih. Rancière, Jacques. 2010. Dissensus: On Politics and Aesthetics.
London: Continuum. Bdk. Danujaya, Budiarto. 2012. Demokrasi Disensus: Politik dalam Paradoks. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.; bdk. Robet, Robertus. 2010. “Disensus, Politik dan Etika Kesetaraan Jacques
Rancière” Makalah yang dibawakan dalam Seri Kuliah Umum Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta,
November 2010, yang bisa diakses di http://cdn.salihara.org/media/documents/2010/11/27/f/i/ile.pdf.
Untuk versi yang lebih ringkas, bisa dibaca artikel Robet, 2010: 6. Robet menegaskan, “Disensus inilah kiranya
yang mesti kita jadikan agenda pokok politik demokrasi kontemporer untuk Indonesia. Di dalam disensus
kita mendorong dan membuka selebar-lebarnya pintu serta peluang yang disediakan oleh demokrasi justru
bagi mereka yang sebenarnya paling membutuhkan.”

192

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVICS)

gambar solidaritas; sumber: http://mas-tony.com/wp-content/uploads/2011/12/solidaritas.gif

maupun Papua. Belum terhitung bencana kemanusiaan seperti bencana kelaparan
(di Yahukimo, Papua, 2005), tragedi bom, kerusuhan sosial berbasis etnis maupun
agama, tawuran dan perang antar warga atau kelompok warga, dan masih banyak
lagi. Sudah ratusan ribu korban jiwa melayang dan lebih banyak lagi yang terluka
maupun trauma. Banjir darah, tangis dan kesedihan seolah enggan menjauh dari
tanah air Indonesia. Berhadapan dengan fakta sosial kemanusiaan semacam ini,
orang tidak bisa berpaling dan menganggap sepi, apalagi kalau orang tersebut
pemimpin, mulai dari level formal pemerintahan terendah seperti kepala desa
atau lurah sampai dengan Presiden. Seorang pemimpin yang baik dan pantas
diteladani, seyogianya memimpin dengan ketegasan, agar nampak berwibawa,
dan juga perlu peka (concerned), empati, memiliki rasa kasihan (pity) sekaligus
bela-rasa (compassion) terhadap nasib dan penderitaan orang lain, terutama,
namun tidak dibatasi pada, warga yang berada di wilayah otoritasnya.
Pertanyaannya sekarang: bagaimana pendasaran teoretis (ilsafat politik)
yang dapat membenarkan bahwa pemimpin yang baik, yang bisa dijadikan
teladan, adalah pemimpin yang memiliki kualitas peka dan empati? Pertanyaan
ini dapat dijawab jika kita mau belajar dari sosok dan pemikiran Adam Smith (1723
–1790), seorang ilsuf moral dan sosial sekaligus perintis disiplin ilmu ekonomi
modern yang berasal dari Skotlandia. Sebagai seorang pemikir yang serius dan
berpengaruh besar terhadap arus pemikiran berikutnya ia menulis sejumlah
buku. Di antaranya ialah Teori Rerasa Moral (The Theory of Moral Sentiments, 1759;
selanjutnya disingkat TMS), dan Pertanyaan tentang Kodrat dan Sebab-musabab
Kekayaan Bangsa-bangsa (An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations, 1776).

