Feminisme WACANA SEKSUALITAS DAN HAK ATAS TUBUH DALAM PERSPEKTIF MAHASISWA IAIN TULUNGAGUNG - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

12 BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Feminisme

Feminisme pada mulanya merupakan sebuah gerakan perempuan yang memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia, seperti halnya lelaki. Feminisme merupakan reaksi dari ketidakadilan gender yang mengikat perempuan secara kultural dengan sistem yang patriarki. Perbincangan tentang feminisme pada umumnya merupakan perbincangan tentang bagaimana pola relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, serta bagaimana hak, status dan kedudukan perempuan di sektor domestik dan publik. Menurut Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, dua tokoh feminis dari Asia Selatan, “tidak mudah untuk merumuskan definisi feminisme yang dapat diterima oleh atau diterapkan kepada semua feminis di semua tempat dan waktu. Karena definisi feminisme berubah-ubah sesuai dengan perbedaan realitas sosio-kultural yang melatarbelakangi kelahirannya serta perbedaan tingkat kesadaran, persepsi, serta tindakan yang dilakukan para feminis itu sendiri”. 1 Meskipun demikian, feminisme harus didefinisikan secara jelas dan luas supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Untuk itulah mereka mengajukan definisi yang memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu suatu 1 Kamla Bashin dan Nighat Said Khan dalam Siti Muslikhati. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam timbangan Islam . Jakarta: Gema Insani Press, 2004 hlm. 17-18. kesadaran akan penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Konsep mendasar yang ditawarkan oleh feminisme untuk menganalisis masyarakat adalah gender. Pemakaian kata gender dalam feminisme mula pertama dicetuskan oleh Anne Oakley. Menurutnya, ada dua istilah yang serupa, tetapi tidak sama, yaitu seks dan gender. Seks berarti jenis kelamin yang menunjukkan pembagian dua jenis kelamin manusia secara biologis. Gender adalah konsep tentang klasifikasi sifat kelaki-lakian maskulin dan keperempuanan feminin yang dibentuk secara sosio kultural. Di dalam Women‟s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, posisi, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki- laki dan perempuan dalam masyarakat. Pada dataran ini, ada garis yang bersifat culture , di mana ciri dan sifat-sifat yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan bisa saja dipertukarkan, karena hal tersebut tidak bersifat kodrati. Secara umum dapat dikatakan bahwa gender itu tidak berlaku universal. Artinya setiap masyarakat, pada waktu tertentu, memiliki system kebudayaan tertentu yang berbeda dengan masyarakat lain dan waktu yang lain. system kebudayaan ini mencakup elemen deskriptif dan perskriptif, yaitu mempunyai ctra yang jelas tentang bagaimana sebenarnya dan seharusnya laki-laki dan perempuan itu. Tetapi, dalam penelitian William dan Best yang mencakup 30 negara menampilkan semacam consensus tentang atribut laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa sekalipun gender itu tidak universal, tetapi telah terjadi generalisasi kultural. Pada umumnya label maskulin dilekatkan pada laki-laki yang dipandang sebagai lebih kuat, lebih aktif dan ditandai oleh kebutuhan yang besar akan pencapaian dominasi, atonomi dan agresi. Sebaliknya, label feminine dilekatkan pada perempuan yang dipandang sebagai lebih lemah, kurang aktif dan lebih menaruh perhatian kepada keinginan untuk mengasuh dan mengalah. Meskipun, para feminis mempunyai kesadaran yang sama tentang adanya ketidakadilan terhadap perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, tetapi pendapat mereka dalam menganalisis sebab-sebab terjadinya ketidakadilan serta target dan bentuk perjuangan mereka. Pada umumnya, teori-teori feminisme yang dikembangkan para tokoh feminis memakai perspektif yang berbeda dan berangkat dari epistemologi yang berbeda. Pemikir-pemikir perempuan memakai perangkat teoritis filosofis epistemis sesuai dengan tradisi berpikirnya. Termasuk kekaguman