Penggunaan Kation-kation Polivalen dalam Kaitannya dengan Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Produksi Jagung pada Tanah Gambut

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Usaha-usaha

untuk mereklamasi daerah pasang surut

sebagai daerah pemukiman transmigrasi dan pengembangan
persawahan telah dirintis

sejak awal Pelita I. Langkah

ini merupakan tindakan yang tepat dalam rangka mengantisipasi kebutuhan pangan yang terus melonjak karena kenaikan
jumlah penduduk.

Di sisi lain, sentra-sentra produksi be-

ras di pulau Jawa yang memiliki irigasi teknis banyak yang
mengalami perubahan akibat

konversi penggunaan lahan ke


non-pertanian seperti pemukiman, industri dan sektor-sektor lain yang jauh lebih

menguntungkan.

Kurangnya kenda-

li terhadap konversi lahan pada proporsi yang tepat, baik
di sektor non-pertanian maupun pertanian menyebabkan degradasi tanah

yang terus meningkat.

Degradasi lahan se-

bagai akibat aktivitas manusia di lahan kering diperkirakan mencapai 400 000 hektar per tahun (PPLH-IPB, 1991).
Konsepsi pemanfaatan potensi rawa pasang surut dicetuskan pada tahun 1968, dan dilembagakan dalam bentuk
Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) di bawah
Direktorat Rawa, Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen
PUTL.


Kegiatan ini didasarkan kepada keberhasilan petani

tradisional Kalimantan Selatan dalam membudidayakan padi
di sekitar saluran Serapat.
oleh pemerintah

Saluran ini semula dibangun

Belanda dengan

tujuan untuk

mempercepat

penyelesaian administrasi pemerintahan.

Di sekitar salu-

ran ini ternyata budidaya padi lebih berhasil dibandingkan
dengan budidaya di pinggir-pinggir sungai.

1948, budidaya padi

di daerah ini telah

Sampai tahun

mencapai luasan

sekitar 48 000 hektar (Anonim, 1969).
Di Indonesia, luasan daerah rawa sangat potensial untuk pengembangan pertanian, diperkirakan memiliki luasan
sekitar 43.5

juta hektar

(Collier, 1979).

Dari luasan

ini, rawa pantai dan dekat pantai yang tergolong ke dalam
rawa pasang surut memiliki luasan 24.6 juta hektar.


Lahan

yang tergolong sesuai untuk pertanian diperkirakan sekitar
8.9

juta hektar.

Sampai dengan tahun 1994, sekitar 5.9

juta hektar telah diusahakan sebagai areal pertanian (Fakultas Pertanian-IPB, 1992).
Diantara seluruh luasan kawasan rawa, sekitar 17 juta
hektar

merupakan

Driessen, 1976).

lahan


gambut

(Soepraptohardjo

dan

Gambut ini umumnya tergolong ke dalam

gambut ombrogen dengan tingkat kesuburan yang tergolong ke
dalam oligotropik sampai mesotropik.

Sebagian kecil ter-

golong ke dalam gambut topogen dengan tingkat kesuburan
eutropik (Polak, 1975).

Dari segi kematangannya, gambut

dibedakan ke dalam fibrik, hemik dan saprik (~cKinzie,
1974). Keragaman sifat-sifat


ini menyebabkan

keragaman

produktivitas gambut (Malterer, Verry dan Erjavec, 1992).
Sebagai contoh, gambut pedalaman Kalimantan Tengah yang

memiliki kematangan fibrik

sampai hemik dengan kesuburan

oligotropik, produksi padi tanpa pupuk sekitar 0.5 ton/ha
(Institut Pertanian Bogor,

1993),

sedangkan di Karang

Agung dengan tingkat kematangan hemik dan sering terluapi

air sungai produksi padi gogo sekitar 1.8 ton/ha (Suastika
dan Ismail, 1992).
Disamping bersifat sangat marginal, tanah gambut juga
tergolong rapuh (~idjaja-Adhi,et al., 1992), karena tanpa
pemupukan dan pengelolaan tanah dan air yang sesuai produktivitas tanah mengalami penurunan dan kerusakan yang
cepat.

Dari segi kimia/kesuburan, tanah ini memiliki ba-

nyak keterbatasan diantaranya menyangkut ketersediaan N,

P, K, Cu, Zn dan B yang rendah (Tadano, et al.,

1990).

Disamping itu, produksi asam-asam fenolat yang bersifat
toksik bagi tanaman seperti p-kumarat, p-hidroksibenzoat,
vanilat, asam ferulat dalam keadaan anaerob berada dalam
jumlah


lebih

banyak

(Katase, 1981a;

1981d). Dari bentuk-bentuk

1981b;

1981c;

yang diidentifikasi, setiap

gram gambut menghasilkan 73 mg asam p-kumarat bebas dan
2 850 mg sebagai

cadangan.

alelopati pada tanaman.


Jumlah ini dapat meninbulkan

Demikian pula apabila asam feru-

lat dan p-hidroksibenzoat bebas masing-masing mencapai 2
dan 10 persen dan dalam bentuk cadangan lebih dari 80 persen maka akan mengakibatkan kerusakan yang sama (Katase,
1981e).

Oleh

sebab

itu

tanpa

memahami

karakterisasi


fisik-kimia tanah, pemanfaatan pertanian pada lahan gambut
banyak mengalami kendala.

Ditinjau dari masalah asam ini,

disarankan agar lahan gambut sebaiknya dimanfaatkan sebagai areal pertanian lahan kering.
Dibandingkan dengan tanah mineral, masa penggunaan
lahan gambut untuk pertanian pada tingkat pengelolaan yang
rendah tergolong lebih pendek.

Dalam jangka waktu dua

sampai tiga tahun pengusahaan, produksi turun secara tajam.

Di daerah pasang

surut Delta Upang, Sumatera Sela-

tan, penurunan produksi Pelita I/1 dan IR-5 terjadi pada

tahun kedua (Sabiham, Leiwakabessy dan Wiroatmodjo, 1979).
Gejala ini diikuti oleh penurunan ketersediaan unsur-unsur
hara (Astiana dan Rachim, 1979).

Sedangkan pada tanah

mineral tingkat produksi yang relatif lebih baik dapat dipertahankan dalam jangka waktu sekitar tiga sampai lima
tahun pengusahaan (Braun, 1974).

Salah satu penyebab fe-

nomena ini berkaitan dengan rendahnya afinitas K t Ca dan
Mg pada bahan gambut, lebih-lebih terhadap anion (Tisdale,
Nelson dan Beaton, 1985; Sample, Soper dan Racs, 1986).
Percobaan pemupukan padi di UPTA Berbak Unit 111,
Parit 16 dengan dosis antara 0 sampai 50 g KCl/m2 setara
dengan 0 sampai 500 kg KCl/ha menghasilkan produksi yang
tidak berbeda nyata walaupun kandungan K tanah sebelum dipupuk tergolong rendah.

Hasil analisis residu K sete-

lah tanam yang diekstrak dengan N NH40Ac pH 7.0

tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata antar petak percobaan dan
tidak terlihat adanya residu pupuk K (Institut Pertanian
Bogor, 1982).

Pola yang sama dijumpai juga pada pemupukan

dengan unsur P, dimana dari 10 mg P yang diberikan pada
tiap kolom tanah hanya 0.1 mg yang dierap dalam kolom tanah gambut (Fox dan Kamprath, 1971).
Berdasarkan kenyataan ini, upaya untuk meningkatkan
kemampuan tanah dalam mengerap anion sekaligus meningkatkan ketersediaannya harus mendapat perhatian.

Usaha ini

dapat dilakukan dengan berbagai manipulasi kimia diantaranya pencampuran dengan tanah mineral sehingga didapat tapak erapan baru yang lebih mampu mengikat kation maupun
anion (Mehlich, 1985).