BAB 12 DEMOKRASI

193

TMS bisa disebut sebagai sebuah traktat etika karena pelbagai perasaan
dan disposisi psikologis yang terkait dengan moralitas, atau disebut rerasa moral
(moral sentiments), yang dianalisis dalam buku ini diberikan pendasaran ilosois
yang kuat. Rerasa moral yang dibahas dalam TMS juga dikaitkan dengan penilaian
dan putusan moral, sehingga kita bisa mengatakan bahwa suatu tindakan itu
salah atau benar karena memang ada pendasaran rasionalnya di balik putusan
atau penilaian tersebut. Itulah yang dimaksud dengan etika di sini.
Di bagian awal TMS, Smith mengemukakan bahwa betapapun tampak
mementingkan diri sendiri (selish), seorang manusia pada dasarnya tertarik
untuk melihat orang lain beruntung dan berbahagia. Hanya dari melihat orang
lain bahagia dan beruntung ini saja manusia sudah memperoleh kenikmatan.
Selain itu, ia juga merasakan sejenis emosi yang bernama belas kasihan (pity /
compassion) ketika melihat penderitaan (misery) orang lain, baik melihat dengan
mata kepala sendiri atau ketika mengetahuinya lewat cara penyampaian yang
begitu hidup. Tentang hal ini, semua manusia tanpa terkecuali, termasuk mereka
yang dikenal sebagai orang yang paling kejam dan pembangkang (yang oleh
Smith disebut sebagai the greatest ruian, the most heardened violator of the laws
of society). Inilah rerasa moral yang oleh Smith disebut dengan “simpati.”
Bagian awal TMS persis menjadi anti-tesis dari hal yang diyakini pemikir besar
Inggris lainnya, yang hidup satu abad sebelumnya, yaitu Thomas Hobbes (1588
– 1679) dalam bukunya, Leviathan (1651). Hobbes berkeyakinan bahwa manusia
itu pada dasarnya egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri (selish). Hidup
antar manusia yang seperti ini diwarnai rasa saling curiga dan terancam, sehingga
tidak mengherankan bahwa sering terjadi perang semua melawan semua
(bellum omnium contra omnes) dan konsekuensinya, kualitas hidup manusia
bersifat “sendirian, miskin, kotor, brutal; dan pendek” (Hobbes, 1660: Ch. XIII).
Pemerintahan dan kepemimpinan yang menonjol dalam kondisi antar-manusia
seperti yang dibayangkan Hobbes ini adalah pemimpin yang tegas, cenderung
keras dan kejam, serta otoriter, yang olehnya disebut sebagai Leviathan.
Smith menambahkan bahwa belas kasihan (pity) dan bela rasa (compassion)
merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan rasa duka kita terhadap
penderitaan orang lain. Sementara, simpati adalah istilah yang digunakan untuk
mengungkapkan rasa kita terhadap orang lain (fellow-feeling) yang dipicu oleh
pelbagai jenis perasaan lainnya, apa pun (any passion whatever). Jadi, simpati
adalah nama umum untuk perasaan kita terhadap orang lain, entah itu yang
bernuansa kegembiraan maupun kesedihan. Terbitnya simpati ini tidak bisa
dilepaskan dari posisi kita sebagai subjek yang menyaksikan (spectator) kesedihan
atau kegembiraan tersebut, misalnya, ketika melihat seseorang tersenyum kita

194

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVICS)

