Strategi riset bidang mikrobiologi untuk meningkatkan keamanan pangan di Indonesia

STRATEGI RlSET
BIDANG MIKROBIOLOG,I
UNTUM MENINGKATKAN
MEAMANAM PANGAN Dl INDONESIA
Srikandi Fardiaz'. i

l!l!lill!l!ll!iliIl\!Il li!Il!lilll~Il1l
1 - 1
I

I

'7&?9

I

ORASI ILMIAH
L
"
-I
Guru Besar Tetap llmu Mikrobiologi Pangan


Fakultas Teknologi Pertanian
lnstitut Pertanian Bogor
14 Desember 1996

Prof.Dr.Ir.Hj. Srikandi Fardiaz, M.Sc.

yang terhormat,
Bapak Rektor dan Senat Guru Besar IPB,
Rekan-rekan dosen, alumni, rnahasiswa dan karyawan IPB,
Keluarga, para undangan, dan hadirb yang saya muliakan,

Assamu'alaikwn warahmatullahi wabarakttuh,
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karuniaNya sehingga pada hari yang berbakyya ini saya @at
menyampaikan Orasi IImiah sebagai Guru Besar Tetap Ilrnu
Mikrobiologi Pangan pada Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor. Saya juga mengucapkan terima kasih
kepada para undangan sekalian yang telah berkenan
meluangkan waktu untuk hadir dalam acara ini.

Perkemdadah saya rnenyampaikan orasi ilmiah yang bejudul:
STRATEGI RISET BlDANG MIKROBIOLOGI UNTUK
MENINGKATKAN KEAMANAN PANGAN DI INDONESIA

MASALAH KEAMANAN PANGAN DI INDONESIA
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUTU MMROBIOLOGI
PRODUK PANGAN DI INDONESIA
Faktor Sosial Ekonomi
Jenis Makanan dan Kebiasaan Makan
Tingkat P e n d i d i i Masyarakat
Faktor Lingkungan
Pengawasaa Pangan

PERKEMBANGAN RISET DI BIDANG MIKROBIOLOGI PANGAN
Riset Mengenai Organisme Patogen dan Toksin Mikroba
Riset Mengenai Kcanmm P d u k h g a n
STRATEGI RISET BIDANG MUCROBIOLOGI PANGAN
DI INDONESIA
Pengembangan M e w Deteksi MiLroba dan Tdrsin
Karakterisasi Mikroba dan Toksin

Karalrterisasi dan Pemanfaatan Senyawa AnAlami
Peningkatan Keamanan dan Mutu Makauan Tradisional
Karakterisasi dan Pemanfaatan Galur Probiotik
Survei Keamanan Pangan

STRATEGI RISET BIDANG MIKROBIOLOGI
UNTUK MENINGKATKAN KEAMANAN PANGAN
BI INDONESIA

PENDAHULUAN

M

asalah keamanan pangan (tibod safely) masih merupakan
topik hangat dunia yang selalu dibicarakan pada setiap
pertemuan pangan intemasional. Laporan dari berbagai negara
menunjukkan bahwa kasus keracunan dan p
e
n
w

t melalui
makanan m i . selalu terjadi di berbagai negara. WHO (1993)
melaporkan bahwa sekitar 70% dari penyalut diare yang terjadi di
negara-negara yang sedang berkembang disebabkan oleh konsumsi
makanan yang terCemar.

Jika dilihat dari jumlah b u s keracuuan makanan yang terjadi,
industri jasa boga dan rumah rnakan memegang peranan penting.
sebagai penyebab utama kasus keracunan. Hasil sumi di Amerika
Serikat menyebutkan bahwa &anyak 77% kasus keracunan
makanan disebabkan oleh makanan yang dipersiapkan oleh industri
jasa boga dan rumah makan, 20% kasus disebabkan oleh makamn
yang dunasak di rumah, dan hanya 3% kasus disebabkan oleh
makanan yang diproduksi oleh industri pangan (Bryan, 1992b).
Meskipun jurnlah kasus yang disebabkan oleh produk industri
pangan cukup kecil, tetapi karena dalarn setiap kali produksi
industri pangan menghasilkan produk dalam jumlah besar dengan
jangkauan konsumen yang luas, maka jika produk tersebut
menimbulkan keracunan banyaknya penderita per kasus dapat
mencapai jumlah yang sangat tinggi.

Kasus keracunan makanan p g paling seriug dilaporkan melalui
media massa di Indonesia juga berasal dari konsumsi makanan jasa
boga clan rurnab makan. Akan tetapi data yang lengkap rnengenai

h u s penyakit melalui makanan di Indonesia serta penyebabnya
mas& sangat kurang, clan diduga perbandingan antara b u s yang
dilaporkan dengan kasus sebeaamya mas& sangat rcadah. W H O
(1993) memperkirakan di negara-negam yang sedang berkembang
perbandmgan antan b u s kencunan makanan yang dilaporkan
dengan kasus sebenamya hanya mencapai 1:25 sampai 1:100 (14%), bahkan di negara-negara yang sudah maju masih menunjukkan angka 1:lO (10%)).

,

Penyakit melalui rnakanan (foodbornediseases) dapat berasal dari '
berbagai sumber yaitu organisme patogem t e m u k bakteri, '
kapang, parasit clan virus; dari bahan M a seperti racun alami, 1
logam berat, pestisida, hormon, antibiotdc, bahan tarnbahan
berbahaya, dan bahan-baban pertauian lainny2; atau dari bahan
fisik seperti potonean tulang, dun, pecahan kaca, dan lain-lain.
\I

Dari kelompdr bahan behhaya tersebut, mihoba patogen
merupakan penyebab p e n w t yang relatif selalu berubah dari
j
waktu ke waktu dan serurgkai menirnbulkan kasus yang mengejutkan.
1

Y,

Terjadinya perubaban dalam kependudukan, gaya hidup, dan
kebiasaan makan menga)abatkau perubahan dalarn fonnulasi,
pengolahan, dan distribusi produk pangau. Konsumen semakin
memmtuttemdmqaprodulrpanganyanglebihcepatdanmudah
dipersiapkan, lebih segar atau prcduk yang menerima proses minimal, serta memenuhi persyaratan kesebatan dan gizi. Keadaan ini
dikombinasikan deagan kemampuan mikroba untuk berkembang
biak dengan cepat dan beradaptasi dengan hgkuqan menimbulkan tantangan banr di bidang mikrobiologi dalarn sistem pangan.
,'

Salah sa.tu contoh perubahan ekologi pada mikroba pangan adalah
munculnya beberapa bakteri patogem p s i k r d yang marnpu
tumbub pada suhu readah di berbagai negara subtropis, yang

munglan dapt muuk ke Inckmesia melalui mrbaan impqr.
i Contoh lainnya adalah my-a
gepla gastroenteritis oleh
Campylobacter di Merapa negara, bahkan di Amerika Serikat
mat ini bakteri fenebut pahg banyak ditemukan pada pedenta

:
i

',

diare, rnengalahkan Salmonella yang sejak dafiulu rnerupakan
penyebab utama gejala gastroenteritis (Anocum, 19%; ICMSF,
1996a).

