Kinetika perubahan mutu saribuah nenas dalam proses aseptik

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saribuah nenas rnerupakan salah satu produk khas buah tropika
yang berpotensi untuk rnendukung Pernbangunan Ekonomi Nasional
rnelalui peningkatan pendapatan sektor nonrnigas.

Hodgson dan

Hodgson (1993) melaporkan bahwa total perdagangan saribuah nenas
d i dunia rnencapai US$ 3,8 rnilyar, d i mana

Arnerika Serikat (USA)

sebagai irnportir terbesar senilai US$ 174 juta per tahun.
Menurut Hodgson dan Hodgsan (1 9 9 3 ) pula, Thailand, Filipina dan
Australia adalah eksportir utarna saribuah nenas, masing-masing
tahun 1991 rnemproduksi 86, 5 4 dan 44 juta ton.
dilaporkan belurn sebagai


Indonesia

pengekspor saribuah nenas, tetapi dinya-

takan berpotensi besar sebagai pengekspor berdasarkan dukungan
alam dan iklirnnya.

Hal ini didukung oleh data produksi buah nenas

lndonesia yang pada tahun 1 9 9 2 rnencapai 376,3 ribu t o n (BPS,
1994).

Ekspor

nenas

kalengan

dalam


sepuluh

tahun

rneningkat rata-rata 26 persen (Haryanto dan Hendarto,

terakhir
1996),

dengan nilai ekspor tahun 1 9 9 5 sebesar US$ 60 juta (BPS, 1996).
lndustri saribuah nenas d i Indonesia saat ini telah ada yang
rnenggunakan proses aseptik.

Optirnasi proses masih

rnengingat proses saribuah nenas tersebut

diperlukan

urnumnya dirancang


berdasarkan pengalarnan proses aseptik bagi produk yang lebih dahulu
diperdagangkan dalarn kernasan aseptik
susu dan sebagainya). Saribuah

(saribuah jeruk, gula-asarn,

nenas berbeda dengan produk

produk tersebut, selain berbeda dalam ha1 kornposisi bahannya,
saribuah nenas juga bersifat lebih asam dengan p H 3,7 (Mehrlich dan
Felton, 1980).
Optimasi dan pengembangan proses memerlukan informasi model
dan parameter kinetika, khususnya yang berkaitan dengan bahan yang
diproses

maupun

-


proses

yang

digunakan.

lnformasi

kinetika

berrnanfaat untuk pembuatan model optirnasi dan perencanaan proses
(Lenz dan Lund, 1980). Optirnasi proses dengan program linier selarna
ini dilakukan dengan basis pendekatan model Bigelow, sehingga
terjadi bias jika perubahan m u t m y a tidak mengikuti model kinetika
orde kesatu. Untuk menghindari kelernahan tersebut perlu dibuat
terobosan baru yang memungkinkan optimasi proses yang dapat
menampung

berbagai model


kinetika

perubahan mutu.

Metoda

optimasi proses berbasis kinetika reaksi kimia dengan pendekatan
Arrhenius diduga dapat rnenampung model-model tersebut.
Dalam proses aseptik produk berasarn tinggi, seperti saribuah,
umurnnya dilakukan pemanasan dengan metode HTST 8 5 - 9 5 "C
selama 15-30 detik (Fardiaz, 1992).

Dengan waktu proses yang

singkat tersebut inaktivasi enzirn rnerupakan faktor pembatas (Toledo
dan Chang, 1990), karena pektinesterase saribuah jeruk belurn dapat
diinaktifkan seluruhnya dengan pemanasan 97OC 1 5 detik (Nikdel et

a/., 1993). Dilain pihak, waktu proses yang lebih panjang pada suhu
tinggi mengakibatkan kerusakan mutu saribuah,


seperti destruksi

asarn askorbat (Sadler, 1987) dan kecoklatan (Cohen et a/., 1994).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini inaktivasi enzim pektinesterase

digunakan sebagai salah satu dasar untuk optirnasi proses aseptik
saribuah nenas dengan rnenekan sekecil mungkin destruksi asam
askorbat rnaupun peningkatan kecoklatannya.
Proses aseptik pada bahan pangan berasam tinggi dengan HTST
pada dasarnya dirancang

untuk inaktivasi bakteri toleran asarn,

kapang dan kharnir (Cousin dan Rodriguez,

1 9 8 7 ) . Datam kondisi

anaerob produk aseptik dengan Aw dan keasarnan tinggi,


bakteri

berpeluang lebih besar rnerusak saribuah nenas dibandingkan kapang
dan kharnir.

Lactobacillus sp. merupakan bakteri toleran asarn yang

diternukan dalam buah nenas (Hodgson dan Hodgson, 1 9 9 3 ) , marnpu
hidup pada

p H 3,5-4,O (Parish dan Higgins, 1 9 8 8 ) , dan terrnasuk

golongan bakteri mikroaerofiiik sampai anaerobik. Dalarn saribuah
nenas bakteri tersebut dapat rnenyebabkan kerusakan flavor, tekstur
dan penarnpakan saribuah.

Selama ini,

Lactobacillus sp. telah


digunakan sebagai indikator dalarn pasteurisasi saribuah jeruk dan
konsentratnya, karena peranan bakteri tersebut yang marnpu hidup
dan rnerusak saribuah jeruk.(Nagy, etal., 1 9 7 7 ) .
Proses aseptik saribuah nenas diharapkan dapat rnernpertahankan
rnutu saribuah nenas di sarnping rnenjamin keamanannya dengan
menginaktivasi rnikroba dan enzirn yang tidak dikehendaki. Proses
aseptik dapat mernperkecil kerusakan m u t u yang lazim terjadi dalam
proses konvensional, walaupun rnasih dimungkinkan terjadi kerusakan
rnutu akibat proses suhu tinggi (Sadler, 1 9 8 7 ) .
Perubahan rnutu produk aseptik dalam masa penyimpanan banyak
dilaporkan (Sedler, 1987; Kacem et a/., 1987; Kanner et al.,1982),

tetapi jarang yang mengungkap perubahan mutu saribuah dalam
proses aseptiknya sehingga optimasi proses relatif sulit dilakukan
karena keterbatasan data kinetika.

Dalam penelitian ini dipelajari

kinetika perubahan mutu saribuah nenas, yang meliputi perubahan
indeks


kecoklatan,

kadar

asam

askorbat

dan

inaktivasi

enzim

suhu

tinggi

sebagian


besar

pektinesterase.
Kecoklatan

akibat

pemanasan

disebabkan karena terjadi degradasi gula, yang ditandai dengan
adanya produk antara lain seperti hidroksimetilfurfuraI (HMF) dan
furfural (Sadler, 1987).
diteliti

Oleh karena itu dalam penelitian ini juga

mengenai perubahan gula dan HMF serta furfural dalam

saribuah nenas.

