J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA
PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, setelah melalui beberapa tahapan, akhirnya Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER Volume 2 Nomor 2 Juli-Desember 2016 dapat diterbitkan. Artikel-artikel yang dimuat dalam edisi ini adalah artikel-artikel yang telah dipresentasikan dalam Konferensi Hukum Acara Perdata II yang diselenggarakan di Surabaya dan Konferensi Hukum Acara Perdata III yang diselenggarakan di Pontianak. Konferensi tersebut diikuti oleh para Dosen Hukum Acara Perdata dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Dalam edisi kali ini sepuluh artikel disajikan di dalam Jurnal ini dengan berbagai topik mengenai penyelesaian sengketa keperdataan yang merupakan pokok kajian Hukum Acara Perdata. Artikel-artikel tersebut merupakan artikel hasil penelitian maupun artikel konseptual yang membahas berbagai model penyelesaian sengketa di bidang keperdataan.
Artikel pertama ditulis oleh Sdri. Isis Ikhwansyah dengan judul “Gugatan Terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai PT. Persero dalam Perkara Perdata”, mengulas BUMN persero sebagai Badan Hukum Publik yang apabila menimbulkan kerugian dalam aktivitas bisnis dapat digugat di pengadilan layaknya PT sebagai badan Hukum dan sebagai subyek hukum privat. Dengan demikian dalam praktik beracara perdata di pengadilan terdapat kejelasan dari BUMN sebagai badan hukum publik untuk digugat karena BUMN sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan Negara yang berasal dari APBN. Kekayaan BUMN persero dengan kekayaan negara merupakan kekayaan yang terpisah. Dengan adanya pemisahan kekayaan ini berarti kerugian yang dialami oleh BUMN tidak dapat disamakan dengan kerugian negara. UU BUMN yang merupakan aturan hukum khusus dan lebih baru dibandingkan dengan peraturan terkait, maka dapat menggunakan asas lex specialis derogat legi generali dan lex posteriori derogat legi priori.
Artikel kedua dibawakan oleh Sdr. Ema Rahmawati dan Linda Rachmainy yang berjudul “Penjatuhan Putusan Verstek dalam Praktik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Bandung dalam Kajian Hukum Acara Perdata Positif di Indonesia”. Artikel ini merupakan hasil penelitian penulis yang didanai oleh DIPA BLU Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada Tahun 2013. Artikel ini menggunakan metode penelitian empiris yang mengkaji mengenai ketidakhadiran tergugat dalam persidangan yang diatur di dalam Pasal 125 HIR yang dikenal dengan putusan di luar hadir (verstek). Mengenai kapan dijatuhkannya putusan verstek ini menjadi variatif di dalam praktik. Penjatuhan putusan verstek dalam praktik di Pengadilan Agama Bandung umumnya dilakukan dalam perkara perceraian (gugat cerai atau cerai talak). Penjatuhan putusan verstek umumnya dilakukan setelah tergugat dipanggil dua kali untuk Artikel kedua dibawakan oleh Sdr. Ema Rahmawati dan Linda Rachmainy yang berjudul “Penjatuhan Putusan Verstek dalam Praktik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Bandung dalam Kajian Hukum Acara Perdata Positif di Indonesia”. Artikel ini merupakan hasil penelitian penulis yang didanai oleh DIPA BLU Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada Tahun 2013. Artikel ini menggunakan metode penelitian empiris yang mengkaji mengenai ketidakhadiran tergugat dalam persidangan yang diatur di dalam Pasal 125 HIR yang dikenal dengan putusan di luar hadir (verstek). Mengenai kapan dijatuhkannya putusan verstek ini menjadi variatif di dalam praktik. Penjatuhan putusan verstek dalam praktik di Pengadilan Agama Bandung umumnya dilakukan dalam perkara perceraian (gugat cerai atau cerai talak). Penjatuhan putusan verstek umumnya dilakukan setelah tergugat dipanggil dua kali untuk
Artikel ketiga, disajikan oleh Sdr. I Putu Rasmadi Arsha Putra yang berjudul “Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen”. Artikel ini mengulas tentang akibat globalisasi ekonomi yang mengakibatkan masuknya pranata ekonomi dan hukum asing ke dalam suatu negara yang memiliki sistem hukum yang berbeda, yaitu masuknya lembaga hukum yang hanya ada pada sistem Common Law ke Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law, dimana dalam pelaksanaannya seringkali menimbulkan benturan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan salah satu pranata hukum asing yang diadopsi ke dalam pranata hukum Indonesia, hal ini sejalan dengan tujuan undang- undang Perlindungan Konsumen adalah untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam menuntut hak-hak konsumen, dengan penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK. Sejauh ini BPSK masih terganjal dengan berbagai permasalahan yang melingkupi BPSK, hal ini dikarenakan perbedaan system hukum, maka diperlukan upaya-upaya agar BPSK dapat menjadi lembaga penyelesaian sengeta konsumen di luar pengadilan yang cepat, murah dan adil sesui dengan amanah dari UUPK. Upaya yang biasa dilakukan BPSK adalah melakukan perubahan terhadap substansi peraturan, kelembagaan BPSK, cara penerapan hukum serta merubah budaya hukum.
