Analisis Kebijakan Tentang Arah Pendidik

PENDIDIKAN PADA MASA ORDE LAMA :
ANALISIS KEBIJAKAN TERHADAP
ARAH PENDIDIKAN PRASEKOLAH
Oleh
Rohmad Suphianto

A. Pendahuluan
Pendidikan yang diselenggarakan orang pribumi Indonesia pada awal
abad 20 lebih merupakan reaksi terhadap pendidikan yang diselenggarakan
oleh penjajah. Taman Siswa lahir karena pemerintah penjajah ingin
mematikan rasa kebangsaan dan kebudayaan pribumi dengan sistem
pendidikan barat. Demikian pula sekolah – sekolah Muhammadiyah
muncul karena pemerintah Belanda berusaha memperluas pendidikan dan
pegajaran berdasarkan agama Kristen yang merupakan bagian dari
semboyan 3 G; Gold, Glory dan Gospel (Agung, 2012:1).
Hal di atas berbeda dengan pendidikan di Indonesia pada masa kerajaan
Tarumanegara maupun Sriwijaya yang lebih merupakan upaya dari dalam
diri bangsa waktu itu untuk meraih kejayaan sehingga bisa berekspansi ke
berbagai wilayah di luar kerajaannya semula.
”Nation and Character Building” merupakan salah satu jargon yang
sering disampaikan oleh


Bung Karno pada masa awal kemerdekaan

hingga berakhirnya Orla. Bahkan jargon tersebut menjadi klausul pertama
dalam pertimbangan Penetapan Presiden Nomor 19 Tahun 1965 Tentang
Pokok – Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila.
”Pembangunan Manusia Seutuhnya” muncul sebagai jargon
berikutnya pada masa Orba yang juga mempengaruhi kebijakan
pendidikan pada masa tersebut.
Dari runtutan tersebut terdapat benang merah bahwa pendidikan tidak
berdiri sendiri, tetapi selalu dipengaruhi oleh kekuatan – kekuatan politik,
sosial, ekonomi, kultural. Bahkan kadang pendidikan dipandang sebagai
0

alat politik untuk mengatur dan menguasai perkembangan suatu bangsa
(Nasution, 1994:v)
Analisis kebijakan pendidikan merupakan upaya untuk melihat
bagaimana kebijakan – kebijakan mempengaruhi pendidikan. Makalah ini
merupakan upaya untuk hal tersebut. Makalah ini merupakan panel dari
makalah ”Analisis Kebijakan Pendidikan Orde Lama” yang mengupas

secara

umum

pendidikan

pada

masa

Orla.

Penulis

tertarik

memfokuskannya pada arah pendidikan prasekolah.
Penyusunan makalah ini akan menggunakan produk regulasi sebagai
obyek utama pengkajian. Dari situlah kemudian akan dikembangkan
bagaimana pandangan teori pendidikan tentangya dan bagaimana

kaitannya dengan suasana politik saat itu. Sebelum menganilis
kebijakannya akan terlebih dahulu dipaparkan bagaimana pendidikan
prasekolah pada masa penjajahan yang tentunya sangat berpengaruh besar
pada kebijakan pada masa Orla.
B. Sejarah Pendidikan Prasekolah
Pendidikan prasekolah telah ada pada tahun 1900. Pada waktu itu
menggunakan nama Froebelschool yang mengambil nama tokoh
pendidikan, Froebel (1782 – 1852). Froebelschool menitikberatkan pada
kegiatan bermain; bermain lilin, meronce, menggunting, bernyanyi,
bemain peran, bahasa dan aritmetika. Kemudian pada tahun 1938 menjadi
Bewaarschool (bewaar berasal dari kata bewaren artinya menitipkan).
Atau Vorkschool (sekolah persiapan).(Herlina, 2010:5).
Pada 3 Juli 1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Lare atau
Sekolah Frobel Nasional yang pada akhirnya disepakati dengan nama
Taman Indria, diambil dari kata indra. Taman Indria memfokuskan arah
pendidikannya kepada penajaman ketrampilan-ketrampilan sensorik.
Pada tahun 1922, Persatuan Wanita Aisyiyah juga mendirikan lembaga
pendidikan prasekolah Bustanul Athfal yang pertama. Pembangunan ini
dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa nasionalisme dan


keagamaan

untuk merespon pendidikan yang berkiblat ke Eropa.
Pada zaman penjajahan Jepang, istilah Froebel School ataupun
Bewaarschool diganti dengan Taman Kanak – Kanak. Taman Indria dan
1

