Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minimum, Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009 – 2013

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Penelitian Terdahulu
Okta Ryan Pranata Yudha (2013), dalam skripsi Pengaruh Pertumbuhan

Ekonomi, Upah Minimum, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Inflasi Terhadap
Kemiskinan di Indonesia Tahun 2009-2011. Variabel yang digunakan adalah
pertumbuhan ekonomi, upah minimum, tingkat pengangguran, inflasi dan tingkat
kemiskinan. Tulisan ini menjadi acuan tesis ini karena penulis meneliti tentang
kemiskinan dengan variabel dependent yang sama dengan skripsi tersebut. Skripsi
Okta Ryan Pranata Yuhda meneliti seluruh provinsi di Indonesia sedangkan tesis ini
cakupan wilayah penelitiannya hanya di seluruh Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera
Utara.
Tri Wahyu Rejekiningsih (2011), dalam jurnal Identifikasi Faktor Penyebab
Kemiskinan di Kota Semarang dari Dimensi Kultural. Dalam penelitian ini mencoba
menjelaskan hubungan antara orientasi nilai-nilai budaya dan sikap mental penduduk
miskin terhadap lima masalah dasar manusia yaitu hakekat hidup, hakekat waktu,
hakekat karya, hakekat hubungan dengan alam, dan hakekat hubungan dengan

sesama. Kelima masalah mendasar tersebut diduga merupakan salah satu faktor
penyebab kemiskinan. Kesimpulan dari jurnal tersebut adalah ciri-ciri warga miskin
di Kota Semarang antara lain, kepala rumah tangga sebagian besar berpendidikan
rendah (tamat SD) dan mempunyai pekerjaan sebagai buruh, serta mempunyai
tanggungan 3 jiwa. Terjadi ketidakmerataan dalam distribusi bantuan kepada warga
22

miskin. Jurnal tersebut menjadi salah satu bahan untuk mengetahui faktor-faktor
penyebab kemiskinan di suatu wilayah dan membandingkannya dengan wilayah yang
diteliti oleh tulisan ini.
Chairul Nizar, Abubakar Hamzah, Sofyan Syahnur (2013), dalam jurnal
Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi serta
Hubungannya

terhadap

Tingkat

Kemiskinan


di

Indonesia.

Penelitian

ini

menggunakan data sekunder berupa data time series, 1980-2010. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa pengaruh pertumbuhan ekonomi (PDB) terhadap tingkat
kemiskinan secara langsung sangat kecil namun hubungannya negatif dan signifikan.
Investasi pemerintah dan tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Perbedaan dengan tulisan ini adalah hasil dari penelitian
berbeda, di penelitian ini pengangguran terbuka dan upah minimum tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan. Keunggulan tulisan ini secara
keseluruhan adalah penelitian tentang kondisi perekonomian di Sumatera Utara pada
tahun 2009-2013. Penelitian kemiskinan ini yang berkaitan dengan variablel
pertumbuhan ekonomi, upah minimum dan pengangguran.
Persamaan dengan penelitian sebelumnya adalah meneliti variabel yang sama
yaitu variabel kemiskinan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah hasil

dari penelitian berbeda. Keunggulan tulisan ini secara keseluruhan adalah penelitian
tentang kondisi perekonomian Sumatera Utara pada tahun 2009-2013 penelitian
kemiskinan yang berkaitan dengan variabel pertumbuhan ekonomi, upah minimum
dan pengangguran.Variabel dependent yaitu kemiskinan, sedangkan variabel
independent yaitu pertumbuhan ekonomi, upah minimum, dan pengangguran. 3
23

variabel independent ini sangat berpengaruh penting pada tingkat kemiskinan di
Indonesia khususnya di Provinsi Sumatera Utara, dilihat dari tabel dan gambar upah
minimum rata-rata kabupaten/ kota tiap tahun meningkat, pertumbuhan ekonomi tiap
tahun tahun terbilang stabil, tingkat pengangguran tiap tahun menurun. Faktor inilah
yang menarik penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang kemiskinan di Provinsi
Sumatera Utara tahun 2009-2013.

2.2

Pertumbuhan Ekonomi
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang

apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa

sebelumnya (Kuncoro, 2003). Sedangkan menurut Schumpeter, faktor utama yang
menyebabkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi, dan pelakunya adalah
inovator atau wiraswasta (entrepreneur). Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya
bisa diterapkan dengan adanya inovasi oleh para entrepreneur.
Menurut Boediono, pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per
kapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan
output per kapita dimana ada dua sisi yang perlu diperhatikan, yaitu sisi output
totalnya (GDP) dan sisi jumlah penduduknya.
Menurut pandangan teori Neo-Klasik yang dikembangkan oleh Abramovits dan
Solow, pertumbuhan ekonomi tergantung kepada perkembangan faktor-faktor
produksi yang dinyatakan dalam persamaan :
∆Y = f (∆K, ∆L, ∆T)

24

Dimana :
∆Y adalah tingkat pertumbuhan ekonomi
∆K adalah tingkat pertumbuhan modal
∆L adalah tingkat pertumbuhan penduduk
∆T adalah tingkat perkembangan teknologi

Analisis Solow menyimpulkan bahwa faktor terpenting yang mewujudkan
pertumbuhan ekonomi bukanlah pertambahan modal dan pertambahan tenaga kerja.
Faktor yang paling penting adalah perkembangan teknologi dan pertambahan
kemahiran dan kepakaran tenaga kerja.
Sejalan dengan teori pertumbuhan neoklasik, Todaro (2003) mengemukakan tiga
faktor utama pertumbuhan ekonomi yaitu :
1.