Dengan pencampuran ini beberapa

sifat kimia gambut pedalaman Kalimantan Tengah menjadi lebih baik (Halim, 1987).

Upaya lainnya ialah dengan meng-

gunakan zeolit sebagai pengikat pupuk sehingga unsur hara
dapat dilepaskan
1989).

secara terkendali

(Ming dan Mumpton,

Disamping itu, melalui penambahan unsur Fe, A1 dan

Cu akan terjadi retensi P yang lebih besar bila dibandingkan dengan tanpa kation-kation

tersebut

(Wild, 1950).

Adanya retensi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
pemupukan P sehingga produksi tanaman dapat ditingkatkan
dan residu pupuk P dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman berikutnya.

Tujuan Percobaan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari :
1.

kemampuan tanah gambut dalam mengerap kation-kation
Ca, Cu, Zn, Mn, A1 dan Fe

2.

kemampuan komplek organo-kation logam dalam mengerap
unsur P

3.

pelepasan unsur P dari ikatan organo-kation logam-P

4.

perubahan-perubahan fisiko-kimia tanah akibat penambahan kation polivalen dan unsur P

5.

tanggapan tanaman dalam bentuk bobot brangkasan, serapan unsur hara dan produksi biji jagung akibat penambahan kation polivalen dan unsur P
Hipotesa
Beberapa hipotesa yang diajukan dalam percobaaan ini

antara lain :
1.

setiap kation polivalen memiliki reaktifitas yang berbeda dalam pembentukan komplek organo-kation logam

2.

setiap komplek organo-kation logam memiliki reaktifitas yang berbeda dalam pembentukan komplek organokation logam-P

3.

tanpa kation polivalen erapan P pada tapak reaktif
gambut sangat lemah dan dengan kation polivalen erapan
P menjadi lebih kuat

4.

penambahan kation polivalen dapat mengurangi reaktivitas asam fen01 serta memperbaiki sifat fisik dan kimia
tanah lainnya

5.

komplek organo-kation logam-P dapat memperbaiki produktivitas lahan sekaligus meningkatkan serapan hara
dan produksi tanaman

TINJAUAN

PUSTAKA

Pembentukan dan ~lasifikasiGarbut
Pengertian Gambut
Histosol
penyusunnya
istilah

merupakan

tanah-tanah

didominasi oleh bahan

yang

sering

digunakan

yang

komposisi

organik, Beberapa

untuk

menyatakan

tanah

demikian adalah bogs, moors, peats dan mucks (soil Survey
Istilah-istilah

Staff, 1975).
yang

rancu,

Di

dalam

(Kamprath, et al.,

Glossary

ini memiliki pengertian
of

Soil

science Terms

1988) istilah moors, peats dan mucks

ditemukan.
Mucks

adalah

tanah

organik

dimana

bagian-bagian

tanaman tidak bisa dibedakan secara jelas, mengandung
banyak mineral dan memiliki warna yang gelap dibandingkan
dengan peats.

Peats

adalah

tanah-tanah

yang

memiliki

kadar bahan organik lebih dari 500 g/kg tanah dengan tingkat dekomposisi
mucks.

lebih rendah bila

dibandingkan dengan

Moors digunakan untuk memperjelas horizon Oa yang

mengandung humus, tidak terjadi pencampuran antara bahan
organik pada permukaan dengan bahan mineral.
Di dalam Glossary dari buku nSoiln (USDA, 1957), tercantum pengertian tanah yang disebut bogs, yaitu tanahtanah yang mengandung campuran bahan organik dan mineral
sampai tingkat mucky

atau peaty dan berada

di atas bahan

organik.

Tanah ini umumnya berada di lingkungan vegetasi

rawa atau payau.
Dari keempat istilah yang memiliki definisi, p e a t s
dan mucks memiliki

keterkaitan.

Menurut Dolman dan

Buol

(1967), mucks memiliki kandungan mineral lebih tinggi.

Apabila kandungan mineral lebih dari 18 atau 20 persen
dengan kadar bahan organiknya kurang dari 50 persen maka
disebut mucks.

Jika kandungan bahan organik lebih dari 50

persen, maka disebut sebagai p e a t s
1956).

Pendapat

lain

menyebutkan

bahwa mucks memiliki

-

55 persen (Kanapathy,

kandungan bahan organik antara 35
1975).

(Buckman dan Brady,

Disamping kandungan mineral, mucks dan p a t s dapat

juga dibedakan dari tingkat kematangannya, yaitu melalui
identifikasi kadar seratnya (Soil Survey Staff, 1957; Daubenmire, 1959).
Pembentukan Gambut

Semula para pakar beranggapan bahwa di dataran rendah
tropika tidak akan terjadi tanah-tanah organik, karena
suhu tinggi sehingga bahan organik akan habis terdekomposisi.

Pada tahun 1885 anggota ekspedisi Ijzerman menemu-

kan hamparan gambut yang luas di Siak, pantai timur Sumatera.

Dari penemuannya kemudian disimpulkan bahwa gambut

yang terbentuk di dataran rendah tropika adalah gambut topogen karena suhu tinggi, penguapan dan aktivitas mik-

gambut ombrogen dianggap tidak mungkin terbentuk (Polak,
1941)- Penelitian-penelitian

selanjutnya mengemukakan

bahwa gambut ombrogen juga terbentuk karena hal-ha1 berikut : curah

hujan

di atas 3 000 mm/tahun;

tidak ada

perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau sehingga
sifat tanah tetap basah; vegetasi hutan sangat lebat sehingga kelembaban yang tinggi, biomassa terbentuk sepanjang tahun; kemasaman tanah yang tinggi dan aktivitas mikroorganisme rendah (Polak, 1950).
Terbentuknya tanah gambut diawali dengan terbentuknya
rawa-rawa pada jaman Holosen sebagai akibat dari peristiwa
transgresi dan regresi laut karena mencairnya es di kutub.
Pada jaman Pleistosen, permukaan laut kira-kira 60 m di
bawah permukaan sekarang.

Kenaikan air laut pada jaman

berikutnya menyebabkan terbentuknya rawa-rawa, sehingga
vegetasi

mati,

kemudian

(Polak, 1941).

dekomposisi

lambat

Adanya penggenangan ini memungkinkan ter-

bentuknya endapan-endapan
tergenang

mengalami

lainnya.

di sekitar sungai dan daerah

Fakta

ini

ditunjukkan

oleh

bahan

sulfidik atau bahan berpotensi sulfat masam pada endapan
aluvium.

Sifat

ini

mencerminkan ciri

lingkungan marin

yang terbentuk sebelumnya.
Pengendapan

bahan-bahan

aluvium

berjalan

terus.

Bahan-bahan ini terdiri dari liat, lempung atau pasir.
tempat-tempat

yang

selalu

tergenang

atau

jenuh

Di
air

dijumpai lapisan gley

berwarna kelabu kebiruan.

Intensi-

tas pengendapan bahan aluvium diantaranya ditentukan oleh
besar dan jumlah sungai-sungai.

Di pantai timur Sumatera

pengendapan menyebabkan laju perubahan pantai mencapai
sekitar 100 m/tahun

(van Bemmelen, 1949).

Perubahan ini

mengakibatkan perubahan dari vegetasi dengan lingkungan
marin yang memiliki keragaman vegetasi sempit menjadi vegetasi dengan lingkungan air tawar.

Pada lingkungan air

tawar, keragaman vegetasi menjadi sangat luas.
Dalam keadaan jenuh air, proses dekomposisi berbeda.
Pada lingkungan marin dengan pengaruh pasang surut, proses
dekomposisi tergolong cepat sehingga akumulasi gambut tergolong rendah.

