Siwulasi perkembangan sapi bali pada peternakan rakyat di Propinsi Bali

SIMULASI PERKEMBANGAN SAP1 BALI

Oleh

UAMSUDDIN GAWWTJANC;

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1993

RINGKASAN
SJAWSUDDIN GARANTJANG.

Simulasi Perkembangan Sapi Bali

pada Peternakan Rakyat di Propinsi Bali (Di bawah
bimbingan

HARIMURTI MARTOJO


sebagai

ketua, R. EDDIE

GURNADI,

BEDJO SOEWARDI, AHMAD ANSORI MATTJIK dan

MOEWARNO DJOJOMARTONO masing-masing sebagai anggota).
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui perubahan

penampilan produksi sapi Bali jika

berbagai

metode seleksi dicobakan pada peternakan rakyat, (2)
Mengkaji akibat dari tingkat pemanenan pada keadaan peternakan rakyat yang berlaku saat ini, (3)

Menentukan


tingkat pemanenan dan pertumbuhan sapi Bali sehingga
mutu dan jumlahnya sesuai dengan daya dukung lingkungan.
Pengkajian dilakukan dengan model simulasi terhadap
perkembangan sapi Bali, yaitu:
1.

Simulasi seleksi, dilakukan

terhadap populasi

yang terdiri dari 150 ekor jantan, dan 600 ekor betina.
Jumlah populasi dan komposisi umur dianggap tetap selama
simulasi, dengan kisaran umur ternak antara tiga tahun
sampai sembilan tahun.

Perkawinan dilakukan secara acak

dan tiap tahun terjadi pergeseran ternak antar kelompok.
Calon tetua pengganti dipilih jantan muda dan betina
muda dari keturunannya.

Ternak calon tetua dipilih berdasarkan kriteria
seleksi dan pengafkiran.

Kriteria pengafkiran tetua di-

laksanakan berdasarkan (a) sudah tua (umur lebih sembilan

tahun), (b) jarak beranak (dua tahun berturut-turut tidak mempunyai keturunan/majir),

( c ) tingkat kematian

anak sampai disapih (anak sering mati), (d) daya produksi induk yang rendah (rataan bobot sapih anak rendah).
Ada tiga metode seleksi yang dicobakan, yaitu:
1)

Seleksi terbaik yaitu calon tetua dipilih berdasarkan ranking bobot badan tertinggi dari kelompoknya.

2)

Seleksi negatif dicobakan dua tingkat yaitu, calon

tetua jantan dipilih secara acak dari kelompok jantan muda yang terlebih dahulu dikeluarkan masingmasing

30 persen dan 66 persen yang terbaik dan

calon

tetua

betina

dipilih

secara

acak

dari

kelompoknya.
3)


Tanpa seleksi, yaitu

calon tetua jantan dan betina

diambil secara acak dari kelompoknya.
Seleksi secara langsung dilakukan terhadap bobot
setahunan dan secara tidak langsung terhadap bobot sapih.

Proses simulasi seleksi dimulai dengan membentuk

populasi tetua dasar untuk menyediakan genotipe-genotipe
tetua jantan dan betina untuk menghasilkan
akan diseleksi,

anak yang

Masukan parameter yang digunakan adalah

simpangan baku bobot sapih dan bobot setahunan, heritabilitas masing-masing sifat dan korelasi genetik diantara kedua sifat dengan asumsi lingkungan tidak berubah,

tingkat kelahiran 65 persen, umur beranak pertama tiga
tahun, "replacementw dari kelompok yang sama dan simulasi seleksi dilakukan dalam 20 tahun.

2.

Simulasi

perkembangan populasi, terdiri dari

dua skenario yaitu:
akibat dari

Skenario pertama untuk mengkaji

pemanenan

pada

yang berlaku saat ini.


keadaan peternakan

rakyat

Tiga tingkat pemanenan yang di-

cobakan yaitu 16 persen (kondisi lapang), 14 persen dan
12 persen dengan kenaikan 6.2 persen setahun.

Ketiga

tingkat pemanenan tersebut dikombinasikan dengan tingkat
kelahiran 6 0 persen, kematian anak enam persen dan
kematian dewasa empat persen sebagai temuan di lapang.
Skenario kedua, bertujuan untuk menentukan tingkat pemanenan

dan

pertumbuhan


sapi

Bali

sehingga

mutu

dan

jumlahnya sesuai dengan daya dukung wilayah. Ternak yang
dipanen berupa induk afkir

dan pe jantan

persen, dara afkir 10 persen,
dara.

afkir 10


-

20

jantan muda dan surplus

Pada skenario kedua juga diperhitungkan daya du-

kung wilayah sebagai sasaran pengembangan, dan rasio pejantan induk diperlebar l : 10 untuk meningkatkan jumlah
anak yang lahir.
Skenario kedua terdiri dari tiga kondisi yang dicobakan, yaitu pertama kombinasi tingkat kelahiran 60
persen (tahun ke 1

-

persen (tahun ke 11

5), 65 persen (tahun ke 6

-


lo), 70

15) dan 75 persen (tahun ke 16

20) , kematian anak-muda
lima persen (tahun ke 6

-

-

enam persen

-

(tahun ke 1

-


-

5),

lo), empat persen (tahun ke 11

15), dan empat persen (tahun ke 16

dewasa empat persen (tahun ke 1

-

-

20), dan kematian

5), dan tiga persen

(tahun ke 6

-

20).

Kondisi dua tingkat kelahiran 60

persen tetap selama simulasi, kombinasi tingkat kematian
seperti kondisi pertama dan kondisi tiga kombinasi tingkat kelahiran seperti kondisi pertama, sedang tingkat
kematian anak enam persen dan kematian dewasa empat persen tetap selama simulasi.
Hasil

simulasi seleksi terbaik menunjukkan

terjadi perubahan rata-rata penampilan produksi

bahwa
(bobot

badan) yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Setelah generasi ke-20 rata-rata bobot setahunan naik
sebesar 11.98 persen dan bobot sapih naik sebesar 12.43
persen.

Seleksi negatif menunjukkan penurunan rata-rata

bobot setahunan dan bobot sapih.

Pada generasi ke-20

rata-rata penurunan bobot setahunan untuk seleksi negatif I dan I1 masing-masing 9.62 persen dan 12.79 persen.
Rata-rata penurunan bobot sapih pada generasi ke-20 untuk seleksi negatif I dan I1 masing-masing sebesar 10.45
persen dan 11.61 persen.
Hasil simulasi perkembangan populasi pada skenario
satu menunjukkan bahwa pada tingkat kelahiran 60 persen,
kematian anak enam persen dan kematian dewasa empat persen terjadi penurunan populasi pada tahun ke-20 akhir
simulasi rata-rata 1.52 persen pertahun.

Pada tingkat

kelahiran yang sama 60 persen, kematian anak enam persen
dan kematian dewasa empat persen dengan pemanenan

14

persen juga menghasilkan total populasi menurun dengan

penurunan rata-rata 1.23 persen pertahun.

Pemanenan se-

besar 12 persen dengan tingkat kelahiran 60 persen, kematian anak enam persen dan kematian dewasa empat persen, total populasi naik rata-rata 0.78 persen pertahun.
Ini berarti bahwa kondisi lapang di Bali seperti di atas
pemanenan yang sesuai adalah 12 persen.
Hasil simulasi kondisi pertama populasi terkontrol,
kestabilan populasi dicapai pada tahun ke-12 sesuai daya
dukung lingkungan 480 000 ST berdasarkan BK.

