ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI HAKIM KOMISARIS DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

(1)

ABSTRAK

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI HAKIM KOMISARIS DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM ACARA PIDANA

Oleh

DWI NURAHMAN

Pra peradilan yang selama ini telah diatur dalam KUHAP menuai banyak kritikan dari praktisi hukum. Di dalam prakteknya, ternyata pra peradilan kurang memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan khususnya tersangka dalam proses peradilan pidana. Sehubungan dengan hal itu, pemerintah dan DPR telah membuat suatu Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang salah satu isinya mengganti lembaga pra peradilan dengan Hakim Komisaris. Latar belakang yang mendasari munculnya Hakim Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam proses pemidanan dan menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang berbeda. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009? Dan Apakah akibat hukum dari penetapan dan putusan Hakim Komisaris tentang pelanggaran hak-hak tersangka selama tahap penyidikan dan upaya khusus yang dapat dilakukan apabila Hakim Komisaris berhalangan?

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif. yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah kebijakan formulasi Hakim Komisaris yang diatur dalam RUU KUHAP Tahun 2009 sebagai pengganti lembaga pra peradilan. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.

Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisasris dalam RUU


(2)

KUHAP Tahun 2009 adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka dalam proses peradilan pidana terhadap tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang berbeda. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak tersangka selama tahap penyidikan sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 111 Ayat (1) huruf (j) RUU KUHAP Tahun 2009, maka sebagai akibat hukumnya adalah penyidik dapat dikenakan sanksi yuridis dan sanksi khusus dari instansinya dan segera memerintahkan pelepasan tahanan dalam kondisi aman. Upaya khusus yang dapat dilakukan apabila Hakim Komisaris berhalangan hadir atau tidak dapat menjalankan tugasnya adalah staf ahli yang membantu kinerja Hakim Komisaris dapat meminta pertimbangan, petunjuk dan konsultasi hukum terhadap perkara yang akan diputus. Jadi pada dasarnya putusan itu sudah disusun oleh staf ahlinya, tinggal membaca putusan tersebut. Putusan tersebut dapat dibacakan oleh staf ahli ataupun oleh wakil ketua Pengadilan Negeri berdasarkan ketentuan dan prosedural yang berlaku.

Adapun saran yang diberikan penulis yaitu diformulasikannya Hakim Komisaris dalam draft RUU KUHAP Tahun 2009 harus dapat meminimalisir mengenai pelanggaran terhadap hak-hak tersangka di setiap tahap atau proses peradilan pidana serta dapat meminimalisir mafia peradilan yang sangat dimungkinkan terjadi dalam praktek Pra Peradilan saat ini. Dalam hal ini dapat diminimalisir oleh Hakim Komisaris, karena dalam Hakim Komisaris sudah ditunjuk hakim yang khusus menangani Pra Peradilan. Hakim dalam Pra Peradilan bersifat bebas akan tetapi Hakim dalam Hakim Komisaris sudah ditentukan hakim khusus yang akan memutus perkara yang diajukan. Adanya perbedaan pengaturan hakim antara hakim Pra Peradilan dengan Hakim Komisaris dapat mencegah praktek mafia peradilan.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie) (Andi Hamzah, 2006: 3).

Sejarah masa lalu Indonesia dalam penyeleggaraan peradilan pidana yang berbasis pada hukum Eropa Kontinental tersebut berpedoman pada Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Dasar hukum tersebut diberlakukan sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan di seluruh wilayah Republik Indonesia (Andi Hamzah, 2006: 14).

Proses tentang acara perkara pidana sipil sebagaimana yang terjadi pada masa lalu dengan bepedoman pada Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) pada masa sekarang ini dikenal dengan istilah Hukum acara pidana, yaitu hukum yang mengatur tentang tata cara beracara di badan peradilan dalam lingkup hukum pidana. Istilah Hukum acara pidana di Indonesia sekarang ini diatur dalam UU


(4)

Nomor 8 Tahun 1981 atau dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP (Andi Hamzah, 2006: 22).

Proses pelaksanaan hukum pidana di masa sekarang ini erat hubungannya dengan masalah peradilan yang dalam pelaksanaannya harus menggunakan hukum acara pidana, karena hukum acara pidana mengatur hak-hak seseorang serta wewenang aparat penegak hukum apabila tersangkut dalam perkara pidana seperti penangkapan, penahanan dan penuntutan.

Sehubungan dengan perkara pidana tersebut, peristiwa penangkapan, penahanan dan penuntutan adalah suatu peristiwa yang luar biasa, oleh sebab itu setiap penangkapan, penahanan dan penuntutan harus tunduk kepada perlindungan hak-hak asasi manusia seperti menghormati harkat dan martabat manusia, hak-hak kemerdekaan diri, keadilan dan aturan undang-undang. Sehingga masalah hak asasi manusia yang berhubungan dengan penangkapan, penahanan dan penuntutan perlu mendapat perhatian kita semua terutama oleh aparat penegak hukum agar tidak menyalahgunakan wewenang yang telah diberikan dalam menjalankan tugasnya.

Realisasi adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut khususnya dalam hal peradilan, maka pada tahun 1981 diUndangkanlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dengan demikian sejak itu lah HIR digantikan dengan KUHAP dan mulailah terpancang tonggak sejarah kemanusiaan di zaman orde baru, yang


(5)

mencerminkan penegakan hukum (the rule of law) yang melindungi hak-hak asasi manusia di Indonesia (www.hukumonline.com, 03 Desember 2009, 09:45).

KUHAP ini lah yang hadir menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement

(HIR) sebagai payung hukum acara di Indonesia. Kehadiran KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dimaksudkan oleh pembuat

undang-undang untuk “mengoreksi” pengalaman praktek peradilan masa lalu yang tidak

sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah aturan HIR, sekaligus memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum. Oleh karena itu, hukum acara pidana nasional, wajib didasarkan pada falsafah / pandangan hidup bangsa dan dasar negara (pancasila), maka sudah seharusnya diketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warganegara (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 3).

Salah satu manifestasi perlindungan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam KUHAP adalah adanya lembaga pra peradilan untuk setiap warga negara yang ditangkap, ditahan dan dituntut tanpa alasan yang sah (cukup) berdasarkan ketentuan undang-undang.

Lembaga pra peradilan tersebut sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP yaitu pada Pasal 1 angka 10 adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 adalah diantaranya:


(6)

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tesangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP dapat diketahui salah satu tujuan dibuatnya KUHAP tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan kepada tersangka, sehingga dapat terhindar dari tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum khususnya pada tingkat penyidikan maupun penuntutan, perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia sejauh mungkin dapat dihindari seperti salah tangkap, salah tahan, dan lain sebagainya, disamping itu juga menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Saat ini pra peradilan dipertanyakan kembali keefektifannya dan diperbandingkan dengan konsep Hakim Komisaris (pada masa Hindia Belanda pernah diberlakukan

rechter commisaris). Pra peradilan yang selama ini telah diatur dalam KUHAP menuai banyak kritikan dari praktisi hukum. Di dalam prakteknya, ternyata pra


(7)

peradilan kurang memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan khususnya tersangka dalam proses peradilan pidana (Oemar Seno Adji, 1984: 64).

Sehubungan dengan hal itu, pemerintah dan DPR telah membuat suatu Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang salah satu isinya mengganti lembaga pra peradilan dengan Hakim Komisaris. Latar belakang yang mendasari munculnya Hakim Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam proses pemidanan dan menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang berbeda. Pristiwa penangkapan dan penahanan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang.

Dasar pemikiran adanya Hakim Komisaris dalam sistem Eropa Kontinental, antara lain Belanda, sebenarnya tidak bisa dilepaskan daripada fungsi hukum acara pidana yang bertujuan mencari dan menemukan kebenaran sejati serta menjalankan atau melaksanakan hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil memiliki asas fundamental bahwa tidak ada suatu tindak pidana tanpa ada undang-undang yang mengatur sebelumnya (nullum delictum nulla poena praviae siena lege poenali). Asas ini yang dimuat dalam Pasal 1 Wetbook van Straftrecht

Belanda, mempengaruhi keseluruhan proses hukum acara pidana, baik di dalam penyidikan, penuntutan maupun penggeledahan (www.hukumonline.com, 03 Desember 2009, 09:45).


(8)

Kebijakan Formulasi Hakim Komisaris yang sebagaimana termuat di dalam RUU KUHAP Tahun 2009 memang mempunyai kewenangan eksekutif. Kebijakan formulasi Hakim Komisaris itu sendiri adalah sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana atau arah tindakan yang memilki maksud dan tujuan yang ditetapakan oleh suatu lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan serta dalam mengatasi suatu permasalahan atau suatu perubahan atau pembaharuan di suatu negara. Sedangkan kewenangan eksekutif dari Hakim Komisaris yaitu melakukan suatu konsultasi-konsultasi hukum kepada penyidik dan penuntut umum dalam melakukan upaya paksa pada penyidikan dan penuntutan.

Menurut Andi Hamzah (2009: 4) selaku ketua tim penyusun RUU KUHAP Tahun 2009 menyebutkan alasan utama digantinya lembaga pra peradilan dengan Hakim Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka dalam proses pemidanaan terhadap tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang berbeda, sedangkan alasan khusus dimunculkannya kebijakan formulasi Hakim Komisaris didasarkan pada:

a. Sidang pra peradilan dilakukan apabila ada tuntutan dari pihak-pihak yang berhak. Jadi, tidak ada sidang pra peradilan tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan pra peradilan;

b. Wewenang Hakim Komisaris yang tercantum di dalam BAB IX Pasal 111 RUU KUHAP Tahun 2009 jelas lebih luas dari pada wewenang hakim pra peradilan. Bukan saja tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan, tetapi juga pembatalan atau penangguhan penahanan, begitu pula tentang penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;


(9)

c. Hakim Komisaris juga memutus atau menetapkan tentang ganti kerugian dan rehabilitasi;

d. Diatur tentang pembatasan waktu pemeriksaan oleh hakim komisaris sesuai dengan asas peradilan cepat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 112 RUU KUHAP Tahun 2009 bahwa Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan; e. Ditegaskan pula dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun 2009, terhadap putusan

atau penetapan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi. Berbeda dengan praktek sekarang yang ada putusan pra peradilan yang sebenarnya tidak dapat dimintakan kasasi, namun Mahkamah Agung (MA) menerima;

f. Hakim Komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara (RUTAN) pada Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009, berbeda dengan hakim pra peradilan yang berkantor di Pengadila Negeri (PN), Hal ini berarti bahwa setiap Rumah Tahanan Negara (RUTAN) terdapat atau ada Hakim Komisaris yang memutus seorang diri dan;

g. Hakim Komisaris dapat memberikan penetapan atau putusan mengenai pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim Komisaris memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka. (www.legalitas.org, 02 Desember 2009, 20:30). Hal-hal tersebut adalah faktor-faktor yang menjadi dasar bahwa pemerintah mengganti lembaga pra peradilan dengan memunculkan kebijakan formulasi Hakim Komisaris di RUU KUHAP Tahun 2009 dalam rangka penyempurnaan Hukum Acara Pidana kita di masa yang akan datang.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji secara yuridis normatif analisis tentang kebijakan formulasi Hakim Komisaris yang ada dalam RUU KUHAP Tahun 2009.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul “Analisis Kebijakan Formulasi Hakim Komisaris Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”.


(10)

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009?

b. Apakah akibat hukum dari penetapan dan putusan Hakim Komisaris tentang pelanggaran hak-hak tersangka selama tahap penyidikan dan upaya khusus yang dapat dilakukan apabila Hakim Komisaris berhalangan?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 dan akibat hukum dari penetapan dan putusan Hakim Komisaris tentang pelanggaran hak-hak tersangka selama tahap penyidikan dan upaya khusus yang dapat dilakukan untuk mengatasi apabila Hakim Komisaris berhalangan dalam menyelesaikan suatu perkara.


(11)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009.

b. Untuk mengetahui akibat hukum dari penetapan dan putusan Hakim Komisaris tentang pelanggaran hak-hak tersangka selama tahap penyidikan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi apabila Hakim Komisaris berhalangan dalam menyelesaikan suatu perkara.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum acara pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang kebijakan formulasi Hakim Komisaris dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tahun 2009.


(12)

b. Kegunaan Praktis

Diharapkan hasil penulisan skripsi ini dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum acara pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka merevisi KUHAP.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto,1986: 125).

Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori kebijakan formulasi (formula policy), teori tentang hak asasi manusia, dan teori aplikasi.

Kebijakan formulasi (formula policy) dapat diartikan sebagai sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana atau arah tindakan yang memilki maksud dan tujuan yang ditetapkan oleh suatu lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan serta dalam


(13)

mengatasi suatu permasalahan atau suatu perubahan atau pembaharuan di suatu negara (Andi Hamzah, 2006: 334).

Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan revisi terhadap KUHAP adalah merupakan suatu wujud dari penegakan hukum di Indonesia. Garis besar penegakan hukum adalah terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Andi Hamzah, 2006: 340).

Kebijakan Formulasi RUU KUHAP Tahun 2009 inilah yang menjadi bukti dalam hal pembaharuan hukum acara pidana guna memperoleh penegakan hukum secara optimal di Indonesia. Tujuan dan alasan yang mendasari adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris itu sendiri adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka dalam proses pemidanaan terhadap tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang berbeda, sedangkan alasan khusus tujuan dimunculkannya kebijakan formulasi Hakim Komisaris didasarkan pada sidang pra peradilan dilakukan dilakukan apabila ada tuntutan dari pihak-pihak yang berhak. Jadi, tidak ada sidang pra peradilan tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan pra peradilan (Andi Hamzah, 2006: 354).


(14)

Wewenang Hakim Komisaris yang tercantum di dalam BAB IX Pasal 111 RUU KUHAP Tahun 2009 jelas lebih luas dari pada wewenang hakim pra peradilan. Bukan saja tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan, tetapi juga pembatalan atau penangguhan penahanan, begitu pula tentang penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas, Hakim Komisaris juga memutus atau menetapkan tentang ganti kerugian dan rehabilitasi, diatur tentang pembatasan waktu pemeriksaan oleh hakim komisaris sesuai dengan asas peradilan cepat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 112 RUU KUHAP Tahun 2009 bahwa Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan, ditegaskan pula dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun 2009, terhadap putusan atau penetapan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi (Andi Hamzah, 2006: 361).

Berkaitan dengan hal tersebut maka berbeda dengan praktek yang sekarang terjadi yaitu putusan pra peradilan yang sebenarnya tidak dapat dimintakan kasasi, namun Mahkamah Agung (MA) menerima, Hakim Komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara (RUTAN) pada Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009, berbeda dengan hakim pra peradilan yang berkantor di Pengadilan Negeri (PN), Hal ini berarti bahwa setiap Rumah Tahanan Negara (RUTAN) terdapat atau ada Hakim Komisaris yang memutus seorang diri dan, Hakim Komisaris dapat memberikan penetapan atau putusan mengenai pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim Komisaris memiliki tujuan untuk memberikan


(15)

perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka (Andi Hamzah, 2006: 387).

Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia berkehendak untuk menegakkan keadilan kepada semua warga negaranya tanpa kecuali. Namun demikian dalam pelaksanaan penegakan hukum khususnya hukum pidana kadang dijumpai kesalahan-kesalahan, seperti lembaga kepolisisan sebagai pintu gerbang untuk memperoleh keadilan namun dalam penangkapan atau penahanan seseorang ternyata salah tangkap atau salah tahan, atau dalam rangka penyidikan lembaga kejaksaan dalam menahan seseorang kelebihan waktu penahanan atau mungkin sebagai benteng terakhir lembaga pengadilan salah dalam memutus perkara (www.hukumonline.com, 03 Desember 2009, 09:45).

Hak asasi manusia secara teoritis dapat diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. (Andi Hamzah, 2006: 4).

Manusia sebagai subyek hukum mempunyai kedudukan dimata hukum yang sama memiliki hak serta kewajiban yang sepatutnya diletakkan sesuai porsinya. Hak asasi manusia yang juga sebagai hak tersangka adalah hak bagi setiap tersangka yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dinggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah


(16)

dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini menjadi hal yang sangat penting sebab apabila setiap tersangka mengerti akan hak serta kewajiban sebagai subyek hukum maka hal tersebut dapat memperkecil kemungkinan diri seseorang menjadi korban akibat keasalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum. Akibat dari keasalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum tersebut, maka untuk memproleh kepastian dan menghindari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dibuatlah KUHAP. KUHAP mengatur lembaga pra peradilan yang tujuannya untuk mengawasi apabila terjadi perkosaan terhadap hak-hak asasi manusia dalam melaksanakan proses hukum, seperti salah tangkap, salah tahan, penghentian penyidikan dan lain sebagainya (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 70).

Lembaga Pra peradilan yang selama ini telah diatur dalam KUHAP itu masih mempunyai ruang lingkup yang terbatas dalam proses penegakan hukum. Sehingga, hak-hak asasi seorang tersangka dalam mencari keadilan tidak sepenuhnya terpenuhi. Untuk memenuhi hak-hak asasi tersangka khususnya dalam peradilan pidana maka pemerintah dan DPR membuat suatu RUU KUHAP yang salah satu isinya mengganti lembaga pra peradilan dengan Hakim Komisaris. Hakim Komisaris ini mempunyai kewenangan yang lebih luas dari pada wewenang pra peradilan yang ada dalam KUHAP.


(17)

Hal terpenting dari kewenangan Hakim Komisaris dalam kaitannya dengan hak tersangka yang juga sebagai hak asasi manusia adalah dalam hal Hakim Komisaris dapat memberikan penetapan atau putusan mengenai pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim Komisaris memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka.

Secara teoritis, aplikasi Hakim Komisaris dapat diartikan sebagai bentuk penerapan lembaga khusus atau merupakan institusi baru dalam RUU KUHAP Tahun 2009 sebagai pengganti lembaga pra peradilan di Indonesia guna

mewujudkan pembaharuan dalam hukum acara pidana yang berkeadilan (T. Gayus Lumbuun, 2007: 2).

Istilah Hakim Komisaris yang diaplikasikan atau diterapkan dalam RUU KUHAP Tahun 2009 memiliki wewenang pada tahap pemeriksaan pendahuluan untuk melakukan pengawasan pelaksanaan upaya paksa (dwang middelen), bertindak secara eksekutif untuk ikut serta memimpin pelaksanaaan upaya paksa, menentukan penyidik mana yang melakukan penyidikan apabila terjadi sengketa antara polisi dan jaksa, serta memiliki wewenang mengambil keputusan atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang dikenakan tindakan (T. Gayus Lumbuun, 2007: 4).

Diformulasikannya Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka. Penangkapan dan penahanan yang tidak sah merupakan pelanggaran


(18)

serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang. Lembaga Hakim Komisaris yang diformulasikan dalam RUU KUHAP Tahun 2009 ini kedudukannya terletak di antara penyidik dan penuntut umum di satu sisi dan hakim di pihak lain (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 81).

Wewenang Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 ini terdapat pada BAB IX Pasal 111 yang isinya:

(1) Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan :

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan;

b. Pembatalan atau penangguhan penahanan;

c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;

d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti;

e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;

f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara;

g. Bahwa Penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah;

h. Penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;

i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan ke pengadilan.

j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap Penyidikan.

(2) Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum, kecuali ketentuan pada ayat (1) huruf i hanya dapat diajukan oleh Penuntut Umum.


(19)

(3) Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 111 Ayat (1) huruf (j) tersebut terkait dalam hal hak-hak tersangka. Hal ini harus diperhatikan pula akibat hukum dalam wewenangnya menetapkan atau memutuskan pelanggaran terhadap hak-hak tersangka selama tahap penyidikan. Aplikasi Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 ini memiliki wewenang dalam memberikan penetapan atau putusan mengenai pelanggaran terhadap hak-hak tersangka selama tahap penyidikan, namun akibat hukum dari wewenang tersebut tidak dijelaskan secara terperinci.

Berdasarkan ketentuan umum dalam RUU KUHAP Tahun 2009 telah dijelaskan bahwa Hakim Komisaris adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya Penyidikan dan Penuntutan, dan wewenang lain yang ditentuan dalam Undang-Undang (RUU KUHAP Tahun 2009). Melihat tugas dan wewenangnya, Hakim Komisaris memiliki kewenangan yang cukup luas.

Prosedur beracara diatur dalam ketentuan Pasal 112 sampai Pasal 114 RUU KUHAP Tahun 2009. Pasal 112 menyatakan bahwa:

(1) Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2).

(2) Hakim Komisaris memberikan keputusan atas permohonan berdasarkan hasil penelitian salinan dari surat perintah penangkapan, penahanan, penyitaan, atau catatan lainnya yang relevan.

(3) Hakim Komisaris dapat mendengar keterangan dari tersangka atau penasihat hukumnya, penyidik, atau penuntut umum.


(20)

(4) Apabila diperlukan, Hakim Komisaris dapat meminta keterangan dibawah sumpah dari saksi yang relevan dan alat bukti surat yang relevan.

(5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) tidak menunda proses Penyidikan.

Ketentuan pada Pasal 112 Ayat (1) RUU KUHAP Tahun 2009 tersebut dijelaskan bahwa Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan, hal ini menunjukkan bahwa waktu dibutuhkan oleh Hakim Komisaris dalam memberikan putusan atau penetapan relatif sangat singkat, sehingga apabila seorang Hakim Komisaris tidak dapat menjalankan tugasnya atau berhalangan maka harus dilakukan upaya atau kebijakan dalam menyelesaikan suatu perkara. Mengenai Hakim Komisaris yang tidak mampu menjalankan tugasnya atau berhalangan hadir harus dijelaskan lebih lanjut dalam RUU KUHAP Tahun 2009, namun dalam formulasinya tidak diatur tentang upaya yang dilakukan jika seorang Hakim Komisaris berhalangan atau tidak dapat menjalankan tugasnya. Ini merupakan salah satu kelemahan yang terdapat dalam RUU KUHAP Tahun 2009 yang harus dikaji lebih dalam dan harus segera diperbaiki.

Pasal 113 menyatakan bahwa:

(1) Putusan dan penetapan Hakim Komisaris harus memuat dengan jelas dasar hukum dan alasannya.

(2) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penahanan tidak sah, penyidik atau penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus mengeluarkan tersangka dari tahanan.

(3) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penyitaan tidak sah, dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah ditetapkan atau diputuskan, benda yang disita harus dikembalikan kepada yang paling berhak kecuali terhadap benda yang terlarang.

(4) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan tidak sah, Penyidik atau Penuntut Umum harus segera melanjutkan Penyidikan atau Penuntutan.


