Pemanfaatan Abu Terbang (Fly Ash) Sebagai Pengganti Pupuk Di PT PLN (Persero) Sektor Pembangkitan dan Pengendalian Pembangkitan Ombilin Sawahlunto

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batubara di Indonesia
Bahan bakar fosil seperti batubara dan minyak bumi masih merupakan
sumber energi utama di Indonesia. Kenaikan harga bahan bakar minyak
menyebabkan banyaknya industri yang beralih ke batubara sebaga sumber energi
untuk produksinya (Noviardi, 2013). Kualitas tingkat produksi batubara di
Indonesia dapat menjadi sumber energi selama ratusan tahun (Suyartono,2004).
2.1.1. Sejarah Pembentukan Batubara
Marco Polo salah seorang petualang dunia di abad 13 berkebangsaan
Italia, pada tahun 1271 telah menjelajah di negeri China. Selanjutnya melakukan
petualangnya selama 25 tahun kemudian kembali ke negerinya dengan membawa
banyak cerita dan pengalaman. Salah satu kisah menarik adalah ditemukannya
benda aneh yang disebut black stone yang dimanfaatkan orang China sebagai
bahan bakar. Black stone sudah ratusan tahun yang silam digunakan sebagai
bahan bakar. Bahan bakar secara berangsur-angsur berkurang, digeser oleh bahan
bakar minyak yang dianggap lebih praktis dan efisien.
Negara-negara produsen minyak khususnya negara Timur tengah sekitar
tahun 1973/1974 mengalami gejolak politik membuat ketidakstabilan di negara
tersebut. Akibatnya terjadi krisis minyak yang melanda hampir seluruh negara di
dunia, termasuk Indonesia. Persediaan minyak di dunia tidak dapat memenuhi

kebutuhan dunia, terutama oleh negara-negara industri, menyebabkan harga

Universitas Sumatera Utara

minyak meningkat tidak terkendali, dan biaya produksi di industri terpaksa
meningkat tinggi.
Akibatnya, pada saat itu negara-negara industri di Eropa dan Asia mulai
lagi melirik sumber bahan bakar batubara dan bahkan mencari sumber-sumber
energi alternatif lain seperti gas alam, panas bumi (geothermal), tenaga angin,
tenaga nuklir, tenaga gelombang laut, tenaga matahari dan lain-lain.
Secara khusus di Indonesia, penggunaan energi alternatif batubara kembali gencar
setelah krisis moneter (krismon) melanda sekitar tahun 1996. Pilihan kembali
penggunaan batubara sebagai sumber energi alternatif cukup beralasan mengingat
disamping semakin terasa krisis sumber energi minyak bumi dan gas, cadangan
batubara Indonesia masih cukup besar mencapai hampir 30 milyar ton yang
tersebar di berbagai daerah, khususnya di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi
serta sedikit tersedia cadangan di Jawa.
Selain batubara sebagai sumber energi alternatif tidak terbaharukan
(unrenewbale), pasca krisis moneter gencar pula dilakukan penelitian pembuatan
dan penggunaan biodiesel sebagai biofuel atau energi alternatif terbarukan

(renewable). Biodiesel memiliki kelebihan ramah lingkungan, dapat diproduksi
dari berbagai sumber minyak nabati seperti minyak jarak, minyak sawit, minyak
bunga matahari dan lain-lain. Namun batubara matang memiliki keungulan lain,
memiliki nilai kalor tinggi (mencapai 8000 kkal/kg) dan mudah terbakar, sehingga
dapat dikatakan batubara tersebut siap terbakar dan siap pakai tanpa biaya proses
yang mahal sebagaimana dalam proses pembuatan biodiesel (Aladin, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Cara Terbentuknya Batubara
Komposisi kimia batubara hampir sama dengan komposisi kimia jaringan
tumbuhan, keduanya mengandung unsur utama yang terbentuk dari unsur utama
yang terdiri dari unsur C,H,O,N,S,P. Hal ini mudah dimengerti, karena batubara
terbentuk dari jaringan tumbuhan yang telah mengalami proses pembatubaraan
(coalification). Cara terbentuknya batubara dikenal 2 teori yaitu teori insitu dan
teori drift. Teori insitu menjelaskan , tempat dimana batubara terbentuk sama
dengan tempat terjadinya proses coalification.Teori drift menjelaskan bahwa
endapan yang terdapat pada cekungan sedimen berasal dari tempat lain, dengan
kata lain tempat terbentuknya batubara berbeda dengan tempat tumbuhan semula
berkembang kemudian mati (Krevelen,1993).

Cara terbentuknya batubara melalui proses yang sangat panjang dan lama,
disamping dipengaruhi faktor alamiah yang tidak mengenal batas waktu, terutama
ditinjau dari segi fisika, kimia ataupun biologis. Faktor-faktor tersebut antara lain
posisi geoteknik, keadaan topografi daerah, iklim daerah, proses penurunan
cekungan

sedimentasi,

umur

geologi,

jenis

tumbuh-tumbuhan,

proses

dekomposisi, sejarah setelah pengendapan, struktur geologi cekungan dan
etamorfosa organik.(Hutton and Jones, 1995).