Proses aseptik pada dasarnya merupakan suatu proses yang
bersifat kontinu, oleh karena itu sifat reologi yang berupa viskositas
dan perilaku aliran berpengaruh terhadap kecepatan aliran bahan dan
pendugaan waktu proses (Lund, 1987).
dalam

proses tersebut diduga

Penggunaan suhu tinggi

mempengaruhi viskositas,

perilaku dan sifat aliran saribuah nenas dalam

indeks

proses aseptik,

sehingga penting untuk diteliti.

1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini ialah untuk mempelajari model
dan parameter kinetika perubahan mutu saribuah nenas dalam proses
aseptik, dan penggunaan datanya untuk optimasi proses tersebut.

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mempelajari:
a. Reologi saribuah nenas pada suhu tinggi, yang berupa viskositas,
indeks perilaku dan sifat alirannya, serta penggunaannya dalam
rancangan proses aseptik saribuah nenas.
b. Pengaruh w a k t u proses aseptik terhadap kadar gula, HMF dan
furfural saribuah nenas.
c. Kinetika perubahan mutu fisiko-kimia saribuah nenas dalarn proses
aseptik yang mencakup:
1. Kinetika perubahan kadar asam askorbat.

2. Kinetika perubahan warna saribuah nenas yang diukur
dengan indeks kecoklatannya.

--

d. Kinetika inaktivasi enzim pektinesterase saribuah nenas dalam
proses aseptik.
e. Mengembangkan metode formulasi model perubahan mutu dan
evaluasi kondisi optimum yang dapat digunakan untuk optimasi
dengan program linier.

f. Mengembangkan rnetode optimasi proses dengan program linier
berbasis model kinetika perubahan mutu dengan pendekatan
Arrhenius, untuk memperoleh suhu dan waktu optimum proses
aseptik saribuah nenas.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Saribuah Nenas
2.1.1. Sifat Umum dan Pembuatan Saribuah
Nenas

terrnasuk kategori tanarnan tropis

yang

sangat cocok

dikembangkan di Indonesia (Pracaya, 1985). Daerah-daerah
tensi

untuk produksi nenas terutarna

berpo-

adalah wilayah Jawa Barat,

Sumatra Bagian Selatan dan Tengah, dan Jawa Tirnur (BPS, 1994).
Kualitas buah nenas tergantung antara lain dari varietas, nutrisi,
kontak dengan cahaya, intensitax cahaya, fluktuasi suhu lingkungan,
kernatangan dan penyakit (Mehrlich dan Felton, 1980).

Kornposisi

kimia buah nenas pada urnurnnya adalah air 80-85 persen, kandungan
gula 12-15 persen (dua pertiganya adalah sukrosa, sisanya glukosa
persen asam, 0,l persen

dan fruktosa), protein 0,4 persen, 0,6

lernak, dan sisanya berupa serat dan berbagai jenis vitamin (Samson,
1980).
Pernbuatan

saribuah pada prinsipnya berlangsung

rapa tahap, antara lain pernilihan bahan baku,
pengepresan kedua, blending, dan diakhiri
pengernasan (Mehrlich

dan

Felton,

dalarn bebe-

pengepresan kesatu,

dengan pemanasan dan

1980).

Variasi pernbuatan

saribuah nenas dirnungkinkan, tetapi pada dasarnya rnasih dalarn
kerangka tahap-tahap tersebut di atas. Cairan yang diperoleh dari
ekstraksi atau pengepresan nenas disebut single strength

(SS)

saribuah nenas. Single strength (SS) didefinisikan sebagai saribuah
nenas yang rnempunyai sifat fisiko-kirnia yang sesuai dengan saribuah
perolehan langsung dari buah tanpa perlakuan apapun kecuali ekstrasi

atau pengepresan. Sebutan saribuah tanpa keterangan apapun berarti
SS (single strength) yang mempunyai total padatan terlarut antara
delapan sampai 1 5 "Brix (Hodgson dan Hodgson, 1993).

2.1.2. Mutu dan Kearnanan Saribuah
M u t u didefinisikan sebagai kelompok sifat atau faktor yang
membedakan tingkat pemuas atau aseptabilitas dari suatu komoditas
bagi pembeli atau konsumen

(Kramer

1966;

Soekarto,

Komoditas saribuah nenas yang diperdagangkan harus
persyaratan m u t u atau standar yang ditetapkan.

1990).

memenuhi

Codex Alimentarus

Commission FAOIWHO ( 1 9 9 6 ) telah merekomendasikan standar
mutu saribuah

nenas

(tampiran 1),

yang

nenas mempunyai total padatan terlarut

mensyaratkan saribuah

minimal 1 0 "Brix

dengan

warna, flavor dan penampakan umum tidak menyimpang dari keadaan
umum saribuah nenas yang biasa dikenal orang.
Warna, flavor dan penampakan saribuah nenas pada umumnya
ditentukan secara subyektif, dan merupakan
--

bagian pokok yang

dicermati dalam menjamin standar saribuah nenas (Hodgson dan
Hodgson, 1993).

Batasan standar m u t u secara obyektif terhadap

penampakan urnum, warna maupun

flavor saribuah nenas hingga

saat ini belum disebutkan secara eksplisit.
Standar saribuah nenas dari Codex di atas yang tegas diukur
secara

obyektif adalah padatan terlarut,

kadar etanol,

anti busa,

kadar cemaran logam berat, dan bebas dari mikroba yang mampu
hidup pada kondisi penyimpanan normal (Lampiran 1). Asam askorbat

tidak dicanturnkan dalarn rekornendasi rnutu saribuah nenas oleh
Codex, narnun dalam persyaratan urnurn produk akhir saribuah secara
urnurn oleh Codex disebutkan harus mengandung asarn askorbat
minimal 400 rnglkg (Codex, 1992).
Berdasarkan standar
tersebut

diatas,

rnaka

dari Codex
rnutu

(1992) dan Codex

saribuah

nenas

(1996)

dipertimbangkan

berdasarkan berbagai jenis parameter rnutu secara fisik, kirnia dan
biologis.

Dalarn rnernpelajari pengaruh proses terhadap rnutu pangan

urnurnnya tidak semua parameter rnutu diukur,

tetapi hanya diukur

satu atau beberapa parameter yang disebut indeks mutu.

lndeks

rnutu diharapkan dapat rnernberikan garnbaran parameter rnutu lain
sebanyak-banyaknya baik yang biasa dinilai secara subyektif rnaupun
secara obyektif.
Warna, indeks kecoklatan, kadar asarn askorbat, dan kadar gula
pernah digunakan sebagai indeks rnutu dalarn pernbuatan konsentrat
nenas (Braddock dan Marcy, 1985). Warna merupakan indeks rnutu
penting, karena terlihat konsurnen lebih awal.

Warna dan kadar gula

dapat rnencerrninkan penerimaan konsumen terhadap saribuah nenas
dari konsentrat,

dengan model pendugaan yang dinyatakan Fontana

et a/. (1993) sebagai berikut:

di rnana:

P : Penerirnaan konsurnen pada saribuah nenas, dengan skor

0-9(sangat tidak diterirna - sangat diterima).

dG: Perubahan glukosa (%)
dR: Perubahan gula pereduksi (%)
dHunter-L: Perubahan skala warna Hunter-L (%)

Kadar asarn askorbat bukan hanya sering digunakan sebagai
indeks

rnutu saribuah tetapi juga produk bahan pangan lain yang

diolah dengan panas dan disimpan.

