T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengabaian Putusan MK Nomor 34PUUXI2013 dengan Keluarnya SEMA Nomor 7 Tahun 2014 T1 BAB II

BAB II EFEK KEBERLAKUAN PUTUSAN MK

  Dalam bab ini, penulis hendak mendiskusikan mengenai prinsip erga Omnes sebagai salah satu efek keberlakuan dari putusan MK. Ketika MK membacakan putusan, tidak hanya subjek berperkara saja yang terikat melainkan semua lembaga negara seperti badan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif harus tunduk pada isi putusan MK tersebut. Prinsip ini melindungi MK selaku lembaga negara yang berwenang menguji undang-undang untuk dapat menjalankan tugas dengan semestinya tanpa intervensi dari lembaga negara lainnya. Oleh karena itu, hubungan antar lembaga negara dan kekuasaan kehakiman menjadi faktor penting para hakim dalam mengeluarkan putusan yang akan menjadi perhatian utama penulis dalam bab ini.

  Untuk tujuan itu, maka sistematika pembahasan dalam bab ini disusun sebagai berikut. Pertama, mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Infra Sub-Judul A). Kedua, menguraikan implikasi dari prinsip erga omnes pada putusan Mahkamah Konstitusi (Infra Sub-Judul B). Ketiga, menguraikan hubungan Mahkamah Konstitusi dengan badan pemerintahan yang lain (Infra Sub-Judul C).

A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

  Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mendapatkan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk kekuasaan yudisial dalam kerangka sistem check Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mendapatkan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk kekuasaan yudisial dalam kerangka sistem check

1. Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Kekuasaan Kehakiman

  Kelahiran Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sejarah baru dalam ranah kekuasaan kehakiman di Indonesia. MK memiliki kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial control dalam rangka sistem check and balances diantara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan. Dasar hukum penbentukan MK terkandung dalam Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa : “kekuasaaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah agung dan badan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Kemudian diatur lebih lanjut pada peraturan peralihan dalam Pasal III yang berbunyi “mahkamah Konstitusi dibentuk selambat- lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Atas amanat pasal 24 ayat (2) tersebut, untuk mengatur segala tindakan Mahkamah Konstitusi, legislatif mengeluarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. MK terbentuk lewat perubahan ketiga UUD 1945 sebagai badan yudisial atau badan kehakiman. Artinya hal kekuasaan yang terkandung pada MK masuk dalam bab kekuasaan kehakiman.

  Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. 1 Dalam berjalannya suatu negara hukum, diperlukan adanya

  pemisahan kekuasaan pemerintahan. Pemisahan kekuasaan ini dibagi menjadi 3 kategori yang dikenal dengan konsep trias politica. Konsep trias politica adalah pemisahan kekuasaan kepada tiga lembaga berbeda, yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Yudisial. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Jhon Locke dan disempurnakan oleh Montesquieuse hingga sekarang lebih dikenal dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power). Pemerintah menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan pada cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial agar terwujudnya saling kontrol dan keseimbangan satu sama lain (check and balances), dimana organ-organ pemerintah tidak lagi terstruktur secara hierarki, tetapi terstruktur menurut fungsinya. Oleh karena itu, pada amandemen ketiga UUD 1945 pemerintah membentuk Mahkamah Konstitusi agar tercapainya cita-cita tersebut.

  MK dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 adalah tonggak konstitusional bagi kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi biasa disebut sebagai the guardian of the

  1 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

  constitution. 2 Itu menjadi salah satu bukti bahwa pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam struktur lembaga negara Indonesia terealisasi dengan baik.

  Fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah menjaga Konstitusi untuk menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum. Salah satu bentuk dari konstitusi untuk menegakan konstitusionalitas ialah dengan melakukan pengujian undang- undang dalam ketatanegaraan Indonesia. Agar MK dapat menjalankan fungsinya dengan baik, Menurut Jimly Asshidiqie, menyatakan :

  “Dalam konteks ketatanegaraan, MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah kehidupan masyarakat. MK bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi di hormati dan dilaksanakan oleh semua komponen Negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Di tengah kelemahan system konstitusi yang ada, MK berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup

  dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat”. 3 Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan fungsi menjamin

  agar tidak ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak- hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitutionalitasnya.

2. Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

  Wewenang yang dimiliki oleh badan pemerintahan atau lembaga negara dalam melakukan perbuatan, mengadakan pengaturan, atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara

  2 Rimdan,Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi,kencana, jakarta, 2012, Hal. 163

  3 Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi, sebagai institusi peradilan Konstitusi yang modern dan Terpercaya, Sekertariat Jenderal MKRI, 2004, hal.iv. dikutip dari Maruarar Siahaan,

  Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, penerbit Konstitusi Press, Jakarta, Cetakan Pertama, Juni 2005,hal.12.

  atribusi, delegasi maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD 1945) atau ketentuan hukum tata negara. Pada kewenangan delegasi harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Sedangkan mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang. Akan tetapi pejabat yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).

  Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi ataupun mandat, J.G. Brouwer dan A.E Schhilder, menyatakan:

  a. With attribution, power is granted to an administrative auyhority by an

  independent legislatif body. The power is initial (originair), which is to say that is not derived from a previously existing power. The legislatif body creates independent and previously nonexistent powers and assigns them to an authority;

  b. Delegation is the transfer of an acquired attribution of power from one

  administrative authority to another, so that the delegate (the body that has acquired the power) can exercise power in its own name;

  c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns

  power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name. 4

  J.G. Brouwer berpendapat pada atribusi, kewenangan diberikan kepada suatu organ pemerintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan

  4 J.G. Brouwer dan A.E Schhilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars AeguiLibri, Nijmegen, 1998, hlm.16-18 dikutip dari Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi

  dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.218.

  perluasan kewenangan dari sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ pemerintahan atau lembaga negara kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya. Pada mandat tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada orang lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. 5

  Kewenangan harus dilandasi oleh suatu konstitusi ataupun ketentuan hukum, sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian organ pemerintahan atau lembaga negara yang akan mengeluarkan keputusan dapat didukung oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa adanya suatu kewenangan, maka organ pemerintah tidak dapat mengeluarkan suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  MK diberi kewenangan dan juga kewajiban yang bersumber dari UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 7A, 7B dan 24C yang selanjutnya dijabarkan dengan UU MK. Kewenangan MK tersebut untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final , antara lain :

  a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

  b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

  c. memutus pembubaran partai politik; dan

  d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

  5 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Op.cit., hlm.217.

  Wewenang a dan b merupakan wewenang utama, sedangkan wewenang (c) dan (d) merupakan wewenang tambahan (accesoir). Adapun kewajiban yang harus dilaksanakan oleh MK yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden danatau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, danatau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.

  Secara filosofis ide dasar pembentukan MK adalah untuk menciptakan sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut asas pemisahan kekuasaan (separation of power) secara fungsional dan menerapkan prisip “check and balances” untuk menggantikan secara bertahap penggunaan prinsip pendistribusian kekuasaan (Distribution of Power) dan paham integralisme dari

  lembaga tinggi negara, dengan alasan sebagai berikut: 6

  a. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur dan berkeadilan;

  b. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945;

  c. Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam UUD 1945 (Pasal 24C) pengaturan tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara dan ketentuan lainnya diatur dalam undang-undang.

  Berdasarkan alasan-alasan diatas, MK mempunyai fungsi sebagai penjaga konstitusi agar dilaksanakan sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita

  6 Ibid., hlm.167-168.

  demokrasi. Keberadaan MK ini juga untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan dimasa lalu yang menimbulkan multitafsir terhadap konstitusi.

  Dalam kaitannya dengan wewenang MK tersebut penulis akan langsung menuju pembahasan terkait wewenang MK yang pertama, yaitu menguji undang- undang terhadap UUD NRI 1945. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut Undang-undang MK, maka jenis amar putusan MK terhadap permohonan

  pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 dapat berupa : 7

  a. jika undang-undang yang dimintakan uji adalah undang-undang setelah perubahan pertama UUD NRI 1945 dan tidak ada hak danatau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan, amar putusan MK adalah permohonan tidak dapat diterima. Jika MK menyatakan permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan diterima dan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal danatau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945.

  b. Dalam hal pembentukan undang-undang tidak memenuhi syarat ketentuan pembentukan undang-undang ataupun materi sebagian atau keseluruhan menurut UUD NRI 1945, maka amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Demikian pula sebaliknya, jika memenuhi syarat, amar putusan menyatakan menolak.

  c. Konsekuensi hukum terhadap putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal danatau bagian dari undang-

  7 Ibid., hlm.306.

  undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945, materi muatan ayat, pasal danatau bagian dari undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan wajib diumumkan dalam berita negara dalam jangka waktu tiga puluh hari kerja sejak putusan diucapkan serta disampaikan kepada DPR, DPRD, Presiden dan Mahkamah Agung. Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang

  yang diundangkan setelah perubahan UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 pertama kali diubah sejak bulan oktober 1999, sedangkan Mahkamah Konstitusi dapat melakukan pengujian konstitusional undang-undang setelah diundangkannya Undang-Undang MK. Ini berarti MK menetapkan asas retroaktif, karena dapat menguji undang-undang yang ada sebelum kewenangannya muncul. Tetapi hal ini dibatasi legislator dengan Pasal 50 Undang-Undang MK, yang menyatakan “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Tetapi dalam keberlakuannya, melalui putusan MK Nomor 004PUU-I2003, MK mengesampingkan Pasal 50 Undang-Undang MK tersebut. Dan melalui putusan Nomor 066PUU-II2004, Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 50 Undang-Undang MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau inkonstitusional.

  Dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, Mahkamah Konstitusi bertindak melakukan koreksi atas undang-undang yang melanggar atau bertentangan dengan HAM, baik yang dijamin secara eksplisit maupun yang unenumerated. Hal ini dilakukan dengan konsekuensi yuridis bahwa undang- undang secara keseluruhan atau secara parsial tidak lagi memiliki kekuatan Dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, Mahkamah Konstitusi bertindak melakukan koreksi atas undang-undang yang melanggar atau bertentangan dengan HAM, baik yang dijamin secara eksplisit maupun yang unenumerated. Hal ini dilakukan dengan konsekuensi yuridis bahwa undang- undang secara keseluruhan atau secara parsial tidak lagi memiliki kekuatan

  MK mempunyai fungsi sebagai penjaga konstitusi agar dilaksanakan sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan MK ini juga untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan dimasa lalu yang menimbulkan multitafsir terhadap konstitusi. Lebih lanjut, mengenai hukum acara MK yang diatur dalam Undang-Undang MK, MK diberi wewenang untuk melengkapi hukum acara sesuai dengan Pasal 86 dan Penjelasan Undang-Undang MK. Hukum acara harus dibuat berdasarkan ketentuan Undang-Undang MK untuk kelancaran pelaksanaan tugas Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pembahasan diatas, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 merupakan hal yang sesuai dengan konstitusi sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi dan untuk menjamin prinsip-prinsip negara hukum yang berbasis hak, pemisahan kekuasaan dan demokrasi. Sehingga menurut Lotulung dalam rangka constitutional review ini, hakim berhak melarang dan

  membatalkan tindakan pemerintah yang: 9

  a. Dilakukan secara sewenang-wenang (arbitrary), semau- maunya dan berganti-ganti (capricious), penyalahgunaan wewenang diskresioner (abuse of discretion) dan lain-lain tindakan yang tidak sesuai dengan hukum;

  8 Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi, PT.Alumni, Bandung, 2013 ,hlm.123.

  9 Paulus Efendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Penerbit Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm.79.

  b. Bertentangan dengan hak-hak konstitusional, bertentangan dengan wewenangkekuasaan, previlege atau imunitas;

  c. Melampaui batas wewenang yang telah ditetapkan dalam undang-undang atau tidak didasarkan pada suatu hak apapun;

  d. Dilakukan tanpa memperhatikan atau menuruti prosedur yang telah ditentukan oleh hukum; dan

  e. Tidak didukung oleh kebenaran di dalam fakta-fakta persoalan yang bersangkutan yang merupakan suatu “substansial

  evidence” dalam tindakan pemerintahan tersebut.

  Lebih lanjut, mengenai hukum acara Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Undang-Undang MK, Mahkamah konstitusi diberi wewenang untuk melengkapi hukum acara sesuai dengan Pasal 86 dan Penjelasan Undang-Undang MK. Hukum acara harus dibuat berdasarkan ketentuan Undang-Undang MK untuk kelancaran pelaksanaan tugas Mahkamah Konstitusi.

B. Implikasi Asas Erga Omnes Pada Putusan Mahkamah Konstitusi

  Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan tentang Asas Erga Omnes sebagai asas tentang kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi. Asas Erga Omnes menjadi tombak Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan prinsip Check and Balances pada tahap hubungan antar lembaga negara. Kekuatan mengikat putusan MK sejatinya tidak lepas hanya pada kedua belah pihak yang bersangkutan, melainkan semua badan pemerintahan, lembaga negara , dan semua orang harus tunduk pada Putusan MK. Oleh karena itu, putusan MK dapat dikatakan sebagai Undang-Undang bahkan Konstitusi.

  Sehubungan dengan deskripsi diatas, penulis akan menjabarkan dalam sistematika penulisan sebagai berikut. Pertama, hakikat asas erga omnes pada Sehubungan dengan deskripsi diatas, penulis akan menjabarkan dalam sistematika penulisan sebagai berikut. Pertama, hakikat asas erga omnes pada

  Putusan MK memiliki efek keberlakuan yang disebut Erga Omnes. 10 Secara harafiah, asas erga Omnes bermakna “terhadap untuk semua”, yang menjelaskan

  makna erga omnes dalam perspektif hukum internasional. Hal itu nampak dalam pendapat Christian J.Tams : “Translated literally, ‘erga omnes’ means ‘against all’, ‘between all’, or ‘as opposed to all’. An obligation of international law that has erga omnes effects thus applies between all, or to all, others – presumably all other members of the international community, or, as the Court put it, to the international

  community as a whole”,. 11 (diterjemahkan secara harfiah, 'erga omnes' berarti 'terhadap semua', 'antara semua', atau 'karena bertentangan dengan semua'.

  Kewajiban hukum internasional yang memiliki efek erga omnes sehingga berlaku antara semua, atau semua, orang lain - mungkin semua anggota lain dari komunitas internasional, atau Mahkamah meletakkannya untuk masyarakat internasional secara keseluruhan). Pengertian dari against all ialah bahwa suatu putusan berlaku untuk semua. Jika terkait dengan putusan MK implikasi dari against all ialah berlaku dan mengikat bagi semua orang, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara yaitu pemohon dan termohon, akan tetapi semua lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia tunduk pada putusan tersebut.

