Penentuan Fase Pertumbuhan Dan Waktu Panen Untuk Produksi Flavonoid Tempuyung (Sonchus Arvensis L)
PENENTUAN FASE PERTUMBUHAN DAN WAKTU PANEN
UNTUK PRODUKSI FLAVONOID TEMPUYUNG
(Sonchus arvensis L.)
FARDYANSJAH HASAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA 1
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penentuan Fase
Pertumbuhan dan Waktu Panen Untuk Produksi Flavonoid Tempuyung (Sonchus
arvensis L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Fardyansjah Hasan
A252140231
RINGKASAN
FARDYANSJAH HASAN. Penentuan Fase Pertumbuhan dan Waktu Panen Untuk
Produksi Flavonoid Tempuyung (Sonchus arvensis L.). Dibimbing oleh SANDRA
ARIFIN AZIZ dan MAYA MELATI.
Tempuyung secara tradisional telah digunakan sebagai tumbuhan obat karena
diketahui mengandung metabolit sekunder dengan beberapa fungsi utama yaitu
sebagai antioksidan dan peluruh batu ginjal. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mempelajari produksi dan kadar flavonoid tempuyung liar pada beberapa fase
pertumbuhan, kemudian menentukan waktu panen yang tepat untuk produksi
biomassa dan kadar flavonoid secara organik dan konvensional serta
membandingkan hasil penanaman organik dengan konvensional. Penelitian telah
dilaksanakan pada bulan Mei sampai Desember 2015, penelitian pertama
menggunakan sampel tempuyung liar yang ditemukan di halaman sekitar Institut
Pertanian Bogor (6o33’23.0”LS dan 106o43’54.5”BT) dan penelitian kedua
dilaksanakan di kebun percobaan IPB Cikarawang, Darmaga, Bogor (6o30 - 6o45’
LS dan 106o30’-106o45’ BT).
Penelitian pertama untuk mempelajari produksi dan kadar flavonoid
tempuyung liar sebagai informasi awal untuk proses budidaya tempuyung. Sampel
tempuyung dikelompokkan menjadi fase vegetatif (awal pemanjangan batang),
kedua yaitu fase generatif awal (terbentuk kuncup bunga) dan terakhir yaitu fase
generatif maksimum (setelah bunga mekar). Terdapat lima sampel tempuyung
sebagai ulangan untuk setiap fase pertumbuhan. Data yang diperoleh dianalisis
dengan uji t-Student dan uji korelasi Pearson. Penelitian kedua menentukan waktu
panen untuk peningkatan produksi daun dan kadar flavonoid tempuyung. Penelitian
terdiri atas dua percobaan terpisah yaitu organik dan konvensional yang masingmasing disusun menggunakan rancangan acak kelompok lengkap faktor tunggal
yaitu waktu panen. Terdapat 4 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali yaitu: (1)
Panen daun secara bertahap (daun bawah saat vegetatif) dan kemudian daun atas
dipanen saat membentuk kuncup bunga, (2) Panen daun secara bertahap (daun
bawah saat vegetatif) dan kemudian daun atas dipanen setelah bunga mekar, (3)
Panen daun bawah bersamaan dengan daun atas saat membentuk kuncup bunga, (4)
Panen daun bawah bersamaan dengan daun atas setelah bunga mekar. Data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (α=5%) dan pada pengaruh
yang berbeda nyata, dilakukan uji Duncan Multiple Range Test pada taraf nyata
5%. Uji t-Student (α=5%) juga dilakukan untuk membandingkan hasil percobaan
organik dan konvensional.
Hasil penelitian menunjukkan (1) Pertumbuhan maksimum daun bawah
tempuyung liar ditemukan pada fase vegetatif, sedangkan pertumbuhan maksimum
daun atas ditemukan pada fase generatif awal. Kadar flavonoid total tempuyung liar
tertinggi ditemukan pada fase generatif maksimum. (2) Panen daun bawah secara
bertahap dan kemudian panen daun atas setelah bunga mekar menghasilkan
biomassa daun atas tertinggi. Kadar flavonoid total tertinggi dihasilkan daun atas
pada perlakuan panen daun secara bersamaan pada percobaan organik dan
konvensional. (3) Tempuyung pada penanaman organik menghasilkan produksi
daun yang lebih tinggi, sebaliknya produksi flavonoid total tertinggi dihasilkan
penanaman konvensional dibandingkan penanaman organik.
Kata kunci : Kadar hara, kapasitas antioksidan, kuersetin, luas daun, luteolin
SUMMARY
FARDYANSJAH HASAN. Determination of Growth Stages and Harvest Time for
Flavonoid Production of Perennial Sow-thistle (Sonchus arvensis L.). Supervised
by SANDRA ARIFIN AZIZ and MAYA MELATI.
Sonchus arvensis L. has been traditionally used as a medicinal plant because
it contains secondary metabolites with several functions as antioxidant and has been
known to dissolve kidney stones. This research studied the production and
flavonoid content of perennial sow-thistle as wild plants at different growth stages;
to determine harvest time and flavonoids production of Perennial Sow-thistle with
organic and conventional experiments; and comparing organic with conventional
yield. The experiments were conducted in May 2015 until December 2015. The first
experiment used wild plants of S. arvensis that were taken from open field
(6o33’23.0”SL and 106o43’54.5”EL) and the second experiment was at IPB
Cikarawang Farm, Darmaga, Bogor (6o30 - 6o45’ SL and 106o30’-106o45’’EL).
The first experiment aimed to study the production and flavonoid content of
perennial sow-thistle growth as wild plants, as a basic information for S. arvensis
cultivation. Plant materials were harvested at three phenological stages i.e.
vegetative stage (bolting phase), the second stage was early generative stage (the
flower buds begin to form) and the last one was maximum generative stage (full
flowering). Five plants were used as replications. The data were analyzed with
Student t-test and Pearson correlation test. The second experiment was conducted
to determine harvest time and flavonoids production of Perennial Sow-thistle with
organic and conventional systems, then compare organic yield with conventional.
This study consisted of organic and conventional experiments. This study used
randomized block design single factor that is harvest time and 3 replications. There
were 4 harvest time treatments i.e. (1) Leaves harvested gradually i.e. basal leaves
at vegetative then stem leaves harvested at early generative stage, (2) Leaves
harvested gradually i.e. basal leaves at vegetative then stem leaves harvested at
maximum generative stage, (3) Basal leaves harvested together with stem leaves at
early generative stage (4) Basal leaves harvested together with stem leaves at
maximum generative stage. The data were analyzed using analysis of variance
followed by DMRT (Duncan Multiple Range Test) at α=5%.
The results showed that (1) Maximum growth of basal leaves was found at
vegetative stage, while maximum growth of stem leaves was at early generative
stage. The highest flavonoid content of wild perennial sow-thistle was found at
maximum generative stage. (2) Basal leaves were harvested at vegetative stage
then stem leaves harvested at maximum generative stage produced the highest dry
weight of stem leaves. Total flavonoids content were found highest in stem leaf
when basal leaves harvested together with the stem leaves at budding and flowering
time for both conventional and organic system. (3) Growth of S. arvensis with
organic culture was better than that of conventional one, on the contrary total
flavonoid content was higher from conventional culture.
Keyword: Antioxidant capacity, leaf size, luteolin, morphological character,
nutrients content
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENENTUAN FASE PERTUMBUHAN DAN WAKTU PANEN
UNTUK PRODUKSI FLAVONOID TEMPUYUNG
(Sonchus arvensis L.)
FARDYANSJAH HASAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir MA Chozin, MAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Penentuan Fase Pertumbuhan dan
Waktu Panen Untuk Produksi Flvonoid Tempuyung (Sonchus arvensis L.)” berhasil
diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini tidak mungkin
diselesaikan sendiri tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu
dengan penuh keikhlasan dan penghargaan yang tulus penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1
Ibu Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu
Dr Ir Maya Melati MS MSc selaku anggota yang telah banyak meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, arahan, saran, masukkan serta nasehat kepada
penulis. Selanjutnya kepada Bapak Prof Dr Ir MA Chozin, MAgr yang telah
meluangkan waktu untuk menjadi penguji di luar komisi, terima kasih atas kritik,
saran, masukkan yang konstruktif sehingga tesis ini menjadi lebih baik.
2 Ibu Dr Ir Maya Melati MS MSc selaku ketua program studi Agronomi dan
Hortikultura yang telah memfasilitasi urusan administrasi selama pendidikan.
3 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) sebagai sponsor Beasiswa Pra S2
Saintek 2013 serta BPPDN 2014-2016
4 Kepada keluarga besar, Ayahanda Abdullah Hasan dan Ibunda Salma Bala SPd
serta mertua Bapak Abd Imam Kasim dan Ibu Jeni Abas yang telah membantu,
memotivasi dan mendoakan keberhasilan penulis selama pendidikan S2.
5 Istri tercinta, Nurfitriana SE serta anakku tercinta Kirana Kamania Azzahra Hasan
atas pengertian, kesabaran, keikhlasan, pengorbanan, motivasi serta doanya
selama menjalani pendidikan S2.
6 Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Pra S2 Saintek 2013.
7 Rekan-rekan Pascasarjana AGH 2014 (Ahmad, Bu Tatik, Fandi, Soleh, Ari,
Halimah, Dwi, Rizka, Ririh, Evi, Bu Nani, Riana, Ayu, Devi, Ami, Deri, Pak Saijo,
Pak Dul, Bu Lina)
8 Bapak/Ibu teknisi laboratorim AGH, Biofarmaka, teknisi lapang yang telah
banyak membantu selama penelitian (Bu Ismi, Pak Joko, Mbak Ela, Mbak Hana,
Pak Argani, Pak Sarta).
9 Teman-teman asrama Gorontalo Bogor terutama Rio Wando yang telah membantu
penulis selama melaksanakan penelitian.
10 Serta kepada sahabat yang tak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak
membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga segala bantuan, bimbingan, nasehat dan motivasi yang telah diberikan
kepada penulis senantiasa mendapat balasan yang setimpal dari Allah subhanahu wa
ta’ala.
Akhirnya, semoga penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua
kalangan dan berguna bagi yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2017
Fardyansjah Hasan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN
1
1
2
3
3
3
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Botani Tempuyung
Fitokimia Tempuyung
Flavonoid
Waktu Panen
Perbandingan Pupuk Organik dengan Anorganik
Perbandingan Produksi dan Kandungan Bioaktif
Dibandingkan Konvensional
5
5
6
8
9
Produk
Organik
3 PRODUKSI DAUN DAN KADAR FLAVONOID TEMPUYUNG (Sonchus
arvensis L.) LIAR PADA FASE PERTUMBUHAN YANG BERBEDA
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
11
12
13
14
16
27
4 PENENTUAN WAKTU PANEN UNTUK PRODUKSI DAN KANDUNGAN
28
FLAVONOID TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.)
