ITS Undergraduate 24091 Paper 3823773

Pertumbuhan Bakteri Aerob dan Anaerob Penghasil Gas Hidrogen pada Medium Limbah
Organik, Ditinjau dari Parameter pH dan Cahaya
Nama
: Nur Hidayah
Nrp
: 1508100707
Jurusan
: Biologi
Dosen Pembimbing : Dr.rer.nat.Ir. Maya Shovitri, M.Si
Abstrak
Pertumbuhan Bakteri Aerob dan Anaerob Penghasil Gas Hidrogen pada Medium Limbah Organik yang
ditinjau dari parameter pH dan cahaya telah diteliti. Pertumbuhan bakteri aerob dan anaerob diukur
berdasarkan optical density (OD600nm). Pengukuran OD dilakukan setiap 2 hari sekali selama 30 hari masa
inkubasi, sedangkan pengukuran pH dilakukan setiap 5 hari selama 30 hari masa inkubasi. Hasilnya
menunjukkan bahwa selama 30 hari masa inkubasi tidak menunjukkan adanya perubahan pH pada semua
perlakuan, akan tetapi terlihat adanya perubahan konsistensi substrat kasar menjadi halus. Cahaya tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan isolat bakteri aerob maupun anaerob. Isolat bakteri anaerob memiliki
pertumbuhan yang lebih lambat dibanding isolat bakteri aerob. Isolat bakteri aerob tidak terjadi adanya
fase lag, log dan stasioner, tetapi cenderung terjadi penurunan pertumbuhan secara terus menerus (fase
kematian) selama 30 hari masa inkubasi. Berbeda dengan isolat aerob, isolat anaerob memiliki
pertumbuhan yang lebih lambat, dimana terjadi fase lag pada hari ke-0 hingga hari ke-2, fase log pada

hari ke-2 hingga ke-18 dan fase stasioner pada hari ke-18 hingga hari ke-30 dan belum mengalami
penurunan pertumbuhan.
Kata kunci: Pertumbuhan, pH, cahaya, isolat bakteri aerob dan anaerob penghasil gas hydrogen
keuntungan dibanding bahan bakar yang lain,
yaitu hidrogen adalah bahan bakar rendah polusi
dan memiliki efisiensi yang tinggi (Kirtay,
2011). Selain itu, tidak menimbulkan efek
rumah kaca, penipisan lapisan ozon atau hujan
asam karena pembakarannya hanya menyisakan
uap air dan energi panas di udara (Bolton et al.,
1996).
Hidrogen
dapat
dihasilkan
dari
metabolisme bakteri (Kirtay, 2011). Produksi
hidrogen oleh bakteri biasanya dilakukan dengan
cara fermentasi. Bakteri fermentasi mampu
menghidrolisis polimer menjadi oligomer dan
monomer-monomer dengan bantuan aktifitas

enzim ekstraseluler (Angelidaki et al., 2002).
Produksi hidrogen melalui proses fermentasi
dapat dilakukan dengan fermentasi terang (light
fermentation) dan fermentasi gelap (dark
fermentation). Produksi hidrogen melalui proses
fermentasi terang (light fermentation) dapat
memproduksi hidrogen dengan efisiensi sekitar
80% yang menghasilkan 12 molekul H2 dari 1
molekul glukosa dan 12 molekul air. Hasil ini
diperoleh berdasarkan persamaan (1) berikut ini.
C6H12O6 + 12H2O + chy
12H2 + 6CO2
(1)(Kirtay, 2011).

I. Latar Belakang
Ketergantungan terhadap bahan bakar
fosil sebagai sumber energi membawa kita pada
krisis energi dan masalah lingkungan.
Penggunaan bahan bakar fosil termasuk salah
satu penyumbang masalah lingkungan terbesar

seperti global warming dan hujan asam, akibat
emisi gas yang dibuang ke lingkungan (Sheth et
al., 2010). Bahan bakar fosil merupakan bahan
bakar yang sifatnya terbatas dan membutuhkan
waktu yang sangat lama untuk dapat
diperbaharui. Penggunaan bahan bakar fosil
secara terus menerus akan menyebabkan
terjadinya krisis bahan bakar. Sekarang ini di
Indonesia telah dikembangkan berbagai sumber
energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar
minyak (BBM) dalam upaya menyelesaikan
masalah krisis energi yang terjadi.
Salah satu energi alternatif yang ramah
lingkungan adalah gas hidrogen. Hafez et al.,
(2009) menyatakan bahwa pembakaran gas
hidrogen dapat menghasilkan energi yang lebih
tinggi yaitu sekitar 142 kj/g atau 3 kali lebih
baik jika dibandingkan hidrokarbon atau minyak
bumi. Gas hidrogen memiliki berbagai
51


52

Sedangkan produksi hidrogen melalui
fermentasi gelap tergantung dari hasil akhir yang
dihasilkan dari fermentasi. Produksi hidrogen
tertinggi dapat dihasilkan melalui fermentasi
gelap dengan hasil akhir berupa asam asetat,
yaitu dihasilkan 4 molekul hidrogen sebagai
hasil sampingnya. Hidrogen juga dapat
diproduksi dari hasil samping dalam fermentasi
asam butirat yaitu dihasilkan 2 molekul
hidrogen. Hasil ini dapat dilihat dari persamaan
(2) dan (3) berikut ini.
C6H12O6 +2H2O
+2CO2
(2)
C6H12O6 +2H2O
2CO2 (3)


2CH3COOH

+

4H2

CH2CH2CH2COOH + 2H2 +

(Kirtay, 2011).
Fermentasi untuk menghasilkan gas
hidrogen memanfaatkan limbah organik sebagai
sumber karbon dan sumber energi. Limbah
organik yang banyak mengandung karbohidrat,
protein, lipid, lignin dan lemak dapat digunakan
sebagai
substrat
oleh
bakteri
untuk
menghasilkan produk akhir berupa H2 dan CO2

(Hawkes, 2002). Selain penggunaan limbah
organik yang kaya akan karbon, proses
fermentasi
dapat
dioptimalkan
dengan
pengaturan kondisi fisik seperti pH, suhu,
agitasi, konsentrasi asam organik, dan komponen
anorganik (Liu, 2008).
Bakteri penghasil hidrogen mampu
tumbuh dalam kisaran temperatur mesofil,
thermofil hingga hypertermofil (Levin,et al.
2004). Namun hampir semua penelitian
menggunakan suhu mesofil (Liu, et al.2008).
Keasaman medium juga berpengaruh terhadap
produksi hidrogen. Kondisi yang semakin asam
akan menyebabkan penurunan hasil hidrogen
dua kali lipat dari kondisi netral. Karena pH
yang rendah atau asam dapat menghambat
aktifitas enzim hidrogenase yang memegang

peran penting dalam fermentasi hidrogen
(Khanal et al., 2003).
Keberadaan bahan anorganik seperti
besi (Fe) juga dapat meningkatkan produksi
hidrogen. Senyawa besi (Fe) berperan sebagai
aktivator enzim yang penting dalam proses
produksi hidrogen. Keberadaan senyawa besi
(Fe) dapat menginduksi perubahan metabolik
dan memicu ekspresi protein Fe-S dan non Fe-S
pada enzim hidrogenase. Sehingga penambahan

besi (Fe) memicu pertumbuhan mikroorganisme
dan meningkatkan produksi hidrogen (Liu, et
al.2008). Selain itu, penambahan besi dapat
mereduksi hasil akhir fermentasi seperti laktat,
ethanol, dan buthanol yang harus dihindari
dalam produksi H2 (Hawkes et al., 2002).
Mikroorganisme
yang
dapat

menghasilkan hidrogen meliputi Cyanobakteria,
bakteri fotosintetik dan bakteri anaerob (Liang,
2003; Nandi and Sengupta, 1998). Bakteri
anaerob yang dapat menghasilkan hidrogen
berupa bakteri anaerob fakultatif dan anaerob
obligat. Bakteri fakultatif anaerob akan
memproduksi ATP melalui respirasi aerob
ketika oksigen masih tersedia dan mampu
bertahan dalam kondisi tidak ada oksigen
dengan melakukan fermentasi secara anaerob.
Dalam keadaan anaerob akan mengaktifkan
enzim hidrogenase dan nitrogenase untuk
menghasilkan hidrogen (Chong et al., 2009).
Contoh bakteri anaerob fakultatif adalah
Escherichia coli, Enterobacter sp., Citrobacter
sp., dan Bacillus sp. Sedangkan contoh bakteri
anaerob obligat seperti purple non-sulphur
bacteria, green and purple sulphur bacteria
(Warthmann et al., 1993), Clostridia sp.,
methylotroph, bakteri rumen, dan archaea (Liu,