Artikel keempat ditulis oleh Sdr. M. Hamidi Masykur berjudul “Lembaga Eksaminasi Pertanahan sebagai Alternatif Model Penyelesaian Sengketa di Bidang Pertanahan”. Artikel ini mengulas tentang Lembaga Eksaminasi Pertanahan yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan konflik pertanahan. Pada tahun 2011 Pemerintah telah memberlakukan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011. Peraturan tersebut mengamanatkan adanya mekanisme kelembagaan Gelar Kasus Pertanahan dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Yang menjadi tantangan adalah mampukah Lembaga Eksaminasi Pertanahan (Peraturan Kepala BPN RI No 12 Tahun 2013) sebagai lembaga penyelesaian sengketa pertanahan diluar pengadilan (alternatif dispute resolution) mampu menjawab permasalahan konflik pertanahan yang menjadi penyumbang banyaknya perkara di Mahkamah Agung. Kelebihan dari Lembaga Eksaminasi ini adalah dapat menyelesaikan sengketa secara cepat, dan putusannya bersifat win win solution, mengurangi biaya ligitasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi, mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan. Namun kelemahan dari Lembaga Eksaminasi ini adalah kurangnya sosialisasi, belum semua kantor wilayah BPN membentuk tim eksaminasi. Diperlukan Optimalisasi lembaga Eksaminasi
Pertanahan agar penyelesaian sengketa pertanahan dapat segera diselesaiakan tanpa mekanisme peradilan yang tentu memakan waktu yang lama dan tak kunjung selesai.
Artikel kelima disajikan Anita Afriana dan Efa Laela Fakhriah dengan judul “Inklusivitas Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Tanggung Jawab Mutlak: Suatu Tinjauan Terhadap Gugatan Kebakaran Hutan di Indonesia”. Artikel ini menyoroti kasus lingkungan khususnya kebakaran hutan dan mengulas pertimbangan hukum beberapa putusan hakim dalam perkara kebakaran hutan dan pengenaan tanggung jawab mutlak yang dapat dibebankan pada Tergugat. Bahwa penegakan hukum dilakukan hakim melalui putusan sebagai produk pengadilan. Pertanggungjawaban mutlak merupakan suatu pengecualian sebagaimana yang diatur Pasal 1365 KUHPerdata. Karena berbeda dari pertanggungjawaban perdata dalam KUHPerdata, maka penerapannya bersifat inklusivitas antara lain dalam hal pencemaran lingkungan.
Artikel keenam ditulis Sdri. Galuh Puspanigrum berjudul “Karakteritik Hukum Persaingan Usaha”. Artikel ini membahas tentang kegiatan-kegiatan yang diperkenankan dan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Sebagai diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat. Selain itu artikel ini juga mengulas tentang Hukum Acara Persaingan Usaha yang terkandung hukum formil yang bermuara pada hukum acara perdata, meliputi prinsip-prinsip hukum acara perdata, mekanisme penyelesaian dan sifat putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memiliki kekuatan hukum tetap serta pelaksanaan putusan sampai dengan upaya hukum keberatan ke peradilan umum dan apabila pelaku usaha tidak melaksanakan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam hal ini terdapat inkonsistensi dalam hukum acara persaingan usaha sehingga menimbulkan permasalahan dalam pengembanan hukum pada tataran teoritis dan praktisnya.
Artikel ketujuh ditulis oleh Agus Mulya Karsona dan Efa Laela Fakhriah berjudul “Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja di Indonesia”. Artikel ini mengulas tentang keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial yang dalam tataran implementasinya masih mengalami banyak permasalahan seperti; Gugatan tidak mencantumkan permohonan sita jaminan; Putusan yang memerintahkan pengusaha untuk mempekerjakan kembali pekerja sulit dilaksanakan karena terkait kebijakan dari perusahaan; Terkait kewajiban penggugat dari pihak pekerja yang harus memberikan pembuktian, menurut hakim beban pembuktian khususnya terkait surat-surat sulit dipenuhi oleh pekerja dan menjadi kendala dalam proses gugatannya. Akan tetapi untuk mengatasi hal tersebut hakim di pengadilan lain melakukannya dengan mendatangkan saksi-saksi baik teman saat bekerja atau tetangga; Penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial ada kecenderungan menurun, hal ini disebabkan oleh antara lain : pekerja seringkali kalah Artikel ketujuh ditulis oleh Agus Mulya Karsona dan Efa Laela Fakhriah berjudul “Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja di Indonesia”. Artikel ini mengulas tentang keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial yang dalam tataran implementasinya masih mengalami banyak permasalahan seperti; Gugatan tidak mencantumkan permohonan sita jaminan; Putusan yang memerintahkan pengusaha untuk mempekerjakan kembali pekerja sulit dilaksanakan karena terkait kebijakan dari perusahaan; Terkait kewajiban penggugat dari pihak pekerja yang harus memberikan pembuktian, menurut hakim beban pembuktian khususnya terkait surat-surat sulit dipenuhi oleh pekerja dan menjadi kendala dalam proses gugatannya. Akan tetapi untuk mengatasi hal tersebut hakim di pengadilan lain melakukannya dengan mendatangkan saksi-saksi baik teman saat bekerja atau tetangga; Penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial ada kecenderungan menurun, hal ini disebabkan oleh antara lain : pekerja seringkali kalah
Artikel kedelapan ditulis oleh Sdr. Heri Hartanto yang berjudul “Perlindungan Hak Konsumen Terhadap Pelaku Usaha yang Dinyatakan Pailit”. Artikel ini mengulas mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa Pelaku Usaha berkewajiban untuk mengganti rugi apabila konsumen dirugikan akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang harus segera dibayar dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Apabila Pelaku Usaha yang memberikan barang dan/atau jasa tersebut dipailitkan oleh Pengadilan Niaga atas pemohonan kreditor atau debitor itu sendiri. Salah satu kelompok kreditor dalam hal Pelaku Usaha yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga adalah para Konsumennya. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur tersendiri tentang bagaimana penyelesaian sengketa konsumen dengan menenpatkan posisi konsumen sebagai pihak yang diberi perlindungan. Namun dengan dipailitkannya Pelaku Usaha, menjadikannya tidak cakap hukum dan kehilangan wewenang untuk mengelola kekayaannnya sendiri kemudian beralih kepada kurator. Ketidakmampuan Pelaku Usaha yang dinyatakan pailit untuk memenuhi hak konsumen menempatkan konsumen diposisi sebagai kreditor konkuren dan tidak memiliki hak untuk didahulukan.
Artikel kesembilan disampaikan oleh Sdr. Moh. Ali yang berjudul “Prinsip Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa pada Kontrak E Commerce Transnasional”. Artikel ini menilai bahwa UUPK, UU ITE, UUP maupun HPI Indonesia belum memberikan jaminan perlindungan yang tegas berkaitan dengan pilihan hukum dalam kontrak e-commerce bersekala transnasional sehingga muncul legal gap. Prinsip-prinsip pilihan hukum yang lazimnya didasarkan atas kebebasan berkontrak dan kesepakatan para pihak mengalami pergeseran paradigma terutama didasarkan doktrin negara kesejahteraan dimana ruang publik perlu mendapatkan perlindungan. Dalam soal penyelesaian sengketa, kebanyakan negara civil law menganut prinsip country of reception yaitu aturan yang memperbolehkan konsumen pemakai terakhir (end user) menerapkan Undang Undang Perlindungan Konsumen negaranya. Prinsip ini dikecualikan terhadap transaksi konsumen dan tidak berlaku pada kontrak e-commerce antara pengusaha. Untuk mengatasi legal gap pada penyelesaian sengketa e-commerce transnasional maka perlu dilakukan legal reform yang mengadaptasi kerberlakuan prinsip country of reception ini ke dalam regulasi Indonesia sehingga kepentingan konsumen dapat terlindungi.
Jurnal edisi kali ini ditutup oleh tulisan dari I Ketut Tjukup, Nyoman A. Martana, Dewa N. Rai Asmara Putra, Made Diah Sekar Mayang Sari, dan I Putu Rasmadi Arsha Putra, yang berjudul “Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata Jurnal edisi kali ini ditutup oleh tulisan dari I Ketut Tjukup, Nyoman A. Martana, Dewa N. Rai Asmara Putra, Made Diah Sekar Mayang Sari, dan I Putu Rasmadi Arsha Putra, yang berjudul “Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata
44 berlaku untuk wilayah hukum Jawa dan Madura), dan RBg (Reglement daerah seberang STB 1927 No. 227) berlaku luar Jawa dan Madura. Mencermati pluralistiknya hukum acara perdata Indonesia yang sampai sekarang belum memiliki Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata yang nasional, hukum acara yang demikian dalam penerapannya timbul multi interpretasi, sulit mewujudkan keadilan dan tidak menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu Hakim sebagai penegak hukum dan untuk mewujudkan keadilan tidak boleh hanya bertindak sebagai mulut undang-undang, hakim harus progresif dan selalu memperhatikan perasaan keadilan para pihak dalam proses pemeriksaan di persidangan, sebagaimana yang diatur oleh moralitas para pihak yang dilanggar selalu menginginkan keadilan atau penegakan hukum identik dengan penegakan keadilan. Perwujudan keadilan haruslah didahului dengan kepastian hukum sehingga sangat diperlukan hukum acara perdata yang unifikasi atau tidak terlalu banyak multi interpretasi, yang akhirnya putusan Hakim yang adil dapat diketemukan. Jadi hukum acara perdata yang pluralistik dalam penerapannya banyak timbul hambatan, tidak mencerminkan kepastian hukum dan sangat sulit mewujudkan keadilan, sehingga sangat diperlukan satu kesatuan hukum acara perdata (unifikasi hukum).
Pemikiran-pemikiran yang tertuang di dalam artikel pada jurnal ini semoga dapat memberikan manfaat dan tentunya dorongan bagi berbagai pihak untuk memberikan perhatian pada pembaharuan Hukum Acara Perdata Indonesia yang harus diakui sudah cukup renta serta tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pembaharuan Hukum Acara Perdata diharapkan memberikan kepastian hukum dalam proses penegakan hukum perdata di Indonesia serta mampu beradaptasi dengan perkembangan bisnis dan teknologi. Kami redaktur JHAPER mengucapkan selamat membaca!
TRANSPLANTASI COMMON LAW SYSTEM KE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
I Putu Rasmadi Arsha Putra *
ABSTRAK
Mengambil sistem hukum yang berasal dari negara lain yang dikembangkan menjadi model hukum di negeri sendiri, bukanlah sesuatu yang baru bagi Negara Indonesia. Hal ini sangat dipengaruhi oleh Asas konkordansi yang dianut sebagai politik hukum Indonesia pada masa Hindia Belanda dan terus dikembangkan pada masa kemerdekaan menjadikan sebuah contoh nyata, Transplantasi hukum terus berlangsung yang dimulai dari zaman pra Kolonial Belanda, hingga sekarang. Begitu juga mengenai Penyelesaian Sengketa Konsumen yang diamanatkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sehingga dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK pada beberapa kota di Indonesia. Konon Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ditransplantasi dari Common Law System dengan model The Small Claims Court (SCC) dan The Small Claims Tribunal (SCT). Small Claims Court (SCC) dan The Small Claims Tribunal (SCT) berhasil ditransplantasikan dalam hal substansinya tapi gagal dalam penerapannya karena terjadi benturan perbedaan sistem hukum, dimana sistem hukum Indonesia memiliki struktur, substansi dan budaya tersendiri yang berbeda dengan sistem hukum yang lain.
Kata Kunci: Transplantasi, Penyelesaian Sengketa Konsumen
LATAR BELAKANG
Peradaban manusia saat ini sudah memasuki globalisasi yang ditandai dengan keterbukaan dan kebebasan dalam berbagai bidang kehidupan. Globalisasai merupakan perubahan zaman dalam segala aspek kehidupan manusia. Arus globalisasi menghapus batas-batas Negara dalam bidang ekonomi dan segala persoalan ekonomi bergerak bebas di dunia tanpa hambatan di dunia ini. Indonesia sebagai negara yang turut aktif dalam kegiatan perdagangan dunia tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Globalisasi membawa perubahan ditingkat regional, nasional, maupun internasional yang secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap perubahan hukum, dalam setiap perubahan tersebut, hukum harus mampu memberikan legalitas. Globalisasi
Penulis adalah Dosen pengajar Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Universitas Udayana, Denpasar
230 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246 menjadi fenomena sosial yang mempengaruhi hampir semua sektor kehidupan saat ini, mulai
dari sosial, ekonomi, dan tak terkecuali bidang hukum. Dari sekian banyak bidang yang terkena arus perubahan globalisasi, bidang ekonomi merupakan bidang yang paling besar terpengaruh oleh adanya globalisasi, yang ditandai dengan masuknya bidang-bidang ekonomi yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia.
Globalisasi pada sektor ekonomi membawa perubahan paradigma hukum karena setiap perubahan dalam bidang ekonomi, pasti membawa perubahan dalam hukum dan praktik hukum. 1 Hal ini dikarenakan globalisasi memberikan masuknya berbagai macam pranata hukum asing yang menganut sistem hukum Common Law ke dalam sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law. Perubahan tersebut secara tidak langsung mengakibatkan konflik hukum yang disebabkan oleh adanya perbedaan sistem hukum.
Masuknya sistem hukum asing dalam bidang ekonomi ke dalam sistem hukum Indonesia tidak dapat dihindari dan tidak dapat dipandang sebelah mata. Pada tahun 1998 Dewan Perwakilan Rakyat menginisiasi rancangan undang-undang tentang perlindungan konsumen, sehingga tanggal 20 April 1999 diundangkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut sebagai UUPK), dan berlaku setahun kemudian. Terbitnya UUPK bukan hanya berupa inisiatif, kebutuhan dan desakan dari dalam negeri saja namun dibalik itu adanya ketergantungan antar negara yang menjadi dampak dari globalisasi.
Lahirnya UUPK bertujuan memberikan akses keadilan (acces to justice) bagi konsumen dalam proses penyelesaian sengketa melawan pelaku usaha. Pasal 1 UUPK menyatakan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Penjelasan Umum UUPK mengatur bahwa pembentukan UUPK merupakan upaya pemberdayaan konsumen agar dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Dalam penjelasan umum juga dijelaskan bahwa UUPK merupakan payung (umbrella act) yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum dibidang perlindungan konsumen.
Sengketa konsumen merupakan sengketa pelanggaran hak-hak konsumen, dengan ruang lingkupnya yang mencakup semua segi hukum, mulai dari perdata, pidana dan Tata Negara, berdasarkan alur yang dibangun dalam UUPK. Sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua cara, yang pertama adalah melalui lembaga peradilan. Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan dalam prakteknya tidak mudah dilakukan karena berbagai sebab yang
1 Gunawan Widjaya, 2008, Transplantasi Trusts Dalam KUH Perdata, KUHD dan Undang Undang Pasar Modal, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. h.21
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen 231
bersifat yuridis politissosiologis, hal ini dipengaruhi oleh kredibilitas dan konsistensi lembaga peradilan atas putusan-putusannya. Disamping itu penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan menghasilkan kesepakatan bersifat adversarial yang belum mampu mengakomodir kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat, membutuhkan biaya
mahal, tidak responsive dan menimbulkan permusuhan di antara para pihak. 2 Cara yang kedua adalah melalui lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, lembaga ini menjadi harapan dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Lembaga ini diharapkan mampu mengakomodir asas trilogi peradilan “sederhana, cepat dan biaya ringan”. Pasal 47 UUPK mengatur bahwa penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan di luar pengadilan, diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi.
Salah satu lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut sebagai BPSK). BPSK merupakan sebuah lembaga alternatif penyelesian sengketa konsumen di luar pengadilan yang diharapkan menjadi tumpuan konsumen untuk dapat menyelesaiakan sengketa dengan pelaku usaha secara sederhana, cepat dan biaya ringan serta adil. Tetapi penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK masih ditemukan berbagai permasalahan dan kendala diantaranya mengenai hukum acara, inkonsistensi perundang-undangan dan sumber daya. BPSK merupakan sebuah lembaga yang diadopsi dari Small Claim Tribunal (selanjutnya disebut sebagai SCT) dan Small Claim Court (selanjutnya disebut sebagai SCC), BPSK justru masih terbelenggu dengan pengaturan yang sangat rumit dalam UUPK. Beberapa pasal UUPK saling bertentangan, selain itu permasalahan sumber daya manusia dan infrastruktur sertab anggaran yang belum memadai. Anggota BPSK sebagaian besar masih berpedoman pada hukum positivistik, sangat kaku dan normatif dalam membaca teks undang-undang.
Permasalahan yang dihadapi BPSK sebagai lembaga yang mengadopsi SCT dan SCC adalah dikarenakan adanya perbedaan sistem hukum, dimana sistem hukum Indonesia memiliki struktur, substansi dan budaya tersendiri yang berbeda dengan sistem hukum Common Law. Sehingga memerlukan perubahan dan pembaharuan hukum dalam Transplantasi Common Law Sistem terhadap penyelesaian sengketa konsumen di Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law.
2 Rachmadi Usman, 2013, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.5
232 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246
TRANSPLANTASI HUKUM
Ada beberapa batasan mengenai pengertian Transplantasi Hukum yang dikemukakan oleh beberapa ahli diantaranya:
1. Alan Watson mengemukakan bahwa Transplantasi Hukum merupakan “the borrowing and transmissibility of rules from one society or sistem to another ”. Definisi semacam ini
bisa disebut sebagai definisi yang luas, yang mempertimbangkan bukan saja pembentukan hukum sebagai hubungan antar negara melainkan pula pengaruh dari tradisi hukum
antar masyarakat. 3 Alan Watson, memperkenalkan istilah Legal transplants atau legal borrowing, atau legal adoption 4 untuk menyebutkan suatu proses meminjam atau mengambil alih atau memindahkan hukum dari satu satu negara atau dari satu bangsa ke tempat, negara atau bangsa lain kemudian hukum itu diterapkan di tempat yang baru bersama-sama dengan hukum yang sudah ada sebelumnya.
2. Black’s law dictionary menyangkut legal reception memiliki makna dimana keberadaan suatu wilayah hukum tertentu bisa memberikan pengaruh pada pembentukan hukum di
wilayah hukum lainnya.
3. Frederick Schauer memberikan pengertian dari sudut pandang ahli pemerintahan legal transplantation sebagai “…the process by which laws and legal institutions developed in one country are then adopted by another.” 5
4. Tri Budiyono, Transplantasi Hukum 6 adalah pengambilalihan aturan hukum (legal rule), ajaran hukum (doctrine), struktur (structure), atau institusi hukum (legal institution) dari
suatu sistem hukum yang lain atau dari wilayah hukum ke wilayah hukum yang lain. Transplantasi hukum dapat menimbulkan harmonisasi hukum apabila adanya kesesuaian yang meliputi aturan hukumnya, ajaran hukumnya, struktur hukumnya, atau institusi hukumnya. Semuanya bergantung dari substansi yang ditransplantasikan.
Dengan mengutip Esin Orucu, 7 Alan Watson menyimpulkan bahwa: “Transplantasi hukum itu masih ada dan akan terus hidup dengan baik sebagaimana juga halnya pada masa Hammurabi. Lebih lanjut Esin Orucu menyatakan:
3 Tri Budiyono, 2009, Transplantasi Hukum Harmonisasi dan Potensi Benturan Studi Transplantasi Doktrin Yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, Griya Media, Salatiga, h. 9
4 Alan Watson, 1974, Legal Transplants an Approach to Comparative Law, Scottish Academic Press, America, h. 22.
5 Frederick Schauer. The Politics and Incentives of Legal Transplantations. CID (Center for International Development at Harvard University) Working Paper No. 44. April 2000.
6 Tri Budiyono, Menggagas Sintesa Global-Lokal dalam Membangun Hukum Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum, Edisi April-Oktober 2002, hal. 1
7 Alan Watson, Op. cit., h. 5.
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen 233
What is regarded today as the theory of ‘competing legal systems’, albeit used mainly in the rhetoric of ‘law and economics’ analysis, was the basis of the reception of laws that formed the Turkish legal system in the years 1924-1930. The various Codes were chosen from what were seen to be ‘the best’ in their field for various reasons. No single legal system served as the model. The choice was driven in some cases by the perceived prestige of the model, in some by efficiency and in others by chance. 8
Orucu (Orucu adalah guru besar Emeritus di University of Glasgow, UK, Erasmus Universiteit, Rotterdam-Netherlands law at Yeditepe University, Istanbul-Turkey) memberi kesimpulan, bahwa tidak ada satu sistem hukum yang tunggal yang dijadikan model pembangunan hukum di berbagai negara. Dengan mengambil contoh pada masyarakat Turki, Orucu menjelaskan bahwa Turki pasca runtuhnya dinasti Osmania telah mengambil banyak sistem hukum yang dijadikan model bagi pembangunan hukum di negerinya. Hukum pidana dan hukum perdata diambil dari Swiss, sedangkan hukum administrasi negara diambil dari model hukum Prancis. Dengan memilih berbagai model hukum, melalui kebijakan transplantasi kata Orucu Turki di bawah rezim Mustafa Kemal Al-Taturk, berhasil meletakkan politik hukum transplantasi menjadi alat legitimasi budaya, karena pada akhirnya model hukum yang dipilih tidak terikat pada salah satu budaya yang dominan.
Hal di atas kini dialami pula oleh sebuah negara baru yang merupakan pecahan Indonesia, Timor Leste, yang harus melakukan harmonisasi terhadap produk-produk bentukan hukum Indonesia, hukum Portugis, hukum adat, dan hukum dari wilayah Amerika latin, mulai dari isi konstitusinya sampai dengan prosedur berperkara di pengadilan. 9
Transplantasi Hukum sebagai kebijakan pembangunan hukum nasional merupakan pilihan politik yang sesuai dengan jiwa dan roh hukum Indonesia, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, dasar ideologis-filosofis Pancasila yang merupakan the original paradicmatic value of Indonesian culture and society, adalah pilihan politik dalam aktivitas pembuatan norma hukum konkrit (basic policy) tanpa harus mengabaikan posisi dan keberadaan Indonesia ditengah-tengah pergaulan internasional. Dengan demikian hukum yang dilahirkan adalah
hukum yang commit nationally, think globaly and act locally. 10 Kebijakan membuat undang- undang (basic policy) yang memadukan unsur yang bersumber dari hukum asing dengan hukum yang bersumber dari the original paradicmatic values of Indonesian culture and society
8 Alan Watson, 2006, Legal Transplants and European Private Law, University of Belgrade School of Law, Pravni Fakultet, Belgrade, h. 6-7.
9 Duarte Tilman Soares, Perbandingan Penerapan Hukum Nasional Timor Leste dengan Hukum yang berlaku di Indonesia. Makalah seminar di fakultas hukum uksw, tanggal 18 Februari 2003.