Hal ini karena asarn askorbat

rnerupakan zat gizi yang relatif sensitif pada pernanasan (Lund, 1 9 7 7 )
dan mengalarni kerusakan akibat oksidasi rnaupun enzirnatis dalarn
penyimpanan (Labuza, 1982). Penurunan kadar asam askorbat yang
besar merupakan suatu peringatan kernungkinan terjadinya kerusakan
zat gizi lainnya akibat pernanasan maupun selarna penyirnpanan.
lndeks kecoklatan sering digunakan sebagai indikator rnutu untuk
rnenyatakan warna saribuah,
dan Lozano, 1984;

rnisalnya pada saribuah ape1 (Toribio

Bayindirli et a/., 19951,

saribuah wortel (Sirns

et a/., 1993), saribuah nenas (Wirakartakusurnah et a/., 1995) dan
berbagai jenis saribuah jeruk (Kanner et
Sarnaniego,

1986; Cohen et a/., 1994).

a/.,

1982; Robertson dan

lndeks kecoklatan banyak

digunakan sebagai indikator rnutu, karena sensitif dan rnudah diukur
juga

mempunyai

cakupan

parameter

menyatakan penampakan warna.

rnutu

yang

has,

selain

Misalnya, indeks kecoklatan dapat

merupakan indikasi telah terjadinya serangkaian reaksi perubahan
mutu yang rnelibatkan banyak kornponen pangan (Saper,

1993),

berkaitan dengan pembentukan furfural atau HMF, perubahan flavor,
dan gula (Lee dan Nagy, 1988131, dan berkaitan dengan zat gizi

lainnya seperti asarn amino dan asarn askorbat (Sadler, 1987). lndeks
kecoklatan umurnnya diukur secara spektrofotornetrik dan dinyatakan
dengan satuan nilai absorbansi pada 420nrn (Meydav et a/., 1977).
Penarnpakan saribuah nenas secara urnurn bersifat cloudy (tidak
jernih atau tidak transparan), tetapi jika terjadi pengendapan partikel
akan menjadi jernih sehingga rnenyirnpang dari standar Codex. lndeks
rnutu

yang

dikaitkan

dengan

ha1 ini adalah

inaktivasi

enzirn

pektinesterase dan telah digunakan sebagai indeks rnutu dalarn
pasteurisasi saribuah jeruk (Holland et a/., 1976).
Menurut standar Codex (19961, saribuah nenas harus bebas dari
mikroorganisme
normal.

yang

dapat

Dengan p H 3,5-3,7,

hidup dalarn

kondisi penyimpanan

bakteri patogen tidak mernproduksi

racun bahkan tidak dapat hidup dan rnikroba yang berpeluang besar
hidup pada saribuah tersebut adalah jenis Lactobacil/us, bakteri asam
Iaktat,

kapang

dan

khamir

(Cousin

dan

Rodriguez,

1987).

Lactobacillus telah digunakan sebagai indeks m u t u dalarn proses
pengolahan saribuah

jeruk (Nagy et

at., 1977), konsentrat pasta

tomat (Villari et a/., 1984) dan mikroba indikator daalam rancangan
proses HTST dengan oven gelombang rnikro (Nikdel et al., 1994).

2.1.2. Aspek Fisiko-kimia Saribuah
Saribuah nenas rnempunyai kandungan padatan terlarut rata-rata

12 "Brix, dengan nilai indeks kecoklatan antara

0,080-0,105

unit

absorbansi pada 4 2 0 n m (Braddock dan Marcy, 1985). Berdasarkan
sifat fluidanya, saribuah nenas terrnasuk dalarn fluida Newtonian dan

diatas 22"Brix berubah menjadi pseudoplastik jika padatan terlarutnya
bertambah (Hodgson dan Hodgson, 1993).
Saribuah nenas mengandung sukrosa 8-10 g1100g. glukosa 1,7
g l 1 OOg,

fruktosa

0,7-1,8

g1100g dan asam askorbat

mgI100rnL (Braddock dan Marcy,
relatif stabil, berkisar

antara

1985).

3.3-3.7,

3,3-5,3

Nilai p H saribuah nenas

dengan

kandungan

asam

nonvolatil yang didominasi asam sitrat dan malat (Singleton dan
Gortner, 1965).

Dalam saribuah nenas juga terdapat lebih dari 45

senyawa .volatil, seperti aldehida, ester dan turunannya,
senyawa

furan dan turunannya, furfurai dan

senyawa-

hidroksimetilfurfural

(Flat dan Forrey, 1970).
Mehrlich

dan Felton (1980) juga melaporkan

adanya

mineral dan vitamin dalam saribuah nenas. Kalsium, fosfor,

sejumlah
magne-

sium dan potasium terdapat lebih dari 8 mgllOOg, sedangkan niasin
dan asam pantotenat masing-masing 0,29 dan 0.16 mg1100g. Nenas
juga dilaporkan mengandung sejumlah pigmen klorofil, karotenoid dan
antosianin (Gortner, 1965).

2.1.3. Aspek Biokimia dan Mikrobiologi Saribuah
Aspek biokimia nenas yang menonjol dibanding buah-buahan
lainnya adalah ketersediaan enzim bromelin.

Hasil penelitian Gortner

dan Singleton (1965) menunjukkan bahwa lebih dari 5 0 persen
protein nenas berupa enzim protease (bromelin).
saribuah nenas lebih dari 2 0 jenis (Tabel 1)

Asam amino dalam
yang didominasi oleh

aspargin, alanin, serin dan glisin (Hodgson dan Hodgson, 1993).

Tabel 1 .

Kadar asam amino dalarn saribuah nenas
(Hodgson dan Hodgson, 1993)
-

No. Narna Asarn Amino

Alanin
Alpha-aminobutirat
Gamma-aminobutirat
Arginin
Asparagin
Aspartat
SisteinISistin
Jenkolat
Etanolamin
Glutamat
Glutamin
Glisin
Histidin
Isoleusin
Leusin
Lisin
Metionin
Phenilalanin
Prolin

20.

Serin

21.

Threonin

22.

Tirosin

-

Konsentrasi tppm)

Enzim peroksidase juga dijumpai pada nenas muda,

tetapi

keberadaannya rnenurun terus pada proses pematangan buah.