Sedangkan pada lingkungan air tawar menga-

kibatkan kecepatan penimbunan lebih besar dari perombakan
sehingga mengakibatkan akumulasi gambut berjalan terus.
Hubungan antara masukan bahan organik ke dalam tanah
dengan bahan organik tanah pada tanah-tanah mineral dari
hutan pinus, oaks, savana, prairi dan lain-lainnya telah
diformulasikan secara baik (Sanchez, 1976).

Sedangkan un-

tuk tanah organik karena dukungan penelitian yang kurang,
formulasi keseimbangan demikian belum dilakukan.
Klasifikasi Gambut
Sampai tahun 1952, pertentangan antara para pakar
tanah

tentang

definisi

gambut

masih

diantaranya ada yang mendasarkan

terus

berlanjut,

diri pada

kedalaman,

kadar C-organik dan kesepakatan belum diperoleh. Menurut
Polak (1952) tanah organik adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65 persen sampai kedalaman
satu meter atau lebih.

McKinzie (1974) menggunakan kete-

balan bahan organik setengah dari ketebalan solum tanah 80
cm atau lebih tanpa memperhatikan hamparan batuan.

Keten-

tuan kandungan bahan organik yang dikemukakan oleh pakar
ini tertera pada Gambar 1.

Pons (1974) menggunakan 30

persen bahan organik tanpa mengandung liat atau lebih bila
fraksi mineral seluruhnya adalah pasir atau diantara batas
liat dan pasir.
Kanapathy (1975) mendasarkan pada ketebalan bahan organiknya lebih dari 50 cm dengan luasan satu hektar atau
lebih dan mengandung

bahan

organik

lebih dari 65 per-

sen. Farnham dan Finney (1965) berpegang pada kandungan
dan ketebalan bahan organik dengan rincian : (a) tanah
dengan kandungan bahan organik 20 atau 30 persen dengan
ketebalan minimal 30 cm.

Kandungan bahan organik tergan-

tung pada tekstur tanah, yaitu 20 persen apabila tidak
mengandung liat; 30 persen apabila mengandung liat;
berada antara 20

-

30 persen

apabila

sebanding

dan

dengan

fraksi liat; (b) memiliki horizon bahan organik setebal 45
cm atau lebih apabila tidak dikeringkan; atau 30 cm atau
lebih apabila dikeringkan.

Kriteria ini diikuti oleh Dent

(1986) untuk klasifikasi pada kategori lebih tinggi.

35

21.

o

Bahan gambut

.-

I

0

03

-25
3

3

0
3
7

A.

f03
a

X
h

W

P,

-I5

9-

I

1

2-

Bahan tanah mineral

Kadar Liat ( X )
Gambar 1.

Ketentuan Kadar Bahan Organik dan Bahan
Mineral dalam Definisi Tanah Organik
yang Disusun oleh McKenzie (1974)

Menurut Soil Survey Staff ( 1975) pegangan m u m agar
tanah dapat dikelompokkan sebagai Histosol memenuhi salah
satu syarat berikut :
a.

lapisan permukaan memiliki bobot isi kurang dari 0.1

b.

setengah atau lebih dari 80 cm lapisan atas
bahan organik

c.

tanpa melihat ketebalan, apabila bahan organik berada
di atas fragmen batuan dan diantara fragmen terisi
bahan organik

d.

bobot isi tergolong rendah ( < 0.1) dan 3/4 bagian atau
lebih dari 80 cm lapisan atas merupakan bahan organik

merupakan

Di Indonesia umumnya digunakan istilah gambut atau
bergambut untuk menyatakan tanah-tanah yang banyak mengandung bahan organik.
(1969a

dan 1969b)

Menurut

serta

Institut Pertanian Bogor

Koswara

(1973),

tanah

gambut

adalah tanah yang secara alamiah mengandung C-organik sebanyak 40 persen atau lebih dengan ketebalan 100 cm atau
lebih dan bila sudah diusahakan mengandung 15 persen atau
lebih.

Sedangkan tanah bergambut adalah tanah dengan ke-

tebalan bahan organik 30 sampai 100 cm, memiliki kadar
karbon 40 persen atau lebih.
Perkembangan selanjutnya adanya perubahan terhadap
definisi tanah bergambut yaitu berdasarkan ketebalan bahan
organik. Widjaja-Adhi

(1988) menggolongkan tanah dengan

ketebalan gambut kurang dari 50 cm ke dalam tanah bergambut.

Selanjutnya tanah gambut masih dipilah berdasar ke-

dalamannya,
sedang (100

yaitu gambut dangkal (50

-

200 cm),

-

100 cm) , gambut

gambut dalam (200

gambut sangat dalam ( > 300 cm).

-

300 cm) dan

Tanah-tanah lainnya yang

tergolong ke dalam tanah yang banyak mengandung bahan organik dan terletak di dataran aluvium ialah tanah gley humus yaitu tanah-tanah yang memiliki ketebalan kurang dari
30 cm dengan kadar karbon antara 15 hingga 3 0 persen (Institut Pertanian Bogor, 1969a; 1969b; Koswara, 1973).
Penamaan lainnya ialah gambut
pedalaman.

Gambut pantai adalah

pantai dan

gambut yang

gambut

proses pem-

bentukannya dipengaruhi oleh air pasang laut, sedangkan
gambut pedalaman tidak dipengaruhi oleh pasang air laut.
Gambut pantai tergolong ke dalam gambut topogen, sedangkan
gambut pedalaman sebagai gambut ombrogen.

Jenis tanah gambut yang menempati fisiografi depresi
umumnya terdiri dari Tropohemist Terik dan Tropohemist Tipik dan sebagai urutan ketiga diduduki oleh Sulfihemist
Terik (Fakultas Pertanian, IPB, 1992).

Di pantai Sumatera

dijumpai tanah organik dengan ketebalan lebih dari 15 m
(Soepraptohardjo dan Driessen, 1976), meskipun gambut dengan kedalaman 10 m sebenarnya jarang dijumpai (Ismunadji
dan Soepardi, 1984).

Gambar 2 menunjukkan dugaan penye-

baran gambut di Indonesia.
Kesuburan Tanah Gambut
Kualitas gambut ditentukan oleh berbagai faktor baik
sifat fisik maupun kimia.

Berdasarkan kandungan unsur

haranya gambut dibedakan menjadi gambut eutropik, mesotropik dan oligotropik yang masing-masing mencirikan tingkat
kesuburan tinggi, sedang dan rendah (Fleisher, dalam Soepraptohardjo dan Driessen, 1976), seperti tertera pada Tabe1 1.
Menurut Ismunadji dan Soepardi (1984) terdapat dua
sumber yang berkontribusi terhadap keragaman kesuburan
tanah, yaitu air hujan dan mineral dari daratan. Gambut
yang tergantung kepada sumber hujan memiliki kesuburan
rendah sedangkan yang dipengaruhi oleh mineral daratan memiliki kesuburan relatif tinggi.

Beberapa faktor yang da-

pat dipakai sebagai pertimbangan dalam mengklasifikasikan
gambut sekaligus menentukan kesuburan tanah antara lain :
( a ) posisi

relatif

gambut terhadap air, yaitu
-r.

berada di

atas atau di bawah muka gambut, (b) pembentukan gambut
terjadi secara lokal (autochthone) atau dari luar (allochthone), (c) kandungan bahan organik, (d) komposisi
vegetasi dan ( e ) keberhasilan membentuk lapisan gambut
(Polak, 1941 dalam Ismunadji dan Soepardi, 1984).
Tabel 1.