2.1.3. Reaksi Pembentukan Batubara
Proses pembentukan batubara, dikenal sebagai proses pembatubaraan atau
coalification. Faktor fisika dan kimia yang ada di alam akan mengubah selulosa

menjadi lignit, subbitumina, bitumina atau antrasit. Reaksi pembentukan batubara
dapat diperlihatkan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

5(C H O ) → C H O + 3CH + 8H O +6CO + CO
selulosa

lignit

gas metan

Gas metana yang terbentuk selama proses coalification akan masuk
kedalam celah-celah vein batu lempung, dan inisangat berbahaya. Apabila lapisan
lignitnya tersingkap dipermukaan tanah, gas akan keluar dan apabila temperatur
udara luar meningkat, akan terjadi kebakaran. Apabila lignit masih berada di

dalam tanah diantara lapisan batubara, dan padanya terjadi peningkatan
temperatur, gas akan keluar secara mendadak dan terjadi lah ledakan. Oleh sebab
itu mengetahui bentuk endapan batubara, dapat membantu menentukan cara
penambangan yang tepat.
2.1.4. Klasifikasi Batubara
Berdasarkan kualitasnya, batubara memiliki kelas (grade) yang secara
umum diklasifikasikan menjadi empat kelas utama menurut standar ASTM (KirkOthmer, 1979) atau lima kelas jika dimasukkan peat atau gambut sebagai jenis
batubara yang paling muda (Larsen, 1978). Dalam hal ini kelas batubara disertai
dengan kriteria berdasarkan analisis proximate dan nilai kalornya, juga kriteria
berdasarkan analisis ultimate dan kandungan sulfur total serta densitasnya.
1. Peat (gambut), biasa juga disebut brown coal (batubara muda),
merupakan jenis batubara yang paling rendah mutunya, bersifat lunak,
dapat dilihat dari warna dan struktur (kayu), mudah pecah saat
pemanasan.
2. Lignite, yaitu jenis batubara di atas brown coal, namun kualitasnya
masih tergolong rendah. Jenis batubara ini berwarna coklat mengkilat,

Universitas Sumatera Utara

struktur kayu masih nampak, kandungan air dan oksigen relatif tinggi,

dengan kandungan kalor yang rendah.
3. Sub-bituminous sering juga disebut black lignite adalah jenis batubara
transisi antara lignite dan bituminous, dengan kualitas sedang.
4. Bituminous, yaitu jenis batubara yang termasuk kategori kualitas baik,
memiliki sifat lebih keras dari sub-bituminous, kandungan oksigen
rendah, sedangkan kandungan karbon dan kalor relatif tinggi.
5. Anthracite, yaitu jenis batubara dengan kandungan karbon cukup
tinggi, zat mudah menguap (volatile matter ) dan kandungan
oksigennya relatif rendah, pada saat pembakaran tidak atau kurang
menghasilkan asap. Anthracite memiliki kandungan kalor tertinggi
dengan kualitas terbaik diantara jenis batubara yang telah disebutkan
sebelumnya. Anthracite yang paling keras, dengan struktur kompak
dan padat dikenal dengan nama graphite merupakan jenis batubara
dengan kualitas tertinggi (Aladin, 2011).
2.1.5. Kualitas Batubara
Batubara yang diperoleh dari hasil penambangan pasti mengandung bahan
pengotor (impurities). Pada saat terbentuknya, batubara selalu bercampur dengan
mineral penyusun batuan yang selalu terdapat bersamaan selama proses
sedimentasi, baik sebagai mineral anorganik ataupun sebagai bahan organik.
Disamping itu, selama berlangsung proses coalification terbentuk unsur S yang

tidak dapat dihindarkan. Keberadaan pengotor dalam batubara hasil penambangan
diperparah

lagi,

dengan

adanya

kenyataan

bahwa

tidak

mungkin

membersihkan/memilih/mengambil batubara yang bebas dari mineral. Hal

Universitas Sumatera Utara


tersebut disebabkan antara lain, penambangan batubara dalam jumlah besar selalu
mempergunakan alat-alat berat antara lain : bulldoser, backhoe, tractor, truck, belt
conveyor, ponton, yang selalu bergelimang dengan tanah. Dikenal dua jenis
impurities yaitu:

1. Inherent impurities
Merupakan pengotor bawaan yang terdapat dalam batubara. Batubara yang
sudah dicuci (washing) dan dikecilkan ukuran butirnya / diremuk (crushing)
sehingga dihasilkan ukuran tertentu, ketika dibakar habis masih memberikan sisa
abu. Pengotor bawaan ini terjadi bersama-sama pada waktu proses pembentukan
batubara (ketika masih berupa gelly). Pengotor tersebut dapat berupa gipsum
(CaSO .2H O), anhidrit (CaSO ), pirit (FeS ), silika (SiO ), dapat juga terbentuk
tulang-tulang binatang (diketahui adanya senyawa fosfor dari hasil analisis abu)
selain mineral lainnya. Pengotor bawaan ini tidak mungkin dihilangkan sama
sekali, tetapi dapat dikurangi dengan melakukan pembersihan. Proses ini dikenal
sebagai teknologi batubara bersih.
2. External impurities
Merupakan pengotor yang berasal dari luar, timbul pada saat proses
penambangan antara lain terbawanya tanah yang berasal dari lapisan penutup