Data mengenai prom penyakit melalui makanan atau pencemaran
&ba
patogen pada rnakanan belwn tersedia di Iadoaesia, dan
keadaan ini sangat menyulitkan &lam memtapkan prioritas dan
menyusun strategi yang tepat di bidang keamanan pangan. Sebagai

contoh Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memperkirakan tqadinya 4000 kematian &ri 5 juta penderita setiap
tahunnya sebagai akibat mengkmumsi prudukproduk d a m
yang tercemar empat jenis bakteri . patogen yaitu Campylobacter,
Salmonella, Eschenchia coli 0157:H7, dan Usteria monocytogenes, dan sekitar 4 juta penderita dan 3000 kematian diantaranya
disebabkan oleh produk-produk daghg uuggas yang tercemar
(Anonim, 1996). ICMSF (International Commission on Microbiological Specijkxzfions for Foods) (1966b) juga menyarankan
bahwa keempat bakteri ini perlu mendapat perhatran khusus dalam
industri pangan. Di Indonesia sampai saat ini belurn diketahui
secara jelas jenis mikroba yang paling banyak menirnbulkan kasus
penyalat melalui makanan.
Dari uraian di atas jelas bahwa kita mash membutuhkan banyak
informasi yang diperlukan untuk meaingkatkan keamanan pangan
dan meqantisipasi kemuaglanan timbulnya mikroba patogen lain
yang sampai saat ini mungkm mash kurang mendapat perhatian.
Dengan tidak mengabaikan pentingnya riset di bidang lahnya, riset
di bidang mikrobiologi mash perlu ditingkatkan di Indonesia, baik
riset dasar di bidang rnikrobiologi pangan, maupm riset terapan
yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
m e n & a t k m keamanan pangan, atau dapat menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam program keamanan pangan. Untuk
mewtapkan &rategi riset yang tepat terlebih dahulu perlu diidentifikasi masalab kearnanan pangan di Indonesia dm perkembangan

riset di bidang mikrobiologi pangan yang telah dilakukan.

7

,

Strategi Riset Mikrobiologi Pengan

MASALAH KEAMANAN PANGAN DI INDONESIA

D-

alam GBHN 1993 ditesalah satu saaran
am-PE-II--adalah
pembangunan
.------- di -ib
terjanunnya E
pangan-yang- dicirikan-oleh-terbeb~nya
e1yarakat h r i jenis pangan yang berbahaya--bagL kesehatan
manusia dan tidak sesuai dengan.-keyakinan-my-akarat. Dalam

pelaksanaan Pelita VI s k p a i saat ini, keamanan pangan rnasih
merupakan salah satu rnasalah utama di bidang pangan.
Berdasarkan informasi dan data yang tersedia mengenai keamanan
pangan, dapat diidentifikasi ernpat masalah utarna keamanan
pangan di Indonesia, yaitu masih b a @ y a k - ~ ~ ~ ~ e e ~ , r a n
produk pangan yang tidak mernenuhi persyaratan-kesesfan;
banyak terjadi kasus penyalrit--dan-k~q-meIalui
yang sebagian -besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi
penyebabnya;- banyak ditemukan saraba produ9i dan distribusi
pangan -yang tidak. mernenuhi - p e r ~ ~ ~temta&
t & ~ ind"mi
keciI/rumah tangga, industri jasa_boga-~~>jualal.~m&ai@m$n
jajanan; dan rendahnya pengetahuan clan kepedulian konsurnen
-tentang keamanan panganan-pardiaz,
1996a).
Untuk menyusun strategi yang tepat dalam program keamanan
pangan dibutuhkan data yang lexqkap yang dapat menggambarkan
prom nasional tentang kearnanan pangan. Data yang tersedia dari
berbagai instansi mengenai keamanan pangan di Indonesia pada
saat ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

Beberapa kelemahan dari data tersebut diantaranya cara
pengambilan contoh yang belum tepat sehingga data yang
dihasilkan munglun tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya, metode analisis yang kurang teliti dan seringkali
berbeda antara satu laboratorium dengan laboratorium lainnya, dan
data yang berbeda antara satu instansi dengan instansi lainnya,
misalnya dalam haI data kasus keracwan makanan.
Laporan-dama-&lita
V dan VI menunjukkan bahwa rnasih
-.bananyak ditemukan peredaran p d u k panga~fanggtiticldak~emenuhi
persyaratan keamanan daii mutri - p ~ E - - & s a l n y a cemaran
_-_-- _
.
A
.
-

Strategi Riset Mikmbiologi h n g a n

mikroba yang tinggi pada beberapa produk; penggunaan bahan
tambah& yang dilarang atau ~&ebihi%~&@a@Gr&i&&h,
terutarna pewarna, pernanis dan pengawet; cernaran kimia dalam
jumlah tinggi seperti residu pestisida pada sayuran clan buahbuahan, cernaran logam berat, serta penggunaan hormon, antibiotika dan obat-obat pertanian untuk produksi pangan. Sglain itu
masih banyak ditem*-gr_edaran-prmemenuhi persyaratan label .dan iklan,- produkd-qpn kedaluwarsa, dan produk pangan y a n ~ e m e n d u t a n d a r - m u m - d a n komposisi (Streetfood Project. 199O~Djtjen.POM, 1995, 1996).
~ ~ a h % % E 661&banyak
3
dibahas oleh berbagai paEFidT-aa&
berbagai pertemuan, oleh karena itu pada kesempatan ini
perkenankanlah saya hanya menguraikan mengenai masalah
keamanan pangan clan faktor--mya
dari segi mikrobiologi.

C/

Laporan mengenai kasus penyakrt melalui makanan di Indonesia
dan identifikasi penyebabnya masih sangat terbatas. Dalam Pelita
V hanya dilaporkan sebanyak 126 kasus penyakit melalui rnakanan
di seluruh Indonesia dengan 10.376 orang penderita dan 52 orang
meninggal dunia (Ditjen. PPM PLP, 1994). Selama Pelita VI,
dalam tahun 199411995 dilaporkan sebanyak 26 kasus penyalut
melalui makanan dengan 1.552 orang penderita dan 25 orang
meninggal, sedangkan dalarn tahun 1995/1996 dilaporkan sebanyak
30 kasus dengan 992 orang penderita dan 13 orang meninggal
(Ditjen POM, 1995, 1996). Dari kasus tersebut ternyata hanya
7,7% kasus dalam tahun 199411995 dan 16,7% kasus &lam tahun
199511996 yang telah berhasil, diidentifikasi dengan jelas
penyebabnya, sedangkan sisanya belum berhasil diidentifikasi.
Jurnlah kasus yang dilaporkan tersebut diduga masih sangat rendah
dibandmgkan dengan kasus yang sebenarnya tejadi di 27 propinsi
di Indonesia.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat
diperkirakan sebanyak 6,5 sampai 81 juta penderita dan 9100
kematian per tahun akibat penyakit melalui rnakanan, dengan
kerugian mencapai 5 sampai lebih dari 22 milyar dolar per tahun,
terrnasuk untuk biaya pengobatan dan kehilangan produktivitas
(Anonim, 1996). Banyahya jumlah kasus yang belum

.

Stretegi Riset Mikrobiologi Pangen

diidentifikasi penyebabnya di Indonesia akan sangat menyulitkan
dalam penanggulangan masalah kearnanan makanan.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
MUTU MIKROBIOLOGI PRODUK PANGAN
DI INDONESIA

B

erbagai faktor penting mempengaruhi mutu rnikrobiologi
produk pangan di Indonesia.
Faktor-faktor tersebut
diantaranya faktor sosial ekonomi, jenis rnakanan dan kebiasaan
makan, t~ngkatpendidikan masyarakat tennasuk produsen clan
konsurnen, faktor lingkungan, dan pengawasan pangan.