Rata-rata

total pemanenan lima tahun terakhir mencapai 19 persen
dari populasi yang terdiri dari jantan gemuk 48 persen,
induk afkir 32 persen, selebihnya terdiri dari pejantan
afkir, dara afkir dan surplus dara.

Kondisi kedua ting-

kat kelahiran tetap 60 persen selama simulasi, dengan
kematian anak dan dewasa seperti pada kondisi pertama,
kestabilan populasi dicapai lebih lama yaitu tahun ke16, dengan rata-rata pemanenan pada lima tahun terakhir

simulasi 18 persen dari total populasi, dengan panen
surplus dara rata-rata 2 570 ekor, lebih rendah daripada kondisi pertama yang besarnya 13 409 ekor. Kondisi
ketiga, tingkat kelahiran seperti kondisi pertama dengan
tingkat kematian anak enam persen dan dewasa empat persen, kestabilan populasi

dicapai

pada

tahun

ke-12,

dengan rata-rata pemanenan pada lima tahun terakhir 18
persen dan surplus dara 8 356 ekor dari total pemanenan.

SINULASI PERKEXBANGAN SAP1 BALI
PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROPINSI BALI

Oleh
SJAMSUDDIN GARANTJANG

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Doktor
pada

Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PWTANIAN BOGOR
1 9 9 3

Judul Disertasi : SIWULASI PERKEMBANGAN SAP1 BALI PADA
PETERNAKAN RAKYAT DI PROPINSI BALI
~ a m aMahasiswa

: SJAMSUDDIN GARANTJANG

Nomor Pokok

: 85 510 PTK

Menyetujui:
1.

Komisi Pembimbing

Ketua

/ Prof. Dr R. Eddie Gurnadi

Dr Bedjo Soewardi, H!3c

Anqgota

Anggota

m
Dr Ir H. Ahmad Ansori Mattjik

D

Anggota

2.

Ketua Program Studi
Ilmu Ternak

Lulus Tanggal :

14 Agustus 1993.

Anggota

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Salokaraja-Kaju, Bone, Sulawesi Selatan pada tanggal 7 Juli 1951, putera kelima
dari ayah Garantjang

(almarhum) dan ibu Sitti Saenab

(almarhumah).
Lulus Sekolah Rakyat Negeri I tahun 1963 di Pattiro
Ba jo, Sekolah Menengah Pertama Negeri I1 tahun 1963 di
Watampone dan Sekolah Menengah Atas Negeri

I11 tahun

1969 di Ujung Pandang.
Pada tahun 1970 penulis melanjutkan pendidikan pada
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Ujung Pandang
dan lulus pada tahun 1976.
Sejak Februari 1976 diangkat sebagai asisten tetap
pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin dan dengan penyesuaian ijazah tahun 1978 diangkat sebagai dosen tetap pada fakultas yang sama dengan pangkat Asisten
Muda

.
Pada tahun 1979 mengikuti kursus "Short Course on

Beef Cattle Management and Economicsw yang diselenggarakan atas kerjasama antara Universitas Hasanuddin dengan
AAUCS Australia.
Pada tahun 1981 mengikuti pendidikan Program S 2 di
Universitas Okayama Jepang dan memperoleh gelar Master
of Agriculture pada tahun 1984.

Pada tahun 1984 sampai tahun 1985 diangkat sebagai
Sekretaris Jurusan Produksi Ternak pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.
Pada tahun 1985 mendapat kesempatan mengikuti Program Doktor pada Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor pada jurusan Ilmu Ternak.
Menikah dengan Ir. Andi Niartiningsih pada tahun
1985 dan dikaruniai tiga orang putera-puteri: Yayah

Inayah, Zakiy Ubaid dan Muhammad Fauzan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
Rabbul Alamin, karena atas kehendak dan karuniaNyalah
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi.
Kepada Bapak Prof. Dr H. Harimurti Martojo selaku
Ketua Komisi Pembimbing, penulis menyampaikan banyak terima kasih atas segala nasehat, bimbingan serta perhatian beliau kepada penulis baik yang menyangkut masalah
akademis maupun non akademis sehingga benar-benar mampu
mendorong

semangat

Ucapan terima

kasih

dalam
yang

penyelesaian
sama

disertasi.

disampaikan

kepada

Bapak Prof. Dr R. Eddie Gurnadi, Bapak Dr Bedjo Soewardi,
Bapak

Dr

Ir

H. Ahmad Ansori

Mattjik,

dan

Bapak

Dr H. Moeljarno Djojomartono, MSA masing-masing selaku
Anggota Komisi Pembimbing atas segala perhatian bimbingan
dan nasehat yang sangat berharga dalam penyelesaian
disertasi.
Kepada Bapak Direktur Program Pascasarjana IPB,
Rektor

IPB dan

Ketua

Jurusan

Ilmu Ternak

Program

Pascasarjana IPB, penulis menyampaikan terima kasih atas
izin dan perhatian dalam studi.

Demikian juga kepada

Bapak Rektor UNHAS dan Dekan Fakultas Peternakan UNHAS,
penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti Program Doktor di Institut Pertanian Bogor.

Kepada Koordinator Tiem Manajemen Program Doktor
Depdikbud Republik Indonesia, Ketua Yayasan Supersemar,
Ketua Yayasan Toyota Astra dan Ketua Yayasan Pendidikan
'Latimojong Ujung Pandang, penulis menyampaikan terima
kasih atas segala bantuan dana penelitian dan penulisan
disertasi.
Bapak Gubernur Propinsi Daerah Tingkat I

Kepada

Bali dan aparatnya, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten
Badung, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Bangli beserta
seluruh staf penulis mengucapkan terima kasih atas segala
bantuan

selama penelitian.

Ucapan

terima

kasih

penulis

sampaikan

kepada

saudara Ir Fuxie dan saudara Ir Dahono Dewangkoro yang
telah

membantu

dalam

penyusunan

model

matematik

dan

analisis data.
Kehadapan almarhumah Ibunda Siti Saenab dan almarhum Ayahanda Garantjang, penulis mengucapkan terima kasih
yang

sebesar-besarnya

atas

segala

kasih

sayang

me-

melihara, membesarkan, memberi motivasi dan doa restu
*dalam menuntut ilmu.
MSc.,

Kepada Kakak Drs. Ahmad Ganrantjang

Siti Sulha G.,

Siti Habiba G.,

dan Adik Drs. Sabaruddin G.,

Dra. Atika G.,

penulis menyampaikan banyak

terima kasih atas segala bantuan dan dofa restu selama
penulis menuntut ilmu.

Kepada semua keluarga dan rekan-

rekan yang telah memberikan

bantuan

baik

moril

maupun

materil selama ini yang penulis tidak dapat menyebutkan
satu persatu disampaikan banyak terima kasih.
Akhirnya tertuju kepada isteri tercinta dan anakanak tersayang Yayah, Zakiy dan Fauzan penulis menyampaikan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam
atas segala pengertian, ketabahan dan pengorbanan yang
diperlihatkan selama penulis tidak berada di tengahtengah mereka.

DAFTAR IS1

Halaman

........................................
DAFTAR TABEL ......................................
DAFTAR GAMBAR .....................................
DAFTAR LAMPIRAN ..................................
I.
PENDAHULUAN .................................
1.1.
Latar Belakang .........................
1.2.
Tujuan dan Kegunaan ...................
I1.
TINJAUAN PUSTAKA ............................
DAFTAR IS1

...........

viii
X

xii
xiii
1
1
10
12

2.1.

Deskripsi Daerah Penelitian

2.2.