dan kecenderungan pemikiran yang mempengaruhinya. Beberapa aliran feminisme berikut lahir dari pelbagai perspektif yang berbeda-beda antara lain: 1. Feminisme liberal, feminisme liberal berusaha memperjuangkan agar perempuan mencapai persamaan hak-hak yang legal secara sosial dan politik. Artinya aliran ini menolak segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan 2 . Abad ke-18 menegaskan, jika nalar adalah kapasitas yang membedakan manusia dari binatang, maka jika perempuan bukan binatang liar, perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai kapasitas ini. Karena itu, masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada permpuan. Seperti juga kepada laki-laki, karena semua manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya. Sehingga mereka dapat menjadi menusia yang utuh. Secara terus menerus Wollstonecraft merayakan nalar, biasanya dengan mengorbankan emosi atau perasaan. Menurut Jane Roland Martin “ Dalam usahanya untuk menunjukkan hak perempuan, Wollstonecraft menghadirkan kepada kita suatu gagasan ideal mengenai pendidikan bagi perempuan, yang memberikan kebanggaan atas sifat-sifat yang secara tradisional dihubungkan laki-laki, dengan mengorbankan sifat- sifat lain yang sec ara tradisional dihubungkan dengan perempuan”. 3 2. Feminisme radikal menganggap bahwa perbedaan gender bisa dijelaskan melalui perbedaan biologis atau psikologis antara laki-laki dan perempuan. Menurut aliran ini, kekuasaan laki-laki atas kaum perempuan, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki 2 Sugihastuti, Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 hlm. 97 3 Mary Wollstonecraft dalam Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra, 2010 hlm. 20-21 atas kapasitas reproduktif perempuan telah menyebabkan penindasan pada perempuan. Feminisme radikal bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki- laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas termasuk lesbianisme, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki dan dikotomi privat publik. 4 3. Feminisme marxis menganut teori konflik yang berlandaskan pada pemikiran Karl Marx. Menurut Marx hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan borjuis dan proletar. Pada sistem kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan oleh pelbagai cara dan alasan yang menguntungkan. Buruh laki-laki yang bekerja di pabrik dan dieksploitasi oleh kapitalis, selanjutnya pulang ke rumah dan terlibat dalam suatu hubungan kerja dengan istrinya. Kaum perempuan yang masuk sebagai buruh dianggap menguntungkan bagi kapitalis. Buruh perempuan seringkali mendapat upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Dengan masuknya perempuan dalam system ini, menciptakan buruh cadangan yang tak terbatas bagi sistem kapitalis. Bagi penganut aliran ini, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural. Sehingga kapitalismelah yang menjadi penyebabnya. 4 Ibid, hlm. 68 4. Feminisme sosialis, aliran ini merupakan perpaduan antara metode historis materialis Marx dan Engels. Aliran ini menganggap konstruksi sosial sebagai sumber ketidakadilan terhadap perempuan. Termasuk di dalamnya adalah stereotip-stereotip yang dilekatkan kepada perempuan. Penindasan perempuan terjadi di semua kelas, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. 5 Menurut Fakih, aliran ini berusaha mengawinkan analisis patriarki dengan analisis kelas. Dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas dari system kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibtkan dominasi, subordinasi dan marginalisasi atas kaum perempuan. Teori yang dikemukakan oleh feminisme sosialis dikenal dengan teori patriarki kapitalis, yang diungkapkan pertama kali oleh Zillah Eisenstein, yakni menyamakan dialektika antara struktur kelas kapitalis dengan struktur hierarki seksual 6 . Teori ini melihat perempuan sebagai sebuah kelas dan menganggap bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi di semua kelas. Teori ini menganggap bahwa ketidakadilan terhadap perempuan tidak semata-mata disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi lebih disebabkan oleh penilaian dan anggapan akibat konstruksi sosial terhadap perbedaan tersebut. 