Selain

peroksidase, dalam

buah nenas

juga

dilaporkan terdapat poliga-

lakturonase, fosfatase, oksidase dan dehidrogenase (Gortner dan
Singleton, 1965).
dalam proses

Beberapa

jenis enzim dapat menjadi

masalah

bahan pangan berasam tinggi, antara lain :

lipase,

fenolase, lipoksigenase, katalaso, peroksidase, pektinase, oksidase,
Pektinase,

dan

dan fosfatase.

fosfatase

berpengaruh

golongan

buah secara alami tgrdapat enzim pektinesterase yang

pada

peroksidase,

protease

protease,

mutu produk

(Sadler, 1987). Pada

keadaannya bervariasi tergantung jenisnya (Reed, 1975).
Pektinesterase adalah golongan enzim pektinase yang mengkatalisis

deesterifikasi hidrolitik

tanpa gugus metoksil.

pektin sehingga membentuk

Menurut Kulp (1975),

pektin

enzim pektinesterase

tidak hanya diproduksi oleh tanaman, tetapi juga diproduksi mikroba
seperti Fusariurn sp., Clostridium sp. dan sebagainya.
Mikroflora

yang

mungkin terdapat

dalam

produknya, antara lain berupa bakteri seperti

buah

nenas

Clostridium paste-

urianum, Lactobacillus plantarum, Leucostoc mecenteroides,
beberapa jenis bakteri
Clostridium

grampositif yang

dan

belum

dan

teridentifikasi.

pasteurianum tidak mampu hidup pada produk nenas

yang rnempunyai pH kurang dari 4,2 (Hodgson dan Hodgson, 1993).
Mereka

juga rnencatat

saribuah nenas

adanya sejumlah kapang dan khamir pada

yang dibuat dari konsentrat (Aw rendah), seperti:

Byssochlamys fulva dan Talaromyces flavus.

Khamir bersama sporanya dapat dieleminasi dengan rnudah
menggunakan pasteurisasi,

tetapi

kapang

yang

berspora

pernanasan lebih lama jika produk berupa konsentrat.

perlu

Kadar gula

yang tinggi dalarn konsentrat akan rneningkatkan daya tahan khamir
terhadap panas (Frazier dan Westhoff, 1978). Kapang lebih dorninan
pada jenis konsentrat, tetapi pada buah dan sayuran dengan Aw
tinggi, bakteri umumnya mengambil peran pertama merusak dalam
ferrnentasi, kemudian diikuti kapang dan kharnir (Gilliland, 1986).

2.2. Mekanisme Perubahan Mutu Saribuah
Perubahan

warna

dan flavor

saribuah

nenas

diduga akibat

degradasi gula, pemanasan dan penyimpanan (Mehrlich dan Felton,
1980). Perubahan rnutu saribuah menurut faktor penyebabnya yang
dorninan dapat terjadi akibat reaksi kimia, aktivitas biokirnia dan kerja
mikroba.

Berlandaskan indeks

mutu saribuah nenas yang diuraikan

dibagian 2.1 maka perubahan mutu saribuah nenas yang penting
dikemukakan rnekanismenya adalah kecoklatan dan perubahan gula,
degradasi asarn askorbat, perubahan mutu akibat aktivitas kerja enzim
dan mikroba.

2.2.1. Kecoklatan dan Degradasi Gula
Kecoklatan yang terjadi d i dalam bahan pangan rnerupakan produk
serangkaian reaksi yang rnelibatkan banyak senyawa, lebih kompleks
dari sekedar pembagian kecoklatan secara nonenzimatis dan enzimatis
(Saper, 1993). Kecoklatan nonenzimatis berdasarkan rnekanismenya

dibedakan atas empat golongan, yaitu kecoklatan akibat karamelisasi,
reaksi

Maillard,

degradasi

asam

askorbat

dan degradasi lipid

(Sadler, 1987).
Kecoklatan reaksi Maillard diawali oleh reaksi gula pereduksi
dengan

asam

amino

membentuk

glikosilamin,

yang

kemudian

membentuk produk Amadori. Selanjutnya terjadi reaksi-reaksi
pembentukan senyawa

antara

dan

hingga berakhir pada pembentukan

senyawa kecoklatan (Gambar 1).

Saat ini telah diketahui bahwa

produk Amadori dapat menjadi berbagai senyawa dengan melalui
berbagai senyawa antara sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 2
(Tressl et a/., 1994)
Sukrosa tidak terrnasuk gula pereduksi (BeMiller dan Whistler,
1996),

tetapi

dapat

menghasilkan fruktosa

dan glukosa

yang

merupakan gula pereduksi. Pembentukan produk antara berupa HMF
dalam Gambar 1 merupakan indikator kuat telah terjadi degradai gula
pereduksi seperti fruktosa dan glukosa tersebut (Sadler,

1987).

Akibat degradasi gula bukan hanya terbukanya peluang kecoklatan
reaksi Maillard, tetapi juga dapat menghasilkan berbagai senyawa,
sebagaimana diperlihatkan dalam Tabel 2.

Monosakarida

pada

pemanasan suhu tinggi dalarn suasana asam kuat dapat mengalami
dehidrasi,
1989).

hingga menjadi furfural seperti dalam Gambar 3 (Wong,
Dalarn ha1 ini baik

dapat menjadi l,2-enediol,

fruktosa maupun

glukosa sama-sama

dan kemudian melewati jalur yang sama

membentuk hidroksirnetilfurfural (HMF). Konversi dari gula ke HMF
itu berlangsung dalam empat tahap (Gambar 3).

16

+amin, -H20

Glikosilamin
rearangemen

1-amino-I -deoksi-2-ketosa

Basis Schiff,
HMFIFurfural

Redukton

Hasil fisi
(asetal, diasetil, dll.)

Dehidroredukton

HMF atau
furfural

Aldehid

+amin

Melanoidin
polirner dan kopolimer kecoklatan yang mengandung nitrogen

Garnbar 1. Kecoklatan reaksi Maillard (Hodge, 1 9 5 3 dan
Nursten, 1990; dalarn Apriyantono, 1992)

Y

3-deok-

Basa Schiff t---C2+C4

C l +C5 tsi-aldo-

11

2,3-Ened~ol

,
lntr F

S trecker

Keterangan:
K = ICll~CO,lI

R, =

c~rco,ii

"'-'"'

ktI(cli,)€..

I.

I /

j

reaksi kecoklatan

1
-

pH-Cn-E(H1
!
c=o

CH~-CH-NH,

OH

dopa

dopaquinon

I

HC-HzC-S

CH,-CH-NH)

I

I
c=o

c=o

I

OH

SH

c=o

5-S-sisteinildopa
Nb

I

OH

dopaquinon

sistein

,

CH2-CH-NY
c=o
.*

W2-CH-C=0

1

I

I

N&

OH

dopahidroquinon

I

OH

sistin

F

m;on
CHI-W-NH>

I

c=o
I

OH

dopaquinon

OH

asam askorbat

dopahidroquinon

+

0

asam dehidro
askohat

Gambar 6. Jalur penghambatan asam askorbat dan sistin
dalam penghambatan kecoklatan enzimatis
(Friedman, 1996)

2.2.3.2.Penjernihan Enzimatis
Saribuah nenas secara normal berpenampakan keruh (cloudy)
atau tidak jernihltransparan. Kekeruhan saribuah bukan hanya penting
dalarn penarnpakan saribuah, tetapi juga rnemberikan
dalarn

pengecapan

(mouthfeelness).

komponen utarna dalarn

Pektin

juga

citra khas
merupakan

mempertahankan penarnpakan kekeruhan

tersebut (Holland et at., 1976).
Kekeruhan saribuah dipertahankan oleh pektin koloidal dengan
rnempertahankan keseirnbangan strength dan jumlah

ikatan ion

logarn. Kesetirnbangan tersebut terganggu atau rusak oleh aktivitas
enzirn pektinesterase.

-

Pektinesterase dalarn ha1

ini rnengkatatisis

reaksi hidrolisis grup metoksi pada pektin sehingga
karboksil bebas (Garnbar 7).

rnenjadi grup

Peningkatan grup karboksil akan

rnengganggu strength dan jurnlah ikatan yang menjadi daya penstabil
pektin koloid untuk rnernpertahankan kekeruhan, sehingga dapat
menyebabkan pengendapan. lnaktivasi enzirn pektinesterase dalarn
saribuah olahan dipandang lebih penting dari enzirn fenolase.

Hal ini

disebabkan dampak yang ditimbulkan fenolase rnasih dapat terhenti
oleh senyawa dalarn produk seperti asarn askorbat dan sistein.

Pada

saribuah jeruk kerusakan rnutu akibat penjernihan atau hilangnya
kekeruhan

tersebut

umurnnya

dihindarkan

dengan

pektinesterase melalui pernanasan (Nagy et al., 1977).

inaktivasi

2.2.3.3.Kerusakan M u t u Akibat Kerja Mikroba
Keasaman saribuah nenas yang tinggi,

pH

33-3.7.merupakan

keuntungan tersendiri karena dengan p H kurang dari 3.9

mencegah

mikroba patogen dan sporanya untuk hidup. Proses pada saribuah
nenas diarahkan untuk membunuh sel vegetatif,

hingga dicapai

standar m u t u bebas dari mikroba sesuai rekomendasi Codex.
Lactobacillus merusak mutu saribuah, karena menimbulkan penyimpangan rasa dan bau, lebih tahan p H rendah dan relatif tahan
pemanasan dibandingkan mikroba dapat
lainnya.

3.6,

hidup pada

pH

rendah

LactobaciNos tersebut-masih dapat tumbuh baik pada p H

sedangkan

Leuconostoc sangat

lambat pertumbuhannya dan

baru membaik pertumbuhannya pada p H lebih besar dari 3,9 (Nagy
e t a/.,

1977).

lebih

banyak

Dominasi dan ketahanan panas kapang dan khamir
terjadi

pada

bahan

pangan

dengan

Aw rendah

(konsentrat), tetapi pada saribuah dan produk ber-Aw tinggi bakteri
lebih dominan (Labuza, 1982).
Kerusakan yang ditimbulkan oleh Lactobacillus terhadap saribuah
pada prinsipnya disebabkan oleh kegiatan metabolisme mikroba
tersebut agar dapat bertahan hidup. Kegiatan pokok
dalam hat

ini memfermentasi gula

sebagaimana terlihat di Gambar 8.

Lactobacihs

dan menghasilkan metabolit
Ketersediaan gula berkurang

akibat metabolisme akan mempengaruhi rasa dan flavor saribuah
bersamaan dengan gangguan metabolit terhadap keasaman dan
bahkan warna saribuah.

1

ruktoss
lukose

Fruktgsa-1,6P

Glukosa-6P
MDH
6P Ccukon~r

."*"
0'

i

"'I 0

UnH

X t ~ u ~ o sSP
r

+

i 2
h

v

2 T a ~ o r a3P

ATP

Tllosa-3P

+

::

A s r r r ~P

Aurrr

NADH

"5
IIG**lra.]

MD+

Jalur
Glikolitik

Jalur
Foefolitik

C

Garnbar 8. Jalur fermentasi g u l a o l e h b a k t e r i
L a c t o b a c i l l u s s. (Flamming 'et a/.. 1986)

2.3.Proses Aseptik
2.3.1. Prinsip Dasar
Proses (process) didefinisikan sebagai pemanasan terhadap bahan
pangan dalam waktu dan suhu tertentu yang ditentukan secara ilmiah
untuk mencapai kecukupan sterilisasi komersial (The Food Processor
Institute, 1988).

Proses aseptik adalah suatu

pemanasan secara

kontinu dalam tempo singkat dalam rangka sterilisasi (UHT) atau
pasteurisasi (HTST) bahan pangan diluar

kemasan.

Pengernasan

aseptik diawali dengan sterilisasi kemasan tanpa produk,

diikuti

dengan pengisian produk proses aseptik dan ditutup secara hermetis
dalam kondisi aseptik.

Hubungan antara

proses aseptik sangat erat,
pengertian

sebagai

tersebut,

sehingga sering dianggap sebagai satu

pengemasan

processing and packaging).

pengemasan aseptik dan

dan

proses

aseptik

(aseptic

Untuk menghindari kerancuan pengertian

Nelson et a/. (1 987) memberikan diagram sistem proses

dan pengemasan aseptik sebagaimana terlihat dalam Gambar 9.

Proses aseptik dan
pengantaran bahannya
Pengisian dan penutupan aseptik , dan

Sterilisasi kemasan dan
pengantaran kemasan

Gambar 9. Sistem proses aseptik

Keuntungan proses aseptik adalah tersedianya

peluang menggu-

nakan suhu lebih tinggi dibandingkan proses konvensional.

Dengan

suhu tinggi tersebut dan didukung oleh sistem kontinu, maka waktu
proses dapat diperpendek (Lund, 1987).
kenyamanan

produksi

dan desain

Keuntungan

lain adalah

kernasan, m u t u produk dapat

diharapkan lebih baik, dan relatif hemat energi (Toledo dan Chang,
1990).
Disamping
penggunaan
(pumpable)
bangkan

keuntungan
proses

diatas,

aseptik

yaitu

dan penentuan w a k t u

terdapat

keterbatasan

bahan harus
prosesnya

bersifat

dalam
fluida

perlu mempertim-

sifat aliran bahan. Berdasarkan pertimbangan

keamanan

pangan untuk masyarakat umum, maka waktu dan suhu proses yang
diperlukan untuk destruksi mikroba hanya dievaluasi
dibagian tempat

target pemanasan (holding tube)

isotermal (Toledo, 1986).

Waktu proses ditentukan

pada perioda
pada

berdasarkan

kecepatan maksimal fluida (Vrnax) sebagai berikut (Lund, 1987):

dimana:

0 : Waktu proses aseptik (detik)
L : Panjang holding tube (cm)
Vmax: kecepatan maksimal bahan (cmjdetik)

kondisi

Besar V ~ . X
dipengaruhi oleh profil atau distribusi kecepatan.

Vmax

untuk aliran laminer (bilangan Reynolds, Re, kurang dari 2100) fluida
Newtonian sebesar dua kali kecepatan rata-ratanya (V), sedangkan
untuk nonNewtonian diduga dengan model hubungan sebagai berikut
(Lund, 1987):

dimana:
V : kecepatan rata-rata fluida (cmldetik)
n : indeks perilaku aliran (tanpa satuan).

