Microsoft Word fullpaper OK

Kepemimpinan Transformasional dan Employee Engagement
Endah Mujiasih
Ika Zenita Ratnaningsih
ariesta_ema@yahoo.com
Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
(disampaikan dalam Seminar Nasional Peran Psikologi Dalam Boundaryless Organization:
Strategi Mempersiapkan SDM Bertalenta, Semarang, 23-24 September 2011, dimuat dalam
proceeding, ISBN : 978-979-097-184-4)

ABSTRAK
Mendapatkan dan mempertahankan talenta terbaik menjadi salah satu tantangan organisasi
untuk bisa tumbuh, berkembang dan memiliki keunggulan kompetitif. Lebih dari sekedar
keterlibatan, komitmen, dan kepuasan kerja, karyawan saat ini diharapkan memiliki
engagement, yaitu sebuah kondisi psikologis yang positif dalam berkerja yang ditandai
dengan antusiasme, energi, extra effort dan semangat, serta kondisi motivasional yang
tercermin dalam keinginan yang tulus untuk berusaha mencapai tujuan organisasi.
Employee engagement merupakan kontributor penting dalam upaya retensi karyawan,
menjaga kepuasan pelanggan, dan pencapaian kinerja optimal suatu organisasi. Munculnya
employee engagement pada karyawan, tidak lepas kaitannya dengan bagaimana gaya
kepemimpinan seorang pimpinan atau atasan, karena pemimpin merupakan penggerak
employee engagement dalam kehidupan kerja. Gaya kepemimpinan yang sesuai, dan dapat

diterima karyawan akan berpengaruh positif terhadap keterikatan kerja karyawan. Gaya
kepemimpinan transformasional sebagai salah satu gaya kepemimpinan positif memiliki
empat karakteristik, yaitu pengaruh ideal, motivasi inspirasional, stimulasi intelektual, dan
perhatian individual. Karakteristik itu memiliki kekuatan untuk membangkitkan extra effort
bawahan untuk mendapatkan hasil kerja yang luar biasa. Hasil yang luar biasa tersebut,
disebabkan karena pemimpin transformasional mampu menumbuhkan harapan, optimisme,
dan efikasi diri karyawan melalui coaching, counselling, serta monitoring secara konsisten.
Kata Kunci : Kepemimpinan Transformasional, Employee Engagement.

PENDAHULUAN
Kemampuan suatu organisasi untuk bertahan dalam situasi yang tidak pasti sangat
dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang menjalankan roda organisasi. Bagaimana cara
mendapatkan, mengelola dan memperlakukan talenta terbaik dalam organisasi merupakan
salah satu kunci keberhasilan organisasi untuk dapat tumbuh, berkembang dan memiliki
keunggulan kompetitif. Perusahaan sebagai sebuah organisasi tidak hanya berkompetisi
menarik orang-orang bertalenta untuk bekerja di perusahaan mereka, namun karyawan
bertalenta patut untuk dipertahankan.
Berbagai cara dilakukan oleh beberapa organisasi untuk mempertahankan talenta
terbaiknya agar bertahan, memiliki motivasi kerja yang tinggi dan memberikan kontribusi
maksimal kepada organisasi. Salah satu hal yang membuat karyawan termotivasi

diantaranya adalah adanya kepuasan dalam bekerja. Karyawan yang merasa puas dengan
apa yang diperolehnya dari organisasi, akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan.
Pada perkembangannya, faktor kepuasan karyawan saja saat ini sudah dianggap
kurang memadai bagi organisasi untuk meningkatkan kinerja karyawan. Lebih dari sekedar
kepuasan kerja, karyawan diharapkan mempunyai engagement. Engagement adalah
sebuah perasaan positif dan memotivasi kinerja yang berhubungan dengan keadaan yang
ditandai dengan semangat, dedikasi, dan absorpsi. Semangat mengacu pada energi yang
kuat dan ketahanan mental saat bekerja. Dedikasi mengacu pada rasa kebermaknaan,
antusiasme, inspirasi, kebanggaan terhadap organisasi, dan tertantang oleh pekerjaan yang
dilakukan. Absorpsi ditandai dengan sepenuhnya terkonsentrasi dan merasa senang dalam
mengerjakan sebuah pekerjaan, sehingga merasa bahwa waktu berlalu cepat dan
terkadang memiliki kesulitan untuk memisahkan dari pekerjaan (Schaufeli, Salanova,
Gonzalez-Roma & Bakker, 2002). .
Seorang karyawan merasa engaged

ketika mereka menemukan makna dan

motivasi dalam pekerjaannya, menerima dukungan interpersonal yang positif, dan berada
pada lingkungan kerja yang berfungsi secara efisien (Gaddi, 2004). Oleh karena itu salah
satu faktor yang dapat meningkatkan engagement, diantaranya adalah perilaku yang

menunjukkan dukungan dan motivasi. Dukungan dan motivasi dalam bekerja dapat
diberikan oleh seorang pemimpin kepada bawahannya, karena kepemimpinan merupakan
penggerak dan penentu perjalanan suatu organisasi (Yukl, 2006). Bagaimana gaya
kepemimpinan yang ditampilkan seorang pemimpin dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
kerja karyawan. Gaya kepemimpinan yang sesuai dan dapat diterima karyawan akan
berpengaruh positif terhadap perilaku kerja karyawan.