2008).
Saat ini, Laboratorium Mikrobiologi dan
Bioteknologi Jurusan Biologi ITS telah memiliki
7 isolat bakteri anaerob dan 38 isolat bakteri
aerob yang mampu menghasilkan biogas dari
limbah organik. Ada kemungkinan salah satu
gas yang dihasilkan adalah gas hidrogen. Namun
produksi gas hidrogen tidak terdeteksi, karena
ada beberapa faktor yang belum diperhatikan.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pola pertumbuhan isolat bakteri
tersebut dengan memperhatikan kondisi fisik
seperti pH medium dan cahaya yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri
aerob dan anaerob selama masa inkubasi dalam
medium limbah organik.
II.
2.1

METODOLOGI


Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian dilakukan pada bulan Maret
2012 – Juni 2012 di Laboratorium Mikrobiologi
dan Bioteknologi, Jurusan Biologi ITS.

53

2.2
Alat, Bahan, dan Prosedur Kerja
2.2.1 Pembuatan Medium Limbah Organik
Cair (LOC)
Lokasi pengambilan sampel limbah
organik adalah Pasar Genteng, Jalan Genteng
Besar, Surabaya. Sampel limbah organik padat
yang memiliki kandungan protein dan lemak,
seperti organ buangan ikan, ayam, dan sapi serta
limbah organik cair yang berupa sisa
perendaman ikan. Limbah padat diambil dan
dimasukkan ke dalam kotak sampel, sedangkan

limbah cair dimasukkan ke dalam botol sampel
steril.
Kemudian,
sampel
dibawa
ke
Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi
Jurusan Biologi ITS untuk diolah. Sampel
limbah padat kemudian dipisahkan antara
limbah organik dan anorganik dan ditimbang
sebanyak 1500 gr, sedangkan untuk sampel
limbah cair disaring agar terbebas dari padatan.
Kemudian, limbah padat organik
sebanyak 30 gr dicampur dengan 3000 ml
limbah cair. Selanjutnya, campuran ini diblender
hingga homogen dan didapatkan filtrat. Filtrat
tersebut disaring dengan menggunakan saringan
dan didapatkan 3000 ml ekstrak limbah organik.
Medium limbah organik cair adalah cairan
ekstrak limbah organik yang telah ditambahkan
dengan 3 gr pupuk NPK (0,1 % dari total
volume limbah organik) dan 3 gr pupuk Urea
(0,1 % dari total volume limbah organik).
Setelah penambahan pupuk NPK dan urea,
medium juga ditambahkan dengan 2,4 gram
FeCl2 (Lee et al., 2001). Setelah itu pH medium
diatur hingga didapat pH netral (pH=7), dengan
menambahkan NaOH 2M atau HCl 2M tetes
demi tetes menggunakan pipet Pasteur.
Selanjutnya, medium limbah organik cair
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
digunakan sebagai reaktor masing-masing
sebanyak 13.5 ml. Kemudian, tabung reaksi
ditutup dengan sumbat kapas dan diautoklaf
selama 15 menit pada suhu 121oC dengan
tekanan 1,5 atm (Wirda, 2009). Medium ini
disiapkan untuk biakan bakteri aerob. Skema
kerja pembuatan medium dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Sedangkan pembuatan medium untuk
isolat bakteri anaerob dilakukan dengan cara
yang sama namun ada sedikit perbedaan.
Medium limbah organik cair untuk isolat bakteri
anaerob selain ditambahkan 3 gr pupuk NPK, 3
gr pupuk Urea, dan 2,4 gram FeCl2 , juga
ditambahkan dengan Na2S sebanyak 1,26 gram

sebagai reducing agent. Setelah itu pH medium
diatur hingga didapat pH netral (pH=7), dengan
menambahkan NaOH 2M atau HCl 2M tetes
demi tetes menggunakan pipet Pasteur.
Selanjutnya, medium limbah organik cair
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
digunakan sebagai reaktor masing-masing
sebanyak 13.5 ml. Kemudian, tabung reaksi
ditutup dengan sumbat kapas dan diautoklaf
selama 15 menit pada suhu 121oC dengan
tekanan 1,5 atm (Wirda, 2009). Skema kerja
pembuatan medium untuk isolat anaerob dapat
dilihat pada Lampiran 2.
2.2.2 Inokulasi Mikroorganisme pada
Medium Limbah Organik Cair
2.2.2.1 Inokulasi Isolat Aerob pada Medium
Limbah Organik Cair
Isolat aerob yang digunakan adalah
isolat koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan
Bioteknologi, Jurusan Biologi ITS Surabaya
sebanyak 5 isolat dengan kode isolat A6, A24,
A25, A27, dan A31 yang cenderung masuk ke
genus Bacillus sp. berdasarkan karakter
biokimia. Isolat kerja adalah isolat yang telah
diadaptasikan pada medium limbah organik cair.
Adaptasi
dilakukan
dengan
cara
menginokulasikan isolat bakteri aerob dari
medium limbah organik padat ke medium
limbah organik cair. Satu ose biakan bakteri
aerob dari limbah organik padat diinokulasikan
ke dalam 10 ml medium limbah organik cair
secara aseptis. Setelah itu diinkubasi selama 24
jam dengan agitasi kemudian diremajakan
kembali ke medium baru yang sama. Peremajaan
dilakukan dengan cara mengambil inokulum
dari biakan usia 24 jam sebanyak 100µl dan
diinokulasikan ke dalam medium limbah organik
cair sebanyak 10ml. Setelah itu diinkubasi
kembali dengan agitasi. Peremajaan isolat
dilakukan sebanyak 3 kali hingga isolat siap
digunakan sebagai isolat kerja. Skema kerja
adaptasi isolat aerob dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Isolat kerja kemudian diinokulasikan ke
dalam bioreaktor. Inokulum diambil dari
masing-masing isolat sebanyak 10% (v/v) dari
volume medium limbah organik, yaitu 1.5 ml
(Wirda, 2009) dan diinokulasikan ke dalam
reaktor, sehingga disebut dengan bioreaktor.
Bagian mulut bioreaktor ditutup dengan rubber
stopper hingga rapat dan dilapisi dengan plastik
wrap. Bioreaktor ditutup dengan kertas karbon
dan dilapisi alumunium foil untuk bioreaktor