(overburden). Kejadian ini sangat umum dan tidak dapat dihindari, khususnya
pada penambangan batubara dengan metode tambang terbuka (open pit).
Batubara merupakan endapan organik yang mutunya sangat ditentukan
oleh beberapa faktor, antara lain tempat terdapatnya cekungan batubara, umur,
banyaknya pengotor/ kontaminasi. Sebagai bahan baku pembangkit energi yang

Universitas Sumatera Utara

dimanfaatkan dalam industri, peralatan yang dipergunakan dan pemeliharaan alat.
Dalam menentukan mutu/kualitas batubara perlu diperhatikan beberapa hal, antara
lain :
1. Heating Value (HV) (Calorific Value/Nilai kalor)
Dinyatakan dalam kkal/kg, banyaknya jumlah kalor yang dihasilkan oleh
batubara tiap satuan berat (dalam kilogram). Dikenal nilai kalor net (net calorific
value atau low heating).
Fixed Carbon (%) = 100% - Moisture Content – Ash Content

Apabila nilai moisture content dan ash content disamakan dengan nilai volatile
matter, persamaan tersebut diatas menjadi :
Fixed Carbon = 100 -Volatile Content (%)


Dari rumusan tersebut tampak bahwa makin berkurang kandungan air berarti
moisture content makin kecil, nilai Fixed Carbon makin tinggi.

2. Hardgrove Grindability Index (HGI)
Suatu bilangan yang menunjukkan mudah atau sukarnya batubara
digiling/digerus menjadi bahan baku serbuk. Di dalam praktek sebelum batubara
dipergunakan sebagai bahan bakar, ukuran butirnya dibuat seragam, dengan
rentang halus sampai kasar. Butir paling halus dengan ukuran < 3 mm, sedang
ukuran paling kasar sampai 50 mm. Butir paling halus perlu dibatasi dengan sifat
dustness (ukuran partikel agar tidak diterbangkan oleh angin, dengan harapan

tidak mengotori lingkungan), sedangkan dustness dan tingkat kemudahan untuk

Universitas Sumatera Utara

diterbangkan angin dipengaruhi pula oleh kandungan lengas (moisture content).
Makin kecil nilai HGI, maka makin keras keadaan batubaranya.
Harga HGI diperoleh dengan menggunakan rumus :
HGI = 13,6 + 6,93 W

Di mana W adalah berat dalam gram dari batubara halus berukuran 200 mesh.
Sebagai catatan, harga HGI batubara Indonesia berkisar antara 35-60.
Dalam penelitian Amperiadi (2005) terhadap batubara dari daerah Sebulu,
Kalimantan timur didapatkan nilai HGI antara 41-45.

3. Ash fusion character of coal
Batubara apabila dipanaskan bersama-sama terutama anorganik impurities
akan melebur/meleleh. Apabila ini sampai terjadi akan berpengaruh pada tingkat
pengotoran (fouling), pembentukan kerak (slagging), dan akibat terjadinya
gangguan pada blower .

2.1.6. Analisis Batubara

Banyak cara yang dilakukan untuk mengetahui kualitas/mutu batubara
berkaitan

dengan

pemanfaatannya.

Pada

prinsipnya

dikenal

2

jenis

pengujian/analisis yaitu Analisis Proksimat (Proximate Analysis) dan Analisis
Ultimat (Ultimate Analysis/ Elemental Analysis).
1. Analisis Proksimat, yang perlu diketahui antara lain :
a. Moisture Content
b. Ash Content

Universitas Sumatera Utara

c. Volatile Matter
d. Fixed Carbon
e. Total Sulfur
f.

Gross Calorific Value

g. Hardgrove Gindability Index

2. AnalisisUltimate, yang perlu diketahui antara lain:
a. Carbon Content
b. Hidrogen Content
c. Oxygen Content
d. Nitrogen Content
e. Sulfur Content
Dalam analisis ultimate ingin diketahui besaran dan jenis unsur/elemen
pembentuk batubara khususnya unsur C, H, O, N, dan S. Kandungan/jumlah
oksigen merupakan salah satu indikator dari chemical properties batubara. Hal ini
akan mampu menjelaskan sifat batubara terhadap kemudahan terbakar/menyala,
yang sering dikaitkan dengan macam tingkatan batubara, kemampuan mencair
(liquifaction) dan sifat berubah menjadi coke (coking) dari batubara, di samping
merupakan informasi yang penting untuk determinasi dalam penggolongan
batubara

(rank

determination).

