Analisis pengaruh dispersi terhadap rugi-rugi Daya transmisi pada serat optik single mode Rekomendasi itu-t seri g.655 Chapter III V

BAB III
DISPERSI PADA SERAT OPTIK SINGLE MODE

3.1.

Umum
Serat optik memiliki beberapa karakteristik penting dalam menyalurkan

sinyal informasi diantaranya adalah dispersi. Sinyal informasi dalam serat optik
akan mengalami pelebaran pulsa pada proses transmisinya. Proses terjadinya
pelebaran pulsa ini disebut dispersi [11].

3.2.

Teori Dispersi
Dispersi adalah pelebaran pulsa yang terjadi ketika sinyal merambat

melalui sepanjang serat optik yang disebabkan oleh keterbatasan material dan efek
linear seperti polarisasi, material dan lainnya. Faktor dispersi ini akan
mempengaruhi kualitas sinyal yang akan ditransmisikan dalam jaringan. Dispersi
akan menyebabkan pulsa-pulsa cahaya memuai dan menjadi lebih lebar, sehingga

pada akhirnya mengakibatkan pulsa-pulsa tersebut saling tumpang tindih dengan
satu sama lain [12].
Dispersi merupakan peristiwa melebarnya pulsa optik yang merambat sepanjang
serat optik seperti pada Gambar 3.1. Pulsa output mempunyai lebar pulsa lebih besar dari
lebar pulsa input. Dispersi suatu serat optik dinyatakan sebagai pelebaran pulsa per
satuan panjang (ps/nm.km). Pada serat optik single mode faktor dispersi lebih kecil dari
pada multi mode [13].

34 
 

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3.1.
3 Peristiwaa Pelebaran Puulsa Akibat Dispersi
D
Pengaruh dispersii pada kinerjaa dari sistem transmisi fibber optik dikeenal dengan
i
intersymbol
interference

i
(
(ISI).
Intersyymbol interferrence terjaddi ketika peleeberan pulsa
y
yang
diakibattkan oleh disspersi menyebbabkan pulsaa output padaa sistem menjjadi overlap
d membuaatnya tidak teerdeteksi. Jikka sebuah puulsa input yaang diakibatkkan menjadi
dan
m
melebar
yaituu perubahan rata-rata
r
dari iinput melebihhi batas dispersi dari serat, data output
a
akan
menjadii tidak dapat dibedakan. Adanya
A
pelebbaran pulsa ini berpengaru
uh terhadap

p
performansi
s
sistem
dengaan munculnyaa intersymboll interferencee (ISI) dan beerkurangnya
s
sejumlah
enerrgi pulsa kareena energi terrsebut menyeb
bar selama diispersi terjadi. Berikut ini
G
Gambar
3.2. memperlihatk
m
kan keadaan IISI [14].

Gambar
G
3.2. Intersymbol Interference
I
Masaalah akibat deegradasi sinyaal adalah mennurunnya SN

NR (signal to noise ratio)
s
sehingga
info
ormasi yang dikirimkan ooleh transmitter tidak ditterima secaraa maksimal.

35
Universitas Sumatera Utara

Untuk mengatasinya diperlukan power penalty yang didefinisikan sebagai kenaikan daya
sinyal yang diperlukan sistem untuk mengatasi distorsi sinyal dan memperoleh serta
menjamin nilai SNR atau BER ideal. Terdapat dua jenis degradasi sinyal yaitu selama
proses propagasi dan akibat komponen elektronik atau optik [15],[16].
Ada dua faktor yang mempengaruhi kinerja serat optik, yang menjadi dasar
analisis

kinerja

keseluruhan


sistem

dan

landasan

pembangunan suatu sistem komunikasi serat optik.
redaman dan dispersi.

bagi

Faktor-faktor tersebut yaitu

Redaman digunakan dalam analisis power budget,

berdasarkan optimalisasi daya dari pengirim
(receiver) dengan

pertimbangan


yaitu

(transmitter) sampai ke penerima

meminimalkan redaman di sepanjang serat optik.

Sedangkan

dispersi digunakan dalam analisis rise time budget, agar tidak terjadi kerusakan sinyal
akibat bit-bit pulsa digital yang melebar [17].
Dalam prakteknya sumber optik tidak hanya memancarkan cahaya pada satu
panjang gelombang (frekuensi), tetapi pada suatu rentang panjang gelombang yang
disebut lebar spectral. Yang mana lebar spektrum ini apabila semakin kecil maka sumber
semakin koheren [18].
Sedangkan apabila terjadi dispersi pada pengiriman sinyal optik maka akan
menyebabkan terjadinya distorsi ( pelebaran ) pada bentuk sinyal. Dispersi pada serat
optik akan menyebabkan terjadinya pelebaran pulsa cahaya yang dikirim sepanjang serat
dan jika diamati setiap pulsa, pulsa tersebut akan melebar dan menumpuk dengan yang
lainnya bahkan menjadikan tidak dapat dibedakan pada perangkat penerima. Pengaruh ini
dikenal dengan interferensi intersimbol yang akan menambah jumlah pulsa yang salah.