54

gelap, sedangkan bioreaktor terang tidak ditutup
dengan kertas karbon ataupun alumunium foil.
Bioreaktor kemudian diinkubasi selama 30 hari
dalam suhu ruang dengan agitasi. Bioreaktor
dibedakan menjadi dua yaitu bioreaktor X untuk
perlakuan pengukuran pH dan OD, dan
bioreaktor untuk pengukuran dan pengatura pH
netral serta OD yang disebut bioreaktor Y.
Untuk perlakuan gelap, bioreaktor X diulang 3
pengulangan dengan kode AXx-1g, AXx-2g, dan
AXx-3g. Sedangkan, bioreaktor terang dikode
dengan AXx-1t, AXx-2t, dan AXx-3t. Perlakuan
gelap untuk bioreaktor Y juga diulang 3
pengulangan dengan kode AYx-1g, AYx-2g, dan
AYx-3g. Sedangkan, bioreaktor terang dikode
dengan AYx-1t, AYx-2t, dan AYx-3t.
Bioreaktor kontrol juga dibuat dua tipe
bioreaktor X dan Y. Bioreaktor kontrol positif
adalah reaktor yang diinokulasikan dengan
bakteri E.coli dengan volume inokulum 10%
(v/v) dan diperlakukan gelap dengan ditutup
kertas karbon dan dilapisi alumunium foil yang
dikode dengan KX+1g, KX+2g, dan KX+3g untuk
bioreaktor X. Untuk bioreaktor Y dikode dengan
KY+1g, KY+2g, dan KY+3g. Sedangkan bioreaktor
X terang tanpa ditutup dengan alumunium foil
dikode dengan KX+1t, KX+2t, dan KX+3t, dan
bioreaktor Y dengan kode KY+1t, KY+2t, dan
KY+3t.
Bioreaktor kontrol negatif merupakan
bioreaktor tanpa pemberian inokulum dan
diperlakukan gelap yang dikode dengan KX_1g,
KX_2g, dan KX_3g untuk bioreaktor tipe X,dan
untuk bioreaktor tipe Y dikode dengan KY_1g,
KY_2g, dan KY_3g .Sedangkan bioreaktor X untuk
perlakuan terang dikode dengan KX_1t, KX_2t,
dan KX_3t, dan untuk bioreaktor tipe Y dikode
dengan KY_1t, KY_2t, dan KY_3t. Bioreaktor
kontol positif dan kontrol negatif juga diinkubasi
selama 30 hari dengan perlakuan agitasi. Skema
kerja inokulasi isolat aerob dapat dilihat pada
Lampiran 5.
2.2.2.2 Inokulasi Isolat Anaerob pada
Medium Limbah Organik Cair
Isolat anaerob yang digunakan adalah
isolat koleksi Laboratorium Mikrobiologi dan
Bioteknologi, Jurusan Biologi ITS Surabaya
sebanyak 5 isolat dengan kode BT2, BT3, BG2,
BG3, dan BG4. Isolat kerja yang diinokulasikan
ke bioreaktor adalah isolat yang telah
diadaptasikan pada medium limbah organik cair.
Adaptasi
dilakukan
dengan
cara
menginokulasikan isolat bakteri anaerob dari

medium Thioglicolate semi padat ke medium
limbah organik cair. Koloni biakan bakteri
anaerob dari medium Thioglicolate semi padat
diambil dengan menggunakan pipet tetes yang
disedot menggunakan selang, kemudian
diinokulasikan ke dalam 15 ml medium limbah
organik cair pada tabung reaksi. Untuk
memberikan kondisi anaerob, digunakan metode
Hungate, dimana bagian head space masingmasing bioreaktor dilakukan penggantian
oksigen dengan gas nitrogen selama 3 menit
(Chung et al., 1997). Bagian mulut bioreaktor
kemudian ditutup dengan rubber stopper hingga
rapat dan dilapisi dengan plastik wrap. Inokulasi
dilakukan secara aseptis. Setelah itu diinkubasi
selama 24 jam dengan agitasi dan diremajakan
kembali ke medium baru yang sama. Peremajaan
dilakukan dengan cara mengambil inokulum dari
biakan usia 24 jam sebanyak 1,5 ml dan
diinokulasikan ke dalam 15 ml limbah organik
cair, dan dilakukan penggantian gas oksigen
dengan gas nitrogen selama 3 menit. Setelah itu
diinkubasi kembali dengan agitasi. Peremajaan
isolat dilakukan sebanyak 3 kali hingga isolat
siap digunakan sebagai isolat kerja. Skema kerja
adaptasi isolat anaerob dapat dilihat pada
Lampiran 4.
Isolat kerja kemudian diinokulasikan ke
dalam bioreaktor. Inokulum diambil dari
masing-masing isolat kerja sebanyak 10% (v/v)
dari volume medium limbah organik, yaitu 1.5
ml (Wirda, 2009) dan diinokulasikan ke dalam
reaktor, sehingga disebut dengan bioreaktor.
Untuk memberikan kondisi anaerob, digunakan
metode Hungate, dimana bagian head space
masing-masing
bioreaktor
dilakukan
penggantian oksigen dengan gas nitrogen selama
3 menit (Chung et al., 1997). Bagian mulut
bioreaktor kemudian ditutup dengan rubber
stopper hingga rapat dan dilapisi dengan plastik
wrap. Bioreaktor ditutup dengan kertas karbon
dan dilapisi alumunium foil untuk bioreaktor
gelap, sedangkan bioreaktor terang tidak ditutup
dengan kertas karbon ataupun alumunium foil.
Bioreaktor kemudian diinkubasi selama 30 hari
dalam suhu ruang dengan agitasi. Bioreaktor
dibedakan menjadi dua yaitu bioreaktor X untuk
perlakuan pengukuran pH dan OD, dan
bioreaktor untuk pengukuran dan pengatura pH
netral serta OD yang disebut bioreaktor Y.
Untuk perlakuan gelap, bioreaktor X diulang 3
pengulangan dengan kode BXx-1g, BXx-2g, dan
BXx-3g. Sedangkan, bioreaktor terang dikode
dengan BXx-1t, BXx-2t, dan BXx-3t. Perlakuan

55

gelap untuk bioreaktor Y juga diulang 3
pengulangan dengan kode BYx-1g, BYx-2g, dan
BYx-3g. Sedangkan, bioreaktor terang dikode
dengan BYx-1t, BYx-2t, dan BYx-3t.
Bioreaktor kontrol juga dibuat dua tipe
bioreaktor X dan Y. Bioreaktor kontrol positif
adalah reaktor yang diinokulasikan dengan
bakteri E.coli dengan volume inokulum 10%
(v/v) dan diperlakukan gelap dengan ditutup
kertas karbon dan dilapisi alumunium foil yang
dikode dengan KXan+1g, KXan+2g, dan KXan+3g
untuk bioreaktor X. Untuk bioreaktor Y dikode
dengan
KYan+1g, KYan+2g, dan KYan+3g.
sedangkan bioreaktor X terang tanpa ditutup
dengan kertas karbon ataupun alumunium foil
dikode dengan KXan+1t, KXan+2t, dan KXan+3t, dan
bioreaktor Y dengan kode KYan+1t, KYan+2t, dan
KYan+3t.
Bioreaktor kontrol negatif merupakan
reaktor tanpa pemberian inokulum dan
diperlakukan gelap yang dikode dengan KXan_1g,
KXan_2g, dan KXan_3g untuk bioreaktor tipe X,dan
untuk bioreaktor tipe Y dikode dengan KYan_1g,
KYan_2g, dan KYan_3g .Sedangkan bioreaktor X
untuk perlakuan terang dikode dengan KXan_1t,
KXan_2t, dan KXan_3t, dan untuk bioreaktor tipe Y
dikode dengan KYan_1t, KYan_2t, dan KYan_3t.
Bioreaktor kontol positif dan kontrol negatif
juga diinkubasi selama 30 hari dengan perlakuan
agitasi. Skema kerja inokulasi isolat anaerob
dapat dilihat pada Lampiran 6.
2.2.3
Pertumbuhan Isolat Aerob dan
Anaerob pada Medium Limbah Organik
Selama masa inkubasi pertumbuhan
isolat bakteri diukur berdasarkan optical density
pada panjang gelombang 600nm setiap 2 hari
sekali selama 30 hari masa inkubasi. Sampel
biakan bakteri aerob diambil dari bioreaktor
dengan menggunakan pipet mikro sebanyak
100µl kemudian diencerkan kedalam aquades
hingga 2 ml, sehingga didapat pengenceran 20
kali. Sampel yang telah diencerkan dimasukkan
dalam kuvet 2 ml dan dideteksi absorbansisi
warnanya
dengan
menggunakan
spektrofotometer yang telah dikalibrasi terlebih
dahulu. Larutan blanko yang digunakan untuk
kalibrasi spektrofotometer adalah 100µl medium
kosong yang diencerkan dengan aquades hingga
2 ml. Skema kerja pengukuran OD isolat aerob
dapat dilihat pada Lampiran 7.
Sedangkan sampel biakan anaerob
diambil dengan menggunakan syiringe steril
ukuran 1 ml. Sebelum syiringe digunakan