Salah satu gaya kepemimpinan yang terus berkembang diantaranya adalah gaya
kepemimpinan transformasional. Perkembangannya dapat diamati dari banyaknya peneliti di
dunia yang tertarik untuk mengembangkan teori ini. Hasil penelusuran melalui internet
(Google) pada bulan Agustus 2011 dengan kata kunci “transformational leadership” tercatat
3.150.000 tulisan. Banyaknya tulisan dan penelitian tentang hal itu menunjukkan bahwa
topik kepemimpinan transformasional ini menarik dan cukup penting di berbagai belahan
dunia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis ingin melakukan telaah teoritis
antara gaya kepemimpinan transformasional dengan employee engagement.

TINJAUAN TEORITIS
Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan merupakan sesuatu hal yang memiliki dampak besar bagi jalannya

sebuah organisasi. House (dalam Yukl, 2006) mendefinisikan kepemimpinan sebagai
kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain mampu
memberikan kontribusinya demi efektivitas dan keberhasilan organisasi. Kepemimpinan juga
terkait dengan sebuah proses yang disengaja dari seseorang untuk menekankan
pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain untuk membimbing, membuat struktur,
memfasilitasi aktivitas dan hubungan kelompok dalam suatu organisasi (Yukl, 2006). Orang
yang diharapkan untuk melaksanakan peran kepemimpinan disebut sebagai ”pemimpin”.
Anggota kelompok yang lainnya sering disebut sebagai “pengikut”, walaupun dalam
praktiknya sebagian dari mereka dapat membantu pemimpin utama itu dalam melaksanakan
fungsi kepemimpinannya. Menurut pandangan teori kepemimpinan, ada beberapa
pendekatan untuk mengenali seorang pemimpin, diantaranya dari ciri sifat, perilaku, proses
mempengaruhi, dan situasional (Yukl, 2006).
Diantara gaya kepemimpinan yang terus dikaji hingga saat ini adalah gaya
kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional menurut Burns (dalam
Bass, 1985) merupakan suatu proses dimana seorang pemimpin berusaha memotivasi
bawahannya untuk melakukan tanggung jawab yang lebih tinggi, meningkatkan kesadaran
anggotanya dengan menggunakan daya tarik nilai, moralitas dan idealisme yang lebih tinggi
seperti

kebebasan,


keadilan,

keseimbangan,

kedamaian

dan

kemanusiaan,

tidak

berdasarkan emosi semata.
Baun (dalam Papalexandris & Galanaki, 2009) menuliskan bahwasanya gaya
kepemimpinan transformasional ini memiliki kemiripan dengan gaya kepemimpinan
karismatik dan kepemimpinan visioner. Kemiripan tersebut nampak pada tiga komponen
umum dari gaya kepemimpinan tersebut, yaitu mengkomunikasikan visi, menggunakan

beberapa cara untuk mengimplementasikan visi, dan memenunjukkan kepribadian yang

berkarisma.
Membahas kepemimpinan transformasional tidak dapat dilepaskan dengan konsep
kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional diartikan sebagai kepemimpinan
yang melibatkan suatu proses pertukaran (exchange process) dimana para pengikut
mendapatkan imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin.
Kepemimpinan transformasional dan transaksional menawarkan penjelasan tentang
bagaimana pemimpin dan karyawan mempengaruhi satu sama lain (Burns dalam Bass,
1985).
Menurut Burns (1978), faktor kepemimpinan transformasional terpisah dengan
transaksional. Terpisah karena keduanya bersifat independen, pemimpin yang memiliki sifat
transformasional tidak memiliki sifat transaksional dan sebaliknya pemimpin yang memiliki
sifat transaksional tidak memiliki sifat transformasional. Jadi satu pemimpin hanya akan
memiliki satu tipe yaitu transaksional atau transformasional saja. Pemimpin transaksional
tidak akan pernah menjadi transformasional dalam keadaan dan situasi apapun juga,
bahkan sekalipun ketika situasi dan kondisi menuntut perubahan. Burns (dalam Yukl, 2006)
berpendapat bahwa terdapat beberapa perbedaan pokok antara gaya kepemimpinan
transformasional dan transaksional. Pemimpin transaksional memotivasi bawahan melalui
menjanjikan hal-hal yang menarik bagi bawahan, sedangkan pemimpin transformasional
memotivasi bawahan dengan cara meningkatkan kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.
Sementara menurut Bass (1985), kepemimpinan transformasional dan transaksional

