Penentuan flavonoid total tempuyung, Sonchus arvensis L. secara cepat dengan teknik spektroskopi inframerah dan kemometrik

PENENTUAN FLAVONOID TOTAL TEMPUYUNG
(Sonchus arvensis L.) SECARA CEPAT DENGAN TEKNIK
SPEKTROSKOPI INFRAMERAH DAN KEMOMETRIK

ANNISA WAHYUNINGRUM

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

ABSTRAK
ANNISA WAHYUNINGRUM. Penentuan Flavonoid Total Tempuyung (Sonchus
arvensis L.) secara Cepat dengan Teknik Spektroskopi Inframerah dan Kemometrik.
Dibimbing oleh ETI ROHAETI dan RUDI HERYANTO.
Kehadiran spektrometer inframerah transformasi Fourier (FTIR) pada dasawarsa
terakhir mampu meningkatkan aplikasi radiasi inframerah untuk analisis kuantitatif
contoh yang rumit. Penelitian ini menggunakan teknik spektroskopi FTIR dan
kemometrik sebagai alternatif metode analisis kandungan flavonoid total tempuyung
(Sonchus arvensis L.). Analisis dilakukan secara cepat menggunakan serbuk tempuyung

tanpa proses pemisahan terlebih dahulu. Serbuk contoh tempuyung dari tiga tempat
tumbuh yang berbeda dianalisis dengan FTIR. Informasi spektrumnya (spektrum asli dan
spektrum hasil proses pendahuluan dengan dan tanpa segmentasi) diolah dengan teknik
kemometrik analisis komponen utama (principal component analysis, PCA) dan proyeksi
struktur laten (partial least square, PLS). PCA digunakan untuk mengelompokkan
tempuyung berdasarkan perbedaan tempat tumbuhnya, sedangkan PLS digunakan untuk
membangun model prediksi flavonoid total tempuyung. Pengelompokan dan
pembentukan model prediksi flavonoid total tempuyung yang cukup baik dihasilkan dari
data spektrum hasil proses pendahuluan pada kisaran bilangan gelombang 3751-2815
cm-1. PCA mengekstraksi data spektrum segmen ini menjadi tujuh komponen utama
pertama yang menggambarkan 99% total variasi tempuyung. Model regresi PLS dari
segmen ini cenderung lebih stabil daripada model yang lain. Model ini dapat digunakan
untuk memprediksi flavonoid total contoh tempuyung yang belum diketahui (r kalibrasi =
0.974, r validasi = 0.742, RMSEC = 0.023, RMSEP = 0.076, SEC = 0.023, bias kalibrasi
= 0.000, SEP = 0.078, bias prediksi = -0.001, dan jumlah komponen utama = 7).

3

ABSTRACT
ANNISA WAHYUNINGRUM. Rapid Determination of Total Flavonoid Tempuyung

(Sonchus arvensis L.) by Infrared Spectroscopy and Chemometrics. Under the direction
of ETI ROHAETI and RUDI HERYANTO.
Fourier transformed infrared (FTIR) spectrometer can improve the application of
infrared radiation for quantitative analysis of complex sample in the latest decades. This
research used FTIR spectroscopy and chemometrics techniques as an alternative method
in analyzing total flavonoid in tempuyung (Sonchus arvensis L). The rapid analysis was
carried out using tempuyung powder without any separation process. Tempuyung sample
powder from three different geographical origins was analysed by FTIR. The spectrum
information (the original and preprocessed spectrum with and without segmentation) was
processed by principal component analysis (PCA) and partial least square (PLS)
chemometrics method. PCA was used to cluster tempuyung based on their different
geographical origins, whereas PLS was used to build tempuyung’s total flavonoid
prediction model. The best clustering and best modelling was resulted from preprocessed
data spectrum in the wavenumber 3751-2815 cm-1 range. PCA extracted this data
spectrum to seven principal components which represent 99% of tempuyung’s total
variation. The PLS regression modelling from this segment was more stable than the
others. This model can be used to predict the unknown tempuyung’s total flavonoid
(r calibration = 0.974, r validation = 0.742, RMSEC = 0.023, RMSEP = 0.076, SEC =
0.023, bias calibration = 0.000, SEP = 0.078, bias prediction = -0.001, and principal
components = 7).


4

PENENTUAN FLAVONOID TOTAL TEMPUYUNG
(Sonchus arvensis L.) SECARA CEPAT DENGAN TEKNIK
SPEKTROSKOPI INFRAMERAH DAN KEMOMETRIK

ANNISA WAHYUNINGRUM

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006


5

6

PRAKATA
Alhamdulillahirrabbil’aalamiin, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun
berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan mulai September 2005 hingga Januari
2006 di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA IPB dan Laboratorium Instrumentasi Pusat
Studi Biofarmaka dengan judul Penentuan Flavonoid Total Tempuyung (Sonchus
arvensis L.) secara Cepat dengan Teknik Spektroskopi Inframerah dan Kemometrik.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Eti Rohaeti, M.S. dan
Bapak Rudi Heryanto, S.Si., M.Si. selaku pembimbing atas segala bimbingan dan ilmu
yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Program Penelitian Dasar
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui Pusat
Studi Biofarmaka LPPM IPB yang telah memberikan bantuan dana penelitian dan Bapak
Ir. Jajang, M.S. atas bantuan arahan pengolahan data kemometrik.
Terima kasih tak terhingga kepada keluarga tercinta, keluarga di Perla, dan
sahabat-sahabat terbaik yang selalu memberikan doa, dorongan semangat, dan kesabaran

kepada penulis. Penghargaan tak lupa penulis sampaikan kepada Om Eman dan staf
Laboratorium Kimia Analitik atas segala fasilitas dan kemudahan yang telah diberikan,
Kak Atep dan rekan-rekan dari Pusat Studi Biofarmaka, Indah, teman-teman Analitik 38,
dan teman-teman Kimia 38 atas persahabatan yang terjalin selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2006

Annisa Wahyuningrum

7

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Depok pada tanggal 8 April 1984 dari ayah Raden Ahmad
Hatta dan ibu Roviah Supriyati. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMUN 2 Depok kemudian melanjutkan pendidikan
pada Program Studi Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bidang yang diminati penulis ialah kimia
analitik.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Kimia Dasar I,

Kimia Analitik Teknik Pangan dan Gizi, Kimia Analitik III, Elektroanalitik untuk
Program Studi D3 Analisis Kimia, dan Kimia untuk Program Studi D3 Analisis
Lingkungan. Penulis juga menjabat sebagai staf Departemen Pengembangan Organisasi,
Ikatan Mahasiswa Kimia IPB Tahun Kepengurusan 2002/2003. Tahun 2004 penulis
melaksanakan praktik lapangan di Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