dilakukan penggantian gas oksigen pada tabung
syiringe dengan gas nitrogen hingga jenuh.
Tabung bioreaktor dimiringkan secara perlahan
hingga suspensi biakan bakteri menekan gas
yang berada di bagian headspace bioreaktor
dan menyentuh rubber stopper. Jarum syiringe
diinjeksikan pada bagian rubber stopper yang
bersinggungan dengan suspensi biakan bakteri.
Suspensi biakan diambil sebanyak 100 µl dan
diencerkan dengan aquades hingga 2 ml,
sehingga didapat pengenceran 20 kali. Sampel
yang telah diencerkan dimasukkan dalam kuvet
2 ml dan dideteksi absorbansi warnanya dengan
menggunakan spektrofotometer yang telah
dikalibrasi. OD yang diperoleh selanjutnya
dikalikan dengan besarnya pengenceran yaitu
dikali 20. Hasil ini selanjutnya digunakan untuk
membuat kurva pertumbuhan bakteri. Skema
kerja pengukuran OD isolat anaerob dapat
dilihat pada Lampiran 8.
2.2.4

Pengukuran pH dan Perlakuan
Mempertahankan pH Netral
Dua set bioreaktor disiapkan untuk
perlakuan parameter pH. Bioreaktor pertama
atau bioreaktor X adalah bioreaktor yang
disiapkan untuk perlakuan pengukuran pH tanpa
pengaturan pH netral, dan bioreaktor yang kedua
atau bioreaktor Y adalah bioreaktor yang
disiapkan untuk pengukuran dan pengaturan pH
sehingga tetap netral (pH=7).
Pada set bioreaktor X, pengukuran pH
dilakukan setiap 5 hari sekali selama 30 hari
masa inkubasi. Pengukuran pH dilakukan
dengan menggunakan kertas lakmus. Sampel
biakan aerob diambil dengan menggunakan
pipet Pasteur kemudian diteteskan pada kertas
lakmus sehingga diketahui pHnya. Skema kerja
pengukuran pH isolat aerob dapat dilihat pada
Lampiran 9.
Sedangkan sampel biakan anaerob
diambil dengan menggunakan syiringe 1 ml.
Sebelum
syiringe
digunakan
dilakukan
penggantian gas oksigen pada tabung syiringe
dengan gas nitrogen hingga jenuh. Pengambilan
sampel dilakukan dengan memiringkan tabung
bioreaktor hingga suspensi biakan bakteri
menekan gas yang berada di bagian headspace
dan menyentuh rubber stopper. Jarum syiringe
diinjeksikan pada rubber stoper yang
bersinggungan dengan suspensi biakan bakteri.
Sampel diambil dengan menarik ujung syiringe
hingga suspensi masuk ke dalam syiringe.
Sampel yang telah diambil di teteskan pada

56

kertas lakmus untuk diketahui bersarnya pH.
Skema kerja pengukuran pH bioreaktor anaerob
dapat dilihat pada Lampiran 10.
Pada set bioreaktor Y dilakukan
pengukuran dan pengaturan pH netral setiap 5
hari sekali selama 30 hari masa inkubasi.
Pengukuran pH dilakukan dengan cara yang
sama seperti pada bioreaktor set X. Apabila
terjadi perubahan pH maka dilakukan
pengaturan pH hingga menjadi netral (pH=7)
dengan menambahkan NaOH 2 M atau HCl 2M.
Pada bioreaktor aerob pengaturan pH dilakukan
dengan menambahkan NaOH 2 M atau HCl 2M
tetes demi tetes dengan menggunakan pipet
pasteur. Setelah itu bioreaktor digoyang secara
perlahan dan dilakukan pengukuran pH kembali.
Hal ini dilakukan hingga diperoleh pH netral
(pH=7). Skema kerja pengaturan pH bioreaktor
aerob dapat dilihat pada Lampiran 11.
Sedangkan untuk bioreaktor anaerob
pengaturan pH dilakukan dengan menggunakan
syiringe 1 ml. Sebelum syiringe digunakan
dilakukan penggantian gas oksigen pada tabung
syiringe dengan gas nitrogen hingga jenuh.
Pengaturan pH dilakukan dengan memiringkan
tabung bioreaktor hingga suspensi biakan bakteri
menekan gas yang berada di bagian headspace
dan menyentuh rubber stopper. Jarum syiringe
diinjeksikan pada rubber stoper yang
bersinggungan dengan suspensi biakan bakteri.
Larutan NaOH 2 M atau HCl 2M ditambahkan
secara perlahan ke dalam bioreaktor. Setelah itu
tabung bioreaktor digoyang secara perlahan dan
dilakukan pengukuran pH kembali. Hal ini
dilakukan hingga diperoleh pH netral (pH=7).
Skema kerja pengaturan pH bioreaktor anaerob
dapat dilihat pada Lampiran 12.
III.

Hasil dan Pembahasan

3.1
Adaptasi Isolat Bakteri Aerob dan
Anaerob
Adaptasi merupakan suatu proses
menyesuaikan diri suatu isolat bakteri ke dalam
suatu medium baru agar isolat bakteri tersebut
mampu bertahan hidup. Ii (2010) menyebutkan
bahwa
perubahan
lingkungan
dapat
mengakibatkan perubahan sifat morfologi dan
fisiologi mikroba sehingga dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan viabilitas mikroba dalam
medium baru. Dalam penelitian ini medium
yang digunakan adalah medium limbah organik
cair.

Perbedaan tipe medium dari medium
padat ke medium cair juga dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan viabilitas bakteri, meskipun
medium yang digunakan adalah sama. Pada
medium padat, pertumbuhan bakteri berupa
pertumbuhan yang melekat pada permukaan
medium (attached growth), sedangkan pada
medium cair tipe pertumbuhannya akan
menyerupai suspensi larut (suspended growth).
Bakteri dalam keadaan tersuspensi akan tumbuh
merata di semua bagian medium, baik yang di
permukaan, di kolom medium, bahkan di dasar.
Bakteri akan mendapatkan oksigen untuk
respirasi apabila berada di daerah permukaan
yang terpapar langsung dengan udara.
Sedangkan bakteri yang tumbuh di daerah
kolom medium dan di dasar akan mendapatkan
oksigen berupa oksigen terlarut dalam medium.
Adanya agitasi dapat menyebabkan pemerataan
pertumbuhan dan suplai oksigen bagi bakteri.
Perbedaan inilah yang menyebabkan bakteri
perlu melakukan adaptasi dengan kondisi
medium yang baru, yang memiliki karakteristik
berbeda dengan medium awal. Bakteri yang
akan diadaptasikan berasal dari medium limbah
organik padat untuk isolat aerob, dan untuk
isolat
anaerob
berasal
dari
medium
Thioglycollate semi padat.
Medium Thioglycollate merupakan
medium pengaya yang mensuplai semua
kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh bakteri
anaerob sehingga bakteri mampu tumbuh
optimum. Sedangkan medium yang akan
digunakan adalah medium cair yang diolah dari
limbah organik. Perpindahan dari medium
pengaya ke medium limbah organik cair tanpa
pengadaptasian akan menyebabkan stress pada
bakteri. Oleh karena itu perlu adanya
pengadaptasian untuk penyesuaian dengan
lingkungan yang baru.
Adaptasi dilakukan dengan tiga kali
transfer adaptasi. Transfer adaptasi I merupakan
perpindahan isolat dari medium awal ke medium
limbah organik cair. Transfer II dilakukan
dengan memindahkan inokulum dari transfer I
yang berusia 24 jam ke medium limbah organik
cair yang baru. Transfer III yaitu inokulum dari
transfer kedua yang berusia 24 jam dipindahkan
kembali ke medium limbah organik cair yang
baru. Pada jam ke-24, 48, dan 72 setiap transfer
diukur pertumbuhan bakterinya. Transfer
dilakukan setiap 24 jam karena sebelum
penelitian ini dilakukan, belum diketahui siklus
pertumbuhan masing-masing isolat. Secara

57

umum bakteri telah melewati fase lag, log,
stasioner dan kematian dalam waktu 24 jam.
Gambar 10 menunjukkan kondisi pertumbuhan
masing-masing isolat tersebut.