tidak dipandang sebagai sesuatu yang berlawanan yang berakhir di ujung satu dengan
satunya. Satu orang pemimpin dapat menjadi keduanya sekaligus atau salah satunya,
berubah ketika situasi dan kondisi menuntut adanya perubahan. Sehingga kepemimpinan
tranformasional dan transaksional bukanlah hal yang mutlak pilah.
Berdasarkan hasil penelitian empiris, perilaku pemimpin transformasional dan
transaksional dapat ditampilkan oleh pemimpin yang sama, hanya jumlah dan intensitasnya
saja yang berbeda, namun keduanya saling melengkapi (Howell & Avolio, dalam Mujiasih,
2002 ).
Upaya pemimpin transformasional dalam mempengaruhi bawahan melalui tiga cara,
(1) mendorong bawahan lebih sadar akan pentingnya hasil suatu pekerjaan, (2) mendorong
bawahan untuk lebih mementingkan organisasi dari pada kepentingan individual, (3)
mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi (Yukl, 2006).
Kepemimpinan transformasional pada dasarnya memiliki empat karakteristik, yaitu
pengaruh ideal, motivasi inspirasional, stimulasi intelektual, dan perhatian individual (Yukl,
2006).
1. Pengaruh ideal (idealized influence)

Pemimpin transformasional memberikan contoh positif dalam sikap dan perilaku,
bagi bawahannya. Pemimpin memperhatikan bawahannya, memberi visi, serta
menanamkan rasa bangga pada bawahannya. Melalui pengaruh seperti ini, para

bawahan akan menaruh rasa hormat dan percaya pada pemimpinnya, sehingga mereka
berkeinginan untuk melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan sang pemimpin.
2. Motivasi Inspirasional (inspirational motivation)
Motivasi inspirasional merupakan kemampuan dalam mengkomunikasikan
harapan dan mengekspresikan tujuan dengan cara-cara yang sederhana. Pemimpin
transformasional dapat menstimulasi antusiasme bawahannya untuk bekerja dalam
kelompok dan mengembangkan keyakinan bawahan untuk mencapai tujuan bersama
serta membangkitkan semangat kerja secara inspirasional, yaitu mendorong karyawan
untuk meningkatkan kinerja melebihi dugaan mereka sendiri.
3. Stimulasi intelektual (intellectual stimulation)
Pemimpin transformasional berupaya menciptakan iklim yang kondusif bagi
pengembangan ide. Untuk itu bawahan benar-benar dilibatkan dalam proses perumusan
masalah dan pencarian solusi. Perbedaan pendapat dipandang sebagai hal yang biasa
terjadi. Hal tersebut akan membuat efikasi diri bawahan semakin kuat, sehingga para
bawahan akan sanggup mengerjakan dan berhasil dalam melakukan berbagai tugas
yang menantang.
4. Perhatian individual (individualized consideration)
Pemimpin transformasional memberikan perhatian pada bawahannya secara
personal, menghargai perbedaan setiap individu, memberi nasehat serta penghargaan.
Perhatian secara personal merupakan identifikasi awal terhadap potensi para bawahan,

sedangkan monitoring dan pengarahan merupakan bentuk perhatian secara personal
yang diaplikasikan melalui tindakan konsultasi, nasehat dan tuntunan yang diberikan
oleh pemimpin transformasional.
Kepemimpinan transformasional memiliki keunggulan karena berhubungan erat
dengan peningkatan produktivitas, kinerja, loyalitas karyawan, komitmen organisasi,
kepuasan kerja, dan penurunan tingkat turnover (Robbins, 2003).

Employee Engagement
Employee Engagement atau seringkali diterjemahkan sebagai keterikatan karyawan,
merupakan kontributor penting dalam upaya retensi karyawan, retensi dan kepuasan
pelanggan, serta kinerja (Scheimann, 2010). Hal tersebut mengandung arti bahwasanya
employee engagement merupakan salah satu faktor yang mendukung terciptanya efektivitas
dan kinerja optimal dalam sebuah organisasi.

Terdapat beberapa ahli yang mencoba merumuskan definisi engagement, ada yang
mengaitkan dengan kepuasan pelanggan, sikap positif terhadap perusahaan, komitmen
terhadap perusahaan, kepuasan kerja dan juga motivasi untuk berkontribusi. Konsep
engagement secara empiris dibedakan dengan konsep mengenai komitmen organisasi dan
keterlibatan kerja, namun memiliki kesamaan yaitu memiliki hal yang positif dalam pekerjaan
(Hallberg & Schaufeli, dalam Segers, De Prins, Brouwers, 2010).