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
29
30
35
69
5 PEMBAHASAN UMUM
70
6 SIMPULAN
74
DAFTAR PUSTAKA
75
LAMPIRAN
82
RIWAYAT HIDUP
84
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Kriteria pengambilan sampel tempuyung liar
Kadar klorofil, karotenoid dan antosianin tempuyung pada beberapa
fase pertumbuhan
Kadar flavonoid tempuyung pada beberapa fase pertumbuhan
Koefisien korelasi kadar bioaktif dan biomassa daun tempuyung
Rekapitulasi hasil uji t-Student pengamatan Mei dengan pengamatan
September
Perlakuan waktu panen tempuyung
Umur tanaman berdasarkan fase pertumbuhan
Kondisi iklim setiap dua minggu selama penelitian
Hasil analisis kimia tanah pada kedua jenis lahan percobaan
Rekapitulasi hasil uji t-Student peubah pertumbuhan tempuyung
Rekapitulasi hasil sidik ragam dan uji t-Student peubah panen secara
organik dan konvensional
Rata- rata tinggi, panjang, lebar daun tempuyung pada waktu panen
yang berbeda
Rata-rata tebal dan jumlah daun tempuyung pada waktu panen yang
berbeda
Rata-rata luas daun tempuyung pada waktu panen yang berbeda
Rata-rata bobot basah daun tempuyung pada waktu panen yang berbeda
Rata-rata bobot kering daun tempuyung pada waktu panen yang
berbeda
Rata-rata bobot batang, bunga dan total tanaman pada waktu panen
yang berbeda
Rata-rata kadar klorofil total daun pada waktu panen yang berbeda
Hasil uji korelasi peubah produksi dan kadar bioaktif pada penanaman
organik
Hasil uji korelasi peubah produksi dan kadar bioaktif pada penanaman
konvensional
15
22
22
24
24
31
37
38
38
41
42
44
45
47
48
49
51
52
60
61
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Bagan alir penelitian penentuan waktu panen dan produksi flavonoid
tempuyung
Skema sederhana lintasan biosintesis flavonoid
Kondisi lokasi pengambilan sampel tempuyung liar
Keragaan tempuyung pada tiga fase pertumbuhan yang berbeda
Jumlah curah hujan (mm) dan rata- rata suhu udara (oC) di Kecamatan
Darmaga
Rata-rata tinggi dan jumlah daun tempuyung pada fase pertumbuhan
yang berbeda
Rata-rata luas daun terbesar tempuyung pada fase pertumbuhan yang
berbeda
Bobot basah dan bobot kering daun tempuyung pada fase pertumbuhan
yang berbeda
4
7
16
17
18
19
20
21
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Produksi flavonoid total tempuyung pada fase pertumbuhan yang
berbeda
Ilustrasi komponen panen daun tempuyung
Kondisi tanaman tempuyung pada awal pemanjangan batang
Keragaan tanaman tempuyung saat membentuk kuncup dan saat mekar
Perbandingan keragaan tanaman tempuyung pada umur 10 MST
Gejala serangan cendawan puccinia dan hama gangsir
Tinggi tanaman dan Jumlah daun tempuyung pada beberapa umur
pengamatan
Diameter tajuk tempuyung pada beberapa umur pengamatan
Laju tumbuh relatif tempuyung pada penanaman organik dan
konvensional
Laju asimilasi bersih tempuyung pada penanaman organik dan
konvensional
Potensi produksi daun per hektar pada waktu panen yang berbeda
Kadar antosianin daun pada waktu panen yang berbeda
Kadar hara nitrogen daun pada waktu panen yang berbeda
Kadar hara fosfor daun pada waktu panen yang berbeda
Kadar hara kalium daun pada waktu panen yang berbeda
Kadar flavonoid total daun pada waktu panen yang berbeda
Produksi flavonoid total pada waktu panen yang berbeda
Kadar luteolin daun tempuyung pada waktu panen yang berbeda
Kapasitas antioksidan daun pada waktu panen yang berbeda
Kondisi daun bawah pada fase generatif
setelah tempuyung
menghasilkan biji
Rata-rata jumlah daun dan bobot kering daun tempuyung liar dan
budidaya
Rata-rata kadar flavonoid total dan bobot kering daun tempuyung liar
dan budidaya
23
31
36
37
38
39
40
40
41
42
50
53
54
54
55
56
57
58
59
64
72
73
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
Analisis kadar klorofil, karotenoid dan antosianin (Sims dan Gamon
2002)
Persiapan contoh untuk analisis kadar total flavonoid, dan kapasitas
antioksidan
Analisis kadar flavonoid total (metode aluminium chloride colorimetric,
Chang et al. (2002) dengan sedikit modifikasi)
Analisis kapasitas antioksidan (metode radikal bebas stabil, 1,1diphenyl-2-picryl hydrazyl (DPPH) assay, modifikasi dari BrandWilliams et al. 1995)
Analisis kadar luteolin dan kuersetin (Hertog et al. 1992)
Riwayat hidup
82
82
82
83
83
84
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan obat tradisional di Indonesia merupakan bagian dari budaya
bangsa dan banyak digunakan masyarakat sejak berabad-abad yang lalu, namun
sampai saat ini masih belum dimanfaatkan dengan baik. Hal ini karena masih
langkanya ketersediaan bahan dan belum berkembangnya pengetahuan tentang
standar teknis budidaya untuk produksi yang optimal. Pemerintah telah menetapkan
66 jenis tanaman obat yang menjadi komoditas binaan dan salah satu dari tanaman
obat tersebut adalah tempuyung (Sonchus arvensis L.) (Direktorat Jenderal
Hortikultura 2012). Dalam program jangka pendek pemerintah tentang saintifikasi
jamu tahun 2011, telah ditetapkan 15 jenis tanaman obat yang sangat dibutuhkan
dan salah satunya adalah tempuyung (Januwati 2012).
Sonchus arvensis L. atau yang lebih dikenal dengan tempuyung adalah salah
satu jenis tumbuhan obat yang telah diketahui dan digunakan masyarakat sebagai
penghancur batu ginjal (Budiharto et al. 2001). Hasil penelitian Widyastuti (2010)
dan Khan (2012) menunjukkan bahwa tempuyung mengandung senyawa flavonoid
dan fenol yang berperan sebagai antioksidan. Mekanisme pelarutan batu ginjal
diduga melalui pembentukan komplek antara 2 senyawa flavonoid daun tempuyung
dengan kalsium yang menyusun batu ginjal (Katno dan Widyastuti 2004; Hidayati
et al. 2009). Tempuyung juga diketahui dan telah digunakan sebagai bahan obat
tradisional untuk pengobatan kanker, asma, batuk, dan untuk menenangkan saraf
(Xia dan Liang 2010). Hasil uji toksisitas juga menjelaskan bahwa sediaan bahan
simplisia daun tempuyung aman dikonsumsi manusia (Budiharto et al. 2001).
Ekstrak daun tempuyung dapat digunakan sebagai sumber antioksidan yang efektif,
aman dan secara komersial dapat dikembangkan sebagai obat (Khan 2012).
Tempuyung umumnya ditemukan sebagai gulma, meskipun demikian
beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tempuyung dapat ditanam dan
berpotensi untuk dikembangkan. Pertumbuhan dan hasil tempuyung dapat
ditingkatkan dengan menambahkan pupuk organik serta pupuk N dan K di lahan
marjinal (Surat et al. 2008), pemupukan NPK (Nurhayati et al. 2013) atau
pemberian pupuk kandang kambing (Wardani dan Melati 2014) dan pupuk kandang
sapi serta arang sekam (Gatari dan Melati 2014).
Usaha untuk meningkatkan produksi simplisia tempuyung perlu
memperhatikan karakteristik pertumbuhan tempuyung karena terdapat perbedaan
dengan tanaman obat lainnya. Lemna dan Messersmith (1990) menjelaskan bahwa
daun tempuyung tumbuh dengan roset yaitu susunan daun yang melingkar dan
tumbuh dekat permukaan tanah karena batang yang tumbuh pendek dan selanjutnya
setelah jumlah daun 12-14 helai, terjadi pemanjangan batang diikuti munculnya
bunga. Wardani dan Melati (2014) menjelaskan bahwa saat tempuyung akan
memasuki fase generatif, terjadi pemanjangan batang yang diikuti dengan
munculnya daun-daun muda pada batang tersebut. Siswanto et al. (2004)
menjelaskan bahwa waktu panen yang umumnya dilakukan yaitu saat tanaman
mulai membentuk kuncup bunga dengan cara memangkas seluruh bagian tajuk
tanaman. Permasalahan yang muncul adalah terdapat perbedaan waktu optimum
perkembangan daun bawah (roset) dan daun atas untuk dipanen. Oleh sebab itu
perlu adanya pemahaman tentang fase pertumbuhan ataupun waktu yang
2
dibutuhkan untuk mendapatkan biomassa dan kadar flavonoid daun bawah
maksimum yang tumbuh di permukaan tanah (roset) dan daun atas yang tumbuh
pada batang. Hal tersebut dibutuhkan dalam rangka mendukung pengadaan bahan
baku dalam pengembangan industri tanaman obat melalui penerapan teknologi
budidaya tempuyung yang baik dan benar (Good Agricultural Practices) dan
sebagai tambahan informasi untuk mempersiapkan Standard Operating Procedure
(SOP) budidaya tempuyung.
Budidaya secara organik menitikberatkan pada penggunaan bahan-bahan
alami misalnya pupuk kandang untuk mendukung pertumbuhan tanaman
sebaliknya budidaya konvensional identik dengan penggunaan bahan-bahan kimia
berupa pupuk anorganik dan penggunaan pestisida kimia sintetis untuk
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Penggunaan pupuk organik
maupun anorganik mempunyai efektivitas yang berbeda dalam mendukung
pertumbuhan tanaman. Pupuk organik diketahui dapat meningkatkan bahan organik
tanah, mengurangi erosi, meningkatkan infiltrasi dan aerasi serta meningkatkan
aktivitas biologis tanah yang berperan dalam mendukung pertumbuhan tanaman.
Pupuk organik membutuhkan proses dekomposisi agar tersedia bagi tanaman
sehingga lambat tersedia bagi tanaman. Pupuk anorganik berperan dalam
menyediakan nutrisi yang dapat langsung diserap tanaman dan dapat diaplikasikan
pada beberapa tahapan pertumbuhan sehingga mampu memberikan suplai nutrisi
yang cukup dan cepat selama pertumbuhan tanaman (Jones 2012). Selain itu
terdapat respon yang berbeda akibat pemupukan organik dan anorganik. Hasil
penelitian Ibrahim et al. (2013) pada tanaman kacip fatimah menunjukkan bahwa
pemupukan organik dapat meningkatkan kandungan fenolik, flavonoid dan
kandungan gula terlarut total dibandingkan dengan pemupukan anorganik.
Perumusan Masalah
Fungsi tempuyung (Sonchus arvensis L.) sebagai bahan obat herbal telah
banyak diketahui dan telah ditemukan kandungan fitokimia yang terkandung
didalamnya. Produk daun tempuyung telah dipasarkan dan umumnya berasal dari
industri rumah tangga dan sebagian produk industri terstandar. Bahan baku daun
yang diperoleh umumnya didapatkan dari tempuyung yang tumbuh liar sehingga
produksi yang dihasilkan masih belum optimal.
Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa peningkatan produksi biomassa
tempuyung dapat dilakukan melalui melalui proses budidaya. Aplikasi pupuk
organik, anorganik, pengaturan jarak tanam mampu meningkatkan produksi
biomassa dan kandungan flavonoidnya. Semua aspek dalam proses budidaya harus
diperhatikan untuk memaksimalkan produksi daun dalam rangka mempersiapkan
prosedur standar teknis budidaya tempuyung. Salah satu aspek penting yang harus
diperhatikan adalah proses panen daun tempuyung karena sampai saat ini waktu
optimum untuk panen daun belum diketahui dengan jelas. Wardani dan Melati
(2014) melaporkan bahwa terdapat dua tahapan perkembangan daun yaitu daun tua
yang tumbuh di atas permukaan tanah dan daun muda yang tumbuh pada batang.
Selanjutnya Priyadi (2014) menjelaskan bahwa waktu panen yang umumnya
dilakukan yaitu sebelum bunga mekar dengan cara memotong pangkal batang (daun
bawah dan daun pada batang dipanen bersamaan). Masalah yang ditemukan adalah
terdapat perbedaan waktu optimum perkembangan daun bagian bawah dan daun
3
atas yang tumbuh pada batang. Lemna dan Messersmith (1990) menjelaskan bahwa
saat tempuyung memasuki fase generatif, daun tua yang tumbuh di atas permukaan
tanah mengalami senesen. Hal ini sangat penting diketahui karena fase
pertumbuhan juga mempengaruhi kandungan bioaktif tempuyung. Mawalagedera
(2014) melaporkan bahwa kadar fenolik, asam sinamat dan aktivitas antioksidan
berubah seiring perkembangan umur tanaman Sonchus oleraceus. Oleh sebab itu
dibutuhkan pengetahuan yang jelas mengenai fase pertumbuhan maupun waktu
panen yang tepat untuk mendapatkan produksi biomassa maupun kadar flavonoid
tempuyung yang optimal. Penelitian yang dilakukan diharapkan mampu
meningkatkan produksi daun dan kandungan flavonoid melalui pemanenan daun
pada waktu yang tepat.
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk :
1. Mempelajari produksi dan kadar flavonoid tempuyung liar pada beberapa fase
pertumbuhan.
2. Menentukan waktu panen yang tepat untuk produksi biomassa dan kadar
flavonoid secara organik dan konvensional.
3. Membandingkan produksi biomassa dan kadar flavonoid tempuyung yang
ditanam secara organik dan konvensional.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Terdapat perbedaan produksi daun dan kadar flavonoid tempuyung liar pada fase
pertumbuhan yang berbeda.
2. Waktu panen daun yang berbeda akan menyebabkan perbedaan produksi
biomassa dan kadar flavonoid tempuyung.
3. Terdapat perbedaan produksi biomassa dan kadar flavonoid tempuyung yang
ditanam secara organik dengan penanaman secara konvensional.
Ruang Lingkup Penelitian
Dua percobaan yang saling terkait diperlukan untuk menjawab tujuan dan
menguji kebenaran hipotesis yang telah diajukan. Oleh karena itu, penelitian ini
dibagi menjadi 2 percobaan yaitu (1) Produksi dan kadar flavonoid tempuyung liar
pada fase pertumbuhan yang berbeda; (2) Penentuan waktu panen daun untuk
produksi dan kadar flavonoid tempuyung secara organik dan konvensional.
Penelitian ini juga membandingkan hasil pengamatan produksi dan kadar flavonoid
pada penanaman organik dengan hasil pengamatan pada penanaman konvensional.
4
Tempuyung
(Sonchus arvensis L.)
Percobaan I
Tempuyung liar
Identifikasi pola pertumbuhan dan
produksi tempuyung
Percobaan II
Budidaya tempuyung
organik dan konvensional
Penentuan waktu panen untuk produksi
dan kadar flavonoid tempuyung
Pengambilan sampel tumbuhan pada
3 fase pertumbuhan :
1) Fase vegetatif sebelum
pemanjangan batang.
2) Fase generatif saat kuncup
bunga.
3) Fase generatif maksimum setelah
berbunga.
1) W1: Panen daun bawah saat vegetatif +
panen daun atas saat kuncup bunga
2) W2 : Panen daun bawah saat vegetatif +
panen daun atas setelah berbunga dan
menghasilkan biji
3) W3 : Panen daun bawah dan atas bersamaan
saat kuncup bunga
4) W4 : Panen daun bawah dan atas bersamaan
setelah berbunga dan menghasilkan biji
Output
Informasi produksi dan kadar
flavonoid daun pada fase
pertumbuhan yang berbeda
Output
Rekomendasi waktu panen untuk
produksi dan kadar flavonoid
Peranan waktu panen untuk produksi flavonoid
tempuyung
Gambar 1 Bagan alir penelitian penentuan fase pertumbuhan dan waktu panen
tempuyung
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Botani Tempuyung
Tempuyung adalah tumbuhan yang umumnya tersebar di hampir seluruh
daerah beriklim sedang (temperate) dan diduga berasal dari Eropa dan kemudian
menyebar ke daerah-daerah baru seperti bagian barat Asia. Tempuyung termasuk
tipe tanaman C3 dan beradaptasi pada berbagai jenis tanah tetapi umumnya tumbuh
pada tanah dengan pH netral atau sedikit basa dan tidak dapat tumbuh pada tanah
dengan kemasaman tinggi (Lemna dan Messersmith 1990). Daerah penyebaran
tempuyung di Indonesia yaitu di pulau Sumatra dan Jawa (Holm et al. 1997).