Bustanul Athfal tetap pada namanya. Hingga kemerdekaan penggunaan
ketiga istilah tersebut masih tetap, kemudian muncul istilah baru yaitu
Roudlotul Athfal untuk menamakan pendidikan prasekolah yang bernaung
di bawah Departemen Agama. (Patmonodewo, 2003:60).
C. Pokok – Pokok Regulasi
1. Undang – Undang No 4 Tahun 1950 Juncto Undang – Undang No 12
tahun 1954 Tentang Dasar – Dasar Pendidikan dan Pengajaran di
Sekolah.
2. Penetapan Presiden RI Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pokok – Pokok
Sistem Pendidikan Pancasila.
D. Analisis Kebijakan
Pada tanggal 5 April 1950 telah dikeluarkan undang – undang pertama
tentang pendidikan yaitu no 4 Tahun 1950. Kemudian pada tahun 12 Maret

1954 dikeluarkan pula undang

- undang nomor 12 tahun 1954 yang

merupakan juncto dari UU no 4 tahun 1950. Adapun pasal – pasal yang
berkaitan dengan pendidikan prasekolah adalah sebagai berikut :
1. Pasal 3 tentang tujuan umum pendidikan dan pengajaran ialah
membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat
dan tanah air.
2. Pasal 5 ayat 2 yaitu ”Di taman kanak – kanak dan tiga kelas yang
terendah di sekolah rendah bahasa daerah boleh dipergunakan sebagai
bahasa pengantar.
3. Pasal 6 yaitu ”Menurut jenisnya maka pendidikan dan pengajaran di
bagai atas pendidikan: Taman Kanak Kanak, Rendah, Menengah dan
Tinggi.
4. Pasal 7 ayat 1 yaitu ”Pendidikan dan Pengajaran taman kanak – kanak
bermaksud menuntun tumbuhnya rokhani dan jasmani kanak – kanak
sebelum masuk sekolah rendah.”
Kemudian pada tanggal 25 Agustus 1965 dikeluarkan Penetapan

Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Pokok –
Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Adapun pasal – pasal yang
berakaitan dengan pendidikan prasekolah adalah :
2

1. Bab I,

Ketentuan Umum Mukadimah,”Pendidikan Nasional ialah

Pendidikan Bangsa (Nation dan Character Building) yang membina
suatu bangsa yang mampu atas tanggung jawab sendiri menyelesaikan
revolusinya, tahap demi tahap, dengan pengertian bahwa agama adalah
unsur mutlak dalam rangka nation dan character building.
2. Pasal 7, ”Pendidikan Prasekolah diberikan di lembaga Pendidikan
Taman Kanak – Kanak yang masa asuhannya ditetapkan paling lama 3
tahun terhitung mulai anak didik mencapai 4 tahun dan paling tinggi 6
tahun pada awal tahun pelajaran yang bersangkutan.
Berikut ini akan dipaparkan tentang analisis terhadap dua produk
kebijakan di atas sebagai berikut :
1. Analisis Yuridis

UU No 4/1950 dikeluarkan oleh Assat sebagai Wali Negara
Republik Indonesia yang merupakan bagian dari RIS. Meskipun pada
Konstitusi RIS tidak diketemukan pasal tentang pendidikan namun UU
tersebut mendapatkan pijakannya pada UUD 1945 Bab XII pasal 17
yang menyebutkan bahwa tiap – tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran. Kemudian pada 12 Maret 1954 UU No
4/1950 ini diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia yang mana
waktu itu bentuk negara berubah dari RIS ke negara kesatuan.
Pemberlakuan tersebut ditetapkan lewat UU no 12/1954 yang
ditandatangani oleh Presiden Soekarno.
Meskipun berupa UU, kebijakan ini bukan merupakan produk
Dewan Perwakilan Rakyat karena MPR maupun Konstituante baru
terbentuk setelah pemilu pertama yaitu pada tahun 1955. Kelebihan
dari UU ini adalah adanya lampiran penjelasan dari masing – masing
pasal sehingga memudahkan untuk menelusuri serta mengaitkan
dengan aspek – aspek di luar hukum.
Penpres 19/1965 lahir pada saat diberlakukannya kembali UUD
1945. Dalam paragraf ”menimbang” dan ”mengingat”

yang


disebutkan adalah 3 Kepres, 2 Pidato Presiden dan 1 Ketetapan MPRS.
Di sana tidak dibuat rujukan yang berupa UU maupun UUD yang
3