Individu yang memiliki engagement dicirikan sebagai individu yang melaksanakan
peran kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional
selama bekerja (Kahn, dalam Luthans & Peterson, 2002).
Schaufeli, et al (2002) mendefinisikan engagement sebagai sebuah kondisi
motivasional positif yang terkait dengan pekerjaan yang dicirikan dengan semangat,
dedikasi, dan absorpsi. Semangat dicirikan dengan curahan energi dalam bekerja,
ketekunan dalam menghadapi kesulitan kerja, dan berusaha dengan segala upaya dalam
suatu pekerjaan. Dedikasi terkait dengan perasaan terlibat dalam pekerjaan, perasaan
bermakna, antusias, dan adanya kebanggaan. Sementara absorpsi ditandai dengan
konsentrasi dan keseriusan dalam mengerjakan suatu pekerjaan, sehingga dalam bekerja
waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan
pekerjaan.
Pandangan praktisi terhadap konsep engagement dikemukakan oleh Gallup (2004).
Dikemukakan bahwasanya karyawan yang engaged akan bekerja dengan semangat dan
merasakan hubungan yang mendalam dengan perusahaan dimana mereka bekerja, mereka
mendorong inovasi dan mendorong kemajuan organisasi. Ciri karyawan yang menunjukkan
engagement akan bekerja dengan usaha ekstra dan lebih dari apa yang diharapkan.
Engagement pada dasarnya terdiri dari aspek kognitif, afektif maupun perilaku.
Karyawan yang engaged memiliki keyakinan dan mendukung tujuan organisasi, memiliki
rasa memiliki, merasa bangga terhadap organisasi dimana dia bekerja dan mempunyai

keinginan untuk berkembang dan bertahan dalam organisasi (Bakker & Leiter, 2010).
Vance (dalam Scheimann, 2010) menyebutkan bahwasanya engagement adalah
kerelaan karyawan untuk bekerja keras, terlibat sepenuh hati mengerjakan tugas yang
ditentukan dan melakukan tindakan sukarela dan hanya sedikit menunjukkan perilaku yang
tidak disukai perusahaan. Karyawan yang memiliki keterikatan tinggi akan bekerja dengan
lebih bergairah,

bertenaga,

dan mengerahkan upaya lebih.

Pernyataan

tersebut

mengandung arti bahwa individu yang memiliki keterikatan adalah individu yang termotivasi
melakukan hal-hal positif.
Dari beberapa uraian tentang definisi engagement di atas, dapat disimpulkan
bahwasanya employee engagement merupakan sikap dan perilaku karyawan yang memiliki

motovasi positif dalam bekerja, ditandai dengan adanya semangat, antusiasme, keterlibatan,
serta usaha ekstra dalam bekerja untuk mendorong inovasi dan mencapai tujuan organisasi.
Terdapat beberapa sifat umum yang dimiliki karyawan yang memiliki keterikatan
dengan pekerjaannya (Finney, 2010), diantaranya adalah : a.) Mempercayai misi organisasi,
b.) Menyenangi pekerjaan mereka dan memiliki kontribusi pekerjaan pada tujuan yang lebih
besar, c.) Tidak memerlukan pendisiplinan, hanya memerlukan kejelasan, komunikasi, dan
konsistensi, d.) Selalu meningkatkan kebenaran keterampilan mereka dengan sikap yang
positif, fokus, keinginan, antusiasme, kreativitas, dan daya tahan, e.) Dapat dipercaya dan
saling percaya satu sama lain, f.) Mengetahui bahwa manajer mereka menghormati mereka,
g.) Sumber tetap ide yang hebat, h.) Memberikan yang terbaik kepada perusahaan.
Menurut Scheimann (2010), bentuk tertinggi perilaku yang menunjukkan keterikatan
adalah kerelaan untuk melakukan advokasi atas nama perusahaan, yaitu kerelaan
mempromosikan perusahaan sebagai tempat bekerja, membeli, bahkan berinvestasi.
Komponen engagement lainnya adalah kepuasan, yang terkait dengan kepuasan terhadap
organisasi, pekerjaan, dan keadilan serta komitmen, terkait dengan komitmen terhadap misi
perusahaan, kebanggaan menjadi bagian dari organisasi/perusahaan. Ketiga komponen
tersebut digambarkan seperti piramida, dengan dasar kepuasan, komitmen, dan advokasi
sebagai puncaknya.
Dari ciri dan komponen engagement yang dikemukakan para ahli di atas, dapat kita
tarik kesimpulan bahwasanya seorang karyawan yang telah engaged dengan perusahaan
akan merasa puas dan adil terhadap pekerjaan, memiliki kebanggaan dengan tempatnya
bekerja, sehingga berkomitmen terhadap misi perusahaan, memberikan waktu dan tenaga
ekstra untuk perusahaan, dan bahkan rela untuk berinvestasi di tempat ia bekerja.
Sementara itu, Scheimann (2011) menyebutkan beberapa dampak jika sebuah
perusahaan yang keterikatan karyawannya tergolong rendah, diantaranya adalah : a.)
Kepuasan pelanggan eksternal dan internal yang rendah, b.) Produktivitas rendah karena
energi yang digunakan sekadarnya saja, c.) Hilangnya talenta paling hebat ketika kondisi
pasar memungkinkan, d.) Orang yang tak berguna: karyawan yang tak laku di luar tetap
bertahan di perusahaan hingga pensiun, e.) Karyawan tidak bersedia merekomendasaikan
kepada para talenta baru untuk bekerja di peusahaan tersebut, f.) Budaya sinis atau apatis.