Kriteria Penggolongan Tingkat Kesuburan
Tanah Gambut (Soepraptohardjo dan Driessen,
1976)
Kadar ( % Bobot Kering)

Tingkat
Kesuburan

K2°

N

5'2'

CaO

Abu

Eutropik

2.50

0.10

0.25

4.00

10.00

Mesotropik

2.00

0.10

0.20

1.00

5.00

Oligotropik

0.80

0.03

0.05

0.25

2.00

Gambut Indonesia umumnya tergolong ke dalam kelompok
mesotropik dan oligotropik, dimana kelompok kedua bersifat
dominan. Semakin dalam gambut, kandungan unsur hara yang
tercermin dari kadar abu, unsur-unsur Fe, Cu dan Zn semakin menurun.

Pola yang sama juga terjadi pada Al, walau-

pun unsur ini tidak dikehendaki keberadaannya (Tabel 2).
Akibat perbedaan kimia sesuai dengan kedalaman gambut
yang berbeda, tanggapan tanaman terhadap pemupukan juga
berlainan.
(1979) pada

Hasil

penelitian

gambut

dengan

Leiwakabessy
ketebalan

110

dan Wahyudin
dan

120

cm

Tabel 2.

Karakteristik Kimia Gambut Sumatera dan
Kalimantan pada Berbagai Tanah Gambut
dengan Kedalaman Berbeda (Bogor
Agricultural University, 1978)
Kedalaman (cm)

Karakteristik
Kimia

20

50

80

110

180

pH H 0
KTK 7me
KB ( % I
Karbon ( %
Total N ( % )
C/N
Al-dd (me/100 g)
Fe-dd (me/100 g)
Cu-tersedia
Zn-tersedia
Abu ( % I
tr = sangat sedikit
menunjukkan bahwa dengan perbaikan pemupukan diperoleh kenaikan produksi gabah dan jerami.

Sedangkan pada gambut

ombrogen Kalimantan Tengah di atas pasir kuarsa yang baru
direklamasi, penggunaan dolomit, hara makro dan hara mikro
masing-masing sebanyak 2 ton dolomit, 200 kg Urea, 400 kg
TSP, 100 kg KC1, 2 kg ZnS04, 6 kg CuS04, 4 kg FeS04, 4 kg
MnS04 dan 4 kg Na2B407 per hektar belum dapat meningkatkan
pertumbuhan

padi (Institut

Pertanian Bogor,

1982).

Hal

ini mungkin berkaitan dengan produksi asam-asam organik
seperti asam-asam fenolik yang bersifat fitotoksik bagi
tanaman (Driessen dan Suhardjo, 1976; Tsutsuki, 1984).
Dibandingkan dengan bahan amelioran lainnya, ternyata abu
bakaran gambut lebih meningkatkan produksi tanaman (Ismunadji dan Soepardi, 1984).

Kemasaman Tanah
Kemasaman tanah merupakan indikasi yang penting bagi
reaksi-reaksi kimia yang

terjadi dalam

tanah.

Sebagian

besar tanah gambut di Indonesia bereaksi sangat masam dengan pH kurang dari 4.0, lebih-lebih pada gambut pedalaman.

Gambut dari Berengbengkel sebagai contoh memiliki pH

3.27

(Salampak, 1993).

Semakin miskin unsur hara dari

lingkungan terbentuknya gambut, pH gambut semakin rendah.
Tingkat kemasaman tanah gambut ternyata tidak berkorelasi
positif dengan A1 dapat ditukar seperti terjadi pada tanah
mineral masam.
Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi memiliki gugus-gugus reaktif seperti karboksil (-COOH) dan feno1 (C6H40H) yang mendominasi komplek pertukaran dan dapat
bersifat sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi
dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak. Diperkirakan
bahwa 85 sampai 95 persen muatan pada bahan organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fen01 tersebut.
Dua gugus lainnya yaitu en01 (-COH=CH) dan imida (-NH)
berkontribusi juga terhadap muatan walaupun kecil.

Di ba-

wah pH 7.0 banyak gugus OH berdisosiasi sebagai berikut
(Tisdale, et al., 1985) :
-COOH = -COO-

+ H+

Kekhawatiran rendahnya pH tanah gambut sebagai penyebab rusaknya sistem perakaran sama sekali tidak beralasan.

Sebagai contoh, padi yang ditanam pada media gambut dengan
pH sekitar 3.5 dapat tumbuh baik asalkan konsentrasi A1
cukup rendah (Driessen dan Suhardjo, 1976).

Sebaliknya

pada tanah mineral masam dengan pH sekitar 3.0 kerusakan
tanaman terjadi setelah 1 jam dipindahkan (Jackson, 1967).
Asam-asam organik tergolong ke dalam asam lemah, sehingga memiliki kemampuan besar dalam mempertahankan reaksi-reaksi karena perubahan kemasaman.

Apabila pH dinaik-

kan, maka akan terjadi disosiasi ion H pada gugus reaktif
dan pH akan berubah mendekati pH awal dan tidak melonjak
jauh.

Oleh sebab itu untuk menaikkan pH sampai pH terten-

tu diperlukan basa-basa dalam jumlah banyak.

Sebagai con-

toh, untuk menaikkan pH larutan 0.1 N CH3COOH dari 3.5
sampai 4.0

diperlukan sebanyak 25 ml 0.1

tara dengan 2.5 me NaOH.

K NaOH atau se-

Jumlah yang sama dapat digunakan

untuk menaikkan pH larutan 0.1

HC1 dari 0 menjadi 2.0

(Tisdale, et al., 1985).

Hara Nitrogen
Tanah-tanah yang berada di daerah pasang surut umumnya memiliki keragaman sifat kimia

dan fisik yang tinggi,

lebih-lebih pada tanah organik karena distribusi bahan
pembentuk tanah bersifat heterogen.

Dibandingkan dengan

unsur-unsur lainnya, kandungan N dan C memiliki heterogenitas tertinggi.

Umumnya kandungan N-total tanah orga-

nik lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanah mineral.

Hasil evaluasi kesuburan tanah di daerah pasang surut
Lagan, Jambi dan Karang Agung, Sumatera Selatan menunjukkan bahwa pada lima lokasi kedalaman bahan organik antara
20 sampai 180 cm kadar N-total bervariasi dari 1.2 sampai
1.8 persen atau setara dengan 4 800

dan 7 200 kg N/ha

(Bogor Agricultural University, 1978).

Sedangkan kandung-

an N pada tanah mineral umumnya kurang dari 0.2

persen

atau setara dengan 4 000 kg N/ha.
Sebagian besar
senyawa organik.

N-total

tanah berada dalam

bentuk

Setelah mengalami proses aminisasi, amo-

nifikasi ataupun nitrifikasi, senyawa NH4-N dan NO3-N baru
dapat digunakan oleh tanaman.

Reaksi sederhana ketiga

proses tersebut diuraikan sebagai berikut :

Aminisasi
fungi

Bahan organik

protein
> atau amina .,...(1)
b a k t e r i heterotrop
sederhana

bakter i
>

Protein
heterotrop

+

E

+

R-OH

+

Energi

R - N H ~ + c02

lainnya .(2)

Amonifikasi
R-NH2

+ H20

bakteri
heterotrop

> NH3

+

+

H20 ->

+

OH-

.....( 3 )

Di dalam amonifikasi bermacam bakteri, fungi dan aktinomycetes baik yang bersifat aerobik maupun anaerobik terlibat,

Ammonium yang terlepas akan mengalami bermacam-macam

perubahan diantaranya :

a.

berubah menjadi NO2 dan NOg melalui proses nitrif ikasi

b.

diserap tanaman

c.

diimmobilisasi oleh bakteri heterotrop

d.

terfiksasi diantara lapisan mineral liat

e.

hilang dalam bentuk gas karena denitrifikasi.