Jumlah

kandungan

oksigen

biasanya

diperoleh/dihitung dengan cara mengurangkan hasil analisis ultimat dari unsur C,
H, N, S pada nilai 100%. Metode ini dikenal sebagai “oxygen-by-difference”
Penilaian jumlah oksigen dengan cara mengurangi akan menimbulkan kesalahan
secara akumulatif terhadap unsur lainnya dan juga perhitungan terhadap mineral
matter dan mineral matter free basis. Sebagai catatan, untuk menghitung

Universitas Sumatera Utara

persentase oksigen, suatu metode telah dikembangkan pada tahun 1950,
khususnya untuk batubara, tetapi metode tersebut dirasakan kurang praktis karena
hanya mampu dilakukan apabila sarana laboratorium cukup lengkap.
Menurut Ehmann et al.1986, melalui percobaannya terhadap 35 sampel
batubara Amerika, mengusulkan metode yang paling baik untuk mengetahui
keberadaan oksigen dalam batubara yaitu dengan PC-DMC (Pyrolisis
Demineralized Coal) pada 1200 ⁰C dalam Nitrogen, mengembangkan konversi

CO menjadi CO dan coulo-metric determination of CO . Hasilnya hampir sama

dengan hasil analisis dengan metode Fast Neutron Activation Analysis (FNAA).
Perbedaan hasil analisis antara metode “oxygen-by-difference-procedure” 1
dengan metode PC-DMC berkisar pada nilai 1%, dengan nilai deviasi dari +1 ke4% Menurut Ehmann et al. Khususnya pada tingkat rendah (15%), kandungan oksigen pada batubara yang perlu dipertimbangkan
keberadaannya.
Proses demineralisation batubara , merupakan suatu keharusan yang perlu
dilakukan apabila batubara akan dimanfaatkan dalam industri (baik sebagai coal
plant, power plant). Pencermatan analisis batubara lebih diarahkan pada

kemampuan untuk menghasilkan panas.Pemanasan sangat dimungkinkan berjalan
sangat cepat atau agak lambat. Batubara cukup dipanaskan atau dicampur dengan
bahan inert.
Sifat

batubara

ditentukan

oleh

beberapa

hal

antara

lain:

cara

terbentuknya/tumbuhan asal, dan tempat terbentuknya/tempat penambangan.
Sangat boleh jadi sifat batubara yang berasal dari Sumatera, berbeda dengan sifat

Universitas Sumatera Utara

batubara yang berasal dari Kalimantan dibawah ini diberikan contoh hasil analisis
proksimat batubara dari Sumatera dan batubara dari Kalimantan.
Tabel 2.1. Hasil Analisis Proksimat Batubara
UNSUR

UNIT

SUMATERA

SEBULU

WORST

AVERAGE (KALIMANTAN)

High heating value

Kcal/kg

4,225

5,245

6,957

Total moisture

%

28,300

23,600

6,100

Volatile matter

%

15,100

30,300

43,900

Ash content

%

12,800

7,800

6,100

Sulfur content

%

0,9

0,400

0,3700

Hardgrove

-

59,4-65

61,00

41,00

Grind.Ind
Sumber: Sukandarrumidi, 2006
2.1.7. Sistem Pembakaran Batubara
Pemakaian batubara sebagai bahan bakar melalui proses sebagai berikut :
1. Reclaim Hopper

Pada bangunan ini terdapat bebarapa komponen yaitu :


Receiving Bin : Komponen ini berupa bak untuk menampung

batubara berukuran sekitar mm.


Vibrating Feeder : alat ini berfungsi untuk menggetarkan batubara

sehingga lebih mudah jatuh melalui kisi-kisi.


Splitter Gate (SG) : Dalam bangunan ini terdapat dua buah SG.

Ming-masing SG diharapkan dapat mengarahkan batubara ke Belt

Universitas Sumatera Utara

Conveyor (BC) 1 dan 2, sehingga bila SG 1 tidak beroperasi

(rusak), maka SG 2 akan berfungsi penuh dan sebaliknya. Dalam
keadaan normal keduanya berfungsi.


Dust Suppresion System dan Spray Point : pada saat batubara jatuh

ke splite gate partikel kecil (debu) akan berterbangan.


Chute Pludge Detector (CPD) : Batubara dari reclaim klopper

ditransfer ke Chrusher oleh Belt Convenyor 1 dan 2. BC berjalan
melewati dinding (space) bangunan dan CPD berfungsi untuk
mendeteksi apakah terjadi penyumbatan (pludge) atau tidak pada
space yang dilalui.
2. Belt Conveyor

Ban berjalan ini berfungsi untuk membawa batubara dari reclaim hopper
ke crusher house dengan kapasitas masing-masing 500 ton / h.
3. Crusher House

Sebelum batubara masuk kebangunan ini terlebih dahulu dideteksi oleh
metal detector yang berfungsi untuk mendeteksi material yang bersifat
magnetic pada batubara. Non magnetic detector (MD), berfungsi untuk

mendeteksi material yang bersifat non material pada batubara. Bila
terdapat bahan non magnetic, maka Belt Conveyor akan berhenti dan
bahan tersebut diambil.
Komponen yang terdapat pada bangunan ini adalah :
a. Magnetik Separator (MS) : diatas masing-masing Belt
Conveyor dipasang magnetic separator yang berfungsi untuk