8

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... .. viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. .. viii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... .. ix
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Tempuyung ........................................................................................................... 1
Flavonoid .............................................................................................................. 2
Penentuan Flavonoid Metode Kolorimetri ............................................................. 2
Spektroskopi FTIR ................................................................................................ 3

Kemometrik ........................................................................................................... 4
BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan ...................................................................................................... 5
Metode ................................................................................................................... 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Flavonoid Total dengan Metode Depkes RI ............................................ 6
Analisis Spektrum FTIR ....................................................................................... 7
Analisis Kemometrik ............................................................................................. 7
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan................................................................................................................ 11
Saran ...................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 12
LAMPIRAN .................................................................................................................... 14

9

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kadar flavonoid total tempuyung ............................................................................... 6
2 Pemanfaatan wilayah spektrum IR untuk analisis kemometrik ................................... 8

3 Hasil analisis PCA spektrum IR tempuyung................................................................ 8
4 Tampilan parameter model prediksi flavonoid total tempuyung ................................. 10
5 Hasil prediksi kadar flavonoid total tempuyung dari model derivat
segmen 1 ...................................................................................................................... 11

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman tempuyung.................................................................................................... 2
2 Struktur umum flavonoid dan contoh flavonoid: kuersetin ......................................... 2
3 Skema kerja FTIR ........................................................................................................ 3
4 Ilustrasi model regresi univariat dan multivariat ......................................................... 4
5 Prinsip PLS .................................................................................................................. 5
6 Spektrum IR tempuyung JawaTengah, Cimanggu, dan Leuwiliang............................ 7
7 Spektrum IR tempuyung hasil proses pendahuluan ..................................................... 8
8 Spektrum kuersetin dan tempuyung Leuwiliang ......................................................... 9
9 Plot skor dua dimensi dua komponen utama spektrum IR asli dan derivat
segmen 1 ...................................................................................................................... 9
10 Plot skor PLS antara kadar flavonoid prediksi dan referensi dari data spektrum IR
derivat segmen 1 .......................................................................................................... 11


10

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Bagan alir penelitian .................................................................................................... 15
2 Hasil pengukuran kadar air simplisia tempuyung........................................................ 15
3 Rendemen ekstrak tempuyung ..................................................................................... 16
4 Hasil uji fitokimia tempuyung ..................................................................................... 16
5 Kurva standar kuersetin pada panjang gelombang 367 nm ........................................ 17
6 Hasil pengukuran kadar flavonoid total metode Depkes RI ........................................ 18
7 Plot skor dua dimensi dua komponen utama pertama PCA ........................................ 22
8 Plot skor PLS tempuyung ............................................................................................ 23
9 Langkah pengolahan data dengan Unscramble 9.1...................................................... 24
10 Hasil uji F dan uji t antara metode Depkes RI dan metode PLSR ............................. 26

PENDAHULUAN
Tempuyung (Sonchus arvensis L.)
merupakan salah satu dari ketigabelas spesies
yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan sebagai spesies unggulan bahan

asli obat Indonesia (Deptan 2002). Dalam
pengobatan tradisional, masyarakat mengenal
tempuyung sebagai peluruh air seni,
penghancur batu ginjal, obat antiradang atau
bengkak, dan berkhasiat lipotriptik (Soedibyo
1998).
Beberapa penelitian melaporkan peranan
penting senyawa flavonoid yang dikandung
tempuyung dalam mekanisme pengobatan.
Flavonoid tempuyung diketahui
mampu
membentuk kompleks dengan batu ginjal
berkalsium,
suatu
mekanisme
yang
berhubungan dengan efek peluruhan batu
ginjal (Pramono et al. 1993). Praperlakuan
flavonoid fraksi etil asetatnya diinformasikan
dapat

menghambat hepatotoksisitas CCl4
(Liestyaningsih 1991, diacu dalam Soedibyo
1998). Selain itu, flavonoid tempuyung juga
dikabarkan berpotensi sebagai komponen
antiinflamasi dan antihiperurisemia (menghambat pembentukan asam urat) (Heryanto
2003).
Metode analisis komponen tumbuhan
memegang peranan penting dalam pengembangan produk kesehatan berbasis tumbuhan
obat. Kromatografi cair kinerja tinggi
(KCKT), kromatografi gas, kromatografi lapis
tipis, dan spektroskopi massa adalah beberapa
metode yang biasa digunakan untuk
menganalisis komponen tumbuhan obat.
Metode–metode tersebut mampu menghadirkan informasi definitif untuk identifikasi dan
kuantifikasi komponen, tetapi membutuhkan
standar otentik yang bervariasi, tahapan
analisis yang panjang, dan waktu analisis yang
cukup lama (Chang et al. 2002).
Spektrometer inframerah transformasi
Fourier (Fourier transformed infrared, FTIR)
dapat melakukan pengukuran secara cepat
tanpa merusak contoh dan mampu
menganalisis beberapa komponen secara
serentak. Penggunaan FTIR dalam analisis
tumbuhan masih terbatas karena matriks dan
spektrum yang dihasilkan cukup kompleks.
Saat ini, dengan kehadiran kemometrik, suatu
metode yang mengintegrasikan model statistik
dan matematika untuk mengekstrak informasi
yang relevan dari data spektrum inframerah
(IR), sulitnya interpretasi spektrum dapat
diatasi. Dukungan kemometrik tersebut
memperluas potensi spektroskopi FTIR

sebagai metode alternatif untuk menganalisis
komponen tumbuhan.
Kemometrik memanfaatkan karakteristik
serapan IR yang khas dari setiap molekul
untuk mengklasifikasi contoh atau untuk
membuat model kalibrasi multivariat (dengan
melibatkan data referensi) yang dapat
digunakan dalam memprediksi hasil pengukuran suatu contoh (Naes et al. 2002).
Aplikasi kemometrik dalam analisis tumbuhan
obat antara lain telah dilakukan oleh Chew et
al. (2004) untuk mengklasifikasi teh jawa
(Orthosiphon stamineus Benth) dari beberapa
tempat dan varietas yang berbeda, Jajang
(2004) dalam pengelompokan ekstrak daun
jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.),
Baranska et al. (2005) pada kendali mutu
ekstrak dan produk farmasi Harpagophytum
procumbens, dan Zou et al. (2005) pada
proses kendali mutu beberapa tumbuhan obat
yang digunakan dalam pengobatan tradisional
Cina.
Penelitian ini bertujuan mengembangkan
metode cepat untuk mengelompokkan tempuyung dari tempat tumbuh yang berbeda dan
untuk menentukan flavonoid total tempuyung
menggunakan spektroskopi FTIR dan kemometrik. Hipotesis dari penelitian ini adalah
kolaborasi teknik FTIR dan kemometrik dapat
digunakan untuk analisis kuantitatif flavonoid
tempuyung.