Sedangkan untuk isolat anaerob (BT3,
BG2 dan BG4) terlihat bahwa walaupun
dilakukan transfer tetapi pertumbuhannya masih
cenderung lambat, kecuali untuk isolat BT3. Hal
ini dapat dilihat dari Gambar 11, pada transfer I
angka absorbansi kekeruhan sel masih dibawah
0, atau belum terjadi adanya pertumbuhan. Oleh
karena itu masa inkubasi diperpanjang hingga 48
jam.

Gambar 10. Adaptasi isolat bakteri aerob A6,
A27, A31 dan K+
Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat
bahwa isolat bakteri aerob A6, A27, dan A31
mengalami kenaikan pertumbuhan setelah
mengalami tiga kali transfer adaptasi. Isolat
bakteri A31 menunjukkan proses adaptasi yang
signifikan mulai dari transfer I hingga transfer
III. Berdasarkan Gambar 10, maka inokulum
yang digunakan sebagai starter adalah inokulum
yang berasal dari transfer III. Pada kontrol
positif (Escherichia coli) juga terjadi
pertumbuhan tinggi ketika sudah melewati
proses transfer III. Hasil ini menunjukkan bahwa
E. coli memang bakteri heterotroph universal
yang mampu beradaptasi dan hidup pada segala
jenis medium .

Gambar 11. Adaptasi bakteri anaerob isolat
BT3, BG2, BG4 dan kontrol positif
Isolat BT3 setelah melewati proses
transfer II dan III, menunjukkan adanya
pertumbuhan. Hasil ini menunjukkan bahwa
hanya isolat bakteri BT3 mampu beradaptasi
pada medium limbah organik cair setelah
dipindahkan dari medium Thioglycollate.
Sehingga isolat bakteri anaerob BT3 inilah yang
selanjutnya digunakan sebagai isolat uji
pertumbuhannya. Sebagai kontrol positif untuk

58

bakteri anaerob juga digunakan E.coli yang
merupakan bakteri heterotroph yang bersifat
fakultatif anaerob. Berdasarkan Gambar 11
menunjukkan bahwa setelah transfer III E.coli
mampu
beradaptasi
dan
mengalami
pertumbuhan yang signifikan.
Adanya pertumbuhan bakteri aerob
(Gambar 10) dan anaerob (Gambar 11) pada
medium limbah organik cair menunjukkan
bahwa bakteri mampu memanfaatkan nutrisi
yang ada pada medium tersebut. Menurut
Afriani dan Lukman (2011), kebutuhan bakteri
berupa:
1. Sumber energi yang dapat berasal dari
cahaya (fototrof) dan karbon organik
(kemoorganotrof)
2. Sumber karbon berupa karbon anorganik
(karbon dioksida) dan karbon organik
(seperti karbohidrat).
3. Sumber nitrogen dalam bentuk garam
nitrogen anorganik (seperti kalium
nitrat) dan nitrogen organik (berupa
protein dan asam amino).
4. Unsur non logam seperti sulfur dan
fosfor
5. Unsur logam (seperti kalium, natrium,
magnesium, besi, tembaga).
6. Air untuk fungsi – fungsi metabolik dan
pertumbuhan.
Bakteri dapat tumbuh dalam medium
yang mengandung satu atau lebih persyaratan
nutrisi tersebut. Medium limbah organik cair
yang digunakan dalam penelitian ini tidak
dilakukan analisa komposisi penyusunnya, akan
tetapi medium limbah organik cair ini
diasumsikan mengandung nutrisi yang lengkap
bagi bakteri, karena berasal dari limbah pasar
yang mengandung air ikan, udang, cumi, juga
potongan potongan ayam, dan insang ikan yang
kaya akan karbohidrat, protein dan lemak. Selain
itu, dalam medium limbah organik cair ini juga
ditambahkan unsur Fe dari FeCl27H2O, NPK,
dan urea, sehingga membantu bakteri dalam
proses adaptasinya. Penambahan unsur Fe ini
digunakan sebagai aktivator enzim hidrogenase
dari bakteri sehingga
bakteri mampu
menghasilkan gas Hidrogen. Sedangkan khusus
untuk medium anaerob, limbah organik cair juga
ditambahkan Na2S yang berfungsi sebagai agen
pereduksi yang mampu mereduksi oksigen yang
terlarut dalam medium.
3.2
Pengaruh pH dan Cahaya terhadap
Pertumbuhan Bakteri Aerob

Cahaya dan pH dapat mempengaruhi
pola pertumbuhan bakteri. Pertumbuhan dapat
berupa pertambahan volume dan ukuran sel dan
juga sebagai pertambahan jumlah sel. Pada
penelitian ini dilakukan uji pengaruh pH dan
cahaya
terhadap
pertumbuhan
bakteri.
Bioreaktor yang digunakan adalah tabung reaksi
yang berisi 10 ml medium dan inokulum
sebanyak 10% dari total medium. Gambar 12
menunjukkan pertumbuhan isolat bakteri pada
perlakuan I (perlakuan tanpa pengaturan pH)
dan perlakuan II (perlakuan dengan pengaturan
pH).

Gambar 12. Grafik pertumbuhan isolat bakteri
aerob dalam tabung reaksi pada perlakuan I
(tanpa pengaturan pH) dan perlakuan II (dengan
pengaturan pH).
Pada kedua grafik diatas (Gambar 12),
terlihat bahwa telah terjadi kematian isolat
bakteri pada hari ke-4, sehingga pada perlakuan
II belum dilakukan pengaturan pH. Meskipun
demikian, hasil pengukuran menunjukkan bahwa
pH pada hari ke-4 masih tetap netral seperti hari
ke-0. Penyebab kematian isolat bakteri

59

kemungkinan besar adalah terbatasnya jumlah
medium yang digunakan sebagai sumber nutrisi.
Medium limbah organik cair sebanyak 10 ml
dalam tabung reaksi
hanya cukup untuk
memenuhi nutrisi bakteri 2 hari saja. Oleh
karena itu perlu penambahan volume medium
limbah organik cair yang mampu menyediakan
nutrisi bagi bakteri hingga 30 hari masa
inkubasi.
Penambahan volume medium ini
mengubah ukuran bioreaktor. Bioreaktor tabung
reaksi diganti dengan gelas erlenmeyer 250ml.
Bioreaktor yang baru berisi medium sebanyak
240 ml dan inokulum yang ditambahkan sebesar
10 ml. Jumlah medium dan inokolum adalah 250
ml, hal ini disengaja agar headspace bioreaktor
tidak terlalu luas (Gambar 13). Sehingga
diharapkan selama 30 hari masa inkubasi
kondisi anaerob cepat terjadi. Kondisi anaerob
akan mempercepat proses fermentasi untuk
menghasilkan gas hidrogen.

Headspace

Gambar 13. Bioreaktor erlenmeyer 250 ml.
Inokulum yang digunakan sebagai
inokulum kerja selanjutnya adalah inokulum
yang berasal dari bioreaktor tabung reaksi
sebelumnya (Gambar 12). Pemilihan isolat kerja
ini berdasarkan pertumbuhannya. Isolat yang
memiliki pertumbuhan tinggi pada hari ke-2
(tanda lingkaran) itulah yang digunakan, yaitu
isolat A6, A 27, dan A31. Pertumbuhan isolat
bakteri aerob A6, A27 dan A31 pada bioreaktor
Erlenmeyer 250 ml untuk perlakuan I dan
perlakuan II selama 30 hari masa inkubasi dapat
dilihat pada Gambar 14 sampai Gambar 18.