10 Evaristus Hartoko W, 2002, Good Corporate Governance in Indonesia, Griffin’s View on International and Comparative Law, Volume 3 Number 1, Januari 2002, h. 103
234 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246 haruslah dilakukan secara cermat dan penuh perhitungan, agar hukum yang akan diberlakukan
di negeri ini tidak tercabut dari akar ideologis-filosofis negara dan bangsa Indonesia. 11
PENGERTIAN SENGKETA DAN SENGKETA KONSUMEN
Istilah sengekta dan konflik seringkali digunakan secara bergantian dan dianggap memiliki pengertian yang sama, namun sebenarnya dua terminologi ini memiliki karekteristik yang berbeda. Tidak setiap konflik menimbulkan sengketa, sebaliknya setiap sengketa adalah
konflik. 12 Apabila kajian dari sudut pandang psikologi, dikenal jenis konflik kejiwaan yang bukan persengketaan hukum. Satu konflik yang mengemuka biasanya mempercepat satu krisis mental, dan bisa dibedakan dari konflik dasar (root conflict) yang timbul sejak kanak-kanak. Begitu pula di bidang sosiologi dikenal konflik kelompok (group conflict) dan lain-lain. 13
Konflik atau sengketa berasal dari terminologi kata bahasa Inggris conflic, yang berarti persengketaan, perselisihan, percekcokan atau pertentangan. Konflik atau persengketaan tentang sesuatu terjadi antara dua pihak atau lebih. Masyarakat pada saat ini dihadapkan pada beberapa pilihan penyelesaian sengketa, sesuai dengan tingkat kepentingan dan pemenuhan kebutuhan dasarnya dalam mamandang konflik atau sengketa itu sendiri. Konflik atau sengketa dapat diselesaikan melalui mekanisme litigasi, non litigasi maupun advokasi. 14
Laura Nader dan Harry Tood membedakan pengertian conflict (perselisihan) dengan dispute (sengketa), bahkan conflict (perselisihan) sendiri dapat dibedakan antara pre-conflict (praperselisihan) dan conflict (perselisihan). Nader dan Todd memberikan pengertian konflik adalah perselisihan yang hanya melibatkan kedua pihak saja, sedangkan sengketa adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang sudah bersifat terbuka dan penyelesaiannya melibatkan pihak ketiga. 15
Sengketa menurut B.N. Marbun adalah pertikaian, perselisihan atau sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, yang bisa meningkat menjadi sengketa hukum. 16 Sedangkan Witanto memberikan pengertian sengketa sebagai konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
11 Ibid, h.109 12 Abu Rohmad, 2008, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo Press, Semarang, h. 9 13 Ahmad Ali, 2004, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Iblam, Jakarta, h. 63. 14 Rachmad Syafa’at, 2006, Mediasi dan Advokasi Konsep dan Implementasinya, Agritek YPN Malang Kerjasama
dengan SOFA Press, Malang, h. 33. 15 Ihromi, 1993, Beberapa Catatan Mengenai Metode Sengketa yang Digunakan Dalam Antropologi Hukum, dalam
Antropologi Hukum; Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, h. 210-211. 16 B.N. Marbun, 2006, Kamus Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. h. 285
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen 235
kepentingan yang sama atau suatu objek kepentingan yang bisa menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain 17
Berdasarkan kedua pengertian sengketa diatas, maka dapat diuraikan menjadi beberapa elemen antara lain: 18
1. Adanya dua pihak atau lebih;
2. Adanya Hubungan atau kepentingan yang sama terhadap objek tertentu;
3. Adanya pertentangan dan perbedaan persepsi;
4. Adanya akibat hukum. Sengketa merupakan fenomena yang universal yang dapat dijumpai pada setiap lapisan
masyarakat. Bagaimana sengketa tersebut diselesaikan, tidak ada suatu bentuk yang seragam, artinya pihak yang bersengketa dapat melakukan berbagai pilihan tindakan dengan tujuan agar sengketa tersebut dapat diselesaikan. 19
Cristoper W. Moore, membedakan sengketa menjadi 2 (dua), yaitu sebagai berikut: 20
a. Sengketa atau konflik yang tidak realistik (unrealistic conflict), yaitu ketika para pihak bertindak seolah-olah mereka berkonflik, meskipun tidak ada kondisi objektif bagi kelanjutan konflik dan;
b. Konflik yang realistik (realictic conflict) merupakan betul-betul berasal dari konflik- konflik interest.
Sedangkan A.Z. Nasution, 21 memberikan pengertian bahwa sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tergantung produk konsumen, barang dan jasa konsumen tertentu.