Sistem Peternakan di Lingkungan
Pedesaan

18

Pengembangan Peternakan Sapi di
Propinsi Bali

22

2.3.
2.4.
2.5.
2.6.
2.7.

..............................

.........................
Sapi Bali dan Penyebarannya ...........
Penampilan. Produksi Sapi Bali .........
Penampilan Reproduksi .................
Peningkatan Mutu Sapi Bali ............

.....................
2.9.
Model dan Simulasi ....................
I11. METODA PENELITIAN ...........................
Tempat Penelitian .....................
3.1.
3.2.
Data yang Dikumpulkan .................
Model Analisis ........................
3.3.
3.4.
Validasi Model ........................
2.8.

Parameter Genetik

viii

12

25
28
36
40
43

49
52
52
54
56
83

Halaman

........................
4.1. Validasi Model ........................
4.2. Simulasi Perkembangan Kinerja ........
4.3.
Simulasi Perkembangan Populasi ........
4.4.
Implikasi Hasil Penelitian ............
KESIMPULAN DAN SARAN ........................
5.1. Kesimpulan ............................
5.2.
Saran .................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................
LAMPIRAN ..........................................
HASIL DAN PEMBAHASAN

84
84
86

98
112
116

116
117
119
128

Nomor

Halaman
Teks

1.

2.

Penyebaran dan Perkembangan Sapi Bali Tahun
1984 dan Jumlah Sapi Potong Menurut
Propinsi Tahun 1988

...................

4

Bobot Badan Sapi Bali Jantan dan Betina dari
Berbagai Sumber

6

........................

Pembagian Wilayah Propinsi Bali dengan
Ibukota Kabupaten

......................

13

4.

Tataguna Lahan Propinsi Daerah Tingkat I Bali

14

5.

Jumlah Penduduk per Luas Lahan Pertanian di
tiap Kabupaten di Propinsi Bali

17

Kepadatan Ternak di tiap Kabupaten di
Propinsi Bali

18

Konsentrasi Sapi Bali di Empat Propinsi yang
Tercatat pada Tahun 1988

29

3.

6.
7.
8.

........

.........................
...............

Parameter Sifat Populasi Dipergunakan dalam
Simulasi Perkembangan Populasi
(Skenario I)

............................

9.

Komposisi Populasi Sapi Bali pada Tahun 1991.

.......

10.

Produksi Hijauan dari Berbagai Sumber

11.

Hasil Limbah Pertanian Jerami Tersedia
Propinsi Bali Tahun 1987

12.

Parameter Sifat Populasi yang Dipergunakan
dalam Simulasi Perkembangan Populasi
(Skenario 11)

...............

..........................

13.

Rataan dan Sim~anganBaku Bobot Setahunan
Hasil Sfmulasi dan Data Lapang

14.

Rataan Bobot Setahunan dan Bobot Sapih Awal
dan Akhir Simulasi

15.

Korelasi Genetik (rG) dan Korelasi Fenotipik
(rp) antara Bobot Sapih dengan Bobot
Setahun

.........

.....................

................................

Nomor

Halaman
Teks

16.

17.
18.

Hasil Simulasi Perkembangan Populasi dari
Berbagai Tingkat Pemanenan

99

Komposisi Induk dan Pejantan dari Kondisi
Awal dan Akhir Simulasi

103

Rata-rata Populasi Pejantan, Induk dan AnakMuda dan Populasi Total Setiap Lima
Tahun Periode Simulasi

107

Rata-rata Pemanenan Setiap Lima Tahun
Simulasi

110

.............

................

.................

19.

...............................

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Nomor

Teks
1.

2.

Penyebaran Ternak Menurut Umur dan Jenis
Kelamin dalam Populasi

58

Hubungan antara Komponen-komponen Sistem
Proses Simulasi Perkembangan Populasi
Sapi Bali

69

Diagram Masukan-Keluaran Model Pengkajian
Perkembangan Populasi Sapi Bali

70

Diagram Alir Model Pengkajian Perkembangan
Populasi Sapi Bali

.....................

77

Grafik Respons Seleksi Bobot Setahun Sapi
Bali dari Hasil Simulasi Seleksi Berbeda

87

Grafik Rataan Bobot Setahun dan Simpangan
Baku dari Hasil Simulasi dengan Cara
Seleksi Berbeda

94

Grafik Rataan Bobot Sapih dan Simpangan Baku
dari Hasil Simulasi dengan Cara Seleksi
Berbeda

95

.................

..............................

3.
4.

5.
6.

........

.......................

7.

................................

8.
9.

Grafik Perkembangan Populasi Sapi Bali Hasil
Simulasi dengan Tingkat Pemanenan Berbeda

101

Grafik Perkembangan Populasi dan Pemanenan
Sapi Bali selama Simulasi Populasi
Terkontrol

112

.............................

Nomor

Halaman

.............

1.

Peta Administrasi Propinsi Bali

2.

Rata-rata Keadaan Cuaca di Propinsi Bali
dari Tahun 1977 - 1985

130

Standarized Selection Differentials in Large
Population

131

3.
4.

.................

.............................

Pemanenan Sapi Bali Selama 15 Tahun Terakhir
di Propinsi Bali pada Periode Tahun
1977

5.

6.
7.

8.
9.
10.
11.
12.
13.

129

-

1991

............................

132

Keadaan Populasi Sapi Bali dari Tahun 1979
sampai 1991

133

Hasil Uji-t Antara Data Simulasi dengan Data
Lapang

134

Respons Seleksi Bobot Setahunan Sapi Bali
dari Populasi dengan Seleksi Berbeda

...

137

Respons Seleksi Bobot Sapih Sapi Bali dari
Populasi dengan Seleksi Berbeda

........

138

Rataan Bobot Sapih pada Populasi dengan
Metoda Seleksi yang Berbeda

139

Rataan Bobot Setahun dari Populasi dengan
Metoda Seleksi yang Berbeda

140

............................

.................................

............
............

Hasil Perhitungan Perkembangan Populasi pada
Kondisi Tingkat Pemanenan 16 Persen

141

Hasil Perhitungan Perkembangan Populasi pada
Kondisi Tingkat Pemanenan 14 Persen

142

Hasil Perhitungan Perkembangan Populasi pada
Kondisi Tingkat Pemanenan 12 Persen

143

....
....

....

14-16. Hasil Simulasi Perkembangan Populasi Sapi

Bali (Populasi Terkontrol)

xiii

.............

144

1.1.

Latar Belakanq
Arah pembangunan sektor pertanian adalah berkembang-

nya pertanian yang maju, efisien dan tangguh, yang bertujuan untuk (1) meningkatkan hasil dan produksi pangan,
(2) meningkatkan pendapatan petani, (3) memperluas lapangan kerja dan

(4)

menunjang pembangunan industri serta

meningkatkan ekspor.
Dalam pembangunan peternakan ada beberapa unsur yang
saling terkait sebagai suatu sistem, sehingga dapat disebut industri pertanian (agro-industri).

