BAB11 ANALISIS KASUS TRAFICHKING Sumiati

BAB11
ANALISIS KASUS TRAFICHKING

Sumiati sudah menikah punya 2 anak, umurnya sekitar 25 tahun. Dia pergi keBatam ikut “joker”
dengan membayar sejumlah uang. Suaminya tahu persis apa pekerjaan istrinya di Malaysia nanti.
Dan ifarnyalah yang menginformasikan pekerjaan itu, bahkan suaminya memaksa istrinya untuk
melakukan hal itu. Karena mereka tidak punya pekerkaan lain selain itu. Sedangkan kakak
iparnya berhasil mengumpulkan uang dengan mudah dan cepat dari hasil pekerjaan seksualnya.
Proses recuitingnya oleh joker yang ternyata sudah kenal betul dengan kakk perempuannya,
diantar ke Batam. Di batam ada joker berikutnya yang sudah siap mengantarnya keMalaysia,
sampai di Malaysia lalu diserahkan kepada joker yang ditempat tersebut.
Sumiati pergi ke Malaysia tidak menggunakan dokumen, o;eh karena itulah dia harus transit di
Batam dan menggunakan speed-boat untuk mencapai pantai di Malaysia. Kemudian menuju
tempat yang dituju dengan jalan kaki.
Di Malaysia Sumiati beserta 2 orang temannya dibawa kepinggir hutan, disuruh melayani para
TKI laki-laki yang non dokumen. Biasanya semalam mereka dipaksa untuk melayani sekitar 2540 orang pelanggan dengan dibayar 10 ringgit perorang. Sumiati tidak tahu berapa yang diterima
oleh jokernya, pokoknya perorang dia hanya diberi 10 ringgit. Mereka melakukan itu sampai 6
bulan. Dan dalam waktu 5 bulan dia sudah bias pulang uang yang sangat banyak dan juga
mampu membangun rumahnya. Rumah yang tadinya dari bamboo kini dibangun menjadi rumah
mewah. Pada kepergian yang keduanya dia sudah punya mobil. Setelah punya mobil, karena
merasa tidak enak dengan bisik-bisik tetangga, maka suami juga pergi ke Malaysia.

Contoh kasus seperti yang dialami oleh tiga bersaudara yaitu, Hasanah-2, Dewi-8, Lastri-11th
adalah sebagian contoh kecil dari masalah trafficking di Indonesia. Mereka selalu diberikan
motivasi oleh ibu kandungnya untuk melakukan semua itu sehingga secara tidak sadar mereka
sebenarnya telah dijadikan budak oleh ibu kandungnya sendiri. Sedangkan kasus yang kedua
adalah salah satu bentuk eksploitasi seksual dengan modus penipuan karena iklannya adalah
lowongan kerja bagi perempuan, muda, berwajah menarik, dsb yang akan dikirim ke Jepang
untuk kunjungan seni budaya dengan penghasilan yng tinggi dan hanya 6 bukan. Ternyata
dipekerjakan di club-club malam yang siap melayani berbagai pelanggan. Adapun suami dan
saudaranya yang mendorong korban untuk memasuki dunia tersebut, jadi ebenarnya mereka
merupakan pihak yang turut serta membawa korban kedunia pelacuran. Dan akhirnya, secara
psikologis korban akan banyak mengalami gangguan mental jika tidak segera diberi bimbingan
yang khusus terhadap mereka.

Adapun elemen Kunci dari masalah trafficking ini adalah:


Rekruitmen




Tranportasi (Pengankutan/Pemindahan)



Transfer / Alih Tangann



Penampungan



Penerimaan

Masalah trafficking ini biasanya menggunakan cara:


Ancaman




Pemaksaan



Penyalahgunaan Kekuasaan



Penculikan



Penipuan



Penguasaan atas Korban ( Pembiusan)

Sedangkan bentuk pekerjaan perempuan dan anak menurut tujuan/jenis pekerjaan



Perdagangan Perempuan dan anak untuk buruh industri



Untuk Pekerja domistik didalam dan di luar negeri



Dipekerjakan sebagai Pengemis di dalam negeri



Untuk peredaran narkotika di dalam negerii



Untuk dipekerjakan di sebagai pekerja di tempat-tempat hiburan di dalam dan luar negeri




Untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks di dalam dan luar negeri



Sebagai konsumsi pedofil di dalam dan luar negeri



Dalam bentuk “perkawinan-transnasional” diluar negeri (mail order bride)



Untuk tujuan adopsi palsu di dalam dan luar negeri

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA MASALAH TRAFFICKING

Maraknya isu perdagangan perempuan & anak ( Trafficking ) dewasa ini diawali dengan semakin
meningkatnya migrasi tenaga kerja baik antar daerah, wilayah maupun Negara memasuki sector

informal maupun pekerjaan rumahan. Sektor ini sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak
yang berumur di bawah 18 tahun. Penyebab yang mendorong trafficking di Indonesia adalah:
Kemiskinan, terbatasnya akses dan kesempatan kerja, kekerasan dalam rumah tangga, kepatuhan
anak terhadap orangtua ( yang terdesak secara ekonomi), konflik sosial dan peperangan serta
lemahnya penegakan hokum, serta perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri
serta krisis ekonomi yang tidak berkesudahan.
Kondisi ini tidak saja dialami oleh Indonesia. Laporan Survey dunia IV tentang perempuan dan
pembangunan (1999) menyebutkan bahwa banyak Negara berkembang di Asia, seperti Vietnam,
Laos, Sri Langka, Thailand, dan Philipina mengalami hal yang sama, sebagai akibat
ketidakpastian dan ketidak mampuan menghadapi persaingan bebas dari konsep liberalisasi
ekonomi di era globalisasi yang mempunyai dampak yang cukup kompleks terutama terhadap
peningkatamn peran dan kedudukan perempuan dalam bidang ekonomi baik pada tingkat
nasional maupun internasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KETENTUAN UMUM


Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
2. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

3.Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi,
dan/atausosial,yangdiakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
4.SetiapOrangadalahorangperseoranganataukorporasiyangmelakukantindakpidanaperdagangan
orang
5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan

6. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan

badan hokum maupun bukan badan hukum
7. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak
terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan,
penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan
hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan
tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil
maupun
immateriil.
8. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh
lain dari korban untuk endapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua
kegiatan pelacuran dan percabulan.
9. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau
memisahkan seseorang dari Keluarga atau komunitasnya.
10. Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat
ketempat lain.
11. Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan
sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya baginyawa,badan,atau
menimbulkanterampasnyakemerdekaanseseorang12Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan
secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan
atau tanpa menggunakan sarana yang mengekang kebebasan hakiki seseorang


13. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil
yangdideritakorbanatauahliwarisnya.
14. Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosial agar
dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat.

15. Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan
menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang
menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.

BAB II
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Pasal 2
(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari

orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di
wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi,
maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 3
Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud
untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 4
Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia
dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 5

Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan
sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).

Pasal 6
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun
yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
Pasal 7
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular
lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi
reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam
Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
Pasal 8
(1) Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan
terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,Pasal 3, Pasal
4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam
Pasal 2,Pasal 3,Pasal 4,Pasal 5,dan Pasal 6

(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana
tambahanberupapemberhentiansecaratidakdenganhormatdarijabatannya.
(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam amar
putusan pengadilan.
Pasal 9
Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana
perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus
empat puluh juta rupiah).

Pasal 10
Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
Pasal 11
Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
Pasal 12
Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang
dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana
perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan
praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal
5, dan Pasal 6.
Pasal 13
(1) Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau
untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak
dalam
lingkungan
korporasi
tersebut
baik
sendiri
maupun
bersama-sama.
(2) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
Pasal 14
Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan
surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi
itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.
Pasal 15
(1) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud
dalamPasal2,Pasal3,Pasal4,Pasal5,danPasal 6
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan
pidana tambahan berupa:
a.pencabutan izin usaha
b.perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
c.pencabutan status badan hukum;
d.pemecatan pengurus;dan/atau
e. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang
sama.
Pasal 16
Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka
setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 17
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap
anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 18
Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan
orang, tidak dipidana.