Faktor Sosial Ekonomi
Sistem pangan dalam memproduksi, mengolah, mendistribusikan,
menyiapkan dan mengkonsumsi makanan berkaitan erat dengan
tingkat perkembangan, pendapatan, dan karakteristik sosiokultur
masyarakat. Sistem pangan pada penduduk kota berpenghasilan
rendah lebih mengandalkan pada makanan jajanan siap santap
dengan mutu yang rendah dan tidak tejamin kearnanannya.
Kelompok ini terutama terdiri dari buruh, pedagang, sopir, clan
lain-lain yang tidak mempunyai waktu untuk mengkonsumsi
rnakanan di rumah sehmgga sebagian besar pendapatannya yang
terbatas digunakan untuk membeli rnakanan jajanan. Pencemaran
mikroba patogen pada makanan dalam kelompok ini terutama
disebabkan oleh penggunaan air yang tidak memenuhi syarat,
pembuangan sampah tidak pada tempatnya, higiene dan sanitasi
yang tidak baik dalam penyiapan makanan di rumah atau oleh
pedagang makanan jajanan tennasuk pedagang yang menderita
penyakit menular, dan penjualan makanan di tempat-tempat yang
kotor atau di pinggir jalan. Penyakit melalui makanan yang sering
menyerang penduduk dalam kelompok ini pada umumnya merupakan penyakit menular seperti tifbs, paratifus, kolera dan disenteri,

.

Strategi Riset Mikrobiologi Pengan

serta keracunan Staphylococcus aureus dan Clostridium
perfi7ngens yang sering mencemari makanan siap santap.
Dengan semakin meningkatnya penghasilan penduduk, rnaka sernakin kecil persentase pendapatan yang digunakan untuk mernbeli
makanan. Penduduk dengan penghasilan menengah ke atas
mempunyai menu yang lebih bervariasi dan lebih menyukai
membeli produk pangan olahan atau setengah olahan sehingga tidak
memerlukan waktu lama untuk menyiapkan makanan. Meskipun
dernikian, masalah pencemaran bahan berbahaya pada rnakanan
masih mun@ tejadi dan biasanya disebabkan oleh proses
pemasakan yang kurang, penyimpanan makanan yang tidak benar,
pemanasan kembali yang kurang, kontaminasi silang di antara
bahan mentah dan rnakanan siap santap, atau kesalahan proses oleh
industri pangan.

Jenis Makanan dan Kebiasaan Makan
Masyarakat di Indonesia pada umumnya mernasak lauk pauk
dengan prosesbe&b&
misalnya dalam pembuatan
rendang, gulai, gudeg, dan lain-lain. Jenis makanan semacam ini
jika langsung dikonsumsi relatif aman terhadap bahaya oleh
b mikroba patogen. Tetapi rnaralah yang sering timbul addah
kebiasaan menyimpan makanan sisa dalam waktu lama, yaitu
selama 6-12 jam atau lebih pada suhu kamar tanpa pendinginan,
misalnya selama penyimpanan di rumah atau selama penjualan.
Kasus keracunan oleh makanan semacam ini sering disebabkan
oleh i-b
p e m b e d s p a yang relatif tahan panas yaitu
Closhi_diumperfn'ngens dan Bacillus cereus. Dengan munculnya
warung-wanmg nasi goreng di pinggir jalan yang menggunakan
nasi dingin untuk membuat nasi goreng, perlu pula diwaspadai
kemungkmn timbulnya keracunan oleh enterotoksin B , c ~ e _ q
karena bakteri ini sering ditemukan padais.a
n yang telah bsi.
Kebiasaan menyimpan atau menjajakan makanan selama beberapa
jam pada suhu karnar, terutarna makanan siap santap berisiko

Stretegi Riset Mikrobiologi Pengsn

tinggi (pH > 4,5 dan aw > 0,85), dapat menirnbulkan risiko bahaya
bagi kesehatan. Penyimpanan dan penjualan makanan siap santap
seharusnya dilakukan pada suhu di bawah 7°C atau di atas 60°C.
Hal ini disebabkan suhu di antara 7°C dan60°C merupakan &
s
yang mtimuq untuk pertumbuhan a
-,
oleh karena itu
merupakan suhu yang berisiko tinggi untuk pyimpanan rnakanan
(Bryan, 1992a).
Ada suatu kepercayaan masyarakat Indonesia yang turun temurun

i/

bahwa makanan yang masih mentah mempunyai khasiat lebih
tinggi terhadap kesehatan daripada makanan yang sudah dimasak,
oleh karena itu dianjurkan untuk makan telur mentah d i m p u r
rnadu, susu mentah, dan lain-lain. Karena bernilai gizi tinggi bahan
pangan tersebut juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Dengan tidak dilakukannya pernasakan atau
pernanasan terhadap bahan pangan tersebut, maka risiko untuk
menirnbulkan penyakit atau keracunan juga sangat tinggi.
Selain diolah dengan proses pernanasan, sayuran sexing dikonsumsi
&lam bentuk segar sebagai lalapan atau salad. Pencucian sayuran
dengan air kotor dapat mencemari makanan, dan yang sexing terjadi
adalah pencemaran oleh bakteri kolera dan disenteri serta virus.
M e n q M n y a konsumsi bahan pangan segar mengalabatkan
-tan
risiko terhadap kesehatan. Dengaa menjamurnya
restoran-restoran Jepang di kota-kota besar seperti Jakarta yang
menyajikan rnakanan hasil laut mentah (sushimi), maka perlu
diwaspadai kemungkmn timbulnya keracunan yang disebabkan
oleh bakteri patogen halofilik (tahan garam) yang berasal dari air
laut yaitu Vibrio paruhuemolyticus.

Dengan masuknya behagai makanan impor dari negara-negara
subtropis yang munglun dikonsumsi dalam keadaan dingin atau
dipersiapkan dengan cara pernasakan ala kadamya, maka perlu
&wasp&
kemugkman timbulaya penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh bakteri patogen yang bersifht psikrotrof, yaitu
bakteri yang mampu tumbuh baik pada suhu ruangan -pun
pada
suhu rendah di dalam lemari es. Bakteri semacam ini misalnya

I

Listena monocytogenes, Yersinia enterocolitica, Aeromonas
hydrophila, Bacillus cereus, Pleisiomonas shigelloides, dan
beberapa galur Clostridium botulinum (Schofield, 1992; Fernando
et al., 1995), terutama C. botulinum tipe B, E dan F (ICMSF,
1996a). Dengan digalakkannya prinsip rnakanan alami (natural
foods) tanpa penggunaan bahan pengawet, garam, dan lain-lain,
maka pengawetan rnakanan akan lebih mengandalkan pada
penyirnpanan suhu rendah. Oleh karena itu bahaya yang mungkm
tirnbul dari bakteri patogen semacam ini perlu diwaspadai.
Meningkatnya kasus penyakit atau keracunan oleh bakteri-bakteri
psikrotrof melalui berbagai rnakanan siap santap disebabkan oleh
beberapa faktor sebagai berikut: meningkatnya penjualan makanan-makanan yang didinginkan; pendinginan membantu
penyembuhan sel-sel bakteri yang rusak akibat pemanasan, selain
itu juga merangsang pembentukan beberapa senyawa yang
membantu sifat virulensi bakteri, misalnya pembentukan
listeriolisin pada L. monocytogenes yang diduga berperan dalam
masuknya bakteri ini ke dalarn jaringan tubuh; karena terbatasnya
waktu untuk berbelanja rnakanan konsumen mengin*
produkproduk yang dapat dishpan lebih lama di dalam lemari es; dan
sernakin banyak penggunaan oven microwave untuk memanaskan
kembali makanan dingin, sedangkan hasil riset menunjukkan
bahw-a pemanasan dengan oven microwave temyata tidak efektif
untuk mernbunuh beberapa bakteri patogen, diantaranya L.
monocytogenes (Coote et al., 1991).
Laporan mengenai gejala penyakit yang disebabkan oleh L.
monocytogenes melalui makanan di Indonesia mungkm belum ada.
Akan tetapi data dari negara tetangga kita di Malaysia mengenai
pencemaran bakteri ini pada berbagai produk pangan dapat menjadi
gambaran bahwa bakteri ini juga dapat mencernari makanan kita,
karena iklirn negara tersebut dan kebiasaan makan penduddcnya
hampir sarna dengan Indonesia. Suatu hasil suwei di Malaysia
menunjukkan bahwa dari sebanyak 234 contoh makanan yang diuji
yang terdiri dari bahan pangan mentah dan rnakanan siap santap