Akumulasi modal termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah (lahan),
peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human resources). Akumulasi modal
akan terjadi jika ada sebagian dari pendapatan sekarang ditabung yang kemudian
diinvestasikan kembali dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa
mendatang. Investasi juga harus disertai dengan investasi infrastruktur, yakni
berupa jalan, listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, fasilitas komunikasi, demi
menunjang aktivitas ekonomi produktif. Investasi dalam pembinaan sumber daya
manusia bermuara pada peningkatan kualitas modal manusia, yang pada akhirnya
dapat berdampak positif terhadap angka produksi.

2.


Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan hal-hal
yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angka kerja (labor force) secara
tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang
25

pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja semakin
produktif tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan
potensi pasar domestiknya.
3.

Kemajuan Teknologi. Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi cara-cara
baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan
tradisional. Ada 3 klasifikasi kemajuan teknologi, yakni :
a. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output yang
dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi input yang
sama.
b. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labor saving) atau
hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output yang lebih tinggi bisa
dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau input modal yang sama
c. Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal, terjadi jika penggunaan

teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan barang modal yang
ada secara lebih produktif.
Case dan Fair (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan terjadi bila :

1.

Masyarakat bisa mendapatkan lebih banyak sumber daya, atau

2.

Masyarakat menemukan cara menggunakan sumber dara yang tersedia secara
efisien.
Faktor-faktor dasar yang membatasi pertumbuhan ekonomi Negara berkembang

mencakup pembentukan modal yang tidak memadai, kekurangan sumber daya
manusia dan kemampuan kewiraswastaan, kekurangan modal tetap (overhead) sosial
dan kendala-kendala yang dipaksakan oleh ketergantungan pada negara-negara maju.
26

Sukirno (2010) menyimpulkan bahwa hambatan-hambatan Negara berkembang

dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi antara lain :
1.

Kegiatan sektor pertanian masih tetap tradisional dan produktivitasnya sangat
rendah;

2.

Kebanyakan Negara menghadapi masalah kekurangan dana modal dan barang
modal (peralatan produksi) yang modern;

3.

Tenaga terampil, terdidik dan keahlian keusahawanan penawarannya masih jauh
dibawah jumlah yang diperlukan;

4.

Perkembangan penduduk yang sangat pesat;


5.

Berbagai masalah institusi, sosial, kebudayaan dan politik yang sering dihadapi.

2.3

Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara
Menurut Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sumatera Utara Triwulan II 2014,

perekonomian Provinsi Sumatera Utara mengalami perlambatan. Perlambatan
ekonomi disebabkan adanya perlambatan pada konsumsi dan ekspor pada sisi
permintaan dan perlambatan pertumbuhan pada sektor sekunder dan tersier pada sisi
penawaran. Hasil Kajian Ekonomi Regional Sumatera Utara menganalisa
perlambatan pertumbuhan ekonomi dengan memaparkan perkembangan pada
beberapa sektor dan dirangkum pada Tabel 2.1 yang memperlihatkan pergerakan dari
tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 triwulan kedua.

27

Tabel 2.1 Indikator Ekonomi Terpilih Sumatera Utara

Pertumbuhan Ekonomi

2011

2012

PDRB (%, yoy)
6.6
6.2
Sisi Permintaan
Konsumsi
6.5
5.9
Konsumsi Rumah Tangga
6.6
6.0
Konsumsi Pemerintah
5.8
5.2
PMTB

7.8
7.5
Ekspor
15.0
3.8
Impor
16.7
4.9
Sisi Produksi
Pertanian
4.8
4.7
Pertambangan dan Penggalian
6.7
2.0
Industri Pengolahan
2.1
3.6
Listrik, Gas dan Air Bersih
8.2
3.4
Bangunan
8.5
6.8
Perdagangan, Hotel dan Restoran
8.1
7.2
Angkutan dan Komunikasi
10.0
8.3
Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan
13.6
11.2
Jasa-jas
8.3
7.5
Inflasi IHK (%, yoy)
3.7
3.9
Sumber : diolah dari Data BPS Provinsi Sumatera Utara

2013

2014
I

II

6.0

5.6

5.5

7.0
6.9
4.3
7.5
4.9
7.5

6.6
6.2
4.4
3.9
5.8
4.8

6.5
6.9
3.7
4.4
3.9
3.8

4.0
5.5
4.1
4.1
7.0
7.8
7.6

2.9
3.5
5.8
4.4
6.2
5.7
5.5

3.4
4.7
5.4
6.8
4.9
7.2
4.0

8.3
7.1
10.2

10.5
7.5
7.7

5.9
8.3
6.2

Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara pada 2 (dua) triwulan 2014 melambat jika
dibandingkan pada 2 (dua) tahun terakhir. Perlambatan pertumbuhan ekonomi
diperkirakan berasal dari perlambatan konsumsi, khususnya konsumsi rumah tangga.
Harga komoditas internasional yang masih rendah terutama pada komoditas utama
Sumatera Utara yaitu karet dan CPO juga diperkirakan menahan konsumsi swasta.
Menurunnya konsumsi swasta sebagai dampak dari menurunnya pendapatan
masyarakat karena masih terbatasnya pemulihan harga komoditas internasional.

28

Meningkatnya aktivitas perdagangan dan mulai meningkatnya pertumbuhan sub
sektor hotel dan restaurant mendorong optimisme sektor Perdagangan, Hotel dan
Restaurant. Sektor PHR ini akan menahan perlambatan pertumbuhan karena
berkembang positif dari tiga tahun belakangan.

2.4

Pengangguran
Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam

angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya
(Sukirno, 2010). Faktor-faktor yang menimbulkan pengangguran adalah :
1.

Menganggur karena ingin mencari kerja lain yang lebih baik.

2.