5 Sugihastuti, Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 hlm. 98 6 Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013 hlm. 90 5. Feminisme psikoanalisis percaya bahwa penjelasan fundamental atas cara bertindak perempuan berakar dalam psike perempuan, terutama dalam cara pikir perempuan. Berdasarkan konsep Freud, seperti tahapan Oedipal dan kompleks Oedipus, mereka mengklaim bahwa ketidaksetaraan gender berakar dari rangkaian pengalaman dari masa kanak-kanak yang mengakibatkan bukan saja cara laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin dan perempuan memandang dirinya sebagai feminine, melainkan juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas adalah lebih baik daripada feminitas. 7 6. Feminisme eksistensialis, aliran ini dipelopori oleh Simone de Beauvoir yang memakai teori eksistensialisme dalam memaknai relasi laki-laki dan perempuan. Dalam bahasa ini laki- laki dinamai “sang Diri”, sedangkan perempuan dinamai “sang Liyan”. Pemikiran kritis Beauvoir menjadi pembuka jalan bagi para feminisme postmodern. 8 7. Feminisme posmodern seperti semua posmodernis yang berusaha untuk menghindari setiap tindakan yang akan mengembalikan pemikiran falogosentris phallogocentric, setiap gagasan yang mengacu kepada kata logos yang style- nya “laki-laki”. Dengan demikian, feminis postmodern memandang dengan curiga setiap pemikiran feminis, yang berusaha memberikan suatu penjelasan tertentu, mengenai penyebab opresi terhadap perempuan, atau langkah-langkah tertentu yang harus 7 Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra, 2010 hlm. 190 8 Ibid, hlm. 262 diambil perempuan untuk mencapai kebebasan. Beberapa feminis posmodern begitu curiga mengenai pemikiran feminis tradisional, sehingga mereka menolak pemikiran tersebut sama sekali. Misalnya Helene Cixous sama sekali tidak mau menggunakan istilah feminis dan lesbian. Menurutnya, kata-kata tersebut bersifat parasit dan menempel pada pemikiran falogosentris karena kedua kata tersebut berkonotasi “penyimpangan dari suatu norma dan bukannya merupakan pilihan seksual yang bebas atau sebuah ruang untuk solidaritas perempuan. 9 8. Feminisme multikultural dan global berbagi kesamaan dalam cara pandang mereka terhadap Diri, yaitu Diri adalah terpecah. Meskipun demikian, bagi feminis multikultural dan global, keterpecahan ini lebih bersifat budaya, rasial dan etnik daripada seksual, psikologis dan sastrawi. Ada banyak kesamaan antara feminisme multikultural dan global. Keduanya menentang “esensialisme perempuan” yaitu pandangan bahwa gagasan tentang “perempuan” ada sebagai bentuk platonik, yang seolah-olah setiap perempuan dapat sesuai dengan kategori itu. Kedua pandangan feminisme ini juga menafikkan “chauvinisme perempuan” yaitu kecenderungan dari segelintir perempuan, yang diuntungkan karena ras atau kelas mereka, misalnya, untuk berbicara atas nama perempuan lain. 10 9 Ibid , hlm. 283 10 Ibid , hlm. 309 9. Ekofeminisme berusaha untuk menunjukkan hubungan antara semua bentuk opresi manusia, tetapi juga memfokuskan pada usaha manusia untuk mendominasi dunia bukan manusia, alam. Karena perempuan secara cultural dikaitkan dengan alam, ekofeminis berpendapat ada hubungan konseptual, simbolik dan lingustik antara feminis dan isu ekologi. Menurut Karen J. Warren, keyakinan, nilai, sikap dan asumsi dasar dunia Barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibentuk oleh bingkai pikir konseptual patriarkal yang opresif, yang bertujuan untuk menjelaskan, membenarkan dan menjaga hubungan antara dominasi dan subordinasi secara umum serta dominasi laki-laki terhadap perempuan pada khususnya 11 . Adapun teori feminisme yang dijadikan landasan dalam penelitian ini mengacu pada feminisme kontemporer. Yakni, feminisme eksistensialis dan feminisme postmodern. Meskipun, tidak seluruh pemikiran dua aliran tersebut dipakai, namun tokoh dipaparkan kemudian dianggap sudah mewakili keseluruhannya.

B. Gender