TINJAUAN PUSTAKA
Tempuyung
Tempuyung (Gambar 1) yang dikenal juga
dengan nama jombang, lempung, rayana,
galibug, niu she tou (Cina), laitron des
champs (Perancis), atau sow thistle (Inggris)
merupakan terna tahunan, tingginya berkisar
0.6-2 m, berakar tunggang, batang berusuk
dan bergetah putih. Daunnya tunggal,
berbentuk lanset atau lonjong, ujung runcing,
pangkal berbentuk jantung, tepi menyirip
tidak teratur, panjang 6-48 cm, lebar 3-12 cm,
dan berwarna hijau muda. Daun bagian bawah
tumbuh berkumpul pada pangkal membentuk
roset akar. Bunganya berwarna kuning,
berbentuk bonggol yang tergabung dalam
malai, dan mahkotanya berbentuk jarum.
Batang muda dan daunnya berasa pahit dan
dingin (Soedibyo 1998).
Tumbuhan dari keluarga Asteraceae ini
tumbuh liar di tempat terbuka yang terkena
sinar matahari atau sedikit terlindung, seperti
di tebing-tebing, pematang, tepi saluran air,

2

tanah terlantar, atau di daerah yang cukup
banyak curah hujannya pada ketinggian 501650 m dari permukaan laut. Terkadang
tempuyung
sengaja
ditanam
sebagai
tumbuhan obat (BPPT 2002). Keanekaragaman tempuyung dapat dilihat dari bentuk
daunnya, yang berdaun kecil dikenal dengan
sebutan lempung dan yang berdaun besar
dengan tinggi mencapai 2 m disebut rayana.
Perbanyakan tempuyung dapat dilakukan
dengan biji.

Gambar 1 Tanaman tempuyung.
Daun tempuyung mengandung ion-ion
mineral silika, kalium, magnesium, natrium,
dan senyawa organik seperti flavonol
(kempferol, kuersetin), kumarin (skepoletin),
taraksasterol, inositol, dan asam fenolat
(sinamat, kumarat, dan vanilat) (Soedibyo
1998). Selain itu, dilaporkan pula bahwa
tempuyung juga mengandung flavon (luteolin7-O-glukosida dan apigenin-7-O-glukosida),
minyak, dan minyak atsiri (Heryanto 2003).
Tempuyung sudah lama dikenal dan
dimanfaatkan oleh penduduk Tawangmangu,
Surakarta, Jawa Tengah, sebagai jamu untuk
memulihkan kesehatan fisik bagi perempuan
yang selesai bersalin. Di Cina, selain sebagai
tumbuhan obat, tumbuhan ini digunakan juga
sebagai insektisida (Rosita & Soediarto 1993).
Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawaan fenol
yang dimiliki oleh sebagian besar tumbuhan
hijau dan biasanya terkonsentrasi pada biji,
buah, kulit buah, kulit kayu, daun, dan bunga.
Flavonoid pada sejumlah tumbuhan obat
dilaporkan
memiliki
sifat
antibakteri,
antiinflamasi,
antialergi,
antimutagenik,
antiviral, antineoplastik, antitrombotik, dan
memiliki aksi vasodilatori (Miller 1996).
Struktur umum flavonoid terdiri atas dua
cincin benzena dalam rangkaian tiga cincin
karbon yang membentuk susunan C6-C3-C6
(Gambar 2). Adanya sistem aromatik yang
terkonjugasi menunjukkan pita serapan kuat

pada daerah spektrum ultraviolet (UV) dan
spektrum tampak.
Kombinasi yang beragam dari gugus
hidroksil, gula, oksigen, dan metil pada
struktur ini
menjadi dasar pembagian
golongan flavonoid menjadi flavonol,
flavanon, flavon, flavan-3-ol (katekin),
antosianidin, biflavonoid, kalkon, auron, dan
isoflavon (Markham 1988; Miller 1996).
Penggolongan jenis flavonoid ini dalam
jaringan tumbuhan mula-mula didasarkan
pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna.
Flavon dan flavonol terdapat universal
sedangkan isoflavon dan biflavonol hanya
terdapat pada beberapa suku tumbuhan
(Harborne 1996).
Flavonoid dalam tumbuhan jarang
ditemukan dalam bentuk tunggal,
tetapi
dalam bentuk campurannya. Senyawa ini
merupakan golongan yang larut dalam air dan
dalam tumbuhan terikat sebagai glikosida dan
aglikon. Oleh karena itu, analisis flavonoid
biasanya dilakukan dengan memeriksa
aglikon yang terdapat dalam ekstrak
tumbuhan yang telah dihidrolisis sebelum
memperhatikan kerumitan glikosida yang
mungkin terdapat dalam ekstrak asal
(Harborne 1996).

(a)

(b)

Gambar 2 Struktur umum flavonoid (a) dan
contoh flavonoid: kuersetin (b).
Segi penting dari penyebaran flavonoid
dalam tumbuhan ialah adanya kecenderungan
kuat bahwa tetumbuhan yang secara
taksonomi berkaitan akan menghasilkan
flavonoid yang jenisnya serupa. Informasi
yang berguna tentang jenis flavonoid yang
mungkin ditemukan pada tumbuhan yang
sedang ditelaah sering kali dapat diperoleh
melalui pustaka tentang flavonoid yang telah
ditelaah lebih dulu dalam tumbuhan yang
berkaitan, dari marga atau suku yang sama
(Markham 1988).
Penentuan Flavonoid Metode Kolorimetri
Metode yang biasa digunakan untuk
analisis kualitatif dan kuantitatif flavonoid
adalah metode KCKT. Metode ini cukup baik
untuk proses kuantisasi, tetapi seringkali
penerapannya terhambat oleh keterbatasan

3

standar otentik yang tersedia. Oleh sebab itu,
untuk proses analisis rutin, metode kolorimetri
lebih sering digunakan.
Penentuan flavonoid total berdasarkan
parameter standar umum ekstrak tumbuhan
obat Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (Depkes RI) (2000) menggunakan
metode kolorimetri aluminium klorida.
Metode
ini
melibatkan
pembentukan
kompleks antara flavonoid dan AlCl3. AlCl3
membentuk kompleks yang stabil dengan
grup keto C-4 dan grup hidroksil dari C-3
atau C-5 dari flavon dan flavonol. Banyaknya
kompleks yang terbentuk diketahui dari hasil
pengukuran spektrofotometer UV-tampak.
Hukum
Lambert-Beer
menyatakan
perbandingan lurus antara absorbans dan
kadar analit (Chang et al. 2002).