N i trifi k a s i

2NH4 + 302

dsi enzimtik oleh bakteri lutotmp

Nitrosomonas

> 2N02

+

2H20

+

4 ~ +..(4)

Disamping NH4, NO2 juga dihasilkan langsung dari amin,
amida,
duksi

hidroksilamin, oksim dan sejumlah senyawa N-tere-

.
NO2

+

reaksi enriutik old Uteri ilrtdrop Bligrt

02

Ni trobakter

> 2 NO3

.........-.(
5)

Proses reaksi No. 3 sampai No. 4 tersebut dipengaruhi antara lain oleh reaksi tanah, aerasi, populasi bakteri, suplai ammonium, suhu, kelembaban dan proporsi unsur hara.
Ammonium

yang

terlepas selama proses

amonifikasi

dapat difiksasi kembali oleh bahan organik berkadar tinggi.

Menurut Mortland dan Walcott (1965) fiksasi memiliki

keterkaitan dengan gugus-gugus reaktif, seperti karboksil,
karbonil, enol-hidroksil, fenol, hidroksi-kuinon dan karbon tidak jenuh yang membentuk ikatan kovalen. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa fiksasi berkorelasi

positif dengan kadar karbon khususnya menyangkut gugus hidroksil sebagai tapak reaktif walaupun mekanisme ikatan
masih belum sepenuhnya dimengerti.

Semakin tinggi jumlah

karbon, semakin besar fiksasi NH4.

Fiksasi dapat terjadi

baik

dalam

keadaan

yang

aerob

maupun

anaerob.

Bahan

organik yang dihilangkan liatnya justru memperbesar fiksasi (Tisdale, et al., 1985).

Dari hasil penelitian yang

dilakukan oleh Nasoetion, Sudarsono dan Soepardi (1977)
pada tanah berganbut Delta Upang dengan menggunakan 100.0
sampai 400.0 ppm N, setelah 4 minggu jumlah NH4-N terfiksasi berkisar

antara

28.0 sampai

76.0

persen.

Fiksasi

tertinggi terjadi pada dosis 100.0 ppm N, dan menurun pada
dosis lebih tinggi.
Percobaan inkubasi secara anaerobik untuk mengetahui
kemampuan tanah gambut memproduksi NH4-N telah dilakukan
pada daerah survai Air Sugihan Kiri (Institut Pertanian
Bogor, 1976).

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa NH4-

N yang diproduksi selama tujuh hari berkisar antara 10
sampai 90.0 ppm NH4-N.

Jumlah NH4-N yang tersedia bagi

tanaman diduga tergolong rendah, lebih-lebih setelah terjadi fiksasi NH4-N yang diproduksi.

Oleh sebab itu tanah

organik sebenarnya memiliki kandungan N-tersedia yang rendah meskipun N-total tinggi.

Penelitian dengan minus one

t e s t pada gambut dengan ketebalan 110 dan 120 cm terhadap

kering sebesar 36.0 dan 35.0 persen masing-masing untuk
gambut dengan ketebalan 110 dan 120 cm. Sedangkan pada
jerami terjadi penurunan masing-masing sebesar 39.0 dan
45.0 persen terhadap perlakuan lengkap (Bogor Agricultural
University, 1978).

Hal ini menunjukkan bahwa tanggapan

tanaman terhadap pupuk N masih tinggi karena N-tersedia
dalam bentuk N H ~ +dan NOj

-

tergolong rendah.

Hara Fosfor
Distribusi fraksi-fraksi P pada tanah organik tergantung kepada komposisi tanah.

Hasil penelitian Astiana

(1977) pada tanah bergambut Delta Upang yang baru dibuka
dengan kadar C-organik antara 35.4 sampai 52.0 persen mengikuti deret berikut :
P-organik > Fe-P > A1-P > Ca-P > P-terselubung
Sebagian besar senyawa P-organik berada dalam bentuk ester
ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester.
Ester yang telah diidentifikasi terdiri dari lima kelas
senyawa, yaitu inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat,
nukleotida, dan gula fosfat.
sifat dominan.

Ketiga senyawa pertama ber-

Diperkirakan bahwa fraksi P-organik me-

ngandung 2.0 persen P sebagai asam nukleat, 1.0 persen sebagai fosfolipid, 35.0 persen inositol fosfat dan sisanya
belum teridentifikasi.

Inositol

fosfat

merupakan

homo-

siklik yang menyerupai gula dengan susunan monofosfat Sampai heksafosfat (Tisdale, et al., 1985).

24
Di dalam tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat dibandingkan dengan ester lainnya.

Oleh sebab itu,

senyawa ini banyak terakumulasi sehingga kadar di dalam
tanah menempati lebih dari setengah P-organik atau kirakira seperempat total P-tanah.

Senyawa inositol heksafos-

fat dapat bereaksi dengan Fe atau A1 membentuk garam yang
sukar larut, demikan juga terhadap Ca.

Dalam keadaan de-

mikian garam ini sukar didegradasi oleh mikroorganisme
(Anderson, 1980).
Jenis mineral liat seperti montmorilonit dan sesquioksida dapat mengikat inositol-P secara kuat. Tapak
erapan P pada koloid tanah juga dapat ditempati oleh inosit01 penta- dan heksa-fosfat.

Di dalam tanah konsentrasi

inositol fosfat sangat bervariasi.

Di daerah perkebunan

teh berkisar antara 2.0 sampai 54.0 ppm, dan antara 100.0
sampai 400.0

ppm dijumpai di daerah pertanian Skotlandia

(Tisdale, et al., 1985).
Asam nukleat,

Dua bentuk senyawa asam nukleat yang sangat

berbeda, yaitu asam nukleat dan dioksiribonukleat masingmasing memiliki karakter dengan rantai gula baik ribosa
maupun dioksiribosa yang dihubungkan oleh jembatan ester
fosfat,

Nitrogen pada purin ataupun pada pirimidin teri-

kat pada tiap molekul gula.

Dibandingkan dengan inositol

fosfat asam nukleat lebih mudah dilepaskan dan terdegradasi secara cepat.

Di dalam tanah dari Iowa, konsentrasi

asam nukleat berkisar antara 1.2 sampai 6.0 ppm atau setara dengan 0.2 sampai 1.8 persen total P-organik, sedangkan tanah dari Skotlandia berkisar antara 5.0 sampai 19.0
ppm, dimana angka

tertinggi menempati kira-kira 2.0

-

4.0

persen total P-organik (Tisdale, et al., 1985).
Fosfalipid. Senyawa ini merupakan ester asam lemak yang

mengandung P.

Derivat dari senyawa ini diantaranya fosfa-

tidilkholin dan fosfatidiletanolamin merupakan bentuk dominan dalam tanah.
cepat.

Pelepasan P dari senyawa ini tergolong

Di dalam tanah konsentrasi senyawa ini umumnya le-

bih rendah dari inositol fosfat, yaitu kurang dari 5 persen total P-organik walaupun pada horizon B tanah Chernozem mencapai 14.0 persen (Tisdale, et al., 1985).

Ester lainnya.

Senyawa yang tergolong ke dalam kelompok

ini berasal dari dinding sel bakteri yang mengandung ester yang lebih stabil.
Disamping sebagai penyangga perubahan-perubahan sifat
kimia tanah, humus dapat mengkonservasi unsur P melalui
jembatan logam yang terikat pada humus.

Dalam ha1 ini, A1

yang berasal dari mineralisasi bahan organik atau mineralmineral

tercampur dengan

bahan

organik akan bereaksi

dengan asam humat sehingga terbentuk permukaan reaktif
baru Al-hidroksi-humat.
pada senyawa humat.

Proses ini melibatkan gugus OH

Nisbah antara A1 dan OH ternyata me-

nentukan jumlah ikatan.