(21)

(5) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penahanan tidak sah, Hakim Komisaris menetapkan jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 114 menyatakan bahwa:

(1) Hakim Komisaris melakukan pemeriksaan atas permohonan ganti kerugian atau rehabilitasi dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan, harus mulai menyidangkan permohonan;

b. Sebelum memeriksa dan memutus, wajib mendengar pemohon, Penyidik, atau Penuntut Umum;

c. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menyidangkan, harus sudah memberikan putusan.

(2) Dalam hal perkara sudah diperiksa oleh Pengadilan negeri, permohonan ganti kerugian atau rehabilitasi tidak dapat diajukan kepada Hakim Komisaris.

Tugas dan wewenang Hakim Komisaris sebagaimana diformulasikan dalam RUU KUHAP Tahun 2009 tersebut ternyata lebih luas daripada wewenang Hakim Pra peradilan. Karena tidak hanya terbatas pada penangkapan dan penahanan ataupun penghentian penyidikan dan penuntutan melainkan juga perihal perlu tidaknya diteruskan penahanan ataupun perpanjangan penahanan, perlu tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, perlu tidaknya pencabutan atas penghentian penyidikan atau penuntutan, sah atau tidaknya penyitaan dan penggeledahan, serta wewenang memerintah penyidik atau penuntut umum untuk membebaskan tersangka atau terdakwa jika terdapat dugaan kuat adanya penyiksaan ataupun kekerasan pada tingkat penyidikan ataupun penuntutan (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 65).


(22)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto,1986 : 132).

Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Analisis

Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 32).

b. Kebijakan Formulasi

Kebijakan formulasi (formula policy) adalah sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana atau arah tindakan yang memilki maksud dan tujuan yang ditetapakan oleh suatu lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan serta dalam mengatasi suatu permasalahan atau suatu perubahan atau pembaharuan di suatu negara (M. Marwan, 2009: 334).

c. Hakim Komisaris

Ketentuan umum dalam RUU KUHAP Tahun 2009 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hakim Komisaris adalah pejabat yang diberi wewenang


(23)

menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam undang-undang ini (www.legalitas.org/draft RUU KUHAP 2009, 02 Desember 2009, 20:30).

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan tentang tujuan diformulasikannya Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 sebagai wujud kebijakan pemerintah dalam rangka penegakkan hukum di Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar dalam bab ini adalah menjelaskan tentang pra peradilan menurut KUHAP dengan RUU KUHAP Tahun 2009, kompetensi Hakim Komisaris, tujuan diformulasikannya


(24)

Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP tahun 2009, serta kebijakan formulasi Hakim Komisaris dalam sistem peradilan pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009, dan untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi apabila Hakim Komisaris berhalangan dalam menyelesaikan suatu perkara, serta untuk mengetahui akibat hukum dari penetapan dan putusan Hakim Komisaris tentang pelanggaran hak-hak tersangka selama tahap penyidikan.

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah dibahas.


(25)

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno.1984. Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi. Erlangga. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Harahap, M.Yahaya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Jilid 2 (Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.

Lumbuun, T. Gayus. 2007. Makalah Seminar Nasional Revisi KUHAP Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Berkeadilan. Semnas Hima Pidana. Bandar Lampung.

Marwan, M. 2009. Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality Publisher. Surabaya.

Sasangka, Hari. dan Lily Rosita. 2003. Komentar KUHAP. Mandar Maju. Bandung.

Soerjono, Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Wisnubroto, Al dan G. Widiartana. 2005. Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Citra Aditya. Bandung.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) Tahun 2009.

www.hukumonline.com. (wacana/hakim komisaris, 03 Desember 2009, 09:45). www.legalitas.org. (draft/RUU KUHAP 2009, 02 Desember 2009, 20:30).


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perbandingan Pra Peradilan dengan Hakim Komisaris

1. Pra Peradilan

Hak atas kemerdekaan, keamanan dan juga hak untuk memperoleh keadilan merupakan hak asasi bagi setiap orang sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB pada tanggal 12 Desember 1948. Hak yang demikian juga harus dapat dinikmati oleh setiap orang sekalipun orang itu baik sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa ataupun narapidana yang bertempat tinggal di dalam Negara Republik Indonesia dengan didasari oleh jaminan hukum yang tegas bagi mereka untuk menikmati haknya tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, maka asas-asas penegakan hukum yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, ditegaskan lagi dalam KUHAP guna menjiwai setiap pasal atau ayat agar senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Secara ringkas asas-asas tersebut adalah:


(27)

1. Asas equality before the law

Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan, dan sebagainya.

2. Asas legalitas dalam upaya paksa

Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus dengan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang dan dengan cara sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.

3. Asas presumption of innocence

Setiap orang yang disangka, ditangkap ditahan dan/atau dituntut dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

4. Asas remedy and rehabilitation

Ganti kerugian dan rahabilitasi bagi seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang sah, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, dan konsekuensi sanksi bagi pejabat penegak hukum yang dengan sengaja melakukan kelalaian tersebut.

5. Asas fair, impartial, impersonal and objective

Peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, serta bebas, jujur dan tidak memihak.

6. Asas legal assistance


(28)

7. Asas miranda rule

Pemberitahuan yang jelas mengenai dakwaan terhadap terdakwa dan hak-hak yang dimiliki tersangka/terdakwa.

8. Asas presentasi

Pelaksanaan pengadilan dengan hadirnya terdakwa. 9. Asas keterbukaan

Sidang terbuka untuk umum. 10. Asas pengawasan

Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana (Luhut M.P. Pangaribuan, 2006:3).

Pasal 9 Ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyatakan bahwa ”ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti

kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam

undang-undang”. Sebagai wujud nyata dari pasal ini di dalam KUHAP BAB X Bagian Kesatu telah diatur mengenai Pra Peradilan yang salah satu kewenangannya menangani masalah ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 9 Ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pra Peradilan adalah merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain seperti limitasi atas proses penangkapan atau penahanan, membuat KUHAP disebut juga sebagai karya agung (master-piece) (Al. Wisnubroto dan G. Widiartna, 2005: 7).


(29)

Lembaga Pra Peradilan merupakan wewenang pengadilan negeri, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP, yang memiliki ketentuan sebagai berikut:

Pra peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 adalah diantaranya:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tesangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP ini berarti bahwa lembaga pra peradilan dalam dunia penegakan hukum di negara kita selain untuk melindungi hak-hak asasi manusia khususnya dalam bidang peradilan juga mengadakan pengawasan terhadap praktek pemeriksaan perkara pidana khususnya pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan penuntutan, yang berarti dapat dilakukan sebelum perkara pokoknya disidangkan oleh pengadilan negeri.

Hal ini dipertegas oleh Luhut M.P. Pangaribuan (2006: 21), dalam penerapan upaya-upaya paksa (dwang midelen), sebagaimana dimungkinkan dalam proses peradilan pidana seperti penangkapan dan penahanan, tidak merendahkan harkat dan martabat manusia, maka diperkenankanlah lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu lembaga pra peradilan. Jadi jelas sekali lembaga pra peradilan


(30)

dimaksudkan untuk pengawasan penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum fungsional dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan. Lembaga pra peradilan ini dimaksudkan sebagai wewenang dari pengadilan sebelum memeriksa pokok perkara.

2. Hakim Komisaris

Menurut Fre Le Poole Griffith dan O. W. Mueller bahwa Amerika Serikat mempergunakan Commisioner, yaitu pejabat pengadilan yang melakukan pengawasan terhadap pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik polisi terhadap tersangka. Tugas Commisioner ini adalah untuk memastikan apakah sudah cukup syarat untuk memberikan polisi izin hakim untuk melakukan penahanan atau untuk melakukan penggeledahan.