1. Hakikat asas Erga Omnes pada Putusan MK

  10 Maruaraar Siahaan,Op.Cit, hal.214 11 J.Tams Christian, Enforcing Obligations Erga Omnes In International Law, Cambridge Univercity

  Press, UK, 2005, hlm.101

  Asas-asas hukum ialah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas-asas itu dapat disebut juga pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum. Asas-asas itu merupakan titik tolak juga bagi pembentukan undang-undang dan interprestasi undang-undang tersebut. Menurut Bellefroid asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan

  yang lebih umum. 12

  Menurut Sudarsono yang dimaksud dengan asas yaitu :

  1. Hukum dasar

  2. Dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat).

  3. Dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi). 13 Bagi pembentukan hukum, asas-asas hukum memberikan landasan secara

  garis besar mengenai ketentuan-ketentuan yang perlu dituangkan di dalam aturan hukum. Di dalam penerapan hukum asas-asas hukum sangat membantu bagi digunakannya penafsiran dan penemuan hukum maupun analogi. Sedangkan bagi perkembangan ilmu hukum asas hukum mempunyai kegunaan karena di dalam asas-asas hukum dapat ditunjukkan berbagai aturan hukum yang pada tingkat yang lebih tinggi sebenarnya merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa asas hukum merupakan prinsip-prinsip dasar yang berisikan nilai-nilai yang menjadi acuan dalam berfikir tentang hukum. Asas hukum tersebut bersifat abstrak dan ketika asas hukum tersebut dikonkritkan dalam suatu putusan hakim maka akan terwujud suatu aturan yang harus ditaati oleh semua orang.

  12 Sudikno Mertokusumo, Penerbit hukum sebuah pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,2009,hal.5.

  13 Sudarsono, Kamus Hukum Edisi Baru, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan kelima, 2007,hal.37.

  Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengapa asas Erga Omnes sebagai dasar efek keberlakuan putusan MK. Menurut penulis hakikat asas Erga Omnes pada putusan MK ialah bagaimana semua orang dapat menerima bahwa mahkamah konstitusi merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Artinya, MK sebagai peradilan pada tingkat pertama dan terakhir menimbulkan konsekuensi bahwa tidak ada mekanisme hukum di peradilan lain yang dapat membanding atau mengoreksi putusan tersebut, oleh sebab itu bukan hanya para pihak saja yang terikat oleh putusan MK tersebut melainkan semua orang. Lebih daripada itu, Seandainya upaya hukum dibuka, sangat mungkin jadi Putusan MK akan dipersoalkan terus sehingga menimbulkan persoalan kepastian hukum. Padahal, MK mengadili persoalan-persoalan ketatanegaraan, yang membutuhkan kepastian hukum dan terikat dengan limitasi waktu terkait keberlangsungan agenda ketatanegaraan. Selain itu Putusan MK menyangkut terkait objeknya yang menyangkut kepentingan bersama dan semua orang, misalkan sebagai contoh terkait pengujian undang-undang (UU), dimana undang-undang sifatnya mengikat secara umum kepada semua warga negara, maka secara logika hukum apabila undang-undang tersebut dibatalkan dan dinyatakan tidak mengikat oleh MK, maka UU yang dibatalkan itupun tidak mengikat kepada seluruh warga negara dikarenakan sudah dibatalkan, inilah yang menjadi acuan penulis bahwa kewenangan atribusi yang diberikan langsung oleh konstitusi harus ditegakkan dan ini menjadi dasar mengapa efek keberlakuan pada putusan MK yaitu Erga Omnes.

  Suatu putusan merupakan hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses Suatu putusan merupakan hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses

  peradilan selalu dibedakan antara putusan hakim (vonis) dan penetapan hakim (beschikking). Putusan hakim (vonis) adalah perbuatan hakim sebagai penguasa atau pejabat negara yang dilakukan untuk memutuskan atau mengakhiri sengketa, sedangkan penetapan hakim (Beschikking) dibuat berkaitan dengan adanya suatu

  permohonan. 15 Putusan pengadilan merupakan sarana paling efektif untuk mengidentifikasi sistem hukum karena putusan pengadilan sendiri notebene

  merupakan hasil dari formulasi kaidah hukum. Dalam memutus kasus hakim harus memberikan argumentasi hukum yang menjustifikasi putusannya. Putusan pengadilan sebagai kaidah hukum bersifat konkret. Putusan pengadilan berfungsi untuk menegakkan kaidah-kaidah hukum abstrak ketika yang seharusnya sesuai dengan kaidah-kaidah tersebut tidak terjadi. Dalam pengertian demikian putusan pengadilan merupakan salah satu sumber hukum paling penting di dalam sistem

  hukum di samping peraturan perundang-undangan. 16

  Di negara kita, terdapat dua lembaga peradilan yang menduduki sebagai lembaga peradilan tinggi negara, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung membawahi beberapa lingkungan badan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, dan peradilan

  14 Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung PT. Alumni, 2004, h. 227-228.

  15 H.Iriyanto, Negara Hukum Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Penerbit PT.Alumni, Bandung, 2008, Hal.190.

  16 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT Alumni Bandung, Bandung,2009,hal.71-72.

  agama. Lembaga-lembaga peradilan tersebut memiliki perbedaan atas mengikatnya suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki lembaga peradilan dibawahnya karena putusan MK bersifat final.