Disamping itu dispersi juga membatasi maksimum lebar pita frekuensi. Sehingga untuk
menghindari penumpukan pulsa–pulsa cahaya pada hubungan sistem optik maka

36 
 

Universitas Sumatera Utara

dipersyaratkan kecepatan bit rate (BR) harus lebih kecil atau paling tidak sama dengan
dua kali pelebaran dispersi pulsa [18].
Secara garis besar dispersi yang terjadi pada serat optik ada dua jenis yaitu [19] :

1. Dispersi Intermodal
Dispersi intermodal adalah pelebaran pulsa sebagai akibat dari perbedaan
delay propagasi antara satu mode dengan mode penjalaran lainnya. Dimana untuk
menempuh panjang serat yang sama, sinar yang bermodus lebih tinggi akan lebih
lambat dibandingkan dengan sinar yang bermodus lebih rendah, sehingga terjadi
pelebaran pulsa. Gangguan ini dapat ditiadakan dengan menggunakan serat optik
single mode.
Dispersi intermodal pada multimode terjadi akibat dari perbedaan kelambatan

perambatan cahaya diantara mode – mode dalam multimode. Mode – mode yang berbeda
yang merupakan pulsa dalam serat multimode merambat sepanjang kanal pada
sekumpulan kecepatan yang berbeda, sehingga lebar pulsa output bergantung pada saat
pengiriman dari mode – mode yang cepat dan yang lambat. Banyaknya lintasan cahaya
yang merambat melalui serat pada bagian – bagian yang berbeda, sehingga setiap bagian
mempunyai panjang yang berbeda, karena itu setiap mode mempunyai waktu perambatan
yang berbeda.

2. Dispersi Intramodal
Dispersi intramodal adalah pelebaran pulsa yang terjadi dalam suatu serat
optik single mode. Sinar yang berasal dari LED dan Laser Dioda mengandung
berbagai panjang gelombang, dan dikatakan memiliki suatu pita panjang
gelombang atau lebar spektral, dimana bila semakin besar lebar spektral sinar

37 
 

Universitas Sumatera Utara

yang memasuki serat optik, maka akan semakin banyak macam panjang

gelombang dan semakin besar pelebaran pulsa (distorsi sinyal) yang terjadi.

3.3. Jalur Pengukuran
Adapun jalur pengukuran dalam analisis dispersi yang dilakukan pada
Tugas Akhir ini yaitu dari link STO MDC (Medan Centrum) sampai STO PUBA
(Pulo Brayan) dengan jarak 4.96994 Km dan link STO PUBA (Pulau Brayan) sampai
STO BDB (Bandar Baru) dengan jarak 60.50397 Km. Cakupan wilayah area yang

dilakukan pada penelitian dengan link MDC – PUBA tergambar pada Gambar
3.3. Garis berwarna biru menunjukkan jalur yang dilalui oleh serat optik pada
pengukuran dispersi kromatik.

Gambar 3.3. Jalur Pengukuran Dispersi MDC-PUBA [19].

3.4. Spesifikasi Alat
Peralatan yang digunakan untuk mengukur dispersi kromatik yaitu sebagai
berikut :

3.4.1. Alat Ukur Dispersi


38 
 

Universitas Sumatera Utara

JDSU MTS–8000 merupakan modul yaitu alat ukur yang menggunakan bahan
kemasan anti statis untuk menghubungkan modul ke unit dasar. Terdapat 3 tipe
pengukuran yaitu [20] :

1. Optical Time Domain Reflectometer (OTDR)
2. Chromatic Dispersion (CD)
3. Optical Spectrum Analyzer (OSA)
Tabel 3.1 menunjukkan spesifikasi secara teknis CD-OTDR JDSU [20].

Tabel 3.1. Spesifikasi Secara Teknis CD-OTDR JDSU

Berdasarkan fungsi yang digunakan pada penelitian ini alat ukur yang
digunakan menggunakan JDSU MTS–8000 seperti pada Gambar 3.4. Alat ukur
ini terdapat banyak fungsi, salah satu fungsinya adalah untuk mengukur dispersi
(chromatic dispersion) akibat event yang terjadi di sepanjang kabel serat optik,


39 
 

Universitas Sumatera Utara

alat ukur ini bekerja berdasarkan domain waktu yang merupakan tangkapan dari
sinar pantul ketika laser ditembakan kedalam kabel serat optik untuk
mengidentifikasi inti karakteristik dari serat optik. Pada pengukuran dispersi serat
optik dilakukan secara link point to point yang di ukur dari ujung ke ujng secara
original end to end ke bentuk asal [20], item yang dapat diukur pada alat ukur ini
adalah delay, dispersion dan slope berdasarkan fungsi panjang gelombang ( ).

Gambar 3.4 JDSU MTS-8000 [20]

3.4.2. Jenis Kabel Serat Optik Yang Digunakan
Pada pengukuran dispersi ini digunakan jenis kabel single mode yang merujuk
pada rekomendasi ITU.T single mode yaitu G.655 dengan spesifikasi kabel
Telkom/2011/Voksel-NZDSF-D-LT-SS24/4T-2Q yang berarti digunakan kabel serat
optik single mode non zero dispersion shifted fiber untuk pemakaian duct dengan jenis
loose tube, struktur penguatnya Solid Stated Core, jumlah serat adalah 24 dengan 4 buah
loose tube untuk link MDC – PUBA dan jumlah serat 48 dengan 4 buah loose tube untuk
link PUBA - BDB.

40 
 

Universitas Sumatera Utara

3.5.

Pengukuran Dispersi
JDSU MTS – 8000 yang digunakan untuk mengukur dispersi, didalam perangkat

JDSU ini terdapat CD-OTDR yang berfungsi untuk mengidentifikasi event yang terjadi
pada kabel serat optik, prinsip kerja dari CD-OTDR ini adalah cahaya ditembakkan
menggunakan laser, kemudian sinar dari laser diteruskan menuju kabel serat optik
berdasarkan fungsi waktu terhadap simpangan yang terjadi akibat perubahan fase akan
terpantul kembali ke cermin, di dalam OTDR tertangkap oleh photodetektor, dari
photodetektor diolah kembali oleh osciloscope sehingga sinar yang oleh detector optik
bisa terbaca oleh oscilloscope [20]. Proses pengukuran dispersi serat optik dilakukan
berdasarkan jumlah core yang kosong di tiap OTB (Optical Terminal Box), dari OTB
MDC akan dihubungkan ke OTB PUBA yang mempunyai jarak tertentu, untuk
menghubungkan OTB MDC ke OTB PUBA menggunakan konektor serta kabel serat
optik 24 core (Patch core) dan untuk menghubungkan OTB PUBA ke OTB BDB
menggunakan kabel serat optik 48 core .
Langkah – langkah pengukuran dispersi dengan menggunakan MTS 8000 (CD –
OTDR) yaitu [21] :

1.

Konektor JDSU dibersihkan dengan serat pembersih kit dan port penghubung
yang sesuai dengan serat optik dibersihkan.

2.

Jumper dan konektor Panel Patch dibersihkan.

3.

JDSU ke link dihubungkan.

4.

MTS 8000 diaktifkan dengan menekan tombol “ON”.

5.

Tombol “System” ditekan.

6.

Gambar OTDR & CD dipastikan berwarna kuning, jika tidak ditekan 2x sampai
berubah menjadi kuning.

7.

Tombol “Result” ditekan.

41 
 

Universitas Sumatera Utara

8.

Tab fungsi yang diinginkan (OTDR/CD) dibagian pojok kiri bawah dipilih.

9.

Tombol Start/Stop ditekan.

10. Untuk save file menu “File” dipilih.
11. Directori penyimpanan ditentukan dengan tombol “Setup”– “Explorer” ditekan pada
bagian kanan bawah.
12. Tombol “Setup”-“Explorer” ditekan.
13. Nama (File Naming) sesuai keperluan diberikan, dilanjutkan dengan tombol
“Validate”.
14. Tombol “Store”-“Trace” ditekan.
15. Kembali ke menu “Test” dan tombol “Result” ditekan.
16. Untuk mengetest CD tombol “Tab” “CD” ditekan pada bagian kiri bawah.
17. Tombol “Start”-“Stop” ditekan untuk melakukan pengetesan.

18. Menu “Dispersion” dipilih untuk mendapatkan nilai dispersi.
19. Menu “Slope” dipilih untuk mendapatkan nilai slope
20. Menu “Delay” dipilih untuk mendapatkan nilai delay (waktu tunda).
21. Menu “File” dipilih lalu “Save” untuk menyimpan hasil.
22. Untuk Transfer file digunakan kabel penghubung dan hasil dicetak dengan
menggunakan “software fiber tracer viewer”.
3.6. Dispersi Kromatik
Dispersi yang terjadi pada serat serat optik single mode hanya dispersi intramodal
(dispersi kromatik). Dispersi intramodal adalah pelebaran pulsa yang terjadi dalam suatu
serat optik single mode. Sinar yang berasal dari LED dan Laser Dioda mengandung
berbagai panjang gelombang, dan dikatakan memiliki suatu pita panjang gelombang atau
lebar spektral, dimana bila semakin besar lebar spektral sinar yang memasuki serat optik,
maka akan semakin banyak macam panjang gelombang dan semakin besar pelebaran
pulsa (distorsi sinyal) yang terjadi [22].

42 
 

Universitas Sumatera Utara

Dispersi intramodal sering juga disebut dispersi kromatik (chromatic). Dispersi
ini terjadi karena pengaruh dari panjang gelombang terhadap kecepatan rambat cahaya di
dalam fiber optik, dimana bahan penyusun fiber optik ini juga mempengaruhi besarnya
dispersi. Dispersi ini biasanya diberikan dalam satuan picoseconds per kilometer
nanometer [ps/(km x nm)] [23]. Serat Optik single mode mempunyai keuntungan, dimana
dispersi yang terjadi hanya dispersi intramodal karena yang merambat hanya terdapat
satu mode [19].
Dua faktor utama penyebab dispersi kromatik yaitu dispersi material dan dispersi
pandu gelombang [24].

1. Dispersi material
Dispersi yang terjadi karena diakibatkan adanya variasi indeks bias sebagai
fungsi yang tidak linier dari panjang gelombang.
2. Dispersi Pandu Gelombang
Dispersi terjadi dalam satu mode terdiri dari beberapa panjang gelombang
yang berbeda dari spektral sumber cahaya yang merambat sepanjang serat.
Untuk dispersion-item yang dapat diukur pada dispersi kromatik adalah delay,
dispersion dan slope berdasarkan fungsi panjang gelombang ( ). Analisis dispersi link
MDC-PUBA merupakan kabel single mode jenis non-zero-dispersion-shifted (NZDS)
yang menggunakan kabel single mode standar ITU.T G.655 dengan panjang gelombang
1255 – 1650 nm.
Menurut CCITT dispersi kromatik D( ) pada serat optik single mode adalah
representasi dari turunan delay (derivative of delay) atau kelengkungan kurva delay
(delay curve) pada panjang gelombang, dengan rumus seperti pada Persamaan (3.1) [25].