Unsur manusia

petani ternak dipandang sebagai subyek harus ditingkatkan
kesejahteraannya, ternak dipandang sebagai obyek yang harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya, lahan dipandang sebagai basis ekologi budidaya dan pendukung pakan dan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi produktivitas usahatani.
Sebagai gambaran pengembangan peternakan pada PJPT
I1 tercermin pada tujuan pembangunan peternakan pada Re-

pelita VI dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui pendekatan skala usahatani yang lebih ekonomis dengan keunggulan kompetitif dan komperatif baik wilayah maupun komoditi, (2) Meningkatkan gizi masyarakat melalui gerakan
nasional yang didukung peningkatan produksi dan produktivitas ternak dan hasil ternak, (3) Meningkatkan perolehan

2

devisa dengan mendorong ekspor melalui diversifikasi
komoditas dan produk unggulan serta substitusi impor
"produk-produk peternakan,

(4)

Menciptakan lapangan kerja

dan kesempatan berusaha terutama pada kegiatan agribisnis
dan agroindustri dan (5) Memanfaatkan serta melestarikan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan pemanfaatan
bioindustri dan bioproses (Ditjennak, 19921.
Dalam melaksanakan pembangunan peternakan, perhatian
khusus perlu diberikan kepada pengembangan peternakan
rakyat yang merupakan bagian terbesar dari peternak Indonesia, meningkatkan peran serta koperasi dan keikut sertaan swasta (Dirjen Peternakan, 1990).
Sektor peternakan sapi potong merupakan salah satu
bagian penting dalam perekonomian masyarakat desa, mengingat 99.6 persen sapi potong merupakan peternakan rakyat.

Sektor peternakan memberikan lapangan kerja kepada

lebih sembilan juta rumah tangga pada tahun 1985.
Sapi Bali merupakan salah satu sapi asli Indonesia
dan terdapat dalam jumlah yang cukup besar, yang telah
tersebar luas hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Hal ini sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah

dalam Repelita IV yang menggalakkan penyebaran sapi Bali
melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi peternakan, yang antaranya dilaksanakan sebagai bagian dari program transmigrasi. Hal ini merupakan tindak lanjut usaha
pemerintah yang telah menetapkan sapi Bali sebagai sapi

yang diprioritaskan untuk memperbaiki mutu sapi lokal
yang ada, maupun disebarkan ke wilayah-wilayah yang
sebelumnya tidak terdapat sapi.
Sapi Bali mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi
kini telah terbukti di beberapa daerah menjadi semakin
terkenal dengan sifat-sifatnya yang unik, mempunyai masa
depan yang cerah, dapat beradaptasi dengan baik terhadap
kondisi tropik basah maupun kering.
Usaha untuk mempertahankan dan melestarikan sapi
Bali murni telah lama dilakukan oleh pemerintah dengan
menetapkan larangan memasukkan bangsa sapi lain di pulau
Bali.

Selain daripada itu beberapa wilayah ditetapkan

sebagai kantong pusat peternakan sapi Bali murni, antara
lain di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bone dan Barru), di
Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Sapi Bali saat ini telah menyebar ke seluruh propinsi kecuali DKI Jakarta yang tidak diprogramkan lagi untuk
pengembangan sapi potong.

Penyebaran dan perkembangan

sapi Bali dan total populasi sapi potong di Indonesia disajikan pada Tabel 1.
Pulau Bali sudah lama dikenal sebagai penghasil sapi
Bali baik sebagai sapi bibit, maupun sebagai sapi potong
dan kerja.

Pada tahun 1988 Propinsi Bali menampung sapi

potong sebanyak 432 927 ekor sekaligus menempatkan Propinsi Bali diurutan kelima terbanyak di antara 27 propinsi di Indonesia.

Tabel 1.

No.

Penyebaran dan Perkembangan Sapi Bali
Tahun 1984, 1988 dan Jumlah Sapi Potong
Menurut Propinsi Tahun 1988

Jumlah sapi ~ a l i l ) Jumlah sapi
------------------- potong

P r o p i n s i

1984

DI. Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
R i a u
J a m b i
Bengkulu
Sumatera Selatan
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi .Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
B a l i
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
M a l u k u
Irian Jaya
Timor Timur
Indonesia
Persentase

1988

1988

............. ekor .............
1
7
3
5
3
10

13
39
5
6
1
62
951
1
413
260
407
1
1

74
963
129
090
140
240
466
347

-

601
030
180
359
934
335
403
100
484
411
386
850
830
877
210
029
260
400

2 199 128
(23.81)

2
6
26
20
14
21
83

14
42
46
11
60
9
1
69
987
14
432
305
438
9
4
7

84
455
867
489
047
939
228
730

419
193
353
80
79
89
315
163

930
339
696
245
090
106
500
024

620
236
185
234
236
244
093
923
833
848
463
367
927
388
138
326
571
664

144
1 138
185
2 912
91
38
99
34
247
329
1 198
175
432
330
596
71
27
53

270
863
217
677
657
940
847
806
639
007
234
200
927
793
431
428
064
593

-

2 632 125
(26.92)

-

9 802 521
(100.00)

Sumber: 1) Statistik Peternakan dan data pendukung,
1992

Berbagai pihak menaruh perhatian terhadap sapi Bali,
baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
an

pemerintah baik masa lampau maupun masa

Perhati-

kini dengan

kebijakannya telah mempertahankan kemurnian sapi Bali di
Bali dan beberapa tempat di luar Jawa.

Kebijakan ini

sesuai dengan anjuran FA0 untuk mempertahankan kemurnian
bangsa-bangsa sapi asli.
Perhatian yang cukup besar terlihat dari Kelompok
Pemerhati Internasional yang melihat sapi Bali sebagai
salah satu ternak Asia yang kurang dikenal dengan masa
depan ekonomik yang cerah (National Research Council,
1984).

Sebagaimana tujuan pembangunan peternakan, jika Indonesia akan mempertahankan swasembada (daging sapi)
jangka panjang, program untuk melestarikan sumber-sumber
genetik ternak sapi Bali dan Banteng, harus diteruskan
(Martojo, 1988).

Untuk itu di

daerah-daerah sumber

bibit, perlu selalu diadakan kajian dan pemantauan secara
berkesinambungan dalam upaya menjaga kualitas bibit yang
dihasilkan.
Diduga selama enam puluh tahun yang lalu terjadi penurunan mutu sapi Bali yang dimanifestasikan turunnya bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh lainnya pada usia jual
yang sama.

Dugaan ini tercermin dari hasil beberapa pe-

nelitian yang memperlihatkan bobot badan yang semakin

rendah mulai tahun 1922 sampai tahun 1985, sebagaimana
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.

Bobot Badan Sapi Bali Jantan dan Betina
dari Berbagai Sumber

Bobot badan (kg)
.....................

Penel iti

Jantan

Tempat

Betina

Angelino, 1922

Bali

Merkens, 1926

Bali

Aalfs, 1934

Bali

IPB, 1970

Bali

Sutedja dkk., 1976

Bali

Darmadja, 1980

Bali

Ditjennak dan Unibraw, 1983

Sul-Sel

Martojo, 1984

Bali

Ditjennak-BPT, 1985

NTT

Sumber: BPT, 1985 dalam Martojo, 1988
Terdapat berbagai komentar dan silang pendapat tentang terjadinya penurunan mutu sapi Bali. Darmadja (1980)
menyatakan penyebab mundurnya mutu sapi Bali karena faktor makanan (overstocking).

Pendapat

ini mempunyai ke-

lemahan karena penurunan mutu mulai terjadi pada tahun
1926, padahal pada waktu itu ternak tidak sepadat saat
sekarang.

Begitu juga penduduk tidak sebanyak sekarang

sehingga otomatis persediaan makanan lebih banyak dibanding sekarang, maka

tentu penyebab turunnya mutu sapi

Bali bukan disebabkan karena kekurangan makanan
1982).

