Middle Class Matters Analisis Keterlibat
Middle Class Matters: Analisis Keterlibatan Aktor dan Relasi Kuasa
dalam British Exit
Disusun sebagai tugas mata kuliah European Governance
Dosen Pengampu: Suci Lestari Yuana, M.I.A
Disusun oleh:
Naomi Resti Anditya
14/364286/SP/26076
Dea Sona Alamanda
14/364549/SP/26123
Michelle Harland
14/367555/SP/26427
Jerrico Syahputra
15/384143/SP/26855
M. Febrian Ramadhani
14/363554/SP/26056
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
23 Juni 2016 merupakan tanggal yang sangat bersejarah bagi Uni Eropa. Belum pernah
ada preseden terkait dengan implementasi Artikel 50 dalam Perjanjian Maastricht
sebelumnya, dan Inggris mengawali keluarnya anggota dalam Uni Eropa. Rencana
mengenai referendum ini telah lama diatur, dan hasil yang keluar bagi banyak orang tidak
terlalu mengejutkan. Sejarah mencatat perdebatan mengenai identitas Inggris sebagai
bagian atau bukan bagian dari Eropa. Inggris terkenal menjadi ‘sarang’ dari orang-orang
yang merasa skeptis dengan integrasi Uni Eropa dan mencoba untuk menegosiasikan
posisinya agar tidak subordinat di bawah organisasi supranasional seperti Uni Eropa.
Diprediksikan bahwa setelah Inggris akan ada negara-negara lain yang terdorong untuk
keluar dari Uni Eropa, mengikuti skeptisme terhadap Uni Eropa yang semakin runcing.
Terdapat banyak penjelasan yang mencoba memahami krisis di Uni Eropa yang paling
jelas diawali oleh Brexit. Beberapa menekankan pada isu identitas, melemahnya
interdependensi dalam isu ekonomi, kehadiran negara ‘hegemonik’ seperti Jerman,
maupun penjelasan yang berkaitan dengan cara-cara Uni Eropa mengimplementasikan
kebijakannya.
Dengan menggunakan pendekatan tata kelola, makalah ini hendak menjelaskan
keluarnya Inggris dari Uni Eropa karena melemahnya jaringan antaraktor menyetujui
pemberlakuan kebijakan dan cara-cara Uni Eropa. Kami akan menjelaskan di dua level:
level domestik dan level regional. Di level domestik, dengan menggunakan teori kelas
menengah dari Rueschemeyer, kami berargumen bahwa kelompok ini sebenarnya samasama menunjukkan kekuatan kelas menengah, akan namun kelompok kelas menengah
yang dapat memobilisasi kelas lower middle class-lah yang menang, dan itu ditunjukkan
oleh kelompok Leave, kelompok yang merasa tidak diuntungkan dari integrasi ini.
Sedangkan di level regional, Inggris juga seringkali tidak merasa diuntungkan dengan
integrasi, baik karena masalah power ataupun masalah identitas.
1.2 Rumusan Massalah
Bagaimana menjelaskan isu British Exit dengan penekanan pada agensi kelas menengah?
1.3 Kerangka Konseptual
Pendekatan Governance
Makalah ini akan menggunakan pendekatan tata kelola (governance) untuk memahami
disintegrasi Uni Eropa yang tercermin dari Brexit. Di dalam pendekatan governance¸
terdapat tiga fokus analisis, yaitu politics, policy, dan polity. Dalam politics, analisis akan
berpusat pada aktor, sedangkan dalam policy pada kebijakan, dan polity pada
implementasi kebijakan. Makalah ini akan menggunakan fokus politics dan hendak
menganalisis beberapa poin, yaitu konteks politik domestik di dalam Inggris, keterlibatan
(involvement) aktor-aktor yang berperan dalam Brexit di dalam Inggris maupun di Uni
Eropa, serta relasi kuasa antaraktor tersebut.1
Analisis yang digunakan dalam makalah ini sangat menekankan pentingnya agensi;
bahwa agensi atau aktorlah yang menentukan keluar atau menetapnya Inggris dalam Uni
Eropa. Kami melihat bahwa ketimpangan kelas dan ketimpangan kekuatan Inggris di Uni
Eropa sangat memengaruhi perilaku pemilih di Inggris.