Dispersion = D( ) =

S

(3.1)

43 
 

Universitas Sumatera Utara

Dimana :
D

= Dispersi kromatik pada (ps/Km.nm)
= Panjang gelombang (nm)

S

Nilai pada saat dispersi

(nm)

Nilai Slope pada saat dispersi

(ps/Km.nm2)

Sebagai acuan data teknis yang digunakan dalam menghitung dispersi kromatik dapat di
lihat pada Tabel 3.2 [19].

Tabel 3.2. Parameter Pengukuran Dispersi kromatik Pada PT. Telkom
Data Parameter Nilai Slope berdasarkan jumlah core
Serat Optik dengan 24 Core
0.106 ps/km.nm2
0.106 ps/km.nm2

Serat Optik dengan 48 Core

Total chromatic dispersion yakni representasi time spreading atau pulse
spreading akibat fenomena chromatic dispersion, dengan rumus seperti Persamaan (3.2)
[26].
Dt = D( ) x

xL

(3.2)

Keterangan :
Dt

= Total Dispersi Kromatik (ps)

D( ) = Chromatic Dispersion Coefficient pada = 1550 nm (ps/nm.km)
= Laser Spectral Width (nm)
L

= Jarak (km)

3.7. Rise Time Budget
Ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas
sistem komunikasi digital, termasuk sistem komunikasi serat optik, diantaranya BER

44 
 

Universitas Sumatera Utara

(Bit Error Rate) dan SNR (Signal to Noise Ratio). BER menyatakan berapa jumlah bit
error yang terjadi dalam dalam satuan detik, sedangkan SNR menyatakan perbandingan
sinyal dengan noise/gangguan. Semakin besar redaman, maka semakin kecil SNR dan
daya penerimaan,

sehingga BER akan semakin tinggi sehingga kualitas menjadi

berkurang. Evaluasi terhadap parameter ini diperlukan karena dalam Sistem
Komunikasi Serat Optik (SKSO) terdapat dispersi yang harus diperhatikan agar
informasi dalam jaringan serat optik tetap terjamin dan sistem dapat melewatkan
bit rate yang ditransmisikan. Dengan perhitungan rise time budget dapat ditentukan
batasan

dispersi

maksimum

suatu

jaringan transmisi

dan

dapat

diketahui

kemungkinan terjadinya degradasi (penurunan) sinyal digital sepanjang jaringan
transmisi yang disebabkan oleh komponen yang digunakan [27].
Rise time budget merupakan metoda untuk menentukan batasan dispersi
maksimum pada

saluran transmisi, sehingga perhitungan ini perlu dilakukan untuk

mengetahui nilai laju bit maksimum agar mendukung jarak tempuh dengan Rise Time
Budget [28]. Tujuan dari perhitungan Rise Time Budget adalah untuk menganalisis
kerja sistem secara keseluruhan dan memenuhi kapasitas kanal yang diinginkan.
Secara umum, degradasi total waktu transisi dari link digital tidak melebihi 70 % dari satu
periode bit NRZ (Non-Retum-to-Zero) atau 35 % dari satu periode bit data RZ (Return-toZero).
Jika nilai tsist (rise time budget) ≤ nilai tr (bit rate sinyal NRZ atau RZ ) maka
dapat disimpulkan bahwa sistem tersebut layak (memenuhi persyaratan anggaran rise
time budget). nilai tr (bit rate) untuk sinyal NRZ dapat dihitung dengan menggunakan
Persamaan (3.3) dan untuk bit rate sinyal RZ dapat dihitung dengan menggunakan
Persamaan (3.4) [28].
tr =

.

(3.3)

45 
 

Universitas Sumatera Utara

tr =

.

(3.4)

Untuk Rise time budget (tsist) sistem secara keseluruhan dihitung dengan
Persamaan (3.5) [29].
tsist2 = ttx2 + trx2 + Dt2

Dimana :

tsist = t

t

D

(3.5)

tsist = Rise Time Budget (ps)
ttx = Rise Time Transmitter (ps)
trx = Rise Time Receiver (ps)
Dt = Total Kromatik Dispersion (ps)

Sebagai acuan data teknis yang digunakan dalam menghitung rise time budget dapat di
lihat pada Tabel 3.3 [19].

Tabel 3.3. Parameter Pengukuran Rise Time Budget Pada PT. Telkom
Data Parameter Link MDC – PUBA dan PUBA BDB
Bit Rate (BR)
10 Gbps
Panjang Gelombang ( )

1550 nm

Rise time transmitter (ttx)

35 ps

Rise time receiver (trx)

35 ps

Lebar spektral (

0,1 nm

3.8. Dispersion Power Penalty
Dispersi merupakan gejala pelebaran pulsa pada serat optik. Dispersi dipengaruhi
beberapa faktor antara lain lebar pulsa cahaya yang mengalami propagasi pada serat
optik, numerical aperture, core diameter, refractive index profile, laser linewidth dan
panjang gelombang [14]. Akibatnya, untuk mengatasi gejala tersebut diperlukan

46 
 

Universitas Sumatera Utara

dispersion power penalty. Dispersion power penalty didefinisikan sebagai kenaikan daya
input yang dibutuhkan receiver untuk mengeliminasi degradasi pada BER (bit error rate)
karena efek dispersi serat optik [26]. Dispersion power penalty memiliki nilai standar
yaitu tidak boleh melebihi dua decibel (2 dB) [30].
Untuk dapat menghitung besarnya dispersion power penalty, harus diketahui
terlebih dahulu besarnya dispersi yang terjadi. Dispersi yang terjadi ditentukan oleh
panjang gelombang yang digunakan.
Oleh karena itu harus ditentukan panjang gelombang yang digunakan, dan
biasanya panjang gelombang yang digunakan adalah =1310 nm dan = 1550 nm,

namun dalam penelitian ini yang digunakan hanya = 1550 nm. Setelah ditentukan

panjang gelombang, maka dapat dihitung besar dispersi yang terjadi dengan
menggunakan Persamaan (3.1).
Setelah diketahui besarnya dispersi yang terjadi langkah selanjutnya adalah
menghitung pulse width () yang didapat dari perkalian besar dispersi dengan spectral
width ( ) dari spesifikasi kabel optik yang digunakan pada sistem tersebut, seperti
terlihat pada Persamaan (3.6) [26].
 . D