Tempuyung (Sonchus avensis L.) diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta,
Sub divisi
: Magnoliophyta (Angiospermae)
Kelas
: Magnoliopsida (Dicotyledonae)
Bangsa
: Asterales
Suku
: Asteraceae
Marga
: Sonchus
Jenis
: Sonchus avensis L.
(Integrated Taxonomic Information System 2010).
Tempuyung termasuk jenis herba menahun, tumbuh tegak dengan tinggi 0,6
m hingga 2 m, mengandung getah putih, dengan akar tunggang yang kuat. Batang
berongga dan berusuk. Daun tunggal, bagian bawah tumbuh berkumpul pada
pangkal membentuk roset akar. Helai daun berbentuk lanset atau lonjong, ujung
runcing, pangkal bentuk jantung, tepi berbagi menyirip tidak teratur, panjang 6-48
cm, lebar 3-12 cm, warnanya hijau muda. Daun yang keluar dari tangkai bunga
bentuknya lebih kecil dengan pangkal memeluk batang, letak berjauhan, berseling.
Perbungaan berbentuk bonggol yang tergabung dalam malai, bertangkai, mahkota
bentuk jarum, warnanya kuning cerah, lama kelamaan menjadi merah kecokelatan.
Buah kotak, berusuk lima, bentuknya memanjang sekitar 4 mm, pipih, berambut,
cokelat kekuningan (Reaume 2010).
Fitokimia Tempuyung
Penggunaan tempuyung sebagai bahan obat herbal telah banyak diketahui dan
telah ditemukan kandungan fitokimia yang terkandung didalamnya. Analisis bahan
bioaktif secara kualitatif menunjukkan bahwa serbuk daun tempuyung mengandung
alkaloid, flavonoid, tanin, triterpenoid, steroid dan saponin (Yuliarti et al. 2013).
Fitokimia merupakan senyawa-senyawa organik ditemukan dalam jumlah kecil
pada tumbuhan, namun mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap aktivitas
antioksidan. Fitokimia yang berperan cukup besar sebagai antioksidan adalah
golongan fenolik. Xu et al. (2008) melaporkan bahwa tempuyung mengandung
senyawa asam quinat yang merupakan turunan dari asam sinamat dalam kelompok
senyawa fenol. Hasil penelitian Khan (2012) menunjukkan bahwa ekstrak metanol
tempuyung mengandung total fenol 420 mg ekuivalen asam galam (GAE)/ g bobot
kering. Selanjutnya hasil uji beberapa senyawa polifenol yaitu orientin, hiperusida,
6
kuersetin, katekin, rutin, mierisitin dan kaemferol menunjukkan hasil masingmasing sebesar 0.871, 0.455, 0.780, 0.565, 0.457, 0.647, 0.947 µg.mg-1 berat
kering. Penetapan tempuyung sebagai bahan obat telah dilakukan dan menjadikan
luteolin sebagai senyawa identitas tempuyung dengan kadar 0.06% (Depkes RI,
2008).
Flavonoid
Flavonoid merupakan bentuk besar dari produk alami dan banyak ditemukan
di jaringan tanaman, terutama di dalam sel atau pada permukaan organ tumbuhan
(Stobiecki dan Kachlicki 2006). Flavonoid merupakan salah satu kelas dari
polifenol yang terdiri dari beberapa sub kelas seperti flavone, flavonol, flavanonol,
flavanon, flavan dan anthocyanin (Gambar 2). Kerangka dasar karbon pada
flavonoid merupakan kombinasi antara jalur sikhimat dan jalur asetat-malonat yang
merupakan dua jalur utama biosintesis cincin aromatik. Cincin A dari struktur
flavonoid berasal dari jalur poliketida (jalur asetat-malonat), yaitu kondensasi tiga
unit asetat atau malonat, sedangkan cincin B dan tiga atom karbon dari rantai propan
berasal dari jalur fenilpropanoid (Shirley 2001). Keberadaannya dalam daun
kemungkinan dipengaruhi oleh adanya proses fotosintesis sehingga daun muda
belum terlalu banyak mengandung flavonoid (Markham 1988).
Menurut Peterson dan Dwyer (2000), antosianin adalah flavonoid bermuatan
yang biasanya berikatan dengan gula. Antosianin bertanggung jawab atas sebagian
besar adanya warna merah, biru dan ungu pada buah-buahan dan sayur-sayuran.
Flavone umumnya ditemukan pada daun, sedangkan isoflavon seringkali
ditemukan pada kacang-kacangan (legume) terutama kacang kedelai. Isoflavon
berbeda dengan flavon hanya pada penempatan cincin benzene. Isoflavon
umumnya dikenal karena aktivitas estrogeniknya. Seperti halnya flavanon, flavonol
umumnya juga mengandung gula. Flavonoid yang paling mudah ditemukan
(ubiquitious) dalam makanan adalah quersetin yang termasuk dalam kelas flavonol.
Flavan adalah flavonoid yang mempunyai struktur kimia paling kompleks.
Beberapa flavonoid yang termasuk dalam kelas flavan adalah katekin, procyanidin,
theaflavin.
Kelompok flavonol dan flavone merupakan dua dari jenis flavonoid yang
paling banyak terdapat dalam tanaman sayur-sayuran (Robinson 1995). Oleh
karena itu pada penelitian ini dilakukan identifikasi pada salah satu jenis flavonoid
tersebut yaitu kelompok flavone. Selain karena alasan jumlah yang mayoritas,
berdasarkan penilitian-penelitian yang telah dilakukan, kedua jenis flavonoid ini
memiliki kemampuan yang baik, antara lain sebagai antioksidan. Flavonol terdiri
atas quersetin yang umumnya merupakan komponen terbanyak dalam tanaman,
kaempferol, dan myrisetin. Flavone yang terdiri atas apigenin dan luteolin, hanya
ditemukan beberapa sayuran tertentu, contohnya Pilea melastomoides (luteolin),
dan Ocimum americanum L. (apigenin) (Andarwulan et al. 2010). Dalam sayuran,
quersetin glikosida merupakan komponen yang paling menonjol. Namun, terdapat
pula glikosida dari kaempferol, luteolin, dan apigenin (Hertog et al. 1992).
7
Karbohidrat
Glikolisis
Asam piruvat
Eritrosa 4-fosfat
Asetil Koenzim A
Lintasan
Asam Shikimat
Lintasan
Asam Malonat
Fenilalanin
4- koumaril
Koenzim A
Asam sinamat
Malonil
Koenzim A
+
Lintasan Fenilpropanoid
Chalcone
Flavonoid
Klas Flavon :
Apigenin, Luteolin
Klas Flavanon :
Naringenin, Delpinidin
Klas Flavonol :
Kuersetin,
kaemferol,
myrisetin
Klas Flavan-4-ol :
Taxifolin
Klas Isoflavon :
Genistein, Daidzein
Dihidroflavonol
Isoflavanon
L-sianidin
Klas Flavanol :
Katekin, Epikatekin
Klas Antosianidin :
Delpenidin, Sianidin
Antosianin
Gambar 2 Skema sederhana lintasan biosintesis flavonoid. Modifikasi dari Shirley
(2001), Lakhanpal dan Rai (2007) dan Mohammed (2009)
8
Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, menghambat banyak
reaksi oksidasi, baik secara enzimatis maupun non enzimatis. Flavonoid bertindak
sebagai penampung radikal hidroksi dan superoksida yang baik dengan demikian
dapat melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Aktivitas
antioksidannya dapat menjelaskan alasan flavonoid tertentu dapat menjadi
komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara tradisional untuk mengobati
gangguan fungsi hati (Robinson 1995). Flavonoid dikenal sebagai antioksidan dan
memberikan daya tarik sejumlah peneliti untuk meneliti flavonoid sebagai obat
yang berpotensi mengobati penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas.
Waktu Panen
Tahapan pemanenan merupakan salah satu faktor yang sangat penting
diperhatikan pada budidaya tanaman obat. Penanganan panen harus dilakukan
secara benar karena akan berpengaruh terhadap mutu dan fitokimia yang
terkandung di dalam tanaman obat. Periode panen merupakan waktu yang
diperlukan untuk memanen hasil tanaman terhitung mulai dari tanaman tersebut
ditanam. Waktu panen tanaman obat tidak seluruhnya tergantung pada umur
tanaman, tetapi didasarkan pada pemanfaatannya (Syukur dan Hernani 2002).
Tempuyung merupakan jenis herba tahunan. Awal pertumbuhan vegetatif
tempuyung dengan membentuk roset yaitu susunan daun yang melingkar dan
tumbuh dekat permukaan tanah karena batang yang tumbuh pendek. Bentuk roset
dapat membantu dalam menyediakan permukaan yang luas bagi tempuyung untuk
melakukan fotosintesis (Lemna dan Messersmith 1990). Pertumbuhan daun roset
tempuyung berkisar 12-14 helai, setelah itu akan muncul batang diikuti munculnya
bunga (Mc Williams, 2004) selanjutnya pada pemanjangan akan muncul daun muda
di sekitar batang (Wardani dan Melati 2014). Proses perkembangan tempuyung saat
memasuki fase generatif diikuti dengan hilangya daun roset yang berada di atas
permukaan tanah (Reaume, 2010). Lemna dan Messersmith (1990) menjelaskan
bahwa kehilangan bobot pada struktur daun bagian bawah tempuyung berkaitan
erat dengan alokasi cadangan ke bagian atas yang lebih muda kemudian berkaitan
dengan peningkatan respirasi akar tua dan perkembangan akar. Perbedaan waktu
optimum perkembangan daun bawah (roset) dan daun atas (batang) menjadi
permasalahan khusus dalam penanganan dan penentuan waktu panen tempuyung.
Telah banyak dilaporkan berbagai hasil penelitian tentang perlakuan panen
terhadap produksi tanaman. Hasil penelitian Li dan Strid (2005) menunjukkan
bahwa pemanenan dengan cara pemangkasan pucuk pada tanaman Arabidopsis
thaliana dapat meningkatkan kandungan antosianin. Antosianin meningkat secara
linear antara 2-8 hari setelah pemangkasan yang menyebabkan tanaman berubah
menjadi ungu. Hal ini diduga karena pemangkasan dapat menginduksi ekspresi gen
CHS yang mengkode enzim chalcone synthase. Enzim calchone sintase adalah
enzim yang berperan dalam biosintesis antosianin. Interval panen diduga juga dapat
mempengaruhi produksi dan kandungan protein daun. Manyawu et al. (2003)
melaporkan kandungan protein pada Napier grass mengalami penurunan dari 204
g/kg BK menjadi 92 g/kg BK ketika interval panen diperpanjang dari 2 minggu
menjadi 8 minggu. Hal ini sejalan dengan penelitian Sanchez et al. (2000) yang
menunjukkan bahwa kandungan protein pada Cratylia argentea mengalami
penurunan dari 219 g/kg BK menjadi 185 g/kg BK ketika interval panen
9
diperpanjang dari 8 minggu menjadi 16 minggu. Interval waktu panen yang berbeda
mampu memberikan perbedaan produksi biomassa dan kandungan bioaktif daun.
Hasil penelitian Moraes et al. (2013) pada tanaman Stevia rebaudiana
menunjukkan bahwa pemanenan daun dengan perlakuan interval waktu 3 kali
dalam satu musim mampu meningkatkan produksi biomassa daun dan kandungan
stevioside dibandingkan dengan panen sekali di akhir musim tanam.
Hasil penelitian terbaru Mawalagedera (2014) pada tanaman Sonchus
oleraceus tentang pengaruh umur panen dan ekotipe tanaman terhadap kandungan
fenol dan aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa umur panen menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap perubahan kandungan fenol dan akitivitas
antioksidan dibandingkan perbedaan ekotipe tanaman. Tanaman Sonchus oleraceus
yang dipanen pada umur 14 minggu (fase generatif) lebih tinggi kandungan total
fenol dan aktivitas antioksidan dibandingkan tanaman yang dipanen umur 10
minggu (fase vegetatif).
Perbandingan Pupuk Organik dengan Anorganik
Pengertian pupuk
Pupuk adalah berbagai bahan, organik atau anorganik, alami atau sintetis,
yang memasok nutrisi bagi tanaman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman
dan hasil yang optimal (Jones 2012). Pemerintah melalui peraturan No. 8 tahun
2001 juga mendefinisikan pupuk sebagai bahan kimia atau organisme yang
berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung
atau tidak langsung (Kemenkumham 2014).
Pengertian pupuk organik
Selanjutnya Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006
menjelaskan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau
seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan
yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan
menyuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
(Kementan RI 2011).
Pupuk organik yang umumnya digunakan yaitu berasal dari kotoran hewan
ternak. Manfaat dari penggunaan pupuk kandang telah lama diketahui bagi
pertumbuhan tanaman pangan, ornamental, maupun perkebunan. Perhatian khusus
dalam pemanfaatan pupuk kandang adalah kadar haranya yang sangat bervariasi.
Komposisi hara ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis dan umur
hewan, jenis makanannya, alas kandang, dan penyimpanan serta pengolahan.
Kandungan hara dalam pupuk kandang sangat menentukan kualitas dari pupuk
kandang tersebut.