(Pane,

Hasil survei kebutuhan dan persediaan hijauan di

Bali mendapatkan bahwa masih cukup tersedia hijauan di
Bali dan populasi ternak pada saat itu masih dapat ditingkatkan 25 persen dari populasi yang ada (DitjennakUNUD, 1980).

Peneliti lain (Martojo, 1988) menyatakan

penurunan mutu sapi Bali disebabkan karena terjadi degenerasi genetik, yang mungkin disebabkan karena terjadi
biak dalam pada desa-desa yang menerapkan pola perkawinan
tertutup.

Ini terlihat adanya keseragaman sifat-sifat

luar kinerja pada sapi Bali tiap kelompok (dalam desa)
dan terdapat keragaman sapi Bali antar desa berbeda.
Penurunan mutu

sapi Bali mungkin

juga disebabkan

oleh adanya seleksi negatif, karena terkurasnya sapi Bali
yang b e m u t u tinggi dari populasi di daerah, terutama
selama dekade ekspor ternak ke Hongkong pada tahun 1960an sampai 1970-an.

Ternak sapi yang tersisa tidak sebaik

kualitasnya dengan yang sudah terjual (Trikesowo, 1988).
Modal petani ternak yang terbatas, kebutuhan pokok
yang membengkak dan adanya permintaan sapi potong yang
semakin tinggi, mengakibatkan banyak sapi yang potensial
sebagai bibit terjual atau dipotong.

Menurut Mahjuddin

(1973) dalam Huitema (1982) jumlah ternak sapi yang di-

sehingga otomatis persediaan makanan lebih banyak dibanding sekarang, maka

tentu penyebab turunnya mutu sapi

Bali bukan disebabkan karena kekurangan makanan
1982).

(Pane,

Hasil survei kebutuhan dan persediaan hijauan di

Bali mendapatkan bahwa masih cukup tersedia hijauan di
Bali dan populasi ternak pada saat itu masih dapat ditingkatkan 25 persen dari populasi yang ada (DitjennakUNUD, 1980).

Peneliti lain (Martojo, 1988) menyatakan

penurunan mutu sapi Bali disebabkan karena terjadi degenerasi genetik, yang mungkin disebabkan karena terjadi
biak dalam pada desa-desa yang menerapkan pola perkawinan
tertutup.

Ini terlihat adanya keseragaman sifat-sifat

luar kinerja pada sapi Bali tiap kelompok (dalam desa)
dan terdapat keragaman sapi Bali antar desa berbeda.
Penurunan mutu

sapi Bali mungkin

juga disebabkan

oleh adanya seleksi negatif, karena terkurasnya sapi Bali
yang bermutu

tinggi dari populasi di daerah, terutama

selama dekade ekspor ternak ke Hongkong pada tahun 1960an sampai 1970-an.

Ternak sapi yang tersisa tidak sebaik

kualitasnya dengan yang sudah terjual (Trikesowo, 1988).
Modal petani ternak yang terbatas, kebutuhan pokok
yang membengkak dan adanya permintaan sapi potong yang
semakin tinggi, mengakibatkan banyak sapi yang potensial
sebagai bibit terjual atau dipotong.

Menurut Mahjuddin

(1973) dalam Huitema (1982) jumlah ternak sapi yang di-

ekspor dari pulau Bali berkisar antara 20.000

-

25.000

ekor dengan bobot badan rata-rata 375 kg. Bobot badan ini
berada dalam kisaran peraturan sejak zaman penjajahan
Belanda hingga kini tentang bobot badan minimal sapi Bali
yang dapat diekspor ke luar negeri berkisar antara 375
450 kg ke atas

(Pane, 1982).

-

Persyaratan bobot badan

minimal sapi Bali yang dapat diantar pulaukan saat ini
adalah 360 kg (Pane, 1982) lebih rendah dari persyaratan
ekspor yang telah

ada.

Hal ini mungkin disebabkan

karena ternak yang bobot badannya di atas 375 kg mulai
langka, sebagai akibat terjadinya seleksi negatif yang
tidak disadari (Trikesowo, 1988).
Umumnya sapi yang memenuhi syarat untuk diantar pulaukan terdiri dari pejantan-pejantan yang bobot badannya
di atas rataan populasi, sehingga pejantan-pejantan yang
tinggal bobot badannya rata-rata dan di bawah rataan populasi.

Jika pejantan yang tersisa ini mengawini betina-

betina, maka mungkin ha1 ini akan menurunkan mutu sapi
pada generasi berikutnya.

Semakin meningkatnya perminta-

an sapi potong baik untuk diantar pulaukan, maupun untuk
pemotongan lokal dan pemotongan industri, jika tidak dikendalikan maka dapat mengakibatkan pengurasan ternakternak yang bemutu baik.

Setiap tahun permintaan sapi

potong semakin meningkat, sedang persedian hanya dapat
memenuhi sekitar 75 persen, sehingga membuka peluang un-

tuk semakin terjadinya seleksi negatif.

Demikian pula

makin berat ternak harga per kilogram makin tinggi se'hingga membuka peluang peternak menjual ternaknya yang
paling berat.
Adanya prospek pemasaran yang baik karena letak geografis Pulau Bali dekat dengan konsumen di Pulau Jawa,
begitu juga permintaan untuk konsumsi lokal yang semakin
meningkat bahkan kini sudah mulai adanya permintaan dari
hotel-hotel berbintang serta restoran internasional,
menuntut diadakannya peningkatan jumlah populasi dan mutu
ternak sapi Bali.
Peningkatan produktivitas ternak dapat dilakukan melalui perbaikan lingkungan (makanan dan manajemen) dan
pemuliaan (persilangan dan seleksi).

Perbaikan makanan

dapat meningkatkan produktivitas, tapi tidak dapat meningkatkan mutu genetik.

Persilangan dan seleksi dapat

meningkatkan produktivitas dan mutu genetik, tetapi
persilangan tidak dapat dilakukan di Pulau ~ a l ikarena
sapi Bali dijaga kemurniannya sehingga seleksi merupakan
satu-satunya alternatif dalam meningkatkan mutu genetik
sapi Bali.
Penelitian di bidang pemuliaan sapi potong, memerlukan waktu yang lama dan biaya cukup besar, sehingga merupakan suatu kendala yang menghambat kemajuan peningkatan
produktivitas dan mutu genetik sapi potong.

Selain dari-

pada itu bentuk peternakan rakyat saat ini sebagai usaha
sambilan dan rata-rata

pemilikan

kecil,

sehingga pen-

catatan produksi yang merupakan dasar seleksi sulit dilakukan

.

Untuk menanggulangi permasalahan
disusun suatu program simulasi.

tersebut di atas

Program ini selanjutnya

dapat dipergunakan untuk meniru proses seleksi dan perkembangan populasi sapi Bali dalam berbagai macam kondisi
umum dan lingkungannya.
Dari uraian di atas merupakan suatu kegiatan untuk
mencari jawaban terhadap permasalahan yang muncul yaitu:
1.

Sejauh mana pengaruh berbagai metoda seleksi terhadap
peningkatan mutu sapi Bali rakyat yang dicobakan.

2.

Sejauh mana

pengaruh pemanenan sapi Bali terhadap

perkembangan populasi dan produktivitasnya.
1.2.

1.

Tuiuan dan Keaunaan

Mengetahui

perubahan penampilan produksi sapi Bali

jika berbagai metode seleksi dicobakan pada peternakan rakyat.
2. Mengkaji akibat

dari tingkat pemanenan pada keadaan

peternakan rakyat yang berlaku saat ini.
3.

Menentukan tingkat

pemanenan dan pertumbuhan sapi

Bali sehingga mutu dan jumlahnya sesuai dengan daya
dukung lingkungan.