Pada nisbah yang rendah, jumlah P

tererap semakin meningkat

(Appelt, Coleman dan Pratt,

1975). Dengan demikian reaksi tanah dengan fosfat sebenarnya merupakan reaksi antara kation-kation Al, Fe ataupun kation-kation lainnya yang terikat sebagai komplek organo-kation

(Buckman dan Brady, 1969; Yefimov dan Don-

skikh, 1969; Tisdale dan Nelson, 1975).

Pada tanah-tanah

yang kurang mengandung kation-kation yang memiliki ikatan
kuat dengan P, sebagian besar P yang berasal dari pupuk
akan mengalami pencucian dalam jumlah banyak (Fox dan Kamprath, 1971).

Dengan menggunakan isotop 3 2 pada
~
gambut

ternyata pergerakan P mencapai empat sampai enam kali lipat gerakan P pada tanah lempung berliat (Larsen, Langston
dan Warren, 1958).
Pada tanah-tanah mineral, senyawa-senyawa A1 dan Fe
memperbesar kapasitas fiksasi P tanah.

Oleh sebab itu

pada tanah-tanah masam dan tanah-tanah yang banyak mengandung sesquioksida dianjurkan untuk menggunakan bahan organik sebagai bahan ameliorasi agar fiksasi P dapat diturunkan sekaligus meningkatkan ketersediaan P (Sanchez
dan Uehara, 1986).

Dengan adanya

senyawa organik radi-

kal, maka tapak reaktif OH pada permukaan Fe dan A1 oksida
menjadi terbuka dan akan mengikat asam-asam organik sehingga tertutup untuk pertukaran P.

Peranan bahan organik

sebagai penutup tapak erapan dapat terlihat pada Oxisol
dan Andisol yang memiliki tekstur dan susunan mineral liat
yang sama. Pada horizon atas kedua

tanah ini ternyata

fiksasi P lebih rendah bila dibandingkan dengan horizon
bawah. Dari data analisis kimia tanah, ternyata horizon
atas mengandung C-organik lebih banyak daripada horizon
bawah (Fox dan Kamprath, 1971; Moshi, Wied dan Greenland,
1974).

Dengan adanya asam humat, maka dengan Al-hidroksi-

da terbentuk komplek pada Andisol yang mengurangi fiksasi
P, walaupun fiksasi ini masih tergantung pada sifat-sifat
Al-hidroksida sendiri (Appelt, Coleman dan Pratt, 1975).
Contoh lainnya yang tidak memiliki kemampuan mengikat P
ialah lapisan atas Mollisol yang kaya akan bahan organik
(Soil Survey Staff, 1975) dan tanah-tanah yang memiliki
sesquioksida

bebas

dalam

jumlah

yang

sangat

sedikit

(Sanchez dan Uehara, 1986).
Disamping bahan organik, faktor lain yang berpengaruh
terhadap fiksasi P adalah jumlah mineral liat, jumlah
liat, jumlah koloid amorf dan kristalin, jumlah A1 dapat
ditukar, serta penggenangan dan pengeringan dan lain sebagainya (Sanchez dan Uehara, 1986).

Hara Kalium
Tidak seperti halnya dengan Ca dan Mg, kandungan unsur K pada tanah umumnya rendah dan keberadaannya menyamai
unsur Na.

Di dalam komplek erapan tanah, kedua unsur K

dan Na umumnya memiliki konsentrasi masing-masing berkisar
antara 10.0

-

50.0 dan 3.0

-

50.0 ppm.

Kandungan K yang

tinggi umumnya terdapat pada tanah berkapur dan tanah

yang terbentuk dari abu volkanik (Bidwell, 1979).

Kecuali

unsur H, kation-kation yang tergolong monovalen lebih mudah digantikan oleh kation di- atau trivalen. Di dalam
deret liotrop berikut, Li dan Na hampir memiliki sifat
yang sama, demikian juga K dan NH4

(Bohn, McNeal dan

Di dalam tanah-tanah mineral, keberadaan K dapat dijumpai dalam beberapa bentuk, yaitu seperti dalam struktur
mineral mika dan feldspar, terfiksasi pada jenis mineral
liat 2: 1, dalam bentuk dapat dipertukarkan, dan dalam larutan (Brady, 1974;

Tisdale, et al., 1985).

Oleh sebab

itu keragaman kandungan unsur K pada tanah mineral sangat
besar. Pada tanah gambut, kandungan unsur ini tergolong
rendah, karena :
a.

di Indonesia, tanah gambut tergolong ke dalam gambut
ombrogen yang bersifat oligotropik (Ismunadji dan
Soepardi, 1984)

b.

di dalam jaringan tanaman, unsur K tidak terdapat
dalam struktur jaringan walaupun berfungsi sebagai
katalitik dalam reaksi enzimatik (Epstein, 1972; Salisbury dan Ross, 1978; Bidwell, 1979). Unsur ini diketahui terikat secara ionik pada enzim piruvat kinase
yang penting dalam respirasi dan metabolisme karbohidrat

c.

pada tapak erapan bahan organik, unsur K terikat karena gaya-gaya kolumbik dan elektrostatik sehingga mudah
digantikan unsur lain (Senesi, 1994)

d.

muatan pada koloid organik terjadi karena disosiasi H
baik pada gugus karboksil maupun fen01 yang sifatnya
sangat lemah (Stevenson, 1982)

e.

tanah gambut yang terbentuk di daerah Sumatera
Selatan, Jambi dan Riau berasal dari formasi geologi

Neogen, sehingga deposit aluvium tergolong tua (Institut Pertanian Bogor, 1976)
Berdasarkan
tanah

gambut

alasan-alasan di atas, maka kadar K pada

cukup

rendah.

Pada

tanah-tanah

berbahan

mineral sepanjang sungai besar, kandungan K dapat ditukar
relatif lebih tinggi.

Di daerah survai Air Saleh, Suma-

tera Selatan, khususnya pada daerah tanggul memiliki kadar
antara 1 sampai 5 me/100 g, sedangkan pada bagian belakang
tanggul yang umumnya ditempati oleh deposit gambut memiliki kadar K kurang dari 1 me/100 g.
Pada tempat-tempat tertentu, kedalaman gambut tidak
memberi pola yang sama terhadap kadar K dapat ditukar.
Di daerah Lagan, Jambi dan Karang Agung, Sumatera Selatan
misalnya ketebalan gambut 20, 50, 80, 110 dan 180 cm masing-masing memiliki K dapat ditukar sebesar 0.78, 0.94,
0.93

1.22,

1984).

dan 1.32

me/100 g (Ismunadji dan Soepardi,

Angka-angka ini menyimpang dari karakteristik gam-

but umumnya yang terdapat di Indonesia.
Peranan F o s p o r , Tembaga dan Besi dalam Tanaman
Hara F o s p o r
Masukan energi terbesar di muka bumi berasal dari
matahari dan

peranannya sangat

penting

bagi kehidupan.

Energi matahari yang terperangkap pada permukaan tanaman
akan diubah menjadi energi kimia yang bersifat stabil, selanjutnya digunakan untuk mereduksi senyawa C menjadi karbohidrat

melalui

fotosintesa

(Epstein, 1972).
.+ ..

Menurut

.

Bidwell (1979), proses ini sedikitnya melibatkan tiga tahapan, yaitu :
1.

absorbsi dan retensi energi cahaya matahari

2.

konversi energi matahari menjadi energi kimia

3.

proses-proses stabilisasi dan penyimpanan

Di dalam proses-proses metabolisme tanaman, kebutuhan
energi diperoleh dari senyawa fosfat berenergi tinggi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan sebagai hasilnya
akan diperoleh senyawa fosfat berenergi rendah dalam bentuk adenosin difosfat (ADP).
ini akan dihasilkan

energi

Selama hidrolisis, dari ATP
sekitar 7 600 kal/mol ATP

(Mengel dan Kirkby, 1979).
Apabila cahaya matahari mengenai kloroplas, sebagian
energi matahari ini akan diserap oleh butiran klorofil dan
akan dihasilkan eksitasi elektron.