merasa ikut bahagia, dan ketika melihat orang menangis dengan wajah menahan
derita, kita ikut merasa sedih. (Smith, 1759: Part I. Of the Propriety of Action, Section
I. Of the Sense of Propriety, I.I.4 dan I.I.6)
Selanjutnya, Smith juga mengatakan bagaimana caranya simpati ini bekerja,
yaitu lewat imajinasi. Karena kita tidak pernah memiliki pengalaman langsung
dari apa yang dirasakan orang lain (menyangkut penderitaan dan musibah
yang mereka alami, misalnya), maka kita juga tidak bisa merasakan seberapa
intens pengalaman tersebut memengaruhi (afected) jiwa mereka. Akan tetapi,
dengan membayangkan (berimajinasi), apa jadinya jika kita yang berada dalam
situasi seperti itu, dirasakan amat membantu untuk melahirkan simpati. Lewat
imajinasi, kita menempatkan diri kita dalam situasinya. Untuk menilai apakah
perasaan kita (terhadap suatu kondisi penderitaan manusia tertentu yang
melahirkan rasa simpati kita) itu tidak melulu subjektif, Smith menganjurkan
agar kita “mengundang” seorang pengamat yang netral untuk menyaksikan
hal yang sama seperti yang kita lihat. Lalu kita lihat reaksinya bagaimana. Ia
menyebut pengamat yang netral ini sebagai impartial specatator. (Smith, 1759:
I.II.28, II.I.11, II.II.3 ). Seorang pengamat yang tak berpihak ini adalah seorang
yang berwawasan tentang situasi tersebut namun tidak memiliki relasi khusus
(misalnya sebagai teman atau musuh) dari setiap orang yang ada dalam situasi
tersebut. Pertanyaannya, mampukah si pengamat yang tak berpihak ini bersimpati
dengan perasaan yang lalu mendorong tindakan saya (misalnya, menolong orang
menderita yang ada dalam situasi tersebut)? Jika ya, maka kita dapat menyetujui
dan meneruskan tindakan tersebut, jika tidak, maka dihentikan.
Pada gilirannya, simpati ini bukan hanya perasaan kita terhadap orang lain
dalam konteks relasi antara dua orang saja (misalnya ibu dengan anaknya, atau
suami dengan istrinya), namun lebih luas dari itu. Simpati dapat membimbing
orang untuk menjaga dan mempertahankan relasi yang baik dengan sesamanya.
Bahkan simpati juga bisa menjadi dasar bagi tindakan-tindakan baik yang khusus
lainnya maupun tatanan sosial secara umum.
Dalam hal ini, jika demokrasi dipahami sebagai sebuah bentuk tatanan
sosial yang dipandu prinsip-prinsip rasionalitas, baik pada level individu sebagai
warganegaranya maupun di level kolektif lewat pengaturan legal dan manajerial,
maka TMS karya Adam Smith ikut berjasa meletakkan pondasi rasional bagi
manusia sebagai makhluk yang memiliki rerasa moral dengan tujuan mematuhi
hukum-hukum alam dan menjaga tatanan sosial. Manusia tidak lagi dilihat secara
berat sebelah seperti dalam Leviathan Hobbes (yaitu selish creature), namun
juga sebagai makhluk moral yang dapat diandalkan dan dapat memerintah
dirinya sendiri (self-interested, self-reliance and self-commanded creature). Dengan

BAB 12 DEMOKRASI

195

demikian, dua prinsip metaisis manusia sebagai binatang yang rasional dan
berbahasa (ζῷον λόγον ἔχον zoon logon echon) dan juga makhluk politis (ζῷον
πολιτικόν), yang digagas Aristoteles ribuan tahun lalu, perlu dilengkapi dengan
pengertian manusia sebagai makhluk yang memiliki rerasa moral (sentient and
moral being) seperti digagas Smith. Hanya dengan memahami manusia dalam
kelengkapan dan kedalaman dimensi metaisisnya inilah, demokrasi diharapkan
dapat mencapai tujuan-tujuan idealnya.

3) Merosotnya (kualitas) warga negara menjadi massa (mass) dan perkumpulan
menjadi kerumunan (crowd)
Demokrasi yang tergelincir menjadi mobokrasi seperti sudah diuraikan di atas
mengandaikan perubahan identitas warga negara dari makhluk rasional yang
sadar diri dan mawas politik, yang dalam versi kolektifnya disebut sebagai “rakyat”
(people), menjadi gerombolan atau massa. Dalam praktik demokrasi dengan
basis massa mengambang, sudah mulai dipraktikkan sejak rezim Suharto di akhir
1980-an22, yang cukup sering menjadi persoalan baik di tataran empiris maupun
teoretis dewasa ini adalah bahwa dengan mudahnya “rakyat” diidentikkan dengan
“gerombolan” atau dalam bahasa populernya, “massa.” Padahal, sebagaimana
akan dibahas berikut, sudah jelas bahwa “rakyat” tidak sama dengan “massa”.
Di akhir abad ke-19 lalu, Gustave Le Bon (1841 – 1931), seorang sosiolog dan
psikolog sosial terkemuka yang meneliti fenomena massa, mengemukakan dalam
bukunya The Crowd: A Study of Popular Mind (1896) bahwa yang disebut sebagai
kerumunan massa (crowd) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) digerakkan oleh
dorongan impulsi (bukan pertimbangan akal budi), sangat aktif bergerak (mobile)

