Tata Laksana Terkini Koinfeksi Hiv Dan Hepatitis C

TATA LAKSANA TERKINI KOINFEKSI HIV DAN HEPATITIS C
Restuti S, Endang, Franciscus G, Tambar K, Armon R, Yosia G, Renti W
Divisi Penyakit Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU
RSUP. Haji Adam Malik

PENDAHULUAN
Hepatitis C merupakan masalah kesehatan yang serius di Indonesia dengan angka
prevalensi dan komplikasi yang cukup tinggi. Diagnosis dan tatalaksana pasien hepatitis C
dengan tepat dan menyeluruh dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas secara bermakna.
Meskipun begitu, banyak hambatan yang ditemukan sehubungan dengan tata laksana pasien
hepatitis C, baik dari segi pasien sendiri seperti kepatuhan minum obat dan mahalnya biaya
pengobatan, maupun dari segi tenaga kesehatan berupa masih tidak meratanya pengetahuan
mengenai hepatitis C bagi para dokter, tenaga medis serta instansi terkait dalam penanganan
kasus hepatitis C di Indonesia.
Seiring dengan meningkatnya insidens HIV maka koinfeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dengan virus hepatitis C telah menjadi masalah yang semakin banyak dijumpai di

dunia.
Selama lebih dari satu dekade, pengobatan untuk hepatitis C adalah kombinasi
peginterferon dan ribavirin (PegIFN/RBV), akan tetapi kombinasi ini dikaitkan dengan
rendahnya respon imunologis menetap/Sustained Virologic Response (SVR) terutama pada

koinfeksi HIV dan hepatitis C.1 Kemajuan pesat obat anti virus hepatitis C menghasilkan suatu
penemuan kelas baru dari anti virus, yaitu Direct Acting Antiviral (DAA), suatu agen anti virus
yang bekerja secara langsung pada fase replikasi virus hepatitis C.1 Saat ini, DAA telah disetujui
oleh Food and Drug Administration (FDA). Pedoman baru telah dikeluarkan oleh American
Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) dan Infections Diseases Society of America

(IDSA) bahwa agen DAA dapat diberikan dengan atau tanpa RBV.2,3 DAA memiliki tingkat
SVR yang lebih tinggi, mempunyai efek samping yang lebih sedikit dan jangka waktu terapi
yang lebih pendek dari obat anti virus sebelumnya.1
Reading assignment kali ini akan mengulas mengenai penanganan kasus koinfeksi HIV

dan hepatitis C terbaru, harapannya dengan strategi terapi dan pengobatan yang baik dan
1
Universitas Sumatera Utara

mengacu pada pedoman yang telah dibuat, dapat dicapai respon terapi yang optimal dengan efek
samping obat yang minimal.
.
PREVALENSI INFEKSI VIRUS HEPATITIS C PADA HIV DI INDONESIA
Adanya kesamaan cara penyebaran infeksi HIV dengan infeksi virus hepatitis C

menyebabkan tingginya angka kejadian koinfeksi HIV dan hepatitis C. Beberapa studi di Eropa
dan Amerika Serikat menunjukkan prevalensi koinfeksi HIV dan Hepatitis C berkisar antara, 3050%.4
Berdasarkan laporan UNAIDS pada tahun 2013, Indonesia merupakan salah satu negara
dengan peningkatan kejadian infeksi HIV tertinggi di Asia, dan diperkirakan peningkatan ini
akan terus terjadi hingga tahun 2020.5 Pada studi yang dilakukan oleh Yunihastu dkk pada klinik
Pokdisus AIDS Rumah sakit Cipto Mangunkusomo menunjukkan angka kejadian koinfeksi HIV
dan hepatitis C yang tinggi. Studi terhadap 3.613 pasien yang baru terdeteksi HIV pada tahun
2004 hingga 2009, ditemukan HCV positif pada 67,9% pasien.6,11 Sementara data yang ada pada
RSUP Haji Adam malik mulai dari Januari 2015 hingga September 2016, terdapat 360 pasien
yang terinfeksi HIV baru, dan sekitar 4% atau sebanyak 14 pasien yang mengalami koinfeksi
HIV dan hepatitis C.