merupakan produk hukum lebih tinggi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa dari segi yuridis Penpres ini belum memiliki pijakan
yang kokoh.
2. Analisis Teoritis
Frobelschool, bewaarschhol maupun voorklas yang didirikan oleh
pemerintah Belanda di Indonesia sangat dipengaruhi minimal oleh 2
tokoh pendidikan : F.W. Frobel dan Maria Montessori. Selain
keduanya adapula John Dewey, Benjamin, Landshears dll (Herlina,
2010:6). Sedangkan untuk pendidikan Taman Indria maupun Bushtanul
Athfal, di samping pengaruh dari para tokoh barat tersebut juga
mendapat pengaruh besar dari tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Frobel yang hidup pada th 1782 – 1852 merupakan tokoh yang
pertama kali merencanakan program yang sistematis untuk pendidikan
prasekolah bahkan kemudian namanya digunakan sebagai jenjang
sekolah Frobelschool (Patmonodewo, 2003:8). Frobel mendesign

sistem pendidikan prasekolah yang menekankan pentingya kanakkanak banyak diberi pelajaran; menyanyi, mendongeng, syair,
bercerita, permainan terstruktur, menggambar dan ketrampilan tangan.
Semua proses ini direncanakan akan mampu mengantarkan tumbuh
secara wajar. (Agung, 2012:168) dan (Patmonodewo, 2013:7).
Dominasi Frobel ini berkurang saat tahun 1938 pemerintah
Belanda memperkenalkan metode Montessori (1870 – 1952) (Herlina,
2010:12). Sebagaimana Frobel, Montessori juga memahami bahwa
pendidikan sebagai aktivitas diri, mengarah pada pembentukan disiplin
pribadi, kemandirian dan pengarahan diri. Penekanan Montessori yang
membedakannya dengan Frobel adalah perlunya pengembangan
seluruh indra, kemampuan individual dan kemampuan membaca dan
menulis sejak dini bahkan dimulai usia 2 tahun (Patmonodewo,
2003:10).
Dominasi Montessori inilah yang patut diduga sebagai salah satu
alasan perubahan Frobelschool menjadi bewaarschool atau voorklas.
4

Bewaarschool ini kemudian berfungsi untuk menyiapkan kanak –
kanak memasuki HIS (Pendidikan Dasar pada masa penjajahan
Belanda) sehingga perlu pandai membaca, menulis dan berbahasa

Belanda (Yuliana, 2010: 3&12).
Pemaparan tentang pemikiran Frobel dan Montessori di atas dapat
membantu untuk menjelaskan tentang tujuan pendidikan prasekolah
pada masa Orla. Pada Pasal 7 ayai 1 UU no 4/1950 tertulis:
”Pendidikan dan Pengajaran taman kanak – kanak bermaksud
menuntun tumbuhnya rokhani dan jasmani kanak – kanak sebelum
masuk sekolah rendah.”
Pada lampiran penjelasan Pasal 7 ayat 1 UU 12/1954 tertulis
bahwa :
”Bukan maksudnya pendidikan dan pengajaran taman kanak-kanak
itu umpamanya mempersiapkan kanak-kanak bagi pendidikan rendah,
melainkan untuk memberikan tuntunan tumbuhnya jasmani dan
rokhani kanak-kanak itu berdasarkan syarat-syarat psychologish”
Jika kedua teks tersebut dipahami secara yuridis maka nampak
paradoks apalagi pada kalimat penjelasan diawali dengan kata ”bukan
maksudnya”. Susunan redaksi pada kalimat pasal, memunculkan
persepsi

bahwa


pendidikan

prasekolah

bertujuan

untuk

mempersiapkan kanak-kanak memasuki pendidikan rendah sedangkan
pada kalimat penjelasan ditekankan bahwa pendidikan prasekolah
bukan untuk mempersiapkan kanak – kanak memasuki pendidikan
rendah.
Kedua teks tersebut dapat dipahami saat dikaitkan dengan tarik
menarik antara pemikiran Frobel dengan
pembahasan

sebelumnya.