Bersama-sama

dengan

feredoksin dan sitokrom, elektron ini akan mereduksi salah
satu senyawa tersebut, kemudian akan mengoksidasi kembali
pada rantai berikutnya.

Selama proses ini akan dilepaskan

energi dan sebagian lagi melalui fotofosforilasi akan dihasilkan ATP (Arnon, Allen dan Whatley, 1954 dalam Epstein, 1972).
Disamping berperan sebagai transfer energi, unsur P
berfungsi juga sebagai penyusun asam-asam nukleat, protein, asam fitat (inositol heksa-fosfat), fitin (Ca, Mg,
Fe-asam

fitat),

fosfolipid dan

pengikat

bermacam-macam

N /c\c/Nl

I

HC

0

0

/I

0

I

OH

CH Adenin

/

1

OH

... Adenosin ....
monofosfat (AMP)
Adenosin difosfat (ADP)
,............ Adenosin trifosfat (ATP)

......

.. Adenosin

..

.......
........

gula yang diperlukan bagi proses fotosintesa dan respirasi
(Salisbury dan Ross, 1978).

Selain unsur P berperan

sebagai aktivator beberapa enzim, di dalam biji unsur ini
dijumpai sebagai asam fitat yang tersimpan sebagai cadangan unsur P (Epstein, 1972).
Dalam proses reproduksi dan pematangan, unsur P juga
memegang peranan penting, demikian juga dalam pembelahan
sell perkembangan akar, memperbesar daya tahan terhadap
hama dan penyakit (Brady, 1974) serta berfungsi sebagai
penyangga dalam mempertahankan pH sel tanaman (~alisbury
dan Ross, 1978).
Jenis-jenis tanaman yang menghasilkan biomassa dengan
kecepatan tumbuh cepat memerlukan unsur hara dalam jumlah
relatif tinggi, dan tanaman

jagung termasuk

tanaman yang

OPO H

1

3 2

memiliki sifat-sifat tersebut (Mengel dan Kirkby, 1979).
Menurut Hanway (1966), kebutuhan tanaman jagung akan unsur
P sampai tanaman berambut mencapai sekitar
lah seluruh kebutuhan unsur P.

45 %

dari jum-

Oleh sebab itu, gejala ka-

hat P sering dijumpai pada awal pertumbuhan, ditandai dengan ketidakmampuan mensistesa protein dan cenderung mengakibatkan terjadinya penimbunan gula pada bagian vegetatif.
Di sisi lain, gejala ini akan menimbulkan akumulasi antosianin dengan warna hijau gelap sampai keunguan (Salisbury
dan Ross, 1978).

Fenomena ini terjadi pada daun tua, ka-

rena unsur P dalam tanaman bersifat mobil.

Akibat selan-

jutnya adalah bahwa pertumbuhan tanaman akan kerdil, sehingga proses-proses reproduksi juga akan menurun.
Hara Tembaga

Di dalam tanah unsur Cu umumya berada dalam jumlah
sedikit.

Pada tanah-tanah yang banyak mengandung oksida-

oksida Fe, A1 dan Mn serta pada tanah-tanah yang banyak
mengandung bahan organik, Cu diikat.. sangat kuat oleh
+

senyawa-senyawa tersebut.

Demikian juga tanah-tanah yang

memiliki kandungan P tinggi, karena terbentuk senyawa Cu-P
yang sukar larut (Bidwell, 1979).

Disamping itu interaksi

antara Cu dengan unsur-unsur N dalam jumlah banyak dapat
menurunkan serapan Cu (Jones, Wolf dan Mills, 1991).

Pada

tanah gambut dalam yang baru direklamasi sering terjadi
kahat Cu yang sangat serius sehingga kahat tersebut sering
dikaitkan dengan reclamation disease (Sauchelli, 1969;
Jones, et a1

.,

1991).

Kahat ini berkaitan dengan adanya

senyawa-senyawa organik yang diproduksi dalam jumlah banyak pada awal reklamasi gambut.
Di dalam tanaman, Cu berperan sebagai katalisator
dalam enzim polifenol oksidase, askorbit oksidase dan bermacam-macam amin oksidase seperti konversi triptamin ke
hormon IAA, sebagai transfer elektron dalam reaksi akibat
cahaya seperti fotosintesa.

Disamping itu, Cu juga ber-

peran dalam reduksi nitrit (Salisbury dan Ross, 1978; Bidwell, 1979).
Kahat Cu ditandai dengan nekrotik pada ujung-ujung
daun, kemudian tulang-tulang daun berwarna gelap (Bidwell,
1979).

Pada kahat yang

serius,

daun muda

menjadi layu

dengan ujung daun berwarna putih, cabang-cabang tidak dapat berdiri tegak (Salisbury dan Ross, 1978).

Pada jagung

daun muda tumbuh terhambat, ujung daun menggulung dan berwarna pucat (Sauchelli, 1969).

Sedangkan pada padi yang

ditanam di tanah gambut, beberapa penyebab dapat terjadi
"+.

terhadap kegagalan pembentukan butir gabah, diantaranya
disebabkan karena kahat Cu (Driessen dan Suhardjo, 1976).
Apabila terjadi toksisitas, Cu dapat menstimulir kahat Fe, yaitu timbulnya klorosis.

Disamping itu perkem-

bangan akar tertekan termasuk pembentukan akar lateral
(Jones, et al., 1991).
Hara Besi
Di dalam tanah kandungan besi sangat beragam berkisar
antara 1 sampai 500 ppm dan dalam larutan tanah berkisar
antara 0.1 sampai 25 ppm (Bidwell, 1979).

Sering dijumpai

tanah-tanah banyak mengandung Fe tetapi kahat tetap terjadi pada tanaman.

Hal ini disebabkan karena sebagian besar

Fe tanah berada dalam bentuk Fe3+ yang mobilitasnya sangat
rendah.

Disamping itu kahat juga disebabkan karena kele-

bihan penggunaan NH4-N, akumulasi P, kelebihan Ca, HC03,
Mg, Cu, Zn, Mn dan logam-logam berat lainnya (Jones, et
al., 1991).
Di dalam jaringan tanaman, peranan Fe penting sebagai
katalisator dalam oksidasi-reduksi dimana Fe dapat bertindak

sebagai donor

maupun akseptor

elektron.

Sebagai

reduktor, unsur ini terlibat dalam pembentukan protein.
Di dalam enzim oksidase (misalnya katalase dan peroksidase), serta komponen non-enzim seperti floroprotein dan
feredoksin adanya unsur Fe juga sangat penting. Unsur
ini

juga

berperan

dalam

struktur

lipid

lamela, inti,

mitokondria dan sintesa membran kloroplas, sebagai penyusun struktur membran kloroplas maupun dalam sintesa klorofil (Bidwell, 1979; Salisbury dan Ross, 1978).

Unsur ini

juga berperan dalam reduksi NOg dan SO4, asimilasi N2 dan
dalam menghasilkan energi (Jones, et al.,

1991). Apabila

terjadi kahat, gejala tipikal yang terlihat ialah klorosis
pada tulang daun.

Pada kahat serius, klorosis menyebar ke

daun tua (Bidwell, 1979).
Walaupun konsentrasi Fe dalam jaringan sampai beberapa ratus ppm, toksisitas jarang terlihat.

Pada toksisitas

yang serius, daun menjadi kecoklatan yang diikuti dengan
timbulnya becak-becak coklat kecil pada daun (Jones, et

al., 1991).
Degradasi dan ~olimerisasiSenyawa Organik
Sumber utama bahan organik tanah berasal dari biomassa tumbuhan yang telah mati.

Sumber lainnya berasal dari

binatang dan mikroorganisme.