PATOGENESIS PENYAKIT HATI
Pada pasien hepatitis C kronik, adanya koinfeksi dengan HIV secara bermakna dapat
mempengaruhi perjalanan alamiah virus hepatitis C.13 Suatu meta analisis dari 29 studi yang
melibatkan 16.750 pasien menunjukkan bahwa pasien koinfeksi memiliki risiko tiga kali lebih
tinggi terjadinya sirosis, penyakit hati dekompensata, kanker hati atau kematian.6

Respon Imun Seluler
Progresi menjadi fibrosis hati berhubungan dengan lemahnya respon imun seluler

terhadap antigen hepatitis C pada pasien HIV. Infeksi HIV ditandai dengan penurunan jumlah sel
CD4 didalam sirkulasi, gangguan fungsi dari sel CD4 dan CD8 serta down regulation dari
2
Universitas Sumatera Utara

ekspresi CD28, sebuah molekul yang dibutuhkan untuk aktifasi dari limfosit. Pasien dengan
kadar CD4 yang rendah akan mengakibatkan penurunan respon dari sel CD8 terhadap virus
hepatitis C. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara supresi imun dengan
progresi penyakit hati, karena respon dari sel CD8 diketahui penting dalam respon imun terhadap
infeksi virus.4,12
HIV Terkait dengan Aktivasi Imun
Hipotesis lain menduga bahwa aktivasi imun kronik yang disebabkan secara sekunder
oleh infeksi HIV, dapat mempengaruhi progresi penyakit hati, melalui peningkatan sitokin
proinflamasi di dalam sirkulasi.4,12
Aktivasi imun kronik dimediasi oleh translokasi dari produk mikroba karena adanya
kerusakan integritas mukosa usus. Rusaknya barier mukosa usus muncul bersamaan dengan
menurunnya jumlah CD4 pada jaringan limfoid usus, pada awal terjadinya infeksi HIV. Pada
satu studi pada pasien koinfeksi HIV dan hepatitis C, ditemukan bahwa penurunan limfosit CD4
berhubungan dengan penanda translokasi mikroba (LPS), dan penanda ini juga berhubungan
dengan perkembangan suatu sirosis.4,12

Aktivasi Sel Stelata Hati
Aktivasi sel stelata hati memediasi formasi kolagen menjadi fibrosis hati pada infeksi
virus hepatitis C. Satu studi menemukan bahwa aktivasi sel stelata hati berhubungan dengan
aktivasi imun sel CD4 dan CD8 serta peningkatan ekspresi gen interleukin 15 (IL-15).4,12
HIV dan Apoptosis
Tumor necrosis factor-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL) memediasi terjadinya

apoptosis pada hepatosit normal pada infeksi virus hepatitis C. Satu studi invitro menduga bahwa
glycoprotein HIV (gp120) dapat membuat hepatosit menjadi sel mati melalui upregulation dari

TRAIL.4,12
Virus Hepatitis C terkait Sitokin Proinflamasi

3
Universitas Sumatera Utara

Infeksi hepatitis C itu sendiri dapat menginduksi regulasi imun dan jalur proinflamasi,
sehingga berkontribusi terhadap progresi fibrosis hati. Sitokin proinflamasi ini dapat
memberikan efek yang merugikan terhadap penyakit HIV.4,12
PENILAIAN KOINFEKSI HIV DAN VIRUS HEPATITIS C (HCV)