Gambar 14. Pertumbuhan isolat aerob dalam erlenmeyer 250 ml pada perlakuan I dan perlakuan II
selama 30 hari masa inkubasi
51

tersedia dan mampu bertahan dalam kondisi
tidak ada oksigen dengan melakukan fermentasi
secara anaerob (Chong et al., 2009). Proses
aerob biasanya menghasilkan biomassa dalam
jumlah besar (66%) dan menghasilkan air, gas,
asam organik (34%) (Sutapa, 1999). Berikut
adalah reaksi yang terjadi pada proses aerob.

Berdasarkan Gambar 14 hingga Gambar
18 dapat dilihat bahwa pertumbuhan isolat
bakteri aerob dari hari ke-2 sampai dengan hari
ke-30 pada kedua perlakuan (perlakuan I dan II),
telah memasuki fase kematian, kecuali pada
isolat A6 yang cenderung stasioner. Pada
penelitian ini tidak bisa menunjukkan semua
fase pertumbuhan bakteri yang meliputi fase lag,
fase log, fase stasioner, dan fase kematian. Fasefase tersebut hanya dapat diketahui apabila
pertumbuhan bakteri diukur per jam selama 24
jam dan ditumbuhkan pada medium pengaya.
Medium pengaya menyediakan nutrisi yang
mudah untuk diabsorb dan dimanfaatkan oleh
bakteri untuk memenuhi proses metabolismenya.
Pada penelitian ini pengukuran dilakukan dalam
rentang harian, untuk mengetahui pola
pertumbuhan bakteri aerob penghasil gas
hidrogen apabila diinkubasi selama 30 hari.
Selain itu medium yang digunakan adalah
medium limbah organik cair yang tidak
diketahui komposisinya. Akan tetapi dalam
medium limbah organik ini, diasumsikan
mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan
oleh bakteri, namun masih tersedia dalam bentuk
kompleks, sehingga masih dibutuhkan adanya
proses degradasi.
Hasil ini (Gambar 14 - 18) menunjukkan
bahwa semakin berkurang jumlah nutrisi, maka
semakin menurun pula populasi bakteri.
Pertumbuhan bakteri aerob pada kondisi gelap
dan terang tidak menunjukkan perbedaan,
kecuali isolat A6 perlakuan I (Gambar 14). Hal
ini menunjukkan bahwa cahaya tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan isolat
bakteri aerob. Isolat bakteri aerob dengan kode
A6, A27 dan A31 merupakan bakteri yang
termasuk dalam genus Bacillus Sp. berdasarkan
karakteristik biokimia. Bakteri genus Bacillus
merupakan
organisme
heterotroph
(kemoorganotrof), yang menggunakan karbon
organik sebagai sumber karbon dan elektron
donor reaksi redoks dalam sistem transport
elektron. Glukosa merupakan senyawa organik
yang secara luas digunakan sebagai sumber
karbon sekaligus sebagai sumber energi
(Madigan et al., 2009). Pada isolat A6 perlakuan
I, pemberian kondisi gelap menunjukkan grafik
pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding
perlakuan terang.
Bakteri genus Bacillus merupakan
bakteri yang bersifat fakultatif anaerob. Bakteri
fakultatif anaerob akan memproduksi ATP
melalui respirasi aerob ketika oksigen masih

Proses oksidasi dan sintesis:
CHONS + O2 + Nutrien Bakteri
CO2 + NH3 + C5H7NO2
(15)
Proses respirasi endogenous:
C5H7NO2 + 5 O2
5CO2 + 2H2O +NH3 + Energi
(16)
(Nurita, 2000).
Berdasarkan hasil pengukuran pH,
ternyata selama 30 hari inkubasi pH relatif stabil
netral (Gambar 14-18). Sehingga untuk
perlakuan II tidak pernah dilakukan pengaturan
pH. Perlakuan I dan II seakan menjadi ulangan
penelitian. Derajat keasaman (pH) tergantung
pada banyak sedikitnya H+ dalam suatu medium
yang menyebabkan medium menjadi asam.
Keasaman terjadi karena adanya akumulasi
asam-asam organik yang dihasilkan selama
proses fermentasi. Proses fermentasi dapat
terjadi dalam kondisi anaerobik atau dengan
kondisi tanpa kehadiran oksigen. Hal ini karena
dalam proses fermentasi tidak menggunakan
oksigen sebagai akseptor elektron terakhir, akan
tetapi menggunakan asam organik (Madigan et
al., 2009).
Produksi hidrogen oleh bakteri terjadi
melalui proses fermentasi dengan menghasilkan
asam asetat. Asam asetat (CH3COOH) termasuk
dalam kategori asam lemah. Asam lemah dalam
suatu medium akan sulit untuk menyebabkan
perubahan pH medium dan cenderung
mempertahankan pH, kecuali tersedia dalam
jumlah yang melimpah (Svehla, 1979). Pada
penelitian ini mungkin jumlah asam asetat yang
dihasilkan melalui proses fermentasi dalam
menghasilkan hidrogen mungkin dalam jumlah
yang sedikit sehingga tidak mampu merubah pH
medium dan cenderung mempertahankan pH
awal (pH=7). Selain itu kestabilan pH ini dapat
pula disebabkan karena adanya penambahan
FeCl2 pada medium sebagai aktivator enzim
hidrogenase. Gugus Fe dalam medium dapat
mereduksi hasil akhir fermentasi H2 yang berupa
asam asam organik seperti asam asetat, asam
laktat, ethanol dan butanol untuk meningkatkan
produksi hidrogen (Hawkes et al., 2002).
Dengan demikian tidak adanya asam asam
51

52

organik hasil fermentasi, menyebabkan tidak
terjadi perubahan pH medium selama 30 hari
masa inkubasi (pH=7).

(b)
(a)
Gambar 19. Perbedaan warna dan ukuran
substrat yang didegradasi bakteri E. coli (kontrol
positif) (a) dan kontrol negatif (b)
Perubahan warna medium dari kuning
kecoklatan menjadi hitam juga mengindikasikan
adanya reaksi biokimia yang terjadi pada
medium. Reaksi biokimia yang terjadi karena
adanya metabolisme yang dilakukan oleh bakteri
untuk mendegradasi substrat dalam medium.
Perubahan warna medium ini disebabkan karena
adanya penambahan Fe2+ pada medium. Fe2+
ketika bertemu dengan O2 akan berubah menjadi
FeO(OH) yang berwarna hitam, kemudian
FeO(OH) selanjutnya diubah menjadi Fe2O3 dan
H2O. Fe2O3 (ferric oxide) juga memiliki warna
merah sampai coklat kehitaman (Greenwood, N.
N.dan Earnshaw, A., 1997).
4 Fe + 3 O2 + 2 H2O → 4 FeO(OH)
(17)
2 FeO(OH) → Fe2O3 + H2O
(18)
Ketersedian oksigen dalam bioreaktor
aerob menyebabkan adanya ikatan antara O2 dan
Fe2+ sehingga terjadi perubahan warna medium
menjadi hitam. Adanya degradasi substrat
ditunjukkan dengan perbedaan antara kontrol
positif dan kontrol negatif seperti yang terlihat
pada Gambar 19. Medium yang berisi bakteri
mengalami perubahan konsistensi substrat
menjadi halus, bening, dan berwarna hitam.
Sedangkan medium kontrol negatif tetap
memiliki konsistensi substrat yang kasar dan
berbentuk gumpalan-gumpalan dengan warna
kuning kecoklatan.
3.3
Pengaruh pH dan Cahaya terhadap
Pertumbuhan Bakteri Anaerob
Bakteri anaerob merupakan bakteri yang
tidak menggunakan oksigen (O2) sebagai aseptor