Universitas Sumatera Utara

menangkap (trampt) bahan ikutan yang bersifat magnet di
dalam coal.
b. Surge Bin : Bak tempat penampungan batubara.
c. Diverter Gate (DG) : Alat untuk mengarahkan batubara ke
Crusher . DG 1 melayani Crusher 2 dan DG 2 untuk Crusher 1.

d. Crusher : Batubara berukuran ± 76 mm digiling sehingga lebih
halus dan keluar dengan ukuran ≤ 32 mm dan ditampung pada
DG 3 dan 4. Masing-masing Dg3 dan 4 dapat mengarahkan
batubara ke BC 3 dan 4.
e. Chute Pludge detector : Pada setiap space yang dilalui oleh belt
conveyor dipasang alat ini sehingga dapat dideteksi apakah ada

atau tidaknya penyumbatan.
f. Dust Suppression System dan Sprey Point : Fungsinya sama
seperti reclaim hopper .
4. Belt Conveyor 3 dan 4
Ban ini berjalan ini membawa batubara berukuran ≤ 32 mm ke transfer
tower dengan kapasitas 500 ton / h.
5. Transfer Tower

Terdiri dari :
a. Sampling System : batubara hasil Crusher perlu diperiksa ukurannya.
Secara berkala sebagian batubara diambil apakah ukuran sudah
memenuhi syarat.
b. Spliter Gate, Devirter Gate, Dust Suppression dan Chute Pludge
Detector fungsinya sama seperti pada Crusher House.

Universitas Sumatera Utara

6. Tripper Belt Conveyor

Alat ini bergerak secara berkala (trip) untuk mengisi coal silo. Pada lokasi
tertentu sepanjang conveyor ini dipasang beberapa chute pludge detector
(CPD).
7. Coal Silo

4 silo bak (bak besar) diperlukan untuk menampung batubara per unit
boiler. Kapasitas masing-masing silo adalah 160 ton, satu silo sebagai
cadangan batubara dari silo ini kemudian ditransfer ke pulverizer
(penggiling) dan hasilnya adalah bahan bakar boiler, batubara yang sudah
halus bersama dengan udara panas ditekan ke alat pembakar (burner)
untuk menghasilan nyala api diruang bakar boiler.
8. Bunker

Berfungsi untuk menumpuk batubara yang akan ditransfer ke Mill.
9. Mill

Berfungsi untuk menggiling batubara dengan ukuran 200 mesh untuk
dihembuskan ke Burner dengan menggunakan udara luar yang sudah
bercampur dengan udara panas yang akan terbakar dengan adanya tekanan
panas dan udara.
10. Primary Air Fan

Berfungsi untuk menggiling batubara dengan ukuran 200 mesh untuk
dihembuskan ke Burner dengan menggunakan udara luar yang sudah

Universitas Sumatera Utara

bercampur dengan udara panas yang akan terbakar dengan adanya tekanan
panas dan udara.

11. Forced Draugh fan (FDF)

Berfungsi untuk meniupkan udara sekunder yang dibutuhkan untuk
pembakaran udara.
12. Boiler

Merupakan tempat pemanasan air menjadi uap dengan memanfaatkan
panas yang dihasilkan dari pembakaran batubara
13. Tubuler Air Heater

Berfungsi untuk memanaskan udara bakar ( udara yang berasal dari udara
luar) melalui gas sisa pembakaran (gas buang).
14. Induce Draugh Fan (IDF)

Berfungsi untuk mengisap gas dari furnace dan meniupkan ke udara.
2.1.8. Abu Batubara dan Pemanfaatannya
Limbah padat batubara dari pabrik terdiri dari abu terbang (fly ash) dan
abu dasar (bottom ash) yang merupakan sisa pembakaran yang tidak sempurna
dari batubara. Jumlah limbah batubara yang dihasilkan dari proses pembakaran
batubara bervariasi tergantug sumber dan kualitas batubara. (Evangelou, 1996).
Abu ( Ash) merupakan hasil pembakaran batubara (coal). Ash di kelompokkan
menjadi 2 bagian yaitu :
1. Bottom Ash

Merupakan abu yang ditampung pada suatu bak, lokasinya di dasar
(bottom) dari saluran gas asap. Gas hasil pembakaran mengalir berurutan

Universitas Sumatera Utara

mulai dari ruang bakar boiler, economizer, air heater, electrostatic
precipitator, induced draft fan dan cerobong asap. Berdasarkan aliran

keluarnya bottom ash dibedakan menjadi dua yaitu boiler bottom ash dan
economizer bottom ash.
a. Boiler Bottom Ash

Gas hasil pembakaran terdiri dari beberapa komponen dengan spesific
grafity (berat jenis) yang berbeda-beda. Sebagian komponen (abu) akan

jatuh ke bottom ash hopper secara grafity dan sebagian lainnya ikut
terbawa oleh gas asap.
b. Economizer Bottom Ash