Pengertian pupuk anorganik
Pupuk anorganik (atau mineral) adalah bahan yang ditambang dari deposit
mineral dengan sedikit pengolahan (misalnya, kapur, kalium, atau batuan fosfat),
atau diproduksi melalui proses industri kimia (misalnya, urea) (Jones 2012). Pupuk
anorganik makro merupakan jenis yang umumnya digunakan, yaitu pupuk alternatif
yang merupakan sumber hara N, P, dan atau K dengan kandungan N, P2O5 dan K2O
masing-masing minimal 10%. Untuk pupuk majemuk sebagai sumber hara lebih
10
dari satu unsur (NPK, NK, NP), harus mengandung unsur minimal 10% berupa N,
P2O5, maupun K2O untuk masing-masing unsur (Firmansyah 2011).
Jones (2012) menjelaskan bahwa pupuk anorganik bervariasi dalam
penampilan tergantung pada proses pembuatan. Partikel dapat dari berbagai ukuran
dan bentuk (kristal, pelet, butiran, atau debu) dan nilai pupuk dapat mencakup
pupuk tunggal (hanya mengandung satu unsur hara), pupuk majemuk (mengandung
dua atau lebih unsur hara dan umumnya digabungkan dalam campuran homogen
oleh interaksi kimia) dan campuran pupuk yaitu pencampuran pupuk mineral secara
fisik untuk mendapatkan rasio nutrisi yang diinginkan.
Perbandingan pupuk organik dengan anorganik
Perbedaan dasar pupuk organik dengan anorganik yaitu kandungan karbon
atau lebih spesifik pada ikatan karbon-hidrogen yang lebih tinggi pada pupuk
organik. Selanjutnya dijelaskan bahwa ikatan karbon-hidrogen yang tinggi
menyebabkan pelepasan ion nutrisi pupuk organik lambat dan menekan terjadinya
pencucian dibandingkan pupuk anorganik yang pelepasan nutrisi yang cepat dan
mudah terjadi pencucian (Jones 2012).
Penggunaan pupuk organik secara berkesinambungan akan meningkatkan
kualitas dan efektivitas bahan organik tanah, mengurangi erosi, meningkatkan
infiltrasi dan aerasi, aktivitas biologis tanah yang lebih tinggi sebagai bahan terurai
dalam tanah, dan peningkatan hasil setelah beberapa tahun aplikasi (efek residual).
Sedangkan penggunaan pupuk anorganik di sisi lain dapat segera memasok nutrisi
yang dibutuhkan oleh tanaman. Pemupukan dasar dapat menyediakan unsur hara
untuk pertumbuhan dan perkembangan awal tanaman dan pemupukan lanjutan
dapat dilakukan dengan membagi dosis pupuk berdasarkan tahapan pertumbuhan
dan apabila terdapat gejala defisiensi (Jones 2012).
Terdapat faktor yang membatasi ketersediaan pupuk organik dan anorganik
Pupuk organik
a) Umumnya dibutuhkan dalam jumlah yang banyak untuk mendapatkan hasil
yang diinnginkan.
b) Investasi tambahan tenaga kerja panen (pupuk hijau) dan persiapan (kotoran
ternak)
c) Ketersediaan bahan yang tidak stabil.
d) Tidak tersedianya benih untuk pupuk hijau adalah salah satu keterbatasan
utama.
Pupuk anorganik
a) Membutuhkan kemampuan finansial yang tinggi
b) Ketersediaan juga menjadi kendala, terutama di daerah terpencil.
c) Penerapan dilakukan secara musiman
d) Berisiko tinggi pada curah hujan rendah dan resiko yang lebih tinggi pada
daerah curah hujan tinggi
Untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil yang optimum, nutrisi harus
tersedia dalam jumlah yang tepat, proporsional dan dalam bentuk yang dapat
digunakan pada saat yang tepat dan untuk memenuhi persyaratan tersebut maka
dibutuhkan peran pupuk kimia (anorganik) maupun pupuk kandang (Ibrahim et al.
2013)
11
Perbandingan Produksi dan
Dibandingkan Konvensional
Kandungan
Bioaktif
Produk Organik
Perbandingan produksi dan kandungan nutrisi antara produk tanaman organik
dengan konvensional telah banyak dilaporkan sejak awal tahun 1980 hingga 2007
dengan hasil yang beragam (Benbrook et al. 2008). Awalnya pola produksi
pertanian difokuskan pada kuantitas produksi tanaman untuk pasar komersil. Oleh
karena itu, pupuk anorganik umumnya digunakan sebagai praktik pertanian untuk
meningkatkan produksi. Namun saat ini kesadaran konsumen terhadap kesehatan
semakin meningkat terutama dengan mengoptimalkan komposisi gizi dengan
meminimalkan residu kimia bahan pangan sehingga diperlukan praktek budidaya
tanaman yang ramah lingkungan (Ibrahim et al. 2013).
Seufert et al. (2012) menjelaskan bahwa produktivitas pertanian organik di
negara bekembang dan negara maju rata-rata 25% lebih rendah daripada pertanian
konvensional. Selanjutnya untuk jenis buah-buahan (contoh: stroberi dan apel),
rata-rata produktivitas buah organik adalah 3% lebih rendah daripada buah-buahan
hasil perkebunan konvensional. Sayur-sayuran lebih tinggi perbedaan
produktivitasnya yaitu 33%. Penelitian lain dilakukan oleh Sukristiyonubowo et al.
(2011) di tiga kecamatan di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah pada periode tahun
2001-2008. Ketiga kecamatan tersebut menerapkan tiga sistem bertani padi yang
berbeda: Anorganik, semi organik dan organik. Peneliti menyimpulkan bahwa pada
tahap awal produktivitas sawah yang menerapkan sistem pertanian organik dan
semi organik lebih rendah dibandingkan produktivitas sawah anorganik; sawah
organik dan semi organik menghasilkan 1-2 ton.ha-1 untuk setiap musim tanam,
sedangkan sawah anorganik mampu menghasilkan 6 ton.ha -1 untuk setiap musim
tanam. Tetapi dalam beberapa periode selanjutnya, produktivitas sawah anorganik
cenderung konstan, sebaliknya sawah organik dan semi organik terus meningkat
dan di tahun 2008 produktivitas dari kedua sistem tersebut mampu bersaing dengan
produktivitas pertanian padi anorganik.
Hasil studi komparatif untuk membandingkan 4 jenis tanaman obat yang
dibudidayakan secara organik dengan inorganik (konvensional) menunjukkan
bahwa tanaman yang dibudidaya secara organik menghasilkan lebih banyak
komponen yang bermanfaat bagi kesehatan diantaranya adalah magnesium dan
kalsium (Kumari et al. 2012). Selanjutnya Hakkinen dan Torronen (2001)
melaporkan bahwa kultivar stroberi yang tumbuh pada kondisi organik
menunjukkan kandungan fenol yang lebih tinggi dibandingkan kultivar yang
tumbuh secara anorganik.
Perbedaan jenis pupuk telah banyak dilaporkan sebagai faktor yang paling
mempengaruhi kualitas fitokimia dan nutrisi tanaman. Ibrahim et al. (2013)
melaporkan hasil penelitian tentang perbandingan kandungan fenolik, flavonoid,
kandungan gula terlarut total serta aktivitas antioksidan tanaman kacip Fatimah
yang ditanam secara organik (pupuk kandang ayam) dengan penanaman secara
konvensional (NPK majemuk). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
kandungan fenolik (mg asam galat.g-1 bk), total flavonoid (mg rutin.g-1 bobot
kering), vitamin C, dan aktivitas antioksidan masing- masing 21%, 46%, 23% dan
13% lebih tinggi pada penanaman organik dibandingkan penanaman konvensional.
12
3 PRODUKSI DAUN DAN KADAR FLAVONOID TEMPUYUNG
(Sonchus arvensis L.) LIAR PADA FASE PERTUMBUHAN
YANG BERBEDA
ABSTRAK
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) merupakan salah satu jenis tumbuhan obat
Indonesia yang umumnya digunakan sebagai peluruh kencing (diuretik),
penghancur batu (litotripik) dan menghambat kristalisasi urin (antiurolotiasis).
Penelitian ini mempelajari produksi dan kandungan flavonoid tempuyung liar
sebagai informasi awal untuk proses budidaya tempuyung. Pengamatan di lapangan
dilakukan terhadap karakter morfologi tempuyung kemudian dilakukan
pengambilan sampel untuk diukur biomassa dan kandungan flavonoid. Penelitian
dan pengambilan sampel telah dilaksanakan pada dua waktu yang berbeda yaitu
pada bulan Mei 2015 dan September 2015. Sampel tempuyung liar diambil dari
halaman sekitar Institut Pertanian Bogor (6 o33’23.0”LS 106o43’54.5”BT),
Darmaga, Bogor, Indonesia. Sampel tempuyung dikelompokkan dalam tiga fase
pertumbuhan yaitu fase vegetatif (awal pemanjangan batang), kedua yaitu fase
generatif awal (terbentuk kuncup bunga) dan terakhir yaitu fase generatif
maksimum (setelah bunga mekar). Setiap fase pertumbuhan diwakili oleh lima
tumbuhan sebagai ulangan. Data yang diperoleh dianalisis untuk membandingkan
hasil antar fase pertumbuhan kemudian dilanjutkan dengan uji korelasi Pearson
untuk melihat hubungan antar peubah pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pertumbuhan maksimum daun bawah tempuyung ditemukan pada fase
vegetatif, sedangkan pertumbuhan maksimum daun atas ditemukan pada fase
generatif awal. Kadar flavonoid total tertinggi ditemukan pada fase generatif
maksimum.
Kata kunci: karakter morfologi, kuersetin, luas daun, luteolin
LEAF PRODUCTION AND FLAVONOID CONTENT OF PERENNIAL
SOW-THISTLE (Sonchus arvensis L.) AT DIFFERENT GROWTH
STAGES
ABSTRACT
Perennial sow-thistle (Sonchus arvensis L.) is one of medicinal plants in
Indonesia that is commonly used as diuretic, lithotripic and antiurolithic. This
research studied the production and flavonoid content of perennial sow-thistle
growth as wild plants, as a basic information for S.arvensis cultivation. In situ
observation on morphological characters then measurement of the plant biomass
were conducted. The research was conducted with two sampling times i.e in May
2015 and September 2015. Wild plant samples of S.arvensis were taken fromopen
field Bogor Agricultural University (6 o33’23.0”SL, 106043’54.5”EL), Bogor,
Indonesia. Plant materials were harvested at three phenological stages i.e.
vegetative stage (bolting phase), the second stage was early generative stage (the
flower buds begin to form) and the last one was maximum generative stage (full
flowering). Five plants as replications were used for each stage of growth. Data
13
were analyzed to compare the results between the phases of growth followed by the
Pearson correlation tests to determine the relationship between variables. The
results showed that maximum growth of basal leaves was found at vegetative stage,
while maximum growth of stem leaves was at early generative stage. The highest
flavonoid content of wild perennial sow-thistle was found at maximum generative
stage.
Keyword: leaf area, luteolin, morphological character, quercetin
Pendahuluan
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) merupakan salah satu tumbuhan obat yang
biasa digunakan untuk mengatasi diuretik, lithotripik dan antiurolitik. Sonchus
arvensis juga mempunyai peran dalam kesehatan manusia melalui proses
detoksifikasi dan melancarkan sirkulasi darah manusia (Khan 2012), memiliki nilai
yang tinggi, bergizi dan telah digunakan untuk pengobatan asma, batuk, untuk
menenangkan saraf, memiliki sifat insektisida dan aktivitas anti-inflamasi (Xia dan
Liang 2010). Ekstrak daun S.arvensis mengandung senyawa flavonoid dan fenolik
yang dapat digunakan sebagai sumber antioksidan yang efektif, aman dan dapat
secara komersial dapat dikembangkan sebagai obat (Khan 2012).
Tempuyung adalah tumbuhan asli Eurasia dan kemudian tersebar luas ke area
baru termasuk di Asia bagian barat (Lemna dan Messersmith 1990). Tempuyung
belum banyak dibudidayakan, tumbuh liar di daerah pada ketinggian 50-1650 m di
atas permukaan laut (dpl), di tempat terbuka, atau sedikit ternaungi, dan di
pematang. Tumbuhan ini banyak ditemukan di daerah dibudidayakan, selokan,
padang rumput, daerah sampah, padang rumput, pinggir jalan, pantai, di sepanjang
sungai, dan tepi danau (McWilliams 2004). Tempuyung merupakan salah satu jenis
gulma penting karena adanya keunikan dalam reproduksi vegetatif. Tempuyung
dapat bereproduksi dengan cepat melalui melalui akar (rizome) dan juga biji.
Tempuyung termasuk tipe tumbuhan C3 dan mampu beradaptasi pada berbagai
jenis tanah. Tempuyung mampu beradaptasi dengan berbagai jenis tanah dan
umumnya ditemukan pada tanah dengan struktur lempung dan sulit berkembang
pada daerah kering bertekstur pasir (Lemna dan Messersmith 1990).
Hakansson dan Walgren (1972) menjelaskan bahwa pada awal fase vegetatif,
daun tumbuh melingkar di atas permukaan tanah (roset) yang memungkinkan
peningkatan area fotosintesis tempuyung. Selanjutnya dijelaskan bahwa tempuyung
akan mudah berbunga dan menghasilkan biji pada kondisi lingkungan yang
menguntungkan dimana cahaya, nutrisi serta ketersediaan air tercukupi. Vanhala et
al. (2006) menjelaskan akar tempuyung mulai menebal saat terbentuk 5-7 daun dan
pada saat ini tanaman ini dianggap telah mencapai titik kompensasi yaitu tingkat
minimum perakaran.
Tempuyung umumnya tumbuh liar sebagai gulma dan ditemukan tersebar
pada berbagai habitat dan pemenuhan bahan baku simplisia tempuyung umumnya
diperoleh dari tumbuhan liar. Jika kebutuhan terhadap bahan baku terus meningkat,
tempuyung akan semakin sulit didapatkan di masa yang akan datang. Oleh sebab
i
UNTUK PRODUKSI FLAVONOID TEMPUYUNG
(Sonchus arvensis L.)