Sedangkan Sidharta 22 menyatakan bahwa sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen
Dalam UUPK menyebutkan bahwa sengketa konsumen merupakan bagian dari institusi administrasi Negara yang mempunyai tugas untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini adalah BPSK. Pasal 1 butir 11 UUPK mengatur bahwa yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
17 D. Y Witanto, 2011, Hukum Acara Mediasi (dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan), Alfabeta, Bandung, h. 2
18 Ibid, h. 3 19 Kurniawan, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Problematika Kedudukan dan Kekuatan Putusan BPSK, UB
Press, Malang, h. 44. 20 Cristoper W. Moore, 1996, The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict, Jossey-Bass
Publishers, San Francisco, h. 162. 21 A.Z. Nasution, 2004, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.221
22 Sidharta,2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, h.135
236 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI INDONESIA HASIL TRANSPLANTASI DARI COMMON LAW SYSTEM
Sistem hukum adalah kesatuan peraturan hukum, yang terdiri atas bagian yang mempunyai kaitan interaksi antara satu dengan yang lainnya, tersusun sedemikian rupa menurut asas- asasnya, yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
Sistem hukum dunia bermula dari pemikiran Plato mengenai Negara hukum dengan konsepnya, “bahwa penyelenggaran Negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan yang baik yang disebut dengan istilah “nomoi”. 23 Selanjutnya dikembangkan menjadi dua sistem hukum besar, yaitu pertama sistem hukum Eropa Kontinental (sistem hukum Civil Law) dengan istilah Rechtstaat. Sistem hukum Eropa Kontinental yang biasa disebut dengan Civil Law berkembang di Negara-negara Eropa daratan (Barat). Pertama kali di Perancis, kemudian diikuti oleh Negara-negara Eropa Barat lainnya seperti Belanda, Jerman, Belgia, Swiss dan Italia, selanjutnya berkembang ke Amerika Latin dan Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan pemerintah Hindia Belanda). Kedua system hukum Anglo Saxon yang biasa disebut Common Law berkembang di Negara-negara Anglo Saxon, seperti Inggris dengan Negara-negara jajahannya, seperti Amerika, Australia, India, Pakistan, Malaysia, dan sebagainya. Civil Law adalah sistem hukum Barat yang merupakan sistem hukum modern yang diadopsi hampir oleh mayoritas bangsa-bangsa di dunia. Prinsip utama yang mendasari sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil Law adalah bahwa hukum memperoleh kekuatan
mengikat karena diwujudkan. Menurut Frederich Julius Stahl 24 , konsep sistem hukum ini ditandai oleh empat unsur pokok, yaitu:
1. Perlindungan Hak Asasi Manusia,
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu,
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan. Kekuatan mengikat karena diwujudkan artinya bahwa hukum memperoleh kekuatan
mengikat karena diwujudkan dalam peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematis di dalam kodifikasi dan kompilasi tertentu semata-mata untuk kepastian hukum. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau pergaulan atau hubungan dalam masyarakat di atur dalam peraturan-peraturan tertulis. Sehingga Hakim menurut sistem hukum Civil Law tidak leluasa untuk menciptakan hukum yang mengikat masyarakat, putusan
23 Satjipto Raharjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 255-257 24 Mariam Budiardjo, 1982, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, h.58
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen 237
Hakim dalam suatu perkara, hanyalah mengikat pihak yang berperkara saja (doctrins Rea Ajudicata).
Sumber hukum pada sistem Civil Law meliputi:
1. Undang-undang yang dibentuk pemegang kekuasaan legislatif;
2. Peraturan-peraturan yang dibuat pegangan kekuasaan eksekutif berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang-undang;
3. Kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang.
Berdasarkan sumber hukum tersebut, maka kaidah hukum dalam sistem Civil Law adalah:
1. Hukum bersifat konservatif;
2. Hakim hanya mene-rapkan isi rumusan hukum tertulis;
3. Hakim hanya sebagai cerobong undang-undang;
4. Jika terjadi pertentangan antara undang-undang dengan yuris-pruensi, maka dimenangkan undang-undangnya;
5. Indonesia menganut sistem Common Law dan Civil Law dengan skala prioritas Civil Law diiringi Common Law.
Sedangkan sistem hukum Common Law, merupakan sistem hukum yang berkembang di bawah pengaruh sistem yang bersifat adversarial dalam sejarah England berdasarkan keputusan pe-ngadilan yang berdasarkan tradisi, custom, dan pre-seden. Bentuk reasoning yang digunakan dalam Common Law dikenal dengan casuistry atau case based reasoning. Common Law dapat juga berbentuk hukum tak tertulis ataupun hukum tertulis seperti tertuang dalam statutes maupun codes.
Sistem Common Law merupakan sistem hukum yang memakai logika berpikir induktif dan analogi. Sistem hukum Common Law memiliki konsep Rule of Law yang menekankan pada tiga tolak ukur:
1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya suatu kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam artian seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama dalam menhadapi hukum (equality before the law), ketentuan ini berlaku bagi orang biasa ataupun pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang, serta keputusan pengadilan. 25
25 Ibid
238 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246 Sumber hukum sistem hukum Common Law adalah:
1. Putusan-putusan pengadilan atau hakim (judicial decision), yaitu hakim tidak hanya berfungsi sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum, tetapi tidak juga membentuk seluruh tata kehidupan dan menciptakan prinsip- prinsip baru (yurisprudensi);
2. Kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis undang-undang dan peraturan administrasi Negara. Dengan berdasarkan sumber hukum tersebut, kaidah hukum dalam sistem Common Law adalah:
a. Hukum merupakan lembaga kebudayaan yang te-rus mengalami perkembangan;
b. Hukum merupakan hasil daya cipta manusia;
c. Hukum tidak memer-lukan kodifikasi, karena hukum yang terkodifikasi hanyalah sebagian saja dari hukum;
d. Putusan pengadilan adalah hukum. Perbedaan yang sangat mendasar antara kedua sistem hukum tersebut dapat dilihat dalam
sistem hukum Civil Law mengambil bentuk tertulis yang dikodifikasikan dalam perundang- undangan. Sedangkan sistem hukum Common Law lebih mengacu kepada hukum kebiasaan (customary law) yang cenderung tidak tertulis. Sehingga sumber hukum utama dari Civil Law adalah peraturan perundang-undangan walaupun terdapat sumber hukum lain, seperti kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin. Berbeda dengan sistem hukum Common Law yang sumber hukum utamanya adalah yurisprudensi (judge made by law/binding force of precedent), dimana masalah-masalah hukum diselesaikan kasus perkasus dan hasilnya tercermin dalam putusan-putusan hakim (yurisprudensi). Proses peradilan dengan sistem juri dikenal dalam sistem hukum Common Law tidak dikenal dalam sistem Civil Law.
Sudikno Mertokusumo mengatakan, sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. 26
Lawrence M. Friedman 27 , berpendapat bahwa sistem hukum merupakan satu sistem yang meliputi elemen-elemen struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Friedman memberikan pandangan terhadap ketiga unsur tersebut sebagai berikut:
a. Struktur hukum merupakan kerangka dari sistem hukum tersebut secara keseluruhan. Struktur hukum memberi bentuk pada sistem hukum, yang menopang sistem hukum tersebut. Bagaimana selanjutnya pendelegasian wewenang pada masing-masing lembaga
26 Titik Triwulan Tutik,2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 10 27 Lawrence M. Friedman, American Law: as an Introduction, Jurnal Keadilan Vol. 2 No. 1 Tahun 2002.
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen 239
dalam negara, yang menjadi hak dan wewenang masing-masing, termasuk sistem pera- dilan yang berjalan di suatu negara.
b. Substansi hukum yang merupakan aturan-aturan hukum yang berlaku, norma-norma dan pola perilaku setiap anggota masyarakat yang berada dalam sistem itu. Substansi ini berkaitan dengan produk hukum positif yang berkaitan dengan produk legislatif. Substansi hukum inilah yang mengisi sistem hukum, yang menentukan bagaimana suatu masyarakat dapat dan harus berjalan, mana yang boleh dilakukan mana yang tidak boleh dilakukan.
c. Budaya hukum, yaitu sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum, bersama-sama dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya baik secara positif maupun
negatif. 28 Budaya hukum ini oleh Friedman, disebut sebagai bensinnya motor keadilan (the legal culture provides fuel for motor of justice
Seluruh peraturan hokum dalam suatu Negara dapat dikatakan sebagai suatu system hokum, dalam suatu system hokum terdapat berbagai macam bidang hokum yang masing- masing mempunyai system tersendiri sehingga terdapat system hokum perdata, pidana, system hokum Tata Negara, system hokum ekonomi dan sebagainya, masing-masing system tersebut memiliki karakter masing-masing.
Karakter hokum nasional Indonesia berupa sitem hokum campuran (mixed legal sytem), namun lebih banyak diisi oleh tradisi hokum barat, baik dalam lingkungan hokum public maupun hokum privat. Suatu Negara juga memiliki system hokum asli dengan dipengaruhi sistem hukum besar dunia yang saling berpengaruh sama kuatnya. Variasi pertemuan sistem
hokum tersebut menurut Esin Orucu 29 , dapat terjadi pada tingkatan ide, konsep, dan solusi serta pada tingkatan struktur, istitusi, dan metode. Dalam suatu sistem, peraturan-peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan, sebagai konsekuensi adanya keterkaitan antara aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat.
Pertemuan suatu system hokum dapat dilakukan dengan cara adopsi system hokum. Adopsi adalah masuknya pranata hukum asing yang mempunyai sistem hukum yang berbeda merujuk pada perpindahan norma-norma hukum atau ketentuan hukum tertentu dari suatu Negara tertentu ke Negara lain selama suatu proses pembuatan hukum. Adopsi hukum sering dilakukan pada pembuatan peraturan perundang-undangan, dimana legislatif mempunyai dua opsi pilihan dalam membuat aturan, yaitu meminjam atau mengambil alih hukum atau
28 Ibid 29 Esin Orucu, Critical Comparative Law: Considering Paradoxes for Legal System in Transition, Vol. 4.1, June
2000, Netherlands Comparative Law Association p. 27.
240 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246 undang-undang yang telah ada dan berlaku pada Negara lain, atau melakukan sendiri proses
pencarian norma-norma dan kaidah-kaidah hukum yang dianggap cocok dan sesuai dengan identitas bangsa dan negara tersebut yang sejalan dengan tradisi, budaya, dan sejarahnya negaranya, karena setiap Negara memiliki tradisi, budaya, sejarah, dan identitas yang berbeda. Masuknya pranata hukum yang berasal dari tradisi hukum Anglo Saxon dengan sistem hukumnya Common Law ke seluruh dunia memberikan alasan dilakukannya adopsi pranata hukum asing karena:
a. Transplantasi hukum dilakukan dengan mudah, cepat, dan merupakan sumber hukum baru yang potensial;
b. Transplantasi hukum seringkali mengikuti suatu masa pejajahan (kolonialisme); dan
Transplantasi hukum tidak lepas dari peran serta kalangan ahli hukum, yang cenderung mencontoh hukum yang bagi mereka diangap baik dan bagus
Masuknya sistem hukum Common Law dalam pranata ekonomi Indonesia, memerlukan suatu penyesuaian karena hukum harus memberikan legalitas terhadap segala perubahan yang terjadi, agar pranata hukum asing tersebut tidak terganggu dan saling bertabrakan. Untuk itu reformasi di bidang hukum sebagai akibat masuknya pranata hukum asing di Indonesia merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Perubahan hukum tersebut mencakup pembaharuan dalam berpikir, tingkah laku, pola hidup yang sesuai dengan tuntutan perkembangan. Perbedaan sistem hukum ini harus dapat diatasi dengan pembaharuan hukum sebagaimana konsep dan pendapat Mochtar Kusumaatmaja, bahwa fungsi hukum
sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” 30 (law as a tool social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang. 31 Hukum sebagai katalisator, hukum dapat membantu untuk memudahkan terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum (law reform) dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi hukum 32
Lebih jauh Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih luas dari hukum sebagai alat karena:
a. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada tempat lebih penting.
30 Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003, h. 7.
31 Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 5
32 I Putu Rasmadi Arsha Putra, I Ketut Tjukup dan Nyoman A. Martana, Tuntutan Hak dalam Penegakan Hak Lingkungan (Environmental Right) Jurnal Hukum Acara Perdata, Vol. 2, No. 1, Januari – Juni 2016 h.98
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen 241
b. Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu.
c. Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional.
Tahun 1999, pemerintah Indonesia mengundangkan UUPK. Pasal 45 ayat (2) UUPK mengatur bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Sedangkan dalam Pasal 47 UUPK mengatur penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak terjadi kembali atau tidak terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan, maka dibentuk BPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UUPK.
Berdasarkan amanat Pasal 49 UUPK, BPSK pertama kali diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar. Kemudian pada tahun yang sama, pemerintah melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 350/ MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).