Gas asap hasil pembakaran melewati economizer sebelum ke cerobong
asap. Partikel abu yang relatif berat akan ditampung pada economizer
storage tank. Melalui air lock feeder abu kemudian dialirkan ke cylone
separator . Pada cylone separator abu dipisahkan dari gas. Gas dibuang ke

atmosfer setelah melewati bag filter dan abunya ditampung pada bottom
ash silo. Pada proses ini udara dihasilkan oleh economizer ash blower ke
air lock feeder, cylone feeder, cylone separator dan economizer storage
tank.
2. Fly ash handling system
a. Fly ash

Bagian akhir yang dilewati gas adalah air heater dan electric
precipitator ( berfungsi) untuk menangkap sejumlah abu terbang hasil

pembakaran batubara) sebelum keluar ke cerobong asap ( berfungsi

Universitas Sumatera Utara

membuang gas sisa pembakaran dengan ketinggian 120 m) hal ini
bertujuan untuk menghindari pencemaran terhadap lingkungan sekitar.
b. Ash conditioner
Fly ash merupakan abu yang terdapat pada gas asap, abu dengan

specific grafity yang relatif ringan akan ikut terbawa oleh gas asap.
Komponennya sebagai berikut :
1. Fly ash silo : komponen ini merupakan suatu bak ( penampungan)
abu dari berbagai tempat.
2. Fluiding air blower : alat ini berfungsi untuk mengalirkan udara ke
fly ash silo melalui electric air heater dan dry heater , udara ditekan

ke fly ash silo sehingga terjadi proses pencampuran abu.
3. Vent van : alat ini untuk mempermudah transfer abu dari fly ash
silo ke cyclo bath mixer secara vakum. Partikel abu yang lebih

berat ditampung pada bak dan dengan menggunakan telescopic
spout disalurkan ke truk abu. Abu yang terbawa oleh vent van

kemudian dislaurkan lagi ke fly ash silo.
4. Cyclo bath mixer : abu dan fly ash silo dialirkan ke alat ini melalui
rotary feeder . Disini abu dicampur dengan air dan service water

atau metal waste water sehingga mengumpul (wet ash) dan
selanjutnya dikeluarkan dengan menggunakan belt conveyor atau
truk.
c. Dust collection.
Pada setiap perpindahan (loading dan unloading) batubara dari satu
alat ke alat yang lainnya akan terdapat debu.

Universitas Sumatera Utara

Handlingnya dengan komponen utama sebagai berikut :

a. Silo : debu yang terdapat pada silo disalurkan ke dust collector
secara vakum.
b. Dust collector : setelah debu terkumpul pada dust collector , saluran
ke silo ditutup dan kemudian debu disemprot oleh air sehingga
debu tersebut menggumpal (slurry). Bagian udara dihisap oleh
exhaust fan untuk dibuang ke atmosfer.

c. Screw conveyor : slurry material disalurkan ke alat ini dan
dikembalikan ke silo-silo untuk dipakai kembali sebagai bahan
bakar (Aladin, 2011).
Pemanfaatan batubara sebagai sumber energi, telah mengubah dan
mengarahkan pola hidup manusia, mendatangkan kenutungan, serta mampu
menimbulkan kegiatan industri-industri baru yang bermanfaat untuk masyarakat.
Dibalik itu semua ternyata juga mampu menimbulkan masalah terhadap
lingkungan. Sebagai akibat pembakaran batubara, antara lain pada PLTU akan
menghasilkan abu terbang. Komposisi kimia unsur utama abu terbang secara
umum dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1) oksida logam seperti SiO ,
Al O , TiO , 2) oksida logam basa seperti Fe O , CaO, MgO, K O, Na O, dan 3)
oksida unsur lainnya seperti P O5, SO , sisa karbon dan lain-lain. Dibawah ini
akan ditunjukkan komposisi kimia abu terbang dari berbagai jenis batubara.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Komposisi kimia abu terbang dari berbagai jenis batubara (dalam %
berat)
KOMPONEN

BITUMINOUS

SUB

LIGNIT

BITUMINOUS
SiO

20-60

40-60

15-45

Al O

5-35

20-30

10-25

Fe O

10-40

4-10

4-15

CaO

1-12

5-30

15-40

MgO

0-5

1-6

3-10

SO

0-4

0-2

0-10

Na O

0-4

0-2

0-10

K O

0-3

0-4

0-4

LOI

0-15

0-3

0-5

Sumber : ASTM C618-92a (1994)
Keterangan :
LOI = lost on ignition (hilang terbakar)
Pada saat ini para ilmuwan mencoba memanfaatkan abu terbang yang
ternyata terdapat dalam jumlah yang sangat banyak. Beberapa usaha pemanfaatan
abu terbang adalah sebagai berikut :










Fly ash sebagai bahan bangunan
Fly ash sebagai bahan dasar sintesis zeolit
Fly ash sebagai bahan baku semen
Fly ash sebagai bahan stabilisasi tanah lembek
Fly ash sebagai pupuk