Pengusaha menggunakan peralatan produksi modern yang mengurangi
penggunaan tenaga kerja.

3.

Ketidaksesuaian di antara keterampilan pekerja yang sebenarnya dengan
keterampilan yang diperlukan di industri-industri.
Sukirno (2010) menggolongkan pengangguran berdasarkan (i) sumber/ penyebab

yang mewujudkan pengangguran dan (ii) ciri pengangguran yang wujud. Jenis
pengangguran berdasarkan penyebabnya yaitu :
1.

Pengangguran normal atau friksional
Penganggur yang tidak bekerja bukan karena tidak mendapat pekerjaan tetapi
sedang mencari kerja lain yang lebih baik.

2.

Pengangguran siklikal
Pengangguran terjadi akibat perusahaan-perusahaan yang mengurangi pekerja
atau menutup perusahaannya.
29

3.

Pengangguran struktural
Pengangguran struktural terjadi karena industri dan perusahan yang mengalami
kemunduran yang disebabkan oleh faktor wujudnya barang baru yang lebih baik,
kemajuan teknologi yang mengurangi permintaah terhadap barang yang
diproduksi, biaya penyeluaran yang tinggi dan tidak mampu bersaing.
Kemerosotan tersebut menyebabkan kegiatan produksi menurun dan sebagian
pekerja terpaksa diberhentikan dan menjadi penganggur.

4.

Pengangguran teknologi
Pengangguran yang terjadi akibat penggantian tenaga manusia oleh mesin-mesin
dan bahan kimia.
Jenis pengangguran berdasarkan cirinya yaitu :

1.

Pengangguran terbuka
Pengangguran yang tercipta akibat lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari
pertambahan tenaga kerja. Pengangguran terbuka secara nyata dan sepenuh
waktu.

2.

Pengangguran tersembunyi
Pengangguran tersembunyi terjadi /di sektor pertanian atau jasa. Kegiatan
ekonomi yang mempekerjakan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak dari yang
sebenarnya diperlukan, tenaga kerja yang digunakan merupakan pengangguran
tersembunyi.

30

3.

Pengangguran bermusim
Terjadi di sektor pertanian dan perikanan, misalnya petani yang tidak
mengerjakan sawahnya pada musim kemarau atau nelayan yang tidal melakukan
pekerjaannya pada musim hujan.

4.

Setengah menganggur
Pekerja yang bekerja dibawah jam kerja normal, misalnya hanya bekerja satu
hingga dua hari seminggu atau satu hingga 4 jam sehari.
Dumiary (1997) menyatakan bahwa pengangguran adalah orang yang tidak

mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan (masih atau sedang)
mencari pekerjaan. Masalah yang dihadapi adalah masalah setengah menganggur atau
pengangguran tidak kentara.
a. Setengah Menganggur
Keadaan setengah menganggur (underemployment) terletak antara full
employment dan sama sekali menganggur. Pengertian yang digunakan ILO,
Underemployment yaitu perbedaan antara jumlah pekerjaan yang betul
dikerjakan seseorang dalam pekerjaannya dengan jumlah pekerjaan yang
secara normal mampu dan ingin dikerjakannya.
-

Setengah menganggur yang kentara adalah jika seseorang bekerja tidak
tetap (part time) di luar keinginannya sendiri, atau bekerja dalam waktu
yang lebih pendek dari biasanya.

-

Setengah menganggur yang tidak kentara adalah jika seseorang bekerja
secara penuh (full time) tetapi pekerjaannya itu dianggap tidak mencukupi

31

karena pendapatannya terlalu rendah atau pekerjaan tersebut tidak
memungkinkan ia untuk mengembangkan seluruh keahliannya
b. Pengangguran Tidak Kentara
Pengangguran tidak kentara (disguised unemployment), dalam angkatan kerja
mereka dimasukkan dalam kegiatan bekerja, tetapi sebetulnya mereka
menganggur jika dilihat dari segi produktivitasnya. Jadi disini mereka
sebenarnya tidak mempunyai produktivitas dalam pekerjaannya. Misalnya
mereka terdiri dari 4 orang yang bersama-sama bekerja dalam jenis
pekerjaaan yang sesungguhnya dapat dikerjakan oleh 3 orang sehingga 1
orang merupakan ‘disguised unemployment’.
c. Penganguran Friksional
Pengangguran friksional yaitu pengangguran yang terjadi akibat pindahnya
seseorang dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan akibatnya harus
mempunyai waktu tenggang dan berstatus sebagai penganggur sebelum
mendapatkan pekerjaan yang lain tersebut.
Menurut Elfindri dan Nasri (2004), pemicu pengangguran di Indonesia mengikuti
trend globalisasi, kuatnya magnetic Negara Cina dalam menawarkan investasi dari
Indonesia, munculnya pemicu sebagai akibat dari kejadian terorisme, lambannya
masa pulih resesi tahun 1997, salah alokasi dalam anggaran pemerintah, ekonomi
biaya yang tinggi dan stagnannya konsumsi masyarakat.
Case dan Fair (2004) berpendapat bahwa tingkat pengangguran (persentase
angkatan

kerja

yang

menganggur)

merupakan

indikator

kunci

kesehatan

perekonomian karena pengangguran berhubungan erat dengan keluaran agregat
32

perekonomian. Adanya pengangguran tampaknya mengimplikasi bahwa pasar tenaga
agregat tidak berada dalam keseimbangan, bahwa ada sesuatu yang menghalangi
jumlah yang ditawarkan dan jumlah yang diminta menjadi sama.
Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa pengangguran merupakan masalah
besar perekonomian makro dengan mengemukakan beberapa alasan keberadaannya,
salah satunya adalah alasan upah. Tingkat pengangguran yang diukur bias kelihatan
tinggi walaupun pasar tenaga kerja berfungsi dengan baik. Hal tersebut disebabkan
oleh adanya orang yang berkeinginan untuk bekerja dengan upah lebih tinggi
dibanding dengan upah riil.
Tabel 2.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009-2013
No.
Tahun
Pebruari
Agustus
2009
1
6.32
8.45
2010
2
6.4
7.43
2011
3
6.41
6.37
2012
4
6.55
6.2
2013
5
6.45
6.53
Sumber : diolah dari Data BPS Provinsi Sumatera Utara