yang dikumpulkan dari beberapa kota besar di Malaysia, sebanyak
43% tercemar oleh L. monocytogenes (Arumugaswarny, 1994).
Munculnya kasus penyakit karena pencemaran makanan oleh
Escherichia coli 0157:H7 (E. coli enterohemorhagk) di Jepang
beberapa waktu lalu yang menyerang sekitar 9500 penduduk
terutama anak-anak sekolah, dan juga sering terjadi dalam sepuluh
tahun terakhir di negara-negara lain seperti Arnerika Serikat,
Kanada clan Inggris (Anonim, 1996), menunjukkan bahwa
beberapa patogen tertentu mash menjadi masalah di negara-negara
yang sudah maju. Penyebab keracunan tersebut terutama adalah
konsurnsi daging giling yang dimasak setengah matang. Dengan
masuknya makanan-rnakanan ala Barat seperti hamburger yang
dijual oleh pedagang keliling dari pagi sampai sore kemudian
disajikan dengan pemasakan yang tidak sempuma, rnaka perlu
diwaspadai kernungkman terjadinya keracunan oleh bakteri ini.
Bakteri ini dapat tumbuh pada kisaran suhu 1 sarnpai 45"C, dan
hasil riset pada dagmg giling menunjukkan bahwa bakteri ini tidak
berkurang jurnlahnya selarna pembekuan pada suhu -20°C sampai
9 bulan (ICMSF, 1996a).
Salah satu penyakit melalui rnakanan yang mungkin masuk ke
negara kita rnelalui makanan irnpor adalah penyakit sapi gila (mad
cow diseuse) yang dapat mencemari makanan melalui dagmg sapi
atau organ sapi lainnya terutama otak sapi. Penyakit yang disebut
Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) ini diketahui dapat
ditularkan melalui sapi di Inggris dalam tahun 1986, kemudian
menjalar ke negara-negara Eropah lainnya. Penyakit ini disebabkan oleh prion (self-replicant protein) yang sangat tahan terhadap
berbagai proses fisik dan kimia yang dapat menginaktifkan
kebanyakan mikroba. Kernarnpuan infeksi bakteri ini berkurang
pada suhu di atas 100°C, tetapi dibutuhkan suhu di atas 120°C
untuk inaktivasi (Brewer dan Novakofski, 1996).
Buah-buahan yang masih utuh jarang merupakan sumber
pencemaran bakteri patogen karena terlindung oleh kulit buah dan
pada umumnya mempunyai pH rendah. Akan tetapi beberapa

buah-buahan yang telah masak mempunyai pH mendekari netral,
dan kebiasaan pedagang asongan memotong buah-buahan dan
menjajahnya sepanjang hari mungkrn dapat menimbulkan risiko
bahaya terhadap kesehatan. Salah satu contoh adalah laporan
mengenai suatu kasus salmonellosis yang disebabkan oleh
konsumsi semangka (Blostein, 1991). E. coli 0157:H7 ternyata
juga dapat tumbuh pada semangka pada suhu 25°C (Del Rosario
dan Beuchat, 1995).

Tingkat Pendidikan Masyarakat
Salah satu fakbr yang mempengaruhi keamanan pangan di
Indonesia adalah rendahnya tanggung jawab, kesadaran dan
pengetahuan produsen pangan terhadap masalah keamanan pangan.
Hal ini terutama disebabkan produksi pangan mas& didorninasi
oleh industri berskala keciVrumah tangga dengan tingkat
pendidikan dan sosialekonomi produsen yang mash rendah. Dari
data jwnlah industri pangan yang ada di Indonesia
dbeberapa
(Soesilo, 1996) diperkirakan perbandingan antara industri
menengah ke atas dengan indistri kecivnunah taugga adalah
sekitar 1:20.
Produsen pangan primer seperti petani, peternak dan nelayan pada
umumnya belum menerapkan GAP (Good Agricultural Practice)
dan belum menerapkan teknologi produksi bemwasan lingkungan
untuk menjamin keamanan pangau. Produsen pangan, terutama
yang berskala kecil atau rumah tangga, pada umumnya belum
mempunyai pengetahuan atau kesadaran untuk meaerapkan GMP
(Good Manufachrring Practice) dan GHP (Good Handling
Practice), serta belum menerapkan HACCP ( H a r d Analysis
Critical Control Point) yang merupakan sistem -an
keamanan pangan yang sangat efkktif.

i p e n d i h pengusaha jasa boga dan restoran juga memegang fakbr penting dalam keamanan pangan. Dalam Pelita V
dilaporkan bahwa dari sejumlah 236.547 perusahaan jasa boga dan
T

Strstegi Riset Mikrobiologi Psngan

restoran yang terdaftar baru sekitar 2,5% pengusaha yang telah
menghti kursus mengenai sanitasi dan cara mengolah makanan
yang benar. Oleh karena itu persentase jumlah perusahaan jasa
boga dan restoran yang memenuhi syarat kesehatan juga mash
rendah, yaitu dari 134.981 perusahaan dan restoran yang diperiksa
hanya 44% yang memenuhi syarat (Ditjen PPM PLP, 1994).
Selain produsen, distributor dan penjual pangan juga tidak kalah
pentingnya dalam menjamin keamanan pangan yang beredar di
pasaran. Distributor pangan di Indonesia masih banyak yang
belum memahami dan menerapkan GDP (Good Distribution
Practice). Hasil pemeriksaan dalam tahun 1995/1996 terhadap
sarana distribusi dan penjualan produk pangan menunjukkan
bahwa lebih dari 40% sarana tidak memenuhi syarat sebagai
distributor pangan karena faktor sanitasi, bangunan dan hilitas
yang tidak memenuhi syarat, dan menjual produk-produk yang
. tidak memenuhi syarat (Ditjen. POM, 1996).
Konsumen pada umumnya belum mempedulikan serta belum
mempunyai kesadaran atau pengetahuan tentang keamanan dan
mutu pangan, sehingga belum banyak menuntut produsen untuk
menghasilkan produk pangan yang aman dan bennutu. Selain itu
tingkat sosial ekonomi yang sangat berbeda-beda menuntut mutu
produk pangan yang berbeda pula. Masyarakat dari golongan
tingkat sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah sudah merasa
puas jika dapat membeli makanan dengan harga murah, meskipun
produk tersebut bennutu rendah dan tidak tejamin k-ya.