Universitas Sumatera Utara

2.2. Abu Terbang Sebagai Pupuk
Disamping mengandung unsur beracun, fly ash juga mengandung unsur
hara yang dibutuhkan tanaman. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa fly
ash dapat digunakan sebagai sumber dari kalium, fosfor, kalsium, magnesium,

sulfur dan beberapa unsur hara makro seperti silika (Adriano dkk, 1980). Tanah
yang diberi campuran abu fly ash memberikan peningkatan hasil pada
pertumbuhan tanaman, sehingga dapat dikatakan bahwa fly ash memiliki potensi
untuk pemanfaatan pada bidang pertanian yaitu sebagai pupuk ( Wong, 1997).
Pupuk merupakan kunci dari kesuburan tanah karena berisi satu atau lebih
unsur untuk menggantikan unsur yang habis terisap tanaman. Jadi, memupuk
berarti menambah unsur hara ke dalam tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk
daun). Ada tiga hal yang harus dipahami bila ingin benar-benar menguasai likuliku memupuk, yaitu tanah, tanaman, dan pupuk (Lingga,2000).
Tanah sebagai media tumbuh tanaman mempunyai fungsi menyediakan
air-udara dan unsur-unsur hara untuk pertumbuhan tanaman, namun demikian
kemampuan tanah menyediakan unsur hara sangat terbatas. Hal terbukti dengan
pemakaian tanah yang terus menerus secara intensif tanpa penambahan unsur hara
mengakibatkan merosotnya produktifitas tanah, menurunnya hasil panenan dan
rusaknya

sifat

fisik,

kimiawi

dan

biologi

tanah

(kesuburan

tanah)

(Damanik,2010).
Unsur hara dalam tanah terdiri dari unsur hara makro dan unsur hara
mikro. Dalam hal ini kita akan membahas unsur hara mikro. Unsur hara mikro
merupakan unsur hara penunjang yang hanya esensial atau dibutuhkan oleh

Universitas Sumatera Utara

tanaman tertentu atau tidak berlaku umum, malahan lain dapat menjadi unsur
toksik. Unsur-unsur ini kadangkala mempunyai karakter penyediaan dan
penyerapan mirip unsur mikro, yaitu tanpa zona serapan mewah sehingga dalam
kadar sedikit berlebihan sudah menjadi racun (misalnya Al), sedangkan yang lain
mirip unsur makro dengan zona serapan mewah (misal Si).
Silika merupakan unsur penyusun lithosfer kedua terbesar (27,61%)
setelah oksigen (46,46%); 60% dari bebatuan basalt dan granit tersusun oleh SiO ;
serta 5 dari 7 kelompok mineral primer (kecuali kelompok fosfat dan karbonat)
mengandung Si; dan Si merupakan penyusun lempeng pada struktur liat silikat.
Mineral silikat(SiO ) yang kristalin meliputi kuarsa, tridimit dan kristobalit,
sedangkan yang nonkristalin adalah opalin silika yang terbentuk secara biologis
dari

proses

selefikasi

dari

rerumputan

dan

bagian

pohon

deciduous

(Hanafiah,2007 ).
Silikon merupakan unsur yang tidak penting untuk tanaman. Anehnya,
hampir semua tanaman yang mengandung Si dalam kadar yang berbeda-beda dan
sering sangat tinggi. Si dapat menaikkan produksi tanaman karena dapat
memperbaiki sifat fisik tanaman dan berpengaruh terhadap kelarutan P dalam
tanah. Pengaruh Si yang lain adalah menyebabkan resistensi tanaman terhadap
serangan hama/penyakit dan mengurangi transpirasi. Pemberian Si dapat
menyebabkan kenaikan ketersediaan P. Sebab Si mampu mengganti P yang
tersemat (fixed), sehingga P yang tidak tersedia oleh tanaman berubah menjadi
tersedia karena digantikan oleh Si. Pemberian Si dapat mengurangi aktivitas Al,
Fe, Mn, dan anion silikat dapat menggantikan anion fosfat pada sisi sematan,

Universitas Sumatera Utara

sehingga P tersemat menjadi tersedia untuk tanaman. Pemupukan Si akan
meningkatkan penyerapan P oleh tanaman (Rosmarkam, 2002).
2.3 Kolorimetri
Kolorimetri

adalah

suatu

teknik

pengukuran

yang

berdasarkan

diabsorbsinya cahaya oleh zat berwarna baik warna yang berasal dari zat itu
sendiri maupun warna yang terbentuk akibat reaksi dengan zat lain
(Khopkar,2007).
Variasi warna suatu sistem berubah dengan berubahnya konsentrasi suatu
komponen, membentuk dasar yang disebut analisa kolorimetrik oleh ahli kimia.
Warna biasanya disebabkan oleh pembentukan suatu senyawa berwarna dengan
ditambahkannya reagensia yang tepat, atau warna itu dapat melekat dalam
penyusun yang diiginkan itu sendiri. Intensitas warna kemudian dapat
dibandingkan dengan yang diperoleh dengan menangani kuantitas yang diketahui
dari zat itu dengan cara yang sama.
Kolorimetri dikaitkan dengan penetapan konsentrasi suatu zat dengan
mengukur absorpsi relatif cahaya sehubungan dengan konsentrasi tertentu zat
tersebut. Kolorimetri terbagi menjadi dua, yakni : kolorimetri visual dan
kolorimetri fotolistrik. Dalam kolorimetri visual, cahaya putih alamiah ataupun
buatan umumnya digunakan sebagai sumber cahaya, dan penetapan biasanya
dilakukan dengan suatu instrumen sederhana yang disebut kolorimeter atau
pembanding warna. Sedangkan kolorimetri fotolistrik biasanya digunakan dengan
cahaya yang dibatasi dalam jangka panjang gelombang yang relatif sempit dengan
melewatkan cahaya putih melalui filter-filter, yakni bahan dalam bentuk