2.5

Upah
Dalam teori ekonomi pengertian upah adalah sebagai pembayaran ke atas jasa-

jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha.
Sukirno (2011) membedakan upah menjadi 2 (dua) pengertian yaitu upah uang dan
upah riil. Upah uang adalah jumlah uang yang diterima pekerja dari para pengusaha
sebagai pembayaran ke atas tenaga mental atau fisik para pekerja yang digunakan
dalam proses produksi sedangkan upah riil adalah tingkat upah pekerja yang diukur

33

dari suatu kemampuan upah tersebut membeli barang-barang dan jasa-jasa yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan para pekerja.
Menghitung upah riil disuatu Negara bergantung pada indeks harga yaitu
gambaran tentang tingkat rata-rata dari perubahan harga-harga dari waktu ke waktu.
Salah satu dari indeks harga adalah indeks harga barang konsumen yang akan
digunakan untuk menaksir upah riil para pekerja dari tahun ke tahun. Tentu saja upah
riil yang diberikan oleh perusahaan bergantung pada produktivitas tenaga kerja
tersebut.
Sukirno (2011) menjelaskan beberapa faktor-faktor penting yang menjadi sumber
dari perbedaan upah adalah :
1. Perbedaan corak permintaan dan penawaran dalam berbagai jenis pekerjaan.
Jika dalam suatu pekerjaan terdapat penawaran tenaga kerja yang cukup besar
tetapi tidak banyak permintaan, upah cenderung rendah. Sebaliknya jika terdapat
penawaran tenaga kerja yang terbatas tetapi permintaannya sangat besar, upah
cenderung tinggi.
2. Perbedaan dalam jenis-jenis pekerjaan.
Kegiatan ekonomi meliputi berbagai jenis pekerjaan mulai dari pekerjaan yang
ringan dan sangat mudah dikerjakan hingga pekerjaan yang menuntut pikiran dan
tenaga yang lebih besar. Ada pekerjaan yang harus dilakukan dengan
mengeluarkan fisik yang besar, ada pula pekerjaan yang harus dilakukan dalam
lingkungan yang kurang menyenangkan.

34

3. Perbedaan kemampuan, keahlian dan pendidikan.
Kemajuan perekonomian membuat kegiatan-kegiatan ekonomi yang memerlukan
tenaga kerja terdidik. Semakin rumit pekerjaan yang diperlukan, makin lama
pendidikan dari tenaga ahli yang diperlukan. Upah yang diperoleh oleh tenaga
terdidik lebih tinggi daripada para pekerja yang lebih rendah pendidikannya.
Tenaga kerja yang lebih tinggi pendidikannya memperoleh pendapatan yang lebih
tinggi karena pendidikannya mempertinggi kemampuan kerja menaikkan
produktivitas.
4. Terdapatnya pertimbangan bukan keuangan dalam memilih pekerjaan.
Faktor bukan keuangan misalnya ada tidaknya perumahan yang tersedia, jauh
dekatnya kepada rumah pekerja, apakah ada di kota besar atau daerah terpencil
atau pekerjaannya terpisah dari keluarga atau tidak. Faktor-faktor bukan keuangan
diatas mempunyai peranan cukup penting dalam memilih pekerjaan. Seseorang
dapat menerima upah yang lebih rendah dari upah yang ditawarkan jika terdapat
faktor pertimbangan bukan keuangan yang sesuai dengan keinginannya.
5. Ketidaksempurnaan dalam mobilitas tenaga kerja.
Jika dalam pasar tenaga kerja terjadi perbedaan upah, maka tenaga kerja akan
mengalir ke pasar tenaga kerja yang upahnya lebih tinggi. Upah dari suatu
pekerjaan di berbagai wilayah tidak selalu sama yang disebabkan oleh
ketidaksempurnaan dalam mobilitas tenaga kerja.
Upah pada dasarnya merupakan sumber utama penghasilan seseorang, sebab itu upah
harus cukup untuk memenuhi kebutuhan karyawan dan keluarganya dengan wajar.
Kenyataan menunjukkan bahwa masih pekerja Indonesia berpenghasilan sangat kecil,
35

lebih kecil dari kebutuhan hidup minimum (Sumarsono, 2003). Sehubungan dengan
hal tersebut, pemerintah Indonesia menetapkan penerapan upah minimum.
Upah minimum yang diatur dalam PP No. 8 Tahun 1981 yang disadur kembali
oleh Sumarsono (2003) merupakan upah yang ditetapkan secara Minimum Regional,
Sektoral Regional maupun Sub Sektoral.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memuat tentang
Upah Minimum pada pasal 88 ayat 3 sebagai berikut :
a. Upah Minimum berdasarkan wilayah berdasarkan wilayah provinsi atau
kabupaten/ kota;
b. Upah Minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/ kota.
Berdasarkan undang-undang tersebut berarti pemerintah harus menyusun peraturan
pemerintah tentang upah minimum, agar apa yang dimaksud oleh undang-undang
menjadi lebih jelas. Upah minimum yang berlaku di Indonesia ditetapkan oleh
pemerintah provinsi/ kabupaten/ kota (Bachrun, 2012).