FARDYANSJAH HASAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA 1
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penentuan Fase
Pertumbuhan dan Waktu Panen Untuk Produksi Flavonoid Tempuyung (Sonchus
arvensis L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Fardyansjah Hasan
A252140231
RINGKASAN
FARDYANSJAH HASAN. Penentuan Fase Pertumbuhan dan Waktu Panen Untuk
Produksi Flavonoid Tempuyung (Sonchus arvensis L.). Dibimbing oleh SANDRA
ARIFIN AZIZ dan MAYA MELATI.
Tempuyung secara tradisional telah digunakan sebagai tumbuhan obat karena
diketahui mengandung metabolit sekunder dengan beberapa fungsi utama yaitu
sebagai antioksidan dan peluruh batu ginjal. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mempelajari produksi dan kadar flavonoid tempuyung liar pada beberapa fase
pertumbuhan, kemudian menentukan waktu panen yang tepat untuk produksi
biomassa dan kadar flavonoid secara organik dan konvensional serta
membandingkan hasil penanaman organik dengan konvensional. Penelitian telah
dilaksanakan pada bulan Mei sampai Desember 2015, penelitian pertama
menggunakan sampel tempuyung liar yang ditemukan di halaman sekitar Institut
Pertanian Bogor (6o33’23.0”LS dan 106o43’54.5”BT) dan penelitian kedua
dilaksanakan di kebun percobaan IPB Cikarawang, Darmaga, Bogor (6o30 - 6o45’
LS dan 106o30’-106o45’ BT).
Penelitian pertama untuk mempelajari produksi dan kadar flavonoid
tempuyung liar sebagai informasi awal untuk proses budidaya tempuyung. Sampel
tempuyung dikelompokkan menjadi fase vegetatif (awal pemanjangan batang),
kedua yaitu fase generatif awal (terbentuk kuncup bunga) dan terakhir yaitu fase
generatif maksimum (setelah bunga mekar). Terdapat lima sampel tempuyung
sebagai ulangan untuk setiap fase pertumbuhan. Data yang diperoleh dianalisis
dengan uji t-Student dan uji korelasi Pearson. Penelitian kedua menentukan waktu
panen untuk peningkatan produksi daun dan kadar flavonoid tempuyung. Penelitian
terdiri atas dua percobaan terpisah yaitu organik dan konvensional yang masingmasing disusun menggunakan rancangan acak kelompok lengkap faktor tunggal
yaitu waktu panen. Terdapat 4 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali yaitu: (1)
Panen daun secara bertahap (daun bawah saat vegetatif) dan kemudian daun atas
dipanen saat membentuk kuncup bunga, (2) Panen daun secara bertahap (daun
bawah saat vegetatif) dan kemudian daun atas dipanen setelah bunga mekar, (3)
Panen daun bawah bersamaan dengan daun atas saat membentuk kuncup bunga, (4)
Panen daun bawah bersamaan dengan daun atas setelah bunga mekar. Data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (α=5%) dan pada pengaruh
yang berbeda nyata, dilakukan uji Duncan Multiple Range Test pada taraf nyata
5%. Uji t-Student (α=5%) juga dilakukan untuk membandingkan hasil percobaan
organik dan konvensional.
Hasil penelitian menunjukkan (1) Pertumbuhan maksimum daun bawah
tempuyung liar ditemukan pada fase vegetatif, sedangkan pertumbuhan maksimum
daun atas ditemukan pada fase generatif awal. Kadar flavonoid total tempuyung liar
tertinggi ditemukan pada fase generatif maksimum. (2) Panen daun bawah secara
bertahap dan kemudian panen daun atas setelah bunga mekar menghasilkan
biomassa daun atas tertinggi. Kadar flavonoid total tertinggi dihasilkan daun atas
pada perlakuan panen daun secara bersamaan pada percobaan organik dan
konvensional. (3) Tempuyung pada penanaman organik menghasilkan produksi
daun yang lebih tinggi, sebaliknya produksi flavonoid total tertinggi dihasilkan
penanaman konvensional dibandingkan penanaman organik.
Kata kunci : Kadar hara, kapasitas antioksidan, kuersetin, luas daun, luteolin
SUMMARY
FARDYANSJAH HASAN. Determination of Growth Stages and Harvest Time for
Flavonoid Production of Perennial Sow-thistle (Sonchus arvensis L.). Supervised
by SANDRA ARIFIN AZIZ and MAYA MELATI.
Sonchus arvensis L. has been traditionally used as a medicinal plant because
it contains secondary metabolites with several functions as antioxidant and has been
known to dissolve kidney stones. This research studied the production and
flavonoid content of perennial sow-thistle as wild plants at different growth stages;
to determine harvest time and flavonoids production of Perennial Sow-thistle with
organic and conventional experiments; and comparing organic with conventional
yield. The experiments were conducted in May 2015 until December 2015. The first
experiment used wild plants of S. arvensis that were taken from open field
(6o33’23.0”SL and 106o43’54.5”EL) and the second experiment was at IPB
Cikarawang Farm, Darmaga, Bogor (6o30 - 6o45’ SL and 106o30’-106o45’’EL).
The first experiment aimed to study the production and flavonoid content of
perennial sow-thistle growth as wild plants, as a basic information for S. arvensis
cultivation. Plant materials were harvested at three phenological stages i.e.
vegetative stage (bolting phase), the second stage was early generative stage (the
flower buds begin to form) and the last one was maximum generative stage (full
flowering). Five plants were used as replications. The data were analyzed with
Student t-test and Pearson correlation test. The second experiment was conducted
to determine harvest time and flavonoids production of Perennial Sow-thistle with
organic and conventional systems, then compare organic yield with conventional.
This study consisted of organic and conventional experiments. This study used
randomized block design single factor that is harvest time and 3 replications. There
were 4 harvest time treatments i.e. (1) Leaves harvested gradually i.e. basal leaves
at vegetative then stem leaves harvested at early generative stage, (2) Leaves
harvested gradually i.e. basal leaves at vegetative then stem leaves harvested at
maximum generative stage, (3) Basal leaves harvested together with stem leaves at
early generative stage (4) Basal leaves harvested together with stem leaves at
maximum generative stage. The data were analyzed using analysis of variance
followed by DMRT (Duncan Multiple Range Test) at α=5%.
The results showed that (1) Maximum growth of basal leaves was found at
vegetative stage, while maximum growth of stem leaves was at early generative
stage. The highest flavonoid content of wild perennial sow-thistle was found at
maximum generative stage. (2) Basal leaves were harvested at vegetative stage
then stem leaves harvested at maximum generative stage produced the highest dry
weight of stem leaves. Total flavonoids content were found highest in stem leaf
when basal leaves harvested together with the stem leaves at budding and flowering
time for both conventional and organic system. (3) Growth of S. arvensis with
organic culture was better than that of conventional one, on the contrary total
flavonoid content was higher from conventional culture.
Keyword: Antioxidant capacity, leaf size, luteolin, morphological character,
nutrients content
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENENTUAN FASE PERTUMBUHAN DAN WAKTU PANEN
UNTUK PRODUKSI FLAVONOID TEMPUYUNG
(Sonchus arvensis L.)
FARDYANSJAH HASAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir MA Chozin, MAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Penentuan Fase Pertumbuhan dan
Waktu Panen Untuk Produksi Flvonoid Tempuyung (Sonchus arvensis L.)” berhasil
diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini tidak mungkin
diselesaikan sendiri tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu
dengan penuh keikhlasan dan penghargaan yang tulus penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1
Ibu Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu
Dr Ir Maya Melati MS MSc selaku anggota yang telah banyak meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, arahan, saran, masukkan serta nasehat kepada
penulis. Selanjutnya kepada Bapak Prof Dr Ir MA Chozin, MAgr yang telah
meluangkan waktu untuk menjadi penguji di luar komisi, terima kasih atas kritik,
saran, masukkan yang konstruktif sehingga tesis ini menjadi lebih baik.
2 Ibu Dr Ir Maya Melati MS MSc selaku ketua program studi Agronomi dan
Hortikultura yang telah memfasilitasi urusan administrasi selama pendidikan.
3 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) sebagai sponsor Beasiswa Pra S2
Saintek 2013 serta BPPDN 2014-2016
4 Kepada keluarga besar, Ayahanda Abdullah Hasan dan Ibunda Salma Bala SPd
serta mertua Bapak Abd Imam Kasim dan Ibu Jeni Abas yang telah membantu,
memotivasi dan mendoakan keberhasilan penulis selama pendidikan S2.
5 Istri tercinta, Nurfitriana SE serta anakku tercinta Kirana Kamania Azzahra Hasan
atas pengertian, kesabaran, keikhlasan, pengorbanan, motivasi serta doanya
selama menjalani pendidikan S2.
6 Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Pra S2 Saintek 2013.
7 Rekan-rekan Pascasarjana AGH 2014 (Ahmad, Bu Tatik, Fandi, Soleh, Ari,
Halimah, Dwi, Rizka, Ririh, Evi, Bu Nani, Riana, Ayu, Devi, Ami, Deri, Pak Saijo,
Pak Dul, Bu Lina)
8 Bapak/Ibu teknisi laboratorim AGH, Biofarmaka, teknisi lapang yang telah
banyak membantu selama penelitian (Bu Ismi, Pak Joko, Mbak Ela, Mbak Hana,
Pak Argani, Pak Sarta).
9 Teman-teman asrama Gorontalo Bogor terutama Rio Wando yang telah membantu
penulis selama melaksanakan penelitian.
10 Serta kepada sahabat yang tak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak
membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga segala bantuan, bimbingan, nasehat dan motivasi yang telah diberikan
kepada penulis senantiasa mendapat balasan yang setimpal dari Allah subhanahu wa
ta’ala.
Akhirnya, semoga penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua
kalangan dan berguna bagi yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2017
Fardyansjah Hasan
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN
1
1
2
3
3
3
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Botani Tempuyung
Fitokimia Tempuyung
Flavonoid
Waktu Panen
Perbandingan Pupuk Organik dengan Anorganik
Perbandingan Produksi dan Kandungan Bioaktif
Dibandingkan Konvensional
5
5
6
8
9
Produk
Organik
3 PRODUKSI DAUN DAN KADAR FLAVONOID TEMPUYUNG (Sonchus
arvensis L.) LIAR PADA FASE PERTUMBUHAN YANG BERBEDA
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
11
12
13
14
16
27
4 PENENTUAN WAKTU PANEN UNTUK PRODUKSI DAN KANDUNGAN
28
FLAVONOID TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.)
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
29
30
35
69
5 PEMBAHASAN UMUM
70
6 SIMPULAN
74
DAFTAR PUSTAKA
75
LAMPIRAN
82
RIWAYAT HIDUP
84
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Kriteria pengambilan sampel tempuyung liar
Kadar klorofil, karotenoid dan antosianin tempuyung pada beberapa
fase pertumbuhan
Kadar flavonoid tempuyung pada beberapa fase pertumbuhan
Koefisien korelasi kadar bioaktif dan biomassa daun tempuyung
Rekapitulasi hasil uji t-Student pengamatan Mei dengan pengamatan
September
Perlakuan waktu panen tempuyung
Umur tanaman berdasarkan fase pertumbuhan
Kondisi iklim setiap dua minggu selama penelitian
Hasil analisis kimia tanah pada kedua jenis lahan percobaan
Rekapitulasi hasil uji t-Student peubah pertumbuhan tempuyung
Rekapitulasi hasil sidik ragam dan uji t-Student peubah panen secara
organik dan konvensional
Rata- rata tinggi, panjang, lebar daun tempuyung pada waktu panen
yang berbeda
Rata-rata tebal dan jumlah daun tempuyung pada waktu panen yang
berbeda
Rata-rata luas daun tempuyung pada waktu panen yang berbeda
Rata-rata bobot basah daun tempuyung pada waktu panen yang berbeda
Rata-rata bobot kering daun tempuyung pada waktu panen yang
berbeda
Rata-rata bobot batang, bunga dan total tanaman pada waktu panen
yang berbeda
Rata-rata kadar klorofil total daun pada waktu panen yang berbeda
Hasil uji korelasi peubah produksi dan kadar bioaktif pada penanaman
organik
Hasil uji korelasi peubah produksi dan kadar bioaktif pada penanaman
konvensional
15
22
22
24
24
31
37
38
38
41
42
44
45
47
48
49
51
52
60
61
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Bagan alir penelitian penentuan waktu panen dan produksi flavonoid
tempuyung
Skema sederhana lintasan biosintesis flavonoid
Kondisi lokasi pengambilan sampel tempuyung liar
Keragaan tempuyung pada tiga fase pertumbuhan yang berbeda
Jumlah curah hujan (mm) dan rata- rata suhu udara (oC) di Kecamatan
Darmaga
Rata-rata tinggi dan jumlah daun tempuyung pada fase pertumbuhan
yang berbeda
Rata-rata luas daun terbesar tempuyung pada fase pertumbuhan yang
berbeda
Bobot basah dan bobot kering daun tempuyung pada fase pertumbuhan
yang berbeda
4
7
16
17
18
19
20
21
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Produksi flavonoid total tempuyung pada fase pertumbuhan yang
berbeda
Ilustrasi komponen panen daun tempuyung
Kondisi tanaman tempuyung pada awal pemanjangan batang
Keragaan tanaman tempuyung saat membentuk kuncup dan saat mekar
Perbandingan keragaan tanaman tempuyung pada umur 10 MST
Gejala serangan cendawan puccinia dan hama gangsir
Tinggi tanaman dan Jumlah daun tempuyung pada beberapa umur
pengamatan
Diameter tajuk tempuyung pada beberapa umur pengamatan
Laju tumbuh relatif tempuyung pada penanaman organik dan
konvensional
Laju asimilasi bersih tempuyung pada penanaman organik dan
konvensional
Potensi produksi daun per hektar pada waktu panen yang berbeda
Kadar antosianin daun pada waktu panen yang berbeda
Kadar hara nitrogen daun pada waktu panen yang berbeda
Kadar hara fosfor daun pada waktu panen yang berbeda
Kadar hara kalium daun pada waktu panen yang berbeda
Kadar flavonoid total daun pada waktu panen yang berbeda
Produksi flavonoid total pada waktu panen yang berbeda
Kadar luteolin daun tempuyung pada waktu panen yang berbeda
Kapasitas antioksidan daun pada waktu panen yang berbeda
Kondisi daun bawah pada fase generatif
setelah tempuyung
menghasilkan biji
Rata-rata jumlah daun dan bobot kering daun tempuyung liar dan
budidaya
Rata-rata kadar flavonoid total dan bobot kering daun tempuyung liar
dan budidaya
23
31
36
37
38
39
40
40
41
42
50
53
54
54
55
56
57
58
59
64
72
73
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
Analisis kadar klorofil, karotenoid dan antosianin (Sims dan Gamon
2002)
Persiapan contoh untuk analisis kadar total flavonoid, dan kapasitas
antioksidan
Analisis kadar flavonoid total (metode aluminium chloride colorimetric,
Chang et al. (2002) dengan sedikit modifikasi)
Analisis kapasitas antioksidan (metode radikal bebas stabil, 1,1diphenyl-2-picryl hydrazyl (DPPH) assay, modifikasi dari BrandWilliams et al. 1995)
Analisis kadar luteolin dan kuersetin (Hertog et al. 1992)
Riwayat hidup
82
82
82
83
83
84
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan obat tradisional di Indonesia merupakan bagian dari budaya
bangsa dan banyak digunakan masyarakat sejak berabad-abad yang lalu, namun
sampai saat ini masih belum dimanfaatkan dengan baik. Hal ini karena masih
langkanya ketersediaan bahan dan belum berkembangnya pengetahuan tentang
standar teknis budidaya untuk produksi yang optimal. Pemerintah telah menetapkan
66 jenis tanaman obat yang menjadi komoditas binaan dan salah satu dari tanaman
obat tersebut adalah tempuyung (Sonchus arvensis L.) (Direktorat Jenderal
Hortikultura 2012). Dalam program jangka pendek pemerintah tentang saintifikasi
jamu tahun 2011, telah ditetapkan 15 jenis tanaman obat yang sangat dibutuhkan
dan salah satunya adalah tempuyung (Januwati 2012).