Teori Kelas Menengah Rueschemeyer (1992)
Agensi yang ditekankan dalam tulisan ini adalah kelas menengah. Dalam Capitalist
Development and Democracy, penelitian Rueschemeyer et al. di Amerika Latin
membawa suatu teori baru untuk menjelaskan pra-kondisi demokrasi yang disertai
dengan perkembangan kapitalis. Dalam rumusannya, ia menjelaskan bahwa agensi kelas
menengah sangat penting dalam menentukan arah demokrasi dan perkembangan
kapitalisme. Pada mulanya, ia menggambarkan sebuah piramida yang menjelaskan
struktur kelas yang ada di Amerika Latin.
Upper Class/Aristokrat
Memiliki akses politik dan
tanah
Middle Class
Kaya tetapi tidak punya akses politik
1 Commission of the European Community, European Governance: A White Paper, Brussel, 2001.
Lower Class
Tidak memiliki akses
apapun
Meskipun berawal dari penelitian di Amerika Latin, akan tetapi piramida ini juga
dapat berlaku di Eropa, karena struktur kelas yang diakibatkan oleh penjajahan di Amerika
Latin cenderung sama dengan struktur kelas di negara asli penjajah. Kelas atas dikuasai oleh
aristokrat, yaitu kaum kerajaan yang memiliki seluruh tanah dan kekuatan politik. Kelas
menengah merupakan orang-orang kaya, yang sebagian bekerja untuk kerajaan, misalnya
seniman, akademisi, penasihat kerajaan, dan posisi lain yang memungkinkan mereka untuk
menjadi kaya, tetapi bagaimanapun, mereka tidak memiliki akses politik yang luas.
Sedangkan kelas bawah merupakan kelompok yang tidak memiliki akses politik maupun
sumber daya. Karena dipengaruhi semangat Era Pencerahan, kelompok kelas menengah yang
memiliki akses sumber daya ini merasa bahwa seluruh manusia memiliki hak sosial dan hak
politik. Dua agenda itulah yang membuat kelas menengah menggulingkan kelas aristokrat
dan membuat sebuah political opening. Dua agenda itu pula yang memungkinkan terjadinya
demokratisasi. Tidak hanya demokratisasi, tetapi Rueschemeyer juga berbicara mengenai
demokratisasi di Barat yang seperti tidak lepas dari logika kapitalisme. 2 Apabila kita masih
bertumpu pada analisis kelas, maka dapat dikatakan bahwa integrasi Uni Eropa, meskipun
dianggap proyek perdamaian, namun penggeraknya mula-mula adalah kelas menengah yang
ingin mendapatkan akses pasar lebih luas dan mengekspansi modalnya. Kelas bawah hanya
menjadi basis legitimasi kelas menengah. Apabila kelas bawah mulai mengancam, biasanya
kelas menengah akan mengendurkan hak-hak politik dan hak sosial mereka.
Dari teori kelas menengah tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkara integrasi
atau disintegrasi di Uni Eropa sebenarnya sama-sama merupakan agenda kelas menengah.
Akan tetapi, dengan situasi ekonomi Uni Eropa dan situasi ekonomi global, tidak semua
kelas menengah setuju dengan ekspansi modal secara transnasional, dan lebih penting lagi,
tidak semuanya diuntungkan dari integrasi ini. Sehingga sangat mungkin terjadi split di
antara kelompok kelas menengah. Kelompok yang menang adalah kelompok yang dapat
memobilisasi kelas bawah sebagai basis legitimasi bagi klaim-klaim mereka. Sedikit
tambahan, Inggris juga masih mewarisi feodalisme masa lalu dengan munculnya tuan tanah
(lords) yang ingin muncul kembali melalui akses di parlemen (terutama Partai Konservatif)
dan memberikan dukungannya.