Diagnosis Koinfeksi HIV/HCV
Semua pasien HIV harus dilakukan skrining untuk koinfeksi HCV dengan tes serologi,
Begitu juga dengan pasien HCV, harus dievaluasi untuk koinfeksi HIV.1,6,7 Pada individu dengan
immune compromised, maka antibodi HCV dapat negatif palsu, dan perlu dipertimbangkan untuk

pemeriksaan HCV RNA.7,8
Dengan terdeteksinya antibodi HCV, tidak memastikan adanya infeksi yang aktif, sekitar
10-25% individu koinfeksi dan monoinfeksi akan secara spontan membersihkan virus.
Pemeriksaan HCV RNA harus dilakukan sesudah ditemukannya positif HCV pada pemeriksaan
skrining, untuk menyingkirkan adanya spontaneous clearance.7
Individu dengan positif HCV RNA harus melakukan pemeriksaan genotipe, supaya dapat
menentukan terapi selanjutnya.1,6,7
Individu dengan data dasar HCV RNA negatif, harus dipertimbangkan untuk
pemeriksaan ulang, untuk memastikan ada tidaknya infeksi kronik, paling tidak satu kali,
terutama jika terjadi peningkatan ALT.7
Semua individu harus melakukan skrining kekebalan hepatitis A (hepatitis A IgG) dan
hepatitis B (HBsAg, AntiHBs dan anti HBc) dan harus dilakukan vaksinasi jika nonimmune.1,6,7
Jika infeksi kronis hepatitis B, maka harus dinilai untuk dilakukan terapi.7

Rekomendasi


1. Semua pasien dengan HIV positif, harus melakukan skrining antibodi HCV. Skrining
harus dilakukan secara berulang, paling tidak setahun sekali, terutama untuk individu
yang mempunyai risiko tinggi, namun antibodi HCV negatif. (1,C)1,6,7
4
Universitas Sumatera Utara

2. Pasien homoseksual dengan HIV positif , harus melakukan skrining antibodi HCV setiap
tahun serta pemeriksaan enzim hati setiap 6 bulan, jika aktif secara seksual dan
pengulangan pemeriksaan antibodi HCV harus dilakukan setiap terdapat peningkatan
enzim hati yang tidak diketahui penyebabnya. (2a,C)7
3. Pasien dengan antibodi HCV positif, harus melakukan pemeriksaan HCV RNA PCR.
(1,C)1,6,7,8
4. Pasien dengan HCV RNA positif, harus melakukan pemeriksaan genotipe HCV. (1,C)1,6,7
5. Pasien dengan HCV RNA negatif, maka harus melakukan pemeriksaan ulangan, paling
tidak satu kali, untuk memastikan adanya spontaneous clearance, jika terdapat
peningkatan enzim hati. (1,C)7
6. Semua pasien harus melakukan skrining untuk hepatitis A dan B dan harus di tawarkan

pemberian vaksinasi jika nonimmune. (IC)1,6,7

Penilaian Klinis dan Laboratorium Terhadap Penyakit Hati
Dibutuhkan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk menentukan penyakit hati.
Pemeriksaan termasuk penilaian adanya splenomegali, asites, ginekomastia, spider nevi, serta
manifestasi lain dari end stage liver disease.7
Pemeriksaan darah rutin lengkap, enzim liver termasuk alanine aminotransferase (ALT)
dan aspartate aminotransferase (AST), dan penanda dari fungsi sintesis (INR, albumin dan
bilirubin) harus dilakukan sebagai data dasar, kemudian akan dilakukan pemeriksaan ulangan
secara rutin (setiap 6 bulan sekali), pada individu yang mendapat antiretroviral therapy (ART).7
Trombositopenia dapat sebagai penanda dari hipersplenisme dan advanced liver disease.
Adanya gangguan pada fungsi sintesis menandakan adanya penyakit tahap lanjut.7
Rekomendasi