Dimana :
Pulsa Width (ps/Km)
 spectral width (nm)
D

= Dispersi kromatik (ps/Km.nm)

47 
 

Universitas Sumatera Utara

Dengan didapat besar pulse width () pada serat optik tersebut maka dapat dicari
besarnya fiber bandwidth ( f ) dalam ps/Km, seperti pada Persamaan (3.7) [26].

f =

(3.7)

.

Langkah selanjutnya yaitu menghitung fiber bandwidth-distance ( FF ) dengan
membagi fiber bandwidth ( f ) yang telah didapat dengan panjang serat optik yang
digunakan (L), seperti pada Persamaan (3.8) [26].

(3.8)

FF =

Dimana :
FF = fiber bandwidth-distance (ps/Km2)
f = fiber bandwidth (ps/Km)
L = panjang serat optik (Km)
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi besarnya dispersion power penalty
adalah bit rate ( BR ) yang diperoleh dari spesifikasi serat optik yang digunakan pada

sistem (dalam Gbps). Hal tersebut terlihat dalam mencari length efficiency atau Ldari

fiber, dimana length efficiency merupakan pembagian kuadrat dari fiber bandwidthdistance dengan bit rate dikali koefisien c yang sama dengan 0.5, seperti pada Persamaan
(3.9) [26].

L = c x

(3.9)

Setelah didapat length efficiency baru dapat dihitung besarnya dispersion power
penalty dengan Persamaan (3.10) [26].
dBL = 10 log (1+L)

48 
 

(3.10)

Universitas Sumatera Utara

Dimana :

L = length efficiency
dBL = dispersion power penalty dengan satuan decibel (dB).

Selain itu nilai dispersi jika melewati ambang batas sudah bisa diatasi yaitu
dengan penggunaan kabel optik jenis DCF( dispersion compensate fiber). DFC yaitu
kabel optik single mode triple cladding yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa
menghasilkan nilai dispersi negatif. Kabel ini disisipkan di bagian-bagian dimana
dispersinya sudah melewati ambang batas dispersi sistem [31].
 
 

 

49 
 

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
ANALISIS DISPERSI SERAT OPTIK SINGLE MODE

4.1. Umum
Proses terjadinya pelebaran pulsa (dispersi) ini akan mempengaruhi
kualitas sinyal yang akan ditransmisikan dalam jaringan sehingga sebelum
membangun sebuah jaringan lokal akses kabel serat optik diperlukannya
pengukuran dispersi [11]. Pada Tugas Akhir ini dilakukan penelitian untuk
menganalisis pengaruh dispersi terhadap rugi-rugi daya transmisi pada serat
optik single mode. Serat optik yang digunakan yaitu serat optik single mode
G.655.
Rise time budget merupakan metoda untuk menentukan batasan dispersi
pada saluran transmisi, tujuannya adalah untuk menganalisis kerja sistem secara
keseluruhan dan memenuhi kapasitas kanal yang diinginkan. Dengan
perhitungan rise time budget dapat ditentukan batasan dispersi maksimum
suatu jaringan transmisi dan dapat diketahui kemungkinan terjadinya degradasi
(penurunan) sinyal digital sepanjang jaringan transmisi yang disebabkan oleh
komponen yang digunakan [28]. Dalam penelitian ini bit rate yang digunakan
adalah 10 Gbps dengan format NRZ (Non-Return-to-Zero) sehingga nilai rise
time budget harus di bawah nilai standar KPI (Key Performance Indicator)
Telkom yaitu tsist ≤ 70 ps.

50 
 

Universitas Sumatera Utara

4.2. Analisis Dispersi
Pada pengukuran dispersi dengan serat optik G.655 panjang gelombang
yang digunakan adalah 1255 – 1650 nm. Dispersi yang di ukur dalam penelitian
ini yaitu link Medan Centrum – Pulo Brayan dengan jarak 4,96994 km
sedangkan untuk link Pulo Brayan – Bandar Baru dengan jarak 60,50397 km.

4.2.1. Analisis Dispersi Link MDC - PUBA
Untuk link Medan Centrum (MDC) – Pulo Brayan (PUBA) dari data
Lampiran A untuk serat optik dengan penggunaan 24 core, nilai S

slope pada saat dispersi = 0 adalah 0.106 ps/km.nm2 dan

yaitu nilai

) yaitu nilai

saat dispersi = 0 adalah 1362,71 nm. Pada link ini digunakan

pada

= 1550 nm,

sehingga dengan menggunakan Persamaan (3.1) untuk link MDC – PUBA
diperoleh nilai dispersi sebagai berikut :
D λ

S

D λ

16,535 ps/km.nm

D λ

.