2 D. Rueschemeyer et al., Democracy and Capitalist Development, Cambridge University Press, Cambridge, 1992.
1.4 Argumentasi Utama
Makalah ini berargumen bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa dapat dijelaskan di dua
level: di level domestik, ada kelompok yang kalah dan ada kelompok yang menang dalam
integrasi Inggris dalam Uni Eropa, dan kelompok yang kalah (kelas menengah-bawah)
dimobilisasi oleh kelas menengah Inggris yang menginginkan kedaulatan dan kejayaan
Inggris kembali, dan berjayanya ekonomi Inggris di tanah sendiri. Kekuatan ini lebih
besar daripada kelompok kelas menengah yang merasa diuntungkan dari integrasi ini.
Kelas menengah Inggris terbagi menjadi dua, namun mereka yang anti-EU mendapat
simpati dan dukungan yang lebih besar dari kelas bawah.
Sedangkan di level regional, Brexit (dan diprediksikan negara-negara lain pula) didorong
karena ada ketimpangan kuasa antara Inggris dan negara semi-hegemonik lain seperti
Jerman dan Prancis, terutama rivalitasnya semakin terasa ketika diwarnai oleh krisis di
Uni Eropa lain, seperti isu imigrasi.
BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
2.1 Konteks Politik Domestik dan Regional
Hasil referendum untuk menentukan apakah Inggris keluar dari Uni Eropa atau tidak
memberikan pengaruh yang sangat penting baik bagi Uni Eropa maupun Inggris sendiri.
Masyarakat hingga politisi Inggris terpecah menjadi dua kubu, yakni pendukung Brexit dan
penentang Brexit. Pertempuran antara kedua kubu pun terus memanas hingga terlaksananya
referendum.
Kubu pro Brexit melihat keluarnya Inggris dari Uni Eropa cenderung akan memberikan
keuntungan yang lebih bagi Inggris. Alasan pertama, mereka melihat bahwa jangkauan
kekuasaan Uni Eropa begitu besar hingga berdampak pada kedaulatan Inggris. Kedua,
aturan-aturan yang ditetapkan Uni Eropa cenderung memberikan kerugian bagi Inggris.
Seperti halnya fakta bahwa ‘kontribusi kotor’ yang dibayarkan Inggris setiap tahunnya jauh
lebih tinggi dibandingkan pendapatannya setiap tahun. Dari sekitar 12 milyar euro pajak
yang diberikan setiap tahunnya, Inggris hanya menerima setidaknya 7 milyar saja untuk
pembangunan. Di sisi lain, Inggris pun mengalami defisit perdagangan dengan negara-negara
anggota Uni Eropa. Padahal, Inggris mengalami surplus apabila bekerja sama dengan negaranegara di benua lain. Kemudian alasan yang tidak kalah penting adalah isu terkait imigran.
Dikhawatirkan apabila Inggris terus-menerus mengikuti regulasi Uni Eropa terkait migrasi
dari Timur Tengah, maka dikhawatirkan mengancam keamanan Inggris.3
Menjelang referendum, pertempuran politik Inggris pun terus memanas. Kedua belah
pihak saling menjelek-jelekkan, bahkan melakukan teror. Ditemukan bahwa kubu Brexit
telah meluncurkan sebuah poster besar bergambar gelombang imigran membanjiri Inggris
dengan bahasa-bahasa yang tidak pantas.4 Selain itu, berbagai surat kabar pun menyajikan
berita-berita terkait dengan Brexit. Kedua kubu berlomba-lomba ‘memberi makan’ media
3 Roger Bootle, “why Britain needs 'Brexit’,” The Telegraph, 1 November 2015,
, diakses
pada 17 April 2017.
4 Anealla Safdar, “Brexit: UKIP's 'unethical' anti-immigration poster”, 28 June 2017,
dalam British Exit
Disusun sebagai tugas mata kuliah European Governance
Dosen Pengampu: Suci Lestari Yuana, M.I.A
Disusun oleh:
Naomi Resti Anditya
14/364286/SP/26076
Dea Sona Alamanda
14/364549/SP/26123
Michelle Harland
14/367555/SP/26427
Jerrico Syahputra
15/384143/SP/26855
M. Febrian Ramadhani
14/363554/SP/26056
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
23 Juni 2016 merupakan tanggal yang sangat bersejarah bagi Uni Eropa. Belum pernah
ada preseden terkait dengan implementasi Artikel 50 dalam Perjanjian Maastricht
sebelumnya, dan Inggris mengawali keluarnya anggota dalam Uni Eropa. Rencana
mengenai referendum ini telah lama diatur, dan hasil yang keluar bagi banyak orang tidak
terlalu mengejutkan. Sejarah mencatat perdebatan mengenai identitas Inggris sebagai
bagian atau bukan bagian dari Eropa. Inggris terkenal menjadi ‘sarang’ dari orang-orang
yang merasa skeptis dengan integrasi Uni Eropa dan mencoba untuk menegosiasikan
posisinya agar tidak subordinat di bawah organisasi supranasional seperti Uni Eropa.
Diprediksikan bahwa setelah Inggris akan ada negara-negara lain yang terdorong untuk
keluar dari Uni Eropa, mengikuti skeptisme terhadap Uni Eropa yang semakin runcing.
Terdapat banyak penjelasan yang mencoba memahami krisis di Uni Eropa yang paling
jelas diawali oleh Brexit. Beberapa menekankan pada isu identitas, melemahnya
interdependensi dalam isu ekonomi, kehadiran negara ‘hegemonik’ seperti Jerman,
maupun penjelasan yang berkaitan dengan cara-cara Uni Eropa mengimplementasikan
kebijakannya.
Dengan menggunakan pendekatan tata kelola, makalah ini hendak menjelaskan
keluarnya Inggris dari Uni Eropa karena melemahnya jaringan antaraktor menyetujui
pemberlakuan kebijakan dan cara-cara Uni Eropa. Kami akan menjelaskan di dua level:
level domestik dan level regional. Di level domestik, dengan menggunakan teori kelas
menengah dari Rueschemeyer, kami berargumen bahwa kelompok ini sebenarnya samasama menunjukkan kekuatan kelas menengah, akan namun kelompok kelas menengah
yang dapat memobilisasi kelas lower middle class-lah yang menang, dan itu ditunjukkan
oleh kelompok Leave, kelompok yang merasa tidak diuntungkan dari integrasi ini.
Sedangkan di level regional, Inggris juga seringkali tidak merasa diuntungkan dengan
integrasi, baik karena masalah power ataupun masalah identitas.
1.2 Rumusan Massalah
Bagaimana menjelaskan isu British Exit dengan penekanan pada agensi kelas menengah?
1.3 Kerangka Konseptual
Pendekatan Governance
Makalah ini akan menggunakan pendekatan tata kelola (governance) untuk memahami
disintegrasi Uni Eropa yang tercermin dari Brexit. Di dalam pendekatan governance¸
terdapat tiga fokus analisis, yaitu politics, policy, dan polity. Dalam politics, analisis akan
berpusat pada aktor, sedangkan dalam policy pada kebijakan, dan polity pada
implementasi kebijakan. Makalah ini akan menggunakan fokus politics dan hendak
menganalisis beberapa poin, yaitu konteks politik domestik di dalam Inggris, keterlibatan
(involvement) aktor-aktor yang berperan dalam Brexit di dalam Inggris maupun di Uni
Eropa, serta relasi kuasa antaraktor tersebut.1
Analisis yang digunakan dalam makalah ini sangat menekankan pentingnya agensi;
bahwa agensi atau aktorlah yang menentukan keluar atau menetapnya Inggris dalam Uni
Eropa. Kami melihat bahwa ketimpangan kelas dan ketimpangan kekuatan Inggris di Uni
Eropa sangat memengaruhi perilaku pemilih di Inggris.