7. Pasien harus dievaluasi untuk kondisi lain yang mengakibatkan penyakit kronis hati.
(1,C)7
Peran Biopsi Hati
Meskipun telah diketahui bahwa peningkatan enzim hati merefleksikan aktifitas penyakit,
namun telah dibuktikan bahwa individual yang terinfeksi HCV dapat berkembang jadi fibrosis
dan juga sirosis tanpa peningkatan signifikan enzim hati. Pada studi retrospektif pasien koinfeksi
5
Universitas Sumatera Utara


yang dilakukan biopsi hati, maka sekitar 25% individu dengan persisten nilai normal ALT,
ditemukan paling tidak sudah dalam keadaan fibrosis F2. Olehkarenanya, menggunakan kriteria
ALT saja tidak dapat digunakan untuk memulai terapi pada pasien koinfeksi.7
Biopsi hati merupakan gold standard untuk menilai progresi penyakit pada pasien HCV.
Biopsi hati dapat menilai derajat aktifitas inflamasi dan fibrosis, serta dapat menentukan
penyebab dari kerusakan hati. Dengan adanya penilaian fibrosis secara non invasif, maka biopsi
hati dapat dijadikan cadangan apabila terdapat ketidakpastian dalam menentukan derajat
fibrosis.7
Menggunakan Pemeriksaan Non Invasif untuk Menentukan Derajat Fibrosis : Transient
Elastography dan Penanda Laboratorium

Transient Elastography (TE, Fibroscan) adalah tehnik non invasif, dalam menilai kekakuan
hati (dengan menggunakan perhitungan kilopascal atau kPa), yang dapat digunakan sebagai
penanda fibrosis hati. Sensitifitas dan spesifisitasnya dalam menentukan fibrosis 71,9% dan
82,4% serta 84,4% dan 94,6% untuk sirosis. TE telah dapat digunakan untuk pasien koinfeksi.
Namun mempunyai keterbatasan dengan bentuk tubuh (obesitas dapat mengganggu kemampuan
probe dalam menilai hati secara akurat) dan tingkat kesalahan menjadi meningkat ketika terjadi

inflamasi hati.7

Penggunaan penanda laboratorium dapat berguna dalam penilaian fibrosis pada pasien
koinfeksi. Penggunaan indeks AST dengan trombosit (APRI) dapat digunakan pada pasien
koinfeksi. Skor APRI >15, 100% spesifik dan 52% sensitif untuk menentukan fibrosis.7
Rumus lain dalam menilai fibrosis, termasuk Skor Fib-4 dan Fibro Test. Namun, metode
ini kurang sensitif untuk menentukan fibrosis jika dibandingkan dengan TE.7

Pasien Sirosis
Pasien dengan sirosis harus dimonitor kemungkinan adanya HCC. Diperlukan pemeriksaan
skrining dengan USG setiap 6 bulan sekali dengan atau tanpa pemeriksaan serum alpha
fetoprotein (AFP). Merujuk kepada ahli gastroenterologi diperlukan untuk dilakukan endoskopi,
6
Universitas Sumatera Utara

guna skrining dan/atau monitor varises esofagus. Monitor akan adanya HCC juga dianjurkan
pada pasien sirosis yang telah mengalami sustained virological response (SVR) dengan terapi
HCV.7
Rekomendasi

8. Kriteria ALT saja tidak dapat digunakan dalam menentukan terapi pada pasien koinfeksi.
(2a,C)7

9. USG abdomen dengan doppler harus dipertimbangkan penggunaannya pada semua pasien.
(2a,B)7
10. Dianjurkan evaluasi fibrosis hati (Fibroscan, FibroTest dan APRI) untuk menentukan
derajat fibrosis hati. (2a,B)7
11. Evaluasi fibrosis hati dengan biopsi hati dapat dipertimbangkan jika metode non invasif
dalam menentukan fibrosis tidak tersedia, atau jika dipikirkan diagnose lain. (2a,C)7
12. Pasien dengan sirosis harus melakukan skrining setiap 6 bulan untuk HCC dengan
menggunakan USG (1,B)7
13. Pasien dengan sirosis harus melakukan gastroskopi untuk skrining varises esofagus.
(1,B)7
Persiapan untuk Terapi HCV
Selain penilaian laboratorium dalam menentukan status HCV, dibutuhkan penilaian
kesehatan mental pasien serta lingkungan dan pola makan pasien. Adanya riwayat gangguan
kesehatan mental pada pasien, dapat dieksaserbasi dengan terapi interferon, sehingga dibutuhkan
regimen tanpa interferon.7
Individu yang dipertimbangkan pemberian terapi HCV, harus dinilai apakah ada
kontraindikasi. Kontraindikasi tersebut, termasuk :
a. Kehamilan (merupakan kontraindikasi absolut, karena adanya efek teratogenik dari
pegylated interferon/ribavirin serta data yang masih kurang dengan regimen DAA).7
b. Penyakit hati dekompensasi

Individu > 50 tahun dengan riwayat hipertensi, hipertensi atau retinopati, harus melakukan
pemeriksaan mata sebelumnya jika dipertimbangkan mendapat regimen interferon, karena
berhubungan dengan eksaserbasi/onset baru dari retinopati.7

7
Universitas Sumatera Utara

Individu yang sebelumnya telah berhasil menjalani terapi HCV, harus dilakukan evaluasi
ulang HCV RNA jika terjadi peningkatan ALT, untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi
berulang.7
Rekomendasi

14. Semua pasien koinfeksi harus dilakukan evaluasi sebelum mendapat terapi HCV (1,A)1,7
15. Evaluasi mengenai penggunaan zat adiktif, status kesehatan mental serta pola makan
pasien merupakan hal yang penting ketika mempersiapkan terapi HCV (1,B)7
16. Perawatan multidisiplin dianjurkan untuk mengoptimalkan pasien dalam menjalani terapi
HCV (1,B)7
17. Jika interferon akan digunakan, maka nilai secara detail mengenai hal-hal yang menjadi
kontraindikasi dalam pemberian interferon. (I,C)7
TATALAKSANA PASIEN KOINFEKSI HIV DAN HEPATITIS C
Kunci dalam tata laksana pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV adalah menentukan inisiasi
terapi. Gangguan fungsi hati menjadi salah satu penyebab penting peningkatan morbiditas dan
mortalitas pada pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV, khususnya setelah munculnya ARV
sebagai terapi anti HIV.6
Standar pengobatan untuk hepatitis C kronik pada tahun 2014 adalah pemberian pegylated
interferon dan ribavirin. Walaupun tatalaksana pengobatan hepatitis C saat ini sudah mulai
meninggalkan penggunaan interferon, namun pengobatan ini merupakan satu satunya pilihan
untuk anak dan remaja, dan masih sebagai pilihan alternatif regimen pada beberapa genotipe.14
Kombinasi ini meningkatkan kesintasan selama 8 tahun dan respon yang lebih baik secara
signifikan dibandingkan terapi interferon standar. Meskipun demikian, pencapaian SVR pada
pasien dengan koinfeksi hepatitis C dan HIV menurun sebesar 10-20% dibandingkan pasien
monoinfeksi virus hepatitis C. Durasi pemberian terapi untuk virus hepatitis C pada koinfeksi
virus hepatitis C dan HIV adalah 48 minggu, tidak melihat jenis genotipe yang menginfeksi.
Adanya regimen obat baru untuk terapi hepatitis C, yaitu direct acting antiviral (DAA)
meningkatkan keberhasilan presentase terapi. Akan tetapi harus dipertimbangkan interaksinya
dengan obat ARV yang digunakan.6

8
Universitas Sumatera Utara

Sebanyak lebih dari 20 obat antiretrovirus yang terbagi dalam 6 kelas dapat menjadi
pilihan kombinasi. Enam kelas tersebut adalah nucleoside/nucleotide reverse transcriptase
inhibitors (NRTIs), non nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), protease
inhibitors (PIs), fusion inhibitors (FIs), CCR5 antagonists, dan integrase strand transfer
inhibitors (INSTIs). Secara umum, kombinasi pengobatan terdiri atas 2 NNRTI dan 1 NNRTI/