  Pada bab ini penulis akan menjelaskan asas Erga Omnes dengan metode argumentum a contrario. Metode tersebut menjelaskan suatu konsep dengan cara melawankannya. Oleh sebab itu, penulis akan mencoba menjelaskan asas Erga Omnes melalui pengertian asas Interpartes. Dalam prakteknya sifat kekuatan mengikat pada suatu putusan terbagi menjadi dua, yaitu asas Inter Partes dan asas Erga Omnes. Menurut teori, asas Inter partes memiliki pengertian putusan pengadilan mengikat hanya kepada kedua belah pihak yang berperkara dan tidak mengikat kepada masyarakat luas salah satunya, di dalam hukum perdata. Pada pasal 10 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tugas dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang berperkara. Wewenang pengadilan menyelesaikan perkara diantara para pihak yang bersengketa disebut yurisdiksi contentiosa dan gugatannya berbentuk gugatan contentiosa contentious. Dengan gugatan contentiosa gugatannya mengandung di antara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan diminta untuk di selesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa atau perselisihan diantara para

  pihak (between contending parties). 17 Perkataan contentiosa atau contentious berasal dari bahasa latin. Salah satu arti perkataan itu, yang dekat kaitannya dengan

  penyelesaian sengketa perkara adalah penuh semangat bertanding atau berpolemik.

  17 Yahya harahap,Hukum Acara Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.46

  Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yurisdiksi contentiosa atau contentious jurisdiction, yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan (jurisdiction of court that is concerned with contested matters) antara pihak yang bersengketa

  (between contending parties). 18

  Gugatan contentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan perdata dalam praktik. Dalam perundang-undangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan perdata atau gugatan saja. Prof. Sudikno mertokusumo, mempergunakan istilah gugatan berupa tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang

  mengandung sengketa dengan pihak lain. 19 Menurut Subekti, mempergunakan sebutan gugatan yaitu yang dituangkan dalam surat gugatan, dengan demikian

  setiap perkara perdata diajukan ke PN dalam bentuk surat gugatan. Begitu juga halnya dalam praktik peradilan, selamanya dipergunakan istilah gugatan. Penyebutan ini dianggap langsung membedakannya dengan permohonan yang bersifat voluntair.

  Gugatan perdata dapat kita jumpai dalam putusan-putusan pengadilan perdata. Dalam amar putusan dimuat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu. Dalam diktum itu ditetapkan siapa yang berhak atau siapa yang benar atau pokok perselisihan. Sebagai contoh terdapat kasus harta waris berupa tanah, yang pada akhir kasusnya hakim memutuskan tidak sahnya akta hibah yang dimiliki tergugat dan menyatakan tidak mempunnyai kekuatan hukum

  18 Lihat Henry Campbell Black, black’s Law Dictionary, west Publishing, St Paul Minn, Fifth Edition,1978,hlm. 289, dikutip oleh Yahya harahap,ibid,hal.47

  19 Lihat Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI. Jehtian Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm.34, dikutip oleh Yahya Harahap, Ibid,hal. 47 19 Lihat Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI. Jehtian Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm.34, dikutip oleh Yahya Harahap, Ibid,hal. 47

  Bertitik tolak dari penjelasan diatas, yang dimaksud dengan gugatan perdata adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa di antara pihak yang berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada pengadilan dengan posisi para pihak :

  1. Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat,

  2. Sedangkan yang ditarik sebagi pihak lawan dalam pnyelesaian, disebut dan berkeduduukan sebagai tergugat. Oleh karena itu, ciri yang melekat pada gugatan perdata :

  1. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa.

  2. Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara dua pihak.

  3. Berarti gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai pengguat dan pihak yang lain berkedudukan sebagai tergugat. Dengan demikian, yang dapat ditarik oleh penulis atas penjelasan diatas

  bahwa asas Inter Partes terkandung pada gugatan perdata atau gugatan contentiosa. Pada saat putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), putusan tersebut hanya mengikat kepada kedua belah pihak yaitu penggugat dan tergugat, tidak berlaku untuk umum. Oleh karena demikian diharapkan para pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat menerima putusan sehingga orang yang “merasa” dan “dirasa” hak nya telah dilanggar oleh orang lain

  20 Putusan nomor 149pdt.G2015PN.Bdg 20 Putusan nomor 149pdt.G2015PN.Bdg

  memerintahkan pihak yang bersangkutan supaya mematuhinya dengan kesadaran sendiri, jika masih tidak dipatuhi, pengadilan dapat melaksanakan putusannya

  secara paksa, jika perlu dengan bantuan kepolisian. 22 Sebagai contoh setiap perbuatan yang merugikan orang lain menimbulkan hubungan hukum antara pihak

  yang berbuat dan pihak yang dirugikan (Pasal 1365 KUHPdt). Akibatnya, undang- undang mewajibkan pihak yang berbuat membayar ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.

