Babak Baru Desentralisasi

Babak Baru Desentralisasi
Arie Ruhyanto, M.Sc
Dipublikasikan di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Jumat 28 November 2014

Disahkannya RUU Pemda pada akhir September lalu menandai selesainya proses
metamorfosa UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi tiga UU baru,
yakni UU Desa, UU Pilkada, dan UU Pemda. Diterbitkannya Perpu nomor 2 tahun 2014
menghapuskan ketentuan tentang pemilihan kepala daerah oleh DPRD, di luar itu seluruh
ketentuan dalam UU Pemda sebanyak 411 pasal mulai berlaku efektif sejak diundangkan
pada tanggal 30 September 2014. Pengesahan UU Pemda ini sekaligus menandai babak
baru dalam hubungan pusat-daerah di Indonesia.
Secara implisit UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa desain
kebijakan otonomi daerah selama ini yang menempatkan otonomi di tingkat
kabupaten/kota dipandang kurang sesuai dengan prinsip negara kesatuan. Dalam bingkai
negara kesatuan, kebijakan pembangunan di daerah merupakan bagian integral dari
kebijakan pembangunan nasional. Daerah berperan dalam memanfaatkan kearifan,
potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas di tingkat lokal yang pada gilirannya akan
mendukung pencapaian tujuan nasional.
Pelaksanaan otonomi daerah selama ini cenderung melemahkan semangat integralisme
tersebut. Hal ini antara lain ditandai dengan munculnya berbagai kebijakan di tingkat
daerah yang bertentangan dengan kebijakan di tingkat nasional. Hal ini antara lain

tercermin dari banyaknya perda yang dibatalkan oleh kementrian dalam negeri. Selama
kurun waktu 2002-2012 sekurangnya terdapat 2800 perda bermasalah yang dianulir oleh
kemendagri. Terkait dengan evaluasi tersebut, semangat UU Pemda yang baru antara lain
adalah memperkuat peran provinsi sebagai “jangkar” untuk memastikan kesinambungan
kebijakan pusat dan daerah.
Upaya menjadikan provinsi sebagai representasi pemerintah pusat sekaligus koordinator
pembangunan di daerah sebenarnya telah diamanatkan sejak UU 22/1999. Namun titik
tekan otonomi daerah pada level kabupaten kota menyebabkan berkurangnya
kewenangan provinsi. Fungsi koordinatif yang dimiliki provinsi juga cenderung kurang
efektif karena tidak disertai dengan kewenangan pendisiplinan yang jelas. Relevansi
pemerintah provinsi di mata publik juga memudar karena minimnya arena persentuhan
langsung dengan publik. Sementara dalam konteks hubungan antar pemerintah,
perselisihan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota juga menjadi
berita yang cukup sering kita saksikan di media massa.
Dalam UU 23/2014 upaya memperkuat peran provinsi dilakukan antara lain dengan cara
mempertegas mekanisme monitoring dan evaluasi kinerja pemerintah Kabupaten/Kota.
Dalam menjalankan kewenangannya tersebut Pemerintah Provinsi dapat membatalkan
perda kabupaten/kota jika dianggap bertentangan dengan ketentuan nasional. Pemerintah

Provinsi juga dapat memberikan sanksi kepada bupati/walikota mulai dari teguran, sanksi

administratif, hingga usulan pemberhentian kepada menteri. Seorang kepala daerah
diancam dengan sanksi-sanksi tersebut antara lain jika tidak menjalankan program
strategis nasional, tidak menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah,
menjadi pengurus perusahaan/yayasan, melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin
menteri, serta meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari 7 hari berturut-turut tanpa
izin. Bahkan secara tegas disebutkan bahwa kepala daerah yang tidak memberikan
pelayanan perizinan diancam dengan sanksi pidana.
Tersedianya skema sanksi yang jelas di satu sisi dapat menjadi instrumen pendisiplinan.
Namun demikian instrumen tersebut tidak serta merta dapat meningkatkan disiplin dan
kinerja birokrasi. Pendisiplinan berbasis otoritas bahkan cenderung membangkitkan
resistensi. Di atas semua itu, kinerja pemerintah tidak akan meningkat tanpa diimbangi
dengan strategi peningkatan kapasitas yang jelas. Aspek yang terakhir ini sepertinya belum
cukup kuat muncul dalam UU Pemda. Kalaulah ada, skema pembinaan lebih sebagai
bentuk pemberian hukuman, jauh dari upaya pemberdayaan.
Kita tentu berharap desain baru kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah bukan hanya
berorientasi tambal sulam namun dapat menjadi kerangka bagi upaya akselerasi
pemerataan pembangunan, meningkatkan daya saing dan mendorong kreativitas daerah
dalam meningkatkan akses serta kualitas pelayanan publik. Oleh karena itu, disamping
menegakkan sistem pendisiplinan yang juga perlu dibenahi adalah strategi pemberdayaan
dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Hal yang sama juga perlu dilakukan di

tingkat kementerian, karena harus diakui bahwa lokus persoalan tidak hanya terletak di
daerah tetapi juga pada pemerintah pusat.#
Arie Ruhyanto, MSc
Staf Pengajar
Departemen Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada