Eksistensi Manusia (Anju RP)

Anju Ramos Pasaribu
(Mahasiswa Praktik Lapangan STT Jakarta)

eksistensi Manusia
Pendahuluan
Berbicara tentang eksistensi manusia tentu perlu memahami apa itu eksistensi

sendiri. Eksistensi sendiri berasal dari bahasa Yunani Existere yang artinya muncul,

timbul, ada, dan memiliki keberadaan (Bagus 1996, 183). Existere berasal dari kata Ex

(Keluar) Sistere (Tampil, Muncul). Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa arti
eksistensi adalah keberadaan atau ada.

Saya melihat, berbicara tentang eksistensi ada hubungannya dengan esensi.

Esensi memiliki pengertian hakikat. Hakikat yang dimaksud dalam hal ini adalah
hakikat eksistensi itu sendiri.

Ada banyak filsuf yang menganut paham eksistensialis, yang melahirkan kata


eksistensialisme, salah satunya adalah Jean-Paul Sartre. Dalam paper ini, apa yang

menjadi pandangan Sartre tentang eksistensialisme akan dibahas. Pandangan Sartre
khususnya difokuskan untuk eksistensi manusia. Saya juga akan mencoba

menghubungkannya dengan masalah LGBTIQ yang menjadi bagian dari manusia yang
eksis.

Jean-Paul Sartre
Riwayat

Jean-Paul Sartre, seorang pria yang bertubuh pendek dengan mata strabismus

adalah seorang filsuf yang terkenal karena filsafat eksistensialismenya. Sartre lulus dari
Ecole Normale Superieure di Paris pada tahun 1929. Dia lahir pada tanggal 21 Juni

1905 dan menjadi yatim sebelum usia 1 tahun. Oleh karena kematian ayahnya, yang
bernama Jean-Baptiste Sartre, dia dan ibunya tinggal di rumah kakeknya. Namun,
setelah sepuluh tahun lebih menjadi anak yatim, ibunya, Anne-Marie Schweitzer


menikah dengan seorang pria dan mereka tinggal di Rochelle, kota kecil di tepi pantai,
jauh dari Paris.

1

ESENSI DARI EKSISTENSI

Pandangan Sarte menyatakan, “man is nothing else but what he makes of

himself” (Sartre 1947, 18). Jadi manusia adalah apa yang diperlihatkan atau dilakukan

olehnya. Manusia adalah akan menjadi kelihatan manusia jika dia berlaku atau bersifat
apa yang sebenarnya adalah dirinya. Oleh sebab itu, manusia adalah subjek. Manusia

berhak atau berperan utama dalam menidak/mengobjekkan dan ditidak/diobjekkan
(Suseno 2011, 8). Artinya, manusia bisa bebas saat menidak dan tidak bebas saat
ditidak. Bebas menidak akan terjadi, apabila manusia mengambil posisi sebagai

pemberi makna terhadap sesuatu yang lain. Tidak bebas saat ditidak akan terjadi


apabila manusia lain telah terlebih dahulu menidak manusia itu sendiri, sehingga

manusia lain adalah manusia dan manusia yang ditidak bukan lagi manusia tetapi

sesuatu benda atau objek. Posisi ini bisa berganti tergantung dari segi manusia mana
kita mau melihat subjek pertama.

Dalam hal menidak dan ditidak ini, saya memahami bahwa manusia itu adalah

subjek, memang benar. Kalaupun dia dalam posisi ditidak, dia juga sebenarnya adalah
subjek ketika dia berbalik menidak manusia lain. Dalam hal ini manusia adalah aktif.

Oleh karena itu, manusia adalah satu-satunya mahkluk yang eksistensinya mendahului
esensinya (Suseno 2011, 8). Eksistensi manusia adalah keberadaannya sendiri sebagai
manusia dan esensi adalah hakikat dari keberadaannya tersebut.
Eksistensi dari Esensi

Awal Sartre berfilsafat eksistensi dari esensi dipengaruhi oleh pengalaman

kecilnya (Wibowo 2011, 15). Dia yang dulu tampan dengan rambut pirangnya yang


panjang menjadi pusat perhatian. Setelah pangkas, dia menemukan dirinya yang jelek.

Hal ini yang membuat dia sadar bahwa eksitensi dia jelek dan tampan, lahir dari ensensi
yang ada padanya melalui penglihatan orang lain.