2.6

Keterkaitan Keberadaan Pengangguran dengan Upah
Teori upah sangat berpengaruh pada banyaknya pengangguran, namun belum

banyak teori yang membahas secara detail tentang teori tersebut. Case dan Fair
(2004) membahas upah yang berkaitan erat dengan keberadaan pengangguran. Upah
kaku atau sering disebut sebagai kekakuan upah yaitu upah keseimbangan kaku pada
tingkat tertentu dan tidak turun ketika permintaan tenaga kerja turun.

36

S
Pengangguran
W0
Tingkat Upah
W*

Upah
Keseimbangan
baru

L1

L*

D0
D1

L0

Unit Kerja

Gambar 2.1 Grafik Kekakuan Upah

Kekakuan upah diilustrasikan pada Gambar 2.1 , dimana upah keseimbangan
terjadi pada W0 (upah semula) dan tidak turun ke W* ketika permintaan menurun dari
D0 ke D1. Pengangguran sejumlah L0 - L1 , dimana L0 adalah jumlah tenaga kerja
yang ingin ditawarkan oleh rumah tangga pada tingkat upah W0 dan L1 adalah jumlah
tenaga kerja yang ingin dipekerjakan oleh perusahaan pada tingkat upah W0 . L0 - L1
adalah jumlah pekerja yang ingin bekerja pada W0 tetapi tidak menemukan pekerjaan.
Ketika terjadi penurunan permintaan agregat maka akan menyebabkan kurva
permintaan tenaga kerja akan turun bergeser ke kiri bawah, dari D0 ke D1 . Jika
tingkat upah cukup kaku pada tingkat W0 , maka tingkat kesempatan kerja akan turun
lebih besar bukan pada L* tapi sampai pada L1. Dengan demikian terjadi
pengangguran yang lebih besar yaitu sebesar L0L1 (Santoso, 2012).
37

Sukirno (2010) memaparkan pandangan ahli-ahli ekonom klasik bahwa apabila
terjadi pengangguran, mekanisme pasar akan menciptakan penyesuaian-penyesuaian
di dalam pasar tenaga kerja sehingga akhirnya pengangguran dapat dihapuskan.
Penganggur akan bersedia bekerja pada tingkat upah yang lebih rendah dari yang
berlaku di pasar. Keadaan ini akan menimbulkan kekuatan-kekuatan yang akan
menurunkan tingkat upah dan penurunan dalam tingkat upah ini akan memperluas
kegiatan ekonomi. Namun pandangan ekonom klasik tersebut memiliki kelemahan
karena tidak dapat memberikan penjelasan mengenai terjadinya pengangguran yang
disebabkan oleh kekurangan permintaan agregat yang dapat terjadi. Ahli-ahli
ekonomi klasik memusatkan perhatian kepada permintaan yang cukup besar terkait
hasil produksi yang terbatas dan efisien tanpa menghiraukan permintaan kebutuhan
masyarakat yang menurun.
Case dan Fair (2004) juga menjelaskan bahwa pengangguran berpusat pada teori
upah efisiensi, yang mengatakan bahwa produktivitas pekerja akan naik mengikuti
kenaikan tarif upah. Jika demikian, perusahaan terdorong untuk membayar upah
diatas tingkat yang mampu menormalkan kelebihan penawaran di pasar. Manfaatnya
adalah perputaran tenaga kerja (turn over) yang lebih rendah, semangat kerja yang
meningkat dan kelalaian kerja yang berkurang.

2.7

Kemiskinan
Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk

memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran (BPS, 2002). Sirojuzilam (2011) berpendapat bahwa kemiskinan bersifat
38

multidimensional yang mencakup dimensi rendah tingkat pendidikan dan kesehatan,
tidak adanya jaminan masa depan, kerentanan (vulnerability), ketidakberdayaan,
ketidakmampuan menyalurkan aspirasi dan ketersisihan dalam peranan sosial.
Todaro (2006) berpendapat bahwa besarnya kemiskinan dapat diukur dengan
atau tanpa mengacu pada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu
kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut sedangkan konsep yang
pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif.
a. Kemiskinan absolut adalah tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk
memenuhi Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) terhadap makanan, pakaian dan
perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup. Angka KFM ini berbedabeda dari satu Negara ke Negara lainnya, bahkan dari satu daerah ke daerah
lainnya serta bias berubah-ubah dari waktu ke waktu. PBB pernah
menetapkan “Garis Kemiskinan Internasional” sebesar US$ 125.- per tahun
dapat digolongkan berada di bawah Garis Kemiskinan atau berada dalam
Kemiskinan Absolut
b. Kemiskinan relatif dapat dilihat dengan memperbandingkan proporsi atau
persentase penduduk yang berada pada dan di bawah garis kemiskinan absolut
dengan jumlah penduduk keseluruhan. Untuk lebih memperoleh gambaran yang
sesungguhnya tentang tingkat kemiskinan relatif atau pemerataan kesejahteraan
ekonomi perlu diketahui distribusi pendapatan. Ukuran disribusi pendapatan
dapat diukur dengan “Rasio Konsentrasi Gini” (Gini Consentration Ratio) atau
Koefisien Gini. Koefisien Gini adalah ukuran ketidakseimbangan/ ketimpangan
(pendapatan, kesejahteraan) agregat (keseluruhan) yang angkanya berkisar antara
39

nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Koefisien Gini
pada Negara-negara yang dikenal begitu tajam ketimpangan kesejahteraan di
kalangan penduduknya berkisar 0,50 hingga 0.70. sedangkan untuk Negaranegara yang distribusi pendapatannya dikenal paling merata, Koefisien Gini
berkisar antara 0,20 sampai 0,35.
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai “poverty is lack of shelter.
Poverty is beinh sick and not being able to see a doctor. Poverty is not being able to
go to school and not knowing how to read. Poverty is not having a job, is fear of the
future, living one day at time. Poverty is losing a child to illness brought about by
clean water. Poverty is powerlessness. Lack of representation ang freedom”.
Kemiskinan berkenaan dengan ketiadaan tempat tinggal, sakit dan tidak mampu
untuk berobat ke dokter, tidak mampu untuk sekolah dan tidak tahu baca tulis.
Kemiskinan adalah bila tidak memiliki pekerjaan sehingga takut menatap masa
depan, tidak memiliki akses akan sumber air bersih. Kemiskinan adalah
ketidakberdayaan, kurangnya representasi dan kebebasan (Maipita, 2014).
Menurut Sajogyo (1977) garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimum
rumah tangga adalah senilai 2.140 kg beras setiap orang per tahun di pedesaan dan
360 kg beras setiap orang per tahun di daerah kota. Penetapan garis kemiskinan ini
yang setara dengan nilai beras dimaksudkan untuk dapat membandingkan tingkat
hidup antar waktu dan perbedaan harga kebutuhan pokok antar wilayah.
Indikator kemiskinan menurut Departemen Sosial RI (2005) sebagai berikut :

40

1. Penghasilan rendah, atau berada dibawah garis sangat miskin yang dapat
diukur dari tingkat pengeluaran per orang per bulan berdasarkan standar BPS
per wilayah provinsi dan kabupaten/ kota.
2. Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/
beras untuk orang miskin/ santunan social).
3. Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga per tahun
(hanya mampu memiliki satu stel pakaian lengkap per orang per tahun).
4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga
yang sakit.
5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya.
6. Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual
untuk membiayai kebutuhan hidup selama 3 bulan atau 2 kali batas garis
sangat miskin.
7. Tinggal dirumah yang tidak layak huni.
8. Sulit memperoleh air bersih.
Sedangkan indikator miskin menurut BPS (2007) yaitu :
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah, bambu/ kayu
murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas
rendah/ tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga
lain.
41

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindungi/ sungai/ air
hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak
tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/ Poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan
0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau
pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000.- per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga; tidak bersekolah/ tidak tamat SD/
hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan nilai Rp.
500.000.- seperti : sepeda motor (kredit/ non kredit), emas, ternak, kapal
motor, atau barang modal lainnya.
Suharto (2009) berpendapat bahwa secara konseptual kemiskinan diakibatkan
oleh 4 (empat) faktor yaitu :
1. Faktor individual. Terkait dengan aspek patologis, termasuk kondisi fisik dan
psikologis si miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau
kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupannya.

42

2. Faktor sosial. Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang
menjadi miskin. Misalnya, diskriminasi berdasarkan usia, jender, etnis yang
menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini adalah
kondisi sosial dan ekonomi keluarga si miskin yang biasanya menyebabkan
kemiskinan antar generasi.
3. Faktor kultural. Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan.
Faktor ini secara khusus sering menunjukkan pada konsep “kemiskinan kultural”
atau “budaya kemiskinan” atau mentalitas. Penelitian Oscar Lewis di Amerika
Latin menemukan bahwa orang miskin memiliki sub-kultur atau kebiasaan
tersendiri, yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Sikap-sikap negatif
seperti malas, fatalism atau menyerah pada nasib, tidak memiliki jiwa wirausaha,
dan kurang menghormati etos kerja, misalnya, sering ditemukan pada orangorang miskin.
4. Faktor struktural. Menunjuk pada struktur atau system yang tidak adil, tidak
sensitive dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok
orang menjadi miskin. Sebagai contoh, system ekonomi neoliberalisme yang
diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan pekerja
sektor informal terjerat oleh, dan sulit keluar dari, kemiskinan. Sebaliknya
stimulus ekonomi, pajak dan iklim investasi lebih menguntungkan orang kaya
dan pemodal asing untuk terus menumpuk kekayaan.
Case dan Fair (2004) membahas kehidupan Negara-negara berkembang dengan
menjelaskan suatu hipotesis lingkaran setan kemiskinan yang mengemukakan bahwa
Negara miskin harus mengkonsumsi hampir semua pendapatannya hanya untuk
43

mempertahankan standar hidupnya yang sudah rendah. Hipotesis tersebut
menyatakan bahwa kemiskinan menjadi penyebab berlanjutnya kemiskinan karena
Negara-negara miskin tidak mampu menghemat dan berinvestasi secara memadai
untuk menghimpun stok modal yang akan membantu mereka bertumbuh. Kelangkaan
modal tersebut mungkin disebabkan oleh kekurangan dorongan bagi warga Negara
untuk menabung dan melakukan investasi secara produktif dibandingkan oleh
kelangkaan mutlak pendapatan apapun yang tersedia bagi akumulasi modal.
Kebijakan pemerintah Negara-negara berkembang termasuk plafon harga, kontrol
impor dan kecocokan seketika dari property swasta cenderung menghambat investasi
yang

mempengaruhi

perlambatan

pertumbuhan

ekonomi

di

Negara-negara

berkembang tersebut.
Ciri-ciri umum dari setiap Negara berkembang dapat diklasifikasikan menjadi
empat kategori utama sebagai berikut :
1. Standar hidup yang relatif rendah, ditunjukkan oleh tingkat pendapatan yang
rendah ketimpangan pendapatan yang parah, kondisi kesehatan yang buruk dan
kurang memadainya sistem pendidikan.
2. Tingkat produktivitas yang rendah. Rendahnya tingkat produktivitas dapat
dinaikkan dengan cara memobilitasi tabungan domestik dan penarikan ketentuan
modal serta investasi di bidang pendidikan dan pelatihan untuk menambah
keterampilan pengelolaan setiap orang (tenaga kerja) guna memaksimumkan
potensi investasi manusia dan fisik tersebut.
3. Tingkat pertumbuhan penduduk serta beban ketergantungan yang tinggi. Selain
harus membanting tulang untuk mendapatkan penghasilan yang tidak seberapa
44