Teori Kelas Menengah Rueschemeyer (1992)
Agensi yang ditekankan dalam tulisan ini adalah kelas menengah. Dalam Capitalist
Development and Democracy, penelitian Rueschemeyer et al. di Amerika Latin
membawa suatu teori baru untuk menjelaskan pra-kondisi demokrasi yang disertai
dengan perkembangan kapitalis. Dalam rumusannya, ia menjelaskan bahwa agensi kelas
menengah sangat penting dalam menentukan arah demokrasi dan perkembangan
kapitalisme. Pada mulanya, ia menggambarkan sebuah piramida yang menjelaskan
struktur kelas yang ada di Amerika Latin.
Upper Class/Aristokrat
Memiliki akses politik dan
tanah
Middle Class
Kaya tetapi tidak punya akses politik
1 Commission of the European Community, European Governance: A White Paper, Brussel, 2001.
Lower Class
Tidak memiliki akses
apapun
Meskipun berawal dari penelitian di Amerika Latin, akan tetapi piramida ini juga
dapat berlaku di Eropa, karena struktur kelas yang diakibatkan oleh penjajahan di Amerika
Latin cenderung sama dengan struktur kelas di negara asli penjajah. Kelas atas dikuasai oleh
aristokrat, yaitu kaum kerajaan yang memiliki seluruh tanah dan kekuatan politik. Kelas
menengah merupakan orang-orang kaya, yang sebagian bekerja untuk kerajaan, misalnya
seniman, akademisi, penasihat kerajaan, dan posisi lain yang memungkinkan mereka untuk
menjadi kaya, tetapi bagaimanapun, mereka tidak memiliki akses politik yang luas.
Sedangkan kelas bawah merupakan kelompok yang tidak memiliki akses politik maupun
sumber daya. Karena dipengaruhi semangat Era Pencerahan, kelompok kelas menengah yang
memiliki akses sumber daya ini merasa bahwa seluruh manusia memiliki hak sosial dan hak
politik. Dua agenda itulah yang membuat kelas menengah menggulingkan kelas aristokrat
dan membuat sebuah political opening. Dua agenda itu pula yang memungkinkan terjadinya
demokratisasi. Tidak hanya demokratisasi, tetapi Rueschemeyer juga berbicara mengenai
demokratisasi di Barat yang seperti tidak lepas dari logika kapitalisme. 2 Apabila kita masih
bertumpu pada analisis kelas, maka dapat dikatakan bahwa integrasi Uni Eropa, meskipun
dianggap proyek perdamaian, namun penggeraknya mula-mula adalah kelas menengah yang
ingin mendapatkan akses pasar lebih luas dan mengekspansi modalnya. Kelas bawah hanya
menjadi basis legitimasi kelas menengah. Apabila kelas bawah mulai mengancam, biasanya
kelas menengah akan mengendurkan hak-hak politik dan hak sosial mereka.
Dari teori kelas menengah tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkara integrasi
atau disintegrasi di Uni Eropa sebenarnya sama-sama merupakan agenda kelas menengah.
Akan tetapi, dengan situasi ekonomi Uni Eropa dan situasi ekonomi global, tidak semua
kelas menengah setuju dengan ekspansi modal secara transnasional, dan lebih penting lagi,
tidak semuanya diuntungkan dari integrasi ini. Sehingga sangat mungkin terjadi split di
antara kelompok kelas menengah. Kelompok yang menang adalah kelompok yang dapat
memobilisasi kelas bawah sebagai basis legitimasi bagi klaim-klaim mereka. Sedikit
tambahan, Inggris juga masih mewarisi feodalisme masa lalu dengan munculnya tuan tanah
(lords) yang ingin muncul kembali melalui akses di parlemen (terutama Partai Konservatif)
dan memberikan dukungannya.