Faktor Lingkungan
Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan suhu udara dan
kelembaban yang tinggi sehingga merupakan kondisi yang sangat
baik untuk pertumbuhan kebanyakan mikroba. Kasus penyalat
menular biasanya meningkat pada musirn kemarau yang panjang
dengan persediaan air yang kurang, sehingga tejadi pemekatan
mikroba patogen pada sumber air. Pada suhu udara dan

Strategi Riset Mikrobiologi Pangan

kelembaban yang demikian mikroba dapat berkembang biak dengan
=pat sehingga jumlahnya menjadi sangat tinggi. Sebagai contoh,
bakteri patogen halofilik, yaitu Vibn'o parahaemolyticus, yang
sering menyebabkan kasus keracunan makanan di Jepang, banyak
ditemukan di dalam air laut dan ikan pada bulan-bulan m u s h
kemarau yang panas.
I

I

,

i/

Penggunaan air sungai untuk mencuci alat-alat masak dan bahan
pangan sekaligus untuk keperluan MCK (mandi, cuci, kakus), serta
penggunaan air yang tidak memenuhi syarat kesehatan untuk
memasak masih banyak dipraktekkan oleh masyarakat di Indonesia,
terutama oleh penduduk berpendapatan rendah di kota-kota yang
padat penduduknya. Keadaan ini dapat mengakibatkan crmaran
mikroba yang tinggi pada makanan dan timbulnya penyakit
menular. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan dalam Pelita V
terhadap contoh air yang digunakan untuk mernasak oleh
pengusaha jasa boga dan restoran, ternyata sebanyak 54% contoh
air tidak memenuhi syarat kesehatan (Ditjen PPM PLP, 1994).
Penyimpanan biji-bijian dalam kondisi suhu dan kelembaban yang
tinggi dapat mengakibatkan turnbuhnya berbagai kapang
pembentuk mikotoksin yang berbahaya. Survei oleh beberapa
peneliti terhadap kandungan aflatoksin pada produk kacangkacangan sejak tahun 1971 sarnpai beberapa tahun yang lalu di
Jawa
Barat menunjukkan bahwa beberapa contoh kacangtanah dan
-.produk olahannya mengandung aflatoksin BJ ~ p a 20044pb
i
(Fardiaz, 1996b). Keadaan ini jauh di atas arnbang batas
aflatoksin yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission
yaitu sebesar 15 ppb aflatoksin B1pada kacang tanah. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai proses pengolahan
tidak dapat men&langkan aflatoksin dari procluk kacang tanah,
misalnya dalam pembuatan oncom merah maupun oncom hitam,
selai kacang, dan minyak kacang tanah (Edi et al., 1990; Fardiaz,
1992; Fardiaz clan Jenie, 1992; Fardiaz el al., 1993, 1994).
'

Strategi Riset Mikrobiologi Pangan

Pembuangan air lirnbah industri yang tidak diolah atau telah diolah
tetapi dengan cara yang tidak benar merupakan ha1 yang umum
dilakukan di Indonesia. Keadaan ini dapat mencemari bahan
pangan, rnisalnya melalui tanarnan yang disirarn menggunakan air
lirnbah atau melalui hasil laut yang ditangkap dari air laut yang
tercemar limbah industri. Konsumsi kerang-kerangan yang ditangkap dari air yang tercemar oleh lirnbah industri yang tidak diolah
dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit seperti tifus, kolera,
dan hepatitis A.

Pengawasan Pangan
Pengawasan pangan merupakan salah satu faktor penting untuk
meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Program pengawasan
pangan di Indonesia belurn dapat dilaksanakan secara optimum
karena adanya berbagai hambatan, diantaranya belurn mantapnya
kelembagaan dan koordinasi pengawasan pangan, peraturan dan
pedoman yang belum lengkap, jurnlah dan kualitas surnber daya
manusia yang terbatas, surnber dana yang terbatas, dan
kemarnpuan laboratoriurn analisis pangan yang terbatas.
Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawas pangan dan'dana
pengabwan mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi
pangan yang mendapatkan pengawasan. Sebagai contoh, selarna
Pelita V dari sejurnlah 236.547 industri jasa boga dan restoran
yang terdaftar, hanya sekitar 57% yang terjangkau pengawasan dan
pembinaan (Ditjen. PPM PLP, 1994).

PERKEMBANGAN RISET DI BIDANG
MlKROBIOLOGI PANGAN

R

iset dalam bidang rnikrobiologi yang berkaitan dengan
kearnanan pangan sebenarnya telah banyak dilakukan di
berbagai instansi atau lembaga di Indonesia, meskipun demikian
jumlah dan kualitasnya masih belum memadai dibandmgkan
dengan riset di bidang lainnya clan dibandingkan dengan masalah

Shstegi Riset M~Rrobiologih g e n

keamaaan pangan di Indonesia. Selain itu arah penelitian belum
jelas, dan belum semua hasil riset telah dipublikasikan dalam
jurmal atau majalah ilmiah sehingga belum dapat dhdhatkan
oleh masyarakat. Dari segi kualitas riset di bidang mikrobiologi,
Indonesia mas& jauh tertinggal dari negara-negara maju. Oleh
karena itu di dalam tulisan ini akan diuraikan berbagai riset
mikrobiologi dalam bidang keamanan pangan yang telah dilakukan
baik di Indonesia maupun di negara-negara lain.
Untuk memudahkan &lam pembahasan, riset mikrobiologi pangan
yang telah dilakukan dibedakan sebagai berikut:
Riset mengenai organisme patogen termasuk bakteri, kapang,
parasit dan virus, serta toksin mikroba.
Riset mengenai keamanan produk pangan terrnasuk kearnanan
berbagai jenis komoditas dan produk olahannya.

Riset Mengenai Organisme Patogen dan Toksin Mikroba
Berdasarkan jenis mikroba, riset yang paling banyak dilakukan di
Indonesia adalah terhadap bakteri patogen, tetapi hauya terbatas
pada beberapa bakteri tertentu seperti Salmonelhwsp.,Shigella sp.
dan Staphylococcus uureus, sedangkan riset terhadap bakteri
lainnya masih sangat terbatas. Riset yang telah dilakukan terutarna
mengenai i d e n t i m i bakteri menggunakan cara k o n v e m i d , dan
stabilitas bakteri krhadap proses pengolahan. Tabel 1 menunjukkan kelompok bakteri patogen yang sering ditemukan pada
makanan dan masih perlu diteliti lebih lanjut, terutarna mengenai
keberadaan dan perhunbuhannya pada beproduk pangan
Indonesia.
Riset mengenai karakteristik &in
bakteri di Indonesia masih
sangat terbatas. Dengan mengetahui karakteristik toksin bakteri
maka kita dapat mengelompokkan toksin bakteri menggudan
sistem penomoran seperti enzirn yaitu menggunakan nomor TX.
Dengan sistem penomoran tersebut, &in
diberi nomor dengan

Stretegi Riset Mikrobiologi Pangan

Tabel 1. Kelompok bakteri patogen yang sering ditemukan
pada produk pangan *
L

Tingkat bahaya dan
penyebaran
Bahaya sedang,
penyebaran terbatas

Bahaya sedang,
penyebaran cepat

Sangat berbahaya

* ICMSF (1986,

Spesies bakteri

Staphylococcus aureus i
Vibrioparahaemolyticus
Bacillus cereus
Clostridium perfingens
Campylobacter jejuni
Yersinia enterocolitica
Vibrio cholerae non-0 1
Salmonella (non-typhi)
Escherichia coli
Shigella (nonaysenteriae 1)
Listeria monocytogenes
Streptococcus pyogenes
Clostridium botulinum
Vibrio cholerae 01
Salmonella Vphi dan paravphi A, B
Shigella dysenteriae
Brucella abortus

1996b).

empat digit, nomor pertama menunjukkan jenisnya yaitu
menyebabkan infeksi atau intoksikasi, nomor kedua menunjukkan
jenis toksinnya, nomor ketiga menunjukkan targetnya, sedangkan
nomor keempat menunjukkan nomor umt dalam grup tersebut
Tabel 2 menyajikan karakteristik toksin berdasarkan sistem
penomoran TX. Sebagai contoh, toksin Vibrio cholerae
mempmyai nomor TX 2.1.2.2 karena toksin tersebut diproduksi
setelah sel bakteri melekat pada sel epitel, tergoloag entemtoksin,
dan targetnya adalah adenilat siklase (Granum et al., 1995). Riset

Strategi Riset Mikrobiologi h n g a n

lainnya yang penting mengenai toksin bakteri adalah mekanisme
produksi toksin di dalam produk pangan dan pengaruh faktor
lingkungan termasuk komposisi bahan terhadap produksi toksin.
Tabel 2. Karakteristik toksin bakteri berdasarkan sistem
penomoran TX *
Katagori

Keterangan

1. Mekanisme produksi toksin

1. Sel bakteri menembus sel epitel (infeksi)
2. Produksi toksin di dalam tubuh setelah terjadi interaksilmelekat pada sel epitel
3. Produksi toksin di dalam tubuh dalam bentuk sel bebas
4. Produksi sel di luar tubuh (intoksikasi)

2. Jenis toksin

1. Enterotoksin
2. Neurotoksin
3. Non protein

1.
2.
3.
4.
5.
6.
* Granum et al. (1995).