Setelah bahan organik ter-

campur tanah dan pada kelembaban yang menguntungkan bagi
pertumbuhan mikroorganisme, dekomposisi bahan organik baik
secara kimia maupun biologi dalam keadaan aerobik dan anaerobik akan terjadi.

Secara garis besar hasil dekomposi-

si dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu (a) bagian-bagian yang secara anatomi memperlihatkan sifat-sifat bahan
asal yang masih cukup jelas, dan (b) bahan asal tidak dapat

lagi diidentifikasi,

Kelompok pertama

lebih

banyak

berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik tanah, sedangkan
peranannya bagi sifat kimia sangat kecil.

Bagi kelompok

kedua, peranannya terhadap beberapa sifat kimia sangat
menonjol (Tan, 1993).
Jaringan tanaman umumnya tersusun dari unsur-unsur C,
H, 0, N, S t P dan sejumlah unsur-unsur lainnya, serta se-

jumlah senyawa organik.

Dari senyawa organik ini, sejum-

lah bahan akan hilang karena terpakai oleh bakteri sebagai
sumber energi selama proses dekomposisi.

Bahan-bahan yang

masih dapat dideteksi walaupun dalam jumlah kecil antara
lain (1) karbohidrat, (2) asam amino dan protein, (3) lipida,

(4)

asam nukleat, (5) lignin dan (6) humus. Kelima

kelompok pertama disebut juga sebagai nonhumified materials (Stevenson, 1982).
Karbohidrat
Karbohidrat dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu
(1) monosakarida, (2) oligosakarida dan (3) polisakarida.
Kelompok pertama merupakan gula sederhana yang tidak dapat
dihidrolisa menjadi molekul yang lebih kecil. Oligosakarida masih dapat dihidrolisa menjadi dua sampai enam molekul gula sederhana seperti misalnya disakarida menjadi dua
monosakarida, pentosakarida menjadi lima monosakarida.
Sedangkan polisakarida akan menjadi banyak monosakarida,
termasuk di dalamnya sellulosa, dan hemisellulosa.

Bebe-

rapa glukosa, xylosa dan arabinosa melalui ikatan glukosidik membentuk polisakarida (Tan, 1993).

Monosakarida dan oligosakarida larut dalam air dan
memiliki rasa manis, sedangkan polisakarida dalam keadaan
sebaliknya, dan bersifat amorf.
rida memiliki berat

molekul

Sellulosa dari
antara

polisaka-

200 000 sampai 2

juta. Dibandingkan dengan polisakarida tanaman, polisakarida dalam tanah memiliki sifat yang sangat berbeda.

Di

dalam tanah polisakarida tanaman dapat didekomposisi oleh
mikroorganisme baik secara aerobik maupun anaerobik karena
dapat berfungsi sebagai sumber energi bagi mikroorganisme.
Dua jenis enzim terlibat dalam degradasi polisakarida
yaitu endoenzim yang merusak ikatan glukosidik dan eksoenzim yang merusak ikatan terminal.

Semakin banyak ikatan

ini, semakin sukar ikatan dirusak.

Oleh sebab itu, setiap

jenis tanaman memiliki resistensi yang berbeda terhadap
degradasi karena komposisi yang berbeda.
di lebih sulit

Degradasi menja-

terjadi apabila terjadi interaksi dengan

mineral liat ataupun kation-kation polivalen, lebih-lebih
apabila polisakarida tersebut masuk ke dalam ruang antar
sel pada mineral liat montmorilonit (Olness dan Clapp,
1973; 1975).

Demikian juga apabila bahan tersebut terkom-

plek dengan Cu, Fe dan Zn (Shindo dan Kuwatsuka, 1977).
Di dalam kimia tanah, polisakarida berpengaruh terhadap reaksi-reaksi KTK, pertukaran anion, reaksi komplek
dengan kation. Di dalam aktivitas biologi polisakarida
berpengaruh terhadap metabolisme

karbon. Bersama-sama

dengan lignin dan asam amino, senyawa polisakarida membentuk humus,

asam humat dan

sejumlah senyawa

lainnya.

Di

dalam fisika tanah, polisakarida menentukan agregasi fraksi mineral (Greenland, Lindstrom dan Quirk, 1962).

Apabi-

la polisakarida ini dihancurkan secara oksidatif akan menurunkan stabilitas agregat antara 30
berkurangnya pengaruh sementasi.

-

90 persen, karena

Di dalam tapak erapan,

polisakarida berkompetisi dengan molekul H20 dan menurunkan pembasahan (wetting) dan pengembangan (swelling), sehingga meningkatkan

sementasi.

Disamping

polisakarida,

proses ini juga dipengaruhi miselia jamur (Tan, 1993).
Diantara senyawa-senyawa

karbohidrat,

gula paling

mudah didekomposisi secara anaerob maupun aerobik. Pada
keadaan anaerob dekomposisi gula menghasilkan gas CH4 dan
C02, sedangkan pada keadaan aerob dihasilkan C02 dan H20
(Neue dan Scharpenseel, 1984; Yamane dan Sato, 1963a;
1963b; 1964).

Pada dekomposisi parsial akan dihasilkan

etil alkohol dan metil alkohol.

Sebagai produk yang ber-

sifat intermediate akan dihasilkan asam-asam asetat, butirat, propionat, isovalerat, p-hidroksibenzoat, vanilat,
p-kumarat,

ferulat, sinapat dan alkohol

(Tsutsuki dan

Ponnamperuma, 1987). Disamping gas C02, CH4 dan H2 juga
dihasilkan H2S, CS2, COS, CH3SH, (CH3)2S dan (CH3)2S2.
Apabila di dalam tanah banyak dijumpai protein, maka gasgas tersebut akan diproduksi

lebih banyak

(Minami dan

Fukushi, 1981).

Asam-asam ini memegang peranan penting

sebagai salah satu starting materials dalam pembentukan
humus (Katase, 1985e).
Asam Amino
Asam-asam amino dicirikan oleh gugus NH2 yang terikat
pada rantai C.

Seperti halnya dengan NH2, gugus COOH juga

terikat pada atom C.

~idrolisisprotein dapat menghasil-

kan tiga macam senyawa asam amino alifatik, aromatik dan
heterosiklik. Penggabungan asam-asam amino dapat menghasilkan protein. Sebanyak 21 asam amino sering dijumpai
pada protein, yaitu melalui penggabungan pada gugus karboksil. Akibat gugus NH2 dan COOH, senyawa ini dapat bereaksi dengan asam dan basa, sehingga dapat bermuatan
positif pada pH rendah

dan

negatif pada pH tinggi.

pH 7.0, asam amino masih terprotonisasi.

Pada

Oleh sebab itu,

apabila pH dinaikkan maka kelebihan H pada gugus NH3 masih
dinetralisir (nilai pKa =

4.7).

coo-

coo-

Apabila pH diturunkan, maka gugus COO- akan menerima H.
NH~+

H3C

I
- C - COO- +

'

H+

> H3C

NH~+

I
- C - COOH

Pada pH 2.3 separuh gugus karboksil terprotonisasi.

Lipida
Lipida merupakan senyawa yang bersifat heterogen dari
asam-asam lemak, lilin dan minyak.

Penyusun dasar dari

lipida adalah gliserol (CH3H803) atau alkohol lainnya.
Gugus utama dalam lipida adalah OH.
rut

dalam

air

dan

memiliki

Senyawa ini tidak la-

sifat hidrofobik.

Banyak

lipid% pada tanaman dan binatang berasosiasi dengan protein dan karbohidrat.

Sedangkan membran lipida bersifat

amfifilik, karena adanya sifat-sifat hidrofobik dan hidrofilik pada molekul yang sama.
Asam Nukleat
Setiap sel tanaman dan bi