Universitas Sumatera Utara

lempengan berwarna yang terbuat dari kaca, gelatin, dan sebagainya, yang
meneruskan hanya daerah spektral terbatas.
Keuntungan utama metode kolorimetri adalah metode ini memberikan cara
sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang sangat kecil. Kebanyakan
pengukuran kolorimetri terdiri dari pembandingan warna yang dihasilkan oleh zat
dalam kuantitas yang tak diketahui dengan warna yang sama yang dihasilkan oleh
kuantitas yang diketahui dari zat yang akan ditetapkan tersebut.
2.3.1 Hukum yang mendasari Kolorimetri
Metode kolorimetri yang digunakan untuk penentuan kuantitatif suatu zat
warna dari kemampuannya untuk mengabsorpsi cahaya. Hukum yang mengatur
absorpsi itu biasanya dikenal dengan hukum Lambert dan hukum Beer, dan
dikenal sebagai hukum Beer-lambert.
Hukum Lambert, hukum ini menyatakan bahwa bia cahaya monokromatik
melewati medium tembus cahaya, laju berkurangna intensitas oleh bertambahnya
ketebalan, berbanding kurus dengan inetnsitas cahaya. Ini setara dengan
menyatakan bahwa intensitas cahaya yang dipancarkan berkurang secara
eksposional dengan bertambahnya ketebalan medium yang menyerap. Atau
dengan menyatakan bahwa lapisan dari manapun dari medium itu yang tebalnya
sama akan menyerap cahaya masuk kepadanya dengan fraksi yang sama. Hukum
ini dapat dinyatakan oleh persamaan diferensial :
T=



��

= 10 ̵ ͣ ˡ

A = log

��


= al

Universitas Sumatera Utara

Dimana : Io = intensitas cahaya yang masuk pada larutan
I = intensitas cahaya yang diteruskan larutan
l

= tebal medium

a = konstanta untuk partikel larutan
T = transmitansi dari larutan
100T = persentase transmisi dari larutan
A = absorbansi
Hukum Beer, hukum ini menyatakan bahwa intensitas cahaya monokromatik
berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi zat penyerap
secara linear. Ini dapat ditulis dalam bentuk :
T=



��

= 10 ̵ ͣ ̓ ͨ


A = log = a’cl
��

Ini adalah persamaan fundamental dari kolorimetri. Nilai a akan bergantung pada
cara menyatakan konsentrasi. Jika c dinyatakan mol dm ‫־‬³ dan I dalam sentimeter,
maka a diberi lambang dan disebut koefisien absorpsi molar.
Kriteria untuk analisis kolorimetri yang memuaskan :
1. Kespesifikan reaksi warna . Sangat sedikit reaksi yang khas untuk suatu zat
tertentu, tetapi banyak reaksi menghasilkan warna untuk sekelompok kecil
zat yang sehubungan saja, artinya reaksi-reaksi itu selektif. Dengan
memanfaatkan peranti seperti memasukkan senyawa pembentuk kompleks
lain, dengan mengubah keadaan kondisi, dan pengendalian pH, seringkali
dapat dicapai pendekatan ke kespesifikan itu.

Universitas Sumatera Utara

2. Kesebandingan antara warna dan konsentrasi. Untuk kolorimeter visual
pentinglah bahwa intensitas warna hendaknya meningkat secara linier
dengan naiknya konsentrasi zat yang akan ditetapkan.
3. Kestabilan warna. Warna yang dihasilkan hendaknya cukup stabil untuk
memungkinkan pengambilan pembacaan yang tepat.
4. Kedapatulangan (reprodusibilitas). Prosedur kolorimetri harus memberi
hasil yang dapat diulang pada kondisi eksperimen yang khas.
5. Kejernihan

larutan.

Larutan

haruslah

bebas

dari

endapan

jika

dibandingkan dengan standar yang jernih.
6. Kepekaan tinggi. Bila zat dengan kuantitas yang sangat kecil maka reaksi
itu sangat cepat (Basset, 1994).
2.3.2 Prinsip Kolorimetri
Indikator adalah sejenis molekul organik yang akan berwarna dalam
keadaan yang tertentu. Jika keadaan berubah, warna indikator ikut berubah. Ada
indikator yang peka terhadap reaksi dengan salah satu logam, dan ada beberapa
indikator yang peka terhadap nilai pH. Kalau pH larutan lebih besar (larutan
bersifat basa) dari nilai pH yang ditentukan untuk sejenis indikator, warna “basa”
terlihat, sedangkan kalau di bawah nilai pH tersebut warna “asam” terlihat
(Alaerts, G, 1984).

Universitas Sumatera Utara