elektron terakhir pada proses respirasinya
(Madigan et al., 2009). Kehadiran oksigen
dalam lingkungan bakteri anaerob obligat dapat
menimbulkan toksik bagi bakteri. Ketika
oksigen direduksi, maka dihasilkan beberapa
produk yang bersifat toksik seperti hidrogen
peroksida (H2O2), superoksida (O2-) dan
hidroksil radikal (OH-) (Nelson et al., 2004).
Ketidakmampuan toleransi terhadap oksigen
oleh bakteri anaerob obligat karena bakteri
tersebut tidak mampu mendetoksifikasi beberapa
hasil metabolisme oksigen. Pada penelitian ini
dilakukan penggantian oksigen di bagian
headspace bioreaktor sehingga kondisi anaerob
dapat terpenuhi. Selain itu menurut Nurfiningsih
(2009),
beberapa
faktor
yang
dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan proses
fermentasi bakteri anaerob diantaranya adalah
keasaman (pH) dan cahaya.
Berdasarkan proses adaptasi yang telah
dilakukan sebelumnya, dari ketiga isolat bakteri
anaerob obligat hanya satu isolat bakteri yang
mampu tumbuh dan beradaptasi pada medium
limbah organik cair. Bakteri tersebut adalah
isolat dengan kode BT3. Selanjutnya isolat
bakteri anaerob BT3 inilah yang diamati
pertumbuhannya selama 30 hari masa inkubasi.
Pertumbuhan isolat bakteri anaerob BT3, kontrol
positif dan kontrol negatif dapat dilihat pada
Gambar 20 sampai Gambar 22.

53

Gambar 16. Pertumbuhan isolat anaerob dalam erlenmeyer 250 ml pada perlakuan I dan perlakuan II.

Berdasarkan Gambar 16 dapat dilihat
bahwa selama 30 hari masa inkubasi tidak
terjadi perubahan pH, sehingga perlakuan II
tidak perlu dilakukan pengaturan pH. Tidak
adanya perubahan pH ini menyebabkan
Perlakuan I dan II seolah tidak ada perbedaan
perlakuan, melainkan dianggap sebagai ulangan
penelitian. Kestabilan pH selama masa inkubasi,
sama dengan isolat bakteri aerob pada
pembahasan sebelumnya. Pertumbuhan isolat
bakteri anaerob (BT3) dari hari ke-2 sampai
dengan hari ke-30 pada kedua perlakuan
(perlakuan I dan II), menunjukkan adanya fase
lag, log dan stasioner. Pada kontrol positif
memiliki pertumbuhan yang relatif lebih cepat
dibandingkan dengan isolat BT3, akan tetapi

pertumbuhan isolat BT3 selama 30 hari masa
inkubasi, lebih tinggi dibanding kontrol positif.
Meskipun
sebelumnya
sudah
diadaptasikan dengan 3 kali transfer, isolat BT3
terdeteksi masih membutuhkan waktu adaptasi
untuk tumbuh di medium limbah organik cair.
Hal ini terlihat pada Gambar 16, dimana dari
hari ke-0 sampai hari ke-2 masih memiliki
pertumbuhan yang lambat (fase lag). Akan tetapi
pada hari ke-4 sudah mulai terjadi peningkatan
pertumbuhan hingga mencapai pertumbuhan
optimum pada hari ke-18 (fase log). Fase
stasioner terjadi setelah hari ke-18 hingga hari
ke-30. Pada kontrol positif pada hari ke-2 sudah
menunjukkan pertumbuhan yang relatif tinggi
jika dibandingkan dengan isolat BT3 dan hari
ke-4 sudah memiliki pertumbuhan optimum dan

52

selanjutnya stasioner (Gambar 16). Hasil ini juga
menunjukkan bahwa semakin berkurang jumlah
nutrisi, maka semakin menurun pula populasi
bakteri. Sedangkan untuk kontrol negatif, tidak
terlihat adanya pertumbuhan.
Pertumbuhan bakteri anaerob pada
kondisi gelap dan terang tidak menunjukkan
perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa cahaya
tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan isolat
bakteri anaerob. Bakteri anaerob yang
digunakan belum diidentifikasi, sehingga belum
dapat diketahui metabolisme yang digunakan
dalam memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan
penelitian ini, cahaya tidak berpengaruh
terhadap pertumbuhan isolat bakteri anaerob.
Sehingga kemungkinan isolat bakteri BT3
merupakan
mikroorganisme
heterotroph
(kemoorganotrof), yang menggunakan karbon
organik sebagai sumber karbon dan elektron
donor reaksi redoks dalam sistem transport
elektron.
Medium limbah organik cair dapat
menyediakan sumber nutrisi yang lengkap bagi
pertumbuhan bakteri anaerob. Bakteri anaerob
obligat mampu mencerna bahan organik yang
terkandung dalam medium limbah organik cair
secara anaerobik. Pencernaan anaerobik
merupakan proses untuk stabilisasi bahan
organik, yang hadir dalam limbah biologis
melalui kondisi anaerob. Degradasi bahan
organik kompleks melibatkan kerusakan hampir
semua jenis biomassa (limbah) menjadi senyawa
terlarut
(Kalia,
2007).
Bakteri
akan
menggunakan bahan-bahan organik yang
terkandung dalam limbah organik cair sebagai
sumber nutrisinya, selain itu juga ada beberapa
unsur kimia penting seperti N, P, K, Fe dan
unsur lainnya yang digunakan sebagai nutrisi
untuk pertumbuhan bakteri sehingga bakteri
dapat tumbuh optimal.
Perubahan warna medium pada medium
yang berisi isolat bakteri BT3 terjadi lebih cepat
dibandingkan dengan kontrol positif, pada hari
ke-2 sudah menunjukkan perubahan medium
dari kuning kecoklatan menjadi hitam (Gambar
17). Perubahan warna ini selain menunjukkan
adanya proses metabolisme, juga diduga karena
adanya reaksi yang terjadi antara FeCl2 dan
Na2S yang ditambahkan pada medium. Reaksi
19 menunjukkan reaksi antara kedua senyawa
tersebut menghasilkan garam dan FeS sehingga
menyebabkan warna hitam (Svehla, 1979).
FeCl2 + Na2S→ FeS + 2NaCl (19)
(Svehla, 1979).

(a)

(b)

Gambar 17. Perubahan warna medium limbah
organik cair setelah 2 hari masa inkubasi. (a)
medium berisi isolat bakteri BT3, (b) medium
kontrol negatif
Adanya metabolisme secara anaerob
yang dilakukan oleh bakteri, juga dibuktikan
dengan adanya perubahan konsistensi substrat
medium limbah organik cair. Medium yang
berisi bakteri mengalami perubahan konsistensi
substrat menjadi halus dan berwarna hitam
hingga hari ke-30 masa inkubasi (hari terakhir
inkubasi). Sedangkan medium kontrol negatif
tetap memiliki konsistensi substrat yang kasar
dan berbentuk gumpalan-gumpalan dengan
warna kuning kecoklatan.
IV.

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah:
1. Selama 30 hari masa inkubasi tidak
menunjukkan adanya perubahan pH,
akan
tetapi
terlihat
perubahan
konsistensi substrat kasar menjadi halus.
2. Cahaya tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan isolat bakteri aerob
maupun anaerob.
3. Isolat
bakteri
anaerob
memiliki
pertumbuhan yang lebih lambat
dibanding isolat aerob. Isolat bakteri
aerob tidak terjadi adanya fase lag dan
log, tetapi cenderung terjadi penurunan
pertumbuhan secara terus menerus (fase
kematian) selama 30 hari masa inkubasi.
Isolat
bakteri
anaerob
memiliki
pertumbuhan yang lebih lambat, dimana
terlihat fase lag pada hari ke-0 hingga
hari ke-2, fase log pada hari ke-2 hingga
ke-18 dan fase stasioner pada hari ke-18
hingga hari ke-30 masa inkubasi.