1.

Hasil penelitian diharapkan sebagai masukan di dalam
mengembangkan dan melestarikan sapi Bali serta
peningkatan mutu genetiknya melalui seleksi dan pemanenan.

2. Model simulasi seleksi diharapkan dapat dimanfaatkan

di daerah-daerah sumber bibit yang lain dengan tujuan
yang sama.
3.

Program

simulasi

seleksi dan perkembangan populasi

diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai alat peraga dalam pemahaman bahan kuliah Ilmu Pemuliaan.

1
2.1.
1.

TINJAUAN PUSTAKA

Beskripsi Daerah Penelitian
Letak Geoarafis.

Propinsi Bali berada di sebelah Ti-

mur Pulau Jawa, terletak di antara 7O54' dan 8O3' Lintang
Selatan, serta 114~26' dan 115~43' Bujur Timur (Monografi
Propinsi Bali, 1985).
Di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah Timur dengan Selat Lornbok, di sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia dan di sebelah Barat dengan Selat
Bali.

Propinsi Bali meliputi Pulau Bali, Pulau Nusa Pe-

nida, Pulau Nusa Dua, Pulau Serangan, Pulau Menjangan dan
beberapa pulau-pulau

lainnya, yang secara administratif

dibagi dalam delapan kabupaten dengan 51 kecamatan (dapat
dilihat pada Tabel 3).

Bagian tengah Pulau Bali memben-

tang pegunungan yang membujur dari Barat ke Timur yang
seolah-olah membagi Pulau Bali menjadi dua dataran, yaitu
dataran rendah sebelah Utara dan dataran rendah sebelah
Selatan.

Ujung sebelah Barat dan Timur merupakan pegu-

nungan gundul yang telah mengalami erosi.

Peta adminis-

trasi Propinsi Bali dapat dilihat pada Lampiran 1 (Monografi Propinsi Bali, 1985).
Dari Tabel 3 terlihat bahwa letak ibu kota Kabupaten
Jembrana terendah dengan ketinggian 12 meter di atas permukaan laut, sedang ibu kota Kabupaten Bangli berada pada
ketinggian 425 meter di atas p e m u k a a n laut.

Tabel 3.

No.

Pembagian Wilayah Propinsi Bali dengan
Ibukota Kabupaten

Kabupaten

Ibukota
Kabupaten

Badung

Denpasar

Gianyar

Gianyar

Bangli

Bangli

Klungkung

Klungkung

Karangasem

Amlapura

Buleleng

Singaraja

Jembrana

Negara

Tabanan

Tabanan

Tinggi
tempat
(meter)

B a l i
Sumber:

Jumlah
kecamatan

51

Topografi DAM IX/Udayana dalan Statistik
Propinsi Bali Tahun 1986

Topografi, sebagian besar Pulau Bali terdiri dari
dataran rendah yang terletak pada ketinggian antara 0

-

500 m di atas permukaan laut, luasnya 315 750 ha atau se-

kitar 56 persen, dataran sedang dengan ketinggian antara
500

-

1 000 m di atas

atau sekitar

26

peTyukaan laut, luasnya 144 850 ha

persen dan sisanya daerah pegunungan de-

ngan ketinggian lebih dari 1 000 m di atas permukaan laut
yang luasnya 101 500 ha atau sekitar 18 persen dari luas
wilayah (Monografi Propinsi Bali, 1985).

Jenis tanah yang ada di Pulau Bali terdiri dari
tanah Latosol, Regosol, Alluvial, Andosol dan tanah
kediteran.

Jenis tanah Latosol yang paling luas jumlah-

nya 46.8 persen, tanah Regosol 40.9 persen, tanah Alluvial
4.7 persen, tanah Andosol 5.1

persen dan jenis tanah Me-

diteran 2.5 persen (Monografi Propinsi Bali, 1985).
2.

Tatauuna 1,ahan.

Berdasarkan penggunaan lahan atau

tataguna lahan, maka luas sawah, tanah darat dan perkebunan seluruhnya berjumlah 351 720.65

ha atau sekitar

62.44 persen dari luas seluruh wilayah Propinsi Bali, se-

perti disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4.

No.

Tataguna Lahan Propinsi Daerah Tingkat I Bali

Penggunaan
lahan

Luas wilayah
(ha)

98 654.70
Sawah
147 185.37
Tegalan/tanah darat
136 331.00
Hutan
1 750.56
Kolam/empang
105 880.58
Perkebunan
27 760.74
Pekarangan
494 .OO
Tambak
193.00
Rawa
Tanah sementara tidak diusahakan
4 503.00
40 530.05
Lain-lain

B a l i

563 283.00

(%I
17.51
26.13
24.20
0.31
18.80
4.93
0.09
0.03
0.80
7.20

100.00

Sumber: Statistik Tanaman Pangan, Dinas Pertanian
Tanaman Pangan, Propinsi Bali, 1985

3. Jklim dan Curah Huian.

Pulau Bali dipengaruhi oleh

angin musim beriklim tropis yang memiliki dua musim yaitu
musim kemarau dan musim penghujan.

Musim kemarau jatuh

pada bulan April sampai September, angin berhembus dari
arah Tenggara. Musim penghujan jatuh pada bulan Oktober
sampai dengan bulan Maret dan angin berhembus dari arah
Barat.
Posisi pegunungan yang membujur di tengah-tengah Pulau Bali, maka angin yang berhembus dari arah Tenggara
pada musim kemarau, sempat mengambil uap air dari samudra
Indonesia dan jatuh di bagian Selatan, sedang di bagian
Utara sama sekali tidak mendapat air hujan pada musim kemarau.
Berdasarkan keadaan curah hujan di Bali dapat dibagi
menjadi empat daerah yaitu:
1.

Daerah Bali Utara

mempunyai curah hujan yang tinggi,

akan tetapi waktunya
Daerah ini sering

pendek sekitar empat bulan.

terjadi 'banjir dan tanah longsor

erosi lebih-lebih karena

adanya penggundulan hutan

di lereng-lereng pegunungan sebelah Utara.
Bagian

sebelah Selatan

hujan yang tinggi

pegunungan mempunyai curah

dalam musim penghujan, sedangkan

di musim kemarau terdapat hujan, kecuali semenanjung
bukit dan Nusa Penida
1 500

mm setahun.

curah hujannya kurang dari

3. Makin ke

Timur curah

hujan semakin rendah, bahkan

daerah paling kering,

yaitu di daerah Kubu bagian

Timur Laut Pulau Bali
Agung
4.

dan daerah lereng Utara Gunung

.

Di daerah pegunungan

umumnya curah hujan tinggi se-

perti di daerah Baturiti
Agung yang mempunyai

dan lereng Selatan Gunung

curah hujan lebih dari 3 000 mm

setahun sedang di sekitar daerah Kintamani curah hujan sekitar 1 500

-

2

000

mm setahun.

Rata-rata curah hujan tertinggi di Pulau Bali adalah
di daerah Candi Kuningan, Catur dan Tampak Siring (daerah
bagian Tengah) dengan curah hujan rata-rata
lam setahun.

2 600

mm da-

Daerah-daerah Melaya, Sukasada, Bubunan,

Gambir Enteng, Kubu dan Kintamani, rata-rata curah hujannya kurang dari 1

250

mm setahun (Monografi Propinsi Ba-

lit 1985). Rata-rata keadaan cuaca di Propinsi Bali dapat
dilihat pada Lampiran 2.
4.