Sonchus arvensis L. atau yang lebih dikenal dengan tempuyung adalah salah
satu jenis tumbuhan obat yang telah diketahui dan digunakan masyarakat sebagai
penghancur batu ginjal (Budiharto et al. 2001). Hasil penelitian Widyastuti (2010)
dan Khan (2012) menunjukkan bahwa tempuyung mengandung senyawa flavonoid
dan fenol yang berperan sebagai antioksidan. Mekanisme pelarutan batu ginjal
diduga melalui pembentukan komplek antara 2 senyawa flavonoid daun tempuyung
dengan kalsium yang menyusun batu ginjal (Katno dan Widyastuti 2004; Hidayati
et al. 2009). Tempuyung juga diketahui dan telah digunakan sebagai bahan obat
tradisional untuk pengobatan kanker, asma, batuk, dan untuk menenangkan saraf
(Xia dan Liang 2010). Hasil uji toksisitas juga menjelaskan bahwa sediaan bahan
simplisia daun tempuyung aman dikonsumsi manusia (Budiharto et al. 2001).
Ekstrak daun tempuyung dapat digunakan sebagai sumber antioksidan yang efektif,
aman dan secara komersial dapat dikembangkan sebagai obat (Khan 2012).
Tempuyung umumnya ditemukan sebagai gulma, meskipun demikian
beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tempuyung dapat ditanam dan
berpotensi untuk dikembangkan. Pertumbuhan dan hasil tempuyung dapat
ditingkatkan dengan menambahkan pupuk organik serta pupuk N dan K di lahan
marjinal (Surat et al. 2008), pemupukan NPK (Nurhayati et al. 2013) atau
pemberian pupuk kandang kambing (Wardani dan Melati 2014) dan pupuk kandang
sapi serta arang sekam (Gatari dan Melati 2014).
Usaha untuk meningkatkan produksi simplisia tempuyung perlu
memperhatikan karakteristik pertumbuhan tempuyung karena terdapat perbedaan
dengan tanaman obat lainnya. Lemna dan Messersmith (1990) menjelaskan bahwa
daun tempuyung tumbuh dengan roset yaitu susunan daun yang melingkar dan
tumbuh dekat permukaan tanah karena batang yang tumbuh pendek dan selanjutnya
setelah jumlah daun 12-14 helai, terjadi pemanjangan batang diikuti munculnya
bunga. Wardani dan Melati (2014) menjelaskan bahwa saat tempuyung akan
memasuki fase generatif, terjadi pemanjangan batang yang diikuti dengan
munculnya daun-daun muda pada batang tersebut. Siswanto et al. (2004)
menjelaskan bahwa waktu panen yang umumnya dilakukan yaitu saat tanaman
mulai membentuk kuncup bunga dengan cara memangkas seluruh bagian tajuk
tanaman. Permasalahan yang muncul adalah terdapat perbedaan waktu optimum
perkembangan daun bawah (roset) dan daun atas untuk dipanen. Oleh sebab itu
perlu adanya pemahaman tentang fase pertumbuhan ataupun waktu yang
2
dibutuhkan untuk mendapatkan biomassa dan kadar flavonoid daun bawah
maksimum yang tumbuh di permukaan tanah (roset) dan daun atas yang tumbuh
pada batang. Hal tersebut dibutuhkan dalam rangka mendukung pengadaan bahan
baku dalam pengembangan industri tanaman obat melalui penerapan teknologi
budidaya tempuyung yang baik dan benar (Good Agricultural Practices) dan
sebagai tambahan informasi untuk mempersiapkan Standard Operating Procedure
(SOP) budidaya tempuyung.
Budidaya secara organik menitikberatkan pada penggunaan bahan-bahan
alami misalnya pupuk kandang untuk mendukung pertumbuhan tanaman
sebaliknya budidaya konvensional identik dengan penggunaan bahan-bahan kimia
berupa pupuk anorganik dan penggunaan pestisida kimia sintetis untuk
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Penggunaan pupuk organik
maupun anorganik mempunyai efektivitas yang berbeda dalam mendukung
pertumbuhan tanaman. Pupuk organik diketahui dapat meningkatkan bahan organik
tanah, mengurangi erosi, meningkatkan infiltrasi dan aerasi serta meningkatkan
aktivitas biologis tanah yang berperan dalam mendukung pertumbuhan tanaman.
Pupuk organik membutuhkan proses dekomposisi agar tersedia bagi tanaman
sehingga lambat tersedia bagi tanaman. Pupuk anorganik berperan dalam
menyediakan nutrisi yang dapat langsung diserap tanaman dan dapat diaplikasikan
pada beberapa tahapan pertumbuhan sehingga mampu memberikan suplai nutrisi
yang cukup dan cepat selama pertumbuhan tanaman (Jones 2012). Selain itu
terdapat respon yang berbeda akibat pemupukan organik dan anorganik. Hasil
penelitian Ibrahim et al. (2013) pada tanaman kacip fatimah menunjukkan bahwa
pemupukan organik dapat meningkatkan kandungan fenolik, flavonoid dan
kandungan gula terlarut total dibandingkan dengan pemupukan anorganik.
Perumusan Masalah
Fungsi tempuyung (Sonchus arvensis L.) sebagai bahan obat herbal telah
banyak diketahui dan telah ditemukan kandungan fitokimia yang terkandung
didalamnya. Produk daun tempuyung telah dipasarkan dan umumnya berasal dari
industri rumah tangga dan sebagian produk industri terstandar. Bahan baku daun
yang diperoleh umumnya didapatkan dari tempuyung yang tumbuh liar sehingga
produksi yang dihasilkan masih belum optimal.
Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa peningkatan produksi biomassa
tempuyung dapat dilakukan melalui melalui proses budidaya. Aplikasi pupuk
organik, anorganik, pengaturan jarak tanam mampu meningkatkan produksi
biomassa dan kandungan flavonoidnya. Semua aspek dalam proses budidaya harus
diperhatikan untuk memaksimalkan produksi daun dalam rangka mempersiapkan
prosedur standar teknis budidaya tempuyung. Salah satu aspek penting yang harus
diperhatikan adalah proses panen daun tempuyung karena sampai saat ini waktu
optimum untuk panen daun belum diketahui dengan jelas. Wardani dan Melati
(2014) melaporkan bahwa terdapat dua tahapan perkembangan daun yaitu daun tua
yang tumbuh di atas permukaan tanah dan daun muda yang tumbuh pada batang.
Selanjutnya Priyadi (2014) menjelaskan bahwa waktu panen yang umumnya
dilakukan yaitu sebelum bunga mekar dengan cara memotong pangkal batang (daun
bawah dan daun pada batang dipanen bersamaan). Masalah yang ditemukan adalah
terdapat perbedaan waktu optimum perkembangan daun bagian bawah dan daun
3
atas yang tumbuh pada batang. Lemna dan Messersmith (1990) menjelaskan bahwa
saat tempuyung memasuki fase generatif, daun tua yang tumbuh di atas permukaan
tanah mengalami senesen. Hal ini sangat penting diketahui karena fase
pertumbuhan juga mempengaruhi kandungan bioaktif tempuyung. Mawalagedera
(2014) melaporkan bahwa kadar fenolik, asam sinamat dan aktivitas antioksidan
berubah seiring perkembangan umur tanaman Sonchus oleraceus. Oleh sebab itu
dibutuhkan pengetahuan yang jelas mengenai fase pertumbuhan maupun waktu
panen yang tepat untuk mendapatkan produksi biomassa maupun kadar flavonoid
tempuyung yang optimal. Penelitian yang dilakukan diharapkan mampu
meningkatkan produksi daun dan kandungan flavonoid melalui pemanenan daun
pada waktu yang tepat.
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk :
1. Mempelajari produksi dan kadar flavonoid tempuyung liar pada beberapa fase
pertumbuhan.
2. Menentukan waktu panen yang tepat untuk produksi biomassa dan kadar
flavonoid secara organik dan konvensional.
3. Membandingkan produksi biomassa dan kadar flavonoid tempuyung yang
ditanam secara organik dan konvensional.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Terdapat perbedaan produksi daun dan kadar flavonoid tempuyung liar pada fase
pertumbuhan yang berbeda.
2. Waktu panen daun yang berbeda akan menyebabkan perbedaan produksi
biomassa dan kadar flavonoid tempuyung.
3. Terdapat perbedaan produksi biomassa dan kadar flavonoid tempuyung yang
ditanam secara organik dengan penanaman secara konvensional.
Ruang Lingkup Penelitian
Dua percobaan yang saling terkait diperlukan untuk menjawab tujuan dan
menguji kebenaran hipotesis yang telah diajukan. Oleh karena itu, penelitian ini
dibagi menjadi 2 percobaan yaitu (1) Produksi dan kadar flavonoid tempuyung liar
pada fase pertumbuhan yang berbeda; (2) Penentuan waktu panen daun untuk
produksi dan kadar flavonoid tempuyung secara organik dan konvensional.
Penelitian ini juga membandingkan hasil pengamatan produksi dan kadar flavonoid
pada penanaman organik dengan hasil pengamatan pada penanaman konvensional.
4
Tempuyung
(Sonchus arvensis L.)
Percobaan I
Tempuyung liar
Identifikasi pola pertumbuhan dan
produksi tempuyung
Percobaan II
Budidaya tempuyung
organik dan konvensional
Penentuan waktu panen untuk produksi
dan kadar flavonoid tempuyung
Pengambilan sampel tumbuhan pada
3 fase pertumbuhan :
1) Fase vegetatif sebelum
pemanjangan batang.
2) Fase generatif saat kuncup
bunga.
3) Fase generatif maksimum setelah
berbunga.
1) W1: Panen daun bawah saat vegetatif +
panen daun atas saat kuncup bunga
2) W2 : Panen daun bawah saat vegetatif +
panen daun atas setelah berbunga dan
menghasilkan biji
3) W3 : Panen daun bawah dan atas bersamaan
saat kuncup bunga
4) W4 : Panen daun bawah dan atas bersamaan
setelah berbunga dan menghasilkan biji
Output
Informasi produksi dan kadar
flavonoid daun pada fase
pertumbuhan yang berbeda
Output
Rekomendasi waktu panen untuk
produksi dan kadar flavonoid
Peranan waktu panen untuk produksi flavonoid
tempuyung
Gambar 1 Bagan alir penelitian penentuan fase pertumbuhan dan waktu panen
tempuyung
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Botani Tempuyung
Tempuyung adalah tumbuhan yang umumnya tersebar di hampir seluruh
daerah beriklim sedang (temperate) dan diduga berasal dari Eropa dan kemudian
menyebar ke daerah-daerah baru seperti bagian barat Asia. Tempuyung termasuk
tipe tanaman C3 dan beradaptasi pada berbagai jenis tanah tetapi umumnya tumbuh
pada tanah dengan pH netral atau sedikit basa dan tidak dapat tumbuh pada tanah
dengan kemasaman tinggi (Lemna dan Messersmith 1990). Daerah penyebaran
tempuyung di Indonesia yaitu di pulau Sumatra dan Jawa (Holm et al. 1997).