Employee Engagement dan Kinerja
Employee engagement merupakan sesuatu hal yang dapat memberikan perubahan
pada individu, tim, dan organisasi (Permana, 2010). Perubahan tersebut mencakup ranah
emosi, kinerja individu, kinerja organisasi, bahkan sampai kepada kinerja finansial
organisasi/perusahaan.

Pada dasarnya, employee engagement merupakan konstruk level individu. Tingkat
employee engagement dapat menjadi salah satu indikator cara untuk mengetahui pengaruh
emosi terhadap kehidupan karyawan dalam pekerjaan. Ketika karyawan telah merasa terikat
dengan perusahaan, mereka akan bekerja dengan usaha ekstra dan rela berkorban demi
perusahaan tempat ia bekerja. Perilaku tersebut tentunya akan meningkatkan kinerja
karyawan secara individu, dan selanjutnya akan mempengaruhi kinerja organisasi dan
kinerja finansial perusahaan.
Pernyataan tersebut didukung oleh studi yang dilakukan Permana (dalam Permana,
2010), dimana keterikatan karyawan, budaya organisasi dan efektivitas manajemen SDM
secara simultan mempengaruhi kinerja karyawan masing-masing sebesar 43%; 9%; dan
23%. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwasanya variabel engagement memiliki
pengaruh yang besar pada kinerja karyawan. Hal ini berarti bahwa pengaruh efektivitas
manajemen SDM dan budaya organisasi terhadap kinerja karyawan menjadi lebih besar
melalui mediasi keterikatan karyawan.
Employee engagement juga terbukti mampu mempengaruhi komitmen kerja
karyawan, perilaku kerja in role dan extra role , iklim pelayanan, kinerja karyawan, loyalitas
konsumen (Hellberg & Schaufeli; Bakker; Salanova , dalam Albrecht 2010). Hal tersebut
disebabkan karena karyawan yang memilki derajat engagement yang tinggi akan memiliki
keterikatan emosi yang tinggi pada organisasi. Keterikatan emosi yang tinggi mempengaruhi
karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan dan akan berdampak pada rendahnya keinginan
untuk meninggalkan pekerjaan.
McBain (dalam Permana, 2010) mengemukakan bahwa keterikatan karyawan
berdampak bagi organisasi dalam hal penciptaan hasil yang berhubungan dengan
konsumen (customer related outcomes), seperti peningkatan layanan, kepuasan konsumen,
dan loyalitas konsumen. Karyawan yang terikat akan termotivasi untuk meningkatkan
produktivitasnya, menerima tantangan dan merasa bahwa pekerjaannya memberi makna
dalam dirinya. Pengalaman-pengalaman ini akhirnya memberikan pengaruh signifikan bagi
kinerja karyawan. Pada akhirnya pengalaman-pengalaman ini juga yang menghantarkan
dampak positif keterikatan karyawan di level organisasi, yaitu pertumbuhan dan
produktivitas organisasi.

Menciptakan Employee Engagement
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi employee engagement diantaranya adalah
budaya organisasi dan efektivitas manajemen SDM. Budaya organisasi dan efektivitas
manajemen SDM secara simultan dapat mempengaruhi employee engagement, masingmasing sebesar 24% dan 57% (Permana, dalam Permana, 2010). Terkait dengan hasil
penelitian tersebut, dalam upaya meningkatkan kinerja karyawan, perlu diperhatikan

tindakan manajemen yang mencerminkan implementasi budaya organisasi (misi, adaptasi,
konsistensi, dan partisipasi), serta manajemen SDM (meliputi: strategi dan organisasi,
pengadaan SDM, pengembangan SDM, imbal jasa, hubungan kepegawaian dan proses dan
layanan SDM) yang dirasakan oleh para karyawan.
Hasil penelitian di atas senada dengan beberapa hal yang dikemukakan Permana
(2010) dalam tulisannya, bahwasanya beberapa faktor penting dalam menciptakan
employee engagement diantaranya adalah adanya :
1) Kesempatan untuk mengembangkan diri
Apabila

organisasi

menyediakan

kesempatan

kepada

karyawan

untuk

mengembangkan kompetensi maka karyawan pun akan menggunakan kompetensi
yang mereka miliki untuk perusahaan.
2) Manajemen talenta yang efektif
Pengembangan