  Jika dalam interpartes kekuatan mengikatnya hanya yang terdapat dalam putusan, makna asas erga omnes pada suatu putusan ialah bagaimana putusan tersebut tidak hanya mengikat kepada kedua belah pihak yang berperkara saja melainkan semua orang dan institusi-institusi badan pemerintahan juga tunduk pada putusan tersebut, maka Erga Omnes berlaku tidak hanya pihak dalam putusan. Kekuatan mengikat suatu Putusan MK memiliki efek keberlakuan yang disebut

  Erga Omnes. 23 Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan

  keyakinan hakim. 24 Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum

  tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. 25 Pengujian

  Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Menurut Sri Soemantri,

  21 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009,hal.147

  22 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2014,hal.22 23 Maruaraar Siahaan,Op.Cit, hal.214 24 Lihat pasal 45 UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 25 Ibid,pasal 47

  “putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir oleh lembaga apapun. Dalam bahasa Inggris, pengertian yuridis final dan mengikat itu selalu bersatu, yaitu final and binding. Dengan demikian, jika bersifat final harus

  diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum”. 26 Dalam

  pemberlakuan putusan MK isu tentang bersifat final harus dipahami bahwa hal itu mengikat secara yuridis konstitusi terhadap badan pemerintahan yang lain. Menurut Indrohartono, “kata final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan penetapan tertulis itu harus benar-benar sudah

  merupakan akibat hukum yang definitif”. 27 Oleh karena itu putusan MK memiliki

  efek keberlakuan yang akibat hukumnya mengikat ke semua orang.

  Sebagai peradilan tunggal yang tidak membawahi peradilan manapun atau berada di bawah peradilan manapun, maka Putusan MK langsung memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak tersedia ruang upaya hukum lain. Putusan final MK bukan hanya karena alasan MK merupakan satu-satunya lembaga atau institusi yang menjalankan kewenangannya, akan tetapi lebih dari itu, Putusan MK yang bersifat final tersebut dilekatkan pada hakikat kedudukan Konstitusi sebagai hukum tertinggi sehingga tidak ada hukum lain yang kedudukannya lebih tinggi darinya. Makna dari pernyataan tersebut, ketika suatu persoalan diperhadapkan kepada MK dan Konstitusi menjadi dasar pengujiannya, maka putusan terhadap persoalan tersebut mutlak bersifat final. Hal ini disebabkan, para pihak telah menempuh suatu upaya mencari keadilan dan jaminan terhadap hak-haknya dimana upaya tersebut

  26 Sri Soemantri, Catatan-C atatan Terhadap Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, disampaikan pada Seminar di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 11 Mei 2002, hlm.8.

  27 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hlm.116.

  ditautkan pada hukum yang memiliki derajat supremasi tertinggi sebagai dasar pengujiannya.

  Terhadap efek keberlakuan putusan MK yang dihadapi oleh para pihak dan semua orang melalui upaya berperkara pada MK diberikan oleh suatu hukum dengan derajat tertinggi. Konstitusi sebagai hukum dengan derajat tertinggi memberikan jaminan kepada para pihak terhadap hak-haknya melalui sarana berperkara di MK, yang mana pemberian jaminan tersebut diselenggarakan oleh MK dalam suatu proses peradilan melalui hakim-hakimnya yang melakukan interpretasi terhadap Konstitusi yang diakhiri oleh suatu putusan sebagai putusan akhir. Pada konteks inilah sesungguhnya proses peradilan yang diselenggarakan di MK merupakan proses peradilan terakhir sebab penyelenggaraan peradilan di MK menggunakan tolok ukur Konstitusi.

  Dalam pemahaman kekuatan mengikat putusan MK, sifat amar putusan tidak jauh beda oleh putusan pengadilan pada umumnya. Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa sifat dari amar putusan MK memiliki sifat Condemnatoir, Declaratior, dan Constitutief. 28 Satu putusan dikatakan condemnatoir kalau

  putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi. Putusan declaratoir adalah Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak. Dalam hal ini hakim menyatakan tuntutan atau permohonan tidak mempunyai dasar hukum berdasarkan fakta-fakta

  yang ada. 29 Putusan yang bersifat declaratoir dalam pengujian undang-undang oleh MK nampak jelas dalam amar putusannya. Putusan Constitutief adalah putusan

  28 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia edisi 2, Sinar Grafika,Jakarta,2012, hal.205.

  29 Ibid,hal.206.

  yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menciptakan keadaan hukum yang baru. Menyatakan suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945 adalah meniadakan keadaan hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan sendirinya, putusan itu menciptakan satu keadaan hukum yang baru.

  Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagai kebanyakan jenisnya terutama dalam pengujian undang-undang adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya, putusan mahkamah konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan suatu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator, yang disebut Hans Kelsen ialah melalui suatu pernyataan. Sifat declaratoir tidak membutuhkan suatu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan hakim

  Mahkamah Konstitusi. 30 Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 kekuatan, yaitu:

  1. Kekuatan Mengikat

  2. Kekuatan Pembuktian

  3. Kekuatan Eksekutorial Dalam hal kekuatan pembuktian suatu putusan Mahkamah Konstitusi, pada

  Ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa : “materi muatan ayat, pasal danatau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali.” Hal ini berarti putusan Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang yang pernah dimohonkan untuk diuji dapat digunakan sebagai bukti, karena sesuai dengan

  30 Ibid. hal.212 30 Ibid. hal.212

  putusan Mahkamah Konstitusi dianggap telah terwujud dalam bentuk pengumuman yang termuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak

  putusan itu diucapkan dalm sidang pleno terbuka untuk umum. 32 Tidak dibutuhkan adanya aparat khusus yang melaksanakan (mengeksekusi) putusan, karena sifat

  putusannya adalah Declaratoir. 33

  Sebagai penunjang argumen penulis diatas, Asas erga Omnes tidak hanya terdapat pada putusan MK, asas ini juga terkandung dalam putusan PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara). Asas ini mengandung makna bahwa putusan PTUN mengikat pihak-pihak diluar pihak yang bersengketa. Ridwan mengatakan, “hal ini karena putusan hakim PTUN itu berada dalam lingkup hukum publik atau bersifat mengikat umum dan mengikat terhadap sengketa yang mengandung persamaan,

  yang mungkin timbul di masa yang akan datang”. 34 Sebagai akibat dari diikutinya asas Erga Omnes pada putusan hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

  adalah :

  1. Tidak perlu adanya dictum putusan hakim yang menyatakan “agar pihak-pihak tertentu, baik yang diikutsertakan pada salah satu pihak maupun yang tidak menaati putusan pengadilan yang bersangkutan”.

  31 H.Iriyanto, Op.Cit. hlm.198. 32 Lihat Pasal 57 ayat 3 UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 33 Maruarar Siahaan,Op.Cit. Hlm.212. 34 Ridwan, Tiga Dimensi Hukum administrasi dan Peradilan Administrasi, FH UII Press,

  Yogyakarta,2009,hlm.159

  2. Intervensi tidak mutlak terjadi (adanya) karena putusan hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang in kracht Van gewijsde berlaku bagi semua orang.

  Dengan demikian semua orang danatau badan hukum, baik badan hukum perdata maupun badan hukum publik harus menaati atau melaksanakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. 35

  Disimpulkan secara sederhana bahwa kekuatan mengikat suatu putusan badan peradilan memiliki dua makna yaitu asas Inter partes dan Erga Omnes. Asas Inter partes diadopsi oleh putusan badan peradilan perdata yang memiliki dan mengikat dua belah pihak yaitu tergugat dan penggugat. Sejatinya asas Erga Omnes juga mengadopsi nilai dari asas Inter Partes yang putusannya mengikat kedua belah pihak, akan tetapi efek keberlakuannya lebih luas yaitu Erga Omnes, mengikat tidak hanya kepada kedua belah pihak, melainkan ke semua orang dan badan-badan pemerintahan juga terikat pada putusan MK tersebut.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Sebagai “Undang-Undang”

  Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan kualifikasi putusan Mahkamah Konstitusi sebagai “undang-undang”. Sesuai kewenangan atribusi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, mahkamah konstitusi dalam prakteknya melaksanakan salah satu kewenangannya yaitu menguji undang-undang dibawah undang-undang dasar. Secara formal, putusan MK tetap sebagai putusan dari kekuasaan yudisial. Lebih konkritnya adalah hukum dari sebuah putusan pengadilan (case law). Akan tetapi, dalam menguji konstitusionalitas undang-

  35 R.Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara edisi ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,hal 201.

  undang mahkamah konstitusi sebagai badan yudisial berpartisipasi dalam proses legislatif. Dalam pembentukan undang-undang, legislatif membuat peraturan melalui Proses pembentukan UU yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu, proses pembentukan UU juga diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 122011, materi muatan yang harus diatur melalui undang-undang adalah:

  a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar

  Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

  c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

  d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; danatau

  e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, proses pembuatan undang-undang diatur dalam Pasal 16 s.d. Pasal 23, Pasal 43 s.d. Pasal 51, dan Pasal 65 s.d. Pasal 74. Secara garis besar isi daripada pasal-pasal tersebut adalah pembuatan RUU (rancangan undang-undang) oleh DPR, penyusunan prolegnas. Setelah melewati pembahasan dan penyampaian pendapat, sampailah kepada pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dan berakhir pada tahap pengesahan RUU untuk menjadi undang-undang.

  Pemberlakuan Undang-Undang tidak sedikit menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Warga negara yang merasa haknya dirampas atas permberlakuan aturan tersebut dapat mengajukan judicial review. Oleh karena itu,

  Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD 1945. Menurut penulis pada perkembangannya putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai putusan badan yudisial akan tetapi masuk ke dalam proses legislasi. Produk hukum yang telah dikeluarkan oleh badan legislatif di uji kembali konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat semua orang. Oleh karena itu penulis akan jelaskan secara signifikan dengan menggunakan teori dan pendapat dari beberapa para ahli hukum bahwa pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dilaksanakan oleh mahkamah konstitusi termasuk dalam proses legislatif.