λ

,

Nilai hasil perhitungan dispersi untuk link MDC – PUBA berdasarkan

panjang gelombang dapat dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Perbandingan Nilai Dispersi Berdasarkan Perhitungan Dan
Pengukuran Pada Link MDC - PUBA
Panjang Gelombang
Dispersi Kromatik ( ps/km.nm)
( )
Perhitungan
Pengukuran
(nm)
1255
-12.973
-13.014
1310
-5.9336
-5.952
1550
16.535
16.589
1650
23.3823
23.457

51 
 

Universitas Sumatera Utara

Denggan cara perrhitungan yaang sama unntuk panjanng gelombanng 1255 –
1650 nm diidapatkan nilai
n
yang dapat
d
dilihatt pada Lam
mpiran C

y
yaitu
nilai

d
dispersi
padaa bagian link
k MDC – PU
UBA.
Dari Lampiran C diperoleh grafik perh
hitungan dann pengukurann dispersi
k
kromatik
sep
perti pada Gambar
G
4.1.

Gambar
G
4.1. Grafik Dispersi Kromatiik Link MDC – PUBA
Dari perhitungan
n yang telahh dilakukan diperoleh bbahwa untuk
k dispersi
k
kromatik
dengan panjanng gelombanng 1550 nm pada
p
link Medan
M
Centruum – Pulo
B
Brayan
mennunjukkan niilai 16.535 pps/km.nm seedangkan pada data yang
g terdapat
p
pada
Lampiiran A adalah 16.589 pps/km.nm sehingga dipperoleh selissih 0.054,
d
dimana
selissih ini dapat diabaikan kkarena hasiln
nya mendekaati nilai dari data hasil
p
pengukuran.
. Nilai Disppersi kromattik pada link
k MDC - PU
UBA dengaan metode
p
pengukuran

dan

perhitungann

berdasaarkan

paanjang

gelombang

( = 1255 – 1650 nm) tidak jauh bberbeda atau
u hampir sam
ma. Dispersi kromatik
s
sangat
dipeengaruhi oleeh panjang gelombangg, semakin besar nilaii panjang
g
gelombang
maka
m
akan semakin besaar nilai dispeersi kromatikk.
52
Universitas Sumatera Utara

Untuk mendapatkan nilai dispersi total digunakan rumus pada Persamaan
(3.2) yaitu sebagai berikut :
Dt = D( ) x

xL

Dt = 16.535 ps/ km nm x 0.1 nm x 4.96994 km
Dt = 8.2177 ps

4.2.2. Analisis Dispersi Link PUBA – BDB
Untuk link Pulo Brayan (PUBA) – Bandar Baru (BDB) dari data
Lampiran B untuk serat optik dengan penggunaan 48 core, nilai S

slope pada saat dispersi = 0 adalah 0.027 ps/km.nm2 dan

yaitu nilai

) yaitu nilai

saat dispersi = 0 adalah 1421.60 nm. Pada link ini digunakan

pada

= 1550 maka

diperoleh nilai dispersi kromatik berdasarkan Persamaan (3.1).
Nilai dispersi untuk link PUBA - BDB adalah :
D λ

D λ

S
.

λ

.

D( ) = 8.158 ps/km.nm
Nilai hasil perhitungan dispersi untuk link PUBA - BDB berdasarkan panjang
gelombang dapat dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Perbandingan Nilai Dispersi Berdasarkan Perhitungan Dan
Pengukuran Pada Link PUBA - BDB
Dispersi Kromatik ( ps/km.nm)
Panjang Gelombang
( )
Perhitungan
Pengukuran
(nm)
1255
-14.6021
-14.702
1310
-9.12155
-9.184
1550
8.158
8.214
1650
13.33446
13.426

53 
 

Universitas Sumatera Utara

Dengan cara perhitungan yang sama untuk panjang gelombang 1255 –
1650 nm didapatkan nilai yang dapat dilihat pada Lampiran C yaitu nilai dispersi
pada bagian link PUBA - BDB.
Dari Lampiran C diperoleh grafik perhitungan dan pengukuran dispersi
kromatik pada Gambar 4.2.

 

Gambar 4.2. Grafik Dispersi Kromatik Link PUBA – BDB
Dari perhitungan yang telah dilakukan diketahui bahwa untuk Dispersi
kromatik dengan panjang gelombang 1550 nm pada link Pulo Brayan – Bandar
Baru menunjukkan nilai 8.158 ps/km.nm sedangkan pada data yang terdapat
pada Lampiran B adalah 8.214 ps/km.nm sehingga diperoleh selisih 0.056,
dimana selisih ini dapat diabaikan karena hasilnya mendekati nilai dari data hasil
pengukuran. Nilai Dispersi kromatik pada link PUBA - BDB dengan metode
pengukuran

dan

perhitungan

berdasarkan

panjang

gelombang

( = 1255 – 1650 nm) tidak jauh berbeda atau hampir sama. Dispersi kromatik
sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang, semakin besar nilai panjang
gelombang maka akan semakin besar nilai dispersi kromatik.
54 
 

Universitas Sumatera Utara

Untuk mendapatkan nilai dispersi total digunakan rumus pada Persamaan
(3.2) yaitu sebagai berikut :
Dt = D( ) x σ x L

Dt = 8.158 ps/ km.nm x 0.1 nm x 60.50397 km
Dt = 49.360 ps
Dari data hasil perhitungan dispersi kromatik pada Lampiran C diperoleh
grafik perbandingan antara nilai dispersi kromatik link MDC – PUBA dengan
panjang link 4,94994 km dan link PUBA – BDB dengan panjang link
60,50397 km. Gambar 4.3 menunjukkan grafik perbandingan nilai hasil
perhitungan dispersi kromatik pada link MDC – PUBA dan Link PUBA – BDB.