Bagi fluida yang bersifat turbulen baik fluida Newtonian maupun.
nonNetonian persamaan (2-2) diatas kurang tepat jika digunakan.
Dalam ha1 ini lebih tepat digunakan persarnaan Dodge dan Metzner
dengan menggunakan bilangan Reynolds urnum (generalized Reynolds
number, Re'). Palmer dan Jone (1976) telah menghitung rasio V/Vmax
dalam berbagai
sehingga
dilakukan.

nilai Re' sebagaimana terlihat dalam Gambar

pendugaan kecepatan maksimal bahan
Penggunaan informasi reologi dengan

lebih

10,

mudah

referensi suhu

kamar akan bias atau kurang tepat jika kenyataannya sifat tersebut
ternyata berubah pada suhu tinggi.

2.3.2.Sterilisasi dalam Proses Aseptik
Proses aseptik pada
aktivitas

mikroba yang

Namun demikian dalam

dasarnya dirancang untuk menghilangkan
tidak

dikehendaki dalam bahan pangan.

perkembangannya proses

dituntut untuk rnempertahankan mutu dan

tersebut juga

meningkatkan keawetan

produk dengan menginaktifkan enzim pengganggu (Toledo dan Chang,
1990).

Kecukupan

pemanasan

proses

aseptik

pada

dasarnya

diperhitungkan pada kemampuan sistem pemanasan (Lund, 1977),
dan rnikroba indikatornya menurut golongan p H bahan pangan yang
diproses (Cousin dan Rodriguez, 6 987).
Bahan pangan dikelompokkan dalam

tiga golongan berdasarkan

pH-nya, yaitu berasam rendah (pH lebih besar dari 4'61, asam (pH 4Penentuan waktu dan

4,6)dan berasam tinggi (pH kurang dari 4,O).
suhu dalam proses
yang

ditetapkan

pangannya.
dan

aseptik tergantung

berdasarkan

jenis

ketahanan

mikroba

panas

dan

indikator,
p H bahan

Stumbo (1 9 7 3 ) merangkum alternatif mikroba indikator

ketahanan panasnya

menurut golongan p H bahan pangan

sebagaimana terlihat dalam Tabel 3.
Pada

bahan pangan berasam rendah

mikroba indikator Clostridium
asam

umumnya

sporogenes PA3679, pada makanan

sering digunakan mikroba indikator jenis bakteri

seperti BaciNus coagulans atau
berasam

tinggi digunakan

digunakan

mesofilik

Clostridiurn pasteurianurn,

bakteri

toleran

asam

yang

(Lactobacillus,

Leuconostoc), kapang atau khamir (Cousin dan Rodriguez, 1987).

Tabel 3. Nilai D dan grup mikroba dalam bahan
pangan (Sturnbo, 1973)

Kelompok Bahan Pangan
dan rnikrobanya

Ketahanan
panas (rnenit)

Bahan pangan berasarn rendah:
Terrnofilik (berspora)
Grup flatsour (B.stearotherrnophilus)
Grup gaseous (C. therrnosaccharolyticum)
Grup sulfit (C.nigrican)

4,O-5.0
3,O-4,O
2,0-3,0

Mesofilik (berspora)
C.botulinurn (A dan B)
Grup C. sporogenes (termasuk PA36791

0,l-0,2
0,l-1.5

Bahan pangan asarn:
Terrnofilik (berspora)

0,Ol-0,07

Mesofilik (berspora)
Anaerob fakultatif
Butirat anaerob (C.pasteurianum)
Bahan pangan berasarn tinggi:
Lactobacillus, f euconostoc dan
kharnir serta kapang

D(66"C)
0,5-1 ,O

Pada bahan pangan berasam rendah,

seperti susu, sterilisassi

proses aseptik dilakukan dengan UHT yaitu pernanasan pada suhu

135-1 50°C selarna 2-5 detik.
saribuah pH 3,5-4,

Pada produk berasam tinggi,

dilakukan dengan HTST yaitu pernanasan pada

suhu 85-95°C selarna 15-30 detik (Fardiaz, 1992).
waktu

seperti

proses yang lebih singkat

dalarn

Penggunaan

proses aseptik

HTST

dimungkinkan dengan menaikkan suhu proses. Proses aseptik dalarn
waktu tiga detik pada 104 O
C telah dicobakan pada saribuah jeruk dan
apel, dengan hasil relatif sama dengan saribuah yang diproses hotfill

85°C selarna tiga menit (Toledo dan Chang, 1986).
Penggunaan waktu proses yang rnakin pendek diharapkan dapat
mengurangi kerusakan zat gizi dan rnenghemat biaya produksi.
Narnun dernikian penggunaan waktu pendek perlu dilakukan dengan
cermat, sebab rneskipun inaktivasi rnikroba target tercapai tetapi ada
kernungkinan enzim yang dapat rnerusak bahan pangan belurn inaktif.
Keadaan tersebut dikemukakan Toledo (1990) dalarn
diperlihatkan pada Garnbar 11 untuk
Dalam

gambar

tersebut

terlihat

kasus
bahwa

bahan

ilustrasi yang
pangan asam.

C.pasreurianum

dapat

diinaktivasi (6D) dalarn pemanasan seharna 12 detik (0.2 rnenit) pada
suhu

96"C,

tetapi

waktu

tersebut

tidak

mencukupi

untuk

rnenginaktivasi enzirn pektinesterase dan poligalakturonase yang perlu
waktu proses tidak kurang dari lima menit. Dengan dernikian dalarn
proses aseptik dengan HTST, perlu diperhitungkan keberadaan enzirn
perusak yang relatif tahan dalarn rentang suhu sistem pemanasan
tersebut.

I

1

85

90

9%

Suhu *c

Gambar 1 1 . Waktu inaktivasi faktor biologis bahan pangan (Toledo dan
Chang, 1990)

2.4.

Kinetika Reaksi Kimia dan M u t u Pangan
Penggunaan

kinetika

dalarn

bidang

pangan

pada

dasarnya

rnerupakan penerapan prinsip kinetika yang digunakan dalarn reaksi
kirnia.

Kinetika kirnia ialah suatu telaah rnengenai laju reaksi kirnia

dan perubahannya pada berbagai kondisi (Labuza,

1983).

Kinetika

kirnia juga berkaitan dengan perubahan suatu sifat kimia dalarn suatu
waktu (Steinfeld et a/.,1 989).
Kinetika dalarn bidang pangan telah rneluas penggunaannya, bukan
hanya mernpelajari perubahan kimia tetapi juga fenornena fisik dalarn
bahan

pangan

yang

dapat

dijelaskan

dengan

kinetika

seperti

pendugaan waktu kedaluwarsa (Labuza, 1982), gelatinisasi pati dan
penyerapan air (Wirakartakusurnah,

1 9 8 1 ) dan perubahan warna

kerak roti (Priyanto et al., 1990). Manfaat inforrnasi kinetika terutama
dalarn perencanaan proses, pengembangan produk dan penyirnpanan
bahan pangan,

sebagaimana terangkum pada Tabel 4 berikut (Lenz

dan Lund, 1980).

Tabel 4. Manfaat kinetika dalarn teknologi pangan
No.
1.
2.

3.