Pemikiran

Montessori pada

Montessori

dan

sistem

Bewaarschool dan voorklas nampak berpengaruh pada kalimat pasal
namun kemudian direduksi pada kalimat penjelasan.
Dialog pemikiran ini akan semakin menarik saat dihadirkan di sini
pemikiran Dewey (1859 – 1952) dengan konsep ’Child-centered
schools” nya. Menurutnya sekolah sebaiknya mempersiapkan anak

5

guna menghadapi kehidupan masa kini bukan masa yang akan datang
yang belum jelas. Dalam kelas yang mengikuti ide Dewey, anak –
anak berpartisipasi dalam kegiatan fisik seperti; melompat, berlari dan
segala macam gerakan atau aktivitas. Sedangkan untuk pengembangan
intelektual, anak – anak diajak menyelesaikan masalah, menemukan
hal baru dan menggambarkan bagaimana sesuatu hal itu berlangsung.
Untuk aspek sosial adalah bagaimana anak bisa melakukan hubungan
interpersoal dengan baik(Patmonodewo, 2003:8). Pengaruh pemikiran
Dewey ini mendapatkan moment saat Moh. Syafei (INS Kayu Tanam)
menjadi Mentri Pendidikan pada Kabinat Syahrir II, namun sayangnya
hanya menjabat selama 7 bulan (Gunawan, 1995:135),
Pada masa orde baru melalui Kurikulum TK 1968 dijabarkan 8
bidang pendidikan di TK, secara tersurat dicantumkan bidang ke 8
yaitu Pendidikan Scholastik tentang permulaan berhitung, membaca
dan menulis. Penggunaan istilah pendidikan scholastik ini semakin
menguat pada kurikuum 1976 sebagaimana Keputusan Mendikbud N0
54/U/1977 :
” .......pendidikan skolastik merupakan persiapan membaca, menulis
dan berhitung untuk persiapan masuk sekolah dasar”.
Dengan penjelasan bahwa pendidikan skolastik

tidak boleh

mengambil alih tugas guru kelas 1 SD. Istilah pendidikan skolastik ini
menghilang pada kurikulum TK 1994 (Herlina, 2010:78)
Sedangkan kurikulum TK tahun 2004 dituliskan :
”Membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis
dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional,
kognitif, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki
pendidikan dasar” (Herlina, 2010:123).
Pada kurikulum inilah mencapai tingkat paradoks dengan adanya
larangan pembelajaran baca dan tulis di pendidikan prasekolah
padahal saat masuk pendidikan dasar anak dituntut sudah bisa
membaca dan menulis.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan dari segi kajian
teoritis bahwa arah pendidikan prasekolah pada UU No 4/1950
6

tersebut merupakan sintesa antara beberapa teori pendidikan. Sintesa
ini akan juga terasa pada masa-masa sesudah orde lama. Sintesa
tersebut

kadang – kadang berubah menjadi paradok bahkan

kontradiktif.
Sintesa berbagai teori pendidikan akan ini akan semakin kuat saat
dilihat pada penjabaran UU tersebut melalui kurikulum yang
dibentuknya.

Penjabaran dari UU no 4/1950 adalah Rencana

Pendidikan tahun 1964 termasuk di dalamnya Rencana Pendidikan
TK. Istilah kurikulum pada masa ini belum digunakan tetapi istilahnya
Rencana Pendidikan. Kurikulum 1964 disusun berdasarkan konsep
Pancawardhana ( 5 aspek perkembangan). Untuk pendidikan
prasekolah meliputi:
1. Pengembangan Moral.
2. Pengembangan Kecerdasan.
3. Pengembangan Emosional-Artistik
4. Pengembangan Keprigelan Tangan
5. Pengembangan Jasmani. (Herlina, 2010:41).
Kemudian untuk pelaksanaan Kurikulum 1964 dibuatlah rencana
kegiatan

harian

yang

pada

waktu

itu

menggunakan

istilah

”Perencanaan Permainan Sehari-hari”. Perencanaan ini disusun oleh
guru dan bersifat luwes, bisa diterapkan di dalam ruangan maupun
luar ruangan yang di bagi dalam berbagai sudut; sudut keluarga, sudut
membangun, sudut keagamaan dsb. Pada sudut keluarga misalnya
disediakan alat ’masak-masakan”, ”tamu-tamuan” dsb (Herlina,
2010:41).
Hal menarik dari sistem perencanaan tersebut adalah pemilihan
istilah ”Perencanaan Permainan Sehari-hari” yang menyiratkan bahwa
pendidikan prasekolah saat itu sungguh menyenangkan karena disusun
sebagai sebuah permainan yang mengandung nilai pendidikan,
bermain sambil belajar bukan belajar sambil bermain.
Bermain merupakan fenomena yang sangat menarik perhatian para
pendidik, psikolog bahkan ahli filsafat. Mereka tertantang untuk
mengaitkan antara bermain dengan tingkah laku manusia. Bahkan
Patmonodewo menyebut bahwa bermain adalah cara belajar terbaik
7