Gambar 4.3 Grafik Perbandingan Antara Perhitungan Dispersi Kromatik
Pada Link MDC – PUBA dan Link PUBA – BDB

55 
 

Universitas Sumatera Utara

Dari data hasil perhitungan

pada lampiran C diperoleh bahwa nilai

dispersi kromatik pada link MDC – PUBA lebih besar dari pada link PUBA –
BDB. Hal ini terjadi karena letak lokasi pengkabelan yang dekat perkotaan
sehingga pengaruh bending lebih besar yang mengakibatkan nilai dispersi
kromatiknya lebih besar.

4.3. Analisis Rise Time Budget
Dengan perhitungan rise time budget dapat ditentukan batasan dispersi
maksimum suatu jaringan transmisi dengan media serat optik. Nilai rise time
budget dapat dihitung dengan Persamaan (3.5). Rise time budget harus
memenuhi persyaratan anggaran yaitu nilai rise time budget harus lebih kecil
dari nilai bit rate sinyal NRZ. Untuk mengetahui sistem masih dalam batas
normal maka dihitung nilai bit rate sinyal NRZ dengan Persamaan (3.3).
Nilai Bit Rate sinyal NRZ (tr) adalah :
tr =
tr =

.
.

= 0,07 ns = 70 ps

4.3.1. Rise Time Budget Link MDC - PUBA
Pada perhitungan ini, sejumlah data diambil dari ketentuan dan data teknis
yang ada pada Tabel 3.2. Pada Link Medan Centrum – Pulau Brayan
menggunakan

= 1550 dimana nilai perhitungan dispersi kromatik yang

diperoleh adalah 16,535 ps/nm.km, sehingga untuk menghitung nilai Rise Time
Budget berdasarkan pada Persamaan (3.5) namun sebelumnya sudah dihitung nilai
total dispersi dalam sistem dengan menggunakan Persamaan (3.2).

56 
 

Universitas Sumatera Utara

tsist2 = ttx2 + trx2 + Dt2
tsist2 = (35) 2 ps + (35) 2 ps + (8,2177)2 ps
tsist2 =2517.53 ps
Maka diperoleh nilai Rise Time Budget yaitu :
tsist = ttx
tsist = √

.

trx

Dt

tsist = 50.174 ps
Dari hasil perhitungan ini maka diperoleh nilai batasan dispersi maksimum
jaringan transmisi yang digunakan pada link Medan Centrum – Pulo Brayan
adalah 50.174 ps. Hasil ini masih memenuhi syarat ≤ 70 ps artinya adalah dispersi
yang ada pada sistem tersebut masih dalam batas normal yang berarti tidak
menggangu kinerja sistem.
4.3.2. Rise Time Budget Link PUBA - BDB
Pada perhitungan ini, sejumlah data diambil dari ketentuan dan data teknis
yang ada pada Tabel 3.2. Pada Link Pulo Brayan – Bandar Baru menggunakan
= 1550 dimana nilai perhitungan dispersi kromatik yang diperoleh adalah
8.158 ps/nm.km, sehingga untuk menghitung nilai Rise Time Budget berdasarkan
pada Persamaan (3.5) namun sebelumnya sudah dihitung nilai total dispersi dalam
sistem dengan menggunakan Persamaan (3.2).
tsist2 = ttx2 + trx2 + Dt2
tsist2 = (35) 2 ps + (35) 2 ps + (49.360)2 ps
tsist2 = 4886.40 ps

57 
 

Universitas Sumatera Utara

Maka diperoleh nilai Rise Time Budget yaitu :

tsist = ttx
tsist = √

trx

Dt

.

tsist = 69.90 ps
Dari hasil perhitungan ini maka diperoleh nilai batasan dispersi maksimum
jaringan transmisi yang digunakan pada link Pulo Brayan – Bandar Baru adalah
69.90 ps. Hasil ini masih memenuhi syarat ≤ 70 ps artinya adalah dispersi yang
ada pada sistem tersebut masih dalam batas normal yang berarti tidak menggangu
kinerja sistem.

4.4. Dispersion Power Penalty
Dispersi merupakan gejala pelebaran pulsa pada serat optik dan untuk
mengatasinya diperlukan dispersion power penalty. Hal tersebut dapat
mempengaruhi kualitas sinyal yang diterima oleh receiver dimana gelombang
mengalami pelebaran pulsa yang terlalu besar oleh karena itu perlukan dilakukan
penaikan daya input yang dibutuhkan receiver (dispersion power penalty) untuk
mengeliminasi degradasi pada BER (bit error rate).

4.4.1. Dispersion Power Penalty Link MDC - PUBA
Untuk mengetahui seberapa besar daya input yang dibutuhkan receiver
pada link MDC – PUBA maka perlu dilakukan perhitungan dispersion power
penalty (dB). Setelah diketahui besarnya dispersi yang terjadi maka dihitung nilai
pulse width () dengan menggunakan Persamaan (3.6).

58 
 

Universitas Sumatera Utara

 . D



0.1nm x 16.535 ps/km.nm
1.6535 ps/km
Dengan didapat nilai pulse width () sebesar 1.6535 ps/km maka dapat
dicari besarnya fiber bandwidth ( f ) dengan menggunakan Persamaan (3.7).
f =

f =

f =

ln
.
ln
/

.

.

.
.

f = 0.267 ps/km
Dengan didapat nilai fiber bandwidth sebesar 0.267 ps/km, maka dapat
dihitung fiber bandwidth-distance (FF) dengan menggunakan Persamaan (3.8).
FF =

FF =

.