Eksistensi yang juga didapatkanya saat kecil adalah keberadaan dirinya yang

tidak pintar karena tidak bisa memahami geometri yang diajarkan oleh ayah tirinya

(Wibowo 2011, 28). Jadi, Sartre berpikir manusia secara eksistensi ditentukan oleh cara
pandang orang lain terhadap esensi manusia itu. Dalam hal ini manusia adalah objek
dari manusia lain.

2

Eksistensi dari esensi hanya berlaku bagi benda (yang adalah objek) dan bukan

manusia. Jika hal itu berlaku bagi manusia, manusia itu bukan lagi manusia tetapi dia


telah menjadi benda sama seperti benda lain yang bukan manusia. Misalnya meja, meja
akan disebut manusia yang adalah subjek “meja” jika meja memperlihatkan dirinya

sebagai meja. Manusia menyebut suatu benda meja jika benda itu dipakai sebagai benda
yang berfungsi sebagai meja dan benda itu akan menjadi sebuah meja jika apa yang
diperlihatkannya sama dengan benda lain yang disebut meja.
POSITIF

Konsekuensi Etis

Manusia adalah mahkluk yang eksistensinya mendahului esensinya

menunjukkan bahwa manusia adalah mahkluk yang bertanggung jawab atas dirinya.
Oleh karena manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri maka manusia itu

bertanggung jawab atas dunia (Suseno 2011, 9). Mengapa manusia bertanggung jawab
atas semuanya atau dunia? Tentu ini dipengaruhi karena manusialah yang menjadi

subjek atas segalanya. Jadi, apa yang ada pada benda lain yang bukan manusia adalah


hasil dari pemberian makna terhadapnya oleh manusia berdasarkan esensi yang lahir

dari eksistensi benda tersebut. Oleh karena tiap manusia adalah subjek maka semuanya
punya hak yang sama sebagai sesama manusia sehingga Sartre menekankan sebuah
sosialisme netral bagi semua manusia (Suseno 2011, 10).
NEGATIF

Akibat fatal yang disebabkan oleh pemahaman manusia adalah subjek membuat

manusia mengobjekkan manusia lainnya. Jadi, “neraka adalah orang-orang lain” (Lanur
2011, 74) atau dalam bahasa Inggris dikatakan “hell is the others”. Manusia akan

melakukan apa pun supaya yang lain dari dia adalah objek dan dia adalah subjek.
Manusia yang diobjekkan oleh seorang manusia yang mengobjekkan juga akan

melakukan tindakan yang sama untuk mempertahankan dirinya sebagai subjek. Hal ini
dapat membuat kurangnya penghargaan terhadap orang lain dan mengakibatkan

tindakan yang menurunkan keberadaan orang lain karena dia ingin selalu menjadi


subjek. Apabila seseorang tidak terus mengobjekkan yang lain maka dialah yang akan
menjadi objek dan jika telah menjadi objek, tentu dia bukan lagi manusia melainkan
adalah suatu benda yang sama dengan benda lainnya di luar manusia.

3

Eksistensi Kaum LGBTIQ
Saya sendiri masih merasa kurang memahami bagaimana itu LGBTIQ, dan

karenanya saya tidak tahu mau menjawab, ketika ditanya apakah mau mendukung
kaum LGBTIQ atau tidak. Menurut saya, yang salah bukanlah saya yang tidak mau
menjawab, melainkan pertanyaannya. Dalam hal ini saya membela diri. Saya

berdasarkan filsafat eksistensialisme Sartre, lebih memilih melihat kaum LGBTIQ

sebagai manusia yang sungguh eksis atau memiliki eksistensi daripada harus menjawab
pertanyaan “Mendukung atau tidak LGBTIQ.”

Apakah kamu mendukung atau tidak LGBTIQ? Ketika pertanyaan ini yang


muncul, terlihat seolah-olah kaum LGBTIQ adalah sesuatu yang dibuat oleh manusia.
Jika sungguh hal ini yang terjadi maka manusia telah mengobjekkan kaum LGBTIQ.

Saya, seorang yang beriman pada Kristus, berdasarkan pandangan Clark M. Williamson
yang menyatakan salah satu eksistensi manusia adalah “Not all human beings are

heterosexual” (Williamson 2003, 170), memilih untuk melihat kaum LGBTIQ sebagai
manusia ciptaan Allah sama seperti kaum heteroseksual bukan kaum LGBTIQ yang
diobjekkan oleh kaum heteroseksual.