Tempuyung (Sonchus avensis L.) diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta,
Sub divisi
: Magnoliophyta (Angiospermae)
Kelas
: Magnoliopsida (Dicotyledonae)
Bangsa
: Asterales
Suku
: Asteraceae
Marga
: Sonchus
Jenis
: Sonchus avensis L.
(Integrated Taxonomic Information System 2010).
Tempuyung termasuk jenis herba menahun, tumbuh tegak dengan tinggi 0,6
m hingga 2 m, mengandung getah putih, dengan akar tunggang yang kuat. Batang
berongga dan berusuk. Daun tunggal, bagian bawah tumbuh berkumpul pada
pangkal membentuk roset akar. Helai daun berbentuk lanset atau lonjong, ujung
runcing, pangkal bentuk jantung, tepi berbagi menyirip tidak teratur, panjang 6-48
cm, lebar 3-12 cm, warnanya hijau muda. Daun yang keluar dari tangkai bunga
bentuknya lebih kecil dengan pangkal memeluk batang, letak berjauhan, berseling.
Perbungaan berbentuk bonggol yang tergabung dalam malai, bertangkai, mahkota
bentuk jarum, warnanya kuning cerah, lama kelamaan menjadi merah kecokelatan.
Buah kotak, berusuk lima, bentuknya memanjang sekitar 4 mm, pipih, berambut,
cokelat kekuningan (Reaume 2010).
Fitokimia Tempuyung
Penggunaan tempuyung sebagai bahan obat herbal telah banyak diketahui dan
telah ditemukan kandungan fitokimia yang terkandung didalamnya. Analisis bahan
bioaktif secara kualitatif menunjukkan bahwa serbuk daun tempuyung mengandung
alkaloid, flavonoid, tanin, triterpenoid, steroid dan saponin (Yuliarti et al. 2013).
Fitokimia merupakan senyawa-senyawa organik ditemukan dalam jumlah kecil
pada tumbuhan, namun mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap aktivitas
antioksidan. Fitokimia yang berperan cukup besar sebagai antioksidan adalah
golongan fenolik. Xu et al. (2008) melaporkan bahwa tempuyung mengandung
senyawa asam quinat yang merupakan turunan dari asam sinamat dalam kelompok
senyawa fenol. Hasil penelitian Khan (2012) menunjukkan bahwa ekstrak metanol
tempuyung mengandung total fenol 420 mg ekuivalen asam galam (GAE)/ g bobot
kering. Selanjutnya hasil uji beberapa senyawa polifenol yaitu orientin, hiperusida,
6
kuersetin, katekin, rutin, mierisitin dan kaemferol menunjukkan hasil masingmasing sebesar 0.871, 0.455, 0.780, 0.565, 0.457, 0.647, 0.947 µg.mg-1 berat
kering. Penetapan tempuyung sebagai bahan obat telah dilakukan dan menjadikan
luteolin sebagai senyawa identitas tempuyung dengan kadar 0.06% (Depkes RI,
2008).
Flavonoid
Flavonoid merupakan bentuk besar dari produk alami dan banyak ditemukan
di jaringan tanaman, terutama di dalam sel atau pada permukaan organ tumbuhan
(Stobiecki dan Kachlicki 2006). Flavonoid merupakan salah satu kelas dari
polifenol yang terdiri dari beberapa sub kelas seperti flavone, flavonol, flavanonol,
flavanon, flavan dan anthocyanin (Gambar 2). Kerangka dasar karbon pada
flavonoid merupakan kombinasi antara jalur sikhimat dan jalur asetat-malonat yang
merupakan dua jalur utama biosintesis cincin aromatik. Cincin A dari struktur
flavonoid berasal dari jalur poliketida (jalur asetat-malonat), yaitu kondensasi tiga
unit asetat atau malonat, sedangkan cincin B dan tiga atom karbon dari rantai propan
berasal dari jalur fenilpropanoid (Shirley 2001). Keberadaannya dalam daun
kemungkinan dipengaruhi oleh adanya proses fotosintesis sehingga daun muda
belum terlalu banyak mengandung flavonoid (Markham 1988).
Menurut Peterson dan Dwyer (2000), antosianin adalah flavonoid bermuatan
yang biasanya berikatan dengan gula. Antosianin bertanggung jawab atas sebagian
besar adanya warna merah, biru dan ungu pada buah-buahan dan sayur-sayuran.
Flavone umumnya ditemukan pada daun, sedangkan isoflavon seringkali
ditemukan pada kacang-kacangan (legume) terutama kacang kedelai. Isoflavon
berbeda dengan flavon hanya pada penempatan cincin benzene. Isoflavon
umumnya dikenal karena aktivitas estrogeniknya. Seperti halnya flavanon, flavonol
umumnya juga mengandung gula. Flavonoid yang paling mudah ditemukan
(ubiquitious) dalam makanan adalah quersetin yang termasuk dalam kelas flavonol.
Flavan adalah flavonoid yang mempunyai struktur kimia paling kompleks.
Beberapa flavonoid yang termasuk dalam kelas flavan adalah katekin, procyanidin,
theaflavin.
Kelompok flavonol dan flavone merupakan dua dari jenis flavonoid yang
paling banyak terdapat dalam tanaman sayur-sayuran (Robinson 1995). Oleh
karena itu pada penelitian ini dilakukan identifikasi pada salah satu jenis flavonoid
tersebut yaitu kelompok flavone. Selain karena alasan jumlah yang mayoritas,
berdasarkan penilitian-penelitian yang telah dilakukan, kedua jenis flavonoid ini
memiliki kemampuan yang baik, antara lain sebagai antioksidan. Flavonol terdiri
atas quersetin yang umumnya merupakan komponen terbanyak dalam tanaman,
kaempferol, dan myrisetin. Flavone yang terdiri atas apigenin dan luteolin, hanya
ditemukan beberapa sayuran tertentu, contohnya Pilea melastomoides (luteolin),
dan Ocimum americanum L. (apigenin) (Andarwulan et al. 2010). Dalam sayuran,
quersetin glikosida merupakan komponen yang paling menonjol. Namun, terdapat
pula glikosida dari kaempferol, luteolin, dan apigenin (Hertog et al. 1992).
7
Karbohidrat
Glikolisis
Asam piruvat
Eritrosa 4-fosfat
Asetil Koenzim A
Lintasan
Asam Shikimat
Lintasan
Asam Malonat
Fenilalanin
4- koumaril
Koenzim A
Asam sinamat
Malonil
Koenzim A
+
Lintasan Fenilpropanoid
Chalcone
Flavonoid
Klas Flavon :
Apigenin, Luteolin
Klas Flavanon :
Naringenin, Delpinidin
Klas Flavonol :
Kuersetin,
kaemferol,
myrisetin
Klas Flavan-4-ol :
Taxifolin
Klas Isoflavon :
Genistein, Daidzein
Dihidroflavonol
Isoflavanon
L-sianidin
Klas Flavanol :
Katekin, Epikatekin
Klas Antosianidin :
Delpenidin, Sianidin
Antosianin
Gambar 2 Skema sederhana lintasan biosintesis flavonoid. Modifikasi dari Shirley
(2001), Lakhanpal dan Rai (2007) dan Mohammed (2009)
8
Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, menghambat banyak
reaksi oksidasi, baik secara enzimatis maupun non enzimatis. Flavonoid bertindak
sebagai penampung radikal hidroksi dan superoksida yang baik dengan demikian
dapat melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Aktivitas
antioksidannya dapat menjelaskan alasan flavonoid tertentu dapat menjadi
komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara tradisional untuk mengobati
gangguan fungsi hati (Robinson 1995). Flavonoid dikenal sebagai antioksidan dan
memberikan daya tarik sejumlah peneliti untuk meneliti flavonoid sebagai obat
yang berpotensi mengobati penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas.
Waktu Panen
Tahapan pemanenan merupakan salah satu faktor yang sangat penting
diperhatikan pada budidaya tanaman obat. Penanganan panen harus dilakukan
secara benar karena akan berpengaruh terhadap mutu dan fitokimia yang
terkandung di dalam tanaman obat. Periode panen merupakan waktu yang
diperlukan untuk memanen hasil tanaman terhitung mulai dari tanaman tersebut
ditanam. Waktu panen tanaman obat tidak seluruhnya tergantung pada umur
tanaman, tetapi didasarkan pada pemanfaatannya (Syukur dan Hernani 2002).
Tempuyung merupakan jenis herba tahunan. Awal pertumbuhan vegetatif
tempuyung dengan membentuk roset yaitu susunan daun yang melingkar dan
tumbuh dekat permukaan tanah karena batang yang tumbuh pendek. Bentuk roset
dapat membantu dalam menyediakan permukaan yang luas bagi tempuyung untuk
melakukan fotosintesis (Lemna dan Messersmith 1990). Pertumbuhan daun roset
tempuyung berkisar 12-14 helai, setelah itu akan muncul batang diikuti munculnya
bunga (Mc Williams, 2004) selanjutnya pada pemanjangan akan muncul daun muda
di sekitar batang (Wardani dan Melati 2014). Proses perkembangan tempuyung saat
memasuki fase generatif diikuti dengan hilangya daun roset yang berada di atas
permukaan tanah (Reaume, 2010). Lemna dan Messersmith (1990) menjelaskan
bahwa kehilangan bobot pada struktur daun bagian bawah tempuyung berkaitan
erat dengan alokasi cadangan ke bagian atas yang lebih muda kemudian berkaitan
dengan peningkatan respirasi akar tua dan perkembangan akar. Perbedaan waktu
optimum perkembangan daun bawah (roset) dan daun atas (batang) menjadi
permasalahan khusus dalam penanganan dan penentuan waktu panen tempuyung.
Telah banyak dilaporkan berbagai hasil penelitian tentang perlakuan panen
terhadap produksi tanaman. Hasil penelitian Li dan Strid (2005) menunjukkan
bahwa pemanenan dengan cara pemangkasan pucuk pada tanaman Arabidopsis
thaliana dapat meningkatkan kandungan antosianin. Antosianin meningkat secara
linear antara 2-8 hari setelah pemangkasan yang menyebabkan tanaman berubah
menjadi ungu. Hal ini diduga karena pemangkasan dapat menginduksi ekspresi gen
CHS yang mengkode enzim chalcone synthase. Enzim calchone sintase adalah
enzim yang berperan dalam biosintesis antosianin. Interval panen diduga juga dapat
mempengaruhi produksi dan kandungan protein daun. Manyawu et al. (2003)
melaporkan kandungan protein pada Napier grass mengalami penurunan dari 204
g/kg BK menjadi 92 g/kg BK ketika interval panen diperpanjang dari 2 minggu
menjadi 8 minggu. Hal ini sejalan dengan penelitian Sanchez et al. (2000) yang
menunjukkan bahwa kandungan protein pada Cratylia argentea mengalami
penurunan dari 219 g/kg BK menjadi 185 g/kg BK ketika interval panen
9
diperpanjang dari 8 minggu menjadi 16 minggu. Interval waktu panen yang berbeda
mampu memberikan perbedaan produksi biomassa dan kandungan bioaktif daun.
Hasil penelitian Moraes et al. (2013) pada tanaman Stevia rebaudiana
menunjukkan bahwa pemanenan daun dengan perlakuan interval waktu 3 kali
dalam satu musim mampu meningkatkan produksi biomassa daun dan kandungan
stevioside dibandingkan dengan panen sekali di akhir musim tanam.
Hasil penelitian terbaru Mawalagedera (2014) pada tanaman Sonchus
oleraceus tentang pengaruh umur panen dan ekotipe tanaman terhadap kandungan
fenol dan aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa umur panen menunjukkan
pengaruh yang signifikan terhadap perubahan kandungan fenol dan akitivitas
antioksidan dibandingkan perbedaan ekotipe tanaman. Tanaman Sonchus oleraceus
yang dipanen pada umur 14 minggu (fase generatif) lebih tinggi kandungan total
fenol dan aktivitas antioksidan dibandingkan tanaman yang dipanen umur 10
minggu (fase vegetatif).
Perbandingan Pupuk Organik dengan Anorganik
Pengertian pupuk
Pupuk adalah berbagai bahan, organik atau anorganik, alami atau sintetis,
yang memasok nutrisi bagi tanaman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman
dan hasil yang optimal (Jones 2012). Pemerintah melalui peraturan No. 8 tahun
2001 juga mendefinisikan pupuk sebagai bahan kimia atau organisme yang
berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung
atau tidak langsung (Kemenkumham 2014).
Pengertian pupuk organik
Selanjutnya Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006
menjelaskan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau
seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan
yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan
menyuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
(Kementan RI 2011).
Pupuk organik yang umumnya digunakan yaitu berasal dari kotoran hewan
ternak. Manfaat dari penggunaan pupuk kandang telah lama diketahui bagi
pertumbuhan tanaman pangan, ornamental, maupun perkebunan. Perhatian khusus
dalam pemanfaatan pupuk kandang adalah kadar haranya yang sangat bervariasi.
Komposisi hara ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis dan umur
hewan, jenis makanannya, alas kandang, dan penyimpanan serta pengolahan.
Kandungan hara dalam pupuk kandang sangat menentukan kualitas dari pupuk
kandang tersebut.
Pengertian pupuk anorganik
Pupuk anorganik (atau mineral) adalah bahan yang ditambang dari deposit
mineral dengan sedikit pengolahan (misalnya, kapur, kalium, atau batuan fosfat),
atau diproduksi melalui proses industri kimia (misalnya, urea) (Jones 2012). Pupuk
anorganik makro merupakan jenis yang umumnya digunakan, yaitu pupuk alternatif
yang merupakan sumber hara N, P, dan atau K dengan kandungan N, P2O5 dan K2O
masing-masing minimal 10%. Untuk pupuk majemuk sebagai sumber hara lebih
10
dari satu unsur (NPK, NK, NP), harus mengandung unsur minimal 10% berupa N,
P2O5, maupun K2O untuk masing-masing unsur (Firmansyah 2011).