Hakim Commisioner inilah yang memberitahukan hak-hak seseorang yang disangka melakukan kejahatan, seperti haknya untuk diam, haknya untuk didampingi oleh penasehat hukum dan lain sebagainya. Hakim Commisioner di Amerika Serikat melakukan pengawasan dengan mempergunakan dua (2) cara, yaitu pertama adalah menerapkan hukum pembuktian (exclusionary rule), kedua adalah menerapkan prinsip Habeas Corpus (Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, 1984: 103).

Tugas tersebut, di Eropa Kontinental diserahkan kepada Hakim Komisaris, yaitu hakim kerier yang khusus diangkat untuk menjadi Hakim Komisaris dalam jangka waktu tertentu. Setiap orang yang ditahan oleh polisi atau jaksa memiliki hak


(31)

untuk dihadapkan kepada Hakim Komisaris dalam waktu satu hari (24 jam) (Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, 1984: 105).

Hakim Komisaris inilah yang memeriksa alat-alat bukti yang telah dikumpulkan oleh polisi apakah cukup sah untuk menimbulkan dugaan yang keras bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yang menyakinkan hakim si tersangkalah yang melakukannya (Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, 1984: 111).

Negara Belanda yang menggunakan sitem Eropa ini tidak menimbulkan kekhawatiran bahwa diskresi yang diberikan kepada penyidik/jaksa untuk melakukan penahanan berdasarkan rasa kekhawatiran saja karena ada sistem pengawasan yang ketat oleh Eropa Tengah memberikan peranan rechter commissaris suatu posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa seperti penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, penggeledahan rumah dan pemeriksaan surat-surat (Oemar Seno Adji, 1984: 88).

Saat ini, pra peradilan dipertanyakan kembali keefektifannya dan dibandingkan dengan kenyataan bahwa penerapan pra peradilan menimbulkan banyak ketidakpuasan, seperti:

a. Penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan adalah bagian dari wewenang pra peradilan. Sementara, dalam KUHAP diatur tentang penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat. Pra peradilan tidak menjelaskan secara rinci jika terjadi pelanggaran terhadap penggeledahan, penyitaan maupun pemeriksaan surat-surat.


(32)

b. Sudah bukan rahasia lagi, apabila seorang tersangka dalam tingkat penyidikan selalu mengalami tindak kekerasan. Hal ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia yaitu hak untuk tidak disiksa. Bahkan, KUHAP menganut asas

presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah) yang artinya setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut dan diadili wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannya. Dengan adanya kekerasan dalam tingkat penyidikan jelas tidak menghormati asas praduga tidak bersalah, yang berarti dengan siksaan tersebut menganggap tersangka sudah bersalah.

c. Putusan pra peradilan tidak dapat dimintakan banding kecuali mengenai tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Tetapi dalam prakteknya, ternyata putusan pra peradilan yang tidak dapat dimintakan banding dapat diajukan kasasi. Salah satu contohnya adalah pra peradilan dalam kasus Ginandjar Kartasasmita yang bahkan dalam putusannya Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi.

d. Pra peradilan tidak menjelaskan apakah LSM atau Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat umum dapat mengajukan pra peradilan secara class action, mengingat beberapa waktu yang lalu Indonesian Corruption Wacht (ICW) pernah mengajukan pra peradilan terhadap Kejaksaan Agung yang menghentikan penyidikan terhadap beberapa kasus korupsi (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 79).

Hal-hal tersebut adalah sebagian dari kelemahan pra peradilan yang selama ini telah diatur dalam KUHAP. Oleh karena itu, pemerintah telah menyusun suatu RUU KUHAP Tahun 2009 yang salah satu isisnya mengganti lembaga pra


(33)

peradilan dengan Hakim Komisaris sebagaimana termuat dalam Koran Sindo (27/11/2009) yang berjudul Lembaga Baru Kontrol Aparat Penegak Hukum yang berbunyi sebagai berikut:

Draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) akan memunculkan satu lembaga baru yang akan menjadi hakim komisaris. Pembentukan hakim komisaris itu nanti difungsikan untuk mengontrol aparat penegak hukum dalam melakukan

tugas. ”Pembentukan lembaga hakim komisaris ini untuk menggantikan lembaga pra peradilan saat ini,”kata anggota perumus RUU KUHAP yang juga pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Teuku Nasrullah saat debat publik RUU KUHAP di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham).Hakim komisaris tersebut nanti yang menentukan apakah proses yang dilakukan penyidik sudah benar atau belum hingga dapat diajukan ke persidangan atau tidak. Dengan adanya hakim komisaris tersebut, diharapkan kinerja aparat penegak hukum akan menjadi lebih

baik. ”Dengan adanya hakim komisaris, penegak hukum yang melakukan penyelidikan perkara tidak lagi bisa bekerja seenaknya,”ungkap dia dalam RUU KUHAP dijelaskan, jabatan hakim komisaris diseleksi di pengadilan tinggi. Hakim komisaris tersebut nanti dipilih dari hakim pengadilan negeri di pengadilan tinggi pada wilayah bersangkutan. Hakim komisaris tersebut bertugas dalam waktu dua tahun. Sesudah dua tahun bertugas, hakim komisaris akan dikembalikan ke pengadilan negeri tempat dia bertugas sebelumnya. Menteri hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis Akbar mengatakan, hasil draf RUU KUHAP Tahun 2009 rencananya akan diajukan kepada publik agar bisa diperdebatkan dihadapan akademisi atau

praktisi. ”Debat kali ini hanya debat awal yang akan berlanjut dengan debat-debat setelah diuji publik nanti,” ujar dia. Setelah itu, lanjut Patrialis Akbar, pihak perumus akan mempresentasikan di hadapan kabinet serta di berikan kepada DPR. Senada dengan Patrialis Akbar, ketua Tim Perumus RUU KUHAP Andi Hamzah mengatakan, DPR yang nantinya akan menjadi penentu draf RUU KUHAP tersebut.

Draf RUU KUHAP Tahun 2009, dalam Pasal 1 angka 7 menjelasakan bahwa Hakim Komisaris adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam undang-undang ini. Sedangkan mengenai wewenangnya diatur dalam BAB IX Bagian Kesatu Pasal 111.


(34)

Adapun ketentuan Pasal 111 RUU KUHAP Tahun 2009, yaitu: (1) Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan :

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan;

b. Pembatalan atau penangguhan penahanan;

c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;

d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti;

e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;

f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara;

g. Bahwa Penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah;

h. Penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;

i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan ke pengadilan.

j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap Penyidikan.

(2) Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum, kecuali ketentuan pada ayat (1) huruf i hanya dapat diajukan oleh Penuntut Umum.

(3) Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i.

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, Hakim Komisaris tidak saja menilai sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan tetapi juga menilai sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan dan/atau penyadapan. Dibandingkan dengan wewenang pra peradilan wewenang Hakim Komisaris terlihat lebih luas dan lebih terperinci.


(35)

Mengenai syarat untuk diangkat menjadi Hakim Komisaris diatur dalam BAB IX Bagian Ketiga Pasal 115. Adapun bunyi Pasal 115 RUU KUHAP Tahun 2009 yaitu:

Untuk dapat diangkat menjadi hakim komisaris, seorang hakim harus memenuhi syarat :

a. Memiliki kapabilitas dan integritas moral yang tinggi;

b. Bertugas sebagai hakim di pengadilan negeri sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;

c. Berusia serendah-rendahnya 35 (tiga puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 57 (lima puluh tujuh) tahun; dan

d. Berpangkat serendah-rendahnya golongan III/c.