Kaum LGBTIQ yang adalah manusia juga sama seperti kaum heteroseksual

adalah subjek. Subjek dalam hal ini tidak untuk diobjekkan dan mengobjekkan yang
lain. Di mana tindakan etis kita ketika mengobjekkan yang lain? Justru, yang terjadi,
neraka adalah orang-orang lain. Oleh karena itu, tidak baik ketika seseorang yang

heteroseksual menyalahkan kaum LBTiQ karena orientasi seksualnya dan sebaliknya.
Tindakan Tiap Eksistensi (Hetero dan Homo)
Laki-laki tidak pernah mampu memahami perempuan karena dia bukanlah


perempuan dan sebaliknya. Kaum heteroseksual tidak pernah mampu memahami kaum
homoseksual karena dia bukanlah homoseksual dan sebaliknya. Dari sini terlihat siapa
yang tahu dirinya sendiri adalah tiap subjek yang mengetahui dirinya sendiri tersebut.

Oleh sebab itu, yang perlu dilakukan adalah saling menghargai yang lain sebagai sesama
subjek yang memiliki eksistensi.

4

Dalam melihat bagaimana tindakan tiap manusia yang memiliki eksistensi, saya

memakai apa yang menjadi pandangan Max Muller, “Dia yang mengetahui satu agama

belum mengetahui agama” (Byrne 1991, 27). Memang dia berkata tentang agama, tetapi
dari pernyataannya tersebut saya juga melihat bahwa “Dia yang mengetahui satu

orientasi seksual belum mengetahui orientasi seksual.” Oleh sebab itu, perlu belajar
tentang yang lain.

Belajar tentang yang lain akan tercapai ketika kita belajar dari yang lain itu


sendiri. Oleh karena itu, perlu ada dialog antar manusia yang berbeda. Dialog antara

hetero dan homo adalah tindakan yang diperlukan untuk memahami keduanya. Ketika
telah terjadi dialog yang membuat tiap manusia memahami manusia lain yang adalah
sesasamanya manusia, tindakan yang lebih baik akan tercipta di luar tindakan yang

hanya mengobjekkan yang lain. Tindakan yang terjadi akan lebih baik di luar tindakan
yang menyalahkan yang lain. Tindakan ini tidak akan memunculkan tindakan yang
menidak-adakan yang lain. Tindakan yang muncul justru saling menghargai.
Kesimpulan
Kaum LGBTIQ adalah subjek – yang artinya – eksistensi mendahului esesinsanya,

bukan esensi yang mendahului eksistensinya. Dalam hal ini keberadaan kaum LGBTIQ
adalah sama dengan yang lain sebagai subjek bukan sebagai objek. Oleh karenanya,

perlu saling memahami dan menghargai antara heteroseksual dan homoseksual sebagai
sesama manusia yang memiliki eksistensi.

Daftar Acuan

Bagus, Lorenz. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia

Byrne, Peter. 1991. Religion and The Religions. Dalam The World’s Religions: The Study
of Religion Traditional and New Religion, peny. Stewart Sutherland dan Peter
Clarke, hal. 3-28. London: Routledge.

Lanur, Alex. 2011. Relasi Antar-Manusia Menurut Jean-Paul Sartre, Beberapa Catatan. Dalam
Filsafat Eksistensialme, peny. A. Setyo Wibowo dkk., 73-85. Yogyakarta: Kanisius.

Sartre, Jean-Paul. 1947. Existentialism. New York: The Philosophical Library.

Suseno, Frans Magnis. 2011. Jean-Paul Sartre. Dalam Filsafat Eksistensialme, peny. A. Setyo
Wibowo dkk., 7-11. Yogyakarta: Kanisius.

5

Wibowo, A. Setyo. 2011. Eksistensi Kontingen: Satu Sudut Pandang membaca Kisah Hidup dan

Pemikiran Jean-Paul Sartre. Dalam Filsafat Eksistensialme, peny. A. Setyo Wibowo dkk.,
13-56. Yogyakarta: Kanisius.

Williamson, Clark M. 2003. What’s Wrong With Us?: Human Nature and Human Sin. Dalam

Essentials of Christian Theology, peny. William C. Placher, 158-182. Loisville: Westminter
John.

6

Apakah anda mau mendukung LGBTIQ? Apakah anda mau bergabung dengan teman-teman
LGBTIQ?

Apakah anda setuju dengan LGBTIQ?

7