,

/

FF = 0.05372 ps/km2
Length efficiency dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (3.9).
Bit rate merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya dispersion
power penalty, dimana dalam serat optik G.655 nilai bit rate adalah 10 Gbps.

59 
 

Universitas Sumatera Utara

Nilai koefisien c adalah 0.5 dan nilai fiber bandwidth-distance sebesar 0.05372
ps/km2. Maka diperoleh nilai length efficiency yaitu :

L =
L = . x

.

G

/

L = 0.5 x 2,885 x 10 -5
L = 1,443 x 10 -5
Dengan didapat nilai length efficiency sebesar 1,443 x 10

-5

maka dapat

dihitung nilai dispersion power penalty dengan Persamaan (3.10).
Pd = 10 log (1+L)
Pd = 10 log (1+1,443 x 10 -5)
Pd = 10 log (1,000014)
Pd= 6,266 x 10 -5 dB
Pada link MDC – PUBA jangkauan power penalty (Pd) pada =1550 nm
mengandung dispersion power penalty yakni 6,266 x 10

-5

dB, akan didapatkan

ketika keadaan Dt=8,2177 ps, D( )=16,535 ps/nm.km dan line rates 10 Gbps.

60 
 

Universitas Sumatera Utara

4.4.2. Dispersion Power Penalty Link PUBA - BDB
Untuk mengetahui seberapa besar daya input yang dibutuhkan receiver
pada link PUBA – BDB maka perlu dilakukan perhitungan dispersion power
penalty (dB). Setelah diketahui besarnya dispersi yang terjadi maka dihitung nilai
pulse width () dengan menggunakan Persamaan (3.6).
 . D



0.1nm x 8.158 ps/km.nm
0.8158 ps/km

Dengan didapat nilai pulse width () sebesar 0.8158 ps/km maka dapat
dicari besarnya fiber bandwidth ( f ) dengan menggunakan Persamaan (3.7).
f =
f =
f =

ln
.

ln
/

.

.
.

.

f = 0.541 ps/km
Dengan didapat nilai fiber bandwidth sebesar 0.541 ps/km, maka dapat
dihitung fiber bandwidth-distance (FF) dengan menggunakan Persamaan (3.8).
FF =
FF =

.

.

/

FF = 0.00894 ps/km2
Length efficiency dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (3.9).
Bit rate merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya dispersion
power penalty, dimana dalam serat optik G.655 nilai bit rate adalah 10 Gbps.

61 
 

Universitas Sumatera Utara

Nilai koefisien c adalah 0.5 dan nilai fiber bandwidth-distance sebesar 0.00894
ps/km2. Maka diperoleh nilai length efficiency yaitu :

L =
L = . x

.

G

/

L = 0.5 x 7.99 x 10 -7
L = 3,99 x 10 -7
Dengan didapat nilai length efficiency sebesar 3,99 x 10

-7

maka dapat

dihitung nilai dispersion power penalty dengan Persamaan (3.10).
Pd = 10 log (1+L)
Pd = 10 log (1+3,99 x 10 -7)
Pd = 10 log (1,0000004)
Pd= 1,735 x 10 -6 dB
Pada link PUBA – BDB jangkauan power penalty (Pd) pada =1550 nm
mengandung dispersion power penalty yakni 1,735 x 10

-6

dB, akan didapatkan

ketika keadaan Dt = 49,360 ps, D( ) = 8,158 ps/nm.km serta line rates 10 Gbps.
Secara keseluruhan penalty terbesar terjadi ketika jarak L = 4,94994 km dan
terendah yakni berjarak L = 60,50397 km. Meskipun demikian, kedua link ini
dengan

= 1550 nm masih memenuhi nilai standar dispersion power penalty

yaitu bahwa penalty maksimal berada dalam keadaan Pd < 2 dB [30].

62 
 

Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang dilakukan maka dapat di ambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Selisih nilai hasil pengukuran dan perhitungan dispersi kromatik untuk link
MDC – PUBA dan link PUBA – BDB dapat diabaikan karena sangat kecil
(hampir sama) dan nilai dispersi kromatik sangat dipengaruhi oleh besarnya
panjang gelombang.
2. Hasil perhitungan rise time budget dengan =1550 nm untuk link MDC –
PUBA yaitu 50,174 ps dan link PUBA – BDB yaitu 69,90 ps. Hasil dari kedua
link ini masih memenuhi syarat ≤ 70 ps artinya adalah dispersi yang ada pada
kedua sistem tersebut masih dalam batas normal yang berarti tidak menggangu
kinerja dari sistem.
3. Secara keseluruhan dispersion power penalty

terbesar terjadi pada jarak

4,94994 km dengan dispersi kromatik 16,535 ps/km.nm dan terendah yakni
berjarak 60,50397 km dengan dispersi kromatik 8,158 ps/km.nm. Jika nilai
dispersi besar maka dispersion power penalty yang dibutuhkan semakin besar.
Meskipun demikian pada kedua link ini dengan

= 1550 nm masih memenuhi

nilai standar dispersion power penalty yaitu Pd < 2 dB.

63 
 

Universitas Sumatera Utara

5.2. Saran
Untuk pengembangan selanjutkan diharapkan agar melakukan penelitian
dispersi dengan membeda-bedakan spesifikasi kabel yang digunakan dan
menganalisis pengaruh slope dan delay terhadap dispersi single mode.

64 
 

Universitas Sumatera Utara