karier

akan

mempengaruhi

employee

engagement

dan

mempertahankan karyawan yang bertalenta, serta menyediakan kesempatan untuk
pengembangan pribadi karyawan.
3) Kepemimpinan : Kejelasan akan nilai perusahaan
Nilai-nilai yang jelas dalam perusahaan dan keselarasan nilai pribadi pemimpin
dengan

nilai

perusahaan menjadi sebuah hal

yang membantu karyawan

mengidentifikasi dirinya dengan perusahaan.
4) Kepemimpinan : Respectful treatment of employees
Adanya penghargaan terhadap setiap kualitas dan kontribusi karyawan adalah salah
satu ciri organisasi yang sukses.
5) Kepemimpinan : Company’s Ethical Behaviour
Standar etika yang berlaku di perusahaan akan mengarahkan pada pembentukan
keterikatan karyawan secara individual pada perusahaan.
6) Pemberdayaan
Jika pemimpin dapat menciptakan lingkungan kerja yang menantang dan saling
mempercayai, dimana karyawan menjadi tergugah untuk memberikan masukan dan
inovasi bagi perkembangan perusahaan ke depan, maka tingkat engagement akan
tinggi.
7) Citra
Employee engagement yang tinggi terkait erat dengan customer engagement yang
tinggi. Sehingga seberapa besar persepsi karyawan tentang kualitas produk dan jasa
yang dihasilkan akan terkait dengan persepsi konsumen terhadap produk atau jasa.
8) Kesempatan dan Perlakuan yang Adil
Hal ini akan tinggi jika atasan menyediakan kesempatan yang sama untuk tumbuh
dan berkembang ke depan bagi semua karyawan.

9) Penilaian Kinerja
Perusahaan yang mengikuti teknik penilaian karyawan yang tepat akan memiliki
employee engagement yang tinggi.
10) Kompensasi dan Benefit
Sistem penggajian dan benefit yang jelas akan membuat karyawan termotivasi
dalam organisasi dan meningkatkan tingkat employee engagement.
11) Kesehatan dan Keselamatan
Jika karyawan merasa tidak aman saat bekerja, diindikasikan bahwa tingkat
engagementnya rendah.
12) Kepuasan Kerja
Hanya karyawan yang puas yang akan menjadi karyawan yang terikat (engaged).
Oleh karena itu perusahaan harus benar-benar dapat membagi pekerjaan kepada
setiap karyawan sesuai dengan tujuan karier mereka, sehingga karyawan akan
menikmati pekerjaannya dan merasa puas.
13) Komunikasi
Ada baiknya perusahaan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk terlibat
dalam pengambilan keputusan, hal tersebut akan meningkatkan engagement
karyawan.
14) Family Friendliness
Ketika karyawan menyadari bahwa perusahaan memperhatikan kehidupan mereka,
maka akan tercipta ikatan emosi yang pada akhirnya melahirkan employee
engagement.
15) Kerjasama
Jika seluruh organisasi bekerjasama dengan saling membantu satu dengan yang
lain, serta antara atasan dan bawahan, maka karyawan akan merasa terikat
(engaged).
Dari faktor penting yang dikemukakan di atas, pemimpin memiliki peran yang cukup
penting dalam rangka menciptakan employee engagement, diantaranya adalah memberikan
kejelasan akan nilai-nilai dalam perusahaan, memberikan penghargaan pada setiap perilaku
positif karyawan, dan memberikan tauladan dalam praktek perilaku yang sesuai dengan
etika perusahaan. Selanjutnya penulis akan membahas peran pemimpin, dengan gaya
kepemimpinan transformasional dalam menciptakan employee engagement.

Peran Pemimpin Transformasional dalam Menciptakan Employee Engagement
Employee engagement yang buruk akan berpengaruh terhadap produktivitas dan
kepuasan pelanggan, dan juga meningkatkan turnover (Griffin dalam Permana, 2010).
Dengan demikian, tuntutan untuk meningkatkan employee engagement menjadi sesuatu hal