Menurut Andi Hamzah (2009: 5) selaku Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP Tahun 2009 mengusulkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris bukan saja dari kalangan hakim tetapi juga mengusulkan agar orang yang non hakim tetapi menguasai hukum acara pidana dan hukum pidana, seperti jaksa senior, advokat senior dan dosen hukum pidana senior dapat diangkat menjadi hakim komisaris. Tentunya hal ini melalui proses tertentu seperti fit and proper test. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim Komisaris diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), sebagaimana diatur dalam Pasal 120 RUU KUHAP Tahun 2009 (www.legalitas.org, 03 Desember 2009, 20:30).

Hakim Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Pengadilan Tinggi selama 2 (dua) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk


(36)

satu kali masa jabatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 116 RUU KUHAP Tahun 2009, yaitu:

(1) Hakim komisaris diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul ketua pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi pengadilan negeri setempat.

(2) Hakim komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.

Selanjutnya dalam Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009 diatur bahwa: (1) Hakim komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara.

(2) Hakim komisaris merupakan hakim tunggal, memeriksa, menetapkan, atau memutus karena jabatannya seorang diri.

(3) Dalam menjalankan tugasnya, hakim komisaris dibantu oleh seorang panitera dan beberapa orang staf sekretariat.

Mengenai putusan atau penetapan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding atau kasasi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun 2009 yaitu “Penetapan atau putusan hakim komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding atau kasasi”. Berbeda dengan putusan pra peradilan yang dapat diajukan banding dalam hal penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP.


(37)

B. Kompetensi Hakim Komisaris

Hakim Komisaris menurut RUU KUHAP Tahun 2009 memiliki kewenangan yang lebih luas dari Praperadilan. Menurut Pasal 111 RUU KUHAP Tahun 2009 Hakim Komisaris memiliki tugas dan kewenangan untuk menentukan perlu tidaknya diteruskan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, menentukan perlu tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, menentukan perlu tidaknya pencabutan atas penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, menentukan sah atau tidaknya suatu penyitaan, penggeledahan tempat tinggal atau tempat yang lain yang bukan menjadi milik Tersangka, memerintahkan Penyidik atau Penuntut Umum membebaskan tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir masa penahanan tersebut, jika terdapat dugaan kuat adanya penyiksaan atau kekerasan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Tugas dan wewenang Hakim Komisaris tersebut dilakukan dengan permohonan atau tanpa permohonan oleh tersangka atau terdakwa, keluarga, atau kuasanya kepada Hakim Komisaris. Dengan demikian tindakan Hakim Komisaris di tahap pemeriksaan pendahuluan bersifat aktif, dan berfungsi baik sebagai examinating judge maupun investigating judge (Luhut M.P Pangaribuan, 2008: 68).

Mengenai kewenangan Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 diatur dalam BAB IX Bagian Kesatu Pasal 111. Berikut ini akan diuraikan kewenangan Hakim Komisaris menurut RUU KUHAP Tahun 2009, yaitu:


(38)

(1) Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan :

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan;

b. Pembatalan atau penangguhan penahanan;

c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;

d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti;

e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;

f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara;

g. Bahwa Penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah;

h. Penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;

i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan ke pengadilan.

j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap Penyidikan.

(2) Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum, kecuali ketentuan pada ayat (1) huruf i hanya dapat diajukan oleh Penuntut Umum.

(3) Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i.

Mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris diatur dalam Pasal 115 RUU KUHAP Tahun 2009, yaitu:

Untuk dapat diangkat menjadi hakim komisaris, seorang hakim harus memenuhi syarat :


(39)

a. Memiliki kapabilitas dan integritas moral yang tinggi;

b. Bertugas sebagai hakim di pengadilan negeri sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun;

c. Berusia serendah-rendahnya 35 (tiga puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 57 (lima puluh tujuh) tahun; dan

d. Berpangkat serendah-rendahnya golongan III/c.

Mengenai hal beracara Hakim Komisaris diatur dalam BAB IX Bagin Kedua dari Pasal 112 sampai Pasal 114 RUU KUHAP Tahun 2009, yaitu:

Pasal 112:

(1) Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2).

(2) Hakim Komisaris memberikan keputusan atas permohonan berdasarkan hasil penelitian salinan dari surat perintah penangkapan, penahanan, penyitaan, atau catatan lainnya yang relevan.

(3) Hakim Komisaris dapat mendengar keterangan dari tersangka atau penasihat hukumnya, penyidik, atau penuntut umum.

(4) Apabila diperlukan, Hakim Komisaris dapat meminta keterangan dibawah sumpah dari saksi yang relevan dan alat bukti surat yang relevan.

(5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) tidak menunda proses Penyidikan.

Pasal 113:

(1) Putusan dan penetapan Hakim Komisaris harus memuat dengan jelas dasar hukum dan alasannya.

(2) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penahanan tidak sah, penyidik atau penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus mengeluarkan tersangka dari tahanan.

(3) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penyitaan tidak sah, dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah ditetapkan atau diputuskan, benda yang disita harus dikembalikan kepada yang paling berhak kecuali terhadap benda yang terlarang.

(4) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan tidak sah, Penyidik atau Penuntut Umum harus segera melanjutkan Penyidikan atau Penuntutan.


(40)

(5) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penahanan tidak sah, Hakim Komisaris menetapkan jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 114 menyatakan bahwa:

(1) Hakim Komisaris melakukan pemeriksaan atas permohonan ganti kerugian atau rehabilitasi dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan, harus mulai menyidangkan permohonan;

b. Sebelum memeriksa dan memutus, wajib mendengar pemohon, Penyidik, atau Penuntut Umum;

c. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menyidangkan, harus sudah memberikan putusan.

(2) Dalam hal perkara sudah diperiksa oleh Pengadilan negeri, permohonan ganti kerugian atau rehabilitasi tidak dapat diajukan kepada Hakim Komisaris.

Menurut Andi Hamzah selaku Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP Tahun 2009 mengusulkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris bukan saja dari kalangan hakim tetapi juga mengusulkan agar orang-orang yang non hakim tetapi menguasai hukum acara pidana dan hukum pidana, seperti jaksa senior, advokat senior dan dosen hukum pidana senior. Selanjutnya, ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim Komisaris diatur dengan Peraturan Pemerintah (www.legalitas.org, 03 Desember 2009, 20:30).

Kompetensi lain mengenai Hakim Komisaris ini adalah dalam hal putusan atau penetapan Hakim Komisaris dipertagas dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun

2009 yang menyatakan bahwa “Penetapan atau putusan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding atau kasasi”. Hal ini berbeda dengan


(41)

putusan dalam pra peradilan yang dapat diajukan banding dalam hal penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

C. Tujuan Diformulasikannya Hakim Komisaris Dalam RUU KUHAP Tahun 2009

Keberadaan Hakim Komisaris yang diformulasikan dalam RUU KUHAP Tahun 2009 tetap diperlukan dan tidak akan menjadi masalah apabila konsep maupun keberadaannya dibedakan dengan Hakim Komisaris jaman penjajahan belanda dahulu, dengan alasan sebagai berikut:

1. Lembaga praperadilan yang ada sekarang keberadaannya dibawah pengadilan negeri, yang mana hakim yang memeriksa dan memutuskannya adalah hakim yang tidak khusus menangani masalah upaya paksa oleh kepolisian maupun kejaksaan dimaksud, melainkan hakim umum yang ditugaskan untuk sekedar menegakan sedikit HAM dan tidak perlu mendalami lebih jauh makna asas praduga tak bersalah karena hal tersebut dapat di periksa kembali ketika perkara di ajukan kepengadilan oleh kejaksaan ataupun dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan diskresi kepolisian dan kejaksaan;