3. Aktivitasltarget
di &lam tubuh

Merusak mekbran sitoplasrna
Adenilat siklase
Guanilat siklase
Ribosorna
Neuron
Belum diketahui

P d t a n bakteri mtuk memproduksi senyawa-senyawa
antimikroba telah mulai dilakukan di Indonesia beberapa tahun
terakhir h i , tennasuk produksi bakteriosin dari bakteri asam laktat.
Riset dalam bidang h i dimulai dengan isolasi galur-galur bakteri
asam laktat yang potensial memproduksi bakteriosin dan senyawasenyawa antimikroba lainnya dari berbagai produk fermentasi
laktat (Jenie dan Rini, 1995; Djafaar eta!., 1996; Wardhani et

r
Strategi Riset Mikrobiologi Pangan

al., 1996; Wardbani et al., 1996), identifikasi isolat, dan
pemanfaatan bakteri tersebut dalam pengawetan pangan, atau
produksi bakteriosin untuk digunakan sebagai pengawet pangan.
Selanjutnya beberapa peneliti telah melakukan peningkatan
produksi senyawa antimikroba oleh bakteri asam laktat (Winarti et
al., 1996, Wijaya, 1996) dan optimasi produksinya (Santosa el al.,
1996).
Penelitian sernacam ini dapat dilanjutkan dengan
m-aatkan
bakteri asam laktat yang potensial dalam
memproduksi bakteriosin tersebut untuk memperbaiki proses
fermentasi sekaligus mengawetkan makanan-makanan tradisional
yang dibuat melalui fermentasi laktat seperti sayur asin, produkproduk ikan, dan lain-lain. Bakteriosin dan bakteri penghasil
bakteriosin telah digunakan dalam pengawetan berbagai produk
pangan seperti produk susu, produk ikan, dan produk dagmg (Abee
et al., 1995).

Pemanfaatan galur probiotik seperti bakteri asam laktat dalam
pengolahan pangan dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan
saluran pencemaan telah mulai dilakukan beberapa tahun terakhir
ini di Indonesia, misalnya produk-produk fermentasi laktat dari
berbagai bahan seperti santan kelapa @h
dan
%
Fardiaz, 1990;
Fardiatet al., 1993), air kelapa (Fardiaz et al., 1996), ekstrak
wortel (Fardiaz et al., 1996), b a n g tolo dan kacang rnerah
(Kusumaningrum et al., 1996; Zakaria dan Suciono, 1996; Zakaria
dan Soesanto, 1996 ), ubi jalar (Kusumaningrum et al., 1996), dan
susu kedelai (Jenie et al., 1996). Untuk meujngkatkan nilai gizi
produk-produk laktat tersebut telah dilakukan fermentasi
menggunakan campuran bakteri asam laktat dengan bakteri
pembentuk vitamin Bl2 yaitu Propionibacterium fieudenreichii
(Fardiaz et al., 1996; Kusumaningrum et al., 1996).

J

Riset mengenai mikotoksin di Indonesia terutama baru dilakukan
terhadap aflatoksin, walaupun jumlah dan kualitasnya masih sangat
kumng.
Penelitian mengpMi mikotoksin lainnya, misalnya
mikotoksin Fusarium yang ditemukan pada serealia seperti
fiunonisin (diproduksi oleh F. monilifonne dan F. proliferaturn),

Strategi Riset Mikrobidogi Pangan

I
I
I

I

1

\

1

I
I)

I

serta zearalenon dan deoksinivalenol (diproduksi oleh E graminearurn), m u n g h belum pernah dilakukan. Laporan dari
ACWCSIRO (1994) menyebutkan bahwa selain aflatoksin dan
okratoksin, ketiga toksin Fusarium tersebut merupakan mikotoksin
yang paling banyak ditemukan pada produk-produk pertanian.
Berbeda dengan Aspergillus dan Penicillium yang sering tumbuh
pada produk pertanian setelah m e n a n dan memproduksi
rnikotoksin selama penyimpanan bahan pangan, Fusarhm
merupakan patogen tanaman dan hanya tumbuh pada a, tinggi,
oleh karena itu pertumbuhan Fusarium dan produksi toksin terjadi
sebelurn atau segera setelah panen sebelurn bahan pangan
dikeringkan. Ketiga mikotoksin Fusanum tersebut sangat tahan
terhadap proses penggilingan serealia secara basah rnaupun kering
(Bennett dan Richard, 1996).
Riset mengenai virus dan parasit pada makanan masih sangat
jarang dilakukan, meskipun penyakit yang disebabkan oleh virus
merupakan penyakit yang cukup berbahaya. Beberapa virus yang
ditularkan melalui makanan seperti hepatovirus (virus Hepatitis A)
dan virus Norwalk banyak diternukan pada makanan hasil laut
yang ditangkap dari laut yang tercernar dan pada say-sawran,
serta ent_e_rpvirus (misalnya poliovirus) yang mungkm ditemukan
pada susu. Sebagai contoh, Jepang pernah menolak impor tornat
dari Kanada dan Amerika Serikat selama beberapa tahun karena
ditemukannya cemaran virus (Anonim, 1996).
Kebutuhan akan metode deteksi mikroba yang lebih cepat, akurat
dan praktis semakin meningkat >aim untuk mengimbangi perkembangan industri pangan di Indonesia. Kareua mikroba patogen
pada produk pangan seringkali terdapat dalam jumlah kecil, rnaka
diperlukan metode yang sangat sensitif untuk mendeteksinya.
Metode konvensional yang umurn digunakan di berbagai laboratorium di Indonesia untuk mendeteksi rnikroba patogen pada
produk
memerlukan beberapa tahap, sehingga membutuhkan waktu beberapa hari untuk melakukan uji secara lengkap.
Selain itu metode ini juga dianggap kurang seasitif, sehingga