yang penting. Sebuah studi dari DDI menemukan bahwasanya karyawan dengan pemimpin
yang kuat akan lebih terikat (engaged), puas, dan loyal dibandingkan dengan karyawan
dengan pemimpin yang lemah (Gaddi, 2004).
Oleh karena itu pemimpin perlu membuat model perilaku yang baik dan menciptakan
atmosfer di mana orang merasa diperlakukan secara adil dan melibatkan karyawan dalam
mengambil keputusan. Hal tersebut akan membangun ikatan emosi yang lebih pada
organisasi dan membuat individu merasa berharga secara psikologis. Perasaan bermakna
tersebut akan membuat karyawan akan semakin terkait dengan organisasi. De Lacy (2009)
menemukan bahwasanya perilaku afektif pemimpin memiliki hubungan substansial pada
engagement secara kognitif, lalu mempengaruhi engagement secara afektif, dan kemudian
berpengaruh kepada intensi untuk bertahan di tempat kerja serta kinerja.
Pemimpin hendaknya memiliki keterampilan dan konsistensi dalam membina dan
mengembangkan karyawan. Keterampilan yang sebaiknya dimiliki oleh para pemimpin
dalam organisasi diantaranya adalah teknik berkomunikasi, teknik memberikan umpan balik,
dan teknik penilaian kinerja. Selain keterampilan tersebut, Luthans & Perterson (2002),
menyatakan bahwa efikasi diri seorang manajer sebagai pemimpin berhubungan dengan
keterikatan karyawan. Sebagai seorang pemimpin perasaan yakin akan kemampuan diri
wajib dimiliki agar dapat menciptakan engagement dalam tim kerja, dalam rangka mencapai
tujuan kerja. Sementara konsistensi diperlukan karena membangun engagement bukanlah
hal yang dapat dicapai dalam waktu yang singkat.
Terkait dengan bagaimana gaya kepemimpinan seorang pemimpin, Tim, Barker,
Xanthopoulou

(2011)

menemukan

bahwasanya

kepemimpinan

transformasional

berhubungan positif dengan employee engagement. Hubungan tersebut dimediasi oleh
tingkat optimisme yang dimiliki karyawan setiap harinya. Sementara itu, Dibley, J.E (2009)
telah membuktikan bahwasanya terdapat korelasi yang signifikan antara kepemimpinan
transformasional dengan engagement pengikut. Antara employee engagement dan
efektivitas manajer dimediasi oleh variabel efikasi diri manajer (Luthans & Peterson, 2002).
Gambaran keterkaitan gaya kepemimpinan transformasional dengan employee engagement
dapat digambarkan sebagai berikut :

Karakteristik
Kepemimpinan
Transformasional :
• Pengaruh Ideal
• Motivasi
Inspirasional
• Stimulasi
Intelektual
• Perhatian
Individual

Employee
Engagement :
• Semangat :
curahan energi,
usaha ekstra.
• Dedikasi :
antusias, bangga.
• Absorpsi :
konsentrasi dan
keseriusan dalam
bekerja.

• Me
Meningkatkan
Kine
Kinerja
• Meningkatkan
M
kepua
kepuasan
kerja
• Mengurangi
M
abs
absenteeisme
&
tur
turnover

Gambar 1.
Keterkaitan Kepemi
mimpinan Transformasional dan Employee Enga
gagement
Bagan tersebut dapa
pat menjelaskan bahwasanya pemimpin tran
ansformasional
dengan karakteristiknya yang khas,
kha mampu memberikan contoh positif kepada
a bawahannya
sehingga bawahan mengidentifik
tifikasi perilaku positif tersebut. Perilaku positiff dapat
d
berupa
menanggung resiko bersama dan
da menanamkan rasa bangga pada bawahann
nnya. Perilaku
tersebut pada akhirnya akan membuat
m
bawahan merasa percaya pada pemimpinnya.
p
Pemimpin transformasional juga
ga mampu memperjelas harapan serta tujuan
n yang
y
hendak
dicapai dengan bahasa yang sed
ederhana dan mudah dimengerti.
Pemimpin transformas
asional juga mampu menstimulasi antusiasme
e bawahannya
untuk bekerja mencapai tujuan
uan kerja bersama, dengan mendorong kary
ryawan untuk
meningkatkan

kinerja

melebi
bihi

dugaan

mereka

sendiri.

Selain

itu,

pemimpin

transformasional membuka keran
ran kreativitas dan inovasi para bawahan, sehingg
gga efikasi diri
bawahan menjadi semakin kuat
at, dengan demikian para bawahan akan mam
mpu berupaya
untuk melakukan usaha ekstr
stra. Salah satu hal yang paling khas dari
dar pemimpin
transformasional adalah adany
nya perhatian secara individual yang diberi
erikan kepada
bawahan. Hal tersebut berguna
a dalam
d
melakukan pemetaan potensi bawahan.
Pada dasarnya ada
da sebuah ciri yang meenunjukkan hubun
ungan antara
kepemimpinan transformasional
al dan employee engagement, yaitu keduanya
ya merupakan
pendekatan dalam psikologi positif.
po
Bakker & Schaufeli (dalam Segers et al, 2010)
menjelaskan bahwa konsep employee
e
engagement merupakan salah satu
s
perilaku
organisasi positif, dan kepem
emimpinan transformasional merupakan seb
ebuah bentuk
kepemimpinan positif (Segers et al, 2010).
Penulis mengusulkan
an adanya sebuah program yang konkret dalam
da
rangka
memfasilitasi pembentukan emp
mployee engagement oleh para pemimpin trans
nsformasional.