2. Penyebutan istilah hakim komisaris (hakim pengawas) dalam RUU KUHAP Tahun 2009 memberikan makna khusus dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas upaya paksa instansi-instansi penegak hukum tersebut, sehingga pemeriksaannya lebih serius dan khusus menekankan pada pertanggung jawaban wewenang diskresi yang harus dipertanggung jawabkan di muka hukum;

3. Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 haruslah hakim khusus yang tugas dan kewenangannya hanya untuk memeriksa perkara pengajuan


(42)

keberatan atas upaya paksa atau pertanggungjawaban atas kewenangan diskresi tersebut (Pasif), akan tetapi tidak perlu bertugas secara aktif seperti tugas komisi khusus (seperti KPK maupun KOMNAS HAM), melainkan aktif dalam mencari dan menemukan bukti-bukti hukum untuk memutuskan perkara pengajuan keberatan dimaksud;

4. Istilah Hakim Komisaris tidak harus ditafsirkan menurut penafsiran historis yang telah ada pada jaman penjajahan belanda dahulu, yang mana istilah hakim komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 ini pengertiannya hendaknya hanya untuk memberikan makna khusus dalam hal pengawasan yang dilakukan lembaga yudikatif dalam kewenangan diskresi yang dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan, dan yang mungkin dapat di salah gunakan oleh oknum para penegak hukum yang tidak bertanggung jawab maupun pihak berkepentingan lainnya.

Menurut Andi Hamzah (2009: 4) selaku ketua tim penyusun RUU KUHAP Tahun 2009 menyebutkan alasan utama digantinya lembaga pra peradilan dengan Hakim Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka dalam proses pemidanaan terhadap tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang berbeda, sedangkan alasan khusus dimunculkannya kebijakan formulasi Hakim Komisaris didasarkan pada:

a. Sidang pra peradilan dilakukan apabila ada tuntutan dari pihak-pihak yang berhak. Jadi, tidak ada sidang pra peradilan tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan pra peradilan;


(43)

b. Wewenang Hakim Komisaris yang tercantum di dalam BAB IX Pasal 111 RUU KUHAP Tahun 2009 jelas lebih luas dari pada wewenang hakim pra peradilan. Bukan saja tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan, tetapi juga pembatalan atau penangguhan penahanan, begitu pula tentang penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;

c. Hakim Komisaris juga memutus atau menetapkan tentang ganti kerugian dan rehabilitasi;

d. Diatur tentang pembatasan waktu pemeriksaan oleh hakim komisaris sesuai dengan asas peradilan cepat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 112 RUU KUHAP Tahun 2009 bahwa Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan; e. Ditegaskan pula dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun 2009, terhadap putusan

atau penetapan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi. Berbeda dengan praktek sekarang yang ada putusan pra peradilan yang sebenarnya tidak dapat dimintakan kasasi, namun Mahkamah Agung (MA) menerima;

f. Hakim Komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara (RUTAN) pada Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009, berbeda dengan hakim pra peradilan yang berkantor di Pengadila Negeri (PN), Hal ini berarti bahwa setiap Rumah Tahanan Negara (RUTAN) terdapat atau ada Hakim Komisaris yang memutus seorang diri dan;

g. Hakim Komisaris dapat memberikan penetapan atau putusan mengenai pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim Komisaris memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka. (www.legalitas.org, 03 Desember 2009, 20:30). Munculnya kebijakan formulasi Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 sebagaimana dalam sistem Eropa Kontinental seperti Belanda ini bertujuan untuk mengawasi jalannya proses hukum acara pidana khususnya pelaksanaan wewenang pihak eksekutif, dalam hal ini pihak penyidik dan penuntut umum yang dalam rangka mencari bukti pada pemeriksaan pendahuluan melakukan tindakan-tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pembukaan surat-surat. Dengan demikian pengawasan Hakim Komisaris ini pada dasarnya merupakan hak kontrol dari pihak yudikatif (control van rechterlijkemacht) terhadap eksekutif. Oleh karena itulah Hakim Komisaris


(44)

diberikan wewenang yang demikian luas mencampuri bidang tugas penyidik maupun penuntut umum dalam hal pemeriksaan pendahuluan (M. Yahya Harahap, 2002: 78).

Tujuan pemerintah memunculkan Hakim Komisaris di dalam RUU KUHAP Tahun 2009 tersebut juga telah dipublikasikan sebagaimana diberitakan dalam Suara Karya Online (Kamis, 3 Desember 2009) yang berjudul Hakim Komisaris Menggantikan Pra Peradilan sebagai berikut:

Perubahan penting yang terdapat di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah diperkenalkannya lembaga baru, yaitu hakim komisaris untuk menggantikan praperadilan. Lembaga praperadilan ternyata kurang efektif karena bersifat pasif menunggu gugatan para pihak. Andi Hamzah mengatakan, pra peradilan bukan lembaga yang berdiri sendiri tetapi melekat pada pengadilan negeri. Sebab, ketua pengadilan negerilah yang menunjuk seorang hakim menjadi hakim praperadilan jika suatu permohonan masuk ke pengadilan. Ide hakim komisaris berbeda dengan praperadilan akan tetapi tidak sama dengan rechtercommissaris di Belanda dan juge d'instruction di Perancis karena hakim komisaris versi RUU KUHAP sama sekali tidak memimpin penyidikan. "Jadi merupakan revitalisasi praperadilan yang sudah ada di dalam KUHAP," katanya. Andi Hamzah mengatakan, hakim komisaris versi RUU KUHAP mirip dengan lembaga baru di Italia, Giudice per le indagini preliminary (hakim pemeriksa pendahuluan) yang tugasnya mengawasi jalannya penyidikan dan penuntutan. Ada sebagian wewenang hakim pengadilan negeri seperti izin penggeledahan, penyitaan, penyadapan dan perpanjangan penahanan berpindah ke hakim komisaris agar proses menjadi cepat, tidak mengganggu hakim pengadilan negeri yang sibuk menyidangkan perkara pidana, perdata dan sebagainya. Selain itu, lanjutnya, ada wewenang jaksa yang berpindah ke hakim komisaris, seperti perpanjangan penahanan 40 hari berpindah ke hakim komisaris menjadi 25 hari. Sementara itu pengajar program pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji mengatakan, berdasarkan Pasal 111 RUU KUHAP Tahun 2009, hakim komisaris memiliki kewenangan yang cukup luas. Antara lain dapat menilai perlu atau tidaknya penahanan atau sah tidaknya penahanan berdasarkan pendekatan obyektif maupun subyektif.

Lembaga Hakim Komisaris yang diformulasikan dalam RUU KUHAP Tahun 2009 ini kedudukannya terletak di antara penyidik dan penuntut umum di satu sisi


(45)

dan hakim di pihak lain. Diformulasikannya Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka. Penangkapan dan penahanan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang.

D. Kebijakan Formulasi Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana

Istilah criminal justice system atau sistem peradilan pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.

Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal justice system adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana (Anthon F. Susanto, 2004: 91).

Menurut Mardjono, sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Tujuannya sebagai berikut:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.


(46)

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kembali kejahatannya.

Sistem peradilan pidana tersebut merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem peradilan pidana merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya ada aparatur hukum, advokat, terdakwa serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan (Andi Hamzah, 1984: 121).

Berkaitan dengan sistem peradilan pidana di atas maka KUHAP yang berlaku di Indonesia hingga saat ini, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dirasa semakin tidak memadai lagi dalam menunjang sistem peradilan pidana yang sesuai dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat yang berkembang pesat dalam kurun waktu hampir seperempat abad setelah diberlakukannya KUHAP. Berkaitan dengan hal itu, maka pembaharuan KUHAP dipandang merupakan sebuah langkah yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Namun demikian, agar pembaharuan terhadap KUHAP tersebut lebih terarah dan tersistem sesui dengan sasarannya, maka dipandang penting untuk terlebih dahulu diungkap, dirumuskan, dan ditetapkan landasan pembaharuan KUHAP.