(Padmonodewo, 2003:101-122). Suyadi mengutip pernyataaan Britton
bahwa :
”Bagi anak, permainan adalah sesuatu yang menyenangkan, suka
rela, penuh arti dan aktivitas secara spontan. Permainan sering juga
dianggap kreatif, menyertakan pemecahan masalah, belajar
ketrampilan sosial baru, bahasa baru, dan ketrampilan fisik baru”
(Suyadi, 2014:183)
Suasana menyenangkan tentang pendidikan prasekolah masa orde
lama ini diperkuat dengan berbagai aktivitas seperti ; bercakap –
cakap, bercerita, bersandiwara, senam fantasy, bersanjak (Herlina,
2010:42). Hal yang menarik dari aktivitas tersebut dalam konteks
kekinian adalah senam fantasy. Senam fantasy adalah senam dengan
cara menirukan gerakan – gerakan binatang dan tumbuhan menurut
persepsi anak. Masing – masing anak diberi kebebasan, tanpa ada
keharusan mengikuti gerakan baku. Dengan senam fantasy ini, di
samping mengolah raga menjadi sehat, juga mengembangkan daya
imajinasi anak dan menghargai mental anak. Kondisi ini berbeda
dengan tehnik senam yang diterapkan di PAUD saat ini yang harus
mengikuti gerakan baku tertentu bahkan tidak jarang itu sebetulnya
merupakan senam orang dewasa, hanya saja dilakukan oleh kanak –
kanak.
3. Analisis Politis
. Sebagaimana di awal tulisan ini bahwa pendidikan tidak berdiri
sendiri tetapi selalu dipengaruhi faktor politis, ekonomis dan budaya.
Hal yang perlu dicermati tentang hubungan politik dengan pendidikan
adalah apakah dalam hubungan tersebut pendidikan dimanfaatkan
secara politis untuk kepentingan sempit dan sesaat atau justru
pendidikan mendapat dukungan politis untuk terus berkembang demi
kepentingan nasional yang lebih luas.
Dalam penjelasan atas undang – undang no 4/1950 diuraikan
bahwa pendidikan bersifat nasional dan demokratis. Sifat nasional
berarti bahwa pendidikan berdasar pada kebudayaan bangsa sendiri.
8

Dengan demikian pengertian nasional di sini bukan lawan dari
kedaerahan tetapi merupakan lawan dari negara asing. Dalam kasus ini
pendidikan digunakan sebagai upaya politik untuk menjadi bangsa
yang mandiri dan tegak menghadapi asing.
Dalam Rencana Pendidikan (RP) 1964 hal 12 dijabarkan bahwa
pendidikan di Indonesia :
”Membentuk manusia Pancasila yang bertanggung jawab atas
tercapainya tujuan – tujuan revolusi nasional sebagaimana sudah
digariskan oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno”.
Kemudian spesifik untuk pendidikan prasekolah adalah ”mendidik dan
membentuk kebiasaan sesuai dengan sifat – sifat manusia sosialis
Indonesia”. (Herlina, 2010:34)
Pemilihan diksi Pancasila, revolusi nasional, manusia sosialis
sulit untuk tidak tidak bahwa kebijakan tersebut bermuatan politis
sehingga saat kekuasaan yang menopangnya telah runtuh maka tujuan
politis itupun ikut runtuh. Berbeda dengan tujuan pendidikan yang
bersifat non – politis dalam RP 1964 : gotong royong, susila, berbudi
luhur, hidup sehat, hidup hemat, sederhana, jujur dsb yang tetap
dipertahankan pada masa – masa sesudahnya.
E. Alternatif Solusi
Di atas telah dipaparkan bahwa hingga saat inipun terjadi pergulatan
pemikiran tentang arah pendidikan prasekolah (kini PAUD), apakah akan
digunakan untuk menyiapkan anak siap memasuki pendidikan dasar atau
terfokus pada menyiapkan anak menghadapi masalah pada masa usianya.
Hal ini nampak pada simpang siurnya aturan tentang pembelajaran
berhitung, membaca dan menulis di PAUD. Sebelum ditawarkan alternatif
solusi, terlebih dahulu akan dipaparkan sebuah hasil penelitian di
Bandung.
LPPM Universitas Padjajaran Bandung ada tahun 2007 meneliti 213
murid TK untuk mengukur kesiapan mereka dalam memasuki pendidikan
dasar. Kesimpulannnya adalah mayoritas telah optimal mencapai
kematangan kognitif, namun belum maksimal dalam kematangan motorik
dan sosial-emosional.(Rizally, 2014;8).
9