Program tersebut berupa kegiatan mentoring, coaching dan konseling. Kegiatan mentoring
dilakukan sejak awal seorang karyawan baru masuk ke dalam organisasi. Pemimpin
bertindak sebagai mentor karyawan baru, ia memberikan tuntunan dan arahan serta
membuka diri untuk memberikan konsultasi atas permasalahan yang dihadapi karyawan.
Selain mentoring, pemimpin ada baiknya juga melakukan coaching terkait dengan
peningkatan kompetensi karyawan yang menjadi bawahannya. Konseling menjadi kegiatan
yang melengkapi mentoring dan coaching, karena pada dasarnya kinerja yang baik tidak
hanya ditampilkan karyawan yang mampu, namun juga karyawan yang mau untuk bekerja.
Sehingga kegiatan konseling dapat diarahkan untuk menjaga dan meningkatkan motivasi.

KESIMPULAN
Sebagai salah satu upaya menciptakan employee engagement para karyawan, intervensi
dapat diberikan kepada para pemimpin. Pemimpin dapat diarahkan untuk menggunakan
gaya kepemimpinan transformasional, karena gaya ini memiliki karakteristik khas yang
diidentifikasi mampu menciptakan employee engagement, sehingga harapannya kinerja
karyawan akan semakin meningkat dan tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan
efisien.

DAFTAR PUSTAKA
Albrecht, S. L. (2010). Employee engagement: 10 key questions for research and practice
(pp 3-19). In Albrecht, S.A. (Ed). Handbook of employee engagement: perspectives,
issues, research, and practices. Edward Elgar Publishing, Inc.: Massachusets
Bakker, A.B., Leiter, M.P (2010). In Bakker, A.B & Leiter, M.P (Eds).Work engagement: A
handbook of essential theory and research (pp.181-196). Psychology press: New York.
Diunduh
pada
.
Dari
www.http://www.psypress.com/common/samplechapters/9781841697369.pdf
Bass, B. M. (1985). Leadership and performance beyond expectations. New York: The Free
Press.
Burns, J. M. (1978). Leadership. New York: Harper & Row.
Dibley, J.E. (2009). The relationship between the transformational leadership style of officers
and the levels of their followers work engagement in the South Africa. Tesis. University
of South Africa.
Finney, M.I. (2010). Engagement: cara pintar membuat karyawan mencurahkan kemampuan
terbaik untuk perusahaan. Penerjemah: Verawaty Pakpahan. Jakarta. Penerbit PPM.
Gaddi, R, R. (2004). Leadership and employee engagement: when employees give their all.
Diunduh
1
Agustus
2011
dari
http://66.179.232.89/pdf/ddi_ph_leadershipandemployeeengagement_ar.pdf.

Gallup. (2004). Diunduh pada . dari http://www.gallup.com/consulting/121535/EmployeeEngagement-Overview-Brochure.aspx
Luthans, F., Peterson, S.J. (2002). Employee engagement and manager self-efficacy:
implications for managerial effectiveness and development. Journal of Management
Development Vol 21, No. 5, pp: 276-287
Mujiasih, E. (2002). Kemampuan mengenai gaya kepemimpinan transformasional dan gaya
kepemimpinan transaksional serta pengaruhnya terhadap upaya ekstra (extra effort)
pegawai Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang, Salatiga, dan Kabupaten Semarang di
Ungaran. Tesis. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Papalexandris, N., Galanaki, E. (2009). Leadership’s impact on employee engagement:
differences among entrepreneurs and professional CEOs. Leadership & Organizational
Journal. Vol 30 No.4, 2009. Pp.365-385
Permana, N.I.K. (2010). Mempertahankan talent untuk meraih keunggulan kompetitif. In
Ernawati, E & Wahyudi, H (Eds). Talent management implementation: belajar dari
perusahaan-perusahaan terkemuka (pp 1-22). Jakarta. Penerbit PPM.
Robbins, S. P. (2003). Organizational behavior. Upper Saddle River: Pearson Education.
Schaufeli, W.B., Salanova, M., Gonzalez- Roma, V. & Bakker, A.B. (2002). The
measurement of engagement and burnout: a two sample confirmatory factor analytic
approach”, Journal of Happiness Studies, 3, 71–92.
Scheimann, W.A. (2011). Alignment, capability, engagement: pendekatan baru talent
management untuk mendongkrak kinerja organisasi. Penerjemah : Setyo Untoro.
Jakarta. Penerbit PPM.
Segers, J., De Prins, P., Brouwers, S. (2010). Leadership and engagement: a brief review of
the literature, a proposed model, and practical implications (pp. 149-158). In Albrecht,
S.A. (Ed). Handbook of employee engagement: perspectives, issues, research, and
practices. Edward Elgar Publishing, Inc.: Massachusets
Tims, M., Bakker, A.B., Xanthopoulou, D. (2011). Do transformational leaders enhance their
follower’s daily work engagement?. The Leadership Quarterly 22 pp: 121–131
Yukl, G. (2006). Leadership in Organizations Sixth Edition . New Jersey: Pearson Education,
Inc.