2 D. Rueschemeyer et al., Democracy and Capitalist Development, Cambridge University Press, Cambridge, 1992.
1.4 Argumentasi Utama
Makalah ini berargumen bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa dapat dijelaskan di dua
level: di level domestik, ada kelompok yang kalah dan ada kelompok yang menang dalam
integrasi Inggris dalam Uni Eropa, dan kelompok yang kalah (kelas menengah-bawah)
dimobilisasi oleh kelas menengah Inggris yang menginginkan kedaulatan dan kejayaan
Inggris kembali, dan berjayanya ekonomi Inggris di tanah sendiri. Kekuatan ini lebih
besar daripada kelompok kelas menengah yang merasa diuntungkan dari integrasi ini.
Kelas menengah Inggris terbagi menjadi dua, namun mereka yang anti-EU mendapat
simpati dan dukungan yang lebih besar dari kelas bawah.
Sedangkan di level regional, Brexit (dan diprediksikan negara-negara lain pula) didorong
karena ada ketimpangan kuasa antara Inggris dan negara semi-hegemonik lain seperti
Jerman dan Prancis, terutama rivalitasnya semakin terasa ketika diwarnai oleh krisis di
Uni Eropa lain, seperti isu imigrasi.
BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
2.1 Konteks Politik Domestik dan Regional
Hasil referendum untuk menentukan apakah Inggris keluar dari Uni Eropa atau tidak
memberikan pengaruh yang sangat penting baik bagi Uni Eropa maupun Inggris sendiri.
Masyarakat hingga politisi Inggris terpecah menjadi dua kubu, yakni pendukung Brexit dan
penentang Brexit. Pertempuran antara kedua kubu pun terus memanas hingga terlaksananya
referendum.
Kubu pro Brexit melihat keluarnya Inggris dari Uni Eropa cenderung akan memberikan
keuntungan yang lebih bagi Inggris. Alasan pertama, mereka melihat bahwa jangkauan
kekuasaan Uni Eropa begitu besar hingga berdampak pada kedaulatan Inggris. Kedua,
aturan-aturan yang ditetapkan Uni Eropa cenderung memberikan kerugian bagi Inggris.
Seperti halnya fakta bahwa ‘kontribusi kotor’ yang dibayarkan Inggris setiap tahunnya jauh
lebih tinggi dibandingkan pendapatannya setiap tahun. Dari sekitar 12 milyar euro pajak
yang diberikan setiap tahunnya, Inggris hanya menerima setidaknya 7 milyar saja untuk
pembangunan. Di sisi lain, Inggris pun mengalami defisit perdagangan dengan negara-negara
anggota Uni Eropa. Padahal, Inggris mengalami surplus apabila bekerja sama dengan negaranegara di benua lain. Kemudian alasan yang tidak kalah penting adalah isu terkait imigran.
Dikhawatirkan apabila Inggris terus-menerus mengikuti regulasi Uni Eropa terkait migrasi
dari Timur Tengah, maka dikhawatirkan mengancam keamanan Inggris.3
Menjelang referendum, pertempuran politik Inggris pun terus memanas. Kedua belah
pihak saling menjelek-jelekkan, bahkan melakukan teror. Ditemukan bahwa kubu Brexit
telah meluncurkan sebuah poster besar bergambar gelombang imigran membanjiri Inggris
dengan bahasa-bahasa yang tidak pantas.4 Selain itu, berbagai surat kabar pun menyajikan
berita-berita terkait dengan Brexit. Kedua kubu berlomba-lomba ‘memberi makan’ media
3 Roger Bootle, “why Britain needs 'Brexit’,” The Telegraph, 1 November 2015,
, diakses
pada 17 April 2017.
4 Anealla Safdar, “Brexit: UKIP's 'unethical' anti-immigration poster”, 28 June 2017,