Strstegi Riset Mikrobiologi Psngsn

seringkali tidak dapat mendeteksi mikroba yang terdapat dalam
jumlah sangat
- kecil dan--sukar dikulturkan (viable but non--------.--culturable).
Deteksi bakteri pada bahan pangan dengan metode cepat, akurat

dan spesifik, rnisalnya metode imunoasai menggunakan a n t i b d
poliklonal maupun monoMonal telah berkembang dengan cepat.
Metode sernacam ini diantaranya radioimunoasai (RIA),
fluoroimunoasai (FIA), dan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Kelebihan metode imunoasai dengan metode
lainnya dalam mendeteksi toksin atau sel mikroba adalah
sensitivitasnya. yang tin@ yaitu mencapai beberapa ppb,
persiapannya sederhana dibandingkan dengan metode konvensional,
dan biayanya lebih rendah. Metode-metode tersebut di atas perlu
dikembangkan di Indonesia untuk mendeteksi cemaran mikroba
patogen pada berbagai produk pangan dengan cara yang cepat,
akurat dan murah, serta dapat diterapkan langsung di lapangan.
Metode cepat lainnya yang telah dikembangkan dalam uji
mikrobiologi pangan adalah metode biolurninesens (berdasarkan
jumlah ATP nukroba), impedimetri (berdasarkan perubahan
impedans di dalam media), dan lain-lain yang sampai saat ini belum
banyak dimadaatkan oleh industri pangan d Indonesia.
I d e n t i W i mikroba patogen berdasarkan sidik jari DNA (DNA
fingerprinting) merupakan uji yang sangat sensitif. Akan tetapi
jumlah mikroba patogen di dalam rnakanan mungkm sangat kecil
dibandingkan dengan total mikroflora yang ada sehingga sangat
sulit untuk mendeteksinya. Untuk mengatasi masalah 1111 telah
dikernbangkan metode PCR (polymerase chain reaction) terrnasuk
LCR (ligase chain reaction) dan RAPD (random amplified
polymorphic DNA) sehingga sensitivitas uji dapat ditingkatkan.

Metode PCR telah banyak digunakan untuk mendeteksi L.
monocytogenes pada produk pangan (Farber dan Peterkin, 199l),
clan kombinasi teknik PCR dengan hibridisasi pada membran nilon
dapat mendeteksi bakteri tersebut dalarn jwnlah 2-25 koloni dalam

Stretegi Riset Mikrobiologi Pangan

waktu 6 jam (Bsat dan Batt, 1993; Bsat et al., 1994). Metode
PCR juga telah digunakan untuk mendeteksi galur-galur C.
botulinum tipe A, B, E clan F (Campbell et al., 1993; Szabo et al.,
1994), dan neurotoksin botulinum (NTBo) A sampai E (Szabo et
al., 1993), serta membedakan Mycobacterium tuberculosis dengan
M.bovis (Henera et al., 1996). Metode IMS (immuno magnetic
separation) dilanjutkan dengan PCR telah- digunakan untuk
mendeteksi beberapa rnikroba patogen pada produk pangan seperti
Salmonella (Fluit et al., 1993b), L. monocytogenes (Fluit et al.,
1993a), dan Y. enterocolitica (Kapperud et al., 1993). Kombinasi
penggunaan kolom afinitas DNA dan teknik PCR telah berhasil
mendeteksi E. coli enteroinvasif pada berbagai makanan (Andersen
dan Omiecinski, 1992).
Metode LCR rnarnpu membedakan urutan DNA dari beberapa
rnikroba yang sangat mirip yaitu yang hanya berbeda dalam satu
pasangan basa (Barany, 1991). Sebagai contoh teknik ini dapat
membedakan L. monocytogenes dengan Listeria lainnya yang
hanya berbeda dalam satu pasangan basa pada bagian V9 dari
rDNA 16s (Wiedmann et al., 1992). L. monocytogenesjuga dapat
dibedakan dari Listeria lainnya menggunakan metode lain seperti
RAPD (Csajka et al., 1993) dan PFGE (pulse-field gel electrophoresis) (Howard et al., 1992). T e l d PCR atau metode lainnya mungkm telah dicoba di beberapa laboratoriurn di Indonesia,
tetapi belum digunakan secara rutin untuk rnendeteksi mikroba
patogen pada produk pangan.
Perkembangan dalam bidang bioteknologi dan elektronik
memunglunkan dikembangkamya teknik biosenSor untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam mendeteksi analit atau
metabolit rnikroba (Deshpande dan Rocco, 1994). Salah satu
metode biosensor yang telah dikembangkan adalah metode ELlEC
(Enzyme-linked immunoelectrochemical assay). Metode ini dapat
mendeteksi Salmonella typhimurium dan Escherichia coli
0157:H7 dalam jumlah kurang dari 100 sel (Giese, 1995).
Kecepatan dan sensitivitas uji ini m e m u n m penggunaan

Strategi Riset Mikmbiologi Pangan

metode ini untuk pengujian sanitasi secara online dalam industri
pangan, misalnya dalam industri pemotongan ayam. Industriindustri yang telah maju di Indonesia dapat menggunakan metode
ini untuk pengendalian mutu dan keamanan produknya.

-

Riset Mengenai Keamanan Produk Pangan
- ____
- ______
,

- ------

\

mikrobiologi di bidang
- keamanan p e p di Indonesia
---- lebih
- banyak dilakukan terhadap
jroduk-iibduk pang* hewani ~ e ~ e @ ~ u & g ~ , - i a g ~ ~ ~
telur dan susu serta produk-produknya, terutama mengenai bakeri
. perusak dan patogen selama penang&
pasca panen, pengolahan
dan penyirnpanan. Riset rnikrobiologi terhadap sayuran dan buahbuahan sangat terbatas, sedangkan riset terhadap serealia terutarna
aflatoksin. I/-

'

'L- ---

.-

-

- ------

Indonesia belum mempunyai profil nasional mengenai pencemaran
bakteri patogen pada bahan pangan. Sebagai contoh di Amerika
Serikat tersedia data yang menggambarkan profil nasional
mengenai pencemaran Salmonella pada dagmg unggas, dan tercatat
sebanyak 20% dagmg ayam, 15% dagmg kalkun, 44% daging
ayam giling, dan 49% dagmg kalkun giling tercemar oleh
Salmonella (Anonim, 1996). Riset untuk rnenghasilkan profil
nasional semacam ini sangat diperlukan di Indonesia untuk
menetapkan prioritas program keamanan pangan.
Berbagai senyawa antimikroba alami yang ditemukan pada hewan
dan tanaman telah diketahui karakterisasinya. Sebagai contoh
aliltiosianat yang ditemukan di dalam lobak, bunga kol, kubis dan
brokoli dilaporkan clapat menghambat atau mernbunuh bakteri
patogen seperti Salmonella typhimurium, Escherichia coli dan
Listeria monocytogenes (Delaquis dan Mazza, 1995). Senyawasenyawa antimkmba alarni belum banyak dimaafbtkan dalam
pengawetan pangan, dan penelitian mengenai ha1 ini perlu
dikembangkan di Indonesia untuk rnenggantikau penggunaan bahan

1

Stretegi Riset Mikrobiologi Psngen

pengawet sintetis. Produksi senyawa-senyawa tersebut dapat
dilakukan melalui teknik kultur sel tanaman atau hewan.
Riset mengenai aktivitas antimikroba berbagai rempah-rempah
terhadap mikroba pembusuk dan patogen telah banyak dilakukan di
Indonesia (Sugiarto et al., 1986; Thomas et al., 1987; Ikasari et
al., 1990; Sutedja dan Agustina, 1991, 1995; Jenie dan Undriyani,
1992, dan lain-lain). Akan tetapi riset mengenai aktivitas
antimikroba tersebut di dalam sistem pangan yang terdiri dari
campuran bahan dan burnbu-bumbu masih sangat terbatas,
misalnya stabilitasnya selama pengolahan dan penyimpanan, dan
adanya senyawa-senyawa lain di dalam makanan tersebut yang
mungkm menghambat atau merangsang sifat antimikroba tersebut.
Berdasarkan jenis produk pangan, riset yang telah banyak
dilakukan di Indonesia terutama terhadap produk industri pangan
dan makanan jajanan, sedangkan riset terhadap makanan siap
santap yang dibuat oleh industri jasa boga dan restoran belum
..
u r v e i ~u
kan
-,~ p
banyak dilakukan%--minuman yang sensitif terhadap cemaran \
rnikroba terutama adalah minuman bersantan dan makanan lengkap
L h g disajikan---tanpa pemanasan (Slnztfooh4soject- 1990).
~ a k katering
senng -&j&
penyebab kasus keracun&
makanan, oleh karena itu perlu dilakukan survei mengenai
kearnanan makanan katering. Selain itu banyak makanan siap
santap yang merupakan makanan tradisional yang perlu dikaji
kearnanannya selama penyirnpanan atau penyajian.