(47)

Sehubungan dengan hal tersebut, KUHAP perlu direvisi, terutama yang berkaitan dengan mekanisme kontrol di antara sesama aparat penegak hukum dan lembaga dalam subsistem peradilan. Pra peradilan sebagai upaya kontrol perlu diperluas lingkupnya, misalnya terhadap indikasi adanya upaya mengulur waktu penyelesaian perkara dapat diajukan pra peradilan. Hal ini terutama untuk perkara yang menyita perhatian publik dan perkara korupsi (Luhut M.P. Pangaribuan, 2008: 98).

Langkah evaluasi dan reorientasi terhadap KUHAP akan membawa konsekuensi pada langkah merevisi KUHAP. Berkenaan dengan hal itu, maka berdasarkan inventarisasi data dan kajian, simpulan khususnya adalah dalam menghadapi perkembangan dinamika penegakan hukum dan keadilan maka beberapa ketentuan baru yang perlu diakomodasi oleh KUHAP sebagai the umbrella rule, seperti ketentuan yang berkaitan dengan aspek perlindungan hak-hak tersangka selama tahap penyidikan, ketentuan tentang para publik untuk memonitoring kinerja dan hasil kerja lembaga penegak hukum dalam proses peradilan pidana, serta ketentuan yang memberikan kewenangan baru pada pejabat penegak hukum berkaitan dengan penyelesaian perkara pra peradilan, dalam hal ini adalah kewenangan Hakim Komisaris sebagai pengganti lembaga pra peradilan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Kebijakan Formulasi Hakim Komisaris dalam sistem peradilan pidana didasarkan pada kekecewaan lembaga pra peradilan yang kurang efektif dalam mewujudkan rasa keadilan kepada masyarakat. Hal ini terlihat dari pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan oleh lembaga kepolisian


(48)

dan lembaga kejaksaan dalam rangka mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu.

Fungsi Hakim Komisaris tersebut perlu diwujudkan dan diharapkan dapat berperan aktif dalam mengawasi proses peradilan sejak sebelum perkara diajukan ke pengadilan hingga pelaksanaan putusan. Hakim Komisaris diperkenalkan sebagai upaya pengawasan terhadap tindakan dan prilaku aparat penegak hukum dalam proses penyidikan dan penuntutan, yang selama ini tidak ada kontrol. Pembentukan lembaga Hakim Komisaris dalam sistem peradilan pidana diharapkan dapat mewujudkan rasa keadilan kepada masyarakat dan menjadi mekanisme kontrol terhadap pelaksanaan peradilan pidana yang dalam hal ini menjadi lembaga pengawas diantara lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan serta lembaga pemasyarakatan dalam mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 122).


(1)

(2) Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama 2 (dua) tahun.

Pasal 276

Jaksa mengirimkan tembusan Berita Acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani oleh jaksa tersebut, kepala lembaga pemasyarakatan, dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan.

Pasal 277

Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 wajib dikerjakan, ditutup, dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan ditandatangani juga oleh hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275.

Pasal 278

(1) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

(2) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya.

(3) Pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya.

(4) Pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 berlaku bagi pemidanaan bersyarat.

Pasal 279

Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut.

Pasal 280

Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu.

Pasal 281

Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada ketua pengadilan secara berkala.

BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 282

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku :

a. Perkara tindak pidana yang proses penyidikan atau penuntutannya sedang dilakukan, penyidikan atau penuntutannya diselesaikan berdasarkan ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

b. Perkara tindak pidana yang sudah terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetapi proses penyidikan atau penuntutannya belum dimulai, penyidikan atau penuntutannya dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini;

c. Perkara tindak pidana yang sudah dilimpahkan ke pengadilan dan sudah dimulai proses pemeriksaannya tetap diperiksa, diadili, dan diputus berdasarkan ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali untuk proses peninjauan kembali berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini;

d. Perkara tindak pidana yang sudah dilimpahkan ke pengadilan tetapi proses pemeriksaannya belum dimulai, diperiksa, diadili, dan diputus berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 283

(1) Hakim komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

(2) Sebelum dilakukan pengangkatan hakim komisaris sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, tugas dan wewenang hakim komisaris dilaksanakan oleh wakil ketua pengadilan negeri setempat.

BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 284

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


(2)

Pasal 285

Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana ini merupakan kodifikasi yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 286

Undang-Undang ini mulai berlaku 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,


(3)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI HAKIM KOMISARIS DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Adius Semenguk, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing Pertama yang telah memberikan saran dan meluangkan waktunya sehingga proses penyelesaian skripsi dapat berjalan dengan baik.


(4)

4. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., dan Ibu Firganefi, S.H., M.H. sebagai

Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Melly Aida, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Bapak Prof. Dr. Kadri Husin, S.H., M.H., dan Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., serta Bapak Shafruddin, S.H., M.H., yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

8. Para Dosen Tim BKBH (Badan Konsultasi Bantuan Hukum) Universitas Lampung dan Rekan-rekan seperjuangan di BKBH dalam Praktik Kemahiran Hukum yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas kerjasama dan kebersamaannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

10. Bapak Jaksa Muda A. Jazuli, S.H., selaku Pembimbing Lapangan Praktik Kemahiran Hukum Kejaksaan Tinggi Lampung, Ibu Jaksa Pratama Yusna Adia, S.H., selaku Kasi Upaya Hukum dan Eksaminasi Pidsus Kejati Lampung yang telah memberikan pengetahuan dan keahlian hukum dalam Praktik Kerja Lapangan.


(5)

11. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung: Mbak Sri, Mbak Yanti, Mbak Yani, Mbak Dian, Mas Sapta, Mas Yahya, Pakde Karsono, kiay Narto, dan yang lain-lain yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi ini.

12. Bapak dan Bunda tercinta yang telah merawat dan membesarkan aku sampai sekarang.

13. Sahabat-sahabatku: Alto Antonio, Beny Tino Apriansyah, M. Wahyu Sudrajat, Novandra P., Geri Pratyahara, Bayu Saputra, Gusnan Gutama, Kaiser Alamsyah, Ferry A., Christman Natanael. Terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

14. Kawan-kawan TriBrata: Ipda Yudha, Taruna Evan, Taruna Ilyas, Taruni Vransiska, Briptu Toni, Briptu Hendri, Briptu Septi Dian, Briptu Fran Edward, Briptu Heri, Briptu Iskandar, Briptu Suntoro, Briptu Arman, Bripda Yoga, Bripda Fraja, Bripda Irwan, Bripda Rama, dan yang lain-lain yang telah membantu dan bekerjasama dalam persahabatan.

15. Teman – teman Band dan Fakultas Hukum angkatan ’06 : Defri Nando, Nissa, Eka, Danny, Ari, Kiki, Ciyek, Adrian Caeser, Eko Tamina, Dendy Mulyansyah, Ramal Raicia Alam, Aji Faisal, Richard, Rico Charnando, Achmad Rico Julian, Rohmatul Ahmadi, Gusti Agung Putu Andika, Badrul Munir, Boy Naldo, Hikmah Tanjung Sari, Ramal Raicia Alam, Hendi Triwibowo, dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.


(6)

16. Adek – adek Letting Fakultas Hukum : Nita Kurniawati, Yulia Larisa, Ferawati Tampubolon, dan yang lain-lain yang selalu ceria menambah semangat di kampus tercinta.

17. Special Thanks To Umi Mala Chayank atas do’a, dukungan, perhatian, pengertian, motivasi dan manjanya.

18. Seragam Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 22 Juli 2010 Penulis