BAB 1
ANALISIS KASUS TERORISME

Analisis Terorisme yang dilakukan Amrozi CS Kaitannya dengan Tindak Pidana
Terorisme sesungguhnya bukanlah fenomena baru karena terorisme telah ada sejak abad ke- 19
dalam peraturan politik internasional. Terorisme pada awalnya bersifat kecil dan local dengan
sasaran terpilih dan berada dalam kerangka low intensity conflict, pada umumnya berkaitan erat
dengan stabilitas domestic suatu Negara.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang
menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama di dunia ini. Terorisme
dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana
kelompok-kelompok terorisme yang beroperasi diberbagai Negara telah terkooptasi oleh suatu
jaringan terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama satu
sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung (support
infrastructure).
Pada dasarnya, istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang
sangat sensitive karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan
terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Tidak ada Negara yang ingin dituduh mendung
terorisme atau menjadi tempat perlindungan bagi kelompok-kelompok terorisme. Tindak Pidana
Terorisme merupakan tindak pidana murni (mala perse) yang dibedakan dengan administrative
criminal law (mala prohibita).
Di Indonesia terjadi beberapa kali pengeboman dengan modus yang hampir sama. Bom Bali I
tahun 2002, bom J.W. Marriot pada 2003, bom Kuningan tahun 2004, bom Bali II tahun 2005,
bom Palu tahun ini, dan serentetan kejadian mengenaskan lainnya adalah sebagian bukti bahwa

kejadian serupa sudah sampai di bumi Indonesia. Dengan terjadinya peledakan bom di Sari Club
dan Peddy’s Club Kuta Legian Bali 12 oktober 2002 lalu telah mendorong pemerintah
menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) guna mengisi kekosongan
hukum (Rechtsvacuum) tentang pemidanaan kejahatan terorisme. Pemerintah melalui presiden
Megawati bahkan langsung menerbitkan dua Perpu, yakni Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan kasus peledakan bom Bali. Setahun kemudian Perpu No. 1 Tahun
2002 disahkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
Undang-Undang inilah yang akhirnya menjerat tindakan kejahatan terorisme yang dilakukan
Amrozi dan kawan-kawan hingga akhirnya pada 9 November 2008 lalu mereka dieksekusi mati.

Bom Bali yang dilakukan oleh Amrozi cs terjadi pada tahun 2002
Sedangkan UU Terorisme baru di undangkan tahun 2003 padahal dalam asas pidana, hukum itu
tidak berlaku surut. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 KUHP
Kutip dari : Pasal 1 KUHP
1. Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada.
2. Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka
terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Dengan adanya ketentuan diatas, seharusnya Amrozi cs dijerat dengan Pasal 340 KUHP yaitu
pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal hukuman matibukan dengan UU Terorisme.
Walaupun sama2 diancam dengan hukuman maksimal hukuman mati, seharusnya dia dihukum
mati dengan Pasal 340 KUHP, bukan dengan UU Terorisme.
Kalau menurut saya hukuman mati ini pantas dijatuhkan kepada Amrozi cs karena ia tidak
menyesal melakukan perbuatan itu, adanya tuntutan dari pihak keluarga korban, dia
menghilangkan nyawa orang lain dengan mudahnya. Tindakan Amrozi itu bukan-lah jihad,
karena jihad itu tidak membunuh membabi buta Dalam peperangan, Islam melarang untuk
melukai wanita dan anak-anak. Bom yang mereka lakukan itu telah membunuh banyak wanita.
jadi tindakan mereka murni kejahatan . Kejahatan yang dilakukan Amrozi CS itu pembunuhan
berencana, disertai mutilasi. pembunuhan berencana atau mutilasi saja bisa diganjar hukuman
mati apalagi keduanya.
Terorisme memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga pandangan
mengenai terorisme seringkali bersifat subjektif. Dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 sebenarnya
terdapat pasal-pasal yang sangat riskan melanggar HAM yaitu Pasal 46 tentang Asas Retroaktif.
Kemudian pada Bulan Juli 2004 MK menyatakan bahwa UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme pada
peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 tidak memiliki kekuatan yang mengikat.

1. Analisis Terorisme yang dilakukan Amrozi CS Kaitannya Dengan Kausalitas
Secara Ontologi hakikat keberadaan terorisme adalah memiliki hubungan kausalitas dengan
manusia, artinya manusia sebagai sebab adanya terorisme. Dapat juga dikatakan bahwa hakikat
subjek pelaku terorisme adalah manusia sendiri sebagai makhluk Tuhan. Terorisme yang
dilakukan Amrozi CS, dapat dianalisis menggunakan teoti Conditio Sine Qua Non atau Teori
Ekivalensi, karena kasus terorisme ini memiliki hubungan kausal yang akan membentang Luas
Tetapi hal itu harus ada batasanya. Sebagai gambaran bahwa perbuatan terorisme akan
memunculkan berbagai macam dugaan dari orang yang membuat bom, orang yang melakukan
tindakan pengeboman, sampai pada orang yang menjadi otak/dalang pengeboman tersebut. Teori
ini akan memberikan batasan-batasan sampai mana keterkaitan seseorang terhadap perbuatan
terorisme yang dilakukan. Teori ini juga bisa digunakan untuk mengoreksi perbuatan terorisme
dengan ajaran kesalahan.

Analisis Terorisme Kaitannya dengan Sifat Melawan Hukum
Dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dijelaskan
secara tegas bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan
maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi
badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum
atau suasana teror atau rasa tacit terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran
terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral,
peradaban, rahasia Negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian,
fasilitas umum, atau fasilitas internasional.
Dalam hal ini, Amrozi CS Telah melakukan tindak pidana sesuai dengan UU No. 15 Tahun
2003. Pengertian yang berkaitan dengn terorisme diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya
terorisme adalah kekerasan terorganisir, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode
berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan.
Menurut Rajagukguk dan Khairandy, Delik atau perbuatan pidana terorisme adalah perbuatan
yang melawan hukum yang melanggar ketentuan pidana terorisme, yaitu melakukan perbuatan
yang berkaitan dengan kejahatan terorisme. Didalam undang-undang tindak pidana terorisme ada
dua delik yaitu delik materil dan delik formil. Delik materil adalah delik atau perbuatan pidana
yang rumusan perbuatan yang dilarang ditujukan pada penimbulan akibat, sedangkan delik
formil adalah delik yang teknik perumusan perbuatan yang dilarang ditujukan pada perbuatan
yang secara nyata memenuhi unsure-unsur delik
Sanksi hukuman untuk pelaku tindak pidana terorisme diatur tersendiri, karena perbuatan
terorisme sangat luas sekali pengertiannya yaitu termasuk perusakan lingkungan hidup.
Termasuk juga perbuatan terorisme sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 6 UU No. 15 Tahun
2003. Pasal-pasal yang secara tegas merumuskan kata “dengan sengaja” ditegaskan dalam pasal

6, pasal 7, pasal 8 huruf c, huruf e, huruf f, huruf I, huruf m, dan huruf n, pasal 10, pasal 11,
pasal 12, pasal 13, dan pasal 22. Sedang kata “karena kealpaan” dirumuskan secara tegas dalam
pasal 8 huruf d, dan huruf g.

Analisis Terorisme Kaitannya dengan Pertanggung jawaban pidana
Dalam hal pertanggung jawaban pidana unsur yang paling fundamental adalah unsure kesalahan,
sebab seseorang atau kelompok tidak dapat dikenakan suatu pertanggungjawaban kalau tanpa
adanya suatu kesalahan. Kaitannya dengan tindak pidana terorisme tentunya kesalahan yang
berkaitan dengan pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme berarti perbuatan yang melanggar hukum pidana terorisme.
KUHP menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan apabila ia melakukan
tindak pidana dengan kesengajaan atau kealpaan. Pada prinsipnya, perbuatan yang dapat
dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, kecuali peraturan perundangundangan menentukan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan
dapat dipidana. Undang-undang Terorisme merumuskan kesalahan (dalam arti sempit yaitu
adanya kesengajaan dan kealpaan) secara lengkap. Dengan kata lain Undang-undang Terorisme
mengatur tindak pidana terorisme yang dilakukan dengan cara sengaja maupun kealpaan. Dalam
hal ini Amrozi CS terbukti bersalah melakukan pengeboman, maka mereka layak mendapatkan
hukuman pidana mati