22

Lih. Lane, Max. 2007. Indonesia’s Democratic Movement Under Attack. Dalam Solidarity (http://www.solidarityus.org/node/535). Menurut Lane, di akhir era 1980-an, muncul sebuah upaya baru untuk membangun dan
mengerahkan gerakan massa melawan kediktatoran Suharto. Para mahasiswa adalah kelompok masyarakat
yang cukup berperan dalam ikhtiar ini. Mereka keluar dari belitan ideologis yang dipaksakan selama lebih
dari 20 tahun era kepemimpinan Suharto yang dibeking militer dan hampir mendekati totaliter. Mereka
menggalang solidaritas politis dengan para petani, para pekerja pabrik atau buruh, dan mulai mengadakan
aksi-aksi demonstrasi di jalanan. Selama periode inilah, rezim Suharto mempraktikkan sebuah kebijakan
yang dikenal dengan istilah massa mengambang atau the loating mass — menggantikan demokrasi massa
politis. Diawali dengan pembunahan massal ratusan ribu aktivis, petani, buruh, mahasiswa dan kaum
intelektual dengan gaya teroris, dilanjutkan dengan pemenjaraan ribuan lainnya, kebijakan ini terbukti
efektif mencegah mobilisasi massa dan perekrutan anggota partai politik di tingkat desa. Partai berhaluan
kiri (seperti PRD), serikat buruh dan penerbitan yang berhaluan kritis terhadap rezim yang berkuasa juga
dilarang (dibredel). Bahkan, partai berhaluan konservatif dengan basis massa yang nyata (dalam hal ini Partai
Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan) juga de facto diambil alih oleh pemerintah.

196

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVICS)

Gambar: kerumunan massa di jalan;
Sumber: : http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/00796/crowded-britain_796405c.jpg ;

Gambar : upacara pengibaran bendera NKRI di Istana sumber: http://data.tribunnews.com/foto/bank/
images/20120817_Pengibaran_Bendera_Merah_Putih_3999.jpg

dan memiliki kekuasaan yang mendadak hebat tak bisa ditolak (irresistible)
karena kekuatan jumlah yang besar, 2) amat mudah dipengaruhi (suggestibility)
dan percaya pada sesuatu (credulity), 3) memiliki nalar yang sederhana (bahkan
mirip dengan manusia primitif ) dan sekaligus ekstrem (exaggerated), dan 4) tidak
toleran terhadap perbedaan, cenderung diktator dan konservatif (bergerak dari
pendulum “begitu patuh” sampai “anarki”), 5) standar moralitas yang amat rendah:
cenderung destruktif.
Setengah abad kemudian, tilikan Le Bon di atas diperkuat oleh temuan
etnograis Elias Canetti (1905 – 1994), seorang pemikir dan penulis asal Bulgaria.
Canetti menganalisis tentang karakteristik massa dalam bukunya Crowds and
Power (1960). Menurutnya, beberapa atribut yang melekat pada kerumunan
(crowd) adalah: 1) selalu ingin bertambah jumlahnya, 2) ada kesamaan yang
BAB 12 DEMOKRASI

197

absolut di dalamnya (tidak ada pembedaan gelar, status, jabatan, dsb, pada
tiap individu yang tergabung dalam kerumunan), 3) kerumunan menyukai
kepadatan (densitas), dan 4) membutuhkan arahan / tujuan untuk menguatkan
rasa kesamaan dalam kerumunan tersebut. Selain empat atribut ini, Canetti juga
membedakan jenis-jenis kerumunan berdasarkan ciri khas emosi yang digumuli
dalam kerumunan tersebut, yaitu 1) kerumunan umpan (baiting crowds) yang
bertujuan membunuh target sasarannya yang relatif jelas, dekat dan gampang
diidentiikasi, 2) kerumunan hengkang (light crowds) yang terbentuk karena
adanya suatu ancaman, 3) kerumunan larangan (prohibition crowds) yang terbentuk
karena adanya penolakan terhadap suatu larangan atau aturan, 4) kerumunan
berbalik (reversal crowds) di mana mayoritas yang selama ini tertindas berbalik
dan melindas segelintir orang yang selama ini menindas; contoh: revolusi yang
dilancarkan kaum budak melawan majikannya, tentara melawan komandannya,
orang kulit hitam melawan orang kulit putih yang bermukim di tempatnya, dan
5) kerumunan pesta (festive crowds) yang ditandai oleh melimpahnya keriangan
dan kesenangan.
Francisco Budi Hardiman, ilsuf sosial, dosen dan peneliti, dalam bukunya
Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (2005)
menelusuri lebih jauh konsep massa dan keterkaitannya dengan tindak kekerasan
massal. Menurutnya, manusia melakukan kekerasan terhadap sesamanya karena
dia merasa tidak melakukannya terhadap sesamanya, melainkan terhadap
musuh yang harus dihancurkannya, musuh yang mengancam survival-nya dan
menimbulkan panik. Selain itu, kondisi struktural masyarakat membuatnya merasa
terisolasi sebagai indvidu, tercerabut dari komunitasnya dan termarginalisasi
secara ekonomis. Para pelaku kekerasan massa adalah manusia-manusia yang
dikolektifkan dari dua sisi: oleh ketakberdayaan dirinya sebagai individu dan oleh
kelemahan komunitasnya.
Selain tiga persoalan yang dihadapi rezim demokrasi yang sudah diuraikan
secara cukup terperinci di atas, masih ada beberapa persoalan laten yang
merongrong tegaknya rezim demokrasi di Indonesia, yaitu:
a) Pemilihan umum serta pemilihan kepala daerah yang memilih pemimpin
yang lemah, tidak cakap dan tidak berwibawa.
b) Lemahnya penegakan hukum yang berdampak pada semakin merajalelanya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
c) Paham fundamentalisme dan gerakan kaum fundamentalis (terutama
fundamentalisme yang berbasis ikatan-ikatan primordial seperti suku,
kekerabatan, dan agama).
d) Tegangan antara sosialisasi dan penguatan “identitas nasional” di satu sisi,

198

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVICS)

e)

dengan tuntutan akan pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman
dan perbedaan (multikulturalisme).
Akumulasi ketidakpuasan dan ketidakpercayaan warga negara terhadap
pemerintahnya yang dapat berdampak pada pembangkangan sipil (civil
disobedience), tindak diskriminasi antar warga, anarkisme, dan bahkan tindak
terorisme. Pada gilirannya, semua tindak perlawanan warga ini, termasuk
di dalamnya kategori group grievance antara lain adanya diskriminasi,
penindasan, dan kekerasan terhadap etnis, akan melemahkan tata
pemerintahan, menurunkan daya saing ekonomi bangsa, dan secara ekstrem
dapat berdampak pada mewujudnya negara gagal (failed state)23.

Masa Depan Demokrasi di Indonesia, Bagaimana?
Bagaimanakah masa depan demokrasi (khususnya demokrasi di Indonesia)
ketika dihadapkan pada pelbagai persoalan baik yang sifatnya internal maupun
eksternal, jangka pendek maupun jangka panjang, seperti sudah diuraikan di
bagian sebelumnya dari tulisan ini? Apakah demokrasi dapat bertahan (survive)
atau malahan meredup (demise)? Beberapa penelitian yang dirujuk dalam tulisan

23

Untuk kontroversi seputar naik turunnya posisi Indonesia dalam daftar Indeks Negara Gagal yang dikeluarkan
oleh Foreign Policy bekerjasama dengan Fund for Peace (situs resminya bisa diakses di http://www.
foreignpolicy.com/failed_states_index