Jones (2012) menjelaskan bahwa pupuk anorganik bervariasi dalam
penampilan tergantung pada proses pembuatan. Partikel dapat dari berbagai ukuran
dan bentuk (kristal, pelet, butiran, atau debu) dan nilai pupuk dapat mencakup
pupuk tunggal (hanya mengandung satu unsur hara), pupuk majemuk (mengandung
dua atau lebih unsur hara dan umumnya digabungkan dalam campuran homogen
oleh interaksi kimia) dan campuran pupuk yaitu pencampuran pupuk mineral secara
fisik untuk mendapatkan rasio nutrisi yang diinginkan.
Perbandingan pupuk organik dengan anorganik
Perbedaan dasar pupuk organik dengan anorganik yaitu kandungan karbon
atau lebih spesifik pada ikatan karbon-hidrogen yang lebih tinggi pada pupuk
organik. Selanjutnya dijelaskan bahwa ikatan karbon-hidrogen yang tinggi
menyebabkan pelepasan ion nutrisi pupuk organik lambat dan menekan terjadinya
pencucian dibandingkan pupuk anorganik yang pelepasan nutrisi yang cepat dan
mudah terjadi pencucian (Jones 2012).
Penggunaan pupuk organik secara berkesinambungan akan meningkatkan
kualitas dan efektivitas bahan organik tanah, mengurangi erosi, meningkatkan
infiltrasi dan aerasi, aktivitas biologis tanah yang lebih tinggi sebagai bahan terurai
dalam tanah, dan peningkatan hasil setelah beberapa tahun aplikasi (efek residual).
Sedangkan penggunaan pupuk anorganik di sisi lain dapat segera memasok nutrisi
yang dibutuhkan oleh tanaman. Pemupukan dasar dapat menyediakan unsur hara
untuk pertumbuhan dan perkembangan awal tanaman dan pemupukan lanjutan
dapat dilakukan dengan membagi dosis pupuk berdasarkan tahapan pertumbuhan
dan apabila terdapat gejala defisiensi (Jones 2012).
Terdapat faktor yang membatasi ketersediaan pupuk organik dan anorganik
Pupuk organik
a) Umumnya dibutuhkan dalam jumlah yang banyak untuk mendapatkan hasil
yang diinnginkan.
b) Investasi tambahan tenaga kerja panen (pupuk hijau) dan persiapan (kotoran
ternak)
c) Ketersediaan bahan yang tidak stabil.
d) Tidak tersedianya benih untuk pupuk hijau adalah salah satu keterbatasan
utama.
Pupuk anorganik
a) Membutuhkan kemampuan finansial yang tinggi
b) Ketersediaan juga menjadi kendala, terutama di daerah terpencil.
c) Penerapan dilakukan secara musiman
d) Berisiko tinggi pada curah hujan rendah dan resiko yang lebih tinggi pada
daerah curah hujan tinggi
Untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil yang optimum, nutrisi harus
tersedia dalam jumlah yang tepat, proporsional dan dalam bentuk yang dapat
digunakan pada saat yang tepat dan untuk memenuhi persyaratan tersebut maka
dibutuhkan peran pupuk kimia (anorganik) maupun pupuk kandang (Ibrahim et al.
2013)
11
Perbandingan Produksi dan
Dibandingkan Konvensional
Kandungan
Bioaktif
Produk Organik
Perbandingan produksi dan kandungan nutrisi antara produk tanaman organik
dengan konvensional telah banyak dilaporkan sejak awal tahun 1980 hingga 2007
dengan hasil yang beragam (Benbrook et al. 2008). Awalnya pola produksi
pertanian difokuskan pada kuantitas produksi tanaman untuk pasar komersil. Oleh
karena itu, pupuk anorganik umumnya digunakan sebagai praktik pertanian untuk
meningkatkan produksi. Namun saat ini kesadaran konsumen terhadap kesehatan
semakin meningkat terutama dengan mengoptimalkan komposisi gizi dengan
meminimalkan residu kimia bahan pangan sehingga diperlukan praktek budidaya
tanaman yang ramah lingkungan (Ibrahim et al. 2013).
Seufert et al. (2012) menjelaskan bahwa produktivitas pertanian organik di
negara bekembang dan negara maju rata-rata 25% lebih rendah daripada pertanian
konvensional. Selanjutnya untuk jenis buah-buahan (contoh: stroberi dan apel),
rata-rata produktivitas buah organik adalah 3% lebih rendah daripada buah-buahan
hasil perkebunan konvensional. Sayur-sayuran lebih tinggi perbedaan
produktivitasnya yaitu 33%. Penelitian lain dilakukan oleh Sukristiyonubowo et al.
(2011) di tiga kecamatan di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah pada periode tahun
2001-2008. Ketiga kecamatan tersebut menerapkan tiga sistem bertani padi yang
berbeda: Anorganik, semi organik dan organik. Peneliti menyimpulkan bahwa pada
tahap awal produktivitas sawah yang menerapkan sistem pertanian organik dan
semi organik lebih rendah dibandingkan produktivitas sawah anorganik; sawah
organik dan semi organik menghasilkan 1-2 ton.ha-1 untuk setiap musim tanam,
sedangkan sawah anorganik mampu menghasilkan 6 ton.ha -1 untuk setiap musim
tanam. Tetapi dalam beberapa periode selanjutnya, produktivitas sawah anorganik
cenderung konstan, sebaliknya sawah organik dan semi organik terus meningkat
dan di tahun 2008 produktivitas dari kedua sistem tersebut mampu bersaing dengan
produktivitas pertanian padi anorganik.
Hasil studi komparatif untuk membandingkan 4 jenis tanaman obat yang
dibudidayakan secara organik dengan inorganik (konvensional) menunjukkan
bahwa tanaman yang dibudidaya secara organik menghasilkan lebih banyak
komponen yang bermanfaat bagi kesehatan diantaranya adalah magnesium dan
kalsium (Kumari et al. 2012). Selanjutnya Hakkinen dan Torronen (2001)
melaporkan bahwa kultivar stroberi yang tumbuh pada kondisi organik
menunjukkan kandungan fenol yang lebih tinggi dibandingkan kultivar yang
tumbuh secara anorganik.
Perbedaan jenis pupuk telah banyak dilaporkan sebagai faktor yang paling
mempengaruhi kualitas fitokimia dan nutrisi tanaman. Ibrahim et al. (2013)
melaporkan hasil penelitian tentang perbandingan kandungan fenolik, flavonoid,
kandungan gula terlarut total serta aktivitas antioksidan tanaman kacip Fatimah
yang ditanam secara organik (pupuk kandang ayam) dengan penanaman secara
konvensional (NPK majemuk). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
kandungan fenolik (mg asam galat.g-1 bk), total flavonoid (mg rutin.g-1 bobot
kering), vitamin C, dan aktivitas antioksidan masing- masing 21%, 46%, 23% dan
13% lebih tinggi pada penanaman organik dibandingkan penanaman konvensional.
12
3 PRODUKSI DAUN DAN KADAR FLAVONOID TEMPUYUNG
(Sonchus arvensis L.) LIAR PADA FASE PERTUMBUHAN
YANG BERBEDA
ABSTRAK
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) merupakan salah satu jenis tumbuhan obat
Indonesia yang umumnya digunakan sebagai peluruh kencing (diuretik),
penghancur batu (litotripik) dan menghambat kristalisasi urin (antiurolotiasis).
Penelitian ini mempelajari produksi dan kandungan flavonoid tempuyung liar
sebagai informasi awal untuk proses budidaya tempuyung. Pengamatan di lapangan
dilakukan terhadap karakter morfologi tempuyung kemudian dilakukan
pengambilan sampel untuk diukur biomassa dan kandungan flavonoid. Penelitian
dan pengambilan sampel telah dilaksanakan pada dua waktu yang berbeda yaitu
pada bulan Mei 2015 dan September 2015. Sampel tempuyung liar diambil dari
halaman sekitar Institut Pertanian Bogor (6 o33’23.0”LS 106o43’54.5”BT),
Darmaga, Bogor, Indonesia. Sampel tempuyung dikelompokkan dalam tiga fase
pertumbuhan yaitu fase vegetatif (awal pemanjangan batang), kedua yaitu fase
generatif awal (terbentuk kuncup bunga) dan terakhir yaitu fase generatif
maksimum (setelah bunga mekar). Setiap fase pertumbuhan diwakili oleh lima
tumbuhan sebagai ulangan. Data yang diperoleh dianalisis untuk membandingkan
hasil antar fase pertumbuhan kemudian dilanjutkan dengan uji korelasi Pearson
untuk melihat hubungan antar peubah pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pertumbuhan maksimum daun bawah tempuyung ditemukan pada fase
vegetatif, sedangkan pertumbuhan maksimum daun atas ditemukan pada fase
generatif awal. Kadar flavonoid total tertinggi ditemukan pada fase generatif
maksimum.
Kata kunci: karakter morfologi, kuersetin, luas daun, luteolin
LEAF PRODUCTION AND FLAVONOID CONTENT OF PERENNIAL
SOW-THISTLE (Sonchus arvensis L.) AT DIFFERENT GROWTH
STAGES
ABSTRACT
Perennial sow-thistle (Sonchus arvensis L.) is one of medicinal plants in
Indonesia that is commonly used as diuretic, lithotripic and antiurolithic. This
research studied the production and flavonoid content of perennial sow-thistle
growth as wild plants, as a basic information for S.arvensis cultivation. In situ
observation on morphological characters then measurement of the plant biomass
were conducted. The research was conducted with two sampling times i.e in May
2015 and September 2015. Wild plant samples of S.arvensis were taken fromopen
field Bogor Agricultural University (6 o33’23.0”SL, 106043’54.5”EL), Bogor,
Indonesia. Plant materials were harvested at three phenological stages i.e.
vegetative stage (bolting phase), the second stage was early generative stage (the
flower buds begin to form) and the last one was maximum generative stage (full
flowering). Five plants as replications were used for each stage of growth. Data
13
were analyzed to compare the results between the phases of growth followed by the
Pearson correlation tests to determine the relationship between variables. The
results showed that maximum growth of basal leaves was found at vegetative stage,
while maximum growth of stem leaves was at early generative stage. The highest
flavonoid content of wild perennial sow-thistle was found at maximum generative
stage.
Keyword: leaf area, luteolin, morphological character, quercetin
Pendahuluan
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) merupakan salah satu tumbuhan obat yang
biasa digunakan untuk mengatasi diuretik, lithotripik dan antiurolitik. Sonchus
arvensis juga mempunyai peran dalam kesehatan manusia melalui proses
detoksifikasi dan melancarkan sirkulasi darah manusia (Khan 2012), memiliki nilai
yang tinggi, bergizi dan telah digunakan untuk pengobatan asma, batuk, untuk
menenangkan saraf, memiliki sifat insektisida dan aktivitas anti-inflamasi (Xia dan
Liang 2010). Ekstrak daun S.arvensis mengandung senyawa flavonoid dan fenolik
yang dapat digunakan sebagai sumber antioksidan yang efektif, aman dan dapat
secara komersial dapat dikembangkan sebagai obat (Khan 2012).
Tempuyung adalah tumbuhan asli Eurasia dan kemudian tersebar luas ke area
baru termasuk di Asia bagian barat (Lemna dan Messersmith 1990). Tempuyung
belum banyak dibudidayakan, tumbuh liar di daerah pada ketinggian 50-1650 m di
atas permukaan laut (dpl), di tempat terbuka, atau sedikit ternaungi, dan di
pematang. Tumbuhan ini banyak ditemukan di daerah dibudidayakan, selokan,
padang rumput, daerah sampah, padang rumput, pinggir jalan, pantai, di sepanjang
sungai, dan tepi danau (McWilliams 2004). Tempuyung merupakan salah satu jenis
gulma penting karena adanya keunikan dalam reproduksi vegetatif. Tempuyung
dapat bereproduksi dengan cepat melalui melalui akar (rizome) dan juga biji.
Tempuyung termasuk tipe tumbuhan C3 dan mampu beradaptasi pada berbagai
jenis tanah. Tempuyung mampu beradaptasi dengan berbagai jenis tanah dan
umumnya ditemukan pada tanah dengan struktur lempung dan sulit berkembang
pada daerah kering bertekstur pasir (Lemna dan Messersmith 1990).
Hakansson dan Walgren (1972) menjelaskan bahwa pada awal fase vegetatif,
daun tumbuh melingkar di atas permukaan tanah (roset) yang memungkinkan
peningkatan area fotosintesis tempuyung. Selanjutnya dijelaskan bahwa tempuyung
akan mudah berbunga dan menghasilkan biji pada kondisi lingkungan yang
menguntungkan dimana cahaya, nutrisi serta ketersediaan air tercukupi. Vanhala et
al. (2006) menjelaskan akar tempuyung mulai menebal saat terbentuk 5-7 daun dan
pada saat ini tanaman ini dianggap telah mencapai titik kompensasi yaitu tingkat
minimum perakaran.
Tempuyung umumnya tumbuh liar sebagai gulma dan ditemukan tersebar
pada berbagai habitat dan pemenuhan bahan baku simplisia tempuyung umumnya
diperoleh dari tumbuhan liar. Jika kebutuhan terhadap bahan baku terus meningkat,
tempuyung akan semakin sulit didapatkan di masa yang akan datang. Oleh sebab
i