RAIN WATER HARVESTING TO SUPPORT RAINFED RICE IN TULANG BAWANG BARAT

ABSTRACT
RAIN WATER HARVESTING TO SUPPORT RAINFED RICE IN
TULANG BAWANG BARAT
By
Ali Dinata

The research was conducted in the District of Tulang Bawang Tengah, Regency
Tulang Bawang Barat. Primary data collection was done by field observations that
was counting percolation and soil density. Percolation was measured by using
lisimeter embedded into the ground. Rainfall data was obtained from BMKG
(Climatology Meteorology and Geophysics) Astra Ksetra Tulang Bawang, while
the reference evapotranspiration data (ETo) was from BMKG Branti.
Percolation measurements was performed using lisimeter in the Sub Tulang
Bawang Tengah. Lisimeter had 35 cm diameter, 111 cm circumference and 42 cm
high. Percolation rate measurement results on average in the District of Tulang
Bawang Tengah amounted to 4.4 mm / day. With the conclusion of research
porzolik yellow red soil texture in the Tulang Bawang Barat Regency is Sandy
Clay
Loam.
Based on simulation results, the most efficient Planting Month was February,
compared to planting in March and December. Planting in February required the

smallest pond area (380 m2) with Rain Water Harvesting Efficiency of 91%.
Keywords: Rain Water Harvesting, Dry Land Rice, Simulation Model.

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Tekstur tanah porzolik merah kuning di Kabupaten Tulang Bawang Barat
adalah Sandy Clay Loam (lempung liat berpasir).
2. Berdasarkan hasil simulasi, Bulan Tanam yang paling efisien adalah Februari,
dibandingkan dengan tanam bulan Maret dan Desember, karena tanam bulan
Februari membutuhkan luasan kolam yang paling kecil yaitu 380 m2.
3. Efisiensi Pemanenan Air Hujan 91 %

B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan setelah melakukan penelitian ini adalah :
1. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menghasilkan ukuran kolam penampung

yang ideal, sehingga setiap musim tanam tidak terjadi kekurangan air.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Padi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia sehingga tidak
dapat dipungkiri bahwa komoditas ini telah turut mempengaruhi tatanan politik
dan stabilitas nasional. Selain sebagai makanan pokok lebih dari 95% penduduk,
padi juga telah menjadi sumber mata pencaharian sebagian besar petani di
pedesaan. Dewasa ini usahatani padi mampu menyediakan lapangan kerja bagi
sekitar 20 juta rumah tangga petani (Apriyantono, 2008).
Kemampuan meningkatkan produksi beras dalam negeri semakin dituntut untuk
mengimbangi peningkatan kebutuhan, seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk dengan tingkat konsumsi yang masih tinggi. Namun tantangan
peningkatan produksi di masa yang akan datang juga makin meningkat terkait
dengan persaingan dalam pemanfaatan sumber daya antara sektor pertanian
dengan sektor lainnya (Apriyantono, 2007).
Produksi padi perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk
yang terus bertambah. Kebutuhan beras nasional dewasa ini telah menyentuh
angka lebih dari 32,13 juta ton per tahun. Di sisi lain, tantangan yang dihadapi

dalam pengadaan produksi padi semakin berat. Laju pertumbuhan penduduk dan
tingkat konsumsi beras yang relatif masih tinggi menuntut peningkatan produksi

2

yang sinambung, sementara sebagian lahan sawah yang subur telah beralih fungsi
untuk usaha lainnya ( Badan Pusat Statistik, 2007 ).
Mengacu pada angka ramalan III produksi padi 2008 (BPS), maka Indonesia telah
berhasil kembali meraih swasembada beras, bahkan terdapat surplus sebesar 2,68
juta ton. Jika surplus beras tersebut digunakan untuk stok pangan nasional sebesar
3 juta ton, maka pada tahun 2008 belum ada peluang untuk mengekspor beras.
Indonesia baru memiliki peluang ekspor beras pada tahun 2009. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik, luas areal panen padi 2009 mencapai 12,8 juta hektar
dengan produktivitas per hektar 4,97 ton dan produksi padi 63,8 juta ton gabah
kering giling setara 36.19 juta ton beras (Badan Pusat Statistik, 2009).
Pemerintah menargetkan produksi Gabah Kering Giling (GKG) meningkat
menjadi 72 juta ton pada tahun 2010. Target itu bisa dicapai jika produktivitas
ditingkatkan menjadi 6 ton per hektar. Ke depan, produksi padi akan sulit
ditingkatkan tanpa terobosan inovasi teknologi dan tanpa perluasan areal
pertanaman melalui pencetakan sawah baru (Badan Pusat Statistik, 2009).