beberapa yang datang untuk menghasilkan
spektrum (modulasi interferometrik dari
radiasi). Interferometer mengubah frekuensi
yang masuk menjadi bentuk khusus yang
dapat diamati oleh detektor (Gambar 3). Data
yang diperoleh sangat kompleks dan masingmasing poin membawa informasi untuk
yang berbeda dan tumpang tindihnya data.
Proses matematika dengan transformasi
Fourier mengkonversi data tersebut agar dapat
digunakan (Naumann 1998; Wartewig 2003).
Interferometer Michelson

Analisis Fourier

Detektor

contoh
Pemecah
gelombang

Perbedaan berkas

Spektroskopi FTIR
Sumber radiasi

Radiasi IR berada pada kisaran panjang
gelombang 0.78-1000 m atau bilangan
gelombang 12 800-10 cm-1. Spektrumnya
terbagi atas radiasi inframerah dekat (12 8004000 cm-1), menengah (4000-200 cm-1), dan
jauh (200-10 cm-1). Daerah spektrum yang
paling banyak digunakan untuk berbagai
keperluan praktis seperti analisis dalam
bidang industri, bahan pertanian, dan kendali
mutu adalah pada 4000-670 cm-1 atau daerah
IR tengah (Skoog et al. 1998).
Energi radiasi IR digunakan terbatas
hanya pada transisi molekul yang melibatkan
vibrasi dan rotasi. Efek dari vibrasi ini
menyebabkan perubahan momen dipol.
Radiasi medan listrik yang berubah-ubah akan
berinteraksi dengan molekul dan akan
menyebabkan perubahan amplitudo salah satu
gerakan molekul (molekul dalam padatan dan
cairan berotasi secara terbatas sedangkan
dalam gas tidak). Perwujudan interaksi
tersebut menghasilkan serapan yang khas dari
setiap komponen atau struktur molekul.
Serapan grup fungsional berada pada kisaran
4000-1500 cm-1 sedangkan fenomena intramolekular yang bersifat sangat spesifik untuk
setiap materi antara 1500-400 cm-1 (daerah
sidik jari) (Khopkar 2002).
FTIR merupakan gabungan instrumen
dispersif konvensional IR dengan komputer
dan mikroprosesor. Komponen instrumen
FTIR
serupa dengan spektrometer UVtampak, namun sumber, detektor, dan
komponen
optiknya
sedikit
berbeda.
Pengukuran dengan FTIR
melibatkan
kombinasi interferensi konstruktif dan
destruktif yang senantiasa berubah mengikuti

Jejak
Kaca
bergerak

Kaca

IR

Panjang gelombang

Gambar 3 Skema kerja FTIR.
Analisis dengan FTIR lebih cepat dan
lebih sensitif daripada IR dispersif.
Penggunaan interferometer Michelson mampu
mengatasi kekurangan sistem dispersif dalam
penggunaan energi (keuntungan Jaquinot)
karena pada sistem dispersif banyak energi
yang terbuang akibat penggunaan model
deteksi pemindaian. FTIR juga memiliki
perbaikan dari segi laju koleksi sinyal
(keuntungan Felgett), keakuratan data terkait
dengan hasil pengukuran laser dari kaca
bergerak (keuntungan Connes), linearitas
absorbans karena tidak ada penghamburan
cahaya (keuntungan penghamburan cahaya),
dan penyimpanan serta mutu data melalui
peningkatan resolusi atau koreksi garis dasar
(keuntungan penanganan data) (Naumann
1998).
Kehadiran FTIR pada dasawarsa terakhir
mampu meningkatkan aplikasi
radiasi
menengah IR tidak hanya untuk analisis
kualitatif organik dan penentuan struktur,
tetapi juga untuk analisis kuantitatif contoh
yang kompleks. Model analisis kuantitatif ini
dikembangkan
dengan
memanfaatkan
informasi pola sidik jari yang bersifat khas
sebagai
variabel
yang
mempengaruhi
penampakan kimiawi seperti aktivitas
biologis, konsentrasi, dan polarisabilitas
(Wold et al. 2001).

4

Kemometrik
Kemometrik merupakan aplikasi prosedur
matematika untuk memproses, mengevaluasi,
dan menginterpretasi sejumlah besar data.
Kemometrik
biasa
digunakan
untuk
menemukan korelasi statistik antara data
spektrum dan informasi yang telah diketahui
dari suatu contoh. Metode ini memungkinkan
penggunaan model analisis multivariat dalam
penerapannya. Model analisis multivariat
adalah suatu model yang melibatkan lebih
dari satu masukan (variabel x) untuk
menghasilkan suatu efek tertentu (variabel y).
Analisis
komponen
utama
(principal
component analysis, PCA), proyeksi struktur
laten (partial least square, PLS), dan jaringan
syaraf tiruan (artificial neural network, ANN)
adalah beberapa contoh model multivariat.
Model
analisis
multivariat
memiliki
persamaan:
yi= boi+b1ix1+b2ix2+.............

Proyeksi Struktur Laten (PLS)
PLS lebih umum digunakan dalam
kalibrasi multivariat karena mutu model
kalibrasi yang dihasilkan dan kemudahan
penerapannya (Kuno & Matsuo 2000). PLS
mampu menganalisis data dengan jumlah
yang cukup banyak, memiliki tingkat
kolinearitas tinggi, sejumlah besar variabel x,
dan beberapa variabel respons y (Wold et al.
2001).
Ide utama PLS adalah menghitung nilai
prinsipal komponen data matriks X dan Y dan
membangun model regresi antarnilai (dan dari
data perkiraan) (Gambar 4). X adalah matriks
penduga yang berisi data hasil sumber
percobaan, sedangkan Y merupakan matriks
respons
dengan
data
yang
dapat
menginformasikan tentang proses percobaan.
Pada
PLS,
variabel
penduga
yang
menunjukkan korelasi yang tinggi dengan
variabel respons akan diberikan penekanan
ekstra karena lebih efektif diprediksi (Miller
& Miller 2000).