PI.6
Isu utama dalam pengobatan pasien koinfeksi HIV-HCV adalah interaksi obat yang
diperkirakan dapat mengurangi efikasi pengobatan untuk salah satu pihak dan efek samping yang
dapat ditimbulkan melalui interaksi obat. Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan
pemberian obat antivirus untuk virus hepatitis C tidak mengurangi efikasi dari ARV, hal ini
dibuktikan dengan jumlah titer virus yang menurun. Pemberian pegylated interferon dan
ribavirin pada beberapa studi bahkan terbukti membantu menurunkan jumlah virus RNA HIV
sebesar 1 log.6
Efek samping yang perlu diperhatikan pada terapi koinfeksi HIV-HCV adalah pemberian
ribavirin meningkatkan fosforilasi didanosin, sehingga konsentrasi obat meningkat. Sebanyak
16% pasien dilaporkan mengalami toksisitas mitokondria dalam bentuk asidosis laktat atau
pankreatitis pada studi RIBAVIC. Selain itu, dekompensasi hati juga dilaporkan terjadi pada
studi APRICOT. Karena interaksi diatas, pada saat memulai terapi untuk HCV, diperlukan
penggantian terapi didanosin menjadi obat antivirus lainnya. Selain itu, ribavirin bersama dengan
zidovudin dapat menyebabkan eksaserbasi anemia yang dipicu oleh ribavirin, sehingga
penggunaan keduanya secara bersamaan harus dihindari. Pengawasan ketat wajib dilakukan pada
pasien sirosis. Adanya sirosis dekompensata menjadi tanda untuk menghentikan terapi HCV.
Pasien dengan sirosis hati dekompensata (child pugh score B atau C) tidak menjadi indikasi
terapi pegylated interferon (PegIFN) dan ribavirin (RBV), dan transplantasi hati dapat
dipikirkan. Selain tanda sirosis, pengukuran laktat berkala juga perlu dilakukan terkait efek
samping.6
Terapi HIV dimulai ketika hitung jumlah CD4 kurang dari atau sama dengan 350 sel/mm3.
Namun beberapa studi terbaru menyebutkan penggunaan ARV dapat dimulai tanpa melihat hasil
CD4 pada pasien dengan koinfeksi HIV dan HCV,1,6,7 dengan adanya studi yang menyatakan
penggunaan ARV pada jumlah CD4 diatas 500 sel/mm3 menunjukkan aktivitas nekroinflamasi
9
Universitas Sumatera Utara