Dari total daratan Indonesia seluas 188,2 juta ha, lahan yang potensial untuk
pengembangan pertanian terdapat 94 juta ha dan 69 juta ha diantaranya untuk
pertanian lahan kering dan 23,0 juta ha untuk pertanian lahan basah/sawah. Lahan
basah adalah lahan yang secara biofisik sesuai untuk pengembangan lahan sawah,
meliputi lahan sawah yang ada saat ini, lahan rawa, dan lahan nonrawa yang
memungkinkan untuk digenangi atau diirigasi. Lahan basah yang sesuai untuk
lahan sawah terdapat seluas 25,4 juta ha, yang terdiri atas 6,4 juta ha lahan rawa
dan 19,0 juta ha lahan nonrawa (sawah irigasi dan tadah hujan) (Apriyantono,
2008).

3

Lahan kering merupakan salah satu sumber daya lahan yang mempunyai potensi
besar untuk pembangunan pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, maupun
perkebunan. Fakta membuktikan bahwa peningkatan produksi pangan terutama
beras meskipun secara teoritis dapat dilakukan, namun secara praktis bukanlah hal
yang mudah, karena potensi sumberdaya yang ada misalnya lahan kering sangat
memerlukan banyak masukan. Salah satu diantaranya adalah ketersediaan air
menurut ruang dan waktu ( http://balitklimat.litbang.deptan.go.id )
Rendahnya produktivitas padi lahan kering ( tadah hujan ) dibandingkan dengan

sawah irigasi adalah masa tanam, kekurangan air. Tanaman padi hanya
mengandalkan air hujan bila tidak ada hujan akan kekeringan, sebaliknya saat
hujan air melimpas tidak termanfaatkan Selama ini pemahaman pengelolaan lahan
kering lebih difokuskan kepada upaya peningkatan produktivitas lahan yang selalu
dikaitkan dengan penambahan pupuk, pencegahan erosi, sistem budidaya tanpa
menyentuh aspek sumberdaya iklim dan air, walaupun kedua faktor tersebut
berpengaruh nyata terhadap peningkatan produktivitas lahan kering untuk
pengembangan pertanian. Karateristik hidro-klimatik lahan kering dan masalah
kelebihan air hujan yang seringkali menjadi kendala dalam pengembangan
pertanian dapat disiasati dengan: memanfaatkan seproduktif mungkin curah hujan
yang ada dengan merencanakan pola tanam dan masa tanam yang tepat dan
memanfaatkan air hujan yang jatuh melalui pemanenan aliran limpasan antara lain
ditampung dengan pembuatan sebuah kolam, dam, parit dan embung.
Perlu sebuah teknologi untuk memanen air hujan. Air hujan yang melimpas
dikumpulkan dan digunakan untuk Irigasi pada saat diperlukan. Pemanfaatan air
hujan melaui sistem pemanenan aliran permukaan mampu menampung air hujan
dan dapat dimanfaatkan untuk memasok kebutuhan air untuk tanaman pada saat

4


musim tanam pasca musim hujan yang secara tidak langsung meningkatkan
indeks pertanaman pada lahan kering yang dibudidayakan untuk pertanian.
Optimalisasi penggunaan air hujan dan pemanenan aliran limpasan untuk
meningkatkan produksi padi dilahan kering akan lebih efektif apabila dipadukan
dengan prakiraan iklim yang memberi gambaran kapan datangnya musim hujan
dan kejadian musim ditahun yang akan datang.
( http://balitklimat.litbang.deptan.go.id )
Dengan demikian pembuatan kolam atau embung untuk menampung air hujan
diperlukan sebagai alternative untuk mengatasi masalah tersebut. Ada beberapa
keuntungan dari mengumpulkan air hujan, yaitu :
1. Ketersedian air irigasi dapat terjamin
2. Menghindarkan limpasan/erosi/banjir
3. Menghindarkan polusi di daerah hilir
4. Mengurangi kehilangan pupuk
5. Produktivitas padi lahan kering dapat ditingkatkan.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah membuat simulasi model pemanenan air hujan
dengan sistem sawah

kolam untuk mendukung produksi padi sawah tadah hujan.