banyak penduduk di Negara-negara berkembang yang masih berjuang melawan
kekurangan gizi, penyakit dan kesehatan yang buruk. Secara umum dapat
dikatakan bahwa masalah kekurangan gizi (malnutrition) dan buruknya kondisi
kesehatan di Negara-negara berkembang kebih disebabkan oleh kemiskinan dan
bukannya oleh kelangkaan produksi makanan, walaupun kedua faktor tersebut
secara tidak langsung saling berkaitan.
4. Ketergantungan pendapatan yang sangat besar kepada produksi sektor pertanian
serta produk-produk primer (bahan-bahan mentah).
Dudley Seers (1969) menyatakan bahwa makna pembangunan ekonomi bukan
semata peningkatan pendapatan per kapita, akan tetapi penanggulangan kemiskinan,
pengangguran dan ketimpangan pendapatan. Pengurangan pengangguran merupakan
cara untuk menghilangkan masalah utama kemiskinan dan ketimpangan pendapatan
penduduk (antar wilayah). Pembangunan yang dilakukan belum sepenuhnya berjalan
karena pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi pengangguran dan kemiskinan dalam
persentase signifikan ditengah investasi yang jauh dibawah target pembangunan
jangka menengah.

2.8

Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara
Walaupun pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara relatif tinggi, tetapi antar

wilayahnya mengalami disparatis yang relatif besar. Hal ini disebabkan oleh karena
strategi pembangunan di Sumatera Utara yang belum merata. Berdasarkan hasil
analisis Sirojuzilam (2008) menggunakan indeks Williamson, pembangunan yang
dilaksanakan di wilayah dataran tinggi relatif lebih merata berkisar 0,1402 hingga
45

0,1604. Sedangkan wilayah timur memiliki indeks Williamson terbesar berkisar
0,1598 hingga 0,1720. Ketimpangan terjadi pada Kabupaten Asahan, Kota Medan,
Kabupaten Labuhan Batu dan Deli Serdang. Dijelaskan bahwa ketimpangan relatif
lebih besar terjadi di wilayah timur dibandingkan dengan wilayah barat. Ketimpangan
yang terjadi diantara wilayah barat dan wilayah timur akibat adanya perbedaan
potensi sumber daya wilayah, infrastruktur transportasi, pengeluaran pemerintah,
pendidikan, sumber daya manusia, kepadatan penduduk, investasi, sumber daya alam
dan heterogenitas suku (open region).
Sirojuzilam (2011) menganalisa bahwa lebih dari 50% total penduduk Sumatera
Utara berdomisili di wilayah timur yang mengalami ketimpangan yang lebih besar
dari wilayah barat. Secara umum penduduknya hidup di sektor pertanian dan
bermukim di daerah pesisir dengan tingkat kehidupan yang minim alias miskin
dengan pendapatan perkapita rendah tetapi pola konsumsi yang relatif tinggi.
Kemampuan menyerap tenaga kerja oleh pihak pemerintah dan pihak swasta
merupakan faktor yang mendukung terpuruknya kondisi masyarakat yang diperburuk
oleh ketidakberdayaan masyarakat untuk hidup mandiri. Rendahnya pendapatan
masyarakat juga diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendidikan. Sirojuzilam (2011)
berpendapat bahwa dengan dikembangkannya konsep agromarinpolitan yang terpadu
antara wilayah barat dan timur maka diharapkan akan terjadi peningkatan pendapatan
masyarakat nelayan, meningkatkan lapangan pekerjaan, berkurangnya pengangguran,
diversifikasi pekerjaan dan produk hingga pada akhirnya berdampak pada penurunan
jumlah penduduk miskin.

46

Jumlah penduduk miskin di wilayah Kabupaten/ Kota Provinsi Sumatera Utara
ditunjukkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.3 Jumlah penduduk miskin Sumatera Utara Tahun 2009-2012
No. Wilayah Kabupaten/ Kota
2009
2010
1.
Nias
98.94
26.4
2.
Mandailing Natal
55.24
50.9
3.
Tapanuli Selatan
33.24
31.5
4.
Tapanuli Tengah
57.01
52.2
5.
Tapanuli Utara
35.09
34.9
6.
Toba Samosir
17.34
17.6
7.
Labuhan Batu
102.09
44.3
8.
Asahan
83.66
76.3
9.
Simalungun
107.5
87.7
10. Dairi
27.09
26.9
11. Karo
41.82
38.7
12. Deli Serdang
91.44
96
13. Langkat
133.14
104.8
14. Nias Selatan
59.91
60.1
15. Humbang Hasundutan
17.65
18.2
16. Pakpak Bharat
5.93
5.6
17. Samosir
22.85
19.7
18. Serdang Bedagai
60.42
62.8
19. Batubara
49.5
46
20. Padang Lawas Utara
22.74
25
21. Padang Lawas
21.91
25
22. Labuhan Batu Selatan

43.4
23. Labuhan Batu Utara

40.9
24. Pematang Siantar
29.13
27.5
25. Tanjung Balai
28.3
25.2
26. Tebing Tinggi
20.53
18.9
27. Medan
200.4
212.3
28. Binjai
17.88
18
29. Padang Sidimpuan
18.51
20.3
30. Sibolga
15
11.7
31. Nias Utara