Penelitian tersebut dapat menggambarkan kondisi PAUD saat ini yang
semakin lebih memperhatikan aspek kognitif (baca, tulis, hitung, logika)
sehingga

menggerus

perhatian

pada

aspek

sosial-emosional

dan

psikomotorik. Kondisi ini semakin diperparah dengan tuntutan para orang
tua agar PAUD mengajarkan berhitung, baca dan tulis dengan kadar
semakin tinggi supaya anaknya mudah saat mengikuti pelajaran kelas satu.
Mempertimbangkan pergulatan teori – teori pendidikan di atas maka
berikut ditawarkan alternatif solusi sebagai berikut :
1. Melegalkan pembelajaran berhitung, membaca dan menulis dengan
pembuatan metodhe yang tepat untuk usia dini disertai pengawasan
kadar yang tepat pula supaya prosesnya tidak menghilangkan perhatian
pada pendidikan sosial-emosional dan psikomotorik. Dengan cara ini
maka anak akan memiliki kesiapan semua aspek untuk memasuki
pendidikan dasar. Konsep ini sesuai dengan pemikiran Montessori
bahwa usia yang tepat untuk belajar membaca adalah usia 2 – 6 tahun.
2. Merevisi kurikulum kelas 1 MI/SD menjadi program utamanya adalah
pembelajaran membaca,

menulis dan berhitung dengan terlebih

dahulu membuat asumsi bahwa murid baruya belum bisa membaca
dan menulis semua. Dengan asumsi seperti ini maka bahan ajar, media
pembelajara dan materi pembelajaran akan ramah terhadap anak yang
belum bisa membaca sekalipun. Dengan kebijakan ini maka
pendidikan di PAUD akan kembali konsentrasi ke pembentukan
karakter dan kemampuan bersosialisasi, hal yang sangat tepat
diberikan pada anak usia dini.
3. Meniru lembaga TPQ dalam belajar huruf Arab. Semua pihak

menyadari bahwa keberhasilan anak-anak untuk membaca Al-Qur’an
pada masa-masa ini bukan hasil dari upaya para guru di MI/SD tetapi
lebih merupakan produk TPQ. Langkah seperti ini bisa ditiru, sehingga
bisa dibuat lembaga – lembaga semisal TPQ yang konsentrasi ke
pembelajaran baca tulis huruf Indonesia. Dengan terobosan ini aka
anak – anak akan sudah bisa baca tulis saat memasuki kelas satu,

10

sedangakan guru PAUD tetap bisa konsentrasi pada pembentukan
karakter dan pendidikan bersosialisasi.
F. Penutup
Demikianlah makalah ini disusun, besar harapan kami mendapat
penyempurnaan ataupun kritikan melalui diskusi yang mencerahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, Leo dan Suparman, T.(2012). Sejarah Pendidikan.Yogyakarta.Ombak
Direktorat Pembinaan Pendidikan Usia Dini.(2012).Pendidikan Karakter Pada
Pendidikan Anak Usia Dini.Jakarta.Dirjen PAUDNI Kementrian
Pendidikan Nasional.
Gunawan, Ary.(1995).Kebijakan – Kebijakan Pendidikan.Jakarta.PT.Rineka
Cipta.
Herlina dan Yuke Indrati.(2010).Sejarah Perkembangan Kurikulum Taman
Kanak-Kanak Di Indonesia Dari masa Ke Masa.Jakarta.Pusat
Kurikulum Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementrian
Pendidikan Nasional
JDIHN.(2015). Penpres 19/1965. http://jdihn.bphn.go.id. Diakses pada 13 Mei

11

2015.
JDHIN (2015). UU No 12 Tahun 1954. http://jdihn.bphn.go.id. Diakses pada 13
Mei 2015.
Nasution, S.(1995). Sejarah Pendidikan Indonesia.Jakarta.Bumi Aksara.
Patmonodewo, Soemiarti. (2003). Pendidikan Anak Prasekolah.Jakarta.Rinea
Cipta.
Suyadi.(2014).Teori Pembelajaran Anak Usia Dini.Bandung.Remaja Rosdakarya.
Rizally, Mar’atun Aslamiya.(2014). Korelasi Antara Usia Kronologis Awal
Masuk Sekolah Terhadap Prestasi Belajar. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Khusus Volume 3 Nomor 3. Padang. Universitas Negri Padang.

12

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4