Kategori rnanfaat
Perbaikan produk
Pengernbangan produk baru
Penyimpanan produklbahan pangan

KeteranganIContoh kasus
Minirnalisasi kerusakan pangan
ldentifikasi peluanglalternatif
produk baru dengan desain
proses dan rnetode pengemasan
Pendugaan umur sirnpan dan
pengendalian variabelnya

2.4.1. Landasan Teori Laju dan Orde Reaksi

Perubahan kirnia dapat terjadi dalarn bentuk

sederhana hingga

yang kornpleks yaitu yang terdiri atas beberapa tahap dan urnurn-nya
mencakup satu atau lebih senyawa antara.

Reaksi kimia yang hanya

berlangsung satu tahap disebut reaksi elernenter yaitu reaksi

yang

produknya langsung dibentuk dari reaktan. Reaksi elementer dapat
dinyatakan

dalam

rnolekuleritasnya,

sehingga

unimolekuler, birnolekuler dan seterusnya.

dikenal

reaksi

Model kinetika bentuk

sederhana diawali dengan model yang didasarkan reaksi elementer
dengan

persamaan-persarnaan

berikut

(Steinfeld

et

a/., 1989).

Reaktan A bereaksi dengan reaktan B menghasilkan X dan Y,

dan

persarnaan stoikiometrinya dapat dituliskan sebagai:

dimana :
a, b, x dan y adalah jumlah rnol A, B, X dan Y

Perubahan jurnlah reaktan atau produk terhadap waktu disebut laju
reaksi (R), dan untuk persamaan (2-1) dapat dinyatakan sebagai:

dimana:
d0 : perubahan waktu (detik atau jam, dsb.)
dCi: perubahan konsentrasi zat i (mol/L)

Dalam bentuk yang lebih umum laju reaksi dapat dinyatakan
sebagai fungsi (f) dari konsentrasi reaktan A dan B, sebagai berikut:

Dengan pendekatan yang sama,
fungsi produk X dan Y.

R

dapat pula dinyatakan sebagai

Selanjutnya dalam hubungan R

fungsi reaktan atau produk yang sering
reaksi proporsional terhadap hasil

sebagai

ditemui adalah bahwa laju

kali perpangkatan aljabar

dari

konsentrasi individual, sehingga dapat disusun kesetaraan sebagai
berikut :

dimana m dan n adalah orde reaksi terhadap A dan B.
secara keseluruhan adalah m
Kesetaraan

dalam

Orde reaksi

+ n.

pernyataan

(2-4) tersebut

dapat dijadikan

persamaan dengan penyisipan suatu tetapan k, sehingga diperoleh
persamaan berikut:

dimana :
k : adalah konstanta laju reaksi.

Persamaan (2-5) disebut persamaan laju

(rate equation), dan k

dikenal sebagai konstanta laju perubahan (rate constant). Dengan
pendekatan

yang

sama

dapat

dibuat

model

persamaan

laju

berdasarkan produk, untuk reaksi unimolekuler, termolekuler dan
sebagainya.

Dari reaksi unimolekuler misalnya, dengan persamaan

stoikiometri dari A+

B, dapat diperoleh:

Persamaan (2-6) dapat dinyatakan dalam bentuk hasil integrasinya
sebagai persamaan berikut (Steinfeld et a / . , 1 9 8 9 ) :

Dengan demikian dapat dikemukakan persamaan untuk orde kenol
(n=O),

kesatu ( n = I)dan kedua (n = 2 )

dalam

bentuk hasil

integrasinya sebagai persamaan (2-8). (2-9) dan (2-10) berikut ini
(Boekel, 1996).

Konsep laju dan orde reaksi dalarn reaksi kornpleks pada dasarnya
karena jurnlah

sarna dengan reaksi sederhana, tetapi
produk lebih banyak
bagian persarnaan.

maka

reaktan

dan

diperlukan modifikasi pada beberapa

ici

Dalarn ha1

terrnasuk reaksi kornpleks adalah

reaksi bolak-balik, reaksi dengan percabangan produk, reaksi dengan
percabangan reaktan dan reaksi berantai.

Reaksi-reaksi

tersebut

beserta dengan persarnaan lajunya dalarn bentuk hasil terintegrasi
dengan

asumsi orde kesatu telah diungkapkan

oleh

Sweinbourne

( 197 1), dan hasilnya terangkurn dalarn Tabel 5.

2.4.2. Kinetika Perubahan Mutu Pangan
Reaksi-reaksi kirnia dalarn sistern bahan pangan
sangat kompleks, karena itu urnurnnya

lebih

dapat rnenjadi

rnudah rnengungkap

reaksinya dengan pendekatan rnaternatis atau serniempiris dibandingkan

pendekatan rnekanistik

tahui rnekanisrnenya (Labuza,

di

rnana setiap tahap harus dike-

1983).

Kinetika kirnia dalarn bahan

pangan rnerupakan kajian terhadap perubahan dalarn bahan pangan
dengan rnetode pendekatan semi empiris. Salah satu'sasaran pokok

Tabel 5. Reaksi kompleks dan bentuk integrasi dari persamaan laju
perubahannya (dirangkum dari Sweinbourne, 1971)'

Reaksi

4. A

k l x

Hasil lntegrasi persamaan laju

CX= C~~[k1/(k~-k~)I[exp(-k10)-exp(-kz8)1
b

y

C v = C ~ o { l+

kzexp(-ki8)-kiexp(-kz0)
ki-kn

') Keterangan :
o (indeks):menunjukkankeadaan awal
ar (indeks) menunjukkan pada 9 tak terhingga (maksimall
C. : konsentrasi senyawa-x

I

eksperimen kinetika adalah
rnenggambarkan laju
tersebut (Hill

dan

pengembangan model matematis untuk

reaksi sebagai fungsi variabel
Grieger-Block, 1980).

eksperimen

Dalam ha1 ini,

model

matematis yang diperlukan dalam kinetika perubahan m u t u pangan
merupakan suatu bentuk pernyataan

atau

persamaan aljabar yang

rnarnpu menggambarkan keadaaan pangan tersebut (Saguy dan Karel,
1980).
Dalam kinetika

perubahan m u t u pangan, umurnnya dilakukan

penyederhanaan reaksi-reaksi yang kornpleks dengan menjadi reaksi
sederhana

dengan

orde

reaksi

dimungkinkan dengan asumsi

kenol

atau

kesatu.

Hal

ini

reaktan banyak dan berlimpah keter-

sediaannya (surplus), reaksi irriversibel, reaksi tidak berbentuk siklis
atau

tanpa percabangan yang banyak, dan sebagainya (Thompson,

1982).

Penyederhanaan dari reaksi kompleks atau orde tinggi telah

diulas oleh Swinbourne (1971) dan Steinfeld et a/. (19891, sehingga
dapat diperoleh reksi sederhana dengan orde kenol, kesatu atau
kedua.
Sebagai

contoh rnisalnya dari persamaan (2-5)

dengan dasar

reaksi persamaan (2-I), jika m = I dan n = I maka reaksi tersebut
adalah orde kedua.