40.7
32. Nias Barat

25.1
33. Gunung Sitoli

42.5
Sumber : diolah dari Data BPS Provinsi Sumatera Utara

47

2011
25.39
49.05
30.39
90.21
33.57
16.93
42.61
73.39
84.35
25.87
37.22
92.33
100.8
57.8
17.5
5.39
18.95
60.5
44.34
24.04
24.04
41.74
39.34
26.45
24.24
18.27
204.19
17.41
19.52
11.25
39.15
24.24
40.97

2012
24.63
47.62
29.48
48.68
32.58
16.39
41.31
71.19
81.85
25.12
36.08
89.5
97.75
56.05
16.97
5.24
18.33
58.67
43.96
23.27
23.27
40.44
38.11
25.6
23.47
17.75
198.03
16.87
18.91
10.96
37.92
23.47
39.76

Dalam menghitung angka kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar, sehingga melalui pendekatan ini kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan (Rofiq, 2014). Pada Maret 2014 garis kemiskinan Sumatera Utara sebesar
Rp 318.398,- per kapita per bulan. Untuk daerah perkotaan, garis kemiskinannya
sebesar Rp 338.234,- per kapita per bulan, dan untuk daerah perdesaan sebesar Rp
299.145,- per kapita per bulan. Dibanding September 2013, garis kemiskinan
Sumatera Utara pada Maret 2014 naik 2,36 persen. Garis kemiskinan di perkotaan
naik 2,33 persen dan garis kemiskinan di perdesaan naik 2,38 persen.
BPS (2014) dalam berita resmi statistik Provinsi Sumatera Utara, perkembangan
garis kemiskinan ditunjukkan pada Tabel 2.3.

48

Tabel 2.4 Garis Kemiskinan Sumatera Utara Tahun 2004 – 2014
Tahun

Perkotaan

Perdesaan

Kota + Desa

Maret 2004

142 966

114 214

122 414

Juli 2005

175 152

117 578

143 095

Mei 2006

184 694

142 095

155 810

Maret 2007

205 379

154 827

178 132

Maret 2008

218 333

171 922

193 321

Maret 2009

234 712

189 306

210 241

Maret 2010

247 547

201 810

222 898

Maret 2011

271 713

288 023

222 226

September 2011

239 208

246 560

263 209

Maret 2012

286 649

238 368

262 102

September 2012

295 080

249 165

271 738

Maret 2013

307 352

263 061

284 853

September 2013

330 517

292 186

311 063

Maret 2014
338 234
299 145
Sumber : Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)

2.9

318 398

Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu skema dalam penelitian yang menggambarkan

hubungan antar konsep/variabel yang diteliti yang diturunkan dari kerangka teori
(Polit & Hungler, 1999). Hubungan antar konsep (relational statement) yang
digambarkan pada kerangka konsep akan menentukan independen dan dependen
variabel, hipotesis yang akan dirumuskan, disain yang dipilih, metode statistik yg
akan digunakan, serta hasil penelitian yang diharapkan.
Dalam penelitian ini variabel independen meliputi Data Pertumbuhan Ekonomi,
Data Tingkat Pengangguran Terbuka dan Data Upah Minimum. Sebagai variabel

49

dependen

dalam

penelitian

ini

adalah

Tingkat

Kemiskinan.

Berdasarkan

pertimbangan diatas maka dibuat kerangka konsep, hubungan antara pertumbuhan
ekonomi, tingkat pengaangguran dan upah minimum terhadap tingkat kemiskinan di
Provinsi Sumatera Utara. Data yang diamati adalah data 5 (lima) tahun belakangan di
setiap wilayah Kabupaten Kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara.

2.10 Skema Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka Konsep dari penelitian ini dapat dilihat dari bagan berikut :

PERTUMBUHAN
EKONOMI
(X1)
TINGKAT
PENGANGGURAN
(X2)

KEMISKINAN
(Y)

UPAH MINIMUM
(X3)

2.11 Hipotesis
Sesuai dengan judul yang diambil yaitu “Analisis pengaruh pertumbuhan
ekonomi, tingkat pengangguran dan upah minimum terhadap kemiskinan di Provinsi
Sumatera Utara” maka hipotesa dalam penelitian ini adalah :
1. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera
Utara.

50

2. Tingkat pengangguran berpengaruh terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera
Utara.
3. Upah minimum berpengaruh terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara.
4. Pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran terbuka dan upah minimum
berpengaruh terhadap kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara.

51

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, UPAH MINIMUM REGIONAL DAN PENGANGGURAN TERHADAP KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TIMUR

11 66 67

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, UPAH MINIMUM, TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA, DAN INFLASI TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2009 2011

1 18 107

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, UPAH MINIMUM DAN PENGANGGURAN TERHADAP TINGKAT KONSUMSI Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minimum Dan Pengangguran Terhadap Tingkat Konsumsi Masyarakat Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2015.

1 3 14

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, UPAH MINIMUM DAN PENGANGGURAN TERHADAP TINGKAT KONSUMSI Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minimum Dan Pengangguran Terhadap Tingkat Konsumsi Masyarakat Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2015.

0 4 16

ANALISIS PENGARUH JUMLAH PENDUDUK, TINGKAT PENDIDIKAN, TINGKAT PENGANGGURAN, DAN TINGKAT UPAH MINIMUM TERHADAP KEMISKINAN DI SUBOSUKAWONOSRATEN TAHUN 2009-2013.

0 1 1

Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minimum, Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009 – 2013

0 0 15

Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minimum, Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009 – 2013

0 0 2

Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minimum, Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009 – 2013

0 0 6

Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minimum, Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009 – 2013

0 0 2

Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minimum, Tingkat Pengangguran Terbuka terhadap Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009 – 2013

0 1 12