  Secara umum model pengujian konstitusionalitas undang-undang ada dua yaitu oleh badan yudisial (judicial review) dan oleh badan non-yudisial (non- judicial review). 36 Pengujian oleh badan yudisial menjadi yang paling lazim dan

  popular di negara-negara dunia saat ini untuk menguji undang-undang. Secara kelembagaan ada dua jenis pendekatan dalam pelaksanaan sistem pengujian oleh badan yudisial terhadap konstitusionalitas undang-undang, yaitu pengujian

  sentralistik dan pengujian yang desentralistik. 37 Sistem pengujian sentralistik mengandung pengertian membentuk suatu badan yudisial tersendiri atau khusus

  dalam rangka pengujian kosntitusionalitas undang-undang (misalnya lembaga the Federal Constitutional Court di Jerman serta MKRI di Indonesia). MKRI dan negara-negara lain yang melaksanakan pengujian yudisial secara sentralitik menggunakan konsep American-style Judicial Review dan Kelsen’s Court.

  36 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,Konstitusi Press, Jakarta,2006

  37 Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi,Op.Cit.hal.56

  Perbedaan antara pengujian yudisial desentralistik model Amerika Serikat dan pengujian yudisial yang sentralistik mengandung beberapa rasio. Pada negara yang tidak menganut asas stare decisis (preseden), model pengujian yang desentralistik kurang berdampak secara ketatanegaraan karena putusannya tidak dapat berlaku secara Erga Omnes, tetapi kebalikannya yaitu Inter partes. Untuk menjawab masalah ini, negara yang tidak menganut asas stare decisis lebih memilih model pengujian yudisial sentralistik. Tidak berlakunya asas Stare decisis akan menimbulkan masalah predictability dan uniformity. 38

  Seperti diakui oleh Kelsen sendiri, dalam porsi kewenangan yang demikian, hakim menjalankan fungsi politik melakukan Rule-making. Sehingga fungsi ini seyogyianya tidak dijanlankan oleh badan yudisial biasa, tetapi oleh hakim dan peradilan khusus. Hal ini kemudian melahirkan gagasan tentang pembentukan mahkamah kosntitusi yang berbeda dengan peradilan biasa. Karena pencetusnya Kelsen maka peradilan konstitusional tersebut lebih dikenal dengan istilah Kelsen Court. Mahkamah konstitusi berbeda dengan peradilan biasa karena mahkamah konstitusi adalah negative legislator. Fungsi negatif legislator hanya sebatas

  membatalkan legislasi yang bertentangan dengan undang-undang dasar. 39

  Lebih lanjut Hans Kelsen menegaskan, lembaga peradilan berwenang membatalkan suatu undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara hukum. 40 Ditambahkan Hans Kelsen sebagai berikut:

  38 Ibid., hlm. 58 39 Ibid, Hlm. 60 40 Hans Kelsen,1973, General Theory of Law and State, Russel Russel, New York, hal. 268.

  Dikutip oleh Saldi isra,Pergeseran Fungsi Legislasi, PT Raja Grasindo Persada, Jakarta, 2010 , hlm.295

  The power to examine the laws as to their constitutionality and to invalidate unconstitutional laws may be conferred, as a more or less exclusive function, on a special constitutional court... The possibility of a law issued by legislative organ being annulled by another organ constitutes a remarkable restriction of the former’s power. Such a possibility means that there is, besides the positive, a negative legislator. An organ which may be composed according to a totally

  different principle from that of the parliament elected by the people. 41

  Gagasan itulah yang kemudian meletakkan keniscayaan akan adanya kekuasaan khusus untuk mengontrol hasil legislasi yang dikeluarkan lembaga legislatif. Kemudian, gagasan ini dibaca oleh Bojan Bugaric sebagai upaya Hans Kelsen untuk memunculkan legislatif positif (positive legislature) yang diperankan oleh parlemen, sedangkan model legislatif negatif (negative legislature) diperankan

  oleh Mahkamah Konstitusi. 42 Dengan model ini berarti Mahkamah Konstitusi menjadi bagian yang dapat mempengaruhi proses legislasi di lembaga legislatif.

  Terkait dengan hal itu, Anna Rotman meneguhkan pandangan Hans Kelsen karena its decisions had the power “to make a statute disappear from the legal

  order”. 43 Masih tetap merujuk pendapat Hans Kelsen, H.M. Laica Marzuki menegaskan, tatkala constitutional court adalah negative legislator, maka parlemen

  yang memproduk undang-undang dinamakan positive legislator. Dalam pengertian

  41 Ibid., Hlm.268-269

  42 Bojan Bugaric, 2001, Courts as Policy-Makers: Lessons from Transition, dalam 42nd Harvard International Law Journals, 256., Ibid., Hlm.295

  43 Anna Rotman, 2004, Benin’s Constitutional Court : An Institutional Model for Guaranteeing Human Rights, dalam Harvard Human Rights Journals, Volume 17, Spring 2004, halaman 286. Lihat

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Berburu dengan anjing terlatih_1

0 46 1

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN DENGAN KORBAN ANAK (Putusan Nomor 24/Pid.Sus/A/2012/PN.Pso)

7 78 16

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5