Namun demikian jika reaktan B ketersediaannya

berlebih (surplus) maka CB dapat

dianggap konstan.

nisikan k.= kCe, rnaka persamaan

(2-5) menjadi persamaan (2-1 1)

dengan pseudoorde

Jika didefi-

kesatu yang merupakan penyederhanaan dari

orde kedua dengan basis reaksi dua

reaktan.

Dengan pendekatan

yang

sarna

dapat disederhanakan reaksi orde ketiga rnenjadi orde

kedua atau kesatu bahkan kenol.

dirnana:
ka : konstanta laju nyata (apparent)

Reaksi kornpleks yang terdapat dalarn Tabel 5 dengan mernperhatikan peran atau kontribusi reaktan dan jalur reaksinya dapat
disederhanakan.

Reaksi no.1 bersifat reversibel, tetapi jika kz jauh

lebih kecil dibandingkan ki,
dianggap irriversibel.
jika

rnaka

kz dapat diabaikan dan dapat

Reaksi no.2 merupakan reaksi paralel, tetapi

pernbentukan Y dan Z relatif kecil dibanding

X

rnaka kebera-

daannya dapat diabaikan dan reaksi dapat dianggap hanya rnenghasilkan produk X.

Dengan pendekatan yang sarna reaksi no.3 sarnpai'

no.5. juga dapat disederhanakan.
Dengan asurnsi dan penyederhanaan

sebagairnana diuraikan di

atas, perubahan rnutu pangan secara urnurn dapat dinyatakan dalarn
perubahan indeks rnutu pangan
persarnaan (2-12).

sebagairnana diperlihatkan dalarn

dimana:

Q : indeks mutu bahan pangan (sim')
Qo: indeks mutu awal (sim')

0 : w a k t u perubahan m u t u (sw')
k : koefisien atau konstanta laju (Ismi)'"" sw-'1
Catatan: ' sim=satuan indeks mutu, s w = satuan waktu,
tergantung dari indeks m u t u dan waktu yang
digunakan. Misalkan Q: asam askorbat, sim
adalah mg11OOmL, s w = detik atau menit.

Penggunaan model perubahan mutu pangan sebagaimana terlihat
dalam persamaan (2-1 2) dalam
dalam bidang mikrobiologi
inaktivasi mikroba.

prakteknya telah lama diterapkan

pangan

dengan model

Dalam model ini indeks

Bigelow untuk

m u t u pangan adalah

jumlah mikroba (N) dan diasumsikan mengikuti orde kesatu. Asumsi
ini didasarkan mekanisme kematian mikroba di mana dianggap hanyas
ada satu faktor

yang

paling berperan (Ball dan Olson,

1957).

Dengan model Bigelow, persamaan (2-12) menjadi persamaan (2-13)
dan bentuk
D = (2,303)Ik.

integrasinya

sebagai

(2-14)

dengan konversi

dimana:
N : jumlah mikroba setelah w a k t u T (cfulmL)

No : jumlah mikroba awal (cfu/mL)
9 : waktu inaktivasi mikroba (menit)
D : waktu yang diperlukan untuk inaktivasi 9 0 % mikroba
pada suhu d i mana perubahan terjadi (menit).

Dalam

perkembangannya

model Bigelow juga

diadopsi untuk

model kinetika inaktivasi enzim (Richardson dan Hyslop, 1976).

2.4.3. Pendugaan Model dan Parameter
Secara teoritis

orde

reaksi

dapat

sampai orde tertinggi (tak

terhingga), namun dalam eksperimen kinetika kimia yang diketemukan
hanya sampai orde ketiga (Steinfeld et a/., 1989), sedangkan untuk
perubahan

mutu

pangan umumnya

mengikuti orde kenol atau

kesatu (Labuza, 1983) dan beberapa ada juga yang orde kedua (Bell

et a / . , 1991 ).
Kecoklatan

pada saribuah jeruk

pada suhu 85-1 35OC mengi-

kuti model kinetika orde kenol (Cohen et a/., 1994). Degradasi asam
askorbat dalam penyimpanan saribuah
mengikuti model

kinetika

Rangkuman berbagai data

orde

jeruk yang diproses aseptik

kesatu

(Kanner et

a/., 1982).

kinetika perubahan mutu bahan pangan

yang telah dibuat Labuza (1980) dan

Thompson

(1982) sebagian

besar juga menunjukkan perubahan rnutu bahan pangan termasuk
orde kenol dan kesatu.

Dengan demikian dalam

pangan dapat dikemukakan akan mengikuti salah

perubahan

rnutu

satu dari model

yang pernah diperoleh diatas, yaitu model orde kenol, orde kesatu
atau orde kedua.
Model perubahan mutu pangan dan orde reaksi perubahannya
dapat dianalisis dengan berbagai rnetode

(Sweinbourne, 1 9 7 1),

di

antaranya dengan integrasi yang dilanjutkan dengan analisis model
atau fungsi dugaannya.

Dari persamaan 2-8

dibuat

hubungan

fungsi

dugaan

Ln(Cn) = f (0) untuk orde kesatu

Cn=f(0)

sampai 2-10, dapat
untuk

orde

kenol,

dan ( 1 /CAI= f (0) untuk orde kedua.

Pengujian atas ketepatan model atau fungsi dugaan dapat dilihat
dari koefisien

deterrninasi

(r2) (Steinfeld,

1989). jumlah kuadrat

beda terkecil (Cohen et a/., 1994) serta uji penyirnpangan model
(lack of fit) (Draper dan Smith,

1981; Box et a/., 1978).

mengetahui model tersebut dapat diperoleh

Dengan

informasi kinetika yang

berupa orde reaksi (n) dan konstanta laju (k) yang berlaku pada suhu
tertentu.
Pengaruh
tahui

suhu terhadap perubahan mutu bahan

dengan analisis model

hubungan

pangan dike-

ketergantungan antara

dengan suhu (t). Hubungan ketergantungan

k

k terhadap suhu dalam

perubahan m u t u bahan pangan umurnnya valid dinyatakan dalarn
persarnaan Arrhenius (Labuza, 1980) sebagai berikut :

dirnana:
ko : konstanta preekponensial (sim~'"~"sw")
*

E. : energi aktivasi

(Kkallrnol)

R : tetapan gas (1,986 10-3
Kkal/mol/K)
T : suhu mutlak (K)
* ) Lihat keterangan pers. 2-12 tentang satuan sim dan s w .

Dalam kaitannya dengan D, ketergantungannya

terhadap suhu

lebih tepat dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut (Ball dan Olson,
1957):

dirnana :

DO: nilai D pada suhu to (menit)
to : suhu awal

("C)

t

: suhu pada nilai D yang dikehendaki ("C)

z

: suhu yang diperlukan untuk merubah satu log(D) ("C)

Kisaran

nilai D, z dan E. beberapa grup indeks

secara umum adalah

rnutu pangan

seperti tercantum dalam Tabel 6 (Cousin dan

Rodriguez, 1987) dan Tabel 7 (Saguy dan Karel, 1980). Nilai-nilai z
da