yang lebih perlahan pada jaringan hati. Hal lain yang mempengaruhi waktu memulai terapi
adalah adanya penelitian lain menunjukkan efikasi terapi HCV yang berkurang pada pasien
dengan CD4 kurang dari 500 sel/mm3.6 Pada kondisi dimana terapi HIV dan HCV dimulai
bersama-sama, dianjurkan penggunaan ARV terlebih dahulu, menggunakan regimen yang tidak
menyebabkan terjadinya hepatotoksik. Terapi HCV dimulai setelah 1-2 bulan setelah dimulainya
terapi ARV.6
Inisiasi Terapi
Inisiasi terapi didasarkan atas pemeriksaan klinis dan laboratorium. Inisiasi terapi pada
pasien koinfeksi HIV-HCV didasarkan pada hitung jumlah CD4. Terapi antar genotipe HCV
dimulai dengan syarat yang berbeda pada koinfeksi HIV-HCV.6
V.1.a Kondisi yang Tidak Membutuhkan Terapi untuk hepatitis C
Pasien yang tidak membutuhkan terapi untuk hepatitis C adalah pasien dengan
karakteristik sebagai berikut : antibodi HCV positif tetapi tidak ada tanda replikasi RNA HCV.
Pasien yang tidak membutuhkan terapi tetap memerlukan monitoring yang ketat setiap 6 bulan,
(pemeriksaan klinis dan fungsi hati) dan setiap 3 tahun untuk melihat histologi lesi hati.6
V.1.b Kondisi yang Membutuhkan Terapi Hepatitis C
Terapi dapat dimulai lebih awal pada pasien koinfeksi apabila didapati kondisi dimana
progresivitas penyakit hati berjalan cepat dibandingkan dengan pasien dengan monoinfeksi
hepatitis C, ataupun pasien dengan risiko tinggi mengalami hepatotoksisitas setelah inisiasi
ARV. Terapi dapat dimulai tanpa melihat jumlah virus hepatitis C pada genotipe 2 dan 3.
Sementara terapi untuk genotipe 1 dapat dimulai pada kondisi jumlah virus ≤ 8x105 IU/ml tanpa
melihat hasil pemeriksaan histologi atau > 8x105 IU/ml dan dengan derajat fibrosis F3-F4 sesuai
klasifikasi metavir. Pada genotipe 4, tatalaksana dilakukan pada jumlah virus > 8x105 IU/ml dan
dengan derajat fibrosis F3-F4 sesuai klasifikasi metavir. Pasien dengan genotipe 2 atau 3, jumlah
virus < 8x105 IU/ml, tidak ditemui sirosis, umur < 40 tahun, nilai ALT lebih dari 3 kali batas atas
normal memiliki kemungkinan yang lebih baik untuk mencapai Sustained Virological Response
(SVR).6

10
Universitas Sumatera Utara

Pada infeksi hepatitis C akut, terapi dilakukan untuk mencegah infeksi virus menjadi
kronik. Terapi dimulai apabila dalam 3 bulan setelah awal munculnya tanda dan gejala klinik,
HCV RNA tidak dapat dieliminasi secara spontan. Terapi terpilih untuk kondisi ini adalah
pegylated interferon (α2a dan α2b) dan ribavirin. Dosis yang digunakan untuk pegylated
interferon α2a adalah 180 µg satu kali seminggu atau 1,5 µg/kgbb perminggu untuk pegylated
interferon α2b. Dosis ribavirin yang direkomendasikan untuk pasien koinfeksi hepatitis C dan
HIV berbeda-beda, tergantung kepada jenis genotipe. Untuk genotipe 1 dan 4 dosis yang
dianjurkan adalah 1000-1200 mg/hari, sementara untuk genotipe 2 dan 3, dosis ribavirin yang
digunakan adalah 800 mg. durasi terapi untuk semua genotipe adalah 48 minggu. Akan tetapi,
terapi dihentikan, apabila pada minggu ke 12, hasil pemeriksaan HCV RNA kuantitatif,
menunjukkan penurunan kurang dari 2 log.6
V.1.c Kondisi yang Membutuhkan Terapi HIV
Progresi menjadi fibrosis hati menjadi lebih cepat pada koinfeksi HIV-HCV, terutama
pada individu dengan jumlah CD4 rendah (≤350 sel/mm3). Data dari studi kohort retrospektif
tidak konsisten mengenai pengaruh terapi anti retroviral (ART) terhadap perjalanan alamiah
HCV. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa ART dapat memperlambat perkembangan
penyakit hati dengan menjaga atau memulihkan fungsi kekebalan tubuh dan dengan mengurangi
inflamasi.6 Oleh karena itu, ART harus dimulai pada semua pasien koinfeksi HIV-HCV, tanpa
melihat jumlah CD4.1,6,7 Namun pada pasien HIV yang naive, dengan jumlah CD4 >500
sel/mm3, beberapa klinisi memilih untuk menunda ART sampai pengobatan HCV selesai, untuk
menghindari interaksi obat.1 Bila dibandingkan dengan pasien dengan jumlah CD4 >350
sel/mm3, maka pasien dengan jumlah CD4 500 sel/mm3, maka beberapa klinisi




memilih untuk menunda ART sampai pengobatan HCV selesai.
Pada pasien dengan nilai CD4 rendah (