53

DAFTAR PUSTAKA
Adams, Stiefel EI (1998), Biological H2 : Not
So Elementary. Science. 282 :18421843.
Afriani, Suryono dan H. Lukman. 2011.
Karakteristik dadih susu sapi hasil
fermentasi beberapa starter bakteri asam
laktat yang diisolasi dari dadih asal
kabupaten kerinci, Agrinak, Vol. 01. 3642
Agrawal, P., R. Hema, dan S. Mahesh kumar.
2007. Experimental Investigation on
Biological Hydrogen Producing Using
Different Biomass. Jurnal Teknologi
Keluaran Khas. 47 : 13-24.
Balat, Mustafa., Balat, Mamet. 2009. Political,
Economic, and Environmental Impact of
Biomass-Based Hydrogen. Int J
Hydrogen Energy 34 : 3589-3603.
Bolton JR. 1996. Solar photoproduction of H2.
Sol Energy. 57 :37-50
Cairns D. 2009. Intisari Kimia Farmasi Edisi
Kedua. Kedokteran EGC. Jakarta.
Cai, Guiqin., Saint, Chris., Monis, Paul.
Metabolic Flux Analysis of Hydrogen
Production Network By Clostridium
butyricum W5: Effect of pH and
Glucose Concentrations. International
Journal of Hydrogen Energy 35: 66816690.

Microbiology and Biotechnology 57(12):56-64.
Chen W, Chen S, Kumar Khanal S, Sung S.
2006. Kinetic Study of Biological
Hydrogen Product Ion by Anaerobic
Fermentation.
Int
J
Hydrogen
Energy;31(15):2170-2178.
Chong M, Rahim RA, Shirai Y, Hassan MA.
2009. Biohydrogen production by
Clostridium butyricum EB6 from palm
oil mill effluent. Int J Hydrogen
Energy;34(2):764-771.
Chong, Mei Ling., Sabaratnam, Vikyneswary.,
Shirai, Yoshihito., Hassan, Mohd Ali.
2009. Biohydrogen Production From
Biomass And Industrial Wastes By Dark
Fermentation. Int J of Hydrogen Energy
34: 3277-3287.
Chung, K. T. dan M. P. Bryant. 1997. Robert E.
Hungate : Pioneer of Anaerobic
Microbial Ecology. Department of
Microbiology and Molecular Cell
Sciences, The University of Memphis,
Memphis, TN 38152 Department of
Animal Sciences, University of Illinois,
Urbana, IL 61, U.S.A. Anaerob (3): 213217.
Das, Debabrata., Veziroglu, T. Nejat. 2008.
Advances In Biological Hydrogen
Production Processes. Hydrogen Energy
33: 6046-6057.

ChangJ-S,Lee K-S, Lin P-J. 2002, Biohydogen
Production With Fixed-Bed Bioreactor.
Int J Hydrogen Energy 27 : 167-174.

Fascetti E, Todini O. 1995. Rhodobacter
sphaeroides RV Cultivation and H 2
Production in a One-And Two-Stage
Chemostat. Appl Microbiol Biotechnol
22:300-305.

Chen, G. dan L. Zhao. 2001. Preliminary
Investigation on Hydrogen-Rich Gas
Production by co Steam Reforming of
Biomass
and
Crude
Glycerin.
International Journal of Hydrogen
Energy: 1–9.

Gallert, C dan J. Winter. 2005. Bacterial
Metabolism in Wastewater Treatment
Systems. Environmental Biotechnology.
Concepts and Applications.

Chen CC, Lin CY, Chang JS. 2005. Kinetics of
Hydrogen Production With Continuous
Anaerobic Cultures Utilizing Sucrose as
The Limiting Substrate. Applied

Ghiradi ML, Zhang L, Lee JW, Flynn T, Seibert
M,Greenbaum E, Melis A. 2000.
Microalgae: a Green Source of
Renewable
Hydrogen.
Trends
Biotechnology;18:506-511.

54

Greenwood, N. N.; Earnshaw, A. 1997.
Chemistry of the Element (2nd ed.).
Oxford: Butterworth-Heinemann.
Guo, Xin Mei., Trably, Eric., Latrille, Eric.,
Carrere,Helene., Steyer, Jean Philiph.,
2010. Hydrogen Production From
Agricultural
Waste
By
Dark
Fermentation: Review. International
Journal Of Hydrogen Energy. 35:1066010673.
Hafez. Hisham., George. 2009. Comparative
Assessment of Decoupling of Biomass
and Hydraulic Retention Time In
Hydrogen Production Bioreactor. Int J
of hydrogen energy. 34:7603-7611.
Hallenbeck, Patrick., Hashesh, Mona Abo.,
Ghosh, Dipankar. 2012. Strategies for
Improving
Biological
Hydrogen
Production. Bioresource technology: 19.
Han

SK, Shin HS. 2004. Biohydrogen
Production by Anaerobic Fermentation
of Food Waste. International Journal of
Hydrogen Energy 29(6):569-577.

Hawkes FR, Dinsdale R, Hawkes DL, Hussy I.
2002.
Sustainable
Fermentative
Hydrogen Production: Challenges For
Process Optimisation. Int J Hydrogen
Energy;27(11-12): 1339-1347.
Hussy I., Hawkes F. R., Dinsdale R., dan
Hawkes D. L. 2003. Continuous
Fermentative Hydrogen Production
From A Wheat Starch Co-Product by
Mixed Microflora. Biotechnology and
Bioengineering. 84 (6) : 619-626.
Kalia, V.C. 2007. Applied Microbiology :
Microbial Treatment of Domestic and
Industrial Wastes for Bioenergy
Production. Microbial Biotechnology
and Genomics, Institute of Genomics
and
Integrative
Biology.
http://nsdl.niscair.res.in/bitstream/12345
6789/650/1/DomesticWaste.pdf diakses
pada tanggal 06 juli 2012 pukul 15.46
wib.

Karlsson A, Valli n L, Ejler tsson J. 2008.
Effects of Temperature, Hydraulic
Retention
Time
and
Hydrogen
Extraction
Rate
on
Hydrogen
Production From The Fermentation of
Food Industry Residues And Manure.
Int J Hydrogen Energy; 33(3):953-962.
Khanal, Samir Kumar., Chen, Wen-Hsing., Li,
Ling., Sung, Shihwu. 2004. Biological
Hydrogen Production: Effect of pH and
Intermediet Products. Hydrogen energy
29: 1123-1131.
Kirtay,

Elif. 2011. Recent Advances In
Production of Hydrogen From Biomass.
Energy Conversion And Management
52:1778-1789.

Kusdriana, D. 2011. Penawaran
Daftar
Peraturan Limbah B3 Di Indonesia.
http://mediadata.co.id/REGIND2011/Daftar-Peraturan-Limbah-B3-diIndonesia-2011.pdf diakses pada tanggal
04 Desember 2011 pukul 05.39 wib.
Kusnoputranto,
H.
1985.
Kesehatan
Lingkungan. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Universitas Indonesia,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Lara, C., E. Latrille, T. Conte, N. Bernet, P.
Buffiere, dan J. Steyer. 2011.
Optimization of Hydrogen Production in
Anaerobic Digestion Processes. Prancis.
Lay JJ, Fan KS, Chang J, Ku CH. 2003.
Influence of Chemical Nature of
Organic Wastes on Their Conversion to
Hydrogen by Heat-Shock Digested
Sludge. International Journal of
Hydrogen Energy 28(12):1361-1367.
Lay JJ, Li YY, Noike T. 1997. Influences of Ph
And Moisture Content on The Methane
Production In High-Solids Sludge
Digestion. Water Research 31(6):15181524.
Lee, Y. J., Miyahara T., dan Noike T. 2001.
Effect of Iron Concentration on
Hydrogen Fermentation. Bioresource
Technology. 80 (3) : 227-231.

55

Teknologi
Bioindustri
BPPT.
http://www.analitik.chem.its.ac.id/attach
ments/-01_03-%