Analisis Komponen Utama (PCA)
PCA dikenal juga sebagai metode
pereduksi atau penekan data terkait dengan
tujuannya yang mengurangi jumlah variabel
dalam suatu matriks untuk menghasilkan
variabel baru dengan tetap mempertahankan
informasi yang dimiliki oleh data. PCA
memudahkan
visualisasi pengelompokan
data, evaluasi awalan kesamaan antarkelompok atau kelas, dan menemukan faktor
atau alasan di balik pola yang teramati melalui
korelasi dengan sarana kimia atau fisika-kimia
contoh (Chew et al. 2004).
Setiap variabel baru (skor atau PC) yang
dihasilkan PCA merupakan kombinasi linear
variabel asli pengukuran (Miller & Miller
2000). Skor dinilai bersama dengan satu set
vektor yang disebut loading. Loading
mengukur hubungan di antara variabel. Antara
skor dan loading terhubung dalam fungsi
X = TP’ + E ≈ TP’
X adalah matriks data awal, T merupakan
matriks dengan kolom berupa skor, P’ adalah
matriks dengan kolomnya berupa loading, dan
E adalah matriks residual.
Skor disusun berdasarkan proporsi utama
varian. Skor pertama mewakili bagian yang
paling penting dalam varian. Skor selanjutnya
mewakili varian yang lebih kecil daripada
skor sebelumnya. Biasanya, jumlah skor yang
berguna kurang dari jumlah variabel asli
(Miller & Miller 2000).

x

y

(a)
x
t1
y
x
t2

x

(b)
Gambar 4 Ilustrasi model regresi univariat
(a) dan multivariat (b).
Model regresi PLS (PLSR) merupakan
cara untuk memperkirakan parameter dalam
model sains dengan dasar linear. Model PLSR
konsisten dengan efek yang menyebabkan
perubahan dalam sistem yang sedang ditinjau.
Variabel laten atau faktor yang dimiliki
berhubungan langsung dengan efek tersebut.
Model linear PLS melibatkan beberapa
variabel baru yang dibuat dari variabel laten
atau hasil rotasi variabel laten (Gambar 5)
sehingga disamping diperoleh skor dalam
matriks X dan Y, juga dihasilkan satu set skor
ketiga yang biasanya disebut sebagai
pembobot
(W). Skor-skor ini kemudian
digunakan untuk menghitung skor X dan
memaksimalkan korelasi antara model skor
dari X dan Y. Persamaan umum model
analisis PLS:
X = TP’ + E
Y = UC’ + F

5

U=T+H
T dan U merupakan matriks skor, P’ dan C’
adalah matriks loading, E dan F adalah
matriks residual, dan H adalah hubungan
dalam (Wold et al. 2001).
variabel

Penggambaran struktur
(spektrum)

Aktivitas terukur
(kadar)

Gambar 5 Prinsip PLS.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan untuk penelitian
ini, yaitu spektrometer FTIR Tensor 37
(Bruker Spectrospin), komputer pengolah data
(Prosesor AMD Pro2000+, 1.3 GHz, 256
MB), spektrofotometer UV-tampak Genesys
10, kuvet, perangkat maserasi dan refluks,
radas penguap berputar, penangas air, neraca
analitik, labu ukur 25, 50, dan 100 mL, pipet
Mohr dan volumetrik berbagai ukuran, corong
pisah, gelas ukur, gelas arloji, dan gelas piala.
Bahan-bahan yang dibutuhkan ialah
simplisia daun tempuyung dari tiga tempat
tumbuh yang berbeda (Jawa Tengah,
Cimanggu, dan Leuwiliang), etanol, larutan
heksametilenatetramina 0.5% b/v, aseton, HCl
25%, etil asetat, asam asetat glasial 5% v/v
(dalam metanol), larutan AlCl3 2% dalam
asam asetat glasial 5%, standar kuersetin
(Sigma), akuades, kapas, dan serbuk KBr.
Metode
Tempuyung yang telah dihaluskan dibagi
menjadi lima kelompok kecil. Setiap
kelompok kecil dianalisis dengan FTIR dan
diukur kadar flavonoidnya dengan metode
Depkes RI sehingga dari tiga contoh
tempuyung dihasilkan 15 pasang data, yaitu
pasangan data kadar flavonoid dengan
spektrum FTIR (Lampiran 1).

Analisis Flavonoid Total Metode Depkes
RI (2000)
Ekstraksi. Sebanyak 10 g serbuk daun
tempuyung
dimaserasi
menggunakan
sejumlah etanol (merendam seluruh serbuk)
selama 6 jam di atas alat kocok. Hasil
maserasi disaring, setelah itu residunya
direfluks selama 3 jam dengan etanol.
Sesudah direfluks, contoh disaring dan
ampasnya ditambah etanol lalu direfluks
kembali selama 3 jam. Ekstrak hasil refluks
dan maserasi kemudian dipekatkan dengan
radas penguap berputar hingga terbentuk
ekstrak kental. Ekstrak kental ini kemudian
ditimbang.
Penetapan kadar flavonoid total.
Ekstrak etanol yang setara dengan 200 mg
simplisia ditimbang dan dimasukkan ke labu
bulat. Sistem hidrolisis berupa 1.0 mL larutan
heksametilenatetramina 0.5% b/v, 20 mL
aseton, dan 2 mL HCl 25% ditambahkan ke
dalam labu tersebut. Selanjutnya, ekstrak
dihidrolisis dengan pemanasan hingga
mendidih selama 30 menit. Campuran hasil
hidrolisis disaring menggunakan kapas ke
dalam labu ukur 100 mL. Residunya
kemudian ditambahkan 20 mL aseton dan
dididihkan kembali (dilakukan 2 kali dan
filtrat dikumpulkan ke dalam labu ukur lalu
ditera). Sebanyak 20 mL filtrat hasil hidrolisis
dan 20 mL akuades dimasukkan ke dalam
corong pisah, lalu diekstraksi dengan etil
asetat (ekstraksi yang pertama dengan 15 mL
etil asetat, ekstraksi kedua dan ketiga dengan
10 mL etil asetat). Fraksi etil asetatnya
dikumpulkan dalam labu ukur 50 dan 25 mL
kemudian ditera. Ekstraksi dengan corong
pisah dilakukan duplo untuk setiap filtrat hasil
hidrolisis.
Pengukuran spektrofotometri. Sebanyak 10 mL larutan fraksi etil asetat
dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL lalu
direaksikan dengan 1 mL larutan AlCl3 2%
b/v dan ditera dengan larutan asam asetat
glasial 5% v/v (triplo untuk setiap fraksi etil
asetat). Pengukuran larutan dilakukan pada
panjang gelombang 367 nm. Kurva standar
dibuat dengan kuersetin murni dengan
konsentrasi 3, 6, 12, 15, dan 24 ppm.
Spektroskopi FTIR
Sebanyak 0.5 mg serbuk daun tempuyung
dicampurkan dengan 185 mg KBr,
dihomogenisasi,
lalu
dibentuk
pelet
menggunakan hand press Shimadzu (tekanan
8 ton selama 10 menit). Pengukuran spektrum

6

FTIR dilakukan pada daerah IR tengah (4000400 cm-1) dengan melibatkan pengontrol kerja
berupa personal komputer yang dilengkapi
perangkat lunak OPUS versi 4.2. Spektrum
dihasilkan dengan kecepatan 32 detik dan
resolusi 4 cm-1.
Tampilan
data spektrum yang mengandung 1866 titik serapan kemudian
diubah ke dalam format DPT (data point
table) untuk keperluan pengolahan data. Data
ini dapat dibuka dengan program Microsoft
Excel. Selanjutnya, data dengan 1789 titik
serapan (telah dihilangkan serapan CO2-nya
pada 2399-2252 cm-1) diolah dengan program
Unscrambler versi 9.1 (Camo Inc.) yang
dijalankan dengan sistem operasi Microsoft
Windows XP Professional. Selain data
spektrum asli, dihasilkan pula data dengan
perlakuan pendahuluan berupa koreksi garis
dasar, normalisasi (nilai absorbans diatur
sehingga absorbans tertinggi bernilai satu dan
absorbans terendah bernilai nol), derivatisasi,
dan penghalusan dengan metode Savitsky
Golay 13 poin.
Analisis Data Kemometrik
Model kalibrasi multivariat dibuat dengan
program Unscrambler 9.1 menggunakan
teknik PCA dan PLS. Data yang diolah adalah
data absorbans spektrum asli dan spektrum
dengan proses pendahuluan yang melibatkan
seluruh fitur serapan maupun sebagian data
serapan (sesuai daerah segmentasi spektrum).
Pengelompokan contoh dilakukan oleh PCA
dengan memanfaatkan data serapan spektrum
FTIR yang terukur, sedangkan pembentukan
model prediksi flavonoid total dilakukan oleh
PLS dengan melibatkan variabel x (absorbans
hasil pengukuran FTIR) dan variabel y (kadar
flavonoid hasil analisis metode Depkes RI).
Kalibrasi dan validasi model analisis
multivariat dilakukan dengan teknik validasi
silang. Keberhasilan pengelompokan contoh
tempuyung dilihat pada jumlah komponen
utama yang terlibat, total variasi yang
terwakili, dan visualisasi plot skor, sedangkan
keakuratan model prediksi flavonoid total
tempuyung diukur dengan nilai korelasi dan
nilai galat yang dihasilkan. Model prediksi
flavonoid total dapat digunakan bila memiliki
nilai galat (standard error calibration SEC,
standard error of cross validation SECV atau
standard error of prediction SEP) rendah dan
nilai korelasi tinggi (Farkas et al 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Flavonoid Total dengan Metode
Depkes RI
Pengukuran kadar flavonoid total dengan
metode Depkes RI diawali dengan penetapan
kadar air terhadap simplisia contoh. Hasil
penetapan kadar air
memperlihatkan
kaandungan
air yang dimiliki simplisia
contoh tempuyung berkisar antara 6-8%. Hasil
penetapan kadar air tersebut tersaji pada
Lampiran 2.
Tahapan berikutnya merupakan tahap
penyiapan ekstrak. Tempuyung Jawa Tengah
menghasilkan rendemen ekstrak etanol
sebesar 8%, tempuyung Cimanggu sebesar
14%, dan tempuyung Leuwiliang sebanyak
11%. Lampiran 3 memperlihatkan perolehan
rendemen ketiga contoh tempuyung.
Berdasarkan metode analisis Depkes RI,
flavonoid total
yang terukur merupakan
sumbangan dari golongan flavon dan flavonol
yang terdapat pada ekstrak, karena hanya
kedua kelompok inilah yang mampu
membentuk kompleks stabil dengan AlCl3
(Chang et al. 2002). Tabel 1 memperlihatkan
hasil pengukuran flavonoid total tempuyung.
Dari tabel tersebut teramati bahwa tempuyung
asal Cimanggu memiliki kadar flavonoid yang
cukup berbeda dari kedua tempuyung lainnya.
Tempuyung Jawa Tengah dan Leuwiliang
mengandung
sekitar 0.8% flavonoid,
sedangkan tempuyung
Cimanggu hanya
0.6%.
Tabel 1 Kadar flavonoid total tempuyung
Contoh

Jawa
Tengah

Cimanggu

Leuwiliang

Ulangan

1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5

Kadar
flavonoid
(% b/b)
0.84
0.81
0.89
0.74
0.74
0.67
0.60
0.59
0.65
0.60
0.85
0.82
0.86
0.82
0.77

Rerata
kadar
(% b/b)

0.804

0.622

0.824

Kecenderungan
perbedaan
kadar
flavonoid tersebut turut teramati secara visual
pada
penapisan
fitokimia
tempuyung
(Lampiran 4). Intensitas warna flavon dan
flavonol yang terdeteksi pada tempuyung

7

Jawa Tengah dan Leuwiliang, baik pada
simplisia maupun pada ekstrak etanol, terlihat
cenderung lebih tinggi daripada intensitas
warna flavon dan flavonol pada tempuyung
Cimanggu. Adanya perbedaan ini salah
satunya mencerminkan variasi informasi
kimiawi contoh yang timbul akibat perbedaan
asal dan kondisi lingkungan. Hal ini sejalan
dengan penelitian Chew et al. (2004) yang
menyatakan bahwa asal contoh yang berbeda
memiliki pengaruh yang dominan terhadap
variasi kandungan kimia contoh.
Day dan Underwood (1993) menggolongkan perolehan analit hasil analisis
kuantitatif dalam tiga kelompok, yaitu analit
yang merupakan konstituen utama, konstituen
minor, dan konstituen jejak atau runut.
Analisis kuantitatif flavonoid pada tempuyung
memperlihatkan keberadaan flavonoid sebagai
konstituen minor karena kadar yang
dimilikinya berada di antara 0,01-1%.
Artinya, walaupun flavonoid tempuyung
berperan
strategis
dalam
mekanisme
pengobatan, jumlahnya dalam tempuyung
tidak begitu banyak. Lampiran 5 memberikan
persamaan kurva standar kuersetin yang
digunakan untuk menentukan kadar flavonoid
tempuyung, sedangkan perhitungan kadar
flavonoid totalnya terdapat pada Lampiran 6.
Analisis Spektrum FTIR

Absorbans

Pola spektrum FTIR sel utuh sampel biologis (serbuk contoh) merupakan pola
spektrum sidik jari hasil serapan vibrasi dari
seluruh konstituen yang ada dalam sel, seperti
protein, lipid, karbohidrat, dan beragam
metabolit sekunder (Naumann 1998). Pola
inilah yang terlihat pada spektrum FTIR
tempuyung (Gambar 6).

Bilangan gelombang (cm-1)

Gambar 6

Spektrum IR tempuyung Jawa
Tengah
(hijau),
Cimanggu
(merah), dan Leuwiliang (biru).