Keadaan Penduduk. Penduduk Pulau Bali pada tahun 1986

berjumlah 2 600 396 jiwa, dengan rata-rata pertambahan
penduduk sebesar 1.63 persen setiap tahun.

Rasio antara

jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian disajikan
pada Tabel 5.
Dari Tabel

5

dapat disimpulkan bahwa kepadatan pen-

duduk Pulau Bali adalah 462 jiwa per km2 atau 511.23 jiwa
per km2 lahan pertanian.

Tabel 5.

Jumlah Penduduk per Luas Lahan Pertanian di tiap Kabupaten di Propinsi Bali

Luas
w i lajah
(km

Kabupaten

Penduduk Kepadatan
(jiwa)
pendudur
j iwa/km

Lahan
pertanian

~iwa/km~
lahan
pertanian

Badung
Gianyar
Bang1i
Klungkung
Karangasem
Buleleng
Jembrana
Tabanan
-

-

--

B a l i

-

-

-

5 632 $86 2 600 396

462

5 086.50

511.23

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Propinsi
Bali, 1985
5.. q -

Jenis ternak yang ada di Bali

terdiri dari sapi potong (sapi Bali), sapi perah, kerbau,
kuda, kambing dan domba.

Total sapi Bali menduduki jum-

lah terbanyak, pada Tahun 1987 berjumlah 342 812 ST atau
94 persen dari total ternak yang ada.

Pada Tabel 6 disa-

jikan kepadatan ternak berdasarkan kabupaten pada tahun
1987.

Dari Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Gianyar adalah kabupaten yang paling padat ternaknya yakni
109.64 ~ ~ / k r nsedangkan
~,
Kabupaten Jembrana paling jarang

ternaknya dengan kepadatan 35.6 3 ~ ~ / k r n ~ .

Tabel 6.

'

Kabupaten

Kepadatan Ternak di tiap Kabupaten di
Propinsi Bali ( ~ ~ / k mTahun
~ ) 1987

Luaj
km

Sapi
Bali

Sapi
perah

Kerbau

Kuda Kambing

60.86

0.02

1.46

0.24

Domba

Total

0.007

64.43

Badung
G ianyar
Klungkung
Karangasem
Bang1 i
Buleleng
Jembrana
Tabanan

B a l i

5 632.86

1.84

Sumber: Dinas Peternakan Propinsi Bali, 1987 (Diolah
kembali/dikonversi dalam satuan ternak)
Konversi dalam satuan ternak: sapi Bali (dewasa = 1
ST, muda = 0.6, anak = 0.4), sapi perah (dewasa = 1,
muda = 0.5), kerbau (dewasa = 1.15, muda = 0.575),
kambing (dewasa = 0.16, muda = 0.08) dan domba =
0.14 ST dan 0.07 ST) (Warkidi, 1974 dalam Reksohadiprodjo, 1984).
2.2.

Sistem Peternakan di Linakunaan Pedesaan
Usaha peternakan rakyat yang jumlahnya mencapai le-

bih dari 90 persen dari seluruh usaha peternakan di Indonesia dengan cirinya sebagai berikut: (a) skala usahanya
kecil, (b) motif produksi rumah tangga, (c) dilakukan sebagai usaha sampingan, (d) menggunakan teknologi sederhana, sehingga produksinya rendah dan

mutu

produksinya

bervariasi, dan (e) bersifat padat karya dan basis organisasi kekeluargaan (Ditjennak, 1992).
Menurut Landis seorang ahli Sosiologi Amerika yang
dilaporkan Soekandar (1983) pengertian pedesaan, tergantung dari tujuan atau cara memandang yakni untuk maksud
statistik, pedesaan adalah tempat dengan penduduk kurang
dari 2 500 orang, terkecuali

jika disebutkan lain.

Jika

ditinjau dari penelaahan psikhologi sosial, pedesaan adalah daerah di mana pergaulannya ditandai sifat keakraban
dan keramahtamahan yang meluas sekali.

Pedesaan ditinjau

dari penelaahan ekonomi, dalam arti luas adalah tempat
dilakukannya upaya yang meliputi bercocok tanam, peternakan, perikanan.

Jadi desa merupakan kesatuan tempat

tinggal sendiri, tempat pertanian, peternakan, kehutanan
dan tanah tanah belukar dan sebagainya.
Masyarakat Bali yang hampir seluruhnya menganut
ajaran agama Hindu (Hindu Dharma) mempunyai pandangan
yang berbeda terhadap ternak sapi dengan penganut agama
Hindu di India.

Kalau ajaran agama Hindu di India meng-

anggap sapi adalah suci, sehingga sapi tidak mempunyai
arti ekonomi bagi masyarakatnya, sedangkan ajaran agama
Hindu Dharma di Bali tidak menjadi penghalang bagi masyarakat Bali berpartisipasi dalam pengembangan peternakan
sapi dengan orientasi ekonomi yang dinamis (Pane, 1982).
Aalfs (1934) dalam Darmadja (1980) menyimpulkan
bahwa pandangan agama Hindu Dharma terhadap sapi Bali

adalah

(a).

Tingkat kesucian sapi dalam agama Hindu

Dharma di Bali tidak seketat yang berlaku di India, (b).
'~emotongansapi diperbolehkan, tetapi secara administratif berkewajiban untuk melapornya dan (c).

Walaupun pan-

tangan makan daging sapi dihormati, namun toleransi terhadap yang memakannya tinggi sekali, bahkan tidak ada
sangsinya.
Tujuan pemeliharaan sapi di Bali adalah untuk menarik bajak (tenaga kerja) di sawah-sawah atau di kebunkebun, sebagai usaha sambilan yaitu usaha penggemukan sapi terutama di daerah-daerah pegunungan untuk menambah
penghasilan, pengisi waktu luang dan sebagai sumber pupuk.

Khusus untuk tujuan pupuk petani telah menyadari

peranan kotoran ternak sebagai sumber pupuk, dengan menempatkan kandang-kandang ternak di tanah-tanah yang kurang subur dengan memindahkannya sekali dalam enam bulan
atau sekali setahun. Untuk tujuan wisata ternak dikenal
istilah sapi wgerumbunganw seperti "karapan sapiw di Madura (Nitis, 1991).

Selanjutnya Raka (1955) dalam Dar-

madja (1980) menyatakan peternakan rakyat dilakukan secara tradisional, dengan rata-rata pemilikan dalam jumlah
yang kecil (small holder).

Perhatian petani terhadap

pemberian makanan, perkawinan dan manajemen sangat kurang
merupakan salah satu ciri peternakan rakyat dalam lingkungan pedesaan.

Umumnya pemeliharaan sapi di Bali dilakukan di sekitar rumah, di kebun-kebun dengan kandang yang sederhana
dan diberi makanan yang seadanya berupa hijauan yang diambil dari lahan bukan usaha tani atau dari limbah pertanian.

Kandang terdiri dari bahan yang sederhana berupa

balok-balok kayu, atau bambu dengan atap dari alang-alang
atau dari daun kelapa.

Alas kandang terdiri dari tanah

atau balok-balok yang disusun, diletakkan di atas tanah.
Sapi dikeluarkan dari dalam kandang beberapa jam sehari
dengan ditambatkan di halaman rumah atau di kebun-kebun
dekat kandangnya (Pane, 1982).
Penduduk Bali sangat telaten dalam memelihara sapinya terlihat pada saat musim hujan mereka rajin mengumpulkan rumput (makanan), mengeringkan dan menyimpan untuk
persiapan pada musim kemarau (Angelino, 1920 dan Aalfs,
1934 dalam Darmadja, 1980).
Di beberapa wilayah di Bali terdapat petani/peternak

yang hanya memakai betina menarik bajak, karena sapi
jantan sangat disayang, digemukkan untuk dijual atau
diantar pulaukan karena harganya mahal, sebaliknya betina
sulit dijual.