E
T
a
h
=
w
~
~
-

-_

Makanan tradisional siap santap urnumnya diolah dengan cara
yang telah dilakukan secara turun temurun. Cara pemasakan ini
mungkm tidak menjamin keamanan makanan, atau menyebabkan
timbulnya senyawa-senyawa berbahaya bagi kesehatan. Oleh
karena itu perlu diketahui tahap-tahap kritis dalam pengolahan
makanan tradisional yang dapat menjamin keamanan makanan
tersebut, atau tahap-tahap yang perlu dihindari atau dimodifikasi
untuk meningkatkan kearnanannya. Riset untuk meningkatkan

/

Strategi Riset Mikrobiologi Pengan

keamanan dan mutu makanan-makanan tradisional perlu ditingkatkan untuk mendukung pemerintah dalam program ACMI (Aku
Cinta Makanan Indonesia).
Pada saat ini banyak produk pangan yang diproduksi oleh industri
berskala besar tetapi dijual atau disajikan oleh pedagang makanan
jajanan atau oleh warung-warung di pinggir jalan, yang seringkali
dilakukan dengan cara yang tidak benar. Contoh yang sering kita
lihat sehari-hari adalah penjualan produk susu fermentasi tanpa
pendinginan di warung atau penjual rokok, penjualan susu pasteurisasi tanpa pendinginan di warung, clan penjualan produk-produk
dagmg seperti hamburger clan sosis tanpa pendinginan oleh
pedagang keliling. Produk-produk tersebut merupakan makanan
berisiko tinggi terhadap pencemaran oleh bakteri patogen sehingga
perlu diawasi sejak produksi bahan baku, pengolahan, penjualan,
sampai ke tangan konsumen.

Riset yang bersifat praktis seharusnya dapat dilakukan oleh
industri, misalnya untuk menduga masa simpadpenjualan
produknya. Sebagai contoh, jika seorang pedagang hamburger
atau sosis berkeliling selarna 8 jam pada suhu udara yang mungkm
cukup hangat sehingga sangat baik untuk pertwnbuhan mikroba
patogen, maka jika di dalam produk tersebut terdapat satu bakteri
patogen dengan waktu membelah setiap 20 menit, rnaka dalam
waktu 8 jam jumlahnya dapat rnenjapai lebih dari 16juta sel. Jika
produk tersebut kemudian hanp rnendapatkan panas minimal
sebelum dikonsumsi, maka dapat diduga bahaya kesehatan yang
mungkm tirnbul. Industri yang memproduksi produk semacam ini
seharusnya sudah dapat rnengantisipasi ttngkat bahaya yang
mungkm terjadi pada produk tersebut, rnisalnya menggunakan
modeling rnikrobiologi untuk menduga jumlah mikroba selama
penyimpanan, serta memikirkan cara pengendalian mutu dan
keamanannya.

STRATEGI RISET BIDANG MIKROBIOLOGI PANGAN
DI INDONESIA

D

ari uraian mengenai berbagai faktor penyebab timbulnya
masalah keamanan pangan dan riset mikrobiologi yang telah
dilakukan baik di Indonesia maupun di negara lain, rnaka dapat
disarankan berbagai riset yang perlu dikembangkan di bidang
mikrobiologi. Untuk meningkatkan kearnanan pangan di Indonesia,
strategi riset mikrobiologi pangan sebaiknya diarahkan pada
beberapa ha1 sebagai berikut:
Peningkatan kernarnpuan untuk mendeteksi mikroba patogen
pada produk pangan.
Pengembangan proses mikrobiologi untuk meningkatkan
keamanan pangan, terrnasuk pemanfaatan kultur murni dalam
fermentasi pangan.
Pemanfaatan mikroba untuk produksi makamdrninurnan kesehatan.
Penggalian inforrnasi mengenai masalah kearnanan pangan di
Indonesia untuk menyusun profil keamanan pangan secara
nasional.
Berdasarkan strategi tersebut dapat disusun program riset di bidang
mikrobiologi pangan yang dapat dibedakan atas riset dasar di
bidang mikrobiologi, dan riset terapan baik yang dapat dimanfaatkan oleh rnasyarakat maupun yang berguna untuk menunjang
program pemerintah di bidang keamanan pangan. Di bawah ini
akan diuraikan beberapa topik payung riset di bidang mikrobiologi
pangan yang perlu dikembangkan di Indonesia.

Pengembangan Metode Deteksi Mikroba dan Toksin
Salah satu kendala dalam pengawasan makanan adalah keterbatasan fasilitas laboratorium dan lemahnya metode yang digunakan
untuk mendeteksi mikroba patogen, karena metode yang digunakan
pada umumnya masih konvensional.. Pengembangan metode cepat
untuk rnendeteksi mikroba patogen dan toksinnya berdasarkan

Strategi Riset Mikrobiologi Pangan

prinsip imunoasai dan pelacakan DNA perlu dilakukan di Indonesia
untuk menggantikan metode konvensional yang meiherlukan waktu
lama dan kurang teliti. Pengembangan suatu kit yang relatif murah
dan dapat mendeteksi mikroba dan toksin secara cepat dan akurat
akan sangat membantu dalam mengidentifikasi kasus keracunan
makanan. Metode yang telah dikembangkan di negara-negara lain
yang telah maju mungkm perlu disesuaikan untuk kondisi di
Indonesia, terutama karena jenis makanan dan kondisi lingkungan
di Indonesia yang berbeda dengan negara-negara tersebut.

Karakterisasi Mikroba dan Toksin
Jenis makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia pada
saat ini sangat beragam, mulai dari makanan tradisional sampai
makanan ala Barat. Karena cara pengolahan, penjualan dan
konsurnsi yang khas Indonesia serta sifat mikroba yang cepat
menyesuaikan dengan lingkungan, rnaka isolat-isolat mikroba
patogen yang diisolasi dari berbagai makanan Indonesia perlu
diteliti kembali sifat-sifatnya. %set mengenai sifat patogenik,
faktor-faktor pe-buhan
dan produksi toksin, serta ekologi
rnikroba patogen pada rnakanan tradisional sangat berguna untuk
menunjang riset terapan tentang makanan tradisional.

-

26

-

Riset mengenai toksin mikroba yang rnasih sangat terbatas di
Indonesia perlu dikembangkan, termasuk toksin bakteri dan
mikotoksin. Beberapa karakteristik yang perlu diketahui mengenai
toksin rnikroba rnisalnya mekanisme terbentulcnya toksin di dalam
rnakanan atau di dalam tubuh rnanusia, gejala yang ditirnbulkan,
struktur dan komposisi toksin, transpor toksin di dalam tubuh,
kofaktor yang diperlukan, reseptor dan target toksin, gejala yang
ditimbu~a~x..m_f-o_k$.i (nilai _LDw),- dm metode deteksi
Selain aflatoksin, rnikoto&$ l a h y a y&g perlu diteliti-'
okratoksin, funonisin, zearalenon dan deoksinivalenol
ang banyak ditemukan pada produk pangan. ,
j
------- .---------