Spektrum
IR
tempuyung
tidak
memperlihatkan adanya perbedaan pola
serapan yang signifikan dari ketiga contoh.
Semua spektrum menunjukkan antara lain
keberadaan gugus OH melalui puncak yang
cukup lebar pada daerah 3500 cm-1, vibrasi
C-H dan vibrasi tarik C-H metoksi pada 2925
dan 2853 cm-1 (puncak yang tajam,
cm-1
sempit, dan berdekatan), vibrasi tarik C=O
karbonil pada 1600-1760 cm-1, dan ikatan
C=C aromatik pada 1500-1600 cm-1.
Perbedaan intensitas dan karakteristik serapan
konstituen yang sangat halus terutama pada
daerah sidik jari tidak dapat teramati,
informasi ini hanya dapat diamati oleh teknik
kemometrik.
Analisis Kemometrik
Analisis Komponen Utama (PCA)
Penggunaan spektrum FTIR sebagai alat
bantu untuk penentuan struktur molekul suatu
senyawa kimia biasanya terbatas hanya
melibatkan informasi serapan pada daerahdaerah tertentu saja sebagai tanda pengenal
gugus fungsi tertentu.
Pemanfaatan ini
membatasi informasi lain yang dimiliki oleh
suatu spektrum IR, terlebih lagi bila spektrum
tersebut merupakan spektrum yang bersifat
multidimensi seperti spektrum sel utuh dari
suatu bagian tumbuhan.
Spektrum multidimensi mengandung
informasi kuantitatif
yang
dapat
menggambarkan ciri khas suatu spesies.
Informasi ini tidak dapat diamati dengan
melihat pola serapan spektrum saja, tetapi
membutuhkan alat bantu berupa teknik
ekstraksi pola spektrum atau teknik
kemometrik. Teknik kemometrik yang
digunakan untuk mengenali pola spektrum
tanpa pengelompokan terlebih dahulu, seperti
teknik PCA, dikenal sebagai teknik
pengenalan pola tak terawasi.
Spektrum sel utuh setiap contoh
tempuyung
juga
memiliki
perbedaan
informasi kuantitatif, informasi yang tidak
dapat diekstrak hanya dengan melihat pola
serapan
spektrum
tempuyung.
Untuk
mendapatkan informasi perbedaan secara
sederhana
dari
kelimabelas
spektrum
tempuyung tersebut, digunakanlah analisis
PCA. PCA mereduksi variabel-variabel yang
dimiliki oleh spektrum menjadi beberapa
variabel utama saja. Proses reduksi ini dapat
menyebabkan contoh tempuyung terkelompokkan berdasarkan korelasi informasi
variabel yang dimiliki dalam grup.

8

Absorbans

Analisis PCA tempuyung dilakukan tidak
hanya menggunakan data spektrum asli, tetapi
juga melibatkan data spektrum hasil proses
pendahuluan. Perlakuan pendahuluan terhadap
spektrum dimaksudkan untuk menghindari
masalah akibat geseran garis dasar dan untuk
meningkatkan resolusi spektrum yang
berimpitan (perbaikan informasi data) (Stchur
2002). Gambar 7 adalah
spektrum IR
tempuyung yang telah mengalami proses
pendahuluan.
Selain
menggunakan
seluruh
data
absorbans spektrum IR tempuyung, analisis
PCA juga dilakukan terhadap spektrum pada
kisaran bilangan gelombang tertentu, baik
pada spektrum asli maupun spektrum dengan
proses pendahuluan. Segmentasi ini dilakukan
untuk melihat keberadaan konstituenkonstituen kunci yang berperan secara
signifikan dalam analisis kemometrik. Tabel 2
memperlihatkan
pemanfaatan
wilayah
spektrum untuk analisis kemometrik (PCA
dan PLS).

Bilangan gelombang (cm-1)

Gambar 7 Spektrum IR tempuyung hasil
proses pendahuluan.
Keterangan:
Hijau
: tempuyung Jawa Tengah
Merah : tempuyung Cimanggu
Biru
: tempuyung Leuwiliang

Hasil analisis PCA dikatakan baik bila
dengan jumlah komponen utama yang sedikit
mampu menggambarkan total variasi yang
besar. Tabel 3 memberikan penjelasan hasil
analisis PCA spektrum IR asli dan spektrum
IR dengan proses pendahuluan. Berdasarkan
data tabel tersebut terlihat bahwa spektrum
asli membutuhkan komponen utama yang
lebih sedikit untuk menjelaskan total variasi
karakteristik contoh yang hampir sama dengan
spektrum proses pendahuluan (kode spektrum:
derivat).

Tabel 2 Pemanfaatan wilayah spektrum IR
untuk analisis kemometrik
Spektrum
Utuh
Gabungan
segmen
Segmen 1
Segmen 2

Wilayah bilangan
gelombang (cm-1)
3999 - 399
3751-2815
dan 1903-399
3751-2815
1903-399

Jumlah titik
serapan
1789
1267
486
781

Sekilas
dapat
diasumsikan
bahwa
pengelompokan tempuyung
berdasarkan
perbedaan tempat tumbuh dapat dilakukan
dengan baik menggunakan data spektrum asli.
Akan tetapi, pola visualisasi PCA ternyata
tidak memberikan dukungan terhadap asumsi
tersebut (Lampiran 7). Pengelompokan
tempuyung tampak dengan jelas pada plot
skor dua dimensi data spektrum derivat. Hal
ini dapat terjadi karena proses pendahuluan
menyebabkan karakter khas dari spektrum
menjadi lebih terkuantisasi sehingga faktorfaktor penciri menjadi semakin spesifik.
Kespesifikan ini ditandai dengan meningkatnya jumlah komponen utama yang terlibat.
Sedikitnya jumlah komponen utama
spektrum asli ternyata tidak cukup untuk
menggambarkan penggolongan tempuyung
secara jelas. Faktor gangguan matriks yang
cukup kuat dari sel utuh tempuyung dapat
menjadi salah penyebabnya. Faktor ini
muncul dalam bentuk gangguan serapan yang
berdampak pada menurunnya korelasi antarvariabel grup.
Tabel 3 Hasil analisis PCA spektrum IR
tempuyung
Kode
Spektrum
Asli
Asli gabung
Asli segmen 1
Asli segmen 2
Derivat
Derivat gabung
Derivat segmen1
Derivat segmen2

Jumlah
komponen
utama

Total
variasi
terwakili (%)

2
2
2
2
7
7
7
7

98
99
100
99
98
98
99
99

Tabel 3 selain menunjukkan perbedaan
hasil pengelompokan tempuyung dengan data
spektrum asli dan data spektrum hasil proses
pendahuluan juga memperlihatkan pengaruh
segmentasi spektrum dalam analisis PCA. Zou
et al. (2005) menyatakan bahwa segmentasi
selain meningkatkan mutu analisis spektrum
IR melalui pengurangan wilayah spektrum
yang banyak mengandung derau juga dapat

9

menurunkan hasil analisis melalui eliminasi
informasi penting yang dimiliki spektrum.
Segmentasi pada spektrum IR tempuyung
tidak menghilangkan informasi penting yang
dimiliki spektrum karena berdasarkan data
tabel 3 teramati bahwa jumlah komponen
utama hasil analisis PCA dari data spektrum
dengan
segmentasi, baik segmen 1, 2,
ataupun segmen gabung, sama dengan jumlah
komponen utama yang ditampilkan oleh
spektrum yang melibatkan seluruh fitur
serapan. Hal ini mengindikasikan bahwa
setiap wilayah spektrum IR tempuyung
mengandung informasi penting yang dapat
diekstrak sebagai bagian dari variabel
komponen utama.
Segmen 1 merupakan daerah spektrum
yang memberikan total variasi terbaik dari
seluruh data spektrum. Total variasi yang
digambarkan oleh spektrum ini mencapai
100% (PC1 = 98%, PC2 = 2%) untuk data
spektrum asli dan 99% (PC1 = 71%, PC2 =
15%, PC3 = 7%, PC4 = 3%, PC5 = 2%, PC6
= 1%, PC7 = 0%) untuk data spektrum
dengan proses pendahuluan. Sumbangan
konstituen yang berperan besar pada
pengelompokan ini diduga berasal dari gugus
OH, C-H, dan CH metoksi dari sampel.
Gambar 8 menunjukkan spektrum IR dari
contoh tempuyung dan standar kuersetin.

dan Leuwiliang sebagian besarnya berada
pada wilayah positif PC1. Kondisi
pengelompokan ini dapat terjadi sebagai hasil
identifikasi PCA terhadap variasi komposisi
konstituen kimia contoh yang dapat
disebabkan adanya perbedaan pengaruh unsur
hara, intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban
pada metabolisme tumbuhan (Soetedjo &
Kartasapoetra 2002).
Proyeksi Struktur Laten (PLS)
Bila PCA mengekstrak informasi spektrum
secara keseluruhan, PLS mengekstrak
informasi spektrum yang relevan dengan
suatu karakter kimia tertentu yang dibutuhkan.
Sebagai salah satu metode pengenalan pola
terawasi (pola spektrum dikenali dengan
proses pengelompokan terlebih dahulu),
model regresi PLS mencari korelasi linear
antara variabel x hasil pengukuran spektrum
(variabel prediktor) dan variabel y hasil
penampakan kimiawi atau aktivitas biologis
contoh (variabel respons). Pada analisis
flavonoid tempuyung, variabel x merupakan
nilai absorbans pada bilangan gelombang
tertentu sedangkan variabel y-nya merupakan
kadar flavonoid total tempuyung hasil analisis
metode Depkes RI.

Absorbans

b

a
(a)
Bilangan gelombang (cm-1)

Gambar 8 Spektrum kuersetin (a) dan
tempuyung Leuwiliang (b).
Komponen utama pertama dari plot skor
PCA derivat segmen 1 (Gambar 9) mampu
membedakan tempuyung Cimanggu dari
kedua tempuyung lainnya (daerah negatif dari
PC1), sedangkan komponen utama kedua
memisahkan tempuyung Leuwiliang dari
tempuyung Jawa dan Cimanggu (daerah
negatif dari PC2). Pada plot skor daerah
spektrum ini, contoh tempuyung dengan kadar
flavonoid cukup rendah daripada kedua
tempuyung lainnya,
yaitu
tempuyung
Cimanggu, terletak pada daerah negatif PC1
dan positif PC2, sedangkan tempuyung Jawa

(b)
Gambar 9

Plot skor dua dimensi dua
komponen utama spektrum IR
asli (a) dan
derivat (b)
segmen 1.

10

Tabel 4 Tampilan parameter model prediksi flavonoid total tempuyung
Kode Spektrum

Korelasi
Kalibrasi

Validasi

Galat
SEC

RMSEC

BIAS

Faktor

RMSEP

SEP

BIAS

Asli

0.926

0.564

0.039

0.038

0.000

0.091

0.094

0.009

5

Asli gabung

0.969

0.701

0.026

0.025

0.000

0.084

0.087

0.003

7

Asli segmen 1

0.975

0.806

0.023

0.022

0.000

0.061

0.063

- 0.004

8

Asli segmen 2

0.978

0.844

0.021

0.021

0.000

0.055

0.057

- 0.003

7

Derivat

0.996

0.864

0.009

0.009

0.000

0.052

0.054

0.003

9

Derivat gabung

0.996

0.853

0.009

0.009

0.000

0.054

0.056

0.004

9

Derivat segmen 1

0.974

0.742

0.023

0.023

0.000

0.076

0.078

- 0.001

7

Derivat segmen 2

0.996

0.849

0.010

0.009

0.000

0.055

0.057

0.004

9

Analisis PLSR untuk tempuyung dilakukan
dengan teknik PLS-1 karena hanya melibatkan
satu komponen respons dari spektrum, yaitu
dalam bentuk
kadar flavonoid total.
Kesahihan model yang terbentuk diuji dengan
validasi silang. Teknik validasi silang
bermanfaat untuk menentukan jumlah
komponen yang optimal dari jumlah contoh
yang sedikit, selain juga mampu melakukan
tes secara independen (Stchur et al. 2002).
Suatu model PLS dikategorikan sebagai
model yang dapat dipercaya bila nilai
parameter yang dihasilkan, di antaranya
berupa nilai korelasi dan nilai galat, serupa
untuk setiap tahapan pembuatan model.
Korelasinya (r) harus bernilai tinggi
sedangkan galatnya bernilai rendah (Baranska
et al. 2005). Model prediksi yang memiliki
nilai galat validasi yang lebih besar daripada
galat kalibrasi digolongkan sebagai model
yang overfitted (Naes et al. 2002). Model
yang overfitted menghasilkan terlalu banyak
variasi yang spesifik untuk proses kalibrasi
dan melibatkan jumlah komponen yang terlalu
tinggi. Kondisi overfitted menyebabkan
penurunan kemampuan prediksi model.
Tabel 4 memberikan informasi tampilan
parameter model prediksi flavonoid total
tempuyung yang terbentuk dari setiap wilayah
segmentasi spektrum. Secara umum, tampilan
parameter hasil kalibrasi lebih tinggi daripada
hasil
validasi. Kondisi parameter model
prediksi flavonoid tempuyung ini, selain
memperlihatkan
kondisi
model
yang
overfitted juga menyiratkan ketidakstabilan
dari model yang terbentuk. Ketidakstabilan
membuat ketidakhadiran dari satu contoh akan
menghasilkan model yang berbeda nyata dari
model yang sebenarnya (Davies 1998).
Flavonoid pada tempuyung tergolong
komponen minor (kandungan komponen