Akibat dari kejadian ini dapat mengakibat-

kan jarak kelahiran yang panjang, karena pada waktu musim
pengolahan sawah, walaupun sapi birahi tidak dikawinkan
(Pane, 1982).
Pada dasarnya sistem produksi sapi daging dapat dibagi dua yaitu produksi anak sapi (cow-calf) dan kenaikan

berat badan (umumnya anak sapi kebirian atau sapi jantan
gemuk). Sistem pertama berhubungan dengan jumlah kenaikan
"populasi ternak, sedang sistem yang kedua berhubungan
dengan kenaikan bobot badan ("finishNN)(Ensminger, 1965).
Selanjutnya Ensminger (1965) menyatakan persilangan dan
seleksi dapat menaikkan secara langsung satu atau kedua
sistem tersebut.
Corak sistem produksi sapi di pedesaan Bali yaitu
terdapat petani yang memelihara ternak secara musiman,
yaitu membeli ternak sapi dan memelihara ternak pada saat
menjelang musim tanam padi dan menjualnya kembali setelah
musim tanam berakhir.

Berbeda di daerah pegunungan, dae-

rah pertanian jagung dan sawah bera banyak hijauan sehingga pemeliharaan ternak diarahkan ke bidang penggemukan sapi (Darmadja, 1980).
2.3

. .

. .

Penaembanaan Peternakan S a m dl Provinsi Bala
Seperti halnya di daerah-daerah pertanian lain di

Indonesia pulau Bali merupakan salah satu daerah yang
mempunyai kemampuan dan potensial untuk pengembangan sapi
Bali, baik untuk ternak potong maupun untuk ternak kerja.
Sapi Bali sebagai ternak kerja, dapat bekerja atau membajak sawah lebih cepat dibandingkan bangsa sapi sapi

Zebu

dan sapi Madura, demikian pula kondisi tubuh yang kurus
selama bekerja, setelah tidak dikerjakan lagi segera kembali kondisi tubuhnya seperti semula sekalipun makanannya
kualitasnya rendah (Huitema, 1982).

Posisi pulau Bali yang ditetapkan sebagai daerah pelestarian sapi Bali murni didukung oleh limbah pertanian
.yang cukup memadai sehingga memungkinkan pengembangan dan
pelestarian sapi Bali.

Selain daripada itu pulau Bali

diharapkan sebagai sumber bibit sapi Bali murni untuk
daerah lain, dan juga diharapkan sebagai penghasil ternak
potong, baik untuk konsumsi lokal maupun untuk diantar
pulaukan (ekspor).
Usaha pelestarian sapi Bali sudah lama dilakukan,
bahkan sejak awal abad ini dengan menetapkan larangan
memasukkan bangsa sapi lain ke pulau Bali, maupun sapi
Bali dari wilayah lain.

Dengan demikian pulau Bali meru-

pakan pusat pelestarian dan pengembangan sapi Bali murni.
Untuk mempertahankan mutu genetik sapi Bali dapat dilakukan penghitungan dengan tepat jumlah serta mutu genetik
bibit yang dapat dikeluarkan, seimbang dengan jumlah mutu
genetik yang dipertahankan sebagai ternak pengganti
(Martojo, 1988).
Sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia yang mempunyai prospek ekonomik yang cerah di masa yang akan datang.
Ini tercemin dari sifat-sifat sapi Bali yang menguntungkan yaitu antara lain: (1) fertilitasnya tinggi, dapat
menghasilkan anak tiap tahun meskipun induk dalam kondisi
yang kurang baik, (2) dapat mengembalikan bobot badannya
dengan cepat setelah berada dalam kesulitan atau bekerja
berat, (3) kualitas dagingnya baik dan

(4)

kualitas

kulitnya yang baik (Huitema, 1982).
Ada dugaan bahwa potensi yang dimiliki sapi Bali di
.Bali belum dikembangkan sepenuhnya, mengingat sistem peternakan rakyat selama ini berlangsung secara tradisional
yang belum sepenuhnya berorientasi pasar.

Meskipun kea-

daan seperti ini ternyata sapi Bali merupakan salah satu
sumber kekayaan nasional yang hampir seluruhnya dimiliki
oleh rakyat (Atmadilaga, 1959).
Nitis (1991) menyatakan pola peternakan sapi Bali
dapat dilakukan dengan pola peternakan sapi Bali terpadu:
(a) integrasi sapi Bali dengan pertanian tanaman pangan,
pada musim tanam sapi dikandangkan dan setelah panen sapi
digembalakan di sawah, (b) integrasi sapi dengan perkebunan yaitu sapi digembalakan di bawah tanaman perkebunan
yang tidak ditanami tanaman palawija dan (c) integrasi
sapi Bali dengan kehutanan, selain dapat memberikan tambahan hasil dari ternak, juga dapat memberantas gulma.
Pola peternakan sapi tidak terpadu meliputi sistem
pastoral (sapi dilepaskan di padang rumput), sistem feed
lot (sapi dipelihara dalam kandang) dan sistem nomadik
(sapi dipindahkan antara satu padang rumput dengan padang
rumput yang lain).
Berdasarkan kendala dalam pengembangan peternakan di
Bali, antara lain disebabkan oleh karena terbatasnya lahan dan tidak adanya padang penggembalaan khusus atau
padang rumput umum, maka pemilikan rata-rata terbatas

yaitu 2.1 ekor tiap kepala keluarga pemilik sapi pada
tahun 1983 (Direktotat Bina Program Ditjennak, 1989).
Kebiasaan menggunakan sapi betina untuk mengolah tanah tanpa memperhatikan kondisi tubuhnya, sedang birahi
atau bunting mengakibatkan gangguan terhadap reproduksinya.

Induk (sapi betina) selain digunakan membajak sa-

wah, menghasilkan anak dan akhirnya dipotong untuk konsumsi lokal (Huitema, 1982).
Sasaran pokok pembangunan peternakan antara lain untuk meningkatkan pendapatan petani peternak, menuju masyarakat sejahtera, memperluas lapangan kerja, menambah
devisa negara dan memanfaatkan potensi wilayah secara
optimum (Direktorat Bina Program Ditjennak, 1989).
Sesuai kondisi daerah atau wilayah di Bali, peternakan hanya dapat dilakukan dalam skala kecil (small
holder).

Hal ini diakibatkan oleh semakin meningkatnya

jumlah penduduk, luasan usaha tani terpecah-pecah sehingga tidak efisien dan semakin mempersempit ruang hidup
ternak sapi (Atmadilaga, 1974).
sio pejantan

Selain daripada itu ra-

terhadap induk terlalu sempit yaitu 1 : 2.4

pada tahun 1987

(Dinas Peter. Propinsi Bali, 1987).

Pada peternakan ekstensif seekor pejantan dapat melayani
12

-

20 ekor (Winrock Inter., 1978)

2.4.
Sapi Bali merupakan keturunan langsung dari Banteng
liar (Bos sondaicus atau Bos javanicus), dewasa ini masih

terdapat liar di Ujung Kulon, Jawa Barat dan di hutan
lindung Baluran dan Blambangan Jawa Timur.
Sapi Bali dan Banteng